• Tidak ada hasil yang ditemukan

HOMOLOGASI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERJADINYA PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 137K/PDT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HOMOLOGASI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERJADINYA PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 137K/PDT"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MARANATHA PURBA 167005109/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)
(3)
(4)

tersebut debitor akan menawarkan rencana perdamaiannya kepada kreditor. Dalam perdamaian tersebut dimungkinkan adanya restrukturisasi utang-utang debitor. Jika perdamaian disetujui oleh para kreditor, maka PKPU demi hukum akan berakhir.

Perdamaian merupakan salah satu upaya hukum untuk menolak dilakukannya kepailitan terhadap debitor. Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan istilah “accord” (bahasa Belanda) atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah “Composition”. Berbicara tentang perdamaian dalam kepailitan tidak hanya ada dalam proses kepailitan, tetapi terdapat juga dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Perdamaian adalah salah satu cara untuk mengakhiri kepailitan. Perdamaian dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa dilakukannya restrukturisasi hutang karena diluar kepailitan. kreditor (konkuren) tidak dapat dipaksa untuk menyetujui perdamaian. perdamaian didefinisikan sebagai perjanjian antara debitor dan para kreditornya dimana klaim dari kreditor disetujui untuk dibayar sebagian atau seluruhnya. Kebiasaan yang terjadi dalam ranah praktek di Indonesia, potensi perdamaian tercapai di dalam PKPU sudah efektif tetapi masih belum maksimal, ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah Penerapan homologasi sebagai upaya preventif terjadinya pailit tidak terlepas dari adanya itikad baik dan sense of cooperation( rasa kooperatif ) baik dari pihak debitor dan kreditor agar rencana perdamaian dapat dinegosiasikan, ditetapkan, dan dilaksanakan dengan baik sampai pemenuhan seluruh utang tercapai sebelum diucapkan putusan pernyataan pailit.

Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara No. 137 K/Pdt.Sus- PKPU/2014 sudah tepat. Para pihak dalam putusan ini, yaitu Julia Tjandra dan Jerry Farolan sebagai Kreditor dan PT. Djakarta Lloyd telah memperoleh kepastian hukum yaitu pengembalian tagihan sudah mendapat kekuatan hukum tetap, mendapat penjaminan agar debitor tidak berbuat curang dan kemanfaatan bagi debitor masih diberikan kesempatan mengelola kembali usahanya dan menghindarkan debitor dari kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya guna untuk kelangsungan usaha.

Kata Kunci: Homologasi, PKPU, Pailit

(5)

the debtor. If peace is approved by the creditors, then the PKPU by-law will end.

Peace is one of legal efforts to resist he did bankruptcy against the debtor.

Peace in the process of bankruptcy is often referred to with the term "accord"

(Netherlands) or in the language of the United Kingdom referred to by the term

"Composition". Talking about peace in bankruptcy do not only exist in the bankruptcy process, but there are also in the process of debt payment suspension (PKPU). Peace is one of the ways to end the bankruptcy. Peace can be used as a tool to force it does because of the debt restructuring outside of bankruptcy. creditors (concurrent) cannot be forced to agree to peace. peace is defined as an agreement between the debtor and the creditors where the claims of the creditors agreed to partially or completely paid. A habit that happens in the realm of practice in Indonesia, the potential of the peace achieved in the PKPU already effective but still not a maximum, is caused by several factors. One of these is the application of the preventive efforts as a homologation the occurrence of bankruptcy is inseparable from the existence of good faith and sense of cooperation (cooperative sense) from either party to the debtor and the creditor in order that the peace plan can be negotiated, established, and implemented properly to the fulfillment of the entire debt is reached before pronounced the verdict statement for bankruptcy.

Supreme Court justices in the disconnect of case No. 137 K/Pdt. Sus- PKPU/2014 is just right. The parties in this ruling, namely Julia Tjandra and Jerry Farolan as creditors and PT Djakarta Lloyd has obtained legal certainty, namely repayment bills have got a fixed legal power, got a guarantee so that the debtor does not cheat and benefit for the debtor is still given a chance to manage again and his effort to prevent the debtor from possible mass execution by kreditor-kreditornya in order for the continuity of the business.

Keywords: Homologation, PKPU, Bankruptcy

(6)

Tempat/Tanggal Lahir : Simpang Raya, 30 Mei 1992

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Pernah Menikah

Pendidikan :

- Sekolah Dasar Negeri 091293, Simpang Raya. Lulus Tahun 2004

- SMP Cinta Rakyat I, Jl. Sibolga Pematang Siantar, Lulus Tahun 2007

- SMA Methodist, Pematang Siantar, Lulus Tahun 2010 - Strata Satu (S1) Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Lulus Tahun 2015

- Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Nama Ayah Kandung : M. Purba Nama Ibu Kandung : D Br. Siahaan

Status Anak : Anak Kandung Dari 2 (Dua) Bersaudara

(7)

“HOMOLOGASI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG(PKPU) SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TERJADINYA PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 137K/PDT.SUS-PKPU/2014)”. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan besar hati dan dengan tangan terbuka menerima kritik, saran dan juga ide-ide yang sifatnya konstruktif dan membangun dari para pembaca untuk mewujudkan kesempurnaan Tesis ini.

Dalam menyelesaikan penelitian tesis ini penulis banyak menerima bantuan serta dorongan dari semua pihak baik bantuan moral maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan rasa tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

(8)

petuah-petuah yang dapat membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis dari awal penulisan sampai akhir penulisan.

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan perhatian penuh, memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis serta mendorong penulis untuk selalu semangat dalam menyelesaikan tesis.

8. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

9. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah memberikan masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.

10. Kepada kedua Orang tua saya M. Purba dan D. Siahaan, Terima Kasih sebesar- besarnya penulis ucapkan telah memberikan motivasi, didikan, dorongan, arahan serta telah menjadi sosok orang tua yang akan selalu saya jadikan contoh dan panutan dalam hidup. Semangat yang sangat luar biasa diberikan kepada saya agar segera menyelesaikan tesis ini dengan baik.

11. Kepada saudara saya Deo,Bambang,Boby,Wilson.. Kakak Citra, Ayu, Iin,atas perhatian, dukungan, pendapat dalam pengerjaan tesis ini.

12. Kepada keluarga besar saya, keluarga besar purba dan keluarga besar siahaan terimakasih sebesar-besarnya atas do‟a, dukungan dan pesan-pesan moral yang sangat berharga kepada saya.

13. Kepada teman seperjuangan saya dalam tesis Sari,Sony,Yoshua, Jandri,Ika,Alfa-Omega,Hadi Terima Kasih banyak dukungan dan bantuannya.

(9)

pengetahuan dan wawasan bagi kita semua. Kiranya Tuhan dapat membalas kebaikan dan dukungan serta bantuan yang diberikan semua pihak.

Medan, Januari 2019 Penulis

Maranatha Purba

(10)

Kata Pengantar...iii

Daftar Riwayat Hidup...iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 23

C. Tujuan Penelitian ... 24

D. Manfaat Penelitian ... 24

E. Keaslian Penelitian ... 24

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... ... 25

1. Kerangka Teori... 25

2. Landasan Konsepsional ... 28

G. Metode Penelitian ... 30

1. Sifat Dan jenis Penelitian ... 30

2. Metode Pendekatan ... 31

3. Sumber Bahan Hukum ... 31

4. Teknik Pengumpulan Data ... 33

5. Analisis Data... ... 34

BAB II : PENERAPAN HOMOLOGASI SEBAGAI UPAYA PREVENTIF TIMBULNYA PAILIT A. Homologasi Dalam Hukum Kepailitan... 35

1. Pengertian Homologasi... 35

2. Perdamaian Dalam Perkara Kepailitan... 44

3. Homologasi Dalam Perdamaian... 47

a. Dalam Kepailitan... 49

b. Hologasi Dalam PKPU... 53

B. Homologasi Sebagai Upaya Pencegahan Pailit... 68

1. Prosedur Homologasi... 68

2. Penolakan Dan Pengesaahan Homologasi... 73

(11)

3. Pengurus... 77

4. Hakim... 77

B. Akibat Hukum Homologasi Accord... 79

1. Debitor... 82

2. Kreditor... 85

3. Harta Kekayaan... 86

C. Hambatan Dalam Pelaksanaan Perdamaian Homologasi Accord.... 87

BAB IV : ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.137K/PDT.SUS-PKPU/2014 A. Posisi Kasus Sidang Homologasi di Jakarta Pusat Dalam Putusan Mahkamah Agung No.137/K/PDT.SUS-PKPU/2014... 90

B. Analisis Kasus Dalam Putusan Mahkamah Agung No.137/K/PDT.SUS-PKPU/2014... ... 112

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………. ... 127

B. Saran………. ... 128 DAFTAR PUSTAKA

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Di dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faile. Sedangkan dalam bahasa Latin digunakan istilah failire dan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail. Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “ bankrupt” dan

“bankruptcy”. 1

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan ( financial distress ) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil

1 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:

Rajawali Press, 1991), hal 105.

(13)

penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.2

Menurut Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Pasal 1 angka 1). Nilai-nilai utama yang dapat menjadi titik awal pengaturan kepailitan pada dasarnya dapat ditemukan pada Buku I, II, III dan IV KUH Perdata dan pada Buku I KUH Dagang. Di awali dengan pertanyaan siapa yang dapat dinyatakan pailit. Apa sajakah yang dapat dijadikan jaminan dan transaksi yang bagaimana yang terjamin. Ketiga hal utama tersebut merupakan konsep dasar menuju pada proses pernyataan dan keputusan pailit. Konsep dasar tersebut kemudian secara jelas diatur dengan lebih rinci pada ketentuan kepailitan.3

Kepailitan semula diatur oleh Undang-Undang tentang Kepailitan yang dikenal dengan sebutan Failissement Verordening (FV) yaitu Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. FV tersebut kemudian diubah dalam arti disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 sehubungan dengan gejolak moneter yang menimpa Negara Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. PERPU Nomor 1 Tahun 1998 selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang. Nomor 4 Tahun 1998, namun karena

2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan), (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 1.

3Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, (Jakarta:Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 1999), hal. 22.

(14)

perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengaturan suatu kepailitan selain khusus diatur dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga terdapat dalam beberapa undang-undang yaitu sebagai berikut:

1. KUH Perdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain

2. KUH Pidana, misalnya Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520 dan lain-lain 3. UUPT Nomor 1 Tahun 1995, misalnya Pasal 79 ayat (3), Pasal 96, Pasal 85

ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 90 ayat (2) dan (3), Pasal 98 ayat (1), dan lain-lain

4. Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996

5. Perundang-undangan di bidang Pasar Modal , Perbankan, BUMN, dan lain- lain.4

Asas-asas Hukum Kepailitan didasarkan pada asas-asas dan prinsip-prinsip sebagai berikut :5

1. Asas Kejujuran

Adalah asas yang mengandung pengaturan bahwa di satu pihak dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh para Debitor yang tidak jujur, dan di lain pihak dapat mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh para Kreditor yang tidak beritikad baik.

4Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung:PT Citra Aditya, 2014), hal 10.

5Frederick B.G. Tumbuan, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentang Kepailitan,(Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1994), hal. 12 – 13.

(15)

2. Asas Kesehatan Usaha

Adalah asas yang mengandung pengaturan bahwa lembaga kepailitan harus diarahkan pada upaya ditumbuhkannya perusahaan-perusahaan yang secara ekonomis benar-benar sehat.

3. Asas Keadilan

Mempunyai pengertian bahwa kepailitan harus diatur dengan sederhana dan memenuhi rasa keadilan, untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya masing-masing dari Debitor dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi

Terdapat 2 pengertian integrasi, yaitu : - integrasi terhadap hukum lain:

mengandung pengertian bahwa sebagai suatu sub - sistem dari hukum perdata nasional, maka hukum kepailitan dan bidang-bidang hukum lain dalam sub–sistem hukum perdata nasional harus merupakan suatu kebulatan yang utuh, - integrasi terhadap hukum acara perdata : mengandung maksud bahwa hukum kepailitan merupakan hukum di bidang sita dan eksekusi. Oleh karenanya ia harus merupakan suatu kebulatan yang utuh pula dengan peraturan tentang sita dan eksekusi dalam bidang hukum acara perdata.

5. Asas Itikad Baik

Asas yang mengandung pengertian bahwa pada dasarnya timbulnya kepailitan karena adanya perjanjian yang mengikat para pihak. Tetapi salah satu pihak berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, karena harta kekayaannya tidak

(16)

mencukupi untuk membayar utang-utangnya. Keadaan demikian harus dinyatakan secara objektif oleh hakim, dan bukan oleh para pihak (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata).

6. Asas Nasionalitas

Mengandung pengaturan bahwa setiap barang/harta kekayaan yang dimiliki oleh Debitor adalah menjadi tanggungan bagi utang-utangnya (Pasal 1131 KUH Perdata) dimanapun barang itu berada.

Tujuan dan Fungsi Kepailitan

Beberapa faktor yang perlu ditekankan terkait dengan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, yaitu:

1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor

2. Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau kreditor lainnya

3. Menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditor atau debitor sendiri.6

Tujuan kepailitan pada dasarnya memberikan solusi terhadap para pihak apabila Debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar utang-utangnya.

6Kukuh Komandoko Hadiwidjojo, Metode dan Konsep Restrukturisasi Sebagai Pelaksanaan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Terhadap Perusahaan Publik dan Non Publik, Jurnal acamedia.edu. Di akses pada tanggal 7 Desember 2018.

(17)

Kepailitan mencegah/menghindari tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat merugi semua pihak, yaitu menghindari eksekusi oleh Kreditor dan mencegah terjadinya kecurangan oleh Debitor sendiri. Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, yaitu sebagai realisasi dari dua Pasal penting di dalam KUH Perdata mengenai tanggung jawab Debitor terhadap perikatan-perikatan yang dilakukan yaitu Pasal 1131 dan 1132 sebagai berkut: 7

Pasal 1131:

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang beru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.

Pasal 1132:

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Pasal 1131 KUH Perdata tersebut di atas mengandung asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya (Asas Schuld dan Haftung).8

Pasal 1132 KUH Perdata mengandung asas bahwa apabila seorang Debitor mempunyai beberapa Kreditor maka kedudukan para Kreditor adalah sama (asas paritas creditorium). Jika kekayaan Debitor itu tidak mencukupi untuk melunasi utang-utangnya, maka para Kreditor itu dibayar berdasarkan asas keseimbangan,

7Sri Redjeki Hartono, Op.Cit., Hal 22-23.

8Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, (Semarang;Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hal. 5.

(18)

yaitu masing-masing memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang Kreditor lain.

Namun demikian Undang-undang mengadakan penyimpangan terhadap asas keseimbangan ini, jika ada perjanjian atau Undang-undang menentukannya. 9

Pasal 2 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 (UUK) menentukan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya, atau oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum, atau oleh Bank Indonesia dalam hal Debitornya adalah bank, atau oleh Menteri Keuangan dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Badan Usaha Milik Negara.

Melihat bunyi Pasal tersebut, dalam masalah kepailitan titik berat proporsinya adalah kepentingan baik kepentingan Debitor dan kepentingan para Kreditor.

Seorang/badan hukum dinyatakan pailit tidaklah dimaksudkan agar ia dibebaskan dari kewajibannya membayar utang-utangnya, karena tujuan kepailitan ialah agar sisa harta kekayaannya diatur untuk pembayaran kembali utang-utang Debitor secara adil.

Dalam pengaturan pembayaran kembali ini baik untuk kepentingan Debitor sendiri ataupun kepentingan para Kreditornya.10

9Ibid, hal, 6.

10 Frederick B.G. Tumbuan, Ciri-Ciri Penundaan Pembayaran Utang Sebagai Dimaksud Dalam Perpu, (Jakarta:Makalah Seminar tentang Perpu No. 1 Th. 1998 tentang Perubahan atas UU tentangKepailitan diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum tanggal 29 April 1998 dan 8 Mei 1998), hal, 14-15.

(19)

Menurut Rudhi Prasetya, adanya lembaga kepailitan berfungsi untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak Kreditor yang memaksa dengan berbagai cara agar Debitor membayar utangnya.11Adanya lembaga kepailitan memungkinkan Debitor membayar utang-utangnya itu secara tenang, tertib, dan adil, yaitu:12

1. Dengan dilakukannya penjualan atas harta pailit yang ada, yakni seluruh harta kekayaan yang tersisa dari Debitor

2. Membagi hasil penjualan harta pailit tersebut kepada sekalian Kreditor yang telah diperiksa sebagai Kreditor yang sah, masing-masing sesuai dengan:

a. hak preferensinya

b. proporsional dengan hak tagihannya dibandingkan dengan besarnya hak tagihan Kreditor konkuren lainnya.

Putusan pailit bukan menyangkut para kreditor saja, tetapi juga menyangkut para pemangku kepentingan lainnya atau stakeholders dari debitor yaitu negara sebagai penerima pajak, para karyawan dan buruhnya, para pemasok barang dan jasa kebutuhan debitor, para pedagang atau pengusaha yang memperdagangkan barang dan jasa debitor.13 Menurut Sri Redjeki Hartono lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:14

11Rudhi Prasetya,Likuidasi Sukarela dalam Hukum Kepailitan,(Jakarta: Makalah Seminar Hukum Kebangkrutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), hal, 1.

12Ibid, Hal 3.

13Adriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung:

P.T Alumni, 2012),hal 217.

14Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Hal 74.

(20)

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditornya bahwa debitor tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab atas semua utang- utangnya kepada semua kreditor-kreditornya.

2. Juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.

Black‟s Law Dictionary memberikan pengertian pailit adalah ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.15 Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan tentang pailitnya debitor haruslah berdasarkan keputusan pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.16 Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkara mereka dengan sebaik-

15 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal 11.

16Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung:Citra Aditia Bakti, 2004), hal, 126.

(21)

baiknya. Pada dasarnya fungsi dari putusan pengadilan adalah memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang dihadapi.17

Pengadilan Niaga adalah Pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Dalam perkembangannya Peradilan Niaga juga memeriksa, mengadili dan memutus perkara perniagaan lainnya seperti perkara paten,merek, dan hak cipta.18 Menurut Pasal 306 UU No.37 Tahun 2004, pengaturan pegadilan niaga atau komersial di luar pengadilan umum, yang dikhususkan untuk kasus-kasus bisnis/ekonomi dan HaKI, dengan demikian terhadap perkara-perkara tersebut merupakan suatu terobosan yang baik bagi dunia peradilan di Indonesia sehingga penyelesaian perkara diharapkan bisa lebih cepat dan murah.19

Undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Pasal 300 ayat (1) menyebutkan bahwa tugas dan wewenang pengadilan niaga adalah sebagai berikut :

1. Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit

2. Memeriksa dan memutus permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang

17Ibid, hal 125.

18 Hadi Shubhan, Op.Cit., hal 103

19 Kwik Kian Gie, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, (Jakarta:Kencana, 2008), hal 158.

(22)

3. Memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang.

Sebelum pengadilan niaga melakukan tugas dan wewenangnya dalam hal menjatuhkan pailit kepada debitor, ada upaya utama harus dilakukan yaitu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU ). PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak debitor dan kreditor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.20 Debitor seyogianya memilih alternatif yang terbaik, salah satu pilihan adalah dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.21

Efektivitas PKPU dalam mencegah kepailitan bergantung pada adanya itikad baik dan sense of cooperation( rasa kooperatif ) baik dari pihak debitor dan kreditor agar rencana perdamaian dapat dinegosiasikan, ditetapkan, dan dilaksanakan dengan baik sampai pemenuhan seluruh utang tercapai sebelum diucapkan putusan pernyataan pailit. 22

Di dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 222 ayat (2) dikatakan : “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah

20 Munir Fuady,Op.Cit,. hal 177.

21 H. Man Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,(Bandung: P.T Alumni, 2006), hal 202.

22 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta:PT Sofmedia, 2010), hal200.

(23)

jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”. Tujuan dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk memungkinkan seorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.23

Permohonan PKPU oleh si debitor ini dilakukan sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak lain kepada debitor. Namun ada kalanya PKPU ini diajukan oleh si debitor pada saat permohonan pernyataan pailit si debitor oleh pihak lain telah dimohonkan ke pihak pengadilan. Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dimaksudkan untuk kepentingan debitor saja melainkan juga untuk kepentingan para kreditornya, khususnya kreditor konkuren.24

Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang ( PKPU ) ini diperiksa pada saat yang bersamaan maka Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU ) ini harus diputus terlebih dahulu. Lebih lanjut menurut Munir Fuady di dalam bukunya mengatakan bahwa :

“akan tetapi, ada kalanya juga sebenarnya permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang ( PKPU ) oleh debitor terpaksa dilakukan oleh debitor dengan tujuan untuk melawan permohonan pailit yang telah diajukan oleh para kreditornya. Jika diajukan permohonan PKPU padahal permohonan pailit telah

23 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang:UMM Press, 2008), hal 190.

24 Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan Pihak-Pihak Berkepentingan Dalam Kepailitan,(Bandung: P.T Alumni, 2011), hal 78.

(24)

dilakukan maka hakim harus mengabulkan PKPU dalam hal ini PKPU sementara untuk jangka waktu 45 hari sementara gugatan pailit gugur demi hukum”.25 Fungsi perdamaian dalam proses PKPU sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitor, dimana si debitor sebagai orang yang paling mengetahui keberadaan perusahaan, bagaimana keberadaan perusahaannya ke depan baik potensi maupun kesulitan membayar utang-utangnya dari kemungkinan- kemungkinan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian kreditornya. Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini adalah untuk menyusun suatu strategi baru bagi si debitor menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh tempo yang mana sementara belum dapat diselesaikan membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan ditawarkan ke pihak kreditor, dengan demikian si debitor masih dapat nantinya menjalankan usahanya, jika perdamaian ini disetujui oleh para kreditor untuk meneruskan berjalannya perusahan si debitor tersebut. Dengan kata lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya perdamaian antara debitor dan seluruh kreditor dari rencana perdamaian yang diajukan/ditawarkan si debitor tersebut.26

Dalam membicarakan rencana perdamaian tidak selalu berjalan mulus. Alotnya pembahasan tentang rencana perdamaian bisa berakibat pada pemungutan suara (voting). Voting adalah merupakan upaya terakhir apabila musyawarah mufakat

25 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2001), hal 82.

26 Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 2008), Hal 387.

(25)

sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, tidak tercapai. Adapun tujuan memohonkan PKPU adalah menghindari pailit, memberikan kesempatan kepada debitor melanjutkan usahanya, tanpa ada desakan untuk melunasi utang-utangnya dan menyehatkan usahanya. Permohonan tersebut harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya.27

Adapun tata cara pengajuan perdamaian dalam rangka PKPU dalam Undang- undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:

1. Permohonan PKPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditanda tangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.

2. Dalam hal pemohon adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya.

3. Dalam hal pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

4. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat 3, debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya dan bila ada rencana perdamaian.

27Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia Cetakan Pertama, (Jakarta:PT Tatanusa, 2012), hal 263-264.

(26)

5. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) berlaku mutatis sebagai tata cara pengajuan PKPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam proses permohonan PKPU debitor dan kreditor akan diberikan kesempatan untuk melakukan musyawarah atau negosiasi terkait permasalahan utang piutang yang ada. Hal-hal yang dapat dibicarakan yaitu seperti mekanisme pembayaran utang yang akan dilakukan baik seluruhnya atau sebagian, termasuk apabila perlu dilakukan restrukturisasi utang. berdasarkan sifatnya PKPU dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu yang pertama adalah PKPU sementara yang merupakan PKPU yang penetapannya dilakukan sebelum sidang dimulai dan harus dikabulkan oleh pengadilan setelah pendaftaran dilakukan. yang kedua adalah PKPU tetap yang merupakan PKPU yang ditetapkan setelah sidang berdasarkan persetujuan dari para kreditor. Untuk lebih jelasnya dapat dicermati dari penjelasan di bawah ini :

1. PKPU Sementara

Ini merupakan tahap pertama dari proses PKPU, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU, apabila debitor mengajukan permohonan PKPU, sejauh syarat-syarat administrasi sudah dipenuhi, pengadilan harus segera mengabulkan paling lambat dua puluh hari sejak didaftarkannya permohonan. Pengadilan kemudian harus menunjuk hakim pengawas serta mengangkat satu atau lebih pengurus. Putusan hakim

(27)

pengadilan niaga tentang PKPU sementara ini berlaku selama maksimal empat puluh hari dan setelah itu harus diputuskan apakah PKPU tersebut dapat dilanjutkan menjadi satu PKPU secara tetap.

2. PKPU Tetap

Setelah ditetapkan penundaan sementara PKPU maka pengadilan niaga melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang bersangkutan untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lambat pada hari keempat puluh lima terhitung sejak ditetapkannya putusan PKPU sementara.

Dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah dapat diberikan PKPU secara tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor, pengurus dan para kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian.

Selama penundaan kewajiban pembayaran, debitor tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Bila debitor melanggar ketentuan tersebut, pengurus berhak melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan.28

Menurut Pasal 255 ayat (1) UUKPKPU Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diakhiri baik atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditor atau atas prakarsa pengadilan dalam hal :

28 Andika Prayoga, Solusi Hukum Ketika Bisnis Terancam Pailit (Bangkrut), (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2014), Hal 32.

(28)

a. Debitor, selama waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya.

b. Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan kreditornya.

c. Debitor melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1)

d. Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diisyaratkan olehh pengurus demi kepentingan harta debitor

e. Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU alias merosot.

f. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap para kreditor pada waktunya.

Permohonan pengakhiran Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan alasan-alasan tersebut di atas harus selesai diperiksa dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari terhitung sejak pengajuan permohonan tersebut dan putusan pengadilan harus diberikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak diselesaikannya pemeriksaan. Dan setelah ketetapan pengakhiran PKPU memperoleh kekuatan hukum yang pasti, harus diumumkan dalam Berita Negara dan dalam satu atau lebih surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Setelah PKPU sudah disepakati para pihak maka selanjutnya adalah proses perdamaian. Perdamaian merupakan bagian yang sangat penting dalam penyelesaian suatu masalah dalam bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,

(29)

dalam hal terakhir ini menjadi suatu tujuan utama. Terhadap rencana perdamaian yang disampaikan oleh pihak debitor sepanjang telah memenuhi kesepakatan para pihak dan rencana perdamaian tersebut dibuat tanpa ada unsur penipuan dan persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor, maka pada prinsipnya pengadilan akan mengeluarkan putusan homologasi.

Homologasi adalah pengesahan perdamaian oleh pengadilan.29 Suatu perdamaian yang disetujui oleh para kreditor konkuren menurut jumlah suara yang ditentukan dalam undang-undang, masih perlu disahkan oleh pengadilan niaga. Acara pengesahan ini disebut dengan istilah ratifikasi dan sidang pengesahan itu disebut dengan homologasi, selanjutnya dapat ditempuh proses rehabilitasi.

Ketentuan mengenai homologasi menurut Pasal 156 dan 159 UUKPKP :

a. Homologasi dilakukan paling cepat 8 hari dan paling lambat 14 hari setelah diterimanya rencana perdamaian dalam rapat pemungutan suara

b. Sidang pengadilan untuk membahas pengesahan perdamaian dilakukan terbuka untuk umum

c. Homologasi wajib diberikan pada sidang tersebut atau paling lambat 7 hari setelah sidang yang bersangkutan.

Tetapi hingga saat ini, dalam perkembangan homologasi di dalam Undang- undang Kepailitan dan PKPU masih rancu perihal daya ikat putusan homologasi.

Apakah mengikat secara kolektif sebatas bagi kreditor tertentu yang menyetujui proposal perdamaian yang ditawarkan debitor, ataukah putusan homologasi berlaku

29 Hadi Shubhan, Op.Cit., hal 142

(30)

secara umum (general) bagi seluruh kreditor (baik kreditor yang menyetujui perdamaian maupun kreditor yang menolak perdamaian).

Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti merupakan alas hak bagi semua piutang konkuren yang tidak dibantah oleh siberutang dan dapat dijalankan terhadap siberutang dan semua orang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk perdamaian tersebut. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berakhir segera setelah putusan pengesahan memperoleh kekuatan hukum yang pasti dan diumumkan dalam surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.30

Jika Pengadilan Niaga menolak pengesahan perdamaian dalam sidang homologasi , menurut Pasal 161 Ayat (1) UU K-PKPU tersedia prosedur kasasi ke Mahkamah Agung bagi pihak-pihak yang berkeberatan atas penolakan tersebut.Konsekuensinya adalah karena keputusan penolakan tersebut belum bersifat final and binding (inkracht), maka putusan perdamaian tersebut belum bisa dijalankan (bukan merupakan keputusan uitvoorbaar bij voorraad), dan proses kepailitan juga belum bisa berakibat insolvensi, atau pengakhiran kepailitan juga belum bisa terjadi (Pasal 166 juncto Pasal 178 UU Nomor 37 Tahun 2004). Sebab jika perdamaian diterima, kepailitan segera berakhir dan proses perdamaian akan segera direalisasi (dilakukan pembagian). Akan tetapi, jika perdamaian ditolak, proses kepailitan segera masuk ke tahap insolvensi. Dalam sidang homologasi tersebut, pengadilan niaga

30 Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung:P.T Alumni, 2001), hal 275.

(31)

dapat menolak pengesahan suatu perdamaian jika ada alasan untuk itu. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Harta pailit, termasuk hak retensi sangat jauh melebihi jumlah yang dijanjikan dalam perdamaian.

b. Pemenuhan perdamaian tidak cukup terjamin.

c. Perdamaian telah tercapai karena penipuan, kolusi dengan seorang kreditor atau lebih, atau penggunaan cara-cara lain yang tidak jujur, tanpa melihat apakah debitor pailit turut melakukannya atau tidak. (Pasal 159 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004). 31

Untuk lebih fokus pada proposal penelitian ini, akan dicermati suatu kasus Homologasi melalui studi kasus dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 137 K/PDT.SUS-PKPU/2014. Bahwa pada tanggal 9 Juli 2013 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan Putusan No.

36/Pdt.Sus/PKPU/2013 antara PT. Djakarta Lloyd sebagai Termohon PKPU dan JULIA TJANDRA sebagai Pemohon PKPU, yang menyatakan mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara dan menyatakan Termohon PKPU PT. Djakarta Lloyd berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan segala akibat hukumnya. Menariknya pada saat Julia Tjandra mengajukan permohonan PKPU terhadap PT Djakarta Lloyd, PT Djakarta Lloyd membantah dengan dalih mereka adalah BUMN jadi yang berhak

31Ibid.

(32)

mengajukan pailit ataupun PKPU adalah Menteri Keuangan bukan kreditor perseorangan seperti Julia Tjandra.

Kemudian pada tanggal 22 Agustus 2013 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Menjatuhkan Putusan Perpanjangan PKPU Sementara menjadi PKPU Tetap. Bahwa terhadap permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan Nomor 36/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 19 Desember 2013 yang amarnya sebagai berikut :

1. Menyatakan sah dan mengikat secara hukum Perjanjian Perdamaian antara PT Djakarta Lloyd (Persero) (Debitor dalam PKPU) dengan Para Kreditor tertanggal 27 November 2013

2. Menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Nomor 36/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst demi hukum berakhir

3. Menghukum Debitor PT. Djakarta Lloyd (Persero), Termohon PKPU dan seluruh kreditor-kreditor tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi perjanjian tersebut

4. Menetapkan biaya pengurusan dalam PKPU dan imbalan jasa fee pengurus akan ditetapkan dalam penetapan tersendiri

5. Menghukum Debitor atau Termohon PKPU untuk membayar biaya permohonan ini sebesar Rp 1.527.000,00 (satu juta lima ratus dua puluh tujuh ribu rupiah)

(33)

Menariknya Sesudah putusan Pengadilan Niaga tersebut diucapkan dengan dihadiri oleh Pemohon PKPU, Termohon PKPU, Tim pengurus dan Para Kreditor pada tanggal 19 Desember 2013, terhadap putusan tersebut Pemohon PKPU melalui kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Desember 2013 mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 27 Desember 2013. Dengan anggapan bahwa dalam Putusan Perdamaian (Homologasi) Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 36 /Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 19 Desember 2013 Majelis Hakim telah melampui batas wewenang karena telah menghilangkan hak suara dari salah satu kreditor pada saat voting dilakukan dengan alasan tidak membawa surat kuasa asli, kemudian kuasa hukum kreditor menganggap adanya keberpihakan hakim pengawas karena selalu mengatakan jika debitor pailit belum tentu dapat membayarkan semua utangnya.

Kemudian Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 137 K/Pdt.Sus/PKPU/2014 menyatakan bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 27 Desember 2013 dan kontra memori tanggal 7 Januari 2014 dan 9 Januari 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah dalam menerapkan hukum, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah tepat dan benar menolak permohonan Pemohon sebab Pemohon tidak dapat membuktikan adanya alasan sah untuk menolak rencana perdamaian dan bahwa sesuai dengan hasil pemeriksaan dipersidangan terbukti bahwa proposal rencana perdamaian yang diajukan oleh Termohon (Debitor PKPU) dalam rapat kreditor dan

(34)

debitor telah disetujui melalui voting oleh 100% Kreditor Separatis (1 Kreditor), dan 62,797% Kreditor Konkuren sehingga telah memenuhi ketentuan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang No 37 Tahun 2014.

Hal yang menarik untuk diteliti dari kasus ini adalah bagaimana bisa kreditor perorangan mengajukan permohonan PKPU sedangkan Djakarta Lloyd merupakan BUMN, yang berhak mengajukan pailit atau PKPU terhadap BUMN adalah Menteri Keuangan, kemudian mengapa PKPU bisa sampai pada tingkat kasasi sementara pada Pasal 235 UUKPKPU dikatakan bahwa Putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Berdasarkan penjabaran kasus di atas maka penulis bermaksud untuk meneliti dan memaparkannya dalam tesis ini dengan judul Homologasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Preventif Terjadinya Pailit ( Studi Putusan Mahkamah Agung No 137K/PDT.SUS-PKPU/2014).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka Homologasi PKPU Sebagai Upaya Preventif Terjadinya Pailit (Studi Putusan Mahkamah Agung No.137 K/Pdt.Sus-PKPU/2014 Tahun 2014) maka dikemukakan beberapa rumusan masalah yang akan diangkat dalam tesis ini yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan homologasi sebagai upaya preventif timbulnya pailit berdasarkan tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ? 2. Bagaimana akibat hukum dari homologasi dalam perdamaian?

3. Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara No.137 K/Pdt.Sus-PKPU/2014 ?

(35)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai homologasi sebagai upaya preventif terjadinya pailit sudah sesuai dengan tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai akibat hukum dari homologasi bagi debitor,kreditor,pengurus,hakim.

3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai akhir PKPU dari proses putusan Homologasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Secara teoretis, hasil penelitian ini kedepannya diharapkan menjadi informasi secara ilmiah dalam mengkaji penerapan Pasal-Pasal yang ada di dalam perundang-undangan tentang homologasi PKPU sebagai upaya preventif terjadinya pailit.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca baik untuk kebutuhan pendidikan ataupun menambah wawasan mengenai homologasi PKPU sebagai upaya preventif terjadinya pailit.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran/pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang dilakukan, khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang telah rampung menjadi sebuah hasil penelitian maupun masih berjalan, belum

(36)

pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama dengan homologasi PKPU sebagai upaya preventif terjadinya pailit. Oleh karena itu tesis ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. 32penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem peradilan para ahli hukum sendiri.

Seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang terpikul dibahasnya. Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan masyarakat.33 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan,

32 J.J.J M. Wisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

33 Jujun S. Suryamantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 237.

(37)

pasangan teoretis, yang mungkin ia setujui maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.34 Setiap penelitian membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan atau membahas masalahnya, maka perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.35

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup fakta yang luas.36 Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah seperangkat konstruk (konsep), batasannya dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu.37 Sedangkan kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis/ empiris merupakan kerangka teoritis berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa adanya acuan hukum maka penelitian hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi ilmu hukum.38 Teori yang murni tentang hukum merupakan teori hukum positif. Hal ini merupakan suatu teori hukum positif umum, dan bukan mengenai suatu tertib hukum khusus. Teori tadi merupakan teori umum tentang hukum, yang bukan merupakan suatu penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum nasional tertentu atau

34 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

35 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,(Yogyakarta: UGM Press, 2003), hal. 39- 40. 36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia Pres, 1984), hal. 126.

37 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2014), hal. 14.

38Soerjono Soekanto, Op.Cit,. hal. 127.

(38)

kaidah-kaidah hukum internasional, akan tetapi hal itu memberikan suatu teori penafsiran.39

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian dan teori kemanfaatan hukum. Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian hukum dalam hubungan sesama manusia.40Teori kepastian hukum ini sesuai dengan putusan majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.137 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 yang menyatakan menolak permohonan kasasi pemohon karena alasan keberatan pemohon kasasi berisi hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh judex facti sehingga bukan alasan kasasi dan menguatkan putusan pengadilan niaga sebab pemohon tidak dapat membuktikan alasan yang sah untuk menolak rencana perdamaian a quo sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 285 ayat (2) Undang-undang No. 37 Tahun 2004.

Teori kemanfaatan hukum melihat baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan huukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Prinsip utama dari teori ini

39 Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung:Alumni,1985), hal.1.

40 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Rineka Cipta, 1998), hal. 49-50.

(39)

adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.41Teori ini juga dipergunakan sebagaimana dari tujuan hukum kepailitan adalah bukan untuk mempailitkan sebanyak-banyaknya perusahaan tetapi juga untuk mengupayakan kembali perusahaan yang terancam pailit untuk bisa menjalankan kembali bidang usahanya.

Disinilah kemanfaatan hukum pailit memungkinkan seorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

Yang tentunya jika suatu perusahaan terjadi pailit maka akan menambah masalah pada perekonomian khususnya di Indonesia.

2. Konsepsional

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang dilegalisirkan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.42 Kegunaan dari adanya konsep agar ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraraian sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian- pengertian yang dikemukakan.43 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka

41 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79-80.

42 Sumandi Suryabarata, Metode Penelitian, (Jakarta:Raja Grafindo, 1998), hal. 3.

43 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1999), hal.5.

(40)

konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengaruh atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoretis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.

Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap pembahasan dalam penelitian ini, digunakan beberapa landasan konsep agar memiliki pemahaman yang sama, yaitu :

a. Homologasi adalah pengesahan perdamaian oleh pengadilan.

b. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak debitor dan kreditor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.44

c. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur oleh Undang-undang. 45

d. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.46

e. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.47

44 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 177.

45 Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

46Ibid.

47Ibid.

(41)

f. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.48

g. Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam tesis ini adalah suatu cara penyelidikan atau pemeriksaan dengan menggunakan penalaran yang bersifat logis berdasarkan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma, serta teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif.49 Yang menjadi contoh untuk penelitian ini adalah Putusan Homologasi antara Djakarta Lloyd vs Julia Tjandra.

1.Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat penelitian tesis ini adalah deskriptif analitis yaitu bertujuan memberikan gambaran tentang Homologasi sebagai upaya preventif terjadinya pailit, sehingga memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan dalam penelitian ini yang akan dijelaskan.

Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yaitu hukum doctrinal yang sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

48Ibid.

49 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.Cit, hal 166.

(42)

perundang-undangan (law in book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim di pengadilan. dilakukan atau ditunjukkan hanya pada peraturan atau bahan hukum yang lain dan mengacu kepada norma-norma hukum positif yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.50 2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang akan diteliti. Pendekatan ini juga tergantung pada fokus penelitian, yang mana pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan yang bersifat akademis untuk mencari dasar hukum dan kandungan filosofis suatu perundang- undangan dan pendekatan kasus (case approach), pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.

3. Sumber Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mempergunakan penelitian dengan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-

50 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum Suatu Pengantar,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal 134.

(43)

dokumen yang ada dan dibantu dengan data yang diperoleh berkaitan dengan objek penelitian ini.

Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa : a. Bahan Hukum Primer

Putusan Mahkamah Agung Nomor 137 K/Pdt.Sus-Pailit/2014, Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan peraturan perundang-undangan pendukung lainnya.

b. Data sekunder yaitu data yang bersifat dan merupakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan.

a) Undang-undang Dasar 1945

b) Undang-undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

c) Undang-undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 2. Bahan Hukum Sekunder

yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa penelitian para ahli, hasil karya-karya ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier

(44)

Bahan Hukum berupa kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan artikel-artikel pendukung lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi pustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Studi Pustaka adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan. Studi ini dilakukan dengan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan bahan hukum dan informasi baik berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterprestasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. 51

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan observasi, wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

51 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta:Ghalia Indonesia,1994), hal. 225.

(45)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.52Atau definisi lain dari analisis data yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah data hasil dari penelitian menjadi informasi yang nantinya bisa dipergunakan dalam mengambil kesimpulan. Pada tahap pengumpulan data ini, dilakukan inventaris seluruh data atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.

Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya dianalisis dengan mempergunakan metode analisis kuantitatif yang didukung oleh logika berpikir secara induktif. Dipilihnya metode induktif adalah agar gejala-gejala normatif yang diperhatikan dapat dianalisis dari berbagai aspek secara mendalam dan terintegral antara aspek satu dengan yang lainnya.

52 Lexy J. Moeleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002), hal.

101.

(46)

BAB II

PENERAPAN HOMOLOGASI SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PAILIT

A. Homologasi Dalam Hukum Kepailitan 1. Pengertian Homologasi

Homologasi adalah pengesahan perdamaian oleh pengadilan. Perdamaian (akkoord) dalam tahapan PKPU ini merupakan tahapan yang paling penting, karena dalam perdamaian tersebut debitor akan menawarkan rencana perdamaiannya kepada kreditor. Dalam perdamaian tersebut dimungkinkan adanya restrukturisasi utang-utang debitor. Jika perdamaian disetujui oleh para kreditor, maka PKPU demi hukum akan berakhir.53

Perdamaian yang telah disetujui oleh para kreditor, harus dihomologasikan di pengadilan. Pengadilan dalam memeriksa permohonan homologasi bisa menerima bisa pula menolaknya. Penetapan pengadilan niaga mengenai pemberian atau penolakan atas rencana perdamaian harus diberikan pada saat diselenggarakan sidang pengesahan (homologasi) atau paling lambat 7 (tujuh) hari setelah homologasi tersebut. Perdamaian yang telah disahkan berlaku bagi semua kreditor konkuren (yang bukan kreditor separatis atau preferen), tanpa ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan atau tidak.54 Dalam perdamaian PKPU, pemungutan suara dilakukan pada saat sidang untuk pemberian PKPU tetap atau pada sidang berikutnya apabila rencana perdamaian

53 M Hadi Shuban, Op.Cit., hal 150.

54Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)Teori dan Praktik,(Bandung: Alumni, 2013) hal. 241-242

Referensi

Dokumen terkait

Pertimbangan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung tersebut merupakan bantahan terhadap pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memberikan pertimbangan dalam

Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor : 1102/Pid.B/2008/PN.Jr tanggal 4 Februari 2009 dengan alasan bahwa

Berdasarkan hasil penelitian tanggung jawab Kurator setelah adanya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan permohonan pailit yaitu segala perbuatan hukum yang telah

Kesesuaian Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Mengabulkan Alasan Kasasi Penuntut Umum terhadap Putusan Bebas Pengadilan Negeri Bandung dalam Perkara Korupsi dengan

Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase syariah, dan jika terdapat pihak yang keberatan atas putusan Badan Arbitrase Syariah karena

Bahwa Tergugat/Pembanding/Pemohon Kasasi/Pemohon Peninjauan Kembali karena menurut hukum putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 164 K/TUN/2010

Permodalan BMT Ventura mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yang dirasa sangat tidak berdasarkan hukum dan tidak

Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor : 1102/Pid.B/2008/PN.Jr tanggal 4 Februari 2009 dengan alasan bahwa