• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUM"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK (PJR)/

Rheumatic Heart Disease (RHD)

A. PENGERTIAN

 Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali. (kapita selekta, edisi 3, 2000)

Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.

B. ETIOLOGI

Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcusβ

hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik serangan ulang.

Faktor-faktor predisposisi terjadinya penyakit jantung rematik / Rheumatic Heart

Desease terdapat pada diri individu itu sendiri dan juga faktor lingkungan.

Faktor dari Individu diantaranya yaitu :

1. Faktor genetik

Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik

menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.

2. Umur

(2)

Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.

3. Keadaan gizi dan lain-lain

Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.

4. Golongan etnik dan ras

Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam

reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.

5. Jenis kelamin

Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin.

6. Reaksi autoimun

Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.

Faktor-faktor dari lingkungan itu sendiri :

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk

(3)

2. Cuaca

Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

3. Iklim dan geografi

Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya angka kejadian demam rematik lebih tinggi daripada didataran rendah.

C. PATOFISIOLOGI

Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A. demam rematik mempengaruhi semua persendian, menyebabkan poliartritis. Jantung merupakan organ sasaran dan merupakan bagian yang kerusakannya paling serius.

Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan akibat infeksi, artinya jaringan tersebut tidak mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organism tersebut, namun hal ini merupakan fenomena sensitivitas atau reaksi, yang terjadi sebagai respon terhadap streptokokus hemolitikus. Leukosit darah akan tertimbun pada jaringan yang terkena dan membentuk nodul, yang kemudian akan diganti dengan jaringan parut. Miokardium tentu saja terlibat dalam proses inflamasi ini; artinya, berkembanglah miokarditis rematik, yang sementara melemahkan tenaga kontraksi jantung. Demikian pula pericardium juga terlibat; artinya, juga terjadi pericarditis rematik selama perjalanan akut penyakit. Komplikasi miokardial dan pericardial biasanya tanpa meninggalkan gejala sisa yang serius. Namun sebaliknya endokarditis rematik mengakibatkan efek samping kecacatan permanen.

(4)
(5)

Penyimpangan KDM

DEMAM REMATIK

streptococcus beta-hemolyticus grup A.

reaksi imonolgy ( anti body )

sarcolemma myocardial

toxin myocard rusak

stretolysin titer o

Bersifat toxik

(6)

D. MANIFESTASI KLINIS

Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas dengan krekels dan wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.

Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang menyerang. Bila ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.

E.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.

G. PENATALAKSANAAN

Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut: 1. Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.

2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.

3. Antiinflamasi

Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.

(7)

Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.

H. PENCEGAHAN

Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada semua orang.

Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis streptokokus; panas tinggi (38,9 sampai 40C atau 101 sampai 104F), menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi hidung akut.

(8)

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

A. PENGKAJIAN a. Aktivitas/istrahat

Gejala : Kelelahan, kelemahan.

Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.

b. Sirkulasi

Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan. Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur, edema,

petekie, hemoragi splinter.

c. Eliminasi

Gejala : Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine. Tanda : Urine pekat gelap.

d. Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.

Tanda : Perilaku distraksi, mis: gelisah.

e. Pernapasan

Gejala : dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).

Tanda : takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan berbercak darah (edema pulmonal).

f. Keamanan

(9)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.

b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.

d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus. e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

C. INTERVENSI

a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi. Tujuan : nyeri hilang/ terkontrol.

Intervensi :

1. Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).

R/ : Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.

2. Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.

R/ : aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh; kerja tiba-tiba, stress, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.

3. Berikan aktivitas hiburan yang tepat.

R/ : Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu. 4. Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.

R/ : Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

5. Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.

(10)

b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan.

Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas. Intervensi :

1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.

R/ : Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.

2. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.

R/ : Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual. 3. Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.

R/ : Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung. 4. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat

gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.

R/ : Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

5. Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.

R/ : Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan tekanan atrium dan kongesti vena.

Tujuan : menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan ditritmia. Intervensi :

1. Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.

(11)

2. Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.

R/ : Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.

3. Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat tidur.

R/ : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan jantung.

4. Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.

R/ : Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.

5. Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik. R/ : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan simtomatologi tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah jantung. Vasodilator digunakan untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan tahanan vaskuler sistemik (afterload). Penurunan ini mengembalikan dan menghilangkan tahanan. Diuretic menurunkan volume sirkulasi (preload), yang menurunkan TD lewat katup yang tak berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan kongesti vena.

d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus.

Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.

Intervensi :

1. Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang berat badan tiap hari.

R/ : Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik. Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.

2. Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi.

R/ : Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.

3. Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila diindikasikan.

(12)
(13)

4. Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.

R/ : Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan. 5. Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).

Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema. 6. Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.

R/ : Menurunkan retensi cairan.

e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan Tujuan : menunjukan perilaku untuk menangani stress. Intervensi :

1. Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.

R/ : Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama dengan respons verbal dan non verbal.

2. Berikan tindakan kenyamanan (contoh mandi, gosokan punggung, perubahan posisi).

R/ : Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping.

3. Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.

R/ : Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas sehari-hari.

4. Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum pada rencana pengobatan.

R/ : Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan memberikan rasa kontrol.

5. Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi, relaksasi progresif.

(14)

D. EVALUASI

a. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

b. Menunjukan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.

c. Melaporkan/menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.

d. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

 Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

 Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

 Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

 Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.

 Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1. EGC. Jakarta.

 Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

A. KONSEP DASAR

1. Definisi

Penyakit jantung rematik adalah penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berkali-kali.

2. Etiologi

Patogenesis pasti demam rematik masih belum diketahui. Dua mekanisme dugaan yang telah diajukan adalah (1) respons hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi, dan (2) efek langsung organisme streptokokus atau toksinnya. Penjelasan dari sudut imunologi dianggap sebagai penjelasan yang paling dapat diterima, meskipun demikian mekanisme yang terakhir tidak dapat dikesampingkan seluruhnya.

3. Patofisiologi

Perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi stadium akut dan kronik. Pada stadium akut, katup membengkak dan kemerahan akibat adanya reaksi peradangan. Dapat terbentuk lesi-lesi di daun katup. Setelah peradangan akut mereda, terbentuk jaringan parut. Hal ini dapat menyebabkan deformitas katup dan pada sebagian kasus, menyebabkan daun-daun katup berfusi sehingga orifisium menyempit. Dapat muncul stadium kronik yang ditandai oleh peradangan berulang dan pembentukan jaringan parut yang terus berlanjut.

4. Manifestasi Klinik

(16)

ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik, maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.

5. Komplikasi

Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru, infark, dan kelainan katup jantung.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.

7. Penatalaksanaan

Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut: 1) Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung. 2) Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.

3) Antiinflamasi

Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.

Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian. Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.

8. Pencegahan

Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi streptokokus pada

semua orang.

(17)

streptokokus; panas tinggi (38,9o sampai 40oC, atau 101o sampai 104oF), menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri abdomen, dan infeksi

hidung akut.

Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat. Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih jarang dilakukan seperti sitoskopi.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian

 Aktivitas/istirahat

Gejala: Kelelahan, kelemahan.

Tanda: Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.  Sirkulasi

Gejala: Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh pingsan.

Tanda: Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub, murmur, irama gallop, edema, petekie, hemoragi splinter, nodus Osler, lesi Janeway.  Eliminasi

2. Intoleran aktivitas b/d penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan. 3. Penurunan curah jantung b/d penurunan volume sekuncup.

(18)

III. Intervensi

1. Nyeri akut b/d proses inflamasi.

Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Intervensi :

1) Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri, respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan).

R/ Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.

2) Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.

R/ Aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen (contoh kerja tiba-tiba, stres, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.

3) Berikan aktivitas hiburan yang tepat.

R/ Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas individu. 4) Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.

R/ Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

5) Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.

R/ Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan kenyamanan.

2. Intoleran aktivitas b/d penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan. Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas. Intervensi :

1) Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi nadi 20/ menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.

R/ Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.

2) Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.

R/ Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual. 3) Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.

R/ Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.

4) Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.

R/ Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

5) Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.

(19)

3. Penurunan curah jantung b/d penurunan volume sekuncup.

Tujuan : Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia. Intervensi :

1) Pantau TD, nadi apikal, nadi perifer.

R/ Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi dini/tindakan terhadap dekompensasi.

2) Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat. R/ Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.

3) Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari tempat tidur.

R/ Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap cadangan jantung.

4) Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.

R/ Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi peningkatan kebutuhan oksigen.

5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator, diuretik.

4. Kelebihan volume cairan b/d gangguan filtrasi glomerulus.

Tujuan : Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.

Intervensi :

1) Pantau pemasukan dan pengeluaran, catat keseimbangan cairan (positif atau negatif), timbang berat badan tiap hari.

R/ Penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dan keefektifan terapi diuretik. Keseimbangan cairan positif berlanjut (pemasukan lebih besar dari pengeluaran) dan berat badan meningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.

2) Berikan diuretik contoh furosemid (Lazix), asam etakrinik (Edecrin) sesuai indikasi. R/ Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.

3) Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium tambahan bila diindikasikan.

R/ Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung. 4) Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.

R/ Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan. 5) Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).

R/ Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema. 6) Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.

R/ Menurunkan retensi cairan.

5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.

Tujuan : Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol. Intervensi :

1) Pantau respons fisik, contoh palpitasi, takikardi, gerakan berulang, gelisah.

R/ Membantu menentukan derajat cemas sesuai status jantung. Penggunaan evaluasi seirama dengan respons verbal dan non verbal.

(20)

R/ Membantu perhatian mengarahkan kembali dan meningkatkan relaksasi, meningkatkan kemampuan koping.

3) Dorong ventilasi perasaan tentang penyakit-efeknya terhadap pola hidup dan status kesehatan akan datang. Kaji keefektifan koping dengan stressor.

R/ Mekanisme adaptif perlu untuk mengkoping dengan penyakit katup jantung kronis dan secara tepat mengganggu pola hidup seseorang, sehubungan dengan terapi pada aktivitas sehari-hari.

4) Libatkan pasien/orang terdekat dalam rencana perawatan dan dorong partisipasi maksimum pada rencana pengobatan.

R/ Keterlibatan akan membantu memfokuskan perhatian pasien dalam arti positif dan memberikan rasa kontrol.

5) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi, contoh napas dalam, bimbingan imajinasi, relaksasi progresif.

R/ Memberikan arti penghilangan respons ansietas, menurunkan perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

IV. Evaluasi

1. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

2. Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas. 3. Menunjukkan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.

4. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital dalam rentang normal, dan tak ada edema.

5. Menunjukkan penurunan ansietas/terkontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed. 6 Vol 1. EGC. Jakarta.

Slamet suyono, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.3. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Demam Tifoid (entric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna, dengan gejala demam kurang lebih dari satu minggu, gangguan

Demam rematik adalah penyakit autoimun yang menyerang multi organ akibat infeksi Streptokokus Beta Hemolitikus grup A pada faring menyebabkan faringitis yang biasanya

Bronchitis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam

Pasien dengan penyakit jantung akut yang menjalani operasi non-jantung. perlu

Merupakan penyakit yang penyebabnya Merupakan penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif, autoimun bersifat kronik dan residitif, ditandai dengan

Berdasarkan masalah keperawatan yang terdapat pada anak dengan penyakit jantung reumatik adalah masalah penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraksi otot jantung,

Definisi Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa

Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarekteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membrane sinovial yang mengarah pada