• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serat Centhini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Serat Centhini"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Serat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat. (Note: tembang Macapat adalah sejumlah tembang Jawa dengan irama tertentu, jumlah suku kata tertentu, akhir kata tertentu dalam satu bait tembang dan sangat popular untuk refleksi peristiwa tertentu menggunakan tembang yang pas dengan suasana yang ingin ditimbulkan, sejumlah nama tembang Macapat: Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Pocung, Megatruh, Jurumedung, Wirangrong, Balabak, Girisa) dan selesai ditulis pada tahun tahun 1814.

Buku aslinya berjudul Serat Suluk Tambangraras dan ditulis berkat prakasa KGPA Anom Amengkunagoro III putera Pakubuwono IV, raja Surakarta (1788 – 1820), yang kemudian menggantikan raja sebagai Pakubuwono V (1820 – 1823). Sedangkan penulisan dan penyusunan dilaksanakan oleh:

1. Ki Ng. Ranggasutrasna, pujangga kerajaan 2. R. Ng. Yasadipura II, pujangga kerajaan 3. R. Ng. Sastradipura, juru tulis kerajaan

4. Pangeran Jungut Manduraja, pejabat kerajaan dari Klaten 5. Kyai Kasan Besari, Ulama Agung dari Panaraga

6. Kyai Mohammad, Ulama Agung kraton Surakarta.

Buku aslinya saat ini masih ada di Sanapustaka di kraton Surakarta. Ada beberapa salinannya di Reksapustaka Mangkunegaran, Paheman Radya-Pustaka Sriwedari, Museum Sana Budaya di Yogyakarta dan Museum Gajah di Jakarta dan mungkin juga di tempat-tempat lain.

Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah 3500 halaman. Berisi semacam “Ensiklopedia Kebudayaan Jawa” karena berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita dan ilmu-ilmu lahir bathin yang beredar dikalangan

masyarakat Jawa pada periode abad ke 16-17 dan masih banyak yang hidup dan lestari sampai dengan saat ini.

Sumber tulisan saya ini adalah Serat Centhini yang sudah ditranskripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin tapi masih menggunakan bahasa Jawa.Transkripsi ini juga terdiri dari 12 (dua belas) jilid. Transkripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin dilakukan oleh Kamajaya, Ketua Yayasan Centhini, Yogyakarta, diterbitkan oleh Yayasan Centhini, 1991. Referensi juga diambil dari buku Pustaka Centhini – Ichtisar Seluruh Isinya karangan Ki Sumidi Adisasmita, Penerbit UP Indonesia, Yogyakarta, tahun 1975.

Sampai saat ini belum ada terjemahan Serat Centhini ke bahasa Indonesia. Pernah dicoba oleh Yayasan Centini, tapi terhenti hanya sampai jilid 1. Kemungkinan ada kesulitan pembiayaan, mungkin juga faktor waktu dan tingkat kesulitan tersendiri.

(2)

Kandungan isi dari Serat Centhini adalah sangat luar biasa yang mencakup banyak sisi dari kebudayaan Jawa. Pokok ceritanya adalah kisah pelarian dari dua putra, dan satu putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) ketika ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1636. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.

Kisah perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat istiadat dan

berbagai ilmu lahir dan bathin.

Kisah ini juga diisi dengan kisah perjalanan Mas Cebolang seorang santri yang nantinya akan menjadi suami Niken Rancangkapti dan berganti nama jadi Sech Agungrimang. Sebagai anak-anak Sunan Giri Parapen yang adalah tokoh terkemuka penyebaran agama Islam di Jawa, sudah barang tentu kisah perjalanannya juga dalam rangka mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang Muslim. Harus diingat bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam Jawa yang sudah melalui proses sinkretisasi yang lebih cenderung pada tasauf dalam pencarian hakekat untuk pencapain makrifat.

Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombart – orientalis asal Perancis – pengarang buku Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya, mengatakan dalam bukunya sebagai berikut . Walaupun teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru sebagian saja yang sudah di terbitkan dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa merupakan salah satu karya agung kesusatran dunia, untuk sementara yang terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi dalam bahasa Indonesia.

Salah satu versi yang masih tersimpan, tidak kurang dari 722 pupuh panjangnya, terbagai atas dua belas bagian besar (Note: duabelas jilid). Setiap pupuh terdiri dari bait-bait yang jumlahnya tidak tetap, antara 20 dan 70 buah, semuanya disusun menurut tembang tertentu (Note: Macapat), yang memberikan kepada pupuh itu baik konsistensinya maupun warna nadanya. Tergantung dari tembangnya, bait dapat terdiri dari 4 sampai 9 larik, dan setiap larik mengandung sejumlah tertentu kaki matra dan rima tertentu. Belum ada yang menghitung jumlah bait dalam Serat Centhini, tetapi seperti diihat, jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik, maka diperoleh 200.000 larik lebih. Hendaknya diingat bahwa wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.

Komentar tersebut diatas menandakan bahwa Serat Centhini adalah salah satu hasil kesusastraan Jawa yang tak ternilai harganya. Bisa diakui sebagai salah satu kesusastraan klasik dunia. Tapi sangat sungguh ironis, buku yang menarik para budayawan dunia untuk mendalaminya, tidak begitu dikenal oleh bangsanya sendiri. Ringkasan yang akan saya buat

(3)

setiap jilid satu sesi (artikel) ini adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan Serat Centhini kepada masyarakat bangsa Indonesia.

Pengarang : KGPA Anom Amengkunegara III.

JILID I

1. Badad Giri (1487 – 1636)

Seh Wali Lanang dari Jeddah tiba di pelabuhan Gresik pada masa kerajaan

Majapahit, menikahdengan Putri dari kerajaan Belambangan yang berhasil disembuhkan ketika menderita sakit.

Karena Raja Belambangan tidak mau masuk Islam, Seh Wali Lanang meninggalkan

Belambangan pergi ke Malaka. Istrinya sudah mengandung kemudian melahirkan bayi laki-laki. Bayi dimasukkan ke-kendaga dibuang ke laut, ditemukan Nyi Semboja yang sedang berlayar, diangkat anak diberi nama Santri Giri.

Santri Giri belajar agama Islam kepada Sunan Ngampel, berteman baik dengan Bonang, anak Sunan Ngampel. Setelah dewasa Santri Giri dan Santri Bonang mau pergi naik haji, mampir di Malaka ketemu Seh Wali Lanang, disuruh pulang lagi. Santri Giri diberi nama Prabu Setmata dan Santri Bonang diberi nama Prabu Anyakrawati. Kemudian Prabu Setmata menjadi raja di Giri.

Ketika Sunan Giri jadi raja di Giri, Majapahit menyerang Giri karena tidak senang adanya kerajaan Islam. Sunan Giri sedang menulis dengan kalam, kalam tersebut dilempar berubah jadi tombak yang mengamuk ke barisan tentara Majapahit yang lari kocar-kacir. Tombak diberi nama Kalam Munyeng.

Sunan Giri meninggal digantikan anaknya Sunan Giri Kedaton, kemudian digantikan cucunya Sunan Giri Parapen. Pada masa Sunan Giri Parapen, Majapahit menyerang lagi dan berhasil menduduki istana tapi saat mau merusak makam Sunan Giri, dari dalam kubur muncul beribu-ribu kumbang yang menyerang tentara Majapahit yang lari kocar-kacir. Giri ditaklukkan Sultan Agung dari Mataram tahun 1636 karena Sultan Agung tidak mau ada dua raja di tanah Jawa. Sunan Giri Parapen ditawan dan dibawa ke Mataram.

Sedangkan anaknya: Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti melarikan diri. 2. Perjalanan Jayengresmi diikuti santri Gathak dan Gathuk.

Rute perjalanan: bekas istana Majapahit, candi Brawu, candi Bajangratu, candi Panataran di Blitar, arca Ki Gaprang di Gaprang, gong Kyai Pradah di hutan Lodhaya, ketemu Ki Carita di Pakel, mata air Sumberbekti di Tuban, sendang Sugihwaras di hutan Bago – Bojonegara, tulang-tulag besar di gunung Phandan, gunung Gambiralaya, ketemu Ki Pandang di Phandangan, sumber api alam di Dhander, sumber minyaktanah di

Dandhangngilo, ketemu Ki Jatipitutur di Kesanga, sumber air asin di Kuwu, ketemu Kyai Pariwara di Sela, lihat gunung Merapi di Gubug ketemu Dathuk Bhani, bekas istana

(4)

Prawata ketemu Ki Darmajati, Mesjid Agung Demak, Jepara, gunung Muria ziarah ke makam Sunan Muria ketemu Buyut Sidhasedya, ketemu Wasi Kawiswara di Panegaran – Pekalongan, gunung Slamet ketemu Seh Sekardelima, gunung Siwal ketemu Wasi Narwita, gunung Cereme ketemu Resi Singunkara, gunung Tampomas ketemu Seh Trenggana, gunung Mandhalawangi ketemu Ajar Suganda, Bogor ketemu Ki Wargapati, membangun pertapaan di gunung Salak. Diangkat anak dan dibawa ke Gunung Karang, Pandeglang, Banten oleh Ki Ageng Karang yang bernama Seh Ibrahim.

Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:

Cerita/Legenda: Ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu; Ki Ageng Sela menangkap petir dan pepalinya.

Adat Istiadat: Arti kicau burung dandang & prenjak; Perhitungan hari baik untuk berbagai keperluan; Ukuran pembuatan keris tombak dan bagian-bagian rumah; Penanggalan Jawa menggunakan 30 Wuku; Candrasangkala.

Pengetahuan Spirituil: Serat Nitisruti; Suluk Wali Sanga – cerita tentang Wali Sanga; Waringin Sungsang; Suluk Tapa Lima; Suluk Langit Sapta; Puji Dina; Tanda-tanda kiamat. 3. Perjalanan Jayengrana dan Niken Rangcangkapti diikuti santri Buras.

Rute perjalanan: pesantren Ki Amat Sungeb di Sidacerma, sendang Pasuruan, telaga Gati, Banyubiru, air terjun Baung di gunung Tengger, candi Singasari, sumber Sanggariti di Sisir, candi Tumpang, candi Kidal, Tosari ketemu Buyut Sudarga lihat kawah Bromo dan lautan pasir, ketemu Resi Satmaka di Ngadisari, Klakah ketemu Umbul Sadyana malam hari ke telaga Dago lihat api gunung Lamongan, Kandhangan – Lumajang ketemu Seh

Amongbudi, Argapura ketemu Seh Wadat, gunung Rawun ketemu Retna Tan Timbangsih, Nglicin – Banyuwangi lihat candi Selacendhani ketemu Ki Menak Luhung, ketemu Ki Hartati saudagar dari Pekalongan, diangkat anak oleh Ki Hartati dibawa naik perahu ke Pekalongan, diterima dengan senang hati oleh Nyi Hartati, Nyi Hartati meninggal dunia, seribu harinya disusul Ki Hartati juga meninggal, meninggalkan Pekalongan pergi ke

gunung Prahu ketemu Ki Gunawan diajak ke pegunungan Dieng melihat sumur Jalathunda, kawah Candradimuka, candi-candi di Dieng, Sokayasa – Banyumas dikaki gunung Bisma, perjalanan diantar oleh Ki Gunawan ketemu Seh Akhadiyat lalu keduanya diangkat anak. Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang sempat dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:

Cerita/Legenda: Cerita tentang Sri – Sadana, asal mula padi; Sifat-sifat tokoh wayang purwo / Mahabarata: Duryudana, Sengkuni, Durna Pendowo Lima, Sri Kresna, Istri-istri Arjuna: Sumbadra, Ulupi, Manuhara, Gandawati, Srikandi.

(5)

Adat Istiadat: Cara tradisionil mengobati orang sakit dan ibu setelah melahirkan anak; Arti impian; Perhitungan selamatan orang meninggal.

Pengetahuan Spirituil: Penjelasan agama Hindu – Sambo, Brama, Indra, Wisnu, Bayu dan Kala; Syariat agama Nabi: Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Daud, Musa, Isa, Nabi penutup Nabi Muhammad s.a.w.; Uraian tentang wudlu dan salat; Penjelasan tentang Dzat, Sifat, Nama, dan Keberadaan Allah menggunakan sifat dua puluh; Kadis Markum Baslam tentang empat nafsu: Luamah, Amarah, Supiyah, dan Mutmainah.

Pengarang : KGPA Anom Amengkunegara III . JILID II

Serat Centhini Jilid-2 berisi 87 pupuh dari pupuh 88 s/d 174, berisi perjalanan Mas Cebolang (diikuti santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti) anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Ahkadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.

Rute perjalanan: meninggalkan Sokayasa, sampai di makam Dhukuh ketemu Ki Demang Srana lalu diantar ke makam Seh Jambukarang di gunung Lawet, pancuran Surawana yang bermata air di Muncar ketemu Ki Dati, bendungan Pancasan di Banyumas, naik rakit sungai Serayu, berhenti di Arjabinangun ketemu Ajar Naraddhi, lihat gua Limusbuntu, lihat gua Selaphetak yang berbentuk pendapa rumah, sampai di Segara Anakan, naik perahu menuju Karangbolong, di Ujung Alang gunung Ciwiring bisa kelihatan pulau Bandhung tempat bunga Wijayakusuma yang dijaga burung Bayan, di Jumprit lihat mata air sungai Praga di gunung Sindara ketemu Ki Gupita,

gunung Margawati di Kedu ketemu Ki Lehdaswaninda, gunung Sumbing di sendang Bedhaya ketemu dhanyang Ki Candhikyuda dan istrinya Nyi Ratamsari, lihat mata air Pikatan, sampai di Ambarawa di gunung Jambu siarah makam Prabu Brawijaya dari

Majapahit, suasana jadi gelap karena hujan abu dari letusan gunung Merapi, berjalan dalam gelap sampai di gunung Tidhar ketemu Seh Wakidiyat, lihat candi Borobudur, lihat candi Mendut, sampai di Mataram pada masa Sultan Agung, tinggal di Kauman tempatnya modin istana Ki Amat Tengara, siarah makam Panembahan Senapati di belakang Mesjid Agung, ketemu dengan banyak orang dengan berbagai keahlian: Ki Amongtrustho ahli ulah asmara, Empu Ki Anom ahli pembuatan keris, Ki Bawaraga ahli gending dan gamelan, Ki Madiaswa ahli tentang hal-ihwal kuda, Ki Pujangkara ahli perhitungan hari dan berbagai pertanda alam, jagal Nyai Cundhamundhing ahli hal-ihwal nama daging bagian-bagian dari kerbau, Nyai Padmasastra ahli batik tulis, Nyai Sriyatna ahli sajen untuk pengantin, Nyai Lurah Kraton ahli ha-ihwal pengantin, modin Ki Goniyah juga ahli hal-ihwal pengantin, Kyai Amat Kategan memberi penjelasan beberapa hal tentang agama Islam, Ki Rasiku jurukunci makam Glagaharum di Demak menjelaskan cerita Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa, Ki Harjana santri dari Jatisari ahli perhitungan hari, Ki Amat Setama cerita tentang Raja Istambul, Ki Wirengsuwigna ahli berbagai tarian, Ki Demang Basman ahli

(6)

perhitungan pembuatan rumah, Kyai Sumbaga ahli pembuatan wayang kulit, Ki Toha menjelaskan tentang mandi Rebo-an, Ki Sopana ahli huruf-huruf kuno, Nyai Atikah bercerita tentang Ni Kasanah yang berbakti sama suami , Ki Narataka jurukunci meriam pusaka kraton, Ki Candhilaras juru dongeng dan tembang..

Pada Jilid 2 ini Serat Centhini lebih banyak mencerikan Mas Cebolang ketemu banyak orang di sekitar istana Mataram bercerita tentang legenda, adat istiadat dan ilmu yang mereka punyai sesuai keahlian mereka masing-masing.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut adalah:

Cerita/Legenda: Sri Kresna dengan bunga Wijayakusuma; Permaisuri Raja Bagdad dan perdana mentrinya; Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa raja Amarta; Raja Istambul yang hafal Al-Qur’an; Cerita tentang asal muasal bahasa dan huruf tatkala membangun menara Bibel; Ni Kasanah yang berbakti sama suaminya Suhul; Siti Aklimah yang dituduh serong pada jaman Rasul; Nabi Sulaiman mencoba kesetiaan cinta kasih antara Dara Murtasyah dengan Sayid Ngarip; Cerita wayang lakon Partadewa, Patih Satama dan Nyai Satami yang berubah jadi meriam di kerajaan Galuh;

Adat Istiadat: Perilaku asmara enam macam; Aturan berkenan dengan nikah, cerai, idah, rujuk, rukun, khuluk, dan maskawin; Keterangan tentang delapan belas wanita yang tidak boleh diperistri; Uraian tentang muhrim wali; Uraian tentang cerai tanpa talak, rapak, syarat nikah, doa nikah, tata-tertib nikah; Perihal ulah asmara, pembuka pembangkit rasa maupun penahan rasa; Hal-ihwal nama dan macam-macam bagian daging kerbau; Hal ihwal keris, bentuk keris, bagian keris, macam ragam bentuk keris lurus dan keris berluk, tentang keris berluk: 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, bentuk mata tombak lurus dan berluk; Seluk beluk gending dan gamelan; Hal ihwal berkenaan dengan kuda, cara mengendarai kuda, mencemeti kuda, menjinakkan kuda, bentuk dan warna kulit berkaitan dengan watak kuda; Perhitungan hari memperbaikai rumah, hari pasaran bayi, arti tanda-tanda gejala alam seperti gerhana, lintang kemukus, gempa bumi; Hal-ihwal dengan berbagai kain batik tulis, lukisan kain yang menjadi pantangan dan pantangan-pantangan dalam membuat batik lukis; Uraian sajian buat acara pengantin; Tata cara pengantin, lamaran, peningset, bubak kawah (bermenantu anak sulung), tumplak punjen (bermenantu anak bungsu), midodareni, upacara temu pengantin, kelengkapan pakaian pengantin; Perhitungan menoreh orang sakit; Macam ragam tari wireng dan asal mula tari bedhaya-serimpi;

Bermacam-macam wayang (wayang gedhog, wayang klitik, wayang golek, wayang topeng), Mandi Rebo-wekasan (hari Rebo terakhir dalam bulan Sapar); Ruwatan Murwakala.

Pengetahuan Spirituil: Penjelasan tentang turunnya Lailul-kadar; Kisah Nabi Kidir dan Nabi Musa; Pahala orang yang hafal Al-Qur’an apalagi kalau mengerti artinya; Penjelasan

(7)

JILID III

Serat Centhini Jilid-3 berisi 82 pupuh dari pupuh 175 s/d 256, masih meneruskan perjalanan Mas Cebolang yang diikuti empat santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti. Mas

Cebolang adalah anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Akadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.

Rute perjalanan: masih di ibukota Mataram ketemu: Ki Cendhanilaras berbicara soal pasugihan (ilmu hitam menjadi kaya), Tumenggung Sujanapura diberi wejangan Sastra Jendra Hayuningrat, Ki Ajar Sutikna berbicara hari baik untuk beberapa keperluan,

bersama-sama Ki Ajar Kepurun meninggalkan ibukota Mataram bermalam di desa Kepurun berbicara tentang hal-ihwal wanita, ketemu Lurah Harsana lihat candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Roro Jonggrang dan bercerita legenda berkenaan dengan candi tersebut, sampai di desa Kajoran ketemu Ki Ngabdulmartaka bercerita tentang Serat Suluk Hartati, diajak oleh Ki Ngabdulmartaka ketemu Panembahan Rama bercerita tentang ilmu

kasunyatan tentang asal usul kehidupan, liwat hutan nginep di planggrongan (rumah diatas pohon kayu) kepunyaan Ki Wreksadikara berbicara soal kayu dan rumah, desa Tembayat ketemu Modin Ki Sahabodin bercerita tentang Sunan Gede Pandhanaran dan Seh Domba, Panaraga ketemu Ki Wanakara berbicara tentang jamu untuk berbagai penyakit dan ura-ura (lagu) sifat-sifat manusia yang kurang baik, Pajang ketemu Ki Mastuti bercerita silsilah raja Pajang s/d Sultan Agung di Mataram, diantar oleh Ki Mastuti ke makam Laweyan, di mesjid Laweyan ketemu Ki Ngabdul Antyanta dan Ki Sali bercerita tentang ramalan Jayabaya..

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut diatas adalah:

Cerita/Legenda: Ki Harda yang cari pesugihan (ilmu hitam cari kekayaan) di hutan Roban; Serat Lokapala serita asal usul Rahwana (Ramayana); Cerita penyebaran agama Islam di Jawa dari masa Sunan Ngampel s/d Sultan Agung; Cerita Prabu Dewanata di Pengging; Cerita Prabu Dipanata di Salembi melawan Prabu Karungkala di Prambanan, Cerita Bandung Bandawasa asal mula Candi Sewu dan Candi Roro Jonggrang; Cerita Ke Gedhe Pandanaran dan Seh Domba; Silsilah Sultan Pajang s/d Sultan Agung di Mataram; Cerita tentang Ramalan Jayabaya.

Adat Istiadat: Sifat-sifat dalam penangalan Jawa dan perhitungan baik buruknya

perjodohan; hal-ilhal bermain kartu; pemilihan jodoh berdasarkan bibit, bebet, bobot; tanda-tanda baik buruknya sifat wanita, hal-ihwal olah asmara; delapan hal yang perlu

diperhatikan dalam menjalankan pekerjaan; sebelas macam kayu dan masing-masing manfaatnya; berbagai jenis rumah Joglo 7 macam, Limasan 10 macam, Kampung 9 macam, Mesjid 3 macam; empat puluh empat macam gendhing terbangan; penjelasan makna

selamatan orang meninggal dari 3 hari s/d 1000 hari; sifat-sifat wanita dilihat dari hari lahir pada penanggalan Jawa; jamu untuk macam-macam penyakit; ura-ura (lagu) tentang sifat-sifat manusia yang kurang baik;

(8)

Pengetahuan Spirituil/Agama: Perihal unsur kehidupan api, bumi, udara, air; Sastra Jendra Hadiningrat; Serat Suluk Hartati; Berbagai ilmu Kasunyatan tentang asal usul kehidupan; Pancadriya dan Pancamaya; Penjelasan tentang fasik, munafik, najis,makruh, kekah.

JILID VI

Serat Centhini Jilid-4 berisi 65 pupuh dari pupuh 257 s/d 321, meneruskan perjalanan Mas Cebolang dari Laweyan, Surakarta menuju ke tenggara dan berakhir di Wirasaba –

Jawatimur.

Rute perjalanan: masih di Mesjid Laweyan – Surakarta Ki Sali melanjutkan bicara tentang ramalan Jayabaya, Ki Atyanta berbicara tentang 40 macam tanda-tanda kiamat yang berasal dari Hadits dan cerita tentang Seh Markaban dari Mesir, desa Majasta ketemu Ki Jayamilasa jurukunci makam Jaka Bodho putra raja Majapahit, ditepi sungai Dengkeng diceritakan tentang riwayat Jaka Tingkir,

ziarah di makam Banyubiru diceritakan tentang Ki Buyut Banyubiru murid Sunan Kalijaga, desa Taruwangsa ziarah ke makam Ki Ageng Banjarsari, melihat sendang Selakapa,

sendang Purusa, sendang Banyubiru, desa Teleng lihat sendang Tirtamaya, menuju ke Pacitan di Girimarta ketemu Endrasmara anaknya Ketib Winong dari Mataram, ketemu mertua Endrasmara bernama Kyai Haji Nurgirindra bercerita tentang Asma’ulhusna, diajak kerumahnya Nyai Wulanjar di Paricara – Wonogiri, maksudnya mau ke Panaraga kesasar samapi ke laut selatan, tiba di desa Karang ketemu Ki Darmayu, ketemu rombongan Brahmana Sidhi dari Hindustan berbicara tentang agama Budha, sampai di desa Salaung ketemu Ki Nursubadya berbicara tentang warok dan gemblakan, sampai di asrama

Majenang di gunung Wilis ketemu Seh Matyasa, sampai di Wirasaba ketemu ki Jamal, lalu jadi pemain kentrung dan berakhir ditanggap di kediaman bupati Wirasaba.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut diatas adalah:

Cerita/Legenda: Cerita ramalam Jayabaya pada jaman Kalabendu yang disisipi serat Kalathida karangan R.Ng. Ranggawarsita, cerita tentang tanda-tanda kiamat berdasarkan Hadist, cerita Seh Markaban dari Mesir, cerita Jokobodho berguru ke Sunan Tembayat, cerita Jaka Tingkir yang menjadi raja di Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya, cerita Ki Buyut Banyubiru murid Sunan Kalijaga, Serat Rama tentang Wibisana dan Kumbakarno, cerita Sultan Abdulkarim Kubra, cerita tiga batu yang bisa memberikan apa yang diminta, cerita tentang Parbu Nursiwan yang sangat adil, cerita orang Arab bernama Katim Tayi yang sangat pemurah, cerita tentang tokoh-tokoh pewayangan.

Adat Istiadat: cerita para warok dan reog Panaraga, Serat Waduaji berisi nama-nama punggawa (pegawai) dan prajurit kerajaan serta kewajiban masing-masing, cerita tentang kehidupan sinden dan pemain kentrung.

(9)

Pengetahuan Spirituil/Agama: Antara Fikih dan Tasauf; Khasiat dari Asma’ulhusna; Tingkatan Siswa di Agama Budha; Karma; Antara Ilmu dan Laku; cerita perlambang Dewa Ruci.

JILID V

Serat Centhini Jilid-5 berisi 86 pupuh dari pupuh 321 (mulai tembang 40) s/d 356, perjalanan pulang Mas Cebolang dari Wirasaba ke Sokayasa, Banyumas, perjalanan Mas Cebolang, Jayengsari, Rangcangkapti meninggalkan Sokayasa menuju Wanataka dan perjalanan Jayengresmi meninggalkan Gunung Karang, Pandeglang, Banten untuk mencari adik-adiknya sampai ke Wanamarta diselatan Gunung Giri, Jawa Timur.

Rute perjalanan pulang Mas Cebolang: sebagai sinden kentrung bermain dikediaman adipati Wirasaba; lari dari kadipaten Wirasaba karena ketahuan Mas Cebolang selingkuh dengan para selir adipati Wirasaba; naik ke gunung Semeru ingin ketemu buyut Danardana tapi tidak ketemu; pergi ke gua Sigala setelah bertapa selama 7 hari baru bisa ketemu buyut Danardana disuruh pulang ke Sokayasa.

Rute perjalanan Mas Cebolang, Jayengsari dan Rangcangkapti: Jayengsari dan Rangcangkapti sudah diambil anak oleh Seh Akadiyat di Sokayasa; Mas Cebolang sampai di Sokayasa; setelah beberapa lama Mas Cebolang dinikahkan dengan Rangcangkapti; tidak beberapa lama kemudian Seh Akadiyat dan istrinya meninggal dunia; pada suatu hari ada tamu dua santri dari Surabaya disangka utusan dari Pangeran Pekik (adik ipar Sultan Agung) yang juga Bupati Surabaya untuk mencari mereka; karena khawatir Mas Cebolang, Rangcangkapti dan Jayengsari meninggakan Sokayasa; menyusuri hutan Gunung Kidul menuju ke barat; sampai di gunung Lima ketemu pendita Hercarana diminta tinggal di dhukuh Wanataka dan berganti nama Jayengsari jadi Seh Mangunrasa, Mas Cebolang jadi Seh Anggungrimang, santri Buras jadi Monthel, sedangkan Rangcangkapti tidak dirubah. Rute perjalanan Jayengresmi: Jayengresmi yang diangkat anak oleh Ki Ageng Karang di gunung Karang, Pandeglang, Banten sudah berganti nama jadi Seh Amongraga sedangkan santri Gathak & Gathuk ganti nama jadi Jamal dan Jamil; Jayengresmi pamitan Ki Ageng Karang untuk mencari adik-adiknya; disuruh pergi ke Wanamarta ketemu Ki Bayi Panurta; mampir di Maledari gunung Gora ketemu Buyut Wasi Bagena; sampai di dhukuh Andong Tinunu sebelah timur laut gunung Sindoro ketemu Seh Sukmasidik; sampai di dhukuh Wanamarta (sekitar Mojokerto, Jawa Timur), ketemu Ki Bayi Panurta yang punya anak tiga yaitu: Niken Tambangraras, Jayengwesthi dan Jayengraga; setelah beberapa lama Seh Amongraga dinikahkan dengan Niken Tambangraras, perayaan pernikahan Seh Amongraga dengan Niken Tambangraras yang diramaikan dengan nanggap sinden ronggeng.

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut diatas adalah:

(10)

Cerita/Legenda: masih melanjutkan petualang seks Mas Cebolang ketika jadi sinden kentrung di kediaman adipati Wirasaba dengan selir-selir sang Adipati sampai ketahuan dan melarikan diri waktu mau ditangkap; cerita tentang penari ronggeng dengan petualangan seksnya.

Adat Istiadat: keutamaan wanita dalam pernikahan.

Pengetahuan Spirituil/Agama (pada jilid-5 berisi sebagian besar pengetahuan sprituil berkenaan dengan agama Islam ataupun sinkretisasi agama Islam), beberapa yang dijelaskan cukup panjang: Mukmin linuhung; Tempatnya Hyang Agung di gedung Retna Adiluhung; Tahapan pengetahuan tasauf: syariat, tarekat, hakekat dan makrifat; Curiga manjing rangka, rangka manjing curiga.

Pengetahuan Spirituil/Agama yang dijelaskan hanya sekilas sehingga sulit dimengerti: Wahyu Jatmika; Mati dalam hidup, hidup dalam kematian; Asal mulanya alam semesta dan Datulah; Roh-ilapi, budi dan nafsu, penjelasan tentang nafsu amarah, aluamah, mutmainah, supiyah, budi baik dan buruk, rasa jati; Keutamaan ilmu; La-takyun-kun, nukat gaib, wilayat, gaibulguyub, gaib-uluwiyah; Penjelasan tentang malaekat, nabi, wali, mukmin kas, cahya, mujijat mangunah, keramat.

JILID VI

Serat Centhini Jilid-6 berisi 15 pupuh dari pupuh 357 s/d 372, berlainan dengan jilid-jilid sebelumnya pada jilid ini bukan berisi cerita perjalanan tapi lebih fokus pada cerita

pernikahan antara Jayengresmi yang sudah berganti nama Seh Amongraga dengan Niken Tambangraras anak dari Ki Bayi Panurta dari Wanamarta, Mojokerta.

Pada jilid ini untuk pertama kali disebut nama Centhini yang adalah rewang (pembantu) Niken Tambangraras. Serat Centhini ini pada awalnya bernama Suluk Tambangraras yang kemudian diganti dengan nama Serat Centhini, sebagai penghargaan terhadap kesetiaan Centhini yang selalu mendampingi Niken Tambangraras.

1. Upacara Akad Nikah: Seh Amongraga minta agar perayaan tidak dengan cara yang mengandung maksiat seperti nanggap sinden ronggeng; Diceritakan juga pakaian yang dikenakan baik oleh pengantin laki-laki dan wanita maupun ayah bunda pengantin wanita yang memakai pakaian tradisional di daerah pesantren. Dilaksanakan di mesjid oleh Ki Pengulu yang menikahkan pengantin disaksikan wali ayah pengantin wanita Ki Bayi Panurta serta para saksi lainnya.

Note: pada umumnya dikalangan yang pengaruh pesantrennya masih kuat akad nikah dilakukan tanpa kehadiran pengantin wanita, hal ini masih berlaku sampai saat ini. Berlainan dengan upacara pengantin dikalangan keraton (istana) yang diadaptasi rakyat secara umum.

(11)

2. Upacara Pertemuan Pengantin: Pertemuan pengantin dilakukan didepan pintu pendapa dengan kedua pengantin lempar-lemparan daun sirih, pengantin laki-laki memecah telur dan pengantin wanita membasuh kaki pengantin laki-laki yang kotor karena pecahan telur. Semuanya ini mengandung perlambang. Kemudian pengantin disandingkan di pelaminan didepan krobongan.

Note: Upacara temu pengantin berlaku umum, hampir tidak ada perbedaan diseluruh pulau Jawa sampai dengan saat ini.

3. Setelah acara temu pengantin: Acara ngabekti yaitu pengantin laki-laki ngabekti

(mencium suku) bapak dan ibu pengantin wanita; Pengantin wanita ngabekti ke pengantin laki-laki; Seh Amongraga minta agar ibu pengantin wanita Ni Mintarsih agar membuang semua sesaji karena hal tersebut termasuk kepercayaan menyembah berhala. Ini berkenaan transisi tradisi Jawa kuno maupun Hindu yang penuh dengan saji-sajian menuju tradisi Islam yang tidak memerlukan sesaji.

4. Seh Amongraga mengajari pengantin wanita perihal ilmu agama: Tentang sejatinya sahadat, rukun solat, tempatnya rasa sejati, kewajiban istri; Esok harinya kedatangan tamu dari Gresik, Surabaya, Sidayu, Tuban dan Rembang yang mengantarkan sumbangan hal ini berkenaan dengan kedudukan Ki Bayi Panurta sebagai guru sprirituil para Bupati bang wetan (Jawa Timur); Ki Bayi Panurta meminta Seh Amongraga memberi penjelasan kepada yang hadir tentang kitab Ibnu Hajar yaitu: kedudukan Rasul, solat sunah dan solat wajib. 5. Perayaan pengantin di tempat para keluarga: Ini berkenaan dengan tradisi ngunduh mantu (ikut merayakan) yang dilakukan oleh keluarga dekat. Pengantin diarak menuju ketempat Jayengwesthi (kakak Niken Tambanraras) diadakan kenduri disana; Pengantin diunduh (dirayakan) ditempat Jayengrana (kakak yang satu lagi dari Niken Tambanraras) dengan gamelan yang mengumandangkan berbagai tembang. Jamal-Jamil mempertunjukan kebolehan olah kanuragan (seperti debus di Banten).

Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam jilid-6 adalah:

Cerita/Legenda: jalannya upacara pernikahan antara Seh Amongraga dan Niken Tambanraras maupun kebiasan ngunduh mantu (perayaan ulangan) ditempat keluarga dekat. (Note: kalau saat ini ngunduh mantu adalah perayaan yang dilakukan di tempat keluarga pengantin laki-laki, karena perayaan utama selalu dilakukan ditempat keluarga pengantin wanita).

Adat Istiadat: tatacara, pakaian, dan upacara pengantin dikalangan pesantren yang berbeda dengan tatacara, pakaian dan upacara pengantin dikalangan keraton (istana); penjelasan tentang khasiat berbagai daging binatang; penjelasan adanya berbagai tembang: Kakawin, tembang Ageng, Tengahan dan Macapat, tembang Ageng biasanya yang dilagukan oleh

(12)

Dalang Wayang Purwa; penjelasan tentang penanggalan Jawa berdasarkan Wuku (pengaruh Hindu yang saat ini juga berlaku di kalangan masyarakat tradisionil di Bali). Pengetahuan Spirituil/Agama: Sejatinya sahadat, rukun solat, tempatnya rasa sejati, kewajiban istri; Kitab Ibnu Hajar tentang kedudukan Rasul, solat sunah, solat wajib; Wirid syariat, wirid tarekat, wirid hakekat, wirid mahrifat; sajatining Pangeran.

JILID VII

sinDip+risTin\put]ian arip+an\aufy

Referensi

Dokumen terkait

“Inventarisasi Tumbuhan pada Ketinggian yang Berbeda Pasca Letusan Gunung Merapi Jalur Pendakian Balerante Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten.” Skripsi.. Surakarta: Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Framing Pemberitaan Bencana Letusan Gunung Merapi di Surat Kabar Suara Merdeka dan Kedaulatan Rakyat.. Nama Mahasiswa :

Sistem evakuasi kawasan rawan bencana (KRB) letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman dalam kaitannya dengan infrastruktur memiliki beberapa komponen evakuasi,

Erupsi Gunung Merapi 2010 yang merupakan erupsi besar dan eksplosif dengan indeks letusan VEI 4 bisa digunakan sebagai refleksi untuk melihat mekanisme dampak erupsi

magma sehingga tidak terjadi letusan yang besar/ Jika Gunung Merapi meletus letusan tersebut akan mengarah. ke daerah tanpa penduduk karena sebelum terjadinya letusan akan terjadi

HUBUNGAN ANTARA STRES KRONIS PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DENGAN PENURUNAN LIBIDO SEKSUAL PADA

Studi Permudaan Alam berdasarkan Deposit Biji Tumbuhan dalam Tanah Paska Letusan Gunung Merapi di Hutan Kaliurang (Skripsi).. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah

Di antara berbagai gunung berapi di Indonesia, Gunung Merapi merupakan salah satu gunung yang memiliki indeks letusan yang termasuk tinggi sehingga mendapatkan perhatian