• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 175-182

SIFAT DAN BAGAN PENGERINGAN SEPULUH JENIS KAYU HUTAN RAKYAT UNTUK BAHAN BAKU MEBEL

Oleh:

Efrida Basri dan Karnita Yuniarti 1)

ABSTRAK

Umumnya industri perkayuan skala usaha kecil menengah (UKM) di Jawa mendapatkan

pasokan kayu dari hutan rakyat atau tanaman berumur muda. Agar bisa meningkatkan kualitas

dan memaksimalkan penggunaannya, dalam pengolahannya perlu menerapkan teknologi pengolahan

yang sesuai dengan kondisi dan sifat kayu yang diolah, diantaranya adalah pengeringan.

Tulisan ini mengkaji sifat dan bagan pengeringan sepuluh jenis kayu asal hutan rakyat yang

biasa digunakan sebagai bahan baku di UKM perkayuan, yaitu kayu rasamala, mangium, bayur,

sengon, kemiri, mindi, pulai, sungkai, manii dan gmelina. Dari hasil kajian, diketahui bahwa kayu

gmelina memiliki sifat pengeringan terbaik di antara kesepuluh jenis kayu tersebut, sehingga dalam

pengeringannya bisa menggunakan suhu yang tinggi. Cacat yang banyak dijumpai pada kesepuluh

jenis (kecuali gmelina) yang dikaji adalah pecah ujung dan perubahan bentuk. Sedangkan pecah di

bagian dalam kayu hanya pada mangium dan rasamala.

Berdasarkan sifat pengeringan dan kualitas fisik kayu/dolok, maka dari 10 jenis kayu

hutan rakyat yang diteliti dapat dimasukan ke dalam 7 bagan pengeringan dari yang terkeras sampai

yang terlunak (Tabel 2-8). Dari ke 10 jenis kayu rakyat yang dikemukakan terdapat 5 jenis yang

memiliki penampilan dekoratif sehingga sangat baik untuk bahan baku mebel. Ke-5 jenis tersebut

adalah mindi, mangium, sungkai, bayur dan gmelina.

Kata kunci : Kayu rakyat, mebel, sifat pengeringan, bagan pengeringan, kualitas

I. PENDAHULUAN

Industri permebelan di Indonesia, khususnya di Jawa didominasi oleh usaha

kecil menengah (UKM) dengan sistem ”home industry/cluster” yang bekerjasama dengan

(2)

meningkat dari tahun ke tahun. Data ekspor tahun 2005 menunjukkan total volume

ekspor mebel dari Indonesia sebanyak 1.800 ton dengan nilai US$ 1.800 juta. Namun

demikian, kontribusi terhadap total pertumbuhan hanya sekitar 2,6% yang membuat

peringkat Indonesia (no. 11) jauh di bawah China yang menempati urutan pertama dari

20 besar eksportir mebel dunia. Salah satu masalah krusial yang sering ditemukan di

industri permebelan skala UKM/pengrajin adalah mendapatkan produk yang berdaya

saing tinggi. Hal ini karena lemahnya penguasaan teknologi. Produk berupa mebel dan

kerajinan selalu dituntut harus berkualitas baik, terutama untuk ekspor. Agar ini bisa

terwujud maka faktor yang perlu diperhatikan adalah kondisi bahan baku kayu dan

penerapan teknologi pengolahan yang sesuai dengan keadaan dan sifat kayu tersebut.

Sebagaimana diketahui, umumnya pengrajin perkayuan di Jawa mendapatkan

pasokan kayu dari hutan tanaman/rakyat. Khusus dari hutan rakyat, jenis-jenis yang

diolah antara lain kayu durian, akasia mangium, bayur, sengon, kemiri, agatis, mindi,

lame/pulai, sungkai, manii dan gmelina yang umumnya dari tanaman muda (± 10

tahun). Kelemahan dari kayu muda antara lain kurang awet, dinding selnya tipis dengan

sudut mikrofibril lebih besar, lebih banyak memiliki arah serat spiral dan porsi kayu

remaja yang tinggi (Senft, 1986 dalam Martawijaya, 1990), sehingga dalam

pengolahannya memerlukan perhatian yang lebih agar bisa meningkatkan kualitas dan

memaksimalkan penggunaannya. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengolah kayu

tanaman muda, di antaranya adalah pola penggergajian yang tepat untuk memaksimalkan

rendemen, melakukan pengawetan dan atau densifikasi, serta menerapkan teknik

pengeringan yang sesuai dengan kondisi dan sifat kayu yang diolah. Khusus dalam

pengeringan kayu tanaman muda, problem yang sering ditemui berupa cacat bentuk,

kolap (collapse) dan pecah ujung. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dikemukakan

mengenai sifat pengeringan dan bagan pengeringan yang sesuai untuk sepuluh jenis

kayu hutan tanaman rakyat. Dengan demikian upaya untuk mendapatkan mebel

berkualitas baik bisa terwujud.

II. SIFAT PENGERINGAN

Untuk mendapatkan bagan pengeringan yang tepat bagi suatu jenis kayu, maka

sifat pengeringannya harus diketahui. Sifat pengeringan tersebut diperlukan untuk

(3)

efisien dan kualitas kayunya terjaga. Sifat pengeringan yang perlu diamati yaitu pecah

ujung, pecah permukaan yang terjadi pada kadar air di atas titik jenuh serat (Ka. ± 30%),

pecah pada bagian dalam kayu (internal checks/honeycomb) dan perbedaan dimensi

tebal pada jarak 1-2 cm dari satu permukaan ujung kayu (deformation). Sedangkan sifat

penunjang lainnya adalah kadar air awal dan kualitas fisik kayu/dolok.

Datahasil pengamatan sifat pengeringan kesepuluh jenis kayu hutan rakyat dapat

dilihat dalam Tabel 1. Data tersebut merupakan kumpulan dari hasil penelitian yang

sudah dan belum diterbitkan.

Tabel 1. Sifat fisik dan pengeringan 8 jenis kayu hutan rakyat

Sifat pengeringan/cacat pengeringan

Jenis Nama latin Kadar air segar

rata-rata, %

PU PM PD Def

1. Sengon Paraserianthes falcataria 63 4 2 1 3

2. Mindi Melia azedarach 61 3 1 1 3

3. Mangium Acacia mangium 117 2 3 5 2

4. Sungkai Peronema canescens 92 4 2 1 3

5. Kemiri Aleuritus moluccana 78 4 2 1 3

6. Pulai Alstonia angustiloba 85 3 1 1 2

7. Bayur Pterosfermum javanicum 67 3 2 1 3

8. Gmelina Gmelina arborea 119 1 1 1 1

9. Manii Maesopsis eminii 150 5 1 1 3

10. Rasamala Altingia excelsa 65 2 3 4 5

Keterangan: PU= Pecah ujung; PM = Pecah permukaan; PD = Pecah di bagian dalam; Def = Deformasi; 1 = Tanpa cacat; 2 = Sedikit cacat; 3 = Sedang; 4 = Parah; 5 = Sangat parah

Penampakan cacat bentuk, terutama cacat membusur pada arah memanjang

kayu (bowing) tidak ditemukan pada pengujian sifat pengeringan karena sortimen yang

digunakan terlalu pendek (± 20 cm). Untuk menetapkan bagan pengeringan harus

mempertimbangkan juga kualitas fisik kayu, seperti kehadiran mata kayu, kelurusan

batang dan persentase porsi kayu muda. Ketiga faktor tersebut biasanya juga merupakan

penyebab terjadinya cacat bentuk, terutama membusur (bowing) dan pecah-pecah,

(4)

ujung yang disebabkan adanya porsi kayu muda yang masih tinggi, untuk itu diupayakan

menghindari pola penggergajian ”flat sawn”. Untuk menghindari terjadinya cacat bentuk

pada kayu, faktor yang perlu diperhatikan adalah cara penumpukan yang tepat dengan

jarak ganjal yang lebih rapat dan pemberian beban yang cukup pada tumpukan paling

atas serta menghindari sortimen berukuran terlalu panjang dan lebar.

III. BAGAN PENGERINGAN

Berdasarkan sifat pengeringan dan kualitas fisik kayu, maka bagan pengeringan

ke sepuluh jenis kayu tersebut di atas dikelompokkan ke dalam 7 bagan pengeringan dari

yang terkeras sampai yang terlunak (Tabel 2-8).

Tabel 2. Bagan pengeringan kayu gmelina

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar/Basah ∼ 70 70 ∼ 50 50 ∼ 30 30 ∼ 20 20 ∼ 15

≤ 15

60 65 70 75 80 85-90 82 75 68 39 39 32

Tabel 3. Bagan pengeringan kayu mindi, pulai dan bayur

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar ∼ 35 35 ∼ 30 30 ∼ 25 25 ∼ 20 20 ∼ 15

≤ 15

50 50 55 60 65 75-82 80 71 72 62 54 43

Tabel 4. Bagan pengeringan kayu sengon, sungkai dan kemiri (umur tanaman > 10 tahun)

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar ∼ 40 40 ∼ 30 30 ∼ 20 20 ∼ 15

≤ 15

(5)

Tabel 5. Bagan pengeringan kayu sengon, sungkai dan kemiri (umur ± 8 tahun)

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar ∼ 40 40 ∼ 25 25 ∼ 20 20 ∼ 15

≤ 15

40 50 55 60 65-70 70 67 58 52 47

Tabel 6. Bagan pengeringan kayu manii (umur 8 tahun)

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar ∼ 40 40 ∼ 25 25 ∼ 20 20 ∼ 15

≤ 15

40 50 55 60 60-65 70 67 58 52 47

Tabel 7. Bagan pengeringan kayu mangium

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar ∼ 40 40 ∼ 25 25 ∼ 20 20 ∼ 15

≤ 15

40 50 55 60 70 70 67 58 52 47

Tabel 8. Bagan pengeringan kayu rasamala

Kadar air (%) Suhu (°C) Kelembaban (%)

Segar ∼ 40 40 35 30 25 20

≤ 15

38 38 38 43 49 54 60 86 80 73 67 60 48 38

Yang perlu diperhatikan selama pengeringan adalah pengaturan penumpukan,

penutupan kedua permukaan ujung kayu dan pemakaian suhu yang rendah di awal

proses, terutama pada kayu yang sangat basah. Sebagai contoh, suhu pengeringan kayu

(6)

meskipun kelembabannya sudah diturunkan. Suhu baru dinaikan secara bertahap setelah

kadar air kayu mencapai 30%. Hal yang demikian berlaku pula untuk jenis kayu yang

lain. Pengaturan ini bertujuan untuk melindungi kayu dari cacat kolaps dan pecah dalam

(Wang et al., 1994; Rasmussen, 1961; Basri et al., 2000). Modifikasi bagan perlu

disesuaikan dengan kondisi alat/mesin pengering, kayu yang akan dikeringkan (terutama

dari umur) dan tebal sortimen. Mengingat sifat kayu berumur muda sangat cepat

mengering, sebaiknya kayu-kayu tersebut dikeringkan di udara terlebih dahulu sampai

kadar airnya mendekati 30% baru dimasukan ke dalam alat pengering. Hal ini selain

dapat menghemat enerji juga kualitas kayu keringnya menjadi lebih baik.

Khusus untuk kayu mangium, perlakuan pengukusan (steaming) atau perebusan

sebelum pengeringan dapat mempercepat proses pengeringan namun menimbulkan

cacat dan degradasi warna pada kayu. Hal yang sama juga terjadi pada kayu Nothofagus

fusca (Haslett dan Kininmonth, 1986). Bahkan pengukusan pada kayu-kayu tertentu

dapat merubah warna kayu (Mc.Ginnes dan Rosen 1984 dalam Chafe, 1990) dan pada

kayu red oak dapat meningkatkan tekanan pengeringan (drying stress) lebih tinggi

dibandingkan dengan pengurangan kecepatan pengeringannya (Wang et al. 1994). Kayu

seperti mangium yang sifat zat ekstraktifnya peka terhadap panas, akan mengurai atau

menguap sehingga terjadi degradasi warna pada permukaannya (Boyd, 1974). Perubahan

warna ini berkaitan erat dengan proses penguapan yang berjalan sangat cepat di awal

pengeringan sementara kadar air kayu masih tinggi (Tarvainen et al., 2001).

Berdasarkan hasil percobaan Basri (2005), perlakuan pra pengeringan yang sesuai

untuk mempercepat pengeringan kayu mangium tanpa menurunkan kualitasnya adalah

perlakuan dengan metode “shed”. Tahap awal, kayu mangium segar dimasukan ke

dalam ruangan shed hingga kadar airnya mendekati 30%. Berikutnya kayu tersebut

dikeringkan dalam dapur/mesin pengering sampai mencapai kadar air yang dikehendaki.

Pada metode ini, suhu ruangan tetap dipertahankan rendah sementara proses

pengeringan diupayakan melalui percepatan pemindahan udara basah dari dalam ke luar

ruangan.

Diantara kesepuluh jenis kayu rakyat yang diuraikan di atas terdapat lima (5)

jenis yang memiliki penampilan dekoratif sehingga sangat baik untuk bahan baku mebel.

Ke-5 jenis tersebut adalah mindi, mangium, sungkai, bayur dan gmelina. Meskipun

(7)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pengetahuan tentang sifat pengeringan kayu diperlukan untuk mendapatkan

besaran/kisaran suhu dan kelembaban yang optimal bagi kayu agar waktu

pengeringannya lebih hemat dan kualitasnya tetap terjaga. Cacat pada sifat

pengeringan yang perlu diperhatikan adalah pecah ujung, pecah permukaan pada

kadar air > 30%, pecah pada bagian dalam kayu dan perbedaan dimensi tebal pada

permukaan ujung kayu. Sedangkan sifat penunjang lainnya yang sangat diperlukan

adalah kadar air awal dan kualitas fisik kayu/dolok.

2. Berdasarkan sifat pengeringan dan kualitas fisik kayu/dolok, maka dari 10 jenis kayu

hutan tanaman rakyat yang diteliti dapat dimasukan ke dalam 7 bagan pengeringan

dari yang terkeras sampai yang terlunak.

3. Perlakuan pra pengeringan pada kayu mangium dengan metode “shed” dari keadaan

segar/basah hingga ke kadar air mendekati 30% dapat mempercepat waktu

pengeringan tanpa menurunkan kualitasnya.

4. Diantara kesepuluh jenis kayu rakyat yang dikemukakan terdapat lima (5) jenis yang

memiliki penampilan dekoratif sehingga sangat baik untuk bahan baku mebel. Ke-5

jenis tersebut adalah mindi, mangium, sungkai, bayur dan gmelina.

DAFTAR PUSTAKA

ASMINDO. 2006. Kebutuhan riset untuk pengembangan industri permebelan dan

kerajinan. Makalah disampaikan pada Workshop Kebutuhan Riset di Bidang

Hasil Hutan di Bogor. Puslitbang Hasil Hutan.

Basri, E., K. Hayashi, N. Hadjib and H. Roliadi. 2000. The qualities and kiln drying

schedules of several wood species from Indonesia. Proceedings of The Third

International Wood Science Symposium, November 1 – 2, 2000 in Kyoto

Japan. Pp. 43 – 48.

Basri, E. 2005. Mutu kayu mangium dalam beberapa metode pengeringan. Jurnal

Penelitian Hasil Hutan 23 (2): 119 - 129. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan,

(8)

Boyd, J.D. 1974. Anisotropic shrinkage of wood identification of the dominant

determinants. Mokuzai Gakkaishi 20 (10): 473-482. Japanese Wood

Researcher Society, Tokyo.

Chafe, S.C. 1990. Effect of brief presteaming on shrinkage, collapse and other

wood-water relationships in Eucalyptus regnans F. Muell. Wood Sci. Technology 24:

311-326 .

Haslett, A.N. and J.A. Kininmonth. 1986. Pretreatments to hasten the drying of

Nothofagus fusca. N.Z Journal For. Sci. 16: 237 – 246. NZ Forest Research

Institute, Rotorua.

Martawijaya, A. 1990. Sifat dasar beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan alam dan

hutan tanaman. Prosid. Diskusi HTI. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan, Jakarta.

Rasmussen, E.F. 1961. Dry Kiln Operator’s Manual. U.S. Department of Agriculture.

Agric. Handbook 188.

Tarvainen, V., P. Saranpaa and J. Repola. 2001. Discoloration of Norway spruce and

Scots pine timber during drying. Proceed. of 7th International IUFRO Wood

Drying Conference, July 9-13, 2001 in Tsukuba. Pp. 294 – 299. Forestry and

Forest Products Research Institute, Japan.

Wang, Z., E.T. Choong and V.K. Gopu. 1994. Effect of presteaming on drying stresses

of red oak using a coating and bending method. Wood and Fiber Science 26

Gambar

Tabel 1. Sifat fisik dan pengeringan 8 jenis kayu hutan rakyat
Tabel 8. Bagan pengeringan kayu rasamala

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, karena

DAFTAR JENIS PERALATAN YANG DIIZINKAN UNTUK DIMASUKKAN DAN DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN

Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat selanjutnya disebut RKUPHHK HTR adalah rencana kerja untuk seluruh areal kerja I UPHHK-HTR dalam satu

Uraian Bahan Baku Kayu Olahan Setengah Jadi dan atau Kayu Limbah Bagi IPHHK Yang Telah Menyampaikan RPBBI No... Rencana

DAFTAR REKAPITULASI LAPORAN BULANAN REALISASI PEMENUHAN BAHAN BAKU IPHHK-IPHHK DI DAERAH PROVINSI ……….SAMPAI DENGAN BULAN ………….TAHUN ………. Realisasi Bahan Baku

Ha potensial dijadikan HTI. Merupakan hutan savana dan hutan pegunungan tanah kering, penutupan lahan masih berhutan namun berbukit-bukit. Jenis kayu dominan adalah Mahoni.

I zin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman yang selanjutnya disingkat I UPHHK-HTR adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan

Berdasarkan sifat pengeringan dan kualitas fisik kayu/dolok, maka dari 10 jenis kayu hutan tanaman rakyat yang diteliti dapat dimasukan ke dalam 7 bagan pengeringan dari yang