• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian tentang sikap masyarakat dalam pembangunan pariwisata telah banyak dilakukan oleh para peneliti baik di dalam negeri maupun luar negeri (Lankford and Howard, 1994; Lindberg and Johnson, 1997; Andereck and Vogt, 2000; McGehee and Andereck, 2004; Choi and Sirakaya, 2005) . Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap pembangunan pariwisata sangat berkaitan erat dengan dampak yang diterima oleh masyarakat dari pembangunan tersebut.

Hugh Devine (2006) dalam thesisnya yang berjudul “Rural Community Attitudes Toward Tourism” memaparkan sikap masyarakat terhadap pariwisata ditinjau dari manfaat ekonomi yang didapat dari pariwisata serta jarak fisik dari kegiatan pariwisata. Penelitian ini dilakukan di Piscataquis County, Maine, Amerika Serikat dengan menggunakan metode analisis regresi logit di mana teknik pengambilan sampel menggunakan teknik proporsional random sampling dengan mengirimkan sebanyak 1071 kuisioner yang dilengkapi dengan amplop balasan yang telah berperangko. Dalam penelitiannya Hugh menemukan bahwa masyarakat yang merasakan manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata menunjukkan sikap yang positif sedangkan dilihat dari jarak fisik masyarakat dengan kegiatan pariwisata di mana semakin dekat masyarakat dengan kegiatan

(2)

pariwisata masyarakat menunjukkan sikap yang positif karena tidak terlepas dari manfaat ekonomi yang mereka dapatkan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan pariwisata di daerah sekitarnya.

Hasil penelitian Hugh Devine hampir mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang dan Pfister (2008). Penelitiannya yang berjudul “Residents Attitudes Toward Tourism and Perceived Personal Benefits in a Rural Community” memaparkan bahwa keuntungan atau manfaat yang dirasakan masyarakat dari pariwisata sangat berkaitan erat dengan sikap mereka terhadap pariwisata yang menujukkan ke arah positif. Penelitian ini dilakukan di Washington negara bagian North Carolina dengan metode analisis regresi. Manfaat non ekonomi seperti peningkatan kesempatan dan pilihan untuk berekreasi merupakan faktor yang signifikan yang menentukan sikap positif masyarakat terhadap pariwisata.

Kedua penelitian di atas menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap pembangunan pariwisata sangat berkaitan erat dengan keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan dari kegiatan pembangunan pariwisata.

Sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Made Sukana (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Sikap dan Perilaku Masyarakat Kelurahan Ubud Kabupaten Gianyar, Terhadap Wisatawan China” yang menunjukkan bahwa secara umum sikap dan perilaku masyarakat Ubud terhadap wisatawan China positif namun sebagian ada yang berprilaku negatif. Sikap positif masyarakat lebih didorong oleh keinginan untuk selalu memberikan yang terbaik untuk setiap tamunya tanpa membedakan suku, ras, agama dan golongan

(3)

meskipun dari segi manfaat ekonomi yang diterima dari kedatangan wisatawan China ini tidak begitu berarti. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan dua penelitian sebelumnya yang disebabkan karena adanya perbedaaan demografi penduduk dan latar belakang budaya yang berbeda yang turut mempengaruhi pembentukan sikap seseorang.

Seperti halnya dengan dua penelitian sebelumnya, penelitian ini sama sama meneliti sikap masyarakat terhadap pembangunan pariwisata. Namun pembangunan pariwisata yang dimaksud dalam penelitian ini hanya terbatas pada pembangunan sarana akomodasi seperti hotel dan villa.

2.2 Konsep 2.2.1 Sikap

Thurstone (dalam Azwar, 1988:5) memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavorable) pada objek tersebut.

Pendekatan skema triadik atau skema tricomponent yang dikemukakan oleh para ahli seperti Breckler, Katz dan Stotland serta Rajecki memandang sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Ketiga komponen tersebut secara bersama mengorganisasikan sikap individu.

Rosenberg dan Hovland menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisidan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi

(4)

membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal jenjang kedua. Seperti yang terlihat pada gambar konsepsi Skematik Rosenberg & Hovland berikut ini :

Gambar 2.1

Konsepsi Skematik Rosenberg & Hovland Mengenai Sikap (Azwar, 1988:8)

Dalam skema di atas terlihat bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek selalu berperan sebagai perantara antara responnya dan objek yang bersangkutan. Respons diklasifikasikan dalam tiga macam yaitu respon kognitif (respon perseptual dan pernyataan mengenai apa yang diyakini), respon afektif (respon syaraf simpatetik dan pernyataan afeksi), serta respon perilaku atau konatif (respon berupa tindakan dan pernyataan mengenai perilaku). Masing masing klasifikasi ini berhubungan erat dengan ketiga komponen sikapnya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan melihat salah satu saja di antara ketiga bentuk respon tersebut sikap seseorang sudah dapat diketahui. Walaupun

STIMULI (individu, situasi, isyu –isyu, kelompok sosial, dan objek sikap lainnya) SIKAP Tindakan yang tampak Pernyataan lisan mengenai perilaku Respon Perseptual Pernyataan lisan tentang keyakinan Respon syaraf simpatetik Pernyataan lisan tentang afek KOGNISI AFEKSI PERILAKU

(5)

begitu, deskripsi lengkap mengenai sikap individu tentu harus diperoleh dengan melihat ketiga macam respon secara lengkap.

Dalam kaitannya dengan sikap seseorang terhadap pembangunan pariwisata sangat terkait dengan respon yang diberikan terhadap suatu objek dalam hal ini berbagai hal yang terkait denga pembangunan pariwisata. Dari teori yang dikemukakan oleh Rosenberg & Hovland di atas, sikap seseorang terhadap pembangunan pariwisata dapat diketahui dari salah satu bentuk respon yang ditunjukkan baik itu respon konitif, afektif atau konatif. Dalam penelitian ini peneliti akan mencoba mengukur sikap masyarakat dari bentuk respon yang ditunjukkan oleh masyarakat Desa Ungasan terhadap beberapa variabel stimulus yang berupa pernyataan-pernyataan seputar dampak-dampak pembangunan pariwisata yang dirasakan oleh masyarakat serta peran sertanya dalam pembangunan tersebut.

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Thurstone, sikap yang mendukung atau memihak (favorable) atau yang tidak mendukung (unfavorable) terhadap pembangunan pariwisata akan dilihat dari dampak dampak pembangunan pariwisata yang dirasakan oleh masyarakat Desa Ungasan. Jika masyarakat merasa diuntungkan oleh pembangunan tersebut akan muncul afek yang cenderung positif terhadap pembangunan tersebut demikian pula sebaliknya jika masyarakat tidak merasakan adanya keuntungan dari pembangunan tersebut akan muncul afek negatif terhadap pembangunan tersebut.

(6)

2.2.2 Pembangunan pariwisata

Berbagai definisi dan interpretasi tentang pembangunan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Pembangunan sering kali diunakan untuk menggambarkan sebuah proses dan juga sebuah keadaan tergantung pada konteks mana kata tersebut digunakan. Jika mengacu pada konteks perubahan sosial dan ekonomi kata pembangunan diartikan sebagai sebuah proses. Namun jika mengacu pada konteks sebuah kondisi (sebagai contoh suatu negara dapat diklasifikasikan sebagai negara berkembang atau belum berkembang) maka kata pembangunan diartikan sebagai suatu keadaan (Sofield, 2003).

Pembangunan juga sering diidentikkan dengan istilah pertumbuhan ekonomi namun beberapa ahli mengemukakan perbedaan istilah tersebut. Mehmet (dalam Sofield,2003) menggambarkan perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dengan memberikan penekanan pada masing masing istilah. Pertumbuhan ekonomi memiliki fokus yang lebih sempit serta mengacu pada ekspansi pendapatan atau produksi nasional yang diukur sebagai GNP atau GDP per kapita, sebagai akibat dari peningkatan pemanfaatan dan bentuk modal. Sedangkan “pembangunan” menurut Mehmet memiliki pengertian yang lebih luas dan mengacu pada “ sebuah peningkatan kesejahteraan sosial dan material sebuah masyarakat secara keseluruhan”. Peningkatan pendapatan perkapita hanya merupakan bagian dari peningkatan kualitas hidup. Distribusi pendapatan yang merata serta akses yang lebih luas pada fasilitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan juga merupakan bagian pembangunan yang terkait erat dengan bidang ekonomi.

(7)

Dari definisi pembangunan yang dijelaskan di atas, maka pembangunan pariwisata dapat diartikan sebagai sebuah upaya atau proses peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui sektor pariwisata. Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat di suatu daerah diantaranya peningkatan pendapatan perkapita dan luasnya lapangan kerja yang juga merupakan bagian dari pertumbuhan ekonomi. Di beberapa negara, pariwisata telah ikut andil di dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sektor pariwisata telah diketahui mampu menstimulasi sektor sektor pembangunan ekonomi nasional lainnya. Pariwisata membutuhkan berbagai bahan baku seperti perlengkapan hotel, makanan serta bahan lainnya yang pada akhirnya mendorong pembangunan sektor lainnya seperti industri dan pertanian serta aktivitas perdagangan lokal. Pariwisata juga menciptakan berbagai lapangan kerja baru di bidang perhotelan, industri makanan dan minuman, travel agent, taman rekreasi, toko cinderamata dan lainnya. Pariwisata juga menyumbangkan pendapatan devisa bagi negara dan juga mendorong terjadinya efek berganda pada aktivitas perekonomian (Wahab danPigram, 1997: 130-131).

Dalam penelitian ini pengertian “pembangunan pariwisata” mengacu pada proses pembangunan berbagai fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, vila dan kawasan pariwisata serta berbagai dampak yang muncul akibat pembangunan tersebut baik itu dampak ekonomi, sosial budaya maupun dampak lingkungan serta interaksi masyarakat baik dengan wisatawan maupun para stake holder pariwisata lainnya di Desa Ungasan, yang tentu saja diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

(8)

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini akan mengunakan beberapa teori yang digunakan secara ekliktik untuk membahas dan menjawab rumusan masalah yang telah dibuat. Teori tersebut antara lain :

1. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) 2. Destination Life Cycle

3. Model Irridex Doxey

4. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Masing masing teori tersebut akan dijelaskan satu per satu beriku ini :

2.3.1 Teori pertukaran sosial (social exchange theory)

Menurut teori pertukaran sosial, sikap dan perilaku manusia sangat ditentukan oleh adanya motivasi untuk memperoleh manfaat (benefit) atau nilai (value) yang akan diterima dari perilakunya tersebut. Manfaat atau nilai yang diterima tidak hanya dalam bentuk ekonomi tapi juga dalam bentuk bentuk penghargaan lainnya seperti pujian, perhatian, tepuk tangan dan sebagainya.Menurut Stebbian (1990) yang dikutip oleh Pitana (2005; 22-23) ada tiga asumsi pokok dalam Social Exchange Theory yaitu sebagai berikut :

1. Manusia bertindak dalam usaha mendapatkan benefit. Dalam kaitan ini manusia diasumsikan sebagai mahluk yang rasional.

2. Semua benefit, apapun bentuknya, mengikuti prinsip saturasi (kejenuhan). Semakin banyak seseorang mendafat benefit yang sama maka nilai kepuasan per unit benefit akan berkurang, sampai akhirnya terjadi kejenuhan, di mana benefit tersebut tidak dirasakan lagi.

(9)

3. Benefit hanya bisa didapatkan dalam interaksi, apabila kedua belah pihak saling memberikan benefit pada pihak lain. Untuk dapat memberikan

benefit, maka masing masing pihak harus mempunyai sumber daya

(resources).

Menurut Emerson (1981, dalam Pitana, 2005) pertukaran sosial yang dimaksud dalam sosiologi memiliki perbedaan yang mendasar dengan pertukaran dalam ekonomi makro. Pertukaran dalam ekonomi makro hanya terjadi dalam waktu sesaat, independent dan pertukaran tersebut akan berhenti setelah benefit tertukarkan demikian juga hubungan antar pihak yang melakukan pertukaran tersebut. Dalam pertukaran sosial hubungan pertukaran terjadi dalam sebuah interaksi sosial dalam waktu panjang, manfaat atau nilai pertukaran tidak semata mata terletak pada sebuah benda atau sesuatu yang dipertukarkan, namun menyangkut hal hal yang jauh lebih kompleks dari pertukaran yang terjadi dalam ekonomi makro.

Dalam pembangunan pariwisata manfaat yang diperoleh oleh masyarakat baik itu secara ekonomi maupun non ekonomi akan sangat mempengaruhi sikap masyarakay terhadap pembangunan tersebut. Dampak dampak pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat baik itu dampak positif maupun dampak negatif, dalam teori pertukaran akan dianggap sebagai manfaat (benefit) atau sebagai pengorbanan (cost) yang harus dipertukarkan dengan benefit yang diperoleh.

2.3.2 Destination life cycle

Menurut teori Buttler yang dikutip oleh Cris Ryan (1991:133-136) ada beberapa tahap tahapan dalam siklus perkembangan sebuah destinasi yakni

(10)

1. Exploration

Tahap ini merupakan tahap awal berkembangnya suatu daerah menjadi daerah tujuan wisata. Jumlah kunjungan wisatawan ke daerah tersebut masih dalam jumlah yang sangat terbatas. Pada tahap ini masyarakat lokal menyambut dengan sangat antusias kedatangan wisatawan ini. Kedatangan wisatawan merupakan sesuatu yang baru yang dianggap dapat memberikan wawasan baru di dalam kehidupan sosialnya.

Tahap explorasi sering pula disebut sebagai tahap penemuan (discovery) suatu daerah tujuan wisata. Pada tahap ini dampak pembangunan pariwisata masih belum tampak nyata atau masih sangat kecil. Meskipun muncul kegiatan yang berkaitan dengan kedatangan wisatawan namun masih pada sekala yang sangat kecil.

2. Involvement

Pada tahap jumlah kedatangan wisatawan mulai meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan penduduk lokal mulai menyediakan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan oleh wisatawan seperti penginapan serta layanan makan dan minum. Penyediaan fasilitas oleh penduduk lokal masih dalam bentuk usaha yang bersifat individu ataupun usaha keluarga. Pemasaran sarana dan fasilitas tersebut hanya terbatas di dalam wilayah tersebut dan melalui wisatawan yang datang. Pada tahap ini ketertarikan wisatawan akan cara hidup masyarakat lokal serta keinginan untuk berinteraksi secara dekat masih sangat tinggi. Wisatawan masih menghormati dan menaruh simpati pada kehidupan penduduk lokal

(11)

sehingga hubungan penduduk lokal dan wisatawan masih tampak harmonis.

3. Development

Pada tahap ini jumlah kedatangan wisatawan mulai meningkat tajam dan daerah tersebut sudah mulai dikenal sebagai daerah tujuan wisata. Penyediaan sarana dan fasilitas pariwisata mulai dilakukan oleh orang orang yang lebih profesional dan investor dari luar wilayah daerah tujuan wisata tersebut. Pemasaran fasilitas sudah dilakukan ke luar wilayah khususnya ke daerah-daerah yang menjadi asal wisatawan. Pariwisata pada tahap ini sudah benar-benar telah menjadi sebuah bisnis. Interaksi langsung antara penduduk lokal dengan wisatawan mulai berkurang seiring dengan banyaknya penduduk pendatang yang bekerja di sektor pariwisata yang sedang berkembang tersebut. Di akhir tahap pembangunan (development stage), pertumbuhan industri pariwisata perlahan-lahan mulai melambat tidak lagi secepat di awal tahap pembangunan.

4. Consolidation

Pada tahan konsolidasi pertumbuhan jumlah wisatawan tidak lagi mengalami peningkatan yang signifikan. Pelaku industri pariwisata tidak lagi melakukan investasi baru tetapi lebih menekankan bagaimana mengontrol pengeluaran untuk mempertahankan keuntungan. Mulai terjadi alih kepemilikan industri industri pariwisata.

(12)

5. Stagnation

Pada tahap jenuh, industri pariwisata mulai mengalami persaingan yang semakin tajam karena jumlah kunjunan wisatawan tidak lagi mengalami peningkatan. Fasilitas pariwisata mulai dijual dengan harga murah untuk mempertahankan jumlah kunjungan wisatawan. Kebutuhan akan tenaga kerja yang murah untuk mengurangi kerugian mendorong terjadinya urbanisasi. Penduduk lokal turut berebut sumber daya dengan penduduk pendatang yang menyebabkan munculnya masalah masalah sosial dan lingkungan di daerah tujuan wisata. Pembuat kebijakan lebih memilih mengembangkan insfrastruktur untuk memecahkan masalah dari pada membatasi pertumbuhan.

6. Decline

Pada titik jenuh kualitas pelayanan pada berbagai fasilitas pariwisata mulai menurun. Penurunan kualitas menyebabkan berkurangnya permintaan, hal ini akan mendorong daerah tujuan wisata mulai ditinggalkan baik oleh wisataan maupun investor yang tidak lagi bisa meraih keuntungan di daerah tersebut. Jika hal ini terjadi maka daerah tersebut menuju tahap kemunduran (decline). Pada tahap ini penduduk lokal kembali mendapatkan otoritas di daerah mereka sendiri seiring dengan menurunnya keuntungan ekonomi yang dapat meraka raih dari pariwisata.

7. Rejuvenation

Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan suber daya pariwisata. Pendudul lokal yang kini memiliki otoritas penuh di

(13)

daerahnya bisa melakukan terobosan-terobosan baru seperti menciptakan atraksi wisata artifisial yang baru ataupun penggunaan sumber daya alam yang belum terekplorasi sebelumnya untuk menarik kembali wisatawan untuk datang kedaerah mereka. Tahap ini disebut tahap peremajaan (rejuvenation)

Gambar 2.2

The Tourism Area Life Cycle model ( Butler, 1980)

2.3.3 Model Irridex Doxey

Seiring dengan dengan siklus perkembangan perkembangan destinasi yang dikemukakan oleh Butler, menurut Doxey juga diikuti oleh tahapan tahapan perubahan sikap masyarakat lokal.

Pada tahap explorasi dan involvement masyarakat lokal di daerah destinasi tersebut sangat menerima dengan senang hati kedatangan wisatawan apalagi diikuti dengan keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat dari kedatangan wisatawan tersebut. Kondisi yang demikian disebut euphoria.

(14)

Pada tahap development di mana jumlah wisatawan terus meningkat dan pariwisata telah menjadi sebuah industri, hubungan masyarakat lokal terhadap wisatawan hanya sebatas pada hubungan formal atau bisnis. Masyarakat lokal memandang kedatangan wisatawan hanya sebagai sumber penghasilan ekonomi. Pada tahap apathy baik masyarakat lokal maupun wisatawan tidak lagi tertarik dengan perilaku ataupun budaya yang dimiliki masing masing pihak. Apathy berubah menjadi annoyance pada tahap saturation di mana masyarakat lokal mulai terpinggirkan akibat jumlah wisatawan yang bertambah serta jumlah pekerja pendatang yang juga terus meningkat akibat majunya industri pariwisata di daerah tersebut.

Gambar 2.3 Model “irridex” Doxey (1976 dalam Waver, 2000:298) Pada tahap annoyance masyarakat lokal mulai merasa terganggu oleh kehadiran mereka karena harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya

RESIGNATION

ANTAGONISM

ANNOYANCE

APATHY

EUPHORIA

(15)

ataupun fasilitas di daerah mereka sendiri. Jika hal ini terus berlanjut akan muncul apa yang disebut antagonism di mana masyarakat lokal mulai membenci pembangunan pariwisata di daerah mereka yang mendorong terjadinya pengerusakan ataupun ancaman bagi pariwisata di daerahnya.

Pada tahap di mana kebencian masyarakat lokal pada pembangunan pariwisata tidak dapat merubah keadaan yang sudah terjadi, masyarakat mulai menyadari bahwa mereka harus beradaptasi dengan keadaan masyarakat yang telah berubah secara drastis akibat pembangunan pariwisata, tahap ini disebut tahap resignation.

Perpindahan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya dalam model irridex Doxey disebabkan oleh tiga hal yaitu (Mill, 2000:184): pertama jarak, semakin besar jarak tersebut baik ekonomi maupun budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal, semakin besar akibat sosial yang ditimbulkan dan semakin besar pula kemungkinan terjadinya pergerakan pada tahapan tahapan yang ada. Kedua, kemampuan kawasan menyerap secara fisik dan kejiwaan pertumbuhan kunjungan wisatawan, hal ini terkait dengan perbandingan jumlah mereka yang datang dan jumlah penduduk. Ketiga, jumlah dan kecepatan perkembangan pariwisata itu sendiri, semakin cepat dan intensif tingkat perkembangannya, maka semakin besar kecendrungan terjadinya dampak sosial.

Berdasarkan ketiga teori tersebut di atas sikap masyarakat Desa Ungasan yang ingin diteliti dalam penelitian ini akan akan ditelaah sehingga memperoleh suatu skema sikap masyarakat Desa Ungasan dalam hubungannya denga ketiga teori tersebut. Teori pertukaran sosial akan memberikan gambaran bagaimana

(16)

manfaat atau nilai yang diperoleh masyarakat Desa Ungasan dari pembangunan pariwisata memotivasi sikap dan perilaku masyarakat desa tersebut terhadap pembangunan pariwisata. Seiring dengan perjalanan waktu manfaat atau benefit yang dirasakan oleh masyarakat juga akan mengalami perubahan. Benefit dalam pertukaran sosial juga mengikuti prinsip saturasi, di mana semakin sering seseorang mendapatkan benefit yang sama maka nilai kepuasan per unit benefit akan berkurang sampai akhirnya terjadi kejenuhan.

Teori pertukaran sosial ini juga dapat mendukung penjelasan dari teori Destination Life Cycle dan teori Iridex Doxey. Sikap masyarakat dalam setiap tahap perkembangan destinasi tidak terlepas dari bentuk benefit atau nilai yang diperoleh pada masing masing tahap perkembangan. Pada tahap awal perkembangan bentuk benefit yang diterima masyarakat dari interaksi sosial yang dilakukan dengan wisatawan akan berbeda dengan bentuk benefit yang diterima pada tahap perkembangan yang lebih lanjut. Nilai kepuasan akan benefit yang diterima juga mempengaruhi perubahan sikap masyarakat pada masing masing tahap perkembangan. Pada tahap maturity atau stagnation pada teori Buttler nilai kepuasan akan benefit yang diperoleh dari interaksi sosial dengan wisatawan mulai mengalami kejenuhan sehingga masyarakat tidak lagi merasakan adanya

benefit atau bahkan sudah menjadi cost yang harus dikeluarkan maka akan

muncul sikap anoyance atau bahkan antagonism seperti yang dikemukakan dalam teori Irridex Doxey.

Dengan melihat ciri ciri perkembangan pariwisata di Desa Ungasan dan sikap yang ditunjukkan oleh masyarakatnya, disesuaikan dengan ciri ciri yang

(17)

diberikan pada teori Buttler dan juga Irridex Doxey akan dapat menjelaskan sikap masyarakat Desa Ungasan terhadap pembangunan pariwisata. Faktor faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat Desa Ungasan tentu akan sangat terkait dengan

benefit atau value yang diperoleh seperti yang dijabarkan dalam teori pertukaran

sosial.

2.3.4 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Menurut Hunter (dalam Scheyvens, 2002:54) konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan harus menggambarkan sebuah prinsip atau metode manajemen yang memetakan pembangunan pariwisata yang mampu menjaga sumberdaya lingkungan untuk pembangunan dimasa depan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan harus memperhatikan kepentingan masyarakat lokal yang mencari sumber penghidupan dari alam sekitarnya. Pembangunan pariwisata disuatu daerah harus memperhatikan hal tersebut sehingga pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan pariwisata tidak semata mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan tetapi lebih memperhatikan keuntungan yang diterima oleh masyarakat dari pemanfaatan sumber daya alam di daerah mereka (Scheyvens, 2002:54).

Dengan melibatkan masyarakat lokal di dalam pembangunan pariwisata merupakan salah satu cara untuk dapat menjaga kelestarian lingkungan sekaligus membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya. Dengan partisipasi masyarakat lokal, mereka mampu mengidentifikasikan pariwisata hanya sebagai

(18)

salah satu sektor didalam memanfaatkan sumber daya di daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya seperti halnya sektor sektor lain yang telah ada sebelumnya.

2.5 Model Penelitian

Penelitian ini berawal dari fenomena pesatnya pembangunan fasilitas dan sarana pariwisata di Desa Ungasan khususnya pembangunan sarana akomodasi dan restoran. Pembangunan berbagai sarana akomodasi dan restoran memberikan berbagai dampak pembangunan baik terhadap lingkungan maupun kehidupan masyarakat di desa Ungasan. Dalam proses pembangunan pariwisata di Desa Ungasan juga tidak terlepas dari keterlibatan dan peran serta masyarkat baik itu secara aktif maupun pasif.

Dampak-dampak yang dirasakan oleh masyarakat dan peran sertanya dalam pembangunan pariwisata merupakan stimuli-stimuli atau rangsangan yang akan direspon oleh masyarakat baik secara kognitif, afektif maupun konatif yang nantinya akan membentuk sikap masyarakat Desa Ungasan terhadap pembangunan pariwisata.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dari pembangunan pariwisata khususnya pembangunan sarana akomodasi dan restoran di Desa Ungasan, (2) bagaimanakah sikap masyarakat khususnya di Desa Ungasan terhadap dampak pembangunan tersebut serta (3) faktor-faktor dominan yang mempengaruhi sikap masyarakat desa Ungasan tersebut.

(19)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk penelitian selanjutnya dan memberikan informasi bagi masyarakat Desa Ungasan, pemerintah maupun para investor sehubugan dengan dampak dampak pembangunan pariwisata di Desa Ungasan, sikap masyarakat dan faktor dominan yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap pembangunan pariwisata yang terjadi di Desa Ungasan. Model penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara isu pokok dan tujuan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(20)

HASIL PENELITIAN REKOMENDASI PEMBANGUNAN PARIWISATA DI DESA UNGASAN PEMBANGUNAN FASILITAS DAN SARANA PARIWISATA

1. Dampak Pembanguanan 2. Peran serta masyarakat

dalam pembangunan SIKAP MASYARAKAT DESA UNGASAN LANDASAN TEORI 1. Pertukaran sosial 2. Life cycle Destination 3. Irridex doxey 4. Pemb. Pariwisata Berkelanjutan KONSEP 1.Sikap 2.Pembangunan pariwisata RESPON ●KOGNITIF ●AFEKTIF ●KONATIF

MASYARAKAT PEMERINTAH SWASTA

FAKTOR DOMINAN YANG MEMPENGARUHI

SIKAP MASYARAKAT DESA UNGASAN SIKAP MASYARAKAT DESA UNGASAN

TERHADAP DAMPAK PEMBANGUNAN PARIWISATA

DAMPAK PEMBANGUNAN PARIWISATA DI DESA UNGASAN

Gambar

Gambar 2.3 Model “irridex” Doxey (1976 dalam Waver, 2000:298)  Pada  tahap  annoyance  masyarakat  lokal  mulai  merasa  terganggu  oleh  kehadiran  mereka  karena  harus  bersaing  untuk  mendapatkan  sumber  daya
Gambar 2.4 Model Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan dan perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah persamaannya sama-sama mengkaji tentang Ekowisata (Wisata Alam),

Menurut Poerwadarminto (2002:45) Pengembangan adalah suatu proses atau cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna.. Jadi pengembangan dalam

Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini, teori dialektologi generatif digunakan untuk mendeskripsikan variasi fonologis, penelusuran bentuk asal dan bentuk turunan, dan

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian eksperimen yang berbasis metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dua kelas VIII

Untuk memenuhi kebutuhan dan pendukung pariwisata, di kawasan wisata dibangun berbagai fasilitas yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek

Permasalahan kemudian dianalis dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa teori, yakni: teori komodifikasi untuk mengungkap bentuk; teori orientalisme untuk

Di pihak lain penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan desain pembelajaran bahasa Jepang, yaitu materi ajar untuk

city hotel terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar dengan faktor harga sewa kamar, tingkat hunian hotel, jumlah tamu menginap, pendapatan hotel, lama. tinggal tamu dan