BAB II
PENGATURAN TERKAIT RESTORATIVE JUSTICE DI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
F. Pengaturan Restorative Justice terkait Peradilan Anak
Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk
menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan restoratif) adalah
alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif41 Restorative Justice (Keadilan Restoratif) bertujuan untuk memberdayakan para korban,
pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum,
dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki
kehidupan bermasyarakat.42 Adapun konsep restorative justice dapat dilihat dalam draft Declaraction of Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmer in
Criminal Matters, sebagai berikut:43
a. Program restorative justice berarti program yang menggunakan proses restorative atau mempunya maksud mencapai hasil restorative (restorative outcome).
41
G. Bazemore, & Schiff, M, Juvenile Justice Reform and Restorative Justice: Building Theory and Policy from Practice. Oregon: Willan Publishing, 2005, hal. 5
42
G. Pavlich, Towards An Ethics of Restorative Justice. In L. Walgrave (Ed.), Restorative Justice and The Law. Oregon: Willan Publishing, 2002, hal 1.
43
b. Restorative outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses restorative justice. Contoh: restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan mengembalikan korban dan/atau pelaku.
c. Restorative justice dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktif bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan dicampuri oleh pihak ketiga. Contoh proses restorative mediation, conferencing dan circles.
d. Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program restorative justice.
e. Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi partisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan.
M. Wright menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal
dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan
yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan
mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat
bila diperlukan.44 Menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep restorative justice harus memperhatikan beberapa hal yaitu:45
1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelanggaran hukum.
2. Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang
44
M., Wright, Victim-Offender Mediation as A Step Towards A Restorative Sistem of Justice. In H. Messmer & H.-U. Otto (Eds.), Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1992, hal. 525.
45
ada pada korban akibat dari criminal yang terjadi.
3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan masyarakat dan bukan didominasi oleh Negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan pelanggaran dari proses penyelesaian.
Konsep restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan
berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai Negara dan akar
budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan criminal jauh
sebelum dilaksanakannya sistem peradilan tradisional. Konsep restorative justice
berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu.46 Dalam perkembangan konsep restorative justice ini, pada dasarnya terdapat 5 (lima) prinsip
kunci dari restorative justice sebagaimana dikemukakan oleh Susan Sharpe yakni:47
1. Restorative justice invites full participation and consensus (restorative justice mengandung partisipasi penuh dan consensus), artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentigan mereka telah terganggu atau terkena imbas.
2. Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan). Sebuah pertanyaan penting tentang restorative justice adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya, mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku criminal dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan ketakutan, mereka butuh pemecahan masalah mengenai konflik apakah yang sebenarnya dialami atau terjadi padanya yang menjadi pemulaan sehingga dia terlibat atau bahkan melakukan kejahatan dan mereka butuh kesempatan untuk
46
Ibid, hal. 171 47
memperbaiki semuanya.
3. Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi.
4. Restorative justice seeks to recinite what has been devided (restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan criminal). Tindakan criminal telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini merupakan salah satu bahaya yang disebabkannya. Proses restorative justice berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam masyarakat. Prespektif restorative justice adalah julukan “korban” dan “pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau akibat yang menjadi objek penderita.
5. Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent further harms (restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan criminal berikutnya). Kejahatan memang menimbukan kerusakan dalam masyarakat, tapi selain daripada itu kejahatan juga membuka tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Karena pada dasarnya semua peristiwa kejahatan dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan di luar kehendak dari seseorang, sehingga terciptalah “korban”, “pelaku” dan perilaku criminal. Hal tersebut bisa juga disebabkan karena sistem yang ada dalam masyarakat yang mendukung terjadinya criminal seperti rasial, keadilan ekonomi, yang bahkan di luar perilaku seseorang pada dasarnya sama sekali. Oleh sebab itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan membuat tempat yang adil dan aman untuk hidup.
merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat Internasional
semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan pola pikir yang radikal
dalam menangani permasalahan anak yang bermasaah dengan hukum. Sistem peradilan
anak sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menekankan pada keadilan retributive (menekankan keadilan pada
pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar pemberian ganti rugi) hanya
memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada Aparat Penegak
Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim). Setelah lahirnya undang-undang tentang sistem
peradilan pidana anak maka konsepsi restorative justice telah diformulasikan perumusan
normanya di dalam undang-undang. Hal ini dilihat dari perumusan Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
menyatakan bahwa “keadilan restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak reehadap anak sebagai
pelaku maupun korban tindak pidana sedikit sekali diberikan kesempatan untuk
menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat
keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku sehingga
berimplikasi tindak kriminal yang dilakukan oleh anak semakin meningkat karena di
kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya. Menurut Jim Consedine, salah seorang
pelopor Restorative Justice dari New Zealand, berpendapat konsep keadilan retributif dan
restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan
perusakan harus digantikan oleh Restorative Justice (keadilan restorative) yang
berdasarkan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan dan
pengampunan.48
Sistem peradilan pidana anak Indonesia sebagaimana di atur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan salah
satu konkretisasi ide keadilan restroratif, karena dalam beberapa perkara dan untuk
kategori pelaku tentu penegak hukum diwajibkan melakukan kebijakan diversi.
Undang-undang tersebut sudah berlaku sejak 1 Agustus 2014. Dalam Undang-Undang ini di atur
tentang penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum baik melalui peradilan
pidana maupun diversi. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum harus
didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Pengertian frasa “terbaik bagi anak”
terkait dengan sifat anak baik fisik, psikis maupun sosial sehingga kepentingan anak satu
dengan lainnya tidak harus sama. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam praktik di Adapun tujuan hakiki yang ingin diwujudkan dalam pengaturan
restorative justice di dalam undang-undang adalah agar terciptanya moral justice dan
social justice dalam penegakan hukum selain mempertimbangkan legal justice. Dapat
pula diartikan terwujudnya keseimbangan di masyarakat pasca putusan hakim.
48
banyak Negara, peradilan anak seringkali menggunakan diversi untuk mendahului sistem
peradilan pidana anak. “The major goal of the first juvenile court’s, established at the
turn of the century, was to provide an alternative to and thereby divert youth from, the
criminal court”.49 Keadilan restorative merupakan suatu ide dan gerakan yang mengedepankan keadilan dalam prespektif pelaku dan keluarganya, korban dan
keluarganya, masyarakat dan pemangku kepentingan dalam rangka pemulihan keadaan
masing-masing. Karena itu, konsepsi pemikiran keadilan restorative (restorative justice)
menjadi salah satu upaya menjauhkan anak dalam sistem peradilan pidana yang tidak
perlu. Pendekatan ini mengutamakan penyelesaian tindak pidana di luar peradilan pidana.
Pendekatan tersebut bukan hanya pada anak, melainkan juga pada orang dewasa
(misalnya pencurian ringan, penggelapan ringan, perbuatan curang dan/atau penipuan
ringan) maupun anak-anak. Bahkan di beberapa Negara maju, korporasi yang melakukan
tindak pidana dapat juga diselesaikan dengan pendekatan keadilan restorative.50
Pengertian keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah
dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal
dari sistem peradilan dan proses hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan
ketika anak dalam posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum
ketika anak diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana.
51
49
Soedarmadji, Langkah-Langkah Penguatan Pelaksanaan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, 2009, hal. 5
Dalam
50
Ibid, hal. 3 51
penanganan anak bermasalah dengan hukum, konsep pendekatan Restorative Justice
System menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak.
Restorative Justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan
(to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat
bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan
dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta
belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Pada dasarnya
di dalam prinsip restorative justice terdapat upaya untuk mengajurkan rekonsiliasi,
restitusi dan pertanggungjawaban dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku atau
keluarga korban dan juga masyarakat. Tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaannya
adalah:52
a. Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermartabat dan bernilai. Mengubah pandangan dan perhatian anak terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan menjaga rasa tanggungjawab anak terhadap perbuatannya dan melindungi kepentingan korban dan masyarakat.
b. Mendukung rencana rekonsiliasi dan proses restorative justice.
c. Keterlibatan orang tua, keluarga, korban dan masyarakat dalam proses peradilan anak untuk mendukung reintegrasi anak dalam syarat yang ditentukan.
Di Indonesia, yang dimaksud Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah
suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan
pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari
52
penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana diatur dalam beberapa kebijakan
penegak hukum, diantaranya:
1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959, menyebutkan bahwa
persidangan anak harus dilakukan secara tertutup.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November
1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak.
4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995
tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 antara DitBinRehSos Depsos RI dengan DitPas
DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan
dengan hukum
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang
kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus
untuk anak yang akan disidangkan
7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan
mengutamakan putusan tindakan daripada penjara
8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi
9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008,
tanggal 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam
penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam
kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi
10. Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor : 12/PRS-
2/KPTS/2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Nomor
: M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI
Nomor 11/XII/KB/2009, DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06/XII/2009, DAN
KEPOLISIAN NEGARA RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum.
11. Surat Keputusan Bersama Ketua MAHKAMAH AGUNG RI, JAKSA AGUNG RI,
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI, MENTERI HUKUM DAN HAM RI,
MENTERI SOSIAL RI, MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148
A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO.
10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009
tentang PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM.
Selanjutnya keberadaan penggunanaan restorative justice melalui diversi di
Indonesia telah diakui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku efektif
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa: “Pada tingkatan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan
diversi”. Syarat atau kriteria tindak pidana yang dapat dilakukan diversi adalah
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selengkapnya berbunyi: “Diversi
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.
Perlu diperhatikan terkait diversi ini adalah faktor –faktor penggunaan diversi
dalam penyelesaian perkara pidana anak, dalam Undang –Undang No. 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dan dirumuskan dalam ketentuan Pasal 9
Ayat (1) Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi:
“Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan
dari Bapas; dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
G. Pengaturan Restorative Justice di dalam Hukum Pidana
Restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara yang dilakukan di
luar peradilan formal. Restorative justice mempunyai cara berfikr dan paradigma baru
dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang manusia tanpa
dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku
dan masyarakat. Konsep restorative justice dimulai dan berawal dari pengertian bahwa
kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan
dengan pelanggaran/pengrusakan terhadap suatu norma hukum yang berlaku.53 Pelanggaran yang dilakukan tidak hanya merupakan perbuatan merusak tatanan hukum
(law breaking) yang telah dibuat negara, tapi juga merusak tatanan masyarakat (socienty
value), karena tindak kejahatan yang terjadi menyangkut kepentingan korban,
lingkungan, masyarakat luas dan negara. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Howard
Zehr pada Tahun 1990,54
Berdasarkan pandangan restorative justice bahwa penanganan kejahatan yang
terjadi bukan hanya menjadi tanggungjawab negara akan tetapi juga merupakan
tanggungjawab masyarakat. Konsep restorative justice dibangun berdasarkan pengertian
bahwa kejahatan yang telah menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik yang menerangkan bahwa kepentingan semua pihak yang
bersentuhan dengan pelanggaran tersebut harus dilibatkan secara aktif dalam proses
penyelesaian. Meskipun tindak pidana yang dilakukan telah merusak terhadap tatanan
nilai masyarakat, akan tetapi tetap yang menjadi sentral atau pokok permasalahan
terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah bahwa masalah pelanggaran yang terjadi
tersebut harus telah tercantum dalam hukum negara (legal state) dan tindakan tersebut
dinyatakan sebagai tindakan kejahatan/bersalah (guilty) dan dikenakan
pertanggungjawaban pidana (criminal liability).
53
Ibid, hal.182 54
kerugian yang diderita oleh korban maupun kerugian yang ditanggung oleh masyarakat.
Terhadap pandangan konsep restorative justice dalam pelaksanaannya memberikan
banyak kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah
kriminal. Konsep restorative justice menjadi suatu kerangka berfikir dalam upaya untuk
mencari tentang adanya suatu alternatif penyelesaian terhadap kasus tindak pidana yang
terjadi. Alternatif penyelesaian yang dilakukan sebagai sebuah upaya penyelesaian yang
menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan.55
Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan)
dan diversi yang dilakukan oleh aparat penegaran hukum pada sistem peradilan pidana
(criminal justice system) dalam kerangka memfungsionalisasikan hukum pidana, hal ini
mengandung arti sebagai upaya untuk pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar
proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah
sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa
Indonesia sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak
membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat
diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau
pemulihan keadaan.
Penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam
kerangka menegakkan hukum pidana dengan pendekatan keadilan restorative
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu
55
tindak pidana sebagai syarat adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan
restorative sebagai nilai dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana.
Restorative mensyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan
pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana
tersebut dalam masyarakat.
Sasaran akhir dari konsep restorative justice yakni berkontribusi terhadap
berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan stigma/cap dan
mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal; pelaku kejahatan dapat
menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi
beban kerja aparat penegak hukum dalam bingkai integrated criminal justice system dan
menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah
dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan
masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan
dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan
beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa,
konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi
dan pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan
Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara
pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam
menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya
diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol
adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat
menawarkan kompensasi yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban.
Keadilan dengan pendekatan restorative menjadi buah dari kesepakatan bersama antar
para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan
putusan hakim.
Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan pidana di dalam konsep hukum pidana sebagai berikut:
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP) 3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan
“kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium. 5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan
dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.56
Pengaturan hukum pidana di dalam KUHP dan KUHAP sendiri dalam kerangka
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan sistem pemidanannya cenderung
menjadikan sanksi penjara sebagai primadona hukuman atas terpidana. Sanksi hukuman
lain hanya dianggap sebagai sanksi alternatif. Berdasarkan konsepsi pengaturan hukum
pidana di dalam KUHP dan KUHAP maka hakim-hakim yang mengadili kasus-kasus
pidana menjadikan penjara sebagai sanksi utamanya. Konsepsi keadilan yang diharapkan
dan diperlukan masyarakat, khususnya korban tindak pidana tersebut, adalah keadaan
yang semaksimal mungkin seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Penegakan hukum
yang sebaiknya di dalam sistem peradilan pidana terhadap tindak pidana yang
dikategorikan sebagai delik aduan, pelanggaran yang hanya diancam pidana denda dan
menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium dapat diterapkan konsep
restorative justice.57
Berdasarkan sudut pandang otologisme di dalam hukum sebagaimana
dikemukakn oleh Subekti yang dikutip oleh Waluyadi, menyatakan bahwa yang menjadi
sasaran atau tujuan dari hukum adalah hendaknya hukum tersebut mengabdi kepada
tujuan negara yang pada pokoknya mendatangkan kemakmuran dan kebangkitan pada
56
Mudzakkir, Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah Workshop, Jakarta, 18 Januari 2007, hal. 14
57
rakyatnya. 58 Selanjutnya Aristoteles, menyatakan bahwa yang menjadi tujuan hukum adalah dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat (manusia). 59
Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan
tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative
Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. Berdasarkan
kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin
keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban,
dan keadilan bagi masyarakat. Konsepsi berfikr inilah yang mendorong kedepan konsep
”restorative justice”. Kemudian Bagir Manan,
Berdasarkan
tujuan hukum yang dimukakan oleh Subekti, tersirat ada nilai-nilai Pancasila yang
terkandung di dalamnya. Kalimat ”. . . mengabdi pada tujuan negara demi kemakmuran
rakyat. . . . ” terdapat benang merah yang menghubungkan antara negara sebagai badan
hukum yang berwenang menyelenggarakan keadilan dan ketertiban dengan rakyat
sebagai pemberi kedaulatan kepada para wakil-wakil yang bertugas dalam sistem
pemerintahan Indonesia.
60
58
Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum dalam Perspektif Hukum Positif Hukum Positif, Djambatan, 2001, hal 44
dalam tulisannya juga, menguraikan
tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun
partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan
suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai
59
Ibid.
60
”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian
yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.
Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara
yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang
formal (kaku) dan impersonal dengan menggunakan pola sebelum dan sesudah proses
peradilan berjalan. Sebelum proses peradilan, dimaksudkan ketika ”perkara” tersebut
masih ditangan kepolisian atau kejaksaan. Baik atas inisiatif kepolisian, kejaksaan,
seseorang atau kelompok masyarakat, dilakukan upaya menyelesaikan perbuatan pidana
tersebut, dengan cara-cara atau prinsip pendekatan Restorative justice (keadilan
restoratif). Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan juga pada saat perkara
dilimpahkan ke Pengadilan. Hakim misalnya, dapat menganjurkan penyelesaian menurut
cara-cara dan prinsip Restorative Justice. Dimungkinkan juga ditengah proses peradilan
dapat ditempuh cara-cara penyelesaian menurut prinsip Restorative Justice. Apabila
dilihat dari posisi terdakwa dan korban, maka Restorative justice tidak lain dari suatu
bentuk mediasi yang bertujuan mencapai ”win-win solution” seperti dalam perkara
keperdataan.61
H. Pengaturan Restorative Justice di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
61
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja
pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Restorative justice juga merupakan
suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak
pidana bagi penegak dan pekerja hukum.
Polri didalammenjalankan tugas kepolisian yang meliputi kegiatan kepolisian dan
operasional kepolisian diberikan kewenangan diskresi (discretionary power).
Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk
meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula
kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara sehingga pelaku tidak
perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.62
Diskresi bukan merupakan suatu kewenangan tetapi merupakan tindakan lain
kepolisian dan harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan norma-norma yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat, Diskresi
62
Agus Adrianto, Op. cit, hal. 74
sangat rentan akan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan sehingga perlu diberikan pengawasan yang jelas dan ketat
terhadap penerapannya. Diskresi yang ada pada tugas polisi dikarenakan pada saat polisi
menindak, lalu dihadapkan pada 2 (dua) macam pilihan apakah memprosesnya sesuai
mengenyampingkan perkara itu dalam arti mengambil tindakan diskresi kepolisian.
Tindakan diskresi ini mempunyai arti tidak melaksanakan tugas kewajibannya selaku
penegak hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh hukum. Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku, demi ketertiban atau karena
alasan-alasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-alasan inipun erat
kaitannya atau masuk dalam kerangka tugas preventif polisi.
Tindakan kepolisian yang berupa menindak (represif) yang kemudian dilanjutkan
dengan tindakan diskresi ini, disebut dengan tindakan diskresi kepolisian aktif.
Sedangkan keputusan kepolisian yang berupa sikap kepolisian yang umumnya mentolelir
(mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum disebut diskresi kepolisian
pasif. Penerapan Diskresi merupakan amanat yang dasarkan kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Undang-Undang-Undang-Undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, penerapan diskresi ini bertujuan untuk memelihara keamanan dan
ketertiban untuk tegaknya supremasi hukum guna melindungi hak asasi manusia. Dalam
melakukan tindakan diskresi agar tidak terjadi tindakan yang melampaui wewenang
(abuse of power) perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan diskresi
Konsep restorative justice ini menekankan bahwa penyelesaian perkara maupun
konflik yang timbul dari perkara hukum didasarkan atas partisipasi masyarakat. Kasus
yang melibatkan pelaku tidak selalu perlu diproses secara hukum, cukup diselesaikan
melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini diharapkan akan mengurangi tersebut
dampak dari kasus tersebut, sehingga berimplikasi pada Harkamtibmas dan kepentingan
umum, karena tentunya berdampak pada adanya rasa dendam, tidak jarang terjadi
”tawuran” antar kelompok, antar kampung, antar suku karena tidak ada penyelesaian
yang tuntas antara pelaku dengan pihak korban dan keluarganya serta lingkunganya,
meski terdakwa sudah dijatuhi hukuman.63
Payung hukum kehadiran Polri dalam konteks penyidikan untuk memberikan rasa
keadilan sering dikonstruksikan terkait tindakan kepolisian sebagaimana dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni
dalam redaksional “tindakan lain” yang ditendensikan kepada makna ”diskresi
kepolisian”. Penyidik kepolisian diberi kewenangan yang bersifat personal sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) butir j Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981
tentang KUHAP dan Pasal 16 ayat (1) butir 1 serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memberikan
kewenangan kepada penyidik Polri untuk “dapat mengambil tindakan lain” dengan
syarat-syarat tertentu dan hal ini adalah identik dengan pemaknaan dari diskresi
kepolisian.
64
63
Ibid, hal. 54
Diskresi kepolisian dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan:
64
“(1). Untuk kepentingan umum, pejabat kepolisian Negara republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainnya sendiri.
(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”.
Diskresi Kepolisian apabila dicermati dalam pasal selanjutnya di dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa
tugas pokok Polri dalam penyidikan merupakan bagian dari tugas Polri untuk melayani
masyarakat. Secara eksplisit dalam pasal 14 ayat 1 huruf k dijelaskan bahwa dalam
melaksankan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 (termasuk menegakkan
hukum), Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : memberikan pelayanan kepada
masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian. Beradasarkan
bunyi pasal tersebut diatas sebenarnya undang- undang sudah memberikan kewenangan
kepada Polri untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya. Hal ini senada dengan konsep implementasi restoratif justice.
I. Pengaturan Restorative Justice di dalam Kebijakan Internal Polri.
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat
(1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber
memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak
menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum. Pelaksanaan tugas-tugas kepolisian banyak
sekali peraturan-peraturan yang berkaitan dengan petunjuk pelaksanaan tugas baik berupa
Perkap, SOP (Standing operation prosedur), Juklak, Juknis sehingga dalam pengambilan
keputusan untuk penerapan Diskresi ini agar benar-benar diberikan
pembatasan-pembatasan yang betul-betul mengikat sehingga penyimpangan hukum dalam
penerapan Diskresi
Kewenangan dalam penerapan
ini bisa diminimalisir terjadinya suatu penyimpangan hukum.
Diskresi ini didasarkan pada pertimbangan
keperluannya untuk tugas kewajiban (Flichtmassiges Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat
(1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan
kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu
digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18
ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam
pasal 31, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 sehingga terlihat adanya
jaminan bahwa petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia akan mampu mengambil
tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka
pelaksanaan tugasnya. Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia”. Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri”.
Pasal 16 Ayat (1) huruf l merumuskan bahwa “dalam rangka menyelenggarakan
tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Selanjunya ayat (2)
merumuskan bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah
tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai
berikut: Pertama, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum. Kedua, selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan. Ketiga, harus patut,
masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. Keempat, pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan yang memaksa. Kelima, menghormati HAM.
Polri sudah mengagendakan implementasi restorative justice dalam rangka
memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Impelementasi restorative justice dapat
dilihat dari beberapa kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh Polri antara lain
Peraturan maupun Surat Telegram Kabagreskrim Polri terkait penerapan restorative
Polri Nomor: TR/1124/XI/2006. Kebijakan internal Polri menyangkut restorative justice
juga mengatur dalam kerangka penghentian perkara demi kepentingan umum di dalam
Surat Telegram Rahasia No.STR/583/VIII/2012 tentang penerapan Restorative Justice
dari Kabareskrim kepada para Dir Reskrimum, Dir Reskrimsus, dan Dir Resnarkoba di
seluruh Polda dengan mendasari Pasal 18 Undang- Undang Kepolisian yaitu “melakukan
tindakan atas penilaian sendiri didasarkan kepada pertimbangan manfaat serta resiko dari
tindakan tersebut dan betul-betul untuk kepentingan umum”. Upaya mencari dasar hukum
yang tepat ini kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing penyidik. Ada
yang menganggap bahwa dasar hukum penghentian penyidikan demi kepentingan umum
adalah tidak adanya cukup bukti karena korban, pelapor dan saksi-saksi mencabut
laporan dan seluruh keterangan yang telah diberikan kepada penyidik, ada juga yang
mendasari kepada konsep keadilan restoratif (RestorativeJustice) dan alternatif
penyelesaian perselisihan diluar peradilan (Alternative DisputeResolution).
J. Pengaturan Restorative Justice di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012
Peraturan Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindak pidana dengan nominal
kerugian 2,5 Juta rupiah ( dua juta limaratus rupiah) tidak perlu dilakukan penahanan
dan korbannya tidak boleh kasasi. Ketentuan norma ini merupakan terobosan hukum
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ( bagian dari kuasa pemerintahan secara
masyarakatnya. semangat lahirnya Peraturan MA tersebut adalah agar tidak lagi terjadi
kriminalisasi terhadap kasus kasus ”kecil” yang kemudian memunculkan opini
masyarakat bahwa hukum tidak berpihak pada masyarakat kecil. Dengan adagium hukum
hanya tajam ke bawah namun tidak tajam ke atas.
Bertitik tolak dari keadaan bahwa peraturan hukum pidana (KUHP) yang berlaku
saat ini sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan aparat
penegak hukum juga tidak memiliki kemauan untuk menemukan hukum sehingga dalam
prakteknya masyarakat banyak mengkritik ketidak adilan dalam penanganan suatu
perkara pidana yang diajukan ke Pengadilan seperti kasus pencurian sandal, pencurian
semangka dan sebagainya.
Pada dasarnya yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan kenapa suatu
perkara yang dipandang kerugiannya sangat ringan akan tetapi oleh penyidik maupun
penuntut umum tetap diajukan untuk diproses secara biasa dan kepada tersangkan
dikenakan penahanan adalah karena jumlah kerugian yang ditimbulkan sebagai mana
yang diatur dalam pasal-pasal dari perkara tindak pidana ringan tersebut belum ada
penyesuaian sejak pertama sekali jumlah tersebut ditetapkan di dalam KUHP yang
diberlakukan di Indonesia sehingga praktis pada saat ini sudah tidak mungkin lagi ada
kerugian yang timbul sebagai akibat dari tindak pidana ringan senilai Rp 250,-(dua ratus
lima puluh rupiah). Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung baik penyidik maupun
penuntut umum sudah jarang mendakwa seseorang dengan pasal-pasal Tipiring yang
Kasus–kasus pidana yang pada dasarnya tergolong kepada tindak pidana ringan
tetapi diajukan ke persidangan dengan proses perkara secara biasa yang berakibat publik
memandang bahwa aparat penegak hukum khususnya para hakim di pengadilan tidak
mampu memberikan keadilan kepada masyarakat kelas bawah, maka Mahkamah Agung
RI selaku pemangku tertinggi di bidang kekuasaan kehakiman di Indonesia telah
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.02 tahun 2012 untuk diterapkan oleh
semua aparat penegak hukum di Indonesia sebelum diselesaikannya rancangan KUHP
yang baru, agar perkara-perkara yang nilai kerugiannya di bawah Rp.2.500.000,-(dua juta
lima ratus ribu rupiah) tidak lagi diajukan melalui proses hukum secara biasa dan tidak
perlu lagi untuk di tahan selama proses hukum secara biasa dan tidak perlu lagi untuk
ditahan selama proses berjalan, sehingga tidak lagi menyinggung rasa keadilan
masyarakat dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan di tengah-tengah
masyarakat.
Pengadilan di dalam menjalankan tugasnya sebagai suatu lembaga peradilan
Negara tertinggi, Mahkamah Agung sering menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma), antara lain Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Terdapat beberapa dasar pertimbangan
diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2012 ini, antara lain bahwa sejak tahun 1960 seluruh
nilai uang yang terdapat dalam KUHP belum pernah disesuaikan kembali. Implikasi yang
timbul yakni digunakannya pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362 KUHP
Konsideran dari Perma Nomor 2 Tahun 2012 juga menyatakan bahwa Perma ini
tidak bermaksud mengubah KUHP, Mahkamah Agung hanya melakukan penyesuaian
nilai uang yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Penyesuaian ini
dimaksudkan untuk memudahkan aparat penegak hukum khususnya hakim dalam
kerangka memberikan keadilan terhadap perkara yang diadilinya. Berbagai pandangan
terhadap terbitnya Perma No. 2 Tahun 2012 bermunculan, bahkan Ketua Mahkamah
Agung yang baru sempat menyatakan kebingunannya atas respos publik. Sebelum
berlakunya Perma menyebutkan tindak pencurian ringan yang nilainya kurang dari Rp.
250,-, dengan Perma Nomor 2 Tahun 2012 diubah menjadi Rp. 2.500.000,-. Menurut
tokoh hukum Adnan Buyung Nasution1, hal ini merupakan terobosan yang cukup bagus
dari Mahkamah Agung. Langkah tersebut harus didorong langkah kongkrit. Adnan
Buyung Nasution, selaku konsultan hukum menyatakan sikap Mahkamah Agung
menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 adalah respons yang terburu-buru atas
bermunculannya kasus-kasus seperti nenek Minah, pencurian segenggam merica oleh
seorang kakek, pencurian kartu perdana 10.000 oleh siswa SMP dan sebagainya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) telah merubah batasan dalam perkara-perkara Tindak Pidana Ringan yang
semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000
(dua juta lima ratus ribu rupiah) dan juga mengatur tentang nominal uang terhadap
(seribu) kali, kecuali terhadap Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 303 bis ayat (1) dan
ayat (2) KUHP.
Sistem hukum pidana diharapkan dapat beradaptasi dengan nilai-nilai keadilan di
dalam masyarakat dengan adanya peraturan Mahkamah Agung ini. Peraturan Mahkamah
Agung ini merupakan langkah awal dan usaha yang hebat untuk memperbaharui Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah tidak relevan lagi dimasa sekarang, dan
diharapkan peraturan Mahakamah Agung ini dapat juga nantinya menjadi pedoman
Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal menangani kasus Tindak Pidana Ringan yang
berkaitan dengan Kejahatan terhadap harta benda. Terlepas dari ragam pandangan, sisi
yang menjadi pro kontra dari Perma No. 2 Tahun 2012 itu setidaknya termuat dalam
ketentuan Pasal 2 Perma No. 2 Tahun 2012 yang menyebutkan:
1. Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara.
2. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-201 KUHAP.
3. Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 menuai pro-kontra.
Tentu saja pro-kontra itu tidak terlepas dari sisi pandang yang dijadikan pijakan.
Perdebatan atas Perma No. 2 Tahun 2012 itu belakangan tampak mengarah pada latar
belakang kelahiran Perma No. 2 Tahun 2012 itu sebagaimana dilansir sejumlah media,
perkara-perkara tindak pidana ringan (Tipiring). Secara teknis hukum yang dinamakan
dengan Tipiring adalah suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyak tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan. Oleh sebab itu subtansi Perma No. 2 Tahun 2012 itu
sebenarnya bukan pada nilai rupiahnya, tetapi pada tindak pidana yang ancaman
hukumnya paling lama 3 bulan dan itu yang tidak perlu ditahan. Pro-kontra yang terjadi
terhadap Perma No. 2 Tahun 2012 tentu akan bertemu simpulnya apabila telah membaca
secara lengkap Perma dimaksud. Namun selain itu menarik untuk disimak bahwa
penerbitan Perma No. 2 Tahun 2012 itu juga ditujukan untuk menghindari masuknya
perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah
masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana,
sebagaimana disampaikan Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa yang antara lain
menyatakan bahwa:65
“Intinya, Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Tipiring yang perlu mendapat perhatian meliputi Pasal 364, 373, 384, 407 dan 482 KUHP. Nilai denda yang tertera dalam pasal-pasal ini tidak pernah diubah negara dengan menaikkan nilai uang. Harifin berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot pidananya. Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak lansung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja lebih efektif dan efisien. Upaya Mahkamah Agung melalui Perma No. 2 Tahun 2012 merupakan bagian dari reformasi peradilan pidana yang selama ini pengaturannya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan merupakan upaya percepatan terhadap proses
65
peradilan pidana. Namun, upaya tersebut seharusnya diimbangi dengan pengaturan perlindungan terhadap korban. Hal ini mengingat keberadaan korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses penanganan tindak pidana”.
.
Belakunya Perma No. 2 Tahun 2012 dengan tidak dimasukkannya tindak pidana
ringan ke pengadilan dan dibebaskannya pelaku (tidak ditahan), seharusnya perlu
dipikirkan nasib korbannya, bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan bila pelaku
tidak di proses hukum?". Mahkamah Agung seharusnya mengeluarkan peraturan lainnya
yang berpihak pada keadilan korban tindak pidana. Pendekatan perspektif restorative
justice seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan tindak pidana di