• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Polri Dalam Mengimplementasikan Restorative Justice Pada Penanganan Perkara Pidana (Studi Di Kepolisian Resort Binjai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Polri Dalam Mengimplementasikan Restorative Justice Pada Penanganan Perkara Pidana (Studi Di Kepolisian Resort Binjai)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TERKAIT RESTORATIVE JUSTICE DI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

F. Pengaturan Restorative Justice terkait Peradilan Anak

Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk

menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan restoratif) adalah

alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang

bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif41 Restorative Justice (Keadilan Restoratif) bertujuan untuk memberdayakan para korban,

pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum,

dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki

kehidupan bermasyarakat.42 Adapun konsep restorative justice dapat dilihat dalam draft Declaraction of Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmer in

Criminal Matters, sebagai berikut:43

a. Program restorative justice berarti program yang menggunakan proses restorative atau mempunya maksud mencapai hasil restorative (restorative outcome).

41

G. Bazemore, & Schiff, M, Juvenile Justice Reform and Restorative Justice: Building Theory and Policy from Practice. Oregon: Willan Publishing, 2005, hal. 5

42

G. Pavlich, Towards An Ethics of Restorative Justice. In L. Walgrave (Ed.), Restorative Justice and The Law. Oregon: Willan Publishing, 2002, hal 1.

43

(2)

b. Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses restorative justice. Contoh: restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan mengembalikan korban dan/atau pelaku.

c. Restorative justice dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktif bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan dicampuri oleh pihak ketiga. Contoh proses restorative mediation, conferencing dan circles.

d. Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program restorative justice.

e. Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi partisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan.

M. Wright menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif)

pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal

dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan

yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan

mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat

bila diperlukan.44 Menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa hal yaitu:45

1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran hukum.

2. Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang

44

M., Wright, Victim-Offender Mediation as A Step Towards A Restorative Sistem of Justice. In H. Messmer & H.-U. Otto (Eds.), Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1992, hal. 525.

45

(3)

ada pada korban akibat dari criminal yang terjadi.

3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan masyarakat dan bukan didominasi oleh Negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan pelanggaran dari proses penyelesaian.

Konsep restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan

berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai Negara dan akar

budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan criminal jauh

sebelum dilaksanakannya sistem peradilan tradisional. Konsep restorative justice

berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu.46 Dalam perkembangan konsep restorative justice ini, pada dasarnya terdapat 5 (lima) prinsip

kunci dari restorative justice sebagaimana dikemukakan oleh Susan Sharpe yakni:47

1. Restorative justice invites full participation and consensus (restorative justice mengandung partisipasi penuh dan consensus), artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentigan mereka telah terganggu atau terkena imbas.

2. Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan). Sebuah pertanyaan penting tentang restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku criminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah mengenai konflik apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi pemulaan sehingga dia terlibat atau bahkan melakukan kejahatan dan mereka butuh kesempatan untuk

46

Ibid, hal. 171 47

(4)

memperbaiki semuanya.

3. Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.

4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided (restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan criminal). Tindakan criminal telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat. Prespektif restorative justice adalah julukan “korban” dan “pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita.

5. Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent further harms (restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan criminal berikutnya). Kejahatan memang menimbukan kerusakan dalam masyarakat, tapi selain daripada itu kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan di luar kehendak dari seseorang, sehingga terciptalah “korban”, “pelaku” dan perilaku criminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena sistem yang ada dalam masyarakat yang mendukung terjadinya criminal seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada dasarnya sama sekali. Oleh sebab itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang adil dan aman untuk hidup.

(5)

merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat Internasional

semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal

dalam menangani permasalahan anak yang bermasaah dengan hukum. Sistem peradilan

anak sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak menekankan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada

pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) hanya

memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak

Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Setelah lahirnya undang-undang tentang sistem

peradilan pidana anak maka konsepsi restorative justice telah diformulasikan perumusan

normanya di dalam undang-undang. Hal ini dilihat dari perumusan Pasal 1 angka 6

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menyatakan bahwa “keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait

untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan

kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Sebelum lahirnya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak reehadap anak sebagai

pelaku maupun korban tindak pidana sedikit sekali diberikan kesempatan untuk

menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat

keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku sehingga

berimplikasi tindak kriminal yang dilakukan oleh anak semakin meningkat karena di

(6)

kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. Menurut Jim Consedine, salah seorang

pelopor Restorative Justice dari New Zealand, berpendapat konsep keadilan retributif dan

restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan

perusakan harus digantikan oleh Restorative Justice (keadilan restorative) yang

berdasarkan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan dan

pengampunan.48

Sistem peradilan pidana anak Indonesia sebagaimana di atur dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan salah

satu konkretisasi ide keadilan restroratif, karena dalam beberapa perkara dan untuk

kategori pelaku tentu penegak hukum diwajibkan melakukan kebijakan diversi.

Undang-undang tersebut sudah berlaku sejak 1 Agustus 2014. Dalam Undang-Undang ini di atur

tentang penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum baik melalui peradilan

pidana maupun diversi. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum harus

didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Pengertian frasa “terbaik bagi anak”

terkait dengan sifat anak baik fisik, psikis maupun sosial sehingga kepentingan anak satu

dengan lainnya tidak harus sama. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam praktik di Adapun tujuan hakiki yang ingin diwujudkan dalam pengaturan

restorative justice di dalam undang-undang adalah agar terciptanya moral justice dan

social justice dalam penegakan hukum selain mempertimbangkan legal justice. Dapat

pula diartikan terwujudnya keseimbangan di masyarakat pasca putusan hakim.

48

(7)

banyak Negara, peradilan anak seringkali menggunakan diversi untuk mendahului sistem

peradilan pidana anak. “The major goal of the first juvenile court’s, established at the

turn of the century, was to provide an alternative to and thereby divert youth from, the

criminal court”.49 Keadilan restorative merupakan suatu ide dan gerakan yang mengedepankan keadilan dalam prespektif pelaku dan keluarganya, korban dan

keluarganya, masyarakat dan pemangku kepentingan dalam rangka pemulihan keadaan

masing-masing. Karena itu, konsepsi pemikiran keadilan restorative (restorative justice)

menjadi salah satu upaya menjauhkan anak dalam sistem peradilan pidana yang tidak

perlu. Pendekatan ini mengutamakan penyelesaian tindak pidana di luar peradilan pidana.

Pendekatan tersebut bukan hanya pada anak, melainkan juga pada orang dewasa

(misalnya pencurian ringan, penggelapan ringan, perbuatan curang dan/atau penipuan

ringan) maupun anak-anak. Bahkan di beberapa Negara maju, korporasi yang melakukan

tindak pidana dapat juga diselesaikan dengan pendekatan keadilan restorative.50

Pengertian keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah

dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal

dari sistem peradilan dan proses hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan

ketika anak dalam posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum

ketika anak diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana.

51

49

Soedarmadji, Langkah-Langkah Penguatan Pelaksanaan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, 2009, hal. 5

Dalam

50

Ibid, hal. 3 51

(8)

penanganan anak bermasalah dengan hukum, konsep pendekatan Restorative Justice

System menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak.

Restorative Justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan

(to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat

bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan

dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta

belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Pada dasarnya

di dalam prinsip restorative justice terdapat upaya untuk mengajurkan rekonsiliasi,

restitusi dan pertanggungjawaban dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku atau

keluarga korban dan juga masyarakat. Tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaannya

adalah:52

a. Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermartabat dan bernilai. Mengubah pandangan dan perhatian anak terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan menjaga rasa tanggungjawab anak terhadap perbuatannya dan melindungi kepentingan korban dan masyarakat.

b. Mendukung rencana rekonsiliasi dan proses restorative justice.

c. Keterlibatan orang tua, keluarga, korban dan masyarakat dalam proses peradilan anak untuk mendukung reintegrasi anak dalam syarat yang ditentukan.

Di Indonesia, yang dimaksud Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah

suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan

pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari

52

(9)

penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana diatur dalam beberapa kebijakan

penegak hukum, diantaranya:

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan bahwa

persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November

1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.

3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak.

4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995

tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak

5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 antara DitBinRehSos Depsos RI dengan DitPas

DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan

dengan hukum

6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang

kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus

untuk anak yang akan disidangkan

7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan

mengutamakan putusan tindakan daripada penjara

8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan

Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi

(10)

9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008,

tanggal 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam

penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam

kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi

10. Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor : 12/PRS-

2/KPTS/2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Nomor

: M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI

Nomor 11/XII/KB/2009, DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06/XII/2009, DAN

KEPOLISIAN NEGARA RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan

Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum.

11. Surat Keputusan Bersama Ketua MAHKAMAH AGUNG RI, JAKSA AGUNG RI,

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI, MENTERI HUKUM DAN HAM RI,

MENTERI SOSIAL RI, MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN

PERLINDUNGAN ANAK RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148

A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO.

10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009

tentang PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM.

Selanjutnya keberadaan penggunanaan restorative justice melalui diversi di

Indonesia telah diakui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif

(11)

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa: “Pada tingkatan penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan

diversi”. Syarat atau kriteria tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selengkapnya berbunyi: “Diversi

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.

Perlu diperhatikan terkait diversi ini adalah faktor –faktor penggunaan diversi

dalam penyelesaian perkara pidana anak, dalam Undang –Undang No. 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dan dirumuskan dalam ketentuan Pasal 9

Ayat (1) Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi:

“Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus

mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan

dari Bapas; dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

G. Pengaturan Restorative Justice di dalam Hukum Pidana

Restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara yang dilakukan di

luar peradilan formal. Restorative justice mempunyai cara berfikr dan paradigma baru

dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia tanpa

(12)

dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku

dan masyarakat. Konsep restorative justice dimulai dan berawal dari pengertian bahwa

kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan

dengan pelanggaran/pengrusakan terhadap suatu norma hukum yang berlaku.53 Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merupakan perbuatan merusak tatanan hukum

(law breaking) yang telah dibuat negara, tapi juga merusak tatanan masyarakat (socienty

value), karena tindak kejahatan yang terjadi menyangkut kepentingan korban,

lingkungan, masyarakat luas dan negara. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Howard

Zehr pada Tahun 1990,54

Berdasarkan pandangan restorative justice bahwa penanganan kejahatan yang

terjadi bukan hanya menjadi tanggungjawab negara akan tetapi juga merupakan

tanggungjawab masyarakat. Konsep restorative justice dibangun berdasarkan pengertian

bahwa kejahatan yang telah menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik yang menerangkan bahwa kepentingan semua pihak yang

bersentuhan dengan pelanggaran tersebut harus dilibatkan secara aktif dalam proses

penyelesaian. Meskipun tindak pidana yang dilakukan telah merusak terhadap tatanan

nilai masyarakat, akan tetapi tetap yang menjadi sentral atau pokok permasalahan

terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah bahwa masalah pelanggaran yang terjadi

tersebut harus telah tercantum dalam hukum negara (legal state) dan tindakan tersebut

dinyatakan sebagai tindakan kejahatan/bersalah (guilty) dan dikenakan

pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

53

Ibid, hal.182 54

(13)

kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung oleh masyarakat.

Terhadap pandangan konsep restorative justice dalam pelaksanaannya memberikan

banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah

kriminal. Konsep restorative justice menjadi suatu kerangka berfikir dalam upaya untuk

mencari tentang adanya suatu alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana yang

terjadi. Alternatif penyelesaian yang dilakukan sebagai sebuah upaya penyelesaian yang

menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan.55

Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan)

dan diversi yang dilakukan oleh aparat penegaran hukum pada sistem peradilan pidana

(criminal justice system) dalam kerangka memfungsionalisasikan hukum pidana, hal ini

mengandung arti sebagai upaya untuk pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar

proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah

sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa

Indonesia sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak

membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat

diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau

pemulihan keadaan.

Penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam

kerangka menegakkan hukum pidana dengan pendekatan keadilan restorative

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu

55

(14)

tindak pidana sebagai syarat adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan

restorative sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana.

Restorative mensyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan

pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana

tersebut dalam masyarakat.

Sasaran akhir dari konsep restorative justice yakni berkontribusi terhadap

berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan stigma/cap dan

mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal; pelaku kejahatan dapat

menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi

beban kerja aparat penegak hukum dalam bingkai integrated criminal justice system dan

menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah

dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan

masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan

dalam masyarakat.

Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan

beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa,

konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi

dan pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan

(15)

Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara

pelanggaran hukum pidana.

Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam

menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya

diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol

adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat

menawarkan kompensasi yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban.

Keadilan dengan pendekatan restorative menjadi buah dari kesepakatan bersama antar

para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan

putusan hakim.

Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan pidana di dalam konsep hukum pidana sebagai berikut:

1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP) 3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan

“kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.

4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium. 5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan

dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

(16)

7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.56

Pengaturan hukum pidana di dalam KUHP dan KUHAP sendiri dalam kerangka

pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan sistem pemidanannya cenderung

menjadikan sanksi penjara sebagai primadona hukuman atas terpidana. Sanksi hukuman

lain hanya dianggap sebagai sanksi alternatif. Berdasarkan konsepsi pengaturan hukum

pidana di dalam KUHP dan KUHAP maka hakim-hakim yang mengadili kasus-kasus

pidana menjadikan penjara sebagai sanksi utamanya. Konsepsi keadilan yang diharapkan

dan diperlukan masyarakat, khususnya korban tindak pidana tersebut, adalah keadaan

yang semaksimal mungkin seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Penegakan hukum

yang sebaiknya di dalam sistem peradilan pidana terhadap tindak pidana yang

dikategorikan sebagai delik aduan, pelanggaran yang hanya diancam pidana denda dan

menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium dapat diterapkan konsep

restorative justice.57

Berdasarkan sudut pandang otologisme di dalam hukum sebagaimana

dikemukakn oleh Subekti yang dikutip oleh Waluyadi, menyatakan bahwa yang menjadi

sasaran atau tujuan dari hukum adalah hendaknya hukum tersebut mengabdi kepada

tujuan negara yang pada pokoknya mendatangkan kemakmuran dan kebangkitan pada

56

Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah Workshop, Jakarta, 18 Januari 2007, hal. 14

57

(17)

rakyatnya. 58 Selanjutnya Aristoteles, menyatakan bahwa yang menjadi tujuan hukum adalah dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat (manusia). 59

Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan

tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative

Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. Berdasarkan

kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin

keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban,

dan keadilan bagi masyarakat. Konsepsi berfikr inilah yang mendorong kedepan konsep

”restorative justice”. Kemudian Bagir Manan,

Berdasarkan

tujuan hukum yang dimukakan oleh Subekti, tersirat ada nilai-nilai Pancasila yang

terkandung di dalamnya. Kalimat ”. . . mengabdi pada tujuan negara demi kemakmuran

rakyat. . . . ” terdapat benang merah yang menghubungkan antara negara sebagai badan

hukum yang berwenang menyelenggarakan keadilan dan ketertiban dengan rakyat

sebagai pemberi kedaulatan kepada para wakil-wakil yang bertugas dalam sistem

pemerintahan Indonesia.

60

58

Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum dalam Perspektif Hukum Positif Hukum Positif, Djambatan, 2001, hal 44

dalam tulisannya juga, menguraikan

tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun

partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan

suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai

59

Ibid.

60

(18)

”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian

yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.

Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara

yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang

formal (kaku) dan impersonal dengan menggunakan pola sebelum dan sesudah proses

peradilan berjalan. Sebelum proses peradilan, dimaksudkan ketika ”perkara” tersebut

masih ditangan kepolisian atau kejaksaan. Baik atas inisiatif kepolisian, kejaksaan,

seseorang atau kelompok masyarakat, dilakukan upaya menyelesaikan perbuatan pidana

tersebut, dengan cara-cara atau prinsip pendekatan Restorative justice (keadilan

restoratif). Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan juga pada saat perkara

dilimpahkan ke Pengadilan. Hakim misalnya, dapat menganjurkan penyelesaian menurut

cara-cara dan prinsip Restorative Justice. Dimungkinkan juga ditengah proses peradilan

dapat ditempuh cara-cara penyelesaian menurut prinsip Restorative Justice. Apabila

dilihat dari posisi terdakwa dan korban, maka Restorative justice tidak lain dari suatu

bentuk mediasi yang bertujuan mencapai ”win-win solution” seperti dalam perkara

keperdataan.61

H. Pengaturan Restorative Justice di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

61

(19)

Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan

pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja

pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Restorative justice juga merupakan

suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak

pidana bagi penegak dan pekerja hukum.

Polri didalammenjalankan tugas kepolisian yang meliputi kegiatan kepolisian dan

operasional kepolisian diberikan kewenangan diskresi (discretionary power).

Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk

meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula

kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara sehingga pelaku tidak

perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.62

Diskresi bukan merupakan suatu kewenangan tetapi merupakan tindakan lain

kepolisian dan harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan norma-norma yang

berlaku ditengah-tengah masyarakat, Diskresi

62

Agus Adrianto, Op. cit, hal. 74

sangat rentan akan terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan sehingga perlu diberikan pengawasan yang jelas dan ketat

terhadap penerapannya. Diskresi yang ada pada tugas polisi dikarenakan pada saat polisi

menindak, lalu dihadapkan pada 2 (dua) macam pilihan apakah memprosesnya sesuai

(20)

mengenyampingkan perkara itu dalam arti mengambil tindakan diskresi kepolisian.

Tindakan diskresi ini mempunyai arti tidak melaksanakan tugas kewajibannya selaku

penegak hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan

oleh hukum. Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku, demi ketertiban atau karena

alasan-alasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-alasan inipun erat

kaitannya atau masuk dalam kerangka tugas preventif polisi.

Tindakan kepolisian yang berupa menindak (represif) yang kemudian dilanjutkan

dengan tindakan diskresi ini, disebut dengan tindakan diskresi kepolisian aktif.

Sedangkan keputusan kepolisian yang berupa sikap kepolisian yang umumnya mentolelir

(mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum disebut diskresi kepolisian

pasif. Penerapan Diskresi merupakan amanat yang dasarkan kepada Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Undang-Undang-Undang-Undang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, penerapan diskresi ini bertujuan untuk memelihara keamanan dan

ketertiban untuk tegaknya supremasi hukum guna melindungi hak asasi manusia. Dalam

melakukan tindakan diskresi agar tidak terjadi tindakan yang melampaui wewenang

(abuse of power) perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan diskresi

Konsep restorative justice ini menekankan bahwa penyelesaian perkara maupun

konflik yang timbul dari perkara hukum didasarkan atas partisipasi masyarakat. Kasus

yang melibatkan pelaku tidak selalu perlu diproses secara hukum, cukup diselesaikan

melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini diharapkan akan mengurangi tersebut

(21)

dampak dari kasus tersebut, sehingga berimplikasi pada Harkamtibmas dan kepentingan

umum, karena tentunya berdampak pada adanya rasa dendam, tidak jarang terjadi

”tawuran” antar kelompok, antar kampung, antar suku karena tidak ada penyelesaian

yang tuntas antara pelaku dengan pihak korban dan keluarganya serta lingkunganya,

meski terdakwa sudah dijatuhi hukuman.63

Payung hukum kehadiran Polri dalam konteks penyidikan untuk memberikan rasa

keadilan sering dikonstruksikan terkait tindakan kepolisian sebagaimana dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni

dalam redaksional “tindakan lain” yang ditendensikan kepada makna ”diskresi

kepolisian”. Penyidik kepolisian diberi kewenangan yang bersifat personal sebagaimana

yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) butir j Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981

tentang KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) butir 1 serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memberikan

kewenangan kepada penyidik Polri untuk “dapat mengambil tindakan lain” dengan

syarat-syarat tertentu dan hal ini adalah identik dengan pemaknaan dari diskresi

kepolisian.

64

63

Ibid, hal. 54

Diskresi kepolisian dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan:

64

(22)

“(1). Untuk kepentingan umum, pejabat kepolisian Negara republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainnya sendiri.

(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”.

Diskresi Kepolisian apabila dicermati dalam pasal selanjutnya di dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa

tugas pokok Polri dalam penyidikan merupakan bagian dari tugas Polri untuk melayani

masyarakat. Secara eksplisit dalam pasal 14 ayat 1 huruf k dijelaskan bahwa dalam

melaksankan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 (termasuk menegakkan

hukum), Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : memberikan pelayanan kepada

masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian. Beradasarkan

bunyi pasal tersebut diatas sebenarnya undang- undang sudah memberikan kewenangan

kepada Polri untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya. Hal ini senada dengan konsep implementasi restoratif justice.

I. Pengaturan Restorative Justice di dalam Kebijakan Internal Polri.

Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat

(1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber

(23)

memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak

menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara

ketertiban dan menjamin keamanan umum. Pelaksanaan tugas-tugas kepolisian banyak

sekali peraturan-peraturan yang berkaitan dengan petunjuk pelaksanaan tugas baik berupa

Perkap, SOP (Standing operation prosedur), Juklak, Juknis sehingga dalam pengambilan

keputusan untuk penerapan Diskresi ini agar benar-benar diberikan

pembatasan-pembatasan yang betul-betul mengikat sehingga penyimpangan hukum dalam

penerapan Diskresi

Kewenangan dalam penerapan

ini bisa diminimalisir terjadinya suatu penyimpangan hukum.

Diskresi ini didasarkan pada pertimbangan

keperluannya untuk tugas kewajiban (Flichtmassiges Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat

(1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan

kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu

digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18

ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam

pasal 31, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya

jaminan bahwa petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil

tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka

pelaksanaan tugasnya. Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

(24)

menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam

negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan

tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia”. Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak

menurut penilaiannya sendiri”.

Pasal 16 Ayat (1) huruf l merumuskan bahwa “dalam rangka menyelenggarakan

tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Selanjunya ayat (2)

merumuskan bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah

tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai

berikut: Pertama, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. Kedua, selaras dengan

kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan. Ketiga, harus patut,

masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. Keempat, pertimbangan yang

layak berdasarkan keadaan yang memaksa. Kelima, menghormati HAM.

Polri sudah mengagendakan implementasi restorative justice dalam rangka

memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Impelementasi restorative justice dapat

dilihat dari beberapa kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh Polri antara lain

Peraturan maupun Surat Telegram Kabagreskrim Polri terkait penerapan restorative

(25)

Polri Nomor: TR/1124/XI/2006. Kebijakan internal Polri menyangkut restorative justice

juga mengatur dalam kerangka penghentian perkara demi kepentingan umum di dalam

Surat Telegram Rahasia No.STR/583/VIII/2012 tentang penerapan Restorative Justice

dari Kabareskrim kepada para Dir Reskrimum, Dir Reskrimsus, dan Dir Resnarkoba di

seluruh Polda dengan mendasari Pasal 18 Undang- Undang Kepolisian yaitu “melakukan

tindakan atas penilaian sendiri didasarkan kepada pertimbangan manfaat serta resiko dari

tindakan tersebut dan betul-betul untuk kepentingan umum”. Upaya mencari dasar hukum

yang tepat ini kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing penyidik. Ada

yang menganggap bahwa dasar hukum penghentian penyidikan demi kepentingan umum

adalah tidak adanya cukup bukti karena korban, pelapor dan saksi-saksi mencabut

laporan dan seluruh keterangan yang telah diberikan kepada penyidik, ada juga yang

mendasari kepada konsep keadilan restoratif (RestorativeJustice) dan alternatif

penyelesaian perselisihan diluar peradilan (Alternative DisputeResolution).

J. Pengaturan Restorative Justice di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

Peraturan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindak pidana dengan nominal

kerugian 2,5 Juta rupiah ( dua juta limaratus rupiah) tidak perlu dilakukan penahanan

dan korbannya tidak boleh kasasi. Ketentuan norma ini merupakan terobosan hukum

yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ( bagian dari kuasa pemerintahan secara

(26)

masyarakatnya. semangat lahirnya Peraturan MA tersebut adalah agar tidak lagi terjadi

kriminalisasi terhadap kasus kasus ”kecil” yang kemudian memunculkan opini

masyarakat bahwa hukum tidak berpihak pada masyarakat kecil. Dengan adagium hukum

hanya tajam ke bawah namun tidak tajam ke atas.

Bertitik tolak dari keadaan bahwa peraturan hukum pidana (KUHP) yang berlaku

saat ini sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan aparat

penegak hukum juga tidak memiliki kemauan untuk menemukan hukum sehingga dalam

prakteknya masyarakat banyak mengkritik ketidak adilan dalam penanganan suatu

perkara pidana yang diajukan ke Pengadilan seperti kasus pencurian sandal, pencurian

semangka dan sebagainya.

Pada dasarnya yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan kenapa suatu

perkara yang dipandang kerugiannya sangat ringan akan tetapi oleh penyidik maupun

penuntut umum tetap diajukan untuk diproses secara biasa dan kepada tersangkan

dikenakan penahanan adalah karena jumlah kerugian yang ditimbulkan sebagai mana

yang diatur dalam pasal-pasal dari perkara tindak pidana ringan tersebut belum ada

penyesuaian sejak pertama sekali jumlah tersebut ditetapkan di dalam KUHP yang

diberlakukan di Indonesia sehingga praktis pada saat ini sudah tidak mungkin lagi ada

kerugian yang timbul sebagai akibat dari tindak pidana ringan senilai Rp 250,-(dua ratus

lima puluh rupiah). Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung baik penyidik maupun

penuntut umum sudah jarang mendakwa seseorang dengan pasal-pasal Tipiring yang

(27)

Kasus–kasus pidana yang pada dasarnya tergolong kepada tindak pidana ringan

tetapi diajukan ke persidangan dengan proses perkara secara biasa yang berakibat publik

memandang bahwa aparat penegak hukum khususnya para hakim di pengadilan tidak

mampu memberikan keadilan kepada masyarakat kelas bawah, maka Mahkamah Agung

RI selaku pemangku tertinggi di bidang kekuasaan kehakiman di Indonesia telah

menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.02 tahun 2012 untuk diterapkan oleh

semua aparat penegak hukum di Indonesia sebelum diselesaikannya rancangan KUHP

yang baru, agar perkara-perkara yang nilai kerugiannya di bawah Rp.2.500.000,-(dua juta

lima ratus ribu rupiah) tidak lagi diajukan melalui proses hukum secara biasa dan tidak

perlu lagi untuk di tahan selama proses hukum secara biasa dan tidak perlu lagi untuk

ditahan selama proses berjalan, sehingga tidak lagi menyinggung rasa keadilan

masyarakat dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan di tengah-tengah

masyarakat.

Pengadilan di dalam menjalankan tugasnya sebagai suatu lembaga peradilan

Negara tertinggi, Mahkamah Agung sering menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung

(Perma), antara lain Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Terdapat beberapa dasar pertimbangan

diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2012 ini, antara lain bahwa sejak tahun 1960 seluruh

nilai uang yang terdapat dalam KUHP belum pernah disesuaikan kembali. Implikasi yang

timbul yakni digunakannya pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362 KUHP

(28)

Konsideran dari Perma Nomor 2 Tahun 2012 juga menyatakan bahwa Perma ini

tidak bermaksud mengubah KUHP, Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian

nilai uang yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Penyesuaian ini

dimaksudkan untuk memudahkan aparat penegak hukum khususnya hakim dalam

kerangka memberikan keadilan terhadap perkara yang diadilinya. Berbagai pandangan

terhadap terbitnya Perma No. 2 Tahun 2012 bermunculan, bahkan Ketua Mahkamah

Agung yang baru sempat menyatakan kebingunannya atas respos publik. Sebelum

berlakunya Perma menyebutkan tindak pencurian ringan yang nilainya kurang dari Rp.

250,-, dengan Perma Nomor 2 Tahun 2012 diubah menjadi Rp. 2.500.000,-. Menurut

tokoh hukum Adnan Buyung Nasution1, hal ini merupakan terobosan yang cukup bagus

dari Mahkamah Agung. Langkah tersebut harus didorong langkah kongkrit. Adnan

Buyung Nasution, selaku konsultan hukum menyatakan sikap Mahkamah Agung

menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah respons yang terburu-buru atas

bermunculannya kasus-kasus seperti nenek Minah, pencurian segenggam merica oleh

seorang kakek, pencurian kartu perdana 10.000 oleh siswa SMP dan sebagainya.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan

Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) telah merubah batasan dalam perkara-perkara Tindak Pidana Ringan yang

semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000

(dua juta lima ratus ribu rupiah) dan juga mengatur tentang nominal uang terhadap

(29)

(seribu) kali, kecuali terhadap Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 303 bis ayat (1) dan

ayat (2) KUHP.

Sistem hukum pidana diharapkan dapat beradaptasi dengan nilai-nilai keadilan di

dalam masyarakat dengan adanya peraturan Mahkamah Agung ini. Peraturan Mahkamah

Agung ini merupakan langkah awal dan usaha yang hebat untuk memperbaharui Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah tidak relevan lagi dimasa sekarang, dan

diharapkan peraturan Mahakamah Agung ini dapat juga nantinya menjadi pedoman

Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal menangani kasus Tindak Pidana Ringan yang

berkaitan dengan Kejahatan terhadap harta benda. Terlepas dari ragam pandangan, sisi

yang menjadi pro kontra dari Perma No. 2 Tahun 2012 itu setidaknya termuat dalam

ketentuan Pasal 2 Perma No. 2 Tahun 2012 yang menyebutkan:

1. Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara.

2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-201 KUHAP.

3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 menuai pro-kontra.

Tentu saja pro-kontra itu tidak terlepas dari sisi pandang yang dijadikan pijakan.

Perdebatan atas Perma No. 2 Tahun 2012 itu belakangan tampak mengarah pada latar

belakang kelahiran Perma No. 2 Tahun 2012 itu sebagaimana dilansir sejumlah media,

(30)

perkara-perkara tindak pidana ringan (Tipiring). Secara teknis hukum yang dinamakan

dengan Tipiring adalah suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau

kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyak tujuh ribu lima ratus

rupiah dan penghinaan ringan. Oleh sebab itu subtansi Perma No. 2 Tahun 2012 itu

sebenarnya bukan pada nilai rupiahnya, tetapi pada tindak pidana yang ancaman

hukumnya paling lama 3 bulan dan itu yang tidak perlu ditahan. Pro-kontra yang terjadi

terhadap Perma No. 2 Tahun 2012 tentu akan bertemu simpulnya apabila telah membaca

secara lengkap Perma dimaksud. Namun selain itu menarik untuk disimak bahwa

penerbitan Perma No. 2 Tahun 2012 itu juga ditujukan untuk menghindari masuknya

perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah

masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana,

sebagaimana disampaikan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa yang antara lain

menyatakan bahwa:65

“Intinya, Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Tipiring yang perlu mendapat perhatian meliputi Pasal 364, 373, 384, 407 dan 482 KUHP. Nilai denda yang tertera dalam pasal-pasal ini tidak pernah diubah negara dengan menaikkan nilai uang. Harifin berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot pidananya. Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak lansung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja lebih efektif dan efisien. Upaya Mahkamah Agung melalui Perma No. 2 Tahun 2012 merupakan bagian dari reformasi peradilan pidana yang selama ini pengaturannya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan merupakan upaya percepatan terhadap proses

65

(31)

peradilan pidana. Namun, upaya tersebut seharusnya diimbangi dengan pengaturan perlindungan terhadap korban. Hal ini mengingat keberadaan korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses penanganan tindak pidana”.

.

Belakunya Perma No. 2 Tahun 2012 dengan tidak dimasukkannya tindak pidana

ringan ke pengadilan dan dibebaskannya pelaku (tidak ditahan), seharusnya perlu

dipikirkan nasib korbannya, bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan bila pelaku

tidak di proses hukum?". Mahkamah Agung seharusnya mengeluarkan peraturan lainnya

yang berpihak pada keadilan korban tindak pidana. Pendekatan perspektif restorative

justice seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan tindak pidana di

Referensi

Dokumen terkait

Metode belajar yang digunakan oleh guru menyampaikan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa agar tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya dalam proses

Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam melalui sumber dari wawancara oleh Bapak Mesnianto sebagai Pelaksana Seksi Pelayanan pada tanggal 25 Mei 2016 menyatakan bahwa

Skripsi dengan judul"Subjective Well Being Remaja Binaan yang Melakukan Sholat Dhuha (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Jombang)" yang ditulis oleh Nur Viawati

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori sastra lisan Albert B. Lord sebagai kerangka landasan teori penelitian. Pada dasarnya, teori sastra

Uji aktivitas antioksidan penangkap radikal dilakukan terhadap isolat yang telah diperoleh dan dilakukan dengan metode Kwon and Kim (2003) yaitu

Landasar teori yang digunakan penulis untuk menunjang penelitian ini akan membahas tentang teori investasi, investasi dibidang keuangan (finansial asset), risk and

Melalui proses dan pengalaman belajar yang dirancang dengan baik, peserta didik akan memperoleh pembelajaran tidak langsung ( indirect teaching ) berupa pengembangan

12.01.03.02.026 HERLINA HARAHAP Sibolga, 29 November 1983 √ DIII √ KANTOR SDA SDA PANDAN PANDAN JL.RIDWAN HUTAGALUNG.NO 11 A ANGGOTA.. RUMAH SDA SDA PANDAN LUBUK TUKKO