• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAPANAN PARASITOID Telenomus remus (HYMENOPTERA : SCELIONIDAE) PADA AGROEKOSISTEM SEDERHANA DAN KOMPLEKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMAPANAN PARASITOID Telenomus remus (HYMENOPTERA : SCELIONIDAE) PADA AGROEKOSISTEM SEDERHANA DAN KOMPLEKS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

111

KEMAPANAN PARASITOID Telenomus remus (HYMENOPTERA :

SCELIONIDAE) PADA AGROEKOSISTEM SEDERHANA DAN KOMPLEKS

Agus Wahyana Anggara1 , Damayanti Buchori2, Pudjianto2 1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Jl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat. Telp. 08156071902, Fax.(0260) 520158 e-mail : aw.anggara@yahoo.co.id

2Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB

ABSTRACT

Parasitoid is relatively difficult to occupy and colonize in seasonal crop ecosystem due to drastically environmental changes and also disturbed by human efforts to get an optimum yield. Field experiment was conducted to study the establishment of parasitoid Telenomus remus on simple (monoculture) and complex (polyculture) agroecosystem. The establishment was monitored by indirect observation through parasitism level in both type of agroecosystem. The monoculture soybean was set as the simple agroecosystem. The complex agroecosystem was strip-cropping system of soybean and chili, and completed with flowering plants (Cardamine hirsuta, Portulaca oleacae, Lugwigia hyssopifolia, dan Jussiaea suffruticosa) on the outer field-margin. Both agroecosystem were treated by inundation released of adult parasitoids using spot release method. The results showed T. remus had a good survival and successfully occupied in both agroecosystem types. It indicated that the parasitoid was potential to develop as a biological control agent. Generally, the number of host egg cluster that parasitized by T. remus was higher in polyculture (111 egg clusters) than those in monoculture (93 egg clusters). The parasitism level on the complex agroecosystem (68.9%) was higher than in simple agroecosystem (51.9%). It indicated that habitat manipulation on complex agroecosystem provides more suitable environment for parasitoid to enhance their effectiveness. Based on the results of this study, there are two important things to reach success in biological control using parasitoid, i.e. using high fitness of parasitoid and availability of suitable environment for released parasitoid.

(2)

112 ABSTRAK

Parasitoid relatif sulit menetap pada agroekosistem tanaman semusim karena drastisnya perubahan lingkungan dan tingginya faktor penghambat akibat campur tangan manusia dalam usahanya memaksimalkan panen. Penelitian lapangan dilakukan untuk mengetahui kemapanan parasitoid Telenomus remus pada agroekosistem sederhana dan kompleks. Kemapanan parasitoid diamati secara tidak langsung dengan membandingkan tingkat parasitisasi pada kedua tipe agroekosistem tersebut. Agroekosistem sederhana adalah monokultur kedelai, sedangkan kompleks adalah tumpangsari kedelai dan cabe merah, serta dilengkapi tanaman berbunga (Cardamine hirsuta, Portulaca oleacae, Lugwigia hyssopifolia, dan Jussiaea suffruticosa) pada setiap sisi luar petaknya. Pada kedua tipe pertanaman dilepas parasitoid T. remus secara inundatif dengan metode spot release. Hasil penelitian menunjukkan bahwa T. remus

yang dilepas memiliki kemampuan bertahan hidup yang baik dan berhasil mapan pada kedua tipe agroekosistem sehingga berpotensi dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. Secara keseluruhan, jumlah kelompok telur perangkap terparasit lebih banyak pada petak polikultur (111 kelompok) daripada monokultur (93 kelompok). Tingkat parasitisasi petak polikultur (68,9%) juga lebih tinggi daripada monokultur (51,9%). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa manipulasi habitat yang dilakukan pada petak polikultur lebih baik dalam mendukung unjuk kerja dan keefektifan parasitoid T. remus

di lapangan. Implementasi dari hasil penelitian tersebut bahwa penggunaan parasitoid berkebugaran tinggi dan kualitas lingkungan agroekosistem sasaran pengendalian menentukan keberhasilan pengendalian hayati.

Kata kunci : kemapanan, parasitoid, tingkat parasitisasi, agroekosistem, Telenomus remus.

(3)

113 PENDAHULUAN

Agroekosistem merupakan ekosistem yang dibuat dan dipelihara oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan produk pertanian lainnya. Sebagian besar agroekosistem merupakan lingkungan yang kurang sesuai untuk musuh alami karena tingginya campur tangan manusia dalam usahanya memaksimalkan panen (Landis et al. 2000). Berkurangnya keanekaragaman flora dan fauna pada agroekosistem mengakibatkan terjadinya penyederhanan proses fisikokimia (Conway and Remenyi 1985). Penyederhanaan tersebut menyebabkan agroekosistem kurang mendukung keefektifan unjuk kerja musuh alami di lapangan, seperti predator dalam menekan populasi mangsanya dan parasitoid dalam menekan populasi inangnya (Menalled et al. 1999).

Parasitoid sulit menetap pada agroekosistem tanaman semusim akibat relatif cepat dan drastisnya perubahan lingkungan (Tscharntke et al. 2001), serta tingginya faktor penghambat seperti penggunaan pestisida, ketiadaan pakan untuk imago, dan kelangkaan inang alternatif (Landis et al. 2000). Meskipun demikian, penerapan prinsip konservasi

yang diintegrasikan dalam kegiatan budidaya terbukti mampu meningkatkan kemapanan parasitoid pada agroekosistem. Penyediaan sumber daya pendukung seperti pakan untuk imago, inang, tempat berlindung sementara (shelter), wilayah pelarian (refugia area), dan lingkungan mikro yang sesuai, berpengaruh positif terhadap lama hidup (longevity) dan keperidian (fecundity) parasitoid (Altieri 1993; Nicholls and Altieri 2003). Dengan kelangsungan hidup yang lebih lama, imago parasitoid memiliki lebih banyak waktu untuk mencari dan menemukan inangnya, sedangkan peningkatan keperidian memungkinkan parasitoid memarasit lebih banyak inang (Phillips 1998).

Telenomus remus (Hymenoptera:

Scelionidae) merupakan parasitoid telur Lepidoptera terutama dari genus

Spodoptera (Lepidoptera: Noctuidae)

(Cave 2000; CABI 2002). Ciri khas T.

remus adalah tubuh berwarna hitam

dengan kisaran panjang 0,5-0,6 mm, toraks menonjol lebih tinggi daripada abdomen, dan ujung abdomen menyempit (Cave 2000; Yuliarti 2002). Di kawasan Amerika Latin, T. remus banyak dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati karena memiliki

(4)

114 kemampuan reproduksi yang tinggi dan mudah diperbanyak secara massal (Cave 2000). Karakter lain yang membuatnya dipilih sebagai agens pengendali hayati adalah kapasitas pencarian inang yang tinggi, serta memiliki kisaran inang dan penyebaran yang luas (Kalshoven 1981; Cave 2000; CABI 2002; Yuliarti 2002). Pada penelitian ini akan dipelajari pengaruh perbedaan tipe agroekosistem terhadap kemapanan parasitoid T. remus.

Secara spesifik, dilakukan pelepasan parasitoid T. remus pada agroekosistem kompleks (polikultur) dan sederhana (monokultur), kemudian dilakukan pengamatan terhadap tingkat kemapanan parasitoid yang dilepas pada habitat sasaran dengan menghitung jumlah kelompok telur perangkap yang terparasit dan tingkat parasitisasinya.

MATERI DAN METODE

Perbanyakan massal Spodoptera litura Perbanyakan S. litura dilakukan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen HPT IPB (Hama dan Penyakit Tanaman, Institut Pertanian Bogor). Larva S. litura diambil dari pertanaman talas, dipelihara dalam kotak plastik (17cm x 12cm x 4cm) dengan pakan daun kedelai yang diganti setiap hari. Menjelang berpupa, serbuk gergaji steril dimasukkan ke kotak plastik dengan

ketebalan 2cm. Pupa yang terbentuk direndam dalam larutan kloroks 2% selama 1 menit, dicuci dengan air steril, dan ditempatkan dalam wadah plastik (diameter 9cm, tinggi 6cm) dengan alas kertas merang. Imago yang muncul dipindahkan ke stoples plastik (diameter 15cm, tinggi 20cm) yang seluruh permukaan dalamnya dilapisi kertas merang sebagai tempat peletakan telur. Stoples dengan ukuran tersebut maksimal berisi 30 imago (25 betina, 5 jantan). Ke dalam stoples tersebut disediakan madu 10% yang diserapkan pada kapas sebagai pakan tambahan untuk imago parasitoid. Pemanenan telur S. litura dilakukan setiap hari.

Perbanyakan massal parasitoid T. remus

T. remus diperoleh dari inang S.

litura yang dikoleksi dari daerah

Ciranjang Cianjur Jawa Barat. Kelompok telur S. litura di lapangan diambil, dimasukkan ke dalam tabung reaksi (diameter 1,5cm, tinggi 10cm), dan diinkubasi pada suhu kamar hingga parasitoid muncul. Selanjutnya parasitoid diperbanyak dengan inang S. litura hasil perbanyakan laboratorium. Kelompok telur S. litura berumur kurang dari 24 jam dimasukkan ke tabung reaksi yang berisi

(5)

115 pakan parasitoid. Setelah dipaparkan selama 24 jam, kelompok telur inang dipindahkan ke tabung reaksi lain. Pada hari ke-3 setelah pemaparan, kelompok telur diperiksa dengan mikroskop, apabila terdapat larva S. litura segera diambil dan telur yang terparasit dimasukkan tabung reaksi dan diinkubasi hingga parasitoid muncul.

Petak Percobaan

Setiap petak percobaan berukuran 10m x 15m, ditanami kedelai varietas Wilis dengan jarak tanam 20cm x 25cm. Lahan berukuran 10m x 10m di antara petak-petak percobaan ditanami jagung manis dan difungsikan sebagai pembatas antar petak percobaan. Cara budidaya seperti yang biasa dilakukan petani, gulma dicabut secara manual dengan tangan, dan tanpa penggunaan pestisida. Petak polikultur, sebagai tipe agroekosistem kompleks, ditanami kedelai secara tumpang sari (strip cropping) dengan cabe merah varietas Prabu, dan pada sisi luar petak ditanam 4 jenis perdu berbunga yaitu Cardamine hirsuta, Portulaca

oleacae, Lugwigia hyssopifolia, dan

Jussiaea suffruticosa (Gambar 1). Cabe

merah dan tumbuhan berbunga ditanam 2 minggu sebelum penanaman kedelai. Petak monokultur, sebagai tipe agroekosistem sederhana, hanya ditanami

kedelai dengan waktu tanam kedelai bersamaan dengan petak polikultur. Petak-petak percobaan tersebut disusun menurut rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan.

Survei pendahuluan parasitoid telur Survei pendahuluan bertujuan untuk mengetahui jenis parasitoid telur S. litura yang secara alami terdapat di lokasi percobaan dan tingkat parasitisasinya. Saat kedelai berumur 3 MST (minggu setelah tanam), 10 kelompok telur S. litura

dipasang pada 10 tanaman kedelai yang dipilih acak pada setiap petak percobaan. Setiap kelompok telur dilekatkan pada sisi bawah daun kedelai yang tangkai daunnya diolesi vaselin untuk mencegah serangan predator. Setelah 24 jam dipaparkan di lapangan, telur perangkap diambil kembali dan diinkubasi di laboratorium pada suhu kamar. Pada hari ke-3 inkubasi, telur perangkap diperiksa dan apabila terdapat larva S. litura segera diambil dan dihitung jumlahnya. Jumlah telur terparasit, telur rusak, dan telur yang dimakan predator juga dihitung. Telur terparasit diinkubasi kembali hingga parasitoid muncul. Parasitoid yang muncul diidentifikasi jenisnya dan dihitung tingkat parasitisasinya dengan persamaan:

Jumlah telur

(6)

116 Tingkat parasitisasi kelompok (%) = sebuah kelompok telur Jumlah telur terparasit & menetas pada sebuah kelompok telur Tingkat parasitisasi total (%) = Jumlah telur terparasit pada semua kelompok telur x 100% Jumlah semua telur perangkap* yang dipaparkan

* adalah telur yang berkondisi baik yaitu yang terparasit atau menetas menjadi larva inangnya

Kemapanan T. remus pada

agroekosistem

Pelepasan parasitoid dilakukan menurut metode spot release (Hernandez

et al. 1988) saat kedelai berumur 6 MST.

Pelepasan tersebut dilakukan secara inundatif agar semua telur perangkap memperoleh kesempatan dioviposisi oleh betina parasitoid. Pada setiap petak percobaan dipasang 18 kelompok telur S.

litura sebagai inang perangkap untuk

parasitoid T. remus yang dilepas. Kelompok-kelompok telur perangkap tersebut dipasang secara sistematis pada jarak ½, 1, 2, 4, dan 7m dari titik pelepasan parasitoid. Peletakan telur perangkap dilakukan di sekeliling titik pelepasan pada semua arah (utara, timur, selatan, dan barat) (Gambar 2). Pada setiap titik penempatan, dipasang 1 kelompok telur perangkap berisi ± 100

butir telur S. litura yang berumur kurang dari 24 jam. Kelompok-kelompok telur inang tersebut dilekatkan pada bagian permukaan bawah daun menggunakan selotip pada ketinggian 50-75cm di atas permukaan tanah. Selanjutnya, ± 5000 T.

remus berumur kurang dari 24 jam dilepas

dengan ketinggian sejajar peletakan telur perangkap. Kegiatan pelepasan parasitoid dilakukan pada pagi hari (07:00-08:00WIB). Setelah dipaparkan selama 24 jam, kelompok telur diambil kembali dan diproses seperti pada percobaan survei pendahuluan. Selanjutnya dilakukan pemasangan kembali telur perangkap pada posisi penempatan yang sama setiap 2 hari dan dilakukan hingga hari ke-11 sejak saat pelepasan parasitoid.

HASIL Survei parasitoid

Sejumlah empat kelompok telur perangkap yang dipaparkan selama 24 jam di lokasi percobaan positif terparasit oleh parasitoid telur. Setelah diinkubasi dalam laboratorium, teridentifikasi dua spesies parasitoid telur S. litura yang secara alami terdapat di lokasi percobaan yaitu T.

remus dan Trichogramma sp. Tingkat

parasitisasi dan kemunculan imago kedua jenis parasitoid telur S. litura tersebut relatif rendah (Tabel 1).

(7)

117 Kemapanan parasitoid T. remus

Pengamatan langsung pada jam-jam awal setelah dilepaskan, parasitoid T. remus terlihat terbang berputar-putar di sekitar titik pelepasan dan selanjutnya terbang menjauh ke segala arah. Pada hari ke-1 setelah pelepasan parasitoid, diperoleh kelompok telur perangkap yang terparasit oleh parasitoid T. remus. Hal tersebut menunjukkan bahwa parasitoid yang dilepas memiliki kapasitas pencarian inang yang baik di lapangan. Telur perangkap yang terparasit juga ditemukan pada hari ke-11 setelah pelepasan T.

remus yang mengindikasikan bahwa

parasitoid tersebut berhasil menetap/mapan pada lokasi sasaran pengendalian (Gambar 3).

Jumlah kelompok telur S. litura

yang terparasit dan tingkat parasitisasi oleh parasitoid T. remus menunjukkan pola yang mirip pada petak polikultur dan monokultur (Gambar 3). Pada hari pertama pengamatan atau 24 jam setelah pelepasan parasitoid, telah terdapat kelompok telur yang terparasit dengan tingkat parasitisasi yang rendah, selanjutnya meningkat hingga puncaknya pada hari ke-5, kemudian kembali menurun perlahan hingga akhir pengamatan pada hari ke-11. Meskipun demikian, terlihat bahwa pada petak

polikultur lebih banyak kelompok telur perangkap yang terparasit (Gambar 3A) dengan tingkat parasitisasi lebih tinggi daripada petak monokultur (Gambar 3B).

T. remus mampu bertahan hingga

hari ke-11 pada pertanaman di lapangan, sedangkan di laboratorium hanya berumur rata-rata 1 hingga 2 hari pada suhu 25oC

tanpa pemberian pakan tambahan (Gambar 4). Pengamatan di dalam laboratorium menunjukkan bahwa tanpa pemberian madu 10% sebagai pakan tambahan, sebagian besar imago T. remus

akan mati setelah meletakkan telurnya. T.

remus dalam laboratorium langsung

memarasit inangnya dengan tingkat parasitisasi yang relatif tinggi (Gambar 4). Pola parasitisasi tersebut berbeda dengan parasitoid yang dilepas di lapangan meskipun menggunakan populasi parasitoid dari induk dan generasi yang sama dengan hasil perbanyakan massal dalam laboratorium. Tingkat parasitisasi T. remus di lapangan pada pengamatan hari pertama relatif rendah dan jauh di bawah populasi laboratorium. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa parasitoid yang dilepas memerlukan tambahan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya di lokasi sasaran pengendalian.

Tingkat parasitisasi T. remus pada petak polikultur lebih tinggi daripada

(8)

118 monokultur dan populasi laboratorium (Gambar 4). Hasil tersebut memperjelas bahwa kualitas lingkungan pada agroekosistem kompleks (polikultur) lebih mendukung lama hidup dan kemampuan parasitisasi parasitoid T. remus. Juga terindikasi bahwa T. remus yang dilepas memiliki kemampuan bertahan hidup yang baik dan mampu mapan pada agroekosistem kompleks (polikultur) dan sederhana (monokultur) sehingga potensial dikembangkan sebagai agens pengendali hayati.

Kemunculan imago baru

Munculnya parasitoid baru yang merupakan keturunan dari parasitoid yang dilepas sebelumnya merupakan salah satu indikator bahwa parasitoid yang dilepas telah berhasil mapan di lokasi sasaran pengendalian. Hal tersebut penting karena sebagai agens pengendali, parasitoid harus selalu hadir dan mapan lebih dahulu pada pertanaman sebagai faktor penekan populasi hama sasaran pengendalian. Hasil percobaan diperoleh bahwa proporsi kemunculan imago baru pada petak pertanaman polikultur lebih tinggi daripada petak monokultur (Gambar 5).

PEMBAHASAN

Hasil survei pendahuluan terhadap jenis parasitoid telur yang secara alami terdapat di lokasi percobaan menunjukkan

bahwa tingkat parasitisasi dan kemunculan imago parasitoid telur S.

litura relatif rendah (Tabel 1). Hal

tersebut menunjukkan bahwa populasi alami parasitoid telur S. litura di lokasi percobaan relatif rendah, sehingga percobaan dengan pelepasan parasitoid layak dilanjutkan. Menurut Buchori (komunikasi pribadi), percobaan dengan pelepasan parasitoid di lapangan hanya layak dilakukan apabila tingkat parasitisasi oleh parasitoid populasi alami kurang dari 50%.

Jumlah kelompok telur inang yang terparasit dan tingkat parasitisasi yang lebih tinggi pada petak polikultur mengindikasikan bahwa manipulasi habitat yang dilakukan pada sistem pertanaman kompleks diduga kuat lebih baik dalam mendukung unjuk kerja dan kemapanan parasitoid T. remus di lapangan. Keberadaan tanaman berbunga

C. hirsuta, P. oleacae, L. hyssopifolia, dan

J. suffruticosa di sekeliling petak

percobaan tipe polikultur kemungkinan berfungsi optimal menyediakan pakan tambahan berupa nektar untuk imago parasitoid T. remus yang dilepas. Pada saat percobaan pelepasan parasitoid dilakukan, keempat tanaman non-budidaya tersebut sedang berbunga dan terlihat banyak serangga yang

(9)

119 mendatanginya. Hasil di atas serupa dengan yang dilaporkan Cave (2000) bahwa tingkat parasitisasi T. remus

berkisar 65-92% pada petak tanaman yang di sekitarnya terdapat gulma berbunga, sedangkan pada petak tanpa gulma berbunga hanya berkisar 20-60%. Sejumlah penelitian yang lain juga menyatakan bahwa peningkatan keanekaragaman tumbuhan berbunga di agroekosistem mampu meningkatkan peran, aktifitas, kelangsungan hidup (survival), kemapanan (establisment), dan lama hidup (longevity) parasitoid karena memungkinkan tersedianya pakan tambahan untuk imago parasitoid (nektar dan polen), inang alternatif, tempat berlindung (shelter), dan daerah pelarian (refugia area) saat kondisi lingkungan buruk (Idris & Grafius 1995; van Driesche & Bellows 1996; Baggen & Gurr 1998; Lewis et al. 1998; Landis et al. 2000; Tscharntke et al. 2001). Lebih lanjut Cave (2000) menyatakan bahwa pelepasan parasitoid T. remus pada kerapatan tinggi (75.000-105.000 individu per hektar per minggu) tidak berbeda tingkat parasitisasinya dengan pelepasan pada kerapatan rendah (35.000-50.000 individu per hektar per minggu). Hasil tersebut semakin menunjukkan bahwa peningkatan kualitas agroekosistem lebih penting

daripada frekuensi dan kuantitas T. remus

yang dilepas di lapangan.

T. remus dalam laboratorium

langsung memarasit inangnya dengan tingkat parasitisasi yang relatif tinggi, sedangkan parasitoid yang dilepas di lapangan relatif rendah tingkat parasitisasinya meskipun menggunakan populasi parasitoid dari induk dan generasi yang sama hasil perbanyakan massal di laboratorium (Gambar 4). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa parasitoid yang dilepas memerlukan tambahan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya di lokasi sasaran pengendalian. Menurut van Driesche and Bellows (1996), parasitoid menempuh beberapa tahapan untuk memarasit inangnya di lapangan. Tahapan tersebut adalah menemukan habitat serangga inang (host habitat finding), melokalisasi dan menemukan inang (host finding), penerimaan inang (host acceptance), dan kecocokan terhadap inangnya (host

suitability). Periode waktu untuk

menyelesaikan tahap-tahap tersebut bervariasi pada setiap individu parasitoid. Menurut Baggen and Gurr (1998), ketersediaan pakan dan inang sangat mempengaruhi strategi pencarian imago parasitoid. Parasitoid yang lapar lebih memilih mencari pakan daripada berusaha

(10)

120 menemukan inangnya (Takasu and Lewis 1993; Lewis et al. 1998). Oleh karena itu, ketersediaan sumber pakan tambahan di sekitar tanaman budidaya diperlukan agar waktu pencarian pakan tidak lebih banyak daripada waktu pencarian inang sehingga parasitisasi lebih efektif. Seperti parasitoid telur lainnya, imago T. remus

membutuhkan pakan tambahan dan inang. Kemampuan parasitoid untuk mapan dan menetap pada daerah sasaran pengendalian mencerminkan keefektifan dan keberhasilannya sebagai agens pengendalian hayati. Selain dengan penggunaan parasitoid berkebugaran tinggi, kualitas lingkungan agroekosistem sasaran pengendalian juga menentukan keberhasilan pengendalian hayati. Secara keseluruhan, tingkat parasitisasi pada petak polikultur lebih tinggi daripada monokultur. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa manipulasi habitat pada polikultur menyediakan lingkungan lebih sesuai untuk mendukung unjuk kerja dan keefektifan T. remus. Ketersediaan pakan tambahan bagi imago

T. remus yang dilepas di lapangan diduga

merupakan salah satu kunci lebih baiknya kualitas lingkungan tersebut. Seperti yang dilaporkan Takasu and Lewis (1993) bahwa ketika disediakan pakan tambahan di petak pertanaman, imago parasitoid

Microplitis croceipes yang lapar akan

cepat menemukan pakan tersebut dan secepatnya kembali mencari inang. Juga diketahui bahwa parasitoid yang dilepas dalam keadaan lapar, tetapi disediakan pakan di pertanaman, memiliki kemampuan pencarian inang yang sama baiknya (dalam beberapa kasus bahkan lebih baik) dengan parasitoid yang dilepas dalam keadaan kenyang.

Kelangsungan hidup pradewasa parasitoid telur menurun seiring peningkatan umur telur inang saat oviposisi (CABI 2002). Rendahnya kemunculan imago baru dari telur perangkap yang dipasang di lapangan diduga kuat bukan akibat kualitas telur perangkap yang buruk karena telur yang dipakai benar-benar dipilih yang berkualitas baik dan berumur kurang dari 24 jam. Faktor lingkungan yaitu fluktuasi suhu dan kelembaban udara akibat hujan yang sering turun diduga menyebabkan penurunan kemunculan imago. Menurut Sosromarsono (2002), parasitoid bersifat poikilotermal sehingga suhu lingkungan dan kelembaban nisbi berpengaruh kuat

terhadap metabolisme dan

perkembangannya. Selama percobaan berlangsung, sebagian besar telur perangkap dalam kondisi basah ketika dikoleksi kembali dari lapangan. Hal

(11)

121 tersebut diduga merusak telur yang telah terparasit sehingga tidak mampu berkembang sempurna dan gagal muncul sebagai imago. Hasil tersebut menunjukkan bahwa T. remus mampu memarasit saat musim hujan meskipun tingkat kemunculan imagonya rendah.

KESIMPULAN

Manipulasi habitat dengan penanaman tumbuhan berbunga C. hirsuta, P. oleacae,

L. hyssopifolia, dan J. suffruticosa di sekeliling petak polikultur terbukti mampu menyediakan pakan tambahan bagi imago parasitoid yang dilepas. Lingkungan pertanaman yang lebih kompleks tersebut menyebabkan parasitoid T. remus yang dilepas lebih mapan dan memiliki kelangsungan hidup lebih lama. Oleh karena itu, jumlah kelompok telur perangkap yang terparasit dan tingkat parasitisasi T. remus pada petak polikultur (68,9%) lebih tinggi daripada monokultur (51,9%).

DAFTAR PUSTAKA

Altieri, M.A., J.R. Cure, and M. Garcia. 1993. The role and enhancement

of parasitic hymenoptera

biodiversity in agroecosystems. In Hymenoptera and Biodiversity, Edited by LaSalle and F Gauld. CAB International, Wallingtord, UK 257-275

Baggen, L.R, and G.M. Gurr. 1998. The influence of food on Copidosoma

koehleri (Hymenoptera :

Encyrtidae), and the use of flowering plants as habitat management tool to enhance biological control of potato moth,

Phthrimaea operculella

(Lepidoptera : Gelechiidae). Biological Control 11: 9-17. Buchori, D. 2002. Optimalisasi peran agen

pengendalian hayati dalam melestarikan lingkungan: model pengembangan konservasi agroekosistem di Indonesia. Seminar Nasional Perkembangan Terkini Pengendalian Hayati di Bidang Pertanian dan Kesehatan : Bogor, 5 September 2002. hlm 1-6

[CABI] CAB International. 2002. Crop Protection Compendium 2002 ed. [CD-ROM]. London: CABI. Cave, R.D. 2000. Biology, ecology and

use in pest management of

Telenomus remus. Biocontrol

21(1):21-26

Conway, G.R, and J.V. Remenyi. 1985. Agricultural ecology and farming systems research. In Agricultural systems research for developing countries. Proceedings of an

(12)

122 International Workshop Held at Hawkesbury Agricultural College Richmond; NSW Australia, 12-15 May 1985. pp 43-59

Hernandez, D., and F. Ferrer, Linares B.

1988. Introduction de Telenomus

remus Nixon (Hymenoptera :

Scelionidae) to control Spodoptera

frugiperda (Lepidoptera :

Noctuidae) in Yaritagua Venezuela. Tropical Agronomy 39:199-205

Idriss, A.B., and E. Grafius. 1995. Wildflowers as nectar sources for

Diadegma insulare (Hymenoptera

: Ichneumonidae), a parasitoid of diamondback moth (Lepidoptera : Yponometidae). Environmental Entomology 24(6):1727-1735 Kalshoven, L.G.E. 1981 The Pests of

Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Landis, D.A., S.D. Wratten, and G.M.

Gurr. 2000. Habitat management to conserve natural enemies of arthropod pests in agriculture. Annual Rev. Entomology 45:175-201

Lewis, W.J., J.O. Stapel, A.M. Cortesero, and K. Takasu. 1998. Understading how parasitoids balance food and host needs: importance to biological control. Biological Control 11:175-183 Mattjik, A.A., dan I.M. Sumertajaya.

2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1 Ed. 2.IPB Press Bogor. Menalled, F.D., P.C. Marino, S.H. Cage,

and D.A. Landis. 1999. Does agricultural landscape structure affect parasitism and parasitoid diversity? Ecology Application 9(2):634-641

Nicholls, C.I., and M.A. Altieri. 2003. Designing spesies-rich, pest-suppresive agroecosystem through habitat management. [online]. http://agroeco.org

/brasil/material/designing_ spesies.htm. [29 Okt 2003]

Takasu, K., and W.J. Lewis. 1993. Host and food foraging of the parasitoid

Microplitis croceipes: learning and physiological state effects. Biological Control 3:70-74

Takasu, K, and W.J. Lewis. 1995. Importance of adult food sources to host searching of the larval

(13)

123 parasitoid Microplitis croceipes. Biological Control 5:25-30

Tscharntke, T., M.E. Hochberg, and A.R. Ives. 2001. Parasitoid Population

Biology. Princeton Univ Press,

Princeton.

Van Driesche, R.G., and T.S. Bellows Jr. 1996. Biological Control. Chapman and Hall, New York Wratten, S., L. Berndt, G.M. Gurr, J.

Tylianakis, P. Fernando, and R. Didham. 2003. Adding floral

diversity to enhance parasitoid fitness and efficacy. [online]. 1st

International Symposium on Biological Control of Arthropods: 211-214. [29 Oktober 2003] Yuliarti, N. 2002. Karakter morfologi dan

molekuler parasitoid telur

Telenomus spp. (Hymenoptera:

Scelionidae) dari beberapa daerah di Jawa. [tesis]. Program Pascasarjana IPB Bogor

(14)

124

Gambar 1. Denah skematis susunan petak-petak percobaan di lapangan.

Gambar 2. Skematis tata letak pemasangan telur perangkap dan titik pelepasan parasitoid menurut metode release spot.

Gambar 3. Jumlah kelompok telur S. litura terparasit (A) dan tingkat parasitisasi (B) oleh parasitoid T. remus di petak-petak percobaan.

Cabe merah 10m 10m 15m 15m Jagung manis Tanaman berbunga Kedelai Kedelai Polikultu Monokultur

posisi titik pelepasan parasitoid posisi pemasangan telur perangkap 7m 4m 2m 1m ½m 4m 2m 1m 10 m 15 m 0 10 20 30 40 50 60 70

hari ke-1 hari ke-3 hari ke-5 hari ke-7 hari ke-9 hari ke-11

tk . p a ra s iti s a s i to ta l ( % ) Polikultur Monokultur 0 18 36 54 jm l k lp t e lu r te rp a ra s it Polikultur Monokultur A ) B

(15)

125 0 10 20 30 40 50 60 70 80

hari ke-1 hari ke-3 hari ke-5 hari ke-7 hari ke-9 hari ke-11

tk . p a ra s iti s a s i t o ta l ( % ) Polikultur Monokultur Populasi laboratorium

Gambar 4. Tingkat parasitisasi parasitoid T. remus yang dilepas di lapangan dan populasi laboratorium terhadap kelompok telur S. litura.

Tabel 1. Jenis parasitoid telur yang muncul dari telur S. litura yang terparasit.

Tipe pertanaman

Tingkat parasitisasi kelompok (%) ± SE

Tingkat parasitisasi total (%) ± SE Kemunculan imago (%) ± SE T. remus Trichogram ma sp T. remus Trichogram ma sp T. remus Trichogram ma sp Polikultur 24,7 ± 6,9 (n = 3) 3,8 ± 0,0 (n = 1) 2,5 ± 2,3 (n = 3) 0,7 ± 0,0 (n = 1) 0 10,4 ± 0,0 Monokultur 38,6 ± 6,3 (n = 3) 8,6 ± 0,0 (n = 1) 8,4 ± 1,1 (n = 3) 0,9 ± 0,0 (n = 1) 57,1± 12,7 3,9 ± 0,0

[Sumber data populasi laboratorium: Adhasari, HPT-IPB 2004]

Polik ultur

25%

75%

imago muncul imago tidak muncul

M onok ultur

18%

82%

Gambar 5. Proporsi kemunculan imago dari kelompok telur perangkap yang terparasit di lapangan.

Gambar

Gambar  2.  Skematis  tata  letak  pemasangan  telur  perangkap  dan  titik  pelepasan  parasitoid menurut metode release spot
Gambar  5.  Proporsi  kemunculan  imago  dari  kelompok  telur  perangkap  yang  terparasit  di   lapangan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanfaatkan Java Media Frameworkstm , dan menerapkannya dalam pembuatan aplikasi dengan program grafis dari Netbeans 5.5 untuk membuat tampilan dari aplikasi ini. File-file

Sehubungan dengan telah selesainya koreksi aritmatik yang dilakukan oleh Pokja V Unit Layanan.. Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Musi Banyuasin

Provinsi Kab./Kota Bidang Unit Organisasi Hewan/Ternak dan Tumbuhan Jumlah Sub

1) Menganalisis materi pembelajaran penjasorkes sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. 2) Menganalisis materi pembe lajaran penjasorkes berdasar kan

1. Bapak Ir.Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Bapak Basuki Rahmat, S.Si, MT selaku Ketua Program Studi

penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan verbal linguistik anak melalui media gambar seri pada anak kelompok A TK Pertiwi Sidowarno II Wonosari

Adapun program yang dilaksanakan selama mendampingi keluarga Bapak Nyoman Durus diantaranya program tukar pikiran / diskusi mengenai masalah perekonomian, memberi

笔者选择 Kalam Kudus 小学部作 实 单位是因 想了解 Kalam. Kudus