• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKTABAH AS SUNNAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKTABAH AS SUNNAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Hadist-Hadits Lemah Yang Berkaitan Dengan Bulan

Ramadhan

[ SALAFY Edisi XXIII/Ramadhan/1418 H/ 1998 M ]

Seringkali kita mendengar para khatib di atas mimbar membawakan hadits-hadits tentang Ramadhan dan keutamaannya. Di antara hadits-hadits yang mereka bawakan

ada yang shahih1 dan ada yang dlaif, bahkan maudlu’ (palsu). Namun sangat

disayangkan ketika membawakan hadits-hadits lemah, mereka tidak menerangkan tentang kelemahannya kepada hadirin yang awam tentang permasalahan hadits sehingga orang-orang yang mendengarnya menyangka bahwa hadits-hadits itu

adalah ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, padahal sama sekali bukan!

Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai nasehat

kepada seluruh kaum Muslimin, baik para khatib-nya maupun pendengarnya.

Tidak Boleh Beramal Dengan Hadits Lemah Dalam Hal Fadhailul A’mal

(Keutamaan Amal)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata : [ Di kalangan Ahli

Ilmu dan para penuntut ilmu telah masyhur bahwa hadits dlaif boleh diamalkan dalam

fadlailul a’mal. Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan.

Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab

beliau bahwa hal itu telah disepakati. Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena

perselisihan dalam masalah ini ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti hadits)

berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam

perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.

Syaikh Al Qasimi rahimahullah dalam Qawaid At Tahdits halaman 94 mengatakan

bahwa pendapat tersebut (yakni hadits dlaif tidak diamalkan secara mutlak, pent.)

diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ‘Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan

dalam Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakar bin Al Arabi.

Pendapat itu juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm.

1Hadits-hadits shahih tentang bulan Ramadhan dan keutamaannya dapat dili hat pada Muslimah edisi

(2)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Aku (Syaikh Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan

padanya karena beberapa perkara : Pertama, hadits dlaif hanya mendatangkan

sangkaan yang salah (dhanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan

kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dlaif dalam

fadlailul a’mal, hendaknya dia mendatangkan bukti. Sungguh sangat jauh! Kedua,

yang aku pahami dari ucapan mereka tentang fadlail a’mal yaitu amal-amal yang

telah disyariatkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya.

Maka hadits lemah dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam fadlail a’mal2,

karena hal itu bukan pensyariatan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan

sebagian ulama dimaksudkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al Qari rahimahullah

dalam Al Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara

fadlail walaupun tidak didukung secara ijma’ sebagaimana keterangan Imam Nawawi. Yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Kitab dan Sunnah.

Dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits lemah diperbolehkan jika telah ada hadits shahih yang menunjukkan disyariatkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti ini tidak memaksudkan makna itu. Buktinya kita

menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dlaif yang tidak terkandung dalam

hadits-hadits shahih. Seperti Imam Nawawi dan yang mengikutinya menganggap

sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika

mengucapkan dua kalimat (qad qamatish shalah, qad qamatish shalah) dengan

ucapan aqamahallah wa adamaha (semoga Allah menegakkannya dan

melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini lemah 3 . Amal ini tidak

ditetapkan pensyariatannya kecuali pada hadits lemah tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu

hukum di antara kelima hukum4 yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.

Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyariatkan dan disunnahkan

bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits dlaif yang tidak ada asal

pensyariatannya dalam hadits shahih. Akan tetapi di sini tidak mungkin untuk mencantumkan berbagai contoh. Cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.

2Yakni dari segi adanya dalil tentang asal amal itu, bukan dari segi adanya dalil yang menetapkan

pahala yang khusus pada amal itu. (Ilmu Ushulil Bida’ halaman 15)

(3)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Yang terpenting di sini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini

mengetahui bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlail tidak mutlak

menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al Hafidh Ibnu Hajar berkata

dalam Tabyinul ‘Ujab halaman 3 - 4 bahwa para Ahli Ilmu telah bermudah-mudah

dalam membawakan hadits-hadits tentang fadlail walaupun memiliki kelemahan

selama tidak maudlu’ (palsu). Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang

beramal dengannya meyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits lemah dan mensyariatkan apa yang tidak disyariatkan. Atau sebagian orang-orang jahil menyangka bahwa hadits itu adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.

Hendaklah setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shallallahu

'Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap dusta, maka dia termasuk pendusta.”

Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?! Tidak ada perbedaan antara

mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara fadlail, sebab

semuanya adalah syariat.

Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dengan hadits lemah :

1. Hadits ini tidak maudlu’

2. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu dlaif.

3. Tidak memasyhurkan beramal dengannya.

Tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya. Kalaupun mereka mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih! Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah di kalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang shahih.

Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi. Sebab satu pun di antara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tampak.

(4)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Menurutku (Syaikh Albani), Al Hafidh Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits lemah berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau

dalam fadlail sebab semuanya adalah syariat.

Inilah yang hak, karena hadits dlaif yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah

dusta, bahkan pada umumnya dusta dan palsu. Hal ini ditegaskan oleh sebagian

ulama. Orang yang membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan Nabi

Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “ … yang tampak bahwa hadits itu dusta.” Yaitu dia menampakkan seperti itu. Oleh karena itu, Al Hafidh menambahkan dengan ucapannya : “Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?!”

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Imam Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits (yang berisi ancaman tersebut). Dan kita katakan seperti perkataan Al Hafidh : “Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?”

Inilah penjelas dari maksud ucapan Al Hafidh tersebut. Adapun jika ucapan beliau

dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’ dan tidak ada perbedaan

antara perkara hukum dan fadlail, adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al Hafidh.

Sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dlaif, bukan maudlu’.

Sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.

Apa yang kami sebutkan tidak menafikan bahwa Al Hafidh menyebutkan syarat-syarat

itu untuk mengamalkan hadits dlaif. Sebab kita katakan bahwa Al Hafidh

menyebutkan perkara itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits

lemah dalam perkara fadlail selama tidak maudlu’. Seakan-akan beliau berkata

kepada mereka : “Jika kalian berpendapat demikian maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini.”

Al Hafidh tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam pembolehan (beramal dengan hadits-hadits lemah, pent.) dengan syarat-syarat itu. Bahkan di akhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kita terangkan.

Kesimpulannya bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlailul a’mal

tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat tersebut dan konsisten dengan

syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits lemah. Wallahul Muwaffiq. ]

(5)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Hadits-Hadits Lemah Yang Berkaitan Dengan Bulan Ramadhan

Setelah kita mengetahui bahwa pendapat yang kuat dalam masalah hadits dlaif

adalah tidak boleh dipakai sekalipun dalam fadlailul a’mal dan seandainya

diperbolehkan harus dipenuhi syarat-syarat tersebut.

Maka pada pembahasan terakhir ini kita akan menukil beberapa hadits lemah yang

diucapkan para khatib dan diamalkan di bulan Ramadhan dari kitab Shifat Shaum

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam fi Ramadhan karya Syaikh Salim Al Hilali dan

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 109-113. Beliau berdua menyebutkan beberapa hadits beserta penilaiannya.

“Seandainya hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada di bulan Ramadhan niscaya umatku berangan-angan agar Ramadhan setahun penuh. Sesungguhnya Surga dihiasi untuk Ramadhan dari ujung tahun ke tahun berikutnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam kitab Al Maudlu’at 2/188-189, Abu Ya’la dalam Musnad-nya sebagaimana di dalam Al Mathalib Al ‘Aliyah (qaf 46/alif-ba/naskah manuskrip) dari jalan Jarir bin Ayub Al Bajali dari Sya’bi dari Nafi’ bin Bardah dari Abu Mas’ud Al Ghifari)

Hadits ini maudlu’, cacatnya pada Jarir bin Ayub. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya

dalam Lisanul Mizan 2/101 dan berkata : “Dia terkenal dengan kelemahannya.”

Kemudian Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Nu’aim tentang dia : “Dia pemalsu hadits.” Sedang dari Bukhari : “Dia meriwayatkan hadits mungkar.” Dan dari Nasa’i : “Dia

matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) !!” Ibnul Jauzi menghukumi dia sering memalsukan hadits.

“Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai kewajiban dan shalat malam sebagai sunnah. Barangsiapa bertaqarub di dalamnya dengan satu kebaikan, maka dia seperti menunaikan suatu kewajiban pada bulan lain … Ramadhan adalah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah kemerdekaan dari api neraka … .”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah nomor 1887, Al Muhamili dalam Amali

-nya nomor 293, Al Ashbahani dalam At Targhib (qaf/178, ba’/naskah manuskrip)

(6)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Ali bin Zaid. Ibnu Sa’ad berkata : “Dia (Ali bin Zaid) lemah, tidak dapat dijadikan hujah.” Ahmad bin Hambal berkata : “Dia

dlaif.” Ibnu Abi Haitsamah berkata : “Dia dlaif dalam segala hal.” Ibnu Khuzaimah berkata : “Aku tidak berhujah dengannya karena hapalannya jelek.” Demikian dalam

Tahdzibut Tahdzib 7/322-323.

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits tersebut, dengan ucapan : “Jika

hadits ini shahih.” Ibnu Hajar berkata dalam Al Athraf : “Tidak diperselisihkan

tentang Ali bin Zaid bin Ja’ad, dia adalah dlaif.”

Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu Hatim) di dalam I’lalul Hadits 1/249 :

“Hadits ini mungkar.”

“Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.”

Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Al Kamil 7/2521

dari jalan Nahsyal bin Said dari Ad Dlahhak dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma.

Nahsyal adalah matruk, dia berdusta dan Ad Dlahhak tidak mendengar langsung dari

Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma.

Diriwayatkan pula oleh At Thabrani dalam Al Ausath (1/qaf-69/alif-Majma’ul

Bahrain). Demikian pula Ibnu Bukhait dalam Juz’u-nya sebagaimana dalam Syarhul

Ihya’ 7/401 dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud dari Zuhair bin

Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu.

Sanad hadits ini lemah. Abu Bakar Al Atsram berkata : “Aku mendengar Ahmad berkata, ‘mereka (orang-orang Syam) meriwayatkan beberapa hadits mungkar dari Zuhair’.” Abu Hatim berkata : “Hapalan Zuhair jelek. Haditsnya ketika di Syam lebih mungkar daripada haditsnya di Irak karena hapalannya jelek.” Al Ajali berkata : “Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Syam darinya tidak menakjubkan

aku.” Demikian dalam Tahdzibul Kamal 9/417.

Aku (Syaikh Ali) katakan bahwa Muhammad bin Sulaiman adalah penduduk Syam.

Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyk (15/qaf 386/naskah manuskrip).

Riwayatnya dari Zuhair --sebagaimana ditegaskan oleh para imam-- adalah mungkar. Di antaranya adalah hadits ini.

“Barangsiapa membatalkan (puasanya) satu hari dari bulan Ramadhan tanpa udzur dan sakit, maka tidak dapat diqadla’ walaupun dia puasa sepanjang tahun.”

(7)

Z

MAKTABAH AS SUNNAH

http://assunnah.cjb.net

Hadits ini disebutkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya (Fathul Bari 4/160) secara

mu’alaq (tanpa sanad). Disebutkan sanad-sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam

Shahih-nya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, Nasa’i dalam Al

Kubra, sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 10/373, Al Baihaqi 4/228, Ibnu Hajar

dalam Ta’liqut Ta’liq 3/170 dari jalan Abul Muthawwis dari ayahnya dari Abu

Hurairah radhiallahu 'anhu.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/161 : “Hadits ini banyak diperselisihkan pada

Habib bin Abi Tsabit. Sehingga hadits ini memiliki tiga ‘ilat (cacat), yaitu : Idltirab

(sanadnya goncang), keadaan Abul Muthawwis majhul (tidak dikenal), Abul

Muthawwis mendengar dari ayahnya dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu diragukan.

Ibnu Khuzaimah setelah meriwayatkan hadits ini berkata dengan ucapan : “Aku tidak

mengetahui siapa Ibnul Muthawwis dan ayahnya.” Sehingga hadits ini juga dlaif.

Demikian empat hadits yang di-dlaif-kan oleh para ulama. Meskipun demikian masih

sering terdengar dan terbaca pada setiap bulan Ramadhan yang diberkahi ini khususnya. Memang sebagian hadits tersebut mengandung makna shahih yang terdapat dalam syariat kita yang lurus ini, namun tidak boleh kita sandarkan hadits

yang tidak shahih itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dari hasil analisis data pada penelitian ini diperoleh bahwa penggunaan

Teman-teman keluarga besar Program Sarjana Binus UNIVERSITY, Edwin, San-san, Try Sutrisno, Hindi Huang, Dameria, Alika Cha-cha, Metta, dan seluruh teman-teman

2: Hold the ablation rate and wall temperature constant from the restart file, while applying the rigorous diffusion model (thus, the surface energy balance and char

Dalam hal terjadi Cedera atau sakit selama perjalanan, Penanggung akan mengganti Tertanggung beban Biaya Medis yang Wajar dan Umum yang timbul sejak tanggal Kecelakaan atau sakit

Hubungan yang sangat signifikan serta koefisien korelasi positif antara pendidikan non formal dengan persepsi petani terhadap varietas unggul baru Inpari 30 dan 33

Bahwa penjaminan mutu dimaksudkan untuk terwujudnya peradilan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta terwujudnya peningkatan kualitas

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap pihak yang akan melakukan

MARIFAH, S.Pd.AUD TK AL MUHAJIRIN Kolaka Timur Mengikuti PLPG... Nomor Peserta Nama Peserta