BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Imunisasi
1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah
terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan
yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukan kedalam
tubuh melalui suntikan misalnya vaksin BCG, DPT-HB, Campak dan melalui mulut
misalnya vaksin polio (Hidayat, 2009).
2. TujuanImunisasi
Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap
penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat
mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah (Hidayat, 2009).
3. Manfaat Imunisasi
Menurut Isfan (2006) manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah
dengen menurunnya angka kesakitan dan angka kematian penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, tetapi dirasakan juga oleh :
a. Bagi anak, dapat mencegah penderitaan yang disebabkan penyakit atau
kecacatan.
b. Bagi keluarga, menghilangkan kecemasan dan biaya pengobatan yang
dikeluarkan bila anak sakit. Hal ini akan mendorong penyiapan keluarga
c. Bagi negara, memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat
dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara dan memperbaiki citra
bangsa
4. Macam-macamImunisasi
Menurut Hidayat (2009), berdasarkan proses atau mekanisme pertahanan tubuh
imunisasi dibagi menjadi dua yaitu : imunisasi aktif dan imunisasi pasif.
a. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif merupakan pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan
akan terjadi suatu proses infeksi buatan, sehingga tubuh mengalami reaksi
imunologi spesifik.Jika benar terjadi infeksi maka tubuh secara cepat merespon.
Dalam imunisasi terdapat empat macam kandungan dalam setiap vaksinnya,
yang dijelaskan sebagai berikut :
1) Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau
mikroba guna terjadinya semacam infeksi buatan (berupa polisakarida,
toksoid, virus yang dilemahkan, atau bakteri yang dimatikan).
2) Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan.
3) Preservatif, stabilizer, dan antibiotik yang berguna untuk mencegah
tumbuhnya mikroba sekaligus untuk stabilisasi antigen.
4) Adjuvans yang terdiri atas garam aluminium yang berfungsi untuk
meningkatkan imunogenitas antigen.
b. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin), yaitu suatu zat
atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah
masuk dalam tubuh yang terinfeksi.
5. Jenis-jenisImunisasiDasar
Di Indonesia terdapat jenis imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah yang
disebut dengan imunisasi dasar. Beberapa imunisasi tersebut dijelaskan sebagai
berikut :
a. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (basillus calmette guerin) merupakan imunisasi yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat, sebab
terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang ringan dapat terjadi walaupun
sudah dilakukan imunisasi BCG. TBC yang berat contohnya adalah TBC pada
selaput otak, TBC milier pada seluruh lapangan paru, atau TBC tulang. (Hidayat,
2009).
Vaksin BCG merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang
dilemahkan (Hidayat, 2009). Vaksin ini merupakan vaksin hidup, sehingga tidak
diberikan pada pasien imunokompromise jangka panjang seperti leukimia,
pengobatan steroid jangka panjang, HIV (Muslihatun.2010).
Diberikan pada bayi umur kurang dari atau sama dengan dua bulan.
Pemberian imunisasi ini diberikan kepada anak apabila uji Mantoux negatif.
Dosis yang diberikan untuk bayi adalah 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml. Vaksin
diberikan melalui suntikan intrakutan di daerah insersio muskulus deltoideus
kanan (Muslihatun, 2010).
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) pada imunisasi BCG yaitu lokal
superfisial 3 minggu setelah penyuntikan. Sembuh dalam 2-3 bulan,
maka ulkus yang timbul lebih besar dan apabila penyuntikan yang terlalu dalam
membuat parut yang terjadi tertarik ke dalam (Muslihatun, 2010).
b. Imunisasi hepatitis B
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
hepatitis yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair. Frekuensi
pemberian imunisasi hepatitis sebanyak 3 kali dan penguatnya dapat diberikan
pada usia 6 tahun. Dosis imunisasi hepatitis B sebayak 0,5 ml dan diberikan
secara intra muskular (Hidayat, 20009).
Menurut Muslihatun (2010) jadwal imunisasi hepatitis sebagai berikut :
1) Imunisasi Hepatitis B-1 diberikan sedini mungkin setelah lahir untuk
memutuskan rantai transmisi maternal ibu ke bayi.
2) Imunisasi Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari Hepatitis B-1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan.
3) Imunisasi hepatitis B-3 diberikan minimal dengan interval 2 bulan dari
Hepatitis B-2 yaitu saat bayi berumur 3-6 bulan.
c. Imunisasi polio
Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Kandungan
vaksin ini adalah virus yang dilemahkan (Gupte, 2004).
Frekuensi pemberian pemberian imunisasi polio adalah empat kali. Waktu
pemberian imunisasi polio pada umur 0- 11 bulan dengan interval pemberian 4
d. Imunisasi DPT
Imunsasi DPT (diphteria, pertusis, tetanus) yang digunakan untuk
mencegah penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan
vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat
racunnya namun masih dapat merangsang pembentukan zat anti, (Hidayat,
2009).
Frekuensi pemberian imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud
pemberian pertama zat anti tertentu masih sedikit (tahap pengenalan) terhadap
vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pemberian kedua
dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Waktu pemberian imunisasi DPT
antara umur 2-11 bulan dengan interval 4 minggu. Cara pemberiannya melalui
intra muskular (Gupte, 2004).
Reaksi KIPI vaksin ini antara lain reaksi lokal kemerahan, pembengkakan
dan nyeri pada tempat penyuntikan, demam ringan, gelisah dan menangis terus
menerus beberapa jam pasca penyuntikan. Sedangkan reaksi KIPI yang paling
serius adalah ensefalopati akut dan reaksi anafilaksis (Muslihatun, 2010).
e. Imunisasi campak
Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular.
Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan (Gupte, 2004).
Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali. Waktu pemberian
imunisasi campak pada umur 9-11 bulan. Cara pemberian imunisasi campak
Menurut Muslihatun (2010) reaksi KIPI dari imunisasi campak sebagai berikut :
1)Demam lebih dari 39,50o C pada hari ke 5-6 selama 2 hari yang dapat
merangsang terjadinya kejang demam.
2)Ruam pada hari ke 7-10 selama 2-4 hari.
3)Gangguan sistem saraf pusat seperti sensefalitis dan ensefalopati pasca
imunisasi.
B. Faktor-faktor yang Berpengaruh Dalam Pencapaian Imunisasi 1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan atau ranah kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Dalam hal ini
pengetahuan tercakup dalam domain kognitif yang memiliki enam tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Yang termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari suatu bahan yang dipelajari. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari orang lain
menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehesnsion)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap materi atau objek harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat
menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian,
dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem
solving cycle) dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
d. Analisa (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan,
memisahkan, mengelompokan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau untuk
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keselurahan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada. Misalnya dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak
yang kekurangan gizi.
Menurut Khotimah dan Rusnelly (2008), umumnya orang yang berpengetahuan
tinggi cenderung memiliki pola pikir yang lebih baik sehingga berusaha menerapkan
pola perilaku hidup sehat. Dengan pengetahuan tinggi diharapkan dapat
menimbulkan sikap perilaku yang dapat menangkal timbulnya perubahan perilaku
yang negatif dari kesehatan.
Sedangkan menurut Cornelia, dkk (2013), pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian atau responden
2. Sikap
Sikap merupakan reakasi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara
nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
(Notoatmodjo, 2012).
Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu
pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan atau prilaku (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Sunaryo (2004), seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari
berbagai tingkatan, yaitu:
a. Menerima (receiving)
Pada tingkatan ini, individu ingin dan memperhatikan rangsangan (stimulus)
yang diberikan.
Misalnya, sikap ibu terhadap pemberian imunisasi, dapat dilihat dari
kesediaan ibu tersebut untuk mengahadiri penyuluhan tentang imunisasi.
Sedangkan ibu yang tidak menerima imunisasi, tidak peduli tentang adanya
penyuluhan tersebut.
b. Merespon (responding)
Pada tingkatan ini, sikap individu dapat memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
Misalnya, ibu yang diwajibkan membawa anaknya ke posyandu untuk
imunisasi, dan ibu melaksanakannya.
c. Menghargai (valuing)
Pada tingkatan ini, individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
Misalnya, seorang ibu mengajak ibu lain yang memiliki bayi untuk
imunisasi ke posyandu dan mendiskusikan manfaat imunisasi.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Pada tingkatan ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap
menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya. Misalnya,
tetap membawa anaknya imunisasi walaupun anaknya akan demam setelah
imunisasi DPT-HB.
Menurut Khotimah dan Rusnelly (2008), faktor sikap merupakan faktor
yang timbul dari dalam diri individu sendiri. Tidak membawa anak ketempat
pelayanan kesehatan untuk diimunisasi dikarenakan sikap ibu yang tidak
memahami pentingnya imunisasi. Sebaliknya ibu yang membawa anaknya untuk
diimunisasi didorong oleh sikap ibu yang memahami pentingnya imunisasi
untuk mencegah penyakit, mengetahui efek samping badan anak panas setelah
diimunisasi merupakan hal yang wajar, memiliki keyakinan vaksin yang
disuntikan aman bagi anak dan mendukung program imunisasi yang diberikan
petugas kesehatan.
3. Faktor Pendorong
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.
Untuk berlaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu
pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan
perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para
petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2012).
Menurut Paridawati (2013), salah satu yang melatarbelakangi sikap ibu
yang positif terhadap imunisasi dasar karena selain petugas imunisasi yang aktif
dan secara rutin memberikan pelayanan imunisasi di puskesmas juga tersedianya
sarana dan prasarana. Sedangkan yang melatarbelakangi sikap ibu yang negatif
masyarakat tentang penyakit yang timbul akibat imunisasi yang tidak lengkap
dan jadwal pemberian imunisasi sesuai jenis imunisasi masing-masing.
Menurut Talu (2013), pendekatan budaya dapat dilakukan melalui tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Tokoh masyarakat setempat juga memiliki
peranan yang penting dalam mendukung tugas tenaga kesehatan. Tokoh
masyarakat memiliki kedekatan secara psikologis dan budaya dengan
masyarakat setempat. Tenaga kesehatan juga perlu bekerja sama dengan tokoh
agama karena tokoh agama dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang
dapat dipercaya sehingga masyarakat lebih mudah mengikuti arahan tokoh
agama. Pesan-pesan kesehatan dapat disisipkan dalam ceramah yang dilakukan
oleh tokoh agama.
Menurut Wardan (2013), peran keluarga sangat penting dalam pencapaian
kelengkapan imunisasi bagi seorang balita, dengan demikian pentingnya saling
pengertian dari seluruh keluarga untuk memberikan dukungan dan dorongan
bagi terlaksananya pemberian imunisasi bagi seorang balita.
Sedangkan menurut Albertina, dkk (2008), alasan ketidaklengkapan
terbanyak ialah ketidaktahuan akan jadwal imunisasi. Sebaiknya Dinas
Kesehatan, Puskesmas, Posyandu maupun tenaga kesehatan mempublikasikan
mengenai jadwal imunisasi secara lebih luas kepada para orang tua sehingga
tidak ada lagi anak yang tidak mendapatkan imunisasi hanya karena orang tua
tidak tahu jadwal.
Untuk tokoh-tokoh tersebut di atas, perubahan perilaku yang diharapkan
mereka ini berperilaku sehat di tengah-tegah masyarakat. Dengan adanya
tokoh-tokoh tersebut berprilaku sehat di tengah-tengah masyarakat ini merupakan role
memandang tokoh masyarakat (formal dan informal) sebagai panutannya atau
acuannya. Artinya apapun yang dilakukan tokoh masyarakat sekitarnya.
Misalnya ibu-ibu akan mengimunisasikan anaknya apabila ibu-ibu tokoh atau
istri-istri tokoh masyarakat telah mengimunisasikan anaknya (Notoatmodjo,
2012).
Pendidikan juga dapat menjadi faktor pendorong untuk pencapaian target
cakupan imunisasi. Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi
pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti
mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu
obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek
inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu.
Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan
sikap makin positif terhadap obyek tersebut (Notoatmojo, 2012).
Pekerjaan juga dapat menjadi faktor pendorong untuk pencapaian target
cakupan imunisasi. Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan sehari-hari, jenis
pekerjaan yang dilakukan dapat dikategorikan adalah tidak bekerja, wiraswata,
pegawai negeri, dan pegawai swasta dalam semua bidang pekerjaan pada
umumnya diperlukan adanya hubungan sosial yang baik. Pekerjaan dimiliki
peranan penting dalam menentukan kwalitas manusia, pekerjaan membatasi
kesenjangan antara informasi kesehatan dan praktek yang memotifasi seseorang
untuk memperoleh informasi dan berbuat sesuatu untuk menghindari masalah