• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu digunakan sebagai acaun oleh peneliti dalam melakukan penelitian agar peneliti bisa memperbanyak teori yang digunakan untuk menganalisis penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, peneliti tidak menemukan judul yang sama dengan penelitian yang sedang dilakukan. Tetapi hal tersebut menjadi referensi bagi penulis untuk memperkaya bahan kajian. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan peneliti.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti dan

Judul Penelitian

Metode Penelitian dan Teori Penelitian

Hasil Penelitian

1 Anang Sugeng Cahyono

Implementasi Model

Collaborative Governance Dalam Penyelesaian

Pandemi Covid-19

Metode Kualitatif pendekatan

eksplorasi

Teori Collaborative Governance

Terkait dengan penanggulangan Covid- 19, pemerintah sudah membuat 3 kebijakan yang melibatkan beberapa sektor dengan model kolaborasi.

Kebijakan tersebut meliputi PP Nomor 21 Tahun 2020, PP pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020, dan Kepres Nomor 11 Tahun 2020. Dalam mengatasi virus Covid-19 pemerintah tidak bisa bekerja sendiri karena permasalahan ini adalah masalah bersama. Sehingga diperlukan kolaborasi yang mengangkat bidang sesuai dengan prinsip collaborative governance. Kemudian pemerintah juga membentuk tim gabungan atau satgas yang dengan melibatkan aktor-aktor terkait yang mengacu pada model collaborative governnace. Agar satgas

(2)

pakar lintas sektor bisa lebih efektif dalam penanganan Covid-19.

2 Nur Faidati, Nur Fitri Muthmainah Collaborative Governance Dalam Pengembangan UMKM di Era Revolusi Industri

Metode Deskriptif Kualitatif

Teori Collaborative Governance dari Ansell and Gash

Dalam pengembangan UMKM pada era revolusi industri di DIY, collaborative governance merupakan sebuah strategi yang diterapkan. Dimana kolaborasi yang terbentuk dan telah disepakati bersama melibatkan beberapa stakeholder diantaranya, Dinkop UMKM mulai dari Provinsi sampai Kota, Dinas Perdagangan Kabupaten, para asosiasi pengusaha tingkat kota dan kecamatan. Dan BUMN yang berperan dalam mempresentasikan rumah kreatif disetiap kota dan kabupatan. Ada juga organisasi Ayo Belajar, Sedekah Ilmu, dll. Dengan adanya kolaborasi ini diharapkan pelaku UMKM dapat memanfaatkan teknologi dalam berjualan atau berbisnis. Tetapi pada kenyataannya collaborative governance dalam pengembangan UMKM belum berjalan secara optimal karena dalam program yang dijalankan masih adanya tumpang tindih.

3 Berlian Zella Dyo

Penerapan Collaborative Governance Pada Promosi Produk

UMKM Tenun

Balai Panjang di Kota Payakumbuh

Metode kualitatif Deskriptif

Teori Collaborative Governance

Tenun Balai Panjang menjadi produk lokal UMKM yang akhir-akhir ini mewakili Indonesia yang dipromosikan di event internasional. Permasalahan yang dihadapi oleh UMKM Tenun Balai Panjang masih sama dengan pelaku UMKM lainnya yaitu kendala dalam mempromosikan produknya. Sehingga pemerintah melibatkan beberapa stakeholder dengan menggunakan strategi collaborative governance. Pihak yang terlibat seperti Dinas Koperasi dan UMKM Kota Payakumbuh, Masyarakat Kelompok Penenun Balai Panjang, Dinas Pariwisata, Dinas Tenaga Kerja

(3)

dan Perindustrian Kota Payakumbuh, Pondok Promosi UMKM serta perancang busana pribadi Presiden Jokowidodo, Tuty Adib. Dalam mempromosikan produk tenun tersebut aktor-aktor yang terlibat memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing, contohnya seperti menyediakan sarana dan prasarana dalam mendukung UMKM ini bisa menunjang perekonomian daerah.

4 Parmin Ishak, Nur Lazimatul Hilma Sholehah

Implementasi Model Pentahelix Dalam

Pengembangan UMKM Dimasa Pandemi Covid-19

Metode Kualitatif model Miles dan Huberman

Teori Model Pentahelix

Dalam kondisi pandemi Covid-19 UMKM perlu mendapat perhatian yang sangat besar guna memulihkan ekonomi nasional. Untuk mengatasi hal tersebut Kecamatan Wonosari menggunakan model pentahekix yang melibatkan lima stakeholder yaitu yaitu pemerintah, komunitas, akademisi, pengusaha dan media. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator.

Tetapi dalam pelaksanaannya masih ada kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Sedangkan peran media masasa masih belum baik karena hanya ada saat event saja, kemudian kemampuan sumber daya manusia juga belum optimal dalam kegiatan pelatihan untuk bisa memanfaatkan media sosial.

Sehingga dalam implementasinya secara keseluruhan model pentahelix dalam pengembangan UMKM masih belum optimal dikarenakan koordinasi antar stakeholder yang masih bersifat kondisional.

5 Edy Sutrisno

Strategi Pemulihan Ekonomi Pasca

Metode Pendekatan Kualitatif Deskriptif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa datangnya wabah covid-19 memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonimi khususnya di

(4)

Pandemi Melalui Sektor Umkm Dan Pariwisata

sektor UMKM dan pariwisata. Sehingga dibutuhkan strategi khusus dalam pemulihannya. Strategi dalam pemulihan ekonomi Indonesia terutama disektor UMKM yaitu pemberian bantuan social bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah, insentif pekerjaan, pemberian modal, dan strategi jangka pendek penanganan Covid-19.

Sedangkan strategi pemulihan di sektor wisata yaitu pengembangan destinasi wisata, pengembangan kelembagaan pariwisata, pengembangan produk pariwisata, dan pengelolaan infrastruktur pariwisata.

6 Ade Taryudi, Dzieky Maulana, Hafifah, Junah Kistia, Nur Hanifah, Dwi Retno Hapsari.

Pemulihan Ekonomi Keluarga UMKM Lokal melalui Pelatihan Desain Kemasan Produk dan Pemasaran Online di Desa Pekandangan Jaya, Kabupaten

Indramayu

Kendala yang sering dihadapi pelaku UMKM adalah pemasaran produk, bahan baku, dan tampilan yang kurang menarik dengan minat masyarakat saat ini. dengan adanya program SMART UMKM diharapkan dapat membantu pelaku UMKM menyelesaikan masalahnya. Program tersebut memiliki subprogram yaitu pembentukan kelompok UMKM Berkah Bersama dimana pembentukan kelompok ini bisa menjadi tempat dalam pengembangan usaha dan membangun kerjasama antar pelaku UMKM lainnya. Kemudian juga ada kegiatan pelatihan desain grafis pemasaran digital dan pelatihan

(5)

pembukuan sederhana yang dilaksanakan dapat meningkatkan skill para pelaku UMKM dan pemuda desa yang nantinya akan berimbas positif terhadap produk yang mereka hasilkan.Sehingga hasil dari program SMART UMKM itu sendiri yaitu terbentuknya paltform pemasaran online.

7 Budianto Tedjasuksmana

Membangun Pemulihan Keberlanjutan

Usaha Umkm

Indonesia Di Era New Normal

Diskriptif dan Eksploratif

Pada masa pandemi Covid-19 sektor UMKM di Indonesia mengalami keterpurukan karena beberapa faktor yang menjadi melemahnya sekto tersebut. Sehingga perlu adanya langkah atau strategi dalam mempercepat pemulihannya. Dengan cara memulihkan kembali ekonomi dan membuat inovasi baru pemulihan UMKM berkelanjutan. Beberapa langkah yang dipakai sebagai jalan pemulihan dalam mewujudkan UMKM inovasi baru yaitu melalui kemudahan akses pinjaman Bank, infrastruktur internet dan transportasi, dan peningkatan kemampuan SDM dalam hal digital. Diperlukan dukungan dalam menjalankan kebijakan yang sudah dibuat tersebut contohnya dengan adanya komunitas yang peduli dalam pemulihan UMKM seperti perguruan

(6)

tinggi melalui pengabdian mahasiswa kepada masyarakat.

8 Vina Natasya, Pancawati

Hardiningsih.

Kebijakan

Pemerintah Sebagai Solusi

Meningkatkan Pengembangan UMKM di Masa Pandemi

Metode Kuantitatif

Teori Model Daya Tarik

Pemerintah membuat kebijakan dalam menghadapi permasalahan- permasalahan yang dihadapi oleh pelaku UMKM dimasa pandemi, yaitu memberikan bantuan sosial kepada pelaku usaha, contohnya dengan membiayai modal kerja dan memberikan insentif pajak. Kemudian Pemerintah Daerah sebagai fasilitator dalam pelatihan untuk menyangga produk UMKM. Salah satu bentuk pemerintah dalam penyelamatan UMKM pada masa pandemi adalah dengan memberikan bantuan sosial. Program penyaluran bantuan sosial tersebut dalam bentuk kemitraan UMKM yaitu dengan mendukung bahan baku dan membagikan paket sembako.. Dengan adanya pemebreian bantuan sosial ini akan membantu para pelaku UMKM dapat terus menjalankan usahanya ditengah tantangan pandemi Covid-19.

Selain itu bentuk kepedulian pemerintah tehadap pelaku UMKM yaitu dengan memberikan intensif pajak, yang tujuannya dapat bertahan ditrengah panndemi Covid-19 dengan menekankan biaya operasional. Program-program diatas sangat berpengaruh tehadap

(7)

pengembangan UMKM dimasa pandemi Covid-19.

9 Dani Sugiri

Menyelamatkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dari Dampak Pandemi Covid-19

Metode Kualitatif Deskriptif

Pemerintah terus memberdayakan UMKM di masa pandemi dengan membuat kebijakan. Untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut, diperlukan juga strategi jangka panjang dan jangka pendek. Strategi jangka pendek yaitu berkaitan dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat, mengadakan sosialisasi kepada pelaku UMKM, memberi peluang dan dorongan layanan digital sebagai pendukung UMKM, serta membuat perubahan untuk strategi bisnis.

Sedangkan strategi jangka panjang berkaitan dengan upaya menyiapkan membangun teknologi digital sebagai platform dalam mengembangkan UMKM, pengembangan model UMKM yang modern, serta mendorong kolaborasi pemberdayaan UMKM yang dilakukan pemerintah dengan sektor swasta.

10 Lili Marlinah

Peluang dan Tantangan UMKM Dalam Upaya Memperkuat

Studi Kepustakaan Dampak negatif dari adanya covid-19 adalah menghambat pertumbuhan sektor UMKM, dimana kendala dari phisical distancing dan PSBB sehingga terbatasnya ruang gerak mereka.

Kemudian tantangan yang dihadapi

(8)

Perekonomian Nasional Tahun 2020 Ditengah Pandemi Covid 19

pelaku UMKM adalah bagaimana mempunyai strategi dengan berbasis teknologi informasi untuk menghadapi kebutuhan pasar tetapi masih menjaga kearifan lokal. Pemerintah menyiapkan lima skema untuk perlindungan dan pemulihan ekonomi bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yaitu : pertama diperuntukkan bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang masuk kategori miskin terdampak Covid-19. Kedua, mengenai insentif perpajakan yang berlaku bagi para pelaku UMKM yang beromzet Rp 4,8 miliar per tahun. Ketiga, integritas dan relaksasi kredit UMKM. Keempat, Pemerintah juga akan memberlakukan perluasan pembiayaan bagi UMKM yaitu berupa bantuan modal kerja.

Kelima, melalui pemerintah sebagai penyangga UMKM dalam pemulihan setelah pandemi Covid-19.

Dari tabel 2.1 terdapat 10 penelitian terdahulu yang mana tiga diantaranya menggunakan aspek teoritis yang sama dengan penelitian yang dilakukan peneliti yaitu terkait collaborative governance. Persamaan juga terletak pada pemilihan tema yang sama dengan penelitian yang akan peneliti lakukan dimana membahas tentang pemulihan UMKM diera pandemi Covid-19. Penelitian yang akan penulis lakukan memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nur Faidati, Nur Fitri Muthmainah yang berjudul “Collaborative Governance Dalam

(9)

Pengembangan UMKM di Era Revolusi Industri”. Dimana teori yang digunakan sama dengan menggunakan teori Collaborative Governance dari Ansell and Gash.

Aspek collaborative governance yang digunakan yakni terdiri dari dialog tatap muka, membangun kepercayaan, komitmen terhadap proses, berbagi pemahaman, dan hasil sementara.

Akan tetapi yang membedakan yakni pada penelitian Parmin Ishak, Nur Lazimatul Hilma Sholehah yang berjudul “Implementasi Model Pentahelix Dalam Pengembangan UMKM Dimasa Pandemi Covid-19” dimana dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa dalam pengembangan UMKM dimasa pandemi Covid- 19 menggunakan model pentahekix yang melibatkan lima stakeholder yaitu yaitu pemerintah, media, komunitas, akademisi dan bisnis. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator. Kemudian dalam implementasinya secara keseluruhan model pentahelix dalam pengembangan UMKM masih belum optimal dikarenakan koordinasi antar stakeholder yang masih bersifat kondisional. Hal tersebut memperlihatkan perbedaan dengan penelitian ini karena peneliti menggunakan menggunakan konsep collaborative governance dalam memulihkan kembali sektor UMKM di era pandemi Covid-19 khususnya di Kota Malang.

Dimana nantinya pemerintah menggandeng atau berkolaborasi dengan PT. Dompet Anak Bangsa (Gopay) dan PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dengan memberikan pelatihan dan fasilitasi pemasaran kepada pelaku UMKM di Kota Malang. Sehingga pada penelitian terdahulu diharapkan mampu mempertajam dan memperkuat yang akan dilakukan dengan melihat fenomena pemulihan sektor UMKM di era pandemi Covid-19 di Kota Malang apakah dengan adanya kolaborasi pemerintah Kota Malang dengan PT. Dompet Anak Bangsa (Gopay) dan PT.

Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) mampu membangkitkan kembali pelaku UMKM yang terdampak akibat virus Covid-19.

(10)

2.2 Konsep / Teori 2.2.1 Collaborative Governance

Menurut Ansell dan Gash (Ansell dan Gash, 2008), Collaborative Governance adalah pengelolaan beberapa organisasi publik yang berkolaborasi dengan pemangku kepentingan di luar pemerintah, termasuk komunitas yang terlibat dalam merumuskan, menyetujui, dan menerapkan kebijakan. Dengan definisi diatas, Ansell and Gash memaparkan Collaborative Governance adalah proses kolaboratif di mana beberapa lembaga publik dan pihak berkepentingan lainnya mengatur keputusan dalam proses kebijakan untuk memecahkan masalah publik. Menurut Ansell and Gash, model tata kelola kolaboratif adalah kenyataan bahwa di balik kolaborasi, para aktor yang terlibat saling berbagi visi bersama dan tujuan yang ingin dicapai dalam konteks kolaborasi, mulai saling menghargai dan menghormati, saling percaya antar aktor, kemampuan yang berbeda dan keahlian aktor dalam kerjasama.

Ansell and Gash juga berpendapat bahwa “Collaborative governance is therefore a type of governance in which public and private actor work collectively in distinctive way, using particular processes, to establish laws and rules for the provision of public goods” (Ansell dan Gash, 2007:545). Konsep ini menggambarkan bahwa dimana ada kondisi yang membuat aktor publik dan aktor swasta melakukan kolaborasi dengan cara dan proses yang sudah dirancang sedemikian ruap sehingga dapat menghasilkan kebijakan dan peraturan yang sah sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat. Konsep ini diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aktor publik yaitu seperti pemerintah sedangkan aktor swasta, yaitu perusahaan atau organisasi bisnis. Yang tidak bekerja secara terpisah dan mandiri, tetapi bekerja sama untuk kebutuhan masyarakat.

Kolaborasi merupakan kerjasama antar aktor, organisasi atau lembaga untuk mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai atau dilaksanakan secara mandiri.

Kerjasama atau kolaborasi menjadi istilah dalam bahasa Indonesia yang tidak mempunyai perbedaan teori antar keduanya dan masih menjadi istilah yang dipakai

(11)

secara bergantian. Para ahli mempunyai definisi mengenai collaborative governance dalam beberapa pengertian tetapi mempunyai ide makna yang sama, yaitu adanya kerjasama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan beberapa aktor kepentingan seperti sektor publik dan sektor privat. Definisi menurut Ansell and Gash (2007:546) :

Collaborative governance adalah serangkain pengaturan dimana satu atau lebih lembaga publik yang melibatkan secara langsung stakeholder non- state di dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, berorientasi consensus dan deliberative yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau mengatur program atau aset.

Menurut Ansell dan Gash (dalam Fawwaz, 2017). Model Collaborative governance memiliki empat variabel luas yaitu:

1. Kondisi awal

Kondisi awal dalam suatu kolaborasi dipengaruhi oleh beberapa fenomena, yaitu para stakeholders memiliki kepentingan dan visi bersama yang ingin dicapai, sejarah kerjasama dimasa lalu, saling menghormati kerjasama yang terjalin, kepercayaan masing-masing stakeholders, ketidakseimbangan kekuatan, sumber daya, dan pengetahuan.

2. Desain Kelembagaan

Pemimpin meminta para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam negoisasi itikat baik dan mengeksplorasi, kompromi dan perolehan bersama. Collaborative governance sebagai konsensus yang berorientasi meskipun menunjukkan bahwa konsensus tidak selalu tercapai.

Masalahnya di sini apakah semua kolaboratif harus memerlukan konsensus. Masalah desain kelembagaan penggunaan tenggang waktu melemah merupakan sifat berkelanjutan kolaborasi secara tidak sengaja mengurangi insentif kerjasama jangka panjang. Desain Kelembagaan berkaitan dengan tata cara dan peraturan dasar dalam kolaborasi untuk prosedural proses kolaborasi yang legal, transparansi proses, inklusivitas partisipan, dan eksklusivitas forum.

(12)

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan penting untuk merangkul, memberdayakan dan melibatkan para pemangku kepentingan dan memobilisasi untuk kesuksesan kolaborasi. Konflik yang tinggi dan kepercayaan rendah memiliki insentif untuk berpartisipasi maka collaborative governance dapat melanjutkan layanan perantara antara stakeholder yang menerima layanan. Ketersediaan para pemimpin cenderung bergantung sesuai dengan keadaan setempat. Implikasi kemungkinan kerjasama yang efektif mungkin terhambat oleh kurangnya kepemimpinan. Kepemimpinan fasilitatif berkaitan dengan musyawarah yang dilakukan oleh stakeholders, penetapan aturan-aturan dasar yang jelas, membangun kepercayaan, memfasilitasi dialog antar stakeholders dan pembagian keuntungan bersama.

4. Proses Kolaboratif

Proses kolaboratif ini merupakan variable yang penting, dimana proses kolaboratif diawali dengan dialog tatap muka yang berkaitan dengan kepercayaan yang baik, setelah melakukan dialog tatap muka dengan baik maka akan terbangun suatu kepercayaan yang nantinya akan berpengaruh terhadap komitmen dalam proses kolaborasi, setelah komitmen para stakeholders tinggi akan terjadi suatu pemahaman bersama dalam perumusan masalah, identifikasi nilai -nilai, dan misi yang jelas. Setelah para stakeholders memiliki kesamaan dan kesepahaman, maka akan menentukan rencana strategis untuk menjalankan kolaborasi.

2.2.2 Tujuan Melaksanakan Collaborative Governance

Munculnya collaborative governance karena dianggap gagal dalam mengimplementasikan kondisi peraturan politik dan tingginya biaya. Terlebih beberapa orang berpendapat bahwa alasan dasar untuk berkolaborasi berasal dari pengembangan pengembangan dan kapasitas lembaga atau instansi.

Sudut pandang di atas menunjukkan bahwa collaborative governance tidak hanya muncul tiba-tiba tetapi didorong oleh banyak aspek. Munculnya

(13)

collaborative governance dapat dilihat dari perspektif perlunya kolaborasi antar instansi karena keterbatasan kapasitas masing-masing instansi untuk melaksanakan programnya. Selain itu, kerjasama juga timbul karena keterbatasan atau kurangnya dana anggaran dalam suatu instansi, oleh sebab itu anggaran untuk kerjasama tidak hanya berasal dari satu aktor saja, tetapi juga dari aktor lain yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Dalam penyelenggaran pemerintahan, kolaborasi bisa sebagai salah satu aspek dalam perkembangan ilmu pemerintahan. Karena dengan adanya konsep governance yang mengutamakan pada partisipasi multi aktor seperti pemerintah, swasta dan masyarakat. Alternatif dari kolaborasi yaitu untuk pengembangan ketelibatan aktor kepentingan dan kegagalan manajemen suatu organisasi atau lembaga pemerintah. Sehingga munculah kompleksitas dalam perkembangannya yang mengakibatkan rasa saling ketergantungan dan peningkatan dalam permintaan kolaborasi.

Hal-hal yang membuat collaborative governance menjadi konsep yang penting untuk dilaksanakan, disebutkan lebih spesifik oleh Ansell and Gash.

Sebagai berikut :

1. Munculnya rasa saling ketergantungan antar instansi

2. Adanya konflik antar aktor secara tersembunyi dan sulit diredam 3. Upaya mencari cara dan proses baru guna mencapai legitimasi politik 4. Kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan di lapangan

5. Ketidakmampuan kelompok keperntingan, terutama karena pemisahan rezim-rezim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan

6. Mobilisasi kelompok kepentingan 7. Biaya tinggi dan politisasi regulasi

Pendapat diatas menunjukkan bahwa kerjasama dilaksanakan karena kompleksitas saling ketergantungan masing-masing lembaga atau instansi.

Kolaborasi juga diduga muncul karena adanya keragaman kepentingan antara masing-masing kelompok, sehingga terjadi kolaborasi. Hanya dengan cara ini kolaborasi dapat memobilisasi para kelompok kepentingan. Karena keterbatasan

(14)

anggaran, kolaborasi dipandang sebagai solusi atas buruknya pelaksanaan kebijakan dan program yang hanya dilakukan oleh satu instansi saja. Selain itu, kolaborasi bisa menjadi solusi dalam mengatasi program yang mempunyai biaya tinggi.

2.2.3 Dimensi-Dimensi dalam Collaborative Governance

Menurut Junadi (2015:14) mengatakan bahwa dimensi collaborative governance terbagi menjadi 3 dimensi, dari ketiga dimensi itu mencerminkan perbedaan berbagai jenis dan tujuan instansi yang dicari dalam kolaborasi. Dimana kolaborasi yang efektif mampu meningkatkan pengembangan aktor kepentingan dan hubungan antar aktor.

“Dimensi pertama, pencapaian sasaran klien menunjuk pada tujuan utama dari sebagian usaha sektor publik untuk meningkatkan kolaborasi, yaitu mendapatkan sumber daya yang akan meningkatkan pelayanan. Kedua, hubungan antar organisasi ditingkatkan untuk menangkap kedua hal yakni manfaat kolektif dan potensi kolaborasi organisasi. Jika organisasi dalam kegiatan kolaboratif sama baiknya, hal ini dapat meningkatkan modal social pada masyarakat yang dilayani.

Hubungan yang lebih baik antara organisasi bekerja untuk meningkatkan kesempatan memecahkan masalah dan membuka jalan bagi hubungan masa depan yang lebih baik. Dimensi ketiga, pengembangan organisasi sebagian besar langsung menguntungkan organisasi. Jika kolaborasi meningkatkan pengembangan organisasi, hal ini dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bersaing secara efektif atas kontrak masa depan dan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencapai misi dan tujuan.”

2.2.4 Proses Kolaborasi

Proses kolaborasi berlangsung dalam beberapa tahap. Sebagai strategi dalam pengelolaan urusan publik, fase model kolaboratif menjadi penting.

Meskipun proses kolaboratif sulit untuk dilaksanakan karena masing-masing pemangku kepentingan memiliki kepribadian yang berbeda. Ansell dan Grash (2007:558 - 561) sebagai berikut :

(15)

a. Face to face dialoge

Dialog tatap muka menjadi langkah awal dalam membangun sebuah kolaborasi, seperti melakukan pertemuan dengan masing-masing pemangku kepentingan terkait. Seperti halnya collaborative governance yang berorientasi cara untuk menentukan kesempatan yang mendapat keuntungan. Percakapan secara langsung lebih dari sekadar negosiasi ala kadarnya. Dialog langsung ini meminimalkan konfrontasi dan rasa tidak hormat di antara para pemangku kepentingan terkait. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan dapat bekerja sama berdasarkan tujuan dan kepentingan bersama.

b. Trust building

Kurangnya kepercayaan di antara para pemangku kepentingan adalah fenomena umum di awal proses kolaboratif. Kerja sama memang bukan sekedar negosiasi antar pemangku kepentingan, tetapi upaya membangun rasa saling percaya. Saat melakukan proses kolaboratif pertama, kepercayaan perlu dibangun secepat mungkin. Hal tersebut bertujuan supaya para stakeholder tidak mengalami egosentrisme antar institusi. Oleh karena itu, dalam membangun sebuah kepercayaan diperlukan pemimpin yang mampu menyadari akan pentingnya kolaborasi.

c. Commitment to process

Komitmen untuk memiliki hubungan yang kuat dalam proses kerjasama. Komitmen adalah kekuatan pendorong untuk partisipasi atau partisipasi dalam pemerintahan kolaboratif. Diperlukan komitmen yang kuat dari setiap pemangku kepentingan untuk mencegah risiko dalam proses kolaboratif. Padahal komitmen memang menjadi hal yang rumit dalam sebuah kolaborasi. Komitmen adalah tanggung jawab pemangku kepentingan, dan melihat hubungan sebagai sesuatu yang baru perlu dikembangkan.

d. Share Understanding

(16)

Untuk mencapai hasil kolaborasi yang dilakukan tentunya dibutuhkan saling berbagi pemahaman antar stakeholder. Saling berbagai pemahaman bias juga diartikan sebagai tujuan bersama, misi bersama, visi bersama, keyakinan bersama, dll. Saling berbagi pemahaman dapat berimplikasi terhadap kesepakatan bersama untuk menyelesaikan masalah bersama.

e. Intermediate outcomes

Hasil yang sedang berlangsung dari suatu proses kolaboratif diwujudkan dalam keberhasilan kegiatan dari tahap awal sampai terlihat hasil yang diinginkan. Meskipun hasil nyata yang masih kecil dari proses kolaborasi yang dijalankan. Hasil sementara dari proses kolaborasi yang sedang dilakukan dapat bernilai strategis dan memberikan manfaat.

2.2.5 Pengertian UMKM

Banyak definisi mengenai UMKM yang dikemukakan di berbagai instansi, seperti usaha kecil adalah adalah usaha perseorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha dan menghasilkan pendapatan tahunan sampai dengan Rp600 juta atau kekayaan sampai dengan Rp600 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan yang ditempati). Usaha kecil terdiri dari badan usaha (PT, CV, Fa dan Koperasi) dan perorangan (industri rumahan). Tetapi definisi tersebut berubah ketika diundangkannya UU Nomor 20 Tahun 2008, sehingga UMKM mempunyai definisi yang berubah sebagai berikut :

1. Usaha mikro adalah usaha aktif yang dimiliki oleh individu atau rumah tangga industri dan komersial perorangan yang memenuhi syarat untuk usaha mikro.

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif mandiri yang dijalankan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang tidak dimiliki, dikuasai, atau langsung atau tidak langsung merupakan anak perusahaan dari usaha besar atau menengah atau cabang perusahaan.

3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif mandiri yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

(17)

perusahaan yang memiliki, menguasai, atau menjadi baik langsung maupun tidak langsung anak perusahaan atau cabang usaha kecil atau usaha besar.

Undang-undang telah mengatur total kekayaan bersih atau penjualan tahunan.

2.2.6 Pengembangan dan Pemulihan UMKM

Langkah yang penting dalam memperkuat dan meningkatkan fondasi ekonomi negara yaitu pengembangan UMKM. Karena keberadaan UMKM dapat memberikan kesempatan lapangan pekerjaan baru dan terbitnya inovasi produk terbaru. Sehingga tujuan UMKM harus dikembangkan yaitu :

a. Melahirkan peluang usaha baru dan lingkungan usaha yang lebih kondusif kepada masyarakat, serta memastikan efisinsi ekonomi dan kepastian usaha.

b. Mengembangkan sistem pendukung UMKM yaitu dengan memanfaatkan sumber daya yang produktif dan peningkatan akses.

c. Upaya pengembangan kewirausahaan, terutama mentransformasikan berbagai keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif

Pemulihan perekonomian nasional harus dimulai dengan upaya memulihkan dan menghidupkan kembali sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama di saat krisis seperti pandemi Covid-19 seperti sekarang. Dalam teori ekonomi, tidak mungkin pulih jika kita tidak segera memulihkan UMKM. Pasalnya, sebanyak 99% pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Banyak yang percaya bahwa Program Pemulihan UMKM dapat mengatasi kemiskinan, pengangguran dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam skala regional dan nasional.

Pemerintah daerah memiliki jumlah UMKM yang banyak berupaya menyalurkan bantuan, kredit, pendampingan, pelatihan online, mengadakan pameran online, dana stimulus untuk membantu UMKM mendapatkan sertifikat halal dan lisensi

(18)

produk industri rumah tangga untuk mendorong UMKM berjalan supaya bisa bertahan dari pandemi.

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kuliner menjadi kelompok sektor usaha yang temdampak negatif akibat pandemi COVID-19. Dikutip dalam Tempo.co bahwa hasil survei Bosch mendapati bahwa pelaku UMKM kuliner Indonesia hanya membutuhkan dukunngan seperti berikut. Pertama, meningkatkan keterampilan memasak. Kedua, meningkatkan eksistensi penjualan secara online.

Ketiga, meningkatkan kemampuan strategi dalam promosi dan penjualan.

Berdasrakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 16 menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah mendorong pengembangan usaha di berbagai bidang, seperti di bidang pengolahan dan produksi seperti UMKM kuliner. Pertama, meningkatkan teknologi produksi dan pengolahan serta kemampuan manajemen usaha kecil, menengah dan mikro.

Kedua, memfasilitasi pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku dan penolong, serta pengemasan produk usaha kecil, menengah dan mikro. Ketiga, mendorong penerapan standardisasi dalam proses produksi dan pengolahan. Keempat, meningkatkan kemampuan desain dan rekayasa perusahaan menengah.

2.2.7 Strategi Pengembangan dan Pemulihan UMKM

Pemerintah telah merumuskan lima kebijakan strategis untuk mengatasi berbagai persoalan UMKM terdampak pandemi yang mengakibatkan penurunan pendapatan. Lima kebijakan strategis untuk melindungi dan memulihkan UMKM di masa pandemi Covid-19 antara lain :

a. Bantuan sosial atau bansos melalui rekening BRI senilai Rp 2.400.000 diberikan kepada pelaku UMKM yang masuk golongan miskin

b. Rekonstruksi kredit usaha kecil, menengah dan mikro akan dilonggarkan, dan tingkat diskonto kredit untuk usaha kecil dan mikro akan diperpanjang selama 6 bulan secara angsuran.

(19)

c. Membantu mendanai UMKM dengan menggunakan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program KUR dirancang untuk membentuk kelompok- kelompok UMKM yang multipel untuk memfasilitasi pembiayaan dan meningkatkan efisiensi dalam pembayaran penjaminan yang dilakukan secara berkelompok.

d. Pandemi Covid-19 memberikan tuntunan kepada pelaku UMKM untuk mengikuti perkembangan jaman yang mempunyai tekonologi canggih.

Sehingga dapat memanfaatkan penjualan melalui online.

e. Memberikan sosialisai, pelatihan tentang bagaimana mmepunyai keterampilan dunia digital dan mampu menerapkannya dalam bidang usahanya sehingga dapat berkontribusi dalam daya saing pasar.

Dalam hal pengembangan dan pemulihan UMKM di Kota Malang diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 22 Tahun 2018 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah. Dimana dalam pasal 8 dipaparkan bahwa dalam menyusun perencanaan pemberdayaan usaha, mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan melibatkan stakeholder yang akan melakukan kolaborasi dan dilakukan secara partisipatif. Kemudian pemerintah daerah melakukan langkah selanjutnya dengan menyusun ruang lingkup dan bidang kegiatan untuk pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kegiatan yang akan dilakukan dalam pengembangan dan pemulihan UMKM juga diatur dalam pasal 31 yang menyebutkan bahwa pengembangan UMKM dilakukan melalui pemberian fasilitas pelatihan, pendampingan dan bantuan fiskal permodalan untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah. Pemulihan sektor UMKM dimasa pandemi Covid-19 di Kota Malang dilakukan sesuai dengan pasal diatas dimana Pemerintah Kota Malang berkolaborasi dengan PT. Dompet Anak Bangsa (Gopay) dan PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dengan memberikan pelatihan dan fasilitasi pemasaran kepada pelaku UMKM di Kota Malang.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu  No  Nama Peneliti dan

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi kebijakan adalah tahapan yang paling penting dalam sebuah proses kebijakan, tanpa ada evaluasi suatu kebijakan itu tidak akan ada nilainya karena di

1. Gaji dan upah. Gaji adalah balas jasa dalam bentuk uang yang diterima karyawan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang karyawan yang memberikan sumbangan tenaga

Laman-laman media di Malaysia secara umumnya terletak antara kadar risiko sederhana sehingga risiko rendah dalam kerangka yang digunakan, terutamanya dalam indikator-indikator

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Aktivitas Fisik Sehari-hari Dengan

KOKAMI diujicobakan kepada 29 siswa kemudian diberikan angket yang berisi 20 item pernyataan yang mencakup aspek kelayakan isi/materi dan aspek media

Apabila saya terpilih sebagai calon pimpinan Baznas Kabupaten Kuantan Singingi Periode 2021-2026, Surat Pernyataan ini akan dibuktikan dengan Surat Keterangan dari

1) Tingkat loyalitas yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal atau sama sekali tidak tertarik pada merek-merek apapun yang ditawarkan. 2) Tingkat kedua adalah para pembeli

Desa adalah desa adat atau yang disebut dengan Desa, ialah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang untuk mengelola dalam