• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Acne Vulgaris Pada Siswa I Di 3 Sma Kecamatan Medan Baru, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Acne Vulgaris Pada Siswa I Di 3 Sma Kecamatan Medan Baru, Medan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Acne Vulgaris

Menurut Harahap (1998), Acne vulgaris merupakan peradangan kronik folikel pilosebacea yang ditandai dengan adanya comedone, papula, pustula, dan kista pada lokasi predileksinya, misalnya wajah, bahu, ekstremitas superior bagian atas, dada, dan punggung. Sekitar 85% remaja mengalami mengalami acne minor atau suatu bentuk acne yang ringan; sisanya menderita acne major atau bentuk

acne yang cukup hebat sehingga menyebabkan mereka berobat ke dokter.

Umumnya, penyakit ini dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2010) dan dapat menghilang sendiri pada usia sekitar 20-30 tahun (Stawiski, 2003). Kendati demikian, banyak pula orang setengah baya yang mengalami acne (Stawiski, 2005). Biasanya, insidens pada wanita terjadi pada sekitar usia 14-17 tahun, sedangkan pada pria sekitar usia 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2010).

Gambaran klinis acne vulgaris sering polimorfik, dimana dapat dapat terjadi berbagai kelainan kulit seperti komedo, papul, pustul, nodus, serta jaringan parut yang terjadi karena kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipertrofik maupun yang hipotrofik (Wasitaatmadja, 2010).

Acne dan bentuk acne yang lain (acnelike atau acneiform) terjadi pada usia

yang berbeda-beda, termasuk pada neonatus, bayi, anak-anak, dan dapat dikaitkan dengan diagnosis banding ataupun kelainan patologis sistemik lainnya diluar kategori usia remaja (Eichenfield et al., 2013).

2.2. Klasifikasi dan Grading Acne

Walaupun terdapat beberapa sistem untuk menilai tingkat keparahan acne, hingga saat ini belum ada standard yang dipakai secara universal. Terdapat beberapa pengelompokkan jenis klasifikasi, yaitu berdasarkan tingkat keseluruhan (overall grading), penghitungan lesi, dan fotografi (Harahap, 1998).

(2)

(AAD) menganut sistem klasifikasi acne vulgaris menjadi 3 derajat dan merupakan sistem yang paling mudah digunakan, yaitu :

1. Derajat ringan : kasus yang terdapat sedikit atau beberapa papul dan pustul, tetapi tidak terdapat nodul

2. Derajat sedang : kasus yang dominan papul dan pustul, dengan sedikit nodul

3. Derajat berat : kasus yang mempunyai papul dalam jumlah banyak, pustul, dan nodul.

2.3. Faktor Risiko Acne Vulgaris

Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian acne vulgaris adalah sebagai berikut :

1. Genetik 2. Usia

3. Jenis kelamin 4. Diet

5. Iklim 6. Merokok 7. Stres

8. Kebersihan wajah (Pindha, 2004)

2.3.1. Faktor Genetik

Pada patogenesis acne, perangsangan fibroblast growth factor receptor (FGFR) 2 tampak berperan (Kurokawa et al., 2009). Stimulasi

androgen-dependent FGFR2b dikaitkan dengan terjadinya pembentukan acne (Melnik et al.,

2008). Mutasi dari Ser252Trp-FGFR2 dengan peningkatan stimulasi FGFR2 juga dikaitkan dengan peningkatan ekspresi IL-1α (Lomri et al., 2001). Pada penderita

acne didapatkan tingginya IL-1α, dimana IL-1α dilaporkan menyebabkan hiperkornifikasi infundibulum folikular (Ingham et al, 1992; Guy et al., 1996).

(3)

dari mikrosatelit polimorfik yang tersusun atas pengulangan variabel cytosine

adenosine (CA) yang terletak pada regio promoter 1-kb upstream dari tempat

transkripsi IGF-1. Terdapat hubungan antara polimorfisme IGF-1 (CA) dengan IGF-1 yang berada di sirkulasi. Genotipe polimorfisme IGF-1 (CA) menghasilkan 3 kemungkinan genotipe, yaitu lebih rendah dari 192 bp, 192-194 bp, dan lebih tinggi dari 194 bp (Tasli et al., 2013). Carrier alel 192bp dan/atau 194bp dari promoter IGF-1 mempunyai IGF-1 sirkulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang non-carrier (Kursunluoglu et al., 2009).

IGF-1 meningkatkan lipogenesis di SEB-1 sebocyte (Smith T. et al., 2008). Berdasarkan penelitian Tasli et al. (2013), didapatkan data bahwa carrier 192-194 lebih tinggi pada grup acne daripada grup kontrol, juga lebih tinggi frekuensinya pada penderita acne derajat berat daripada acne derajat ringan-sedang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa polimorfisme IGF-1 berperan pada pembentukan acne dan derajat keparahan acne.

Salah satu mediator inflamasi yang mencetuskan terjadinya acne adalah

metalloproteinases (MMPs). MMPs adalah zinc-dependent extracellular proteinases. MMPs terlibat dalam fungsi biologis normal, termasuk morfogenesis,

penyembuhan luka, dan angiogenesis. Aktivitas MMPs diregulasi oleh tissue

inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) (Yaykasli et al., 2013). MMPs dan

TIMPs berperan penting dalam remodelling matriks ekstraseluler (ECM) dan penyakit inflamasi, misalnya acne, yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara MMPs dan TIMPs (Philips et al., 2011).

Adanya riwayat keluarga yang mengalami acne meningkatkan resiko dua kali lipat (Ghodsi et al., 2009). Acne dapat terjadi pada usia yang lebih muda dan lebih comedonal pada anak berkulit hitam daripada berkulit putih, kemungkinan karena onset pubertas yang lebih cepat (Do et al., 2009).

2.3.2. Usia

(4)

mengalami acne. Saat usia 45 tahun, hanya 5% perempuan dan laki-laki yang masih mengalami acne. Acne vulgaris dapat terjadi pada beberapa minggu dan bulan pertama kehidupan, karena neonatus masih dipengaruhi hormon maternal dan ketika androgen-producing portion terdapat secara disproporsional dalam jumlah besar di kelenjar adrenal (Raza et al., 2012).

Acne biasanya mulai terjadi pada awal pubertas dengan peningkatan produksi minyak di wajah dan comedones di pertengahan wajah, yang diikut i dengan lesi inflamasi. Onset awal acne, khususnya sebelum usia 12 tahun, biasanya lebih comedonal daripada inflamasi, mungkin karena pada usia tersebut belum terbentuk cukup sebum untuk mendukung P. acnes dalam jumlah besar (Williams et al., 2011). Pada usia diatas 20 tahun, terdapat penurunan acne secara bertahap. Acne inflamasi derajat ringan menurun atau bahkan menghilang saat usia remaja. Cytokines yang menginduksi perubahan comedogenic di infundibulum folikular juga dapat berperan dalam inhibisi sekresi lipid pada kelenjar sebaceous, yang mengakibatkan remisi pada lesi acne (Downie et al., 2002).

2.3.3. Jenis Kelamin

Acne vulgaris sering terjadi pada wanita usia dibawah 14 tahun dan

laki-laki diatas 14 tahun. Pada wanita, keparahannya semakin meningkat seiring meningkatnya usia (Wu et al., 2007 dalam Munawar et al., 2009). Pada wanita, menstruasi dapat mempengaruhi acne, sekitar 60-70% acne yang diderita menjadi lebih parah beberpa hari sebelum menstruasi dan menetap hingga seminggu setelah menstruasi (Pindha, 2004). Pada usia remaja, acne lebih sering terjadi pada wanita terutama setelah onset pubertas dimulai. Sedangkan, pada usia diatas 20 tahun, acne pada wanita semakin berkurang. Gambaran klinis acne bervariasi tergantung pada umur dan jenis kelamin penderita (E.Xhauflaire-Uhoda et al., 2006 dalam Munawar et al., 2009).

(5)

hormon androgen yang meningkat selama masa pubertas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Raza et al. (2012) juga dikatakan bahwa acne vulgaris lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan selama masa remaja dan saat dewasa lebih sering terjadi pada perempuan.

2.3.4. Diet

Berbagai kontroversi mengenai makanan yang dapat menyebabkan acne, hingga saat ini masih dalam penelitian. Seringnya konsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat dengan indeks glikemik yang tinggi pada remaja dapat menimbulkan risiko hiperinsulinemia akut sehingga mempengaruhi pertumbuhan epitel folikular, keratinisasi dan sekresi sebaceous (Costa et al., 2010).

Makanan barat yang dikaitkan dengan peningkatan beban glikemik, dapat memodulasi lesi acne dengan mengubah konsentrasi insulin di serum dan melalui aktivitas IGF-1, myogen stimulating proliferatin of cells di duktus ekskretori kelenjar sebaceous, IGF-binding protein-3, dan retinoid signalling pathway. Hiperinsulinemia dapat menyebabkan kenaikan kadar IGF-1 dan bersamaan dengan penurunan IGF-1-binding protein, yang mengkontribusi hiperproliferasi

keratinocyte. Telah dibukt ikan bahwa IGF-1 meningkatkan konsentrasi androgen,

dan androgen meningkatkan kadar IGF-1, yang menghasilkan lingkaran setan dan menstimulasi produksi sebum secara konstan (Wyrzykowska et al., 2013).

Penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan susu dan acne (Knutsen-Larson et al., 2012). Hal ini didasarkan pada tingginya kadar IGF-1 di susu yang menyebabkan peningkatan androgen di sirkulasi (Bowe et al., 2010). Produk susu berisi molekul 5α-reduced steroid yang merupakan prekursor DHT

yang akan menstimulasi unit pilosebaceous sehingga terjadi hiperkeratinisasi dan produksi sebum, sehingga blokade enzim 5α-reductase bukan menjadi tujuan

manajemen acne (A.Darling et al., 1974 dalam Bowe et al., 2010).

(6)

kenaikan bioavailabilitas androgen. Baik IGF-1 maupun androgen sama-sama meningkatkan produksi sebum yang terlibat dalam patogenesis acne (Bowe et al., 2010).

Produk susu mengandung progesteron plasenta dan prekursor hormon

dihydrotestosterone, misalnya 5α-pregnanedione dan 5α-androstenedione, yang

merupakan faktor acnegenic. Berbagai hormon dan zat kimia lain terdapat dalam susu, tetapi IGF-1 dan hormon steroid mempunyai pengaruh terbesar dalam patogenesis acne, khususnya disfungsi unit pilosebaceous (Wyrzykowska et al., 2013). Keseluruhan substansi yang terdapat dalam susu merupakan zat yang memicu pertumbuhan dan meningkatkan produksi sebum (Raza et al., 2012).

Pada penelitian yang dilakukan pada 1200 orang, termasuk 300 orang berusia 15-25 tahun, di Pulau Kitava di New Guinea dan 115 orang di Paraguay tidak didapatkan adanya kasus acne. Masyarakat Pulau Kitava mengkonsumsi makanan kebanyakan hanya buah, ikan, dan kelapa. Masyarakat Paraguay umumnya mengkonsumsi hasil pertanian mereka, jagung, dan nasi. Sehingga dapat diasumsikan bahwa rendahnya insiden acne di daerah tersebut, tidak hanya berhubungan dengan faktor genetik, tetapi juga dengan lingkungan, khususnya makanan dengan indeks glikemik yang rendah (Wyrzykowska et al., 2013).

Efek coklat terhadap produksi cytokine diinduksi oleh P. acnes, dan

S.aureus, dua organisme yang terlibat dalam patogenesis dan komplikasi acne.

Coklat mempunyai efek stimulasi cytokines proinflamasi, misalnya TNF-α dan IL-1b, yang diinduksi oleh P. acnes. Coklat meningkatkan produksi cytokine anti-inflamasi IL-10 dan menurunkan produksi IL-22, yang diinduksi oleh S.aureus (Witte et al., 2010). IL-10 berfungsi memodulasi cytokine yang dapat menurunkan pertahanan tubuh melawan S. aureus, sedangkan IL-22 menginduksi produksi

defensins dari sel epitel. Konsumsi coklat dapat memfasilitasi suprainfeksi lesi acne akibat S. aureus, yang kemudian akan memperberat lesi di kulit dan

memperlambat proses penyembuhan (Netea et al., 2013).

(7)

dewasa muda yang mengkonsumsi produk coklat (rata-rata 28% lebih tinggi). Kadar tertinggi didapatkan pada pasien yang mengkonsumsi coklat susu (rata-rata 48% lebih tinggi dibandingkan dengan susu murni), dan susu yang mengandung coklat hitam dibandingkan dengan coklat putih didapatkan 13% lebih tinggi. Hal tersebut mungkin terjadi karena coklat mengandung bahan-bahan yang secara biologis aktif, seperti kafein, teobromine, serotonin, phenylethylamine, trigliserida, dan cannabinoid-like fatty acids, yang meningkatkan sekresi dan resistensi perifer dari insulin. Terlebih lagi, coklat mengandung asam amino (misalnya, arginine, leucine, dan phenylalanine) yang mempunyai sifat

insulinotropic ketika dimakan bersama karbohidrat. Asam amino lain, seperti valine, lysine, dan isoleucine juga terdapat pada makanan lain khususnya makanan

yang kaya akan laktosa, juga mempunyai sifat tersebut (Costa et al., 2010).

Mengkonsumsi ikan dan makanan laut lainnya dapat menurunkan insiden

acne karena makanan tersebut kaya akan asam lemak omega-3. Asam lemak

omega-3 terbukti merupakan leukotriene B4-inhibitor, yang kemudian menurunkan produksi sebum dan memperbaiki konsisi inflamasi acne. Makanan tersebut juga kaya akan asam lemak polyunsaturated. Kedua asam lemak tersebut telah diketahui menurunkan kadar androgen (Raza et al., 2012).

Makanan yang kaya akan serat dan rendah lemak juga mengkontribusi penurunan produksi sebum. Konsumsi makanan yang mengandung 30% serat per hari dilaporkan terjadi penurunan acne, dan hal ini mungkin terjadi karena rendahnya beban glikemik yang terkandung di dalamnya (Raza et al., 2012).

2.3.5. Merokok

Sebocytes yang matang maupun yang belum berdiferensiasi

(8)

tersebut menandakan peran penting dari sistem kolinergik pada acne vulgaris (A.Hana et al., 2007 dalam Kurokawa et al., 2009).

Nikotin dan komponen lain dari rokok dapat menginduksi perubahan mikrosirkulasi akibat terjadinya vasokonstriksi dan hipoksemia, serta adanya efek inhibisi kemotaksis neutrofil dan limfosit yang berperan penting dalam perubahan komposisi sebum (Capitanio et al., 2009). Tetapi, merokok dapat meningkatkan stres oksidatif dan menurunkan kadar α-tocopherol dalam plasma (Handelman et al., 1994). Stres oksidatif tersebut juga mengakibatkan rendahnya kadar α -tocopherol dalam sebum, yang berfungsi sebagai antioksidan utama di permukaan

kulit (Passi et al., 2002) . Penderita yang mengalami acne, memiliki peroksidasi lipid yang lebih tinggi (Zouboulis et al., 2003). Diantara lipid yang telah mengalami proses peroksidasi, squalene merupakan lipid yang paling penting, karena mempunyai efek hiperproliferasi pada keratinocyte. Semakin rendahnya α -tocopherol, semakin meningkat squalene peroxide pada sebum perokok.

Sehingga, merokok dapat mengakibatkan produksi reactive oxygen species (ROS) (Capitanio et al., 2009).

Beberapa peneliti menyatakan bahwa merokok mempunyai efek anti-inflamasi dalam patogenesis acne dan tembakau mempunyai peran protektif terhadap munculnya penyakit ini. Tetapi, pada penelitian lain mengatakan merokok meningkatkan risiko kejadian acne vulgaris (Mannocci et al., 2012). Petrou (2009) dalam Mannocci (2010) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara durasi merokok dan dan derajat keparahan acne. Perbedaan perokok berat dan ringan dikaitkan dengan efek nikotin pada nicotinic cholinergic

receptors. Pada dosis rendah, nikotin menstimulasi reseptor acethylcholine,

sedangkan pada dosis tinggi nikotin memblok reseptor tersebut secara selektif. Nikotin meningkatkan adhesi, diferensiasi, dan apoptosis keratinocyte, serta menginhibisi migrasi keratinocyte. Nikotin juga mengubah respon imun melalui interaksi dengan sel T. Di sisi lain, nikotin memperparah keadaan inflamasi

(9)

2.3.6. Kebersihan Wajah

Mencuci wajah berlebihan dapat menyebabkan hilangnya minyak di permukaan wajah yang akan menyebabkan kekeringan pada wajah, sehingga menstimulasi produksi minyak lebih banyak (Magin et al., 2005). Membersihkan wajah dua kali sehari dengan pembersih yang ringan dan dengan PH yang seimbang direkomendasikan untuk kulit yang memiliki acne (Ray et al., 2013; Eichenfield et al., 2013). Membersihkan wajah berlebihan, menggunakan scrub, atau menggunakan pembersih yang kuat atau produk astringent (toner dengan alkohol) dapat mengiritasi kulit sehingga dapat memperparah kejadian acne (Ray

et al., 2013). Tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Al-Kubaisy et al.

(2014), didapatkan prevalensi yang rendah pada responden yang mencuci muka lebih dari lima kali sehari.

2.3.7. Kuantitas Tidur

Kortisol merupakan hormon stres yang dihasilkan oleh aksis adrenal (Khani et al., 2001). Beberapa penelitian menunjukkan pembatasan jumlah jam tidur dapat meningkatkan kadar kortisol plasma selama sore dan menjelang pagi hari. Efek kurang tidur pada aksis adrenal, khususnya sebagai respon stres dapat mengakibatkan perubahan metabolisme glukosa yang langsung bekerja pada kelenjar adrenal ataupun secara tidak langsung melalui perubahan hormon pituitari, misalnya ACTH. Leptin merupakan adipokine yang bekerja sebagai sinyal kenyang (Mantzoros et al., 2011). Kurang tidur dapat menurunkan kadar leptin dan meningkatkan rasa lapar dan nafsu makan. Penurunan kadar leptin dapat memperburuk sensitivitas insulin, meningkatkan lipid di sirkulasi, sehingga dapat mengakibatkan obesitas dan obesitas abdominal melalui ketidakseimbangan energi dan meningkatnya keinginan untuk memakan makanan kaya karbohidrat (Reynolds et al., 2012).

(10)

yang tidak mengalami acne (Abulnaja, 2009). Hal ini terjadi karena efek dari leptin dan resistensi insulin terhadap mekanisme inflamasi. Produksi IL-1 mempengaruhi kelenjar sebaceous dan sebocyte dalam memproduksi dan mengekskresi sebum. Peningkatan ekskresi sebum berhubungan dengan pembentukan lesi acne (Zouboulis, 2003).

Pada penelitian yang dilakukan Leproult et al. (2011), dikatakan bahwa tidak terdapat penurunan kadar testosteron pada pembatasan jam tidur, yaitu 4 jam dalam sehari selama 5 malam (04:00–08:00). Sedangkan, pada penelitian lain dikatakan bahwa terdapat penurunan kadar testosteron pada pembatasan jam tidur, yaitu 5 jam dalam sehari selama 8 malam (12:30–05:30). Hal ini mungkin dapat berpengaruh akibat perbedaan waktu dan durasi jam tidur. Penelitian menunjukkan pembatasan jam tidur hingga 4.5 jam dapat menurunkan kadar testosteron pada paruh pertama malam jika dibandingkan pada paruh kedua malam (Wittert, 2014; Schmid et al., 2012). Kadar testosteron semakin menurun dengan lebih awalnya jam bangun tidur (Axelsson et al., 2005).

Sedangkan, teori lain mengatakan bahwa pada kurang tidur dapat menyebabkan stres fisiologis yang akan menyebabkan aktivasi HPA aksis, sehingga meningkatkan kortisol di sirkulasi (Reynolds et al., 2012). Selama respon stress akut, nukleus paraventrikular hipotalamus mengeluarkan CRH yang kemudian bekerja di kelenjar pituitari dengan menginduksi ACTH, sehingga menyebabkan korteks adrenal mengeluarkan kortisol. (Pavlovsky et al., 2007). Teori lain juga mengatakan bahwa pada penderita acne, mungkin terdapat peningkatan kortisol dan androgen adrenal. Kedua hormon tersebut dapat memperberat acne dan menginduksi hiperplasia kelenjar sebaceous selama penderita mengalami stres emosional (Huynh et al., 2013).

(11)

pembentukan badan lamelar, serta adanya penurunan corneodesmosomes, sehingga keseluruhannya dapat menurunkan homeostasis barrier permeabilitas epidermis dan menurunkan integritas stratum korneum (Pavlovsky et al., 2007).

Prevalensi mental distress paling sering terjadi pada remaja tahap lanjut dimana acne merupakan kondisi yang sering terjadi (Halvorsen et al., 2009). Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor neurogenik yang dapat mengkontribusi eksaserbasi pembentukan acne, yang kemungkinan mekanismenya adalah melalui neuropeptida substansi P dan peningkatan jumlah serat saraf di sekitar kelenjar

sebaceous pada pasien acne. Stres dapat mempengaruhi pengeluaran substansi P

dari saraf perifer yang kemudian dapat meningkatkan lipogenesis di kelenjar

sebaceous. Peningkatan serat saraf pada kulit yang mengalami acne dapat

disebabkan karena ekspresi nerve growth factor pada kelenjar sebaceous yang mekanisme kerjanya adalah sebagai molekul neurotropik yang menstimulasi pembentukan jaringan saraf di kulit (Toyoda et al., 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Ganceviciene et al. (2008), mengatakan bahwa tingginya ekspresi CRH terdapat dalam sebocytes kulit yang mempunyai

acne, pada seluruh tahapan diferensiasi sebocyte. Sedangkan, pada kulit yang

tidak mempunyai acne, misalnya di paha ataupun pada responden yang mempunyai kulit wajah yang bersih dari acne, timbulnya acne bergantung pada tahapan diferensiasi dari sebocyte. Ekspresi CRHBP cukup kuat dalam diferensiasi sebocyte pada kulit yang mempunyai acne, yang merupakan akibat dari reaksi stres lokal pada acne. Sehingga, disimpulkan bahwa CRH berperan sebagai central director, melalui CRHR-1, sebagai respon neuroendokrin terhadap eksaserbasi acne yang diinduksi oleh stres.

2.4. Etiopatogenesis

Terdapat empat faktor yang paling berpengaruh terhadap patogenesis acne

vulgaris, yaitu peningkatan produksi sebum oleh kelenjar sebaceous, keratinisasi

abnormal dari epitel folikular, proliferasi dan kolonisasi bakteri

(12)

adaptasi respon imun (Pindha, 2004; Thielitz et al., 2013; Dawson et al., 2013; Behrman et al, 2003).

2.4.1 Peningkatan Produksi Sebum oleh Kelenjar Sebaceous

Acne sering terjadi pada remaja saat growth hormone (GH) disekresi

maksimal dan kadar serum IGF-1 mencapai puncaknya. IGF-1 juga diproduksi secara lokal di kulit yang akan yang akan berinteraksi dengan reseptor sehingga menstimulasi pertumbuhannya (Thiboutot et al, 2003) . Efek stimulasi T dan DHT terlihat dengan adanya proliferasi sebocyte pada kultur sebocyte manusia dan hamster. Pemberian DHT pada kelenjar sebaceous telinga hamster secara in vivo menunjukkan adanya proliferasi kelenjar sebocyte, diferensiasi, dan induksi lipogenesis yang melibatkan upregulation dari sterol response-element binding

protein (SREBP) pathway, yang merupakan regulator kunci dari dari lipogenesis

(Kurokawa et al., 2009). SREBP juga terdapat pada sebocytes manusia (Harrison

et al., 2007). Pembentukan microcomedone disebabkan karena hiperproliferasi

atau hiperkeratinisasi dari infrainfundibulum kanal folikel. Hal tersebut ditentukan oleh tingginya aktivitas 5α-reductase tipe 1 yang terdapat pada infrainfundibulum folikel yang dihubungkan dengan adanya abnormalitas diferensiasi keratinocytes (Thiboutot et al., 1997).

Adanya peningkatan produksi sebum pada orang yang mengalami acne bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengkontribusi munculnya acne (Youn et al., 2005). Umumnya, remaja mengalami peningkatan ekskresi sebum, tetapi hanya beberapa kasus yang berkaitan dengan regulasi metabolisme lipid yang abnormal, misalnya penurunan kadar asam linoleat (T.Downing et al., 1986 dalam Kurokawa et al, 2009). Adanya desaturasi asam lemak kelenjar sebaceous juga merupakan salah satu faktor yang dapat mengkontribusi munculnya acne. Peningkatan perbandingan antara saturated dengan monounsaturated bersamaan dengan adanya penurunan desaturasi enzimatik dari C16 dapat berhubungan dengan jumlah lesi akibat acne dan juga perbaikan secara klinisnya (Smith R. et

al., 2008). Penanda adanya sebum pada orang yang mengalami acne adalah

(13)

kadar vitamin E, yang merupakan antioksidan sebum utama (Ottaviani et al., 2006).

Lipoperoxides dan MUFA dalam hal ini dapat merangsang perubahan

proliferasi dan diferensiasi keratinocyte, sedangkan peroksida dapat merangsang produksi sitokin proinflamasi dan mengaktivasi peroxisome proliferator-activated

receptors (PPARs) (Kurokawa et al., 2009).

Distribusi acne sesuai dengan tingginya kerapatan dari unit pilosebaceous di tubuh, yaitu di wajah, leher, dada bagian atas, bahu, dan punggung (Williams et

al., 2011). Pada saat masa pubertas, kelenjar sebaceous membesar dan produksi

sebum meningkat sebagai respon terhadap meningkatnya aktivitas dari hormon androgen yang terutama berasal dari kelenjar adrenal. Prevalensi dan keparahan

acne mempunyai korelasi dengan perkembangan saat masa pubertas dan jumlah

produksi sebum (Behrman et al, 2003).

Munculnya acne saat masa prepubertas yang berkisar antara umur 7-10 tahun, berhubungan erat dengan jumlah wax esters pada lipid di permukaan kulit dan konsentrasi serum androgenic steroid dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) yang disekresikan terutama oleh kelenjar adrenal (Behrman et al, 2003).

Banyak orang yang mengalami acne tetapi mempunyai kadar androgen sirkulasi yang normal, yang menunjukkan bahwa tingkat keparahan acne tidak berhubungan dengan kadar serum androgen. Androgen mungkin berperan hanya untuk memulai munculnya acne. Produksi androgen lokal di kulit ataupun tingginya ekspresi dan respon reseptor androgen yang berlebihan mungkin juga dapat berperan dalam pembentukan acne (Kurokawa et al., 2009).

Androgen menstimulasi produksi sebum dan menyebabkan hipertrofi kelenjar sebaceous (SGH) serta acne pada saat adrenarche dan pubertas. Walaupun androgen dikaitkan dengan produksi sebum yang berperan dalam patogenesis acne, hubungan antara kadar androgen di sirkulasi dengan tingkat keparahan acne masih sulit untuk dibuktikan baik pada remaja maupun pada dewasa (Kuiri-Hänninen et al., 2013). Peningkatan kadar serum DHEAS selama

(14)

et al., 1992). Androgen atau prekursor utama dari androgen adalah dehydroepiandosterone (DHEA) dihasilkan oleh korteks adrenal. Kemudian,

DHEA akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu androstenedione oleh enzim 3β-OHSD dan ∆5,4-isomerase. Reduksi androstenedione di posisi C17 menyebabkan terbentuknya androgen yang paling poten yaitu testosteron (T) yang sebagian besar konversi ini berlangsung di testis. Testosteron dimetabolisme di banyak jaringan termasuk hati, yang akan menghasilkan 17-ketosteroid yang umumnya inaktif ataupun kurang aktif dibandingkan dengan senyawa utama. Jalur metabolisme yang lain kurang efisien, terutama terjadi di jaringan target dan menghasilkan metabolit poten dihydrotestosterone (DHT). DHT merupakan produk metabolik yang paling signifikan dari testosteron karena merupakan bentuk hormon yang aktif di banyak jaringan, misalnya prostat, genitalia eksterna, dan beberapa bagian kulit (Granner, 2006). Kulit mempunyai semua enzim yang dibutuhkan untuk mengubah DHEAS menjadi androgen yang lebih poten. Jika dibandingkan, pada bagian kulit yang mempunyai acne terdapat peningkatan aktivitas enzim 5α-reductase (SRD5A) tipe 1 yang mengkonversi T menjadi DHT di kelenjar sebaceous daripada bagian kulit yang tidak mempunyai acne (Thiboutot et al., 1995). Pada penelitian yang dilakukan dalam mengevaluasi hubungan kadar postnatal androgen dengan sebaceous gland hypertrophy (SGH) dan acne pada bayi, didapatkan data bahwa SGH dan acne berhubungan dengan penigkatan kadar hormon androgen pada bayi selama bulan pertama kehidupan. Kadar T dalam urin tidak semata-mata berasal dari sirkulasi tetapi juga berasal dari perifer yang merupakan konversi prekursornya di jaringan, misalnya hati dan kulit. Hal ini dapat dikaitkan dengan produksi sebum selama masa remaja, dan setidaknya hampir semua individu pernah mengalami acne ringan yang berhubungan dengan kenaikan kadar androgen (Kuiri-Hänninen et al., 2013).

(15)

substansi yang kaya akan lemak, sehingga membentuk komedo tipe terbuka dan tertutup (Brown et al., 1996; Thielitz et al, 2008; Dawson et al, 2013).

Kelenjar sebaceous manusia telah terbukti mempunyai reseptor NPs, misalnya CRH, melanocortins, β-endorphin, vasoactive intestinal polipeptida, NP

Y, dan calcitonin gene-related peptida (Kurokawa et al, 2009). Juga telah terbukti adanya Adanya CRH, CRHBP dan reseptornya CRH-R1 dan R2 pada kelenjar

sebaceous manusia secara in vivo dan sebocyte SZ95 (Kurokawa et al., 2009).

HPA aksis mempunyai peranan respon neuroendokrin kelenjar sebaceous terhadap stres (Ziegler et al., 2007). CRH dapat menginhibisi proliferasi dan menginduksi sintesis lipid netral pada sebocytes SZ95, dan testosteron antagonis terhadap CRH dengan downregulating reseptor CRH-R pada sebocyte manusia secara in vitro. GH yang juga meningkatkan sistesis kelenjar sebaceous, memodifikasi CRH-R dengan menurunkan level mRNA dari CRH-R1 serta meningkatkan level mRNA dari CRH-R2, meningkatkan pelepasan IL-6 dan IL-8 pada SZ95 sebocytes secara in vitro melalui IL--independent pathway (Bohm

et al., 2002). CRH juga meningkatkan ekpresi mRNA dari ∆5-3β-hydroxysteroid

dehydrogenase pada sebocytes manusia secara in vitro, yang merupakan enzim

yang bertanggung jawab dalam aktivasi androgen dan mengubah DHEA menjadi T (Zouboulis et al., 2002). Sistem propiomelanocortin (POMC) juga mempunyai peranan penting sebagai sistem neuromediator dalam mengatur kelenjar

sebaceous. α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) dapat menstimulasi diferensiasi sebocyte dan lipogenesis. Sebocyte manusia mempunyai MC-1Rs dan MC-5Rs secara in vivo dan in vitro (Kurokawa et al., 2009). MC-1Rs terdapat pada sebocytes yang belum berdiferensiasi dan telah berdiferensiasi. Sedangkan, MC-5Rs hanya terdapat pada sebocytes yang telah berdiferensiasi, yang menunjukkan bahwa MC-1Rs tidak bertanggung jawab terhadap proses diferensiasi dan lipogenesis dari sel sebaceous (Li, et al., 2006). Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa kelenjar sebaceous yang terlibat acne mengekspresikan kadar yang lebih tinggi dari MC-1Rs daripada kelenjar

(16)

Pada kulit terdapat gen yang yang mengatur propiomelanocortin, CRH, dan corticotropin-releasing hormone receptor (CRHR) (Slominski et al., 1995, dalam Bhambri et al, 2009). Kelenjar sebaceous mempunyai peranan penting dalam innate immune system, memproduksi berbagai peptida antimikrobial, neuropeptida, dan lipid antibakterial, misalnya sapienic acid (C.Zouboulis et al., 2002 dalam Bhambri et al., 2009). Kelenjar sebaceous berfungsi sebagai organ endokrin yang independen yang dipengaruhi oleh corticotropin-releasing

hormone (CRH) (C.Zouboulis et al., 2004 dalam Williams et al., 2011). CRH

dilaporkan menyebabkan lipogenesis dan meningkatkan ekspresi mRNA dari 5-3-β-hydroxysteroid dehidrogenases, enzim yang mengkonversi dehydroepiandrosterone menjadi testosteron di sebocytes manusia (Zouboulis et al., 2002).

Gambar 2.1. The steroidogenic pathway (Ewadh et al., 2011)

2.4.2. Keratinisasi Abnormal dari Epitel Folikular

(17)

merupakan efek dari penekanan (D.Knutson., 1974 dalam Kurokawa, I. et al., 2009).

IL-1α diketahui menginduksi hiperkeratinisasi pada infundibulum folikular secara in vivo dan in vivo (Guy et al., 1996).Keratinisasi infundibulum yang abnormal dikaitkan dengan kelainan pada difernsiasi terminal dari keratinosit infundibulum yang berhubungan dengan ekspresi filaggrin (filament

aggregating protein) (L.Kurokawa et al., 1988 dalam Kurokawa, I. et al., 2009).

Pada keratinosit terdapat hiperkeratinisasi dan hiperproliferasi, dengan ekspresi

marker hiperproliferasi keratin (K) 6 dan K16 (Hughes et al., 1996). Il-

mengaktivasi keratinosit basal melalui produksi secara autokrin termasuk ekspresi K16 di sel suprabasal pada keadaan aktif (Freedberg et al., 2001).

Penumpukan keratin dalam folikel dapat disebabkan oleh bertambahnya produksi korneosit pada duktus pilosebacea, pelepasan korneosit yang tidak sempurna, ataupun kombinasi dari keduanya. Meningkatnya sebum pada penderita acne dapat mengakibatkan penurunan konsentrasi asam linoleat setempat pada epitel folikel, yang selanjutnya akan mengakibatkan hiperkeratosis folikuler serta menurunnya fungsi barrier dari epitel. Pada komedo juga dijumpai penurunan sterol bebas, dimana terjadi ketidakseimbangan antara kolesterol bebas dengan kolesterol sulfat, yang mengakibatkan bertambahnya adhesi korneosit pada infundibulum serta terjadi retensi keratin akibat hiperkeratosis folikular (Harahap, 1998).

2.4.3. Proliferasi dan Kolonisasi Bakteri Propionibacterium acnes di Dalam Folikel

Terdapat tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis acne, yaitu

Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale (Malassezia furfur). Tampaknya, ketiga mikroorganisme ini bukan penyebab

utama terjadinya acne, melainkan proses awal penumpukan sebum dan oksidasi

squalene yang dapat menyebabkan kolonisasi P.acnes akibat penurunan kadar

(18)

kulit. Peningkatan jumlah sel kulit yang mati akan terdeposit di dalam folikel rambut. Kulit juga memproduksi minyak lebih banyak sehingga akan semakin memperparah proses deposit. Lingkungan tersebut akan mendukung bakteri untuk menetap (Ewadh et al., 2011).

P. acnes menginduksi ekspresi peptida antimikrobial dan cytokines/chemokines proinflamasi dari berbagai tipe sel (Kurokawa et al., 2009). P. acnes strain tertentu dapat menyebabkan infeksi oportunistik yang dapat

memperberat lesi acne. Kelompok filogenetik P. acnes tidak hanya mensekret protein, tetapi juga dapat menginduksi berbagai respon imun di keratinocyte dan

sebocyte (Mcdowell et al, 2005). Total aktivitas antimikrobial di unit pilosebaceous dikarenakan beberapa peptida antimikrobial dan juga lipid

antibakterial. Berbagai peptida antimikrobial diekspresikan oleh kulit individu yang sehat tanpa ada terlihat tanda-tanda inflamasi (Schroder et al, 2006).

P. acnes menghasilkan lipase yang akan menyebabkan produksi asam

lemak bebas. P.acnes juga mengeluarkan faktor kemotaktik dan meningkatkan

cytokine proinflamasi (TNF-α, IL-1β, dan IL-8) dari sel mononuklear dan

keratinocyte. P. acnes juga menginduksi aktivasi Toll-like receptors-2 dan -4 di keratinocyte (Isard et al., 2011). Bakteri ini memodulasi proliferasi dan

diferensiasi keratinocyte melalui induksi ekspresi filaggrin dan integrin (Jarrousse

et al., 2007).

IGF-1 dan IGF-1R telah diketahui merupakan target P.acnes yang berperan dalam pembentukan lesi acne. IGF-1/IGF-1R pathway mempunyai peran utama dalam comedogenesis dan diaktivasi dengan dua mekanisme. Pertama, diet kaya glukosa akan meningkatkan IGF-1 dan serum insulin. Kedua, P.acnes dapat mengaktivasi sistem IGF-1/IGF1R keratinocyte. Hal tersebut menunjukkan bahwa P. acnes berperan tidak hanya pada tahap inflamasi tetapi juga pada tahap retensi (Isard et al., 2011).

2.4.4. Proses Inflamasi dan Perubahan Adaptasi Respon Imun

(19)

dan menggelembung. Secara bertahap terjadi penumpukan keratin sehingga dinding folikel bertambah tipis dan dilatasi. Kemudian, lemak keluar melalui dinding komedo yang oedem sehingga timbul reaksi selular pada dermis. Saat pecah, seluruh isi komedo masuk ke dermis, menimbulkan reaksi yang lebih hebat, dan terdapat sel raksasa akibat keluarnya bahan keratin. Selanjutnya, lesi yang pecah tampak sebagai pustul, nodul, atau nodul dengan pustul diatasnya, tergantung letak dan luasnya inflamasi (Pindha, 2004).

P. acnes di dalam folikel mengeluarkan mediator inflamasi yang akan

memicu proses terjadinya inflamasi. P. acnes mengeluarkan lipase yang akan mengubah trigliserida menjadi asam lemak bebas yang bersifat iritatif dan

comedogenic. P. acnes juga mengeluarkan faktor kemotaktik yang akan menarik

leukosit ke daerah lesi. Leukosit akan mengeluarkan enzim hidrolisis yang akan merusak dinding folikel, yang kemudian isi folikel tersebut seperti sebum, epitel yang mengalami keratinisasi, rambut, dan P.acnes masuk ke dermis. Reaksi nonimun akan dimulai dengan sel mononuklear, selanjutnya sel makrofag dan sel raksasa, sehingga akhirnya akan timbul reaksi inflamasi. P. acnes mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif. Reaksi imun ini menghasilkan C5a yang bersifat neutropjhilic chemotactic factor sehingga akan menimbulkan reaksi inflamasi lanjutan. Leukosit yang ditarik oleh C5a akan menangkap P. acnes, kemudian menghasilkan enzim hidrolitik yang merusak jaringan, sehingga akan menimbulkan reaksi inflamasi (Pindha, 2004).

(20)

Akibatnya, pada lesi comedo yang mengalami penurunan asam linoleat, ROS menjadi berlebihan (Portugal et al., 2007). Squalene spesifik terhadap sebum manusia, mempunyai efek protektif pada permukaan kulit terhadap peroksidasi lipid. Tetapi, peroxidated squalene mempunyai efek comedogenic (Ottaviani et

al., 2006). Paparan peroxidated squalene pada keratinocyte dapat menstimulasi cytokines inflamasi dan upregulates aktivitas lipoxygenase (Zouboulis et al.,

(21)

Gambar 2.2. Mekanisme keterlibatan P. acnes dalam proses inflamasi (Shaheen dan Gonzalez, 2013)

Propionibacterium acnes

Aktivasi komplemen (classical and alternative

pathways)

Cell mediated and humoral immunity

Produksi cytokines/chemokines dari keratinocytes, sel mononuklear dan sebocytes

Induksi dan stimulasi

toll-like receptors 2 dan 4

Enzim ekstraseluler

Produksi substansi kemotaktik untuk monocytes dan neutrofil

Produksi hβD-2 dari

sebocytes dan keratinocytes

Christie-Atkins-Munch-Peterson factor

Produksi ROS oleh

keratinocytes

(22)

(+) (+) + + (+)

Gambar 2.3. Etipatogenesis acne vulgaris yang berhubungan dengan P. acnes (Shaheen dan Gonzalez., 2013)

Faktor genetik

Peningkatan sensitivitas androgen (Peningkatan aktivitas enzim 5α-reductase tipe

1/peningkatan densitas reseptor androgen) Ligan PPAR

Kelenjar sebaceous

Peningkatan produksi sebum yang mengakibatkan rendahnya kadar asam linoleat yang akan menyebabkan kerusakan

permeabilitas barrier kulit

Microcomedones

Microenvironment

yang disukai (PH, ketersediaan air, suplai nutrisi, CO2,

dan tekanan O2)

dan/atau defek pada mekanisme pertahanan innate

immune yang akan

mengakibatkan peningkatan

kolonisasi

microcomedones

oleh P. acnes (?) DHT

menginduksi produksi cytokines dari sebocytes

(IL-6, TNF-α)

Inflamasi spesifik subklinis (kebanyakan dimediasi oleh produksi IL-1α di epidermis

dan dermis) Androgen (terutama

DHT) mempengaruhi regulasi epitel di

infundibulum folikular melalui produksi IGF-1 oleh

sel papila dermis. IGF-1 juga menstimulasi lipogenesis melalui peningkatan ekspresi sterol response element binding protein-1

CRH hβD-2 SP

Melalui peningkatan produksi

IL-1α oleh keratinocyte

Produksi ACTH menyebabkan

stereidogenesis di

kulit

α-MSH Degranulasi sel mast

Ketidakseimbangan antara proinflamasi dan anti-inflamasi pathways

(23)

2.5. Manifestasi Klinis

Acne dapat terjadi di wajah, punggung, dada, dan bahu. Pada tubuh, acne

cenderung terkonstrasi di dekat garis tengah tubuh. Lesi acne dapat berupa lesi noninflamasi dan inflamasi. Lesi noninflamasi dapat berupa komedo terbuka (blackhead comedones) dan komedo tertutup (whitehead comedones). Lesi inflamasi dapat berupa papul, pustul, nodus, dan kista. Dapat pula terjadi scar (jarigan parut), yang merupakan komplikasi dari acne (Movita, 2013).

Komedo terbuka terjadi karena oksidasi melanin (Movita, 2013). Komedo terbuka muncul dengan lesi yang datar dan sedikit meninggi, berwarna gelap, berisi keratin dan lipid, mempunyai lubang patulous serta jarang terjadi inflamasi karena bahan keratin terlepas, kecuali bila trauma. Sedangkan, komedo tertutup berwarna pucat, mempunyai keratin yang tidak padat, folikelnya sempit dan berpotensi lebih besar untuk mengalami inflamasi (Pindha, 2004).

Papul adalah komedo yang mengalami inflamasi akibat rupturnya dinding folikel yang mengakibatkan respon inflamasi. Pustul adalah lesi yang berisi pus, dan biasanya akan membaik pada hari kelima, atau lebih bila jaringan yang terkena lebih dalam. Nodul adalah lesi yang diameternya lebih besar dari 5 mm. Biasanya, lesi acne berupa nodul mengakibatkan nyeri, dan penyembuhannya dapat memakan waktu beberapa bulan, serta dapat menyebabkan scar. Kista adalah lubang tertutup yang berisi pus atau keratin (J.McWilliam., 2009).

(24)

A B

C D

Gambar 2.5. Tipe-tipe lesi acne

Keterangan : A = papul, B = pustul, C = scar atrofi, D = scar keloid (J.McWilliam, 2009)

2.6. Diagnosis Banding Acne Vulgaris

Banyak kondisi lain yang dapat menyerupai acne dan bahkan istilah acne masuk ke dalam nomenklaturnya, tetapi yang menjadi pembeda dan patognomonik dengan acne adalah kurangnya penampakan klinis nerupa

(25)

Tabel 2.1. Diagnosis banding acne vulgaris (K.Wolff et al., 2009 dalam Titus et al., 2012)

Diagnosis Perbedaan Manifestasi Klinis atau Faktor Pembeda Folikulitis bakterial Erupsi mendadak; menyebar jika digaruk atau bercukur;

distribusinya bervariasi

Drug-induced acne Pada penggunaan androgen, ACTH, bromida,

kortikosteroid, kontrasepsi oral, iodida, isoniazid, litium, fenitoin (Dilantin)

Hidradenitis suppurativa

Double comedo; muncul awalnya seperti painful boil;

traktus sinus

Miliaria “Heat rash” sebagai respon terhadap adanya paparan

panas; papul, pustul, dan vesikel nonfolikular

Dermatitis perioral Papul dan pustul yang terbatas di daerah dagu dan lipatan nasolabial; clear zone disekitar vermilion border

Pseudofolliculitis barbae

Terjadi pada orang berambut keriting yang secara teratur memangkas rambutnya sangat pendek

Rosacea Eritema dan telangiektasis; tidak ada comedone

Seborrheic dermatitis

Sisik yang berminyak dan makula atau berwarna kuning kemerahan yang menyatu

2.7. Diagnosis Acne Vulgaris

Umumnya, keluhan penderita acne vulgaris adalah mengenai kosmetik, tetapi dapat pula penderita mengeluhkan sakit ataupun gatal. Pada pemeriksaan kulit didapati erupsi kulit yang bersifat polimorfik, dapat berupa komedo (tanda patognomonik acne vulgaris), papul, pustul, dan nodul. Salah satu dari tipe lesi ini biasanya menonjol dan diagnosis ditegakkan berdasarkan lesi yang dominan berdasarkan klasifikasi yang dipakai (Pindha, 2004).

(26)

2.8. Penatalaksanaan

Menurut Pindha (2004), tujuan yang paling utama dalam pengobatan acne

vulgaris adalah mencegah trauma psikologis dan terjadinya jaringan parut.

Umunya, terdapat 4 prinsip utama dalam penatalaksanaan penderita acne, yaitu: 1. Menurunkan aktivitas kelenjar sebacea

2. Memperbaiki keratinisasi folikel

3. Menurunkan jumlah bakteri yang berada didalam folikel terutama P. acnes sehingga mengurangi reaksi inflamasi yang yang salah satunya ditimbulkan karena adanya produk inflamasi ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri tersebut.

4. Menghambat terjadinya inflamasi

Terapi utama untuk lesi comedonal dan inflamasi adalah menggunakan topikal retinoid dan benzoyl peroxide (BPO). Retinoid menghambat pembentukan

microcomedone dan meregulasi keratinocyte folikular, serta mempunyai efek

anti-inflamasi. Penggunaan topikal retinoid dapat menyebabkan iritasi, eritema, deskuamasi, pruritus, dan rasa terbakar. BPO yang tersedia dalam bentuk

cleanser, gel, ataupun facial wash mempengaruhi dismaturasi keratinocyte, P. acnes, dan inflamasi serta mempunyai sifat antibakterial. Agen keratolitik, asam

salisilat (2%-3%), sering digunakan bersama BPO. Antibiotik topikal, umumnya

clindamycin 1% atau sodium sulfacetamide juga mempengaruhi P. acnes dan

inflamasi walaupun mekanismenya belum diketahui. Kombinasi BPO dengan topikal retinoid merupakan cara yang terbaik dalam mengatasi resistensi P. acnes (Arshdeep, 2013).

Antibiotik oral digunakan apabila terapi topikal tidak menunjukkan hasil atau tidak dapat ditoleransi. Antibiotik tetrasiklin merupakan kelas antibiotik oral lini pertama, yang paling poten adalah minocycline. Beberapa antibiotik lain, misalnya erythromycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, amoxicillin, dan azithromycin. Terdapat penurunan penggunaan erythromycin karena tingginya

(27)

2.9. Komplikasi Acne Vulgaris

Scar dapat terjadi akibat adanya kerusakan kulit selama proses

penyembuhan acne. Terdapat dua tipe scar yang berdasarkan pada mekanisme apakah terdapat kehilangan atau deposisi kolagen (scar atrofi dan hipertrofi). Delapan puluh hingga sepuluh persen penderita acne kehilangan jaringan kolagen (scar atrofi) (Fabbrocini et al., 2010).

2.9.1. Scar Atrofi

Scar jenis atrofi lebih sering terjadi jika dibandingkan dengan keloid dan

hipertrofi dengan perbandingan 3:1. Scar atrofi disubklasifikasikan menjadi ice

pick, boxcar, dan rolling scars. Pada scar atrofi, tipe icepick, terhitung 60-70%

dari total scar, tipe boxcar terhitung 20-30%, dan tipe rolling scars terhitung 15-25% (Jacob et al., 2001; Fabbrocini et al., 2010). Terkadang, 3 jenis tipe scar atrofi ini dapat terjadi pada pasien yang sama dan kemungkinan sulit untuk membedakannya (Fabbrocini et al., 2010).

2.9.2. Scar Hipertrofi dan Keloid

Scar hipertrofi dan keloid dikaitkan dengan adanya deposisi kolagen dan

Gambar

Gambar 2.1. The steroidogenic pathway (Ewadh et al., 2011)
Gambar 2.2.  Mekanisme keterlibatan P. acnes dalam proses inflamasi (Shaheen dan Gonzalez, 2013)
Gambar 2.3. Etipatogenesis acne vulgaris yang(Shaheen dan Gonzalez., 2013)
Gambar 2.4. Tipe-tipe lesi acne comedonal (Manchini, 2008)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi belajar berbeda pada setiap siswa, beberapa variabel diduga dapat mempengaruhi motivasi belajar siswa khususnya pada bidang studi matematika diantaranya

Dari penelitian yang dilakukan oeh Virgianto (2005) tentang konsumsi fast food terhadap kejadian obesitas pada remaja umur 15-17 tahun di SMUN 3 Semarang mendapatkan bahwa variasi

Hasil analisis data menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara porsi fast food dengan overweight dan obesitas ( p-value : <0,05) namun tidak terdapat hubungan

Hasil analisis data menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara porsi fast food dengan overweight dan obesitas (p-value: <0,05) namun tidak terdapat hubungan yang

Mengetahui hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian overweight dan obesitas pada siswa SMA Harapan 1 Medan.. Mengetahui hubungan antara konsumsi serat dengan

Dari penelitian yang dilakukan oeh Virgianto (2005) tentang konsumsi fast food terhadap kejadian obesitas pada remaja umur 15-17 tahun di SMUN 3 Semarang mendapatkan bahwa variasi

Survey of both hepatitis B virus (HBsAg) and hepatitis C virus (HCVAb) coinfection among HIV positives patients.. Treatment of chronic

Penulis ingin meneliti faktor risiko terjadinya akne vulgaris pada siswa SMA Harapan 1 Medan berdasarkan derajat keparahan akne vulgaris, riwayat keluarga, jenis makanan,