• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Manajemen PONEK 24 Jam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman Manajemen PONEK 24 Jam"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Logo Indonesia Sehat

PEDOMAN MANAJEMEN

PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL

EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM

DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I.

JAKARTA 2003

(2)

PEDOMAN MANAJEMEN

PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL

EMERGENSI KOMPREHENSIF 24 JAM

DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA

TIM PENYUSUN:

Dr.R.SOERJO HADIJONO SpOG(K), DTRM&B(Ch)

Master Trainer Jaringan Nasional Pelatihan Klinik – Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR)

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2003

ISBN:

Isi buku Pedoman Manajemen Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif 24 Jam di tingkat Kabupaten/Kota telah disepakati bersama untuk pengembangan dan

pelaksanaan oleh:

Perkumpulan Obstetri dan

Ginekologi Indonesia Jaringan Nasional Pelatihan Klinik - Kesehatan Reproduksi

Ikatan Bidan Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Bahan dalam buku ini dikembangkan dari Emergency Care Guidelines–American College of Emergency Physicians (ACEP), Pelatihan PONED dan PONEK – Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR), Emergency Obstetrics Care Quality Improvement Manual – Engender Health (Working Draft), Pedoman Pelaksanaan PONEK dan Unit Tranfusi Darah di RSUP Dr.Kariadi Semarang, RSUD Dr.Soetomo Surabaya, RSUD Dr.M.Ashari Pemalang, RSUD Brebes, RSUD Dr.Syaiful Anwar Malang, RSUD Ngawi. Dengan menggunakan buku ini diharapkan pelayanan PONEK 24 jam di RS Kabupaten dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Apa yang tertulis dalam pedoman ini dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengembangkan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal di tingkat Kabupaten dan sekaligus membangun infrastruktur sistem rujukan serta pemanfaatan secara optimal sumber daya manusia.

Revisi pertama dilakukan dalam Lokakarya Penyusunan Pedoman Manajemen Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif 24 Jam di tingkat Kabupaten/Kota yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI di Jakarta di Diklat Depkes RI Cimacan pada tanggal 6-8 Pebruari 2003

Penyempurnaan materi dalam buku ini dilakukan dalam pertemuan di Dirjen Yanmed Depkes RI Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2003 dan Januari 2005

(3)

S A M B U T A N

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

(4)

K A T A P E N G A N T A R

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN MEDIK DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

(5)

K A T A P E N G A N T A R

DIREKTORAT JENDERAL KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

(6)

K A T A P E N G A N T A R

JARINGAN NASIONAL PELATIHAN KLINIK – KESEHATAN REPRODUKSI PERKUMPULAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI INDONESIA

(7)

D A F T A R I S I

Sambutan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 3 Kata Pengantar

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI 4 Direktorat Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI 5 Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi – POGI 6

Daftar isi 7

Bab 1 PENDAHULUAN

Latar belakang 9

Tujuan 10

Bab 2 SISTEM RUJUKAN MATERNAL DAN NEONATAL 1. Pengertian

Definisi 13 Masalah rujukan kesehatan maternal neonatal di 10 Kabupaten SMFPA 11

Manfaat sistem rujukan maternal neonatal 13 2. Sistem Rujukan

Pengembangan pra-rumah sakit 15

Alur pelayanan rujukan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal 17

Pengembangan Rumah Sakit PONEK 24 Jam 19

Pencatatan dan Pelaporan 19

Pemantauan dan Evaluasi 20

3. Program Menjaga Mutu

Audit Maternal dan Perinatal 23

“Peer Review” 28

Pertemuan Pemantauan Sistem Rujukan 29

POA Gabungan tingkat Kabupaten 31

Supervisi Fasilitatif 31

4. Partisipasi Masyarakat

Gerakan Sayang Ibu 34

Pendekatan pengembangan masyarakat 35

Menggugah inovasi 36

Bab 3 PENGEMBANGAN KOMPONEN SISTEM RUJUKAN MATERNAL DAN NEONATAL

1. RUMAH SAKIT KABUPATEN

Instalasi Gawat Darurat 39

Elemen yang diperlukan 39

Hubungan kemitraan dan tanggung jawab 43

Mekanisme alur pasien rujukan maternal & neonatal 45 Peralatan dan sarana yang dianjurkan untuk

Unit Pelayanan Obstetri & Neonatal Emergensi Komprehensif 46 Obat yang dianjurkan untuk

Unit Pelayanan Obstetri & Neonatal Emergensi Komprehensif 49 Peralatan, obat dan bahan pada “Emergency Obstetrics Trolley” 50 Radiologi, Pencitraan dan Pelayanan Diagnostik 51

(8)

Kemampuan pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan 52 Bank Darah – Unit Transfusi Darah Cabang 53

2. PUSKESMAS DAN PUSKESMAS PERAWATAN 55

Administrasi 55 Mekanisme alur pasien rujukan maternal & neonatal 58

3. FASILITAS KESEHATAN TINGKAT DESA (POLINDES, PUSKESMAS

PEMBANTU) 58

Mekanisme alur pasien rujukan maternal & neonatal 60 Bab 4 PENILAIAN KINERJA

Pengembangan Mutu Pelayanan 61

Pengukuran kinerja 61

Penilaian kinerja Unit Gawat Darurat 24 Jam 66 Proses pelayanan pasien dengan kegawatan Obstetri dan Neonatal 70 BAB 5 PERSIAPAN UMUM SEBELUM TINDAKAN KEGAWATDARURATAN

Penutup 72

(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR), bukan saja merupakan indikator tingkat kesehatan wanita, tetapi juga menggambarkan tingkat akses, integritas, dan efektivitas sektor kesehatan. Oleh karena itu, MMR juga sering dipergunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan dari suatu negara.

Sejak 1988, Departemen Kesehatan RI memfokuskan programnya untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu, sebagai reaksi terhadap angka kematian ibu yang masih sangat tinggi di Indonesia. Departemen Kesehatan RI mentargetkan penurunan Angka Kematian Ibu dari 450/100,000 kelahiran hidup di tahun 1995 menjadi 225/100,000 kelahiran hidup di tahun 2000 dan menjadi 125/100,000 pada tahun 2010.

Persalinan dengan tenaga terlatih meningkat dari 25% pada tahun 1992 menjadi 67% pada tahun 1999, tetapi masih belum mencapai angka 90% sesuai dengan target internasional.

Indikator Perkembangan Nasional

Total populasi (juta - 1998) 206.3

Human Development Index (HDI) dan (HDI Rank) (1998) 0.670 (109/174)

GNP per kapita (US$) 640

% Populasi hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1/hari

(1989-1998) 26.3

External debt (US$ millions - 1998) 150,875

Distribusi pendapatan Gini index (1) 31.7

Pengeluaran masyarakat untuk kesehatan dalam % dari GDP

(1996-1998) 0.6

Wanita Pria

Kelangsungan hidup pada saat kelahiran (tahun-1998) 67.5 63.7

% Kamampuan baca tulis pada orang dewasa (Adult literacy rate – 1998) 80.5 91.1

Perkiraan kasus HIV/AIDS dewasa 15-49 (1999) (2) 52,000

Perkiraan kasus HIV/AIDS pada wanita 15-49 (1999) (2) 13,000 Populasi tanpa akses pada fasilitas pelayanan kesehatan (1981-1993) 57

Semua indikator diambil dari Human Development Report 2000. New York, United Nations Development Program, 2000, kecuali untuk:

(1) World Development Indicators. Washington DC, The World Bank, 2001.

(2) Report on the Global HIV/AIDS epidemic. Geneva, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS, 2000.

Dalam perkembangan proses otonomi daerah serta peningkatan pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), maka diharapkan adanya peningkatan anggaran kesehatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada saat ini berkisar antara 0.6-1.8% GDP menjadi 5-15% GDP. Sehingga dengan demikian pemerintah kabupaten didorong untuk mengajukan dan menetapkan matching budget untuk kebutuhan lain dalam anggaran kesehatan yang tidak mendapatkan dukungan dari dana SMFPA dalam perbandingan 1:10

Beberapa faktor yang diperkirakan menjadi penyebab termasuk kualitas pelayanan oleh tenaga kesehatan yang tidak adekuat dan buruk, yang berdampak pada lebih dari 200,000 kematian ibu setiap tahun. Sebagai tambahan, status dan pendidikan wanita yang rendah, terutama di perdesaan, memberikan dampak negatif pada kematian maternal. Keterbatasan akses pada pertolongan persalinan oleh tenaga terampil dan sistem rujukan yang tidak

(10)

memadai mengakibatkan hampir 40% wanita melahirkan tanpa pertolongan tenaga kesehatan terampil dan 70% tidak mendapatkan pelayanan pasca persalinan dalam waktu 6 minggu setelah persalinan.

Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah Perdarahan 42%, eklampsia 13%, komplikasi abortus 11%, infeksi 10%, dan persalinan lama 9%.1

Kematian maternal yang tinggi juga disebabkan oleh tingginya angka kehamilan yang tidak diharapkan. Di Indonesia, masih terdapat hampir 13% wanita berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan, tetapi tidak mendapatkan pelayanan kontrasepsi (unmet needs). Wanita dewasa belum siap untuk bertanggung jawab pada kesehatan reproduksi, memiliki anak sesuai dengan keinginannya sendiri, yang berakibat pada kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan perbaikan tingkat ekonomi. Dibutuhkan peningkatan akses pada pelayanan keluarga berencana untuk mencegah kehamilan pada waktu yang tidak sesuai dan kehamilan yang tidak diharapkan. Lebih kurang 65% kehamilan yang terjadi berhubungan dengan “4 terlalu” yang berhubungan dengan kehamilan, “terlalu muda” (kurang dari 20 tahun), “terlalu tua” (lebih dari 35 tahun), “terlalu sering” (jarak kehamilan kurang dari 2 tahun) dan “terlalu banyak” (lebih dari 3 anak).

Selain itu dalam proses pengelolaan kegawatdaruratan maternal masih terdapat “3

terlambat” (terlambat deteksi dan mengambil keputusan, terlambat merujuk dan terlambat

mendapat penanganan oleh tenaga professional)

Tantangan utama pelaksanaan kebijakan Safe Motherhood adalah sebagai berikut: • Keterbatasan jumlah sumber daya manusia, dukungan finansial dan sarana;

• Strategi program Safe Motherhood belum secara baik dimengerti oleh semua pihak yang terkait, keterbatasan efektivitas dan keterpaduan kegiatan;

• Pelaksanaan di lapangan tidak selalu menggunakan program yang paling efektif; • Pelaksanaan program tidak selalu didasarkan pada standard dan

• Koordinasi diantara lembaga mitra tidak selalu direncanakan, keterbatasan efektivitas diantara kontribusi individual dan upaya bersama.

“MAKING PREGNANCY SAFER” SEBAGAI STRATEGI PERCEPATAN PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN NEONATAL

Dari “Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer di Indonesia tahun 2001-2010” yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2001, didapatkan bahwa sebab utama kematian Ibu di Indonesia adalah perdarahan, infeksi, eklampsi, partus lama, dan komplikasi abortus. Perdarahan yang merupakan sebab utama kematian kebanyakan disebabkan oleh karena retensi plasenta. Keadaan ini menunjukkan adanya manajemen persalinan kala III yang kurang adekuat. Kematian ibu akibat infeksi merupakan indikator kurang baiknya upaya pencegahan dan manajemen infeksi. Sedangkan kematian ibu yang disebabkan karena komplikasi aborsi adalah akibat kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy). Data SDKI tahun 1997 menunjukkan bahwa wanita berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan, tetapi tidak menggunakan cara kontrasepsi (unmet needs) masih cukup tinggi (9.2%). Sedangkan persentase persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan secara nasional adalah 15.4% yang juga merupakan kelompok resiko tinggi terhadap kesakitan dan kematian ibu. Dua puluh dua persen wanita telah mengalami 4 kali kehamilan atau lebih, 13.7% diantaranya merupakan kelompok yang beresiko tinggi terhadap perdarahan pasca persalinan. Kelompok resiko tinggi lainnya adalah ibu-ibu yang melahirkan diatas umur 35 tahun yaitu 11% dari semua ibu hamil.

(11)

Pola morbiditas dan mortalitas maternal diatas menggambarkan kepentingan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terampil, oleh karena sebagian besar komplikasi terjadi pada saat persalinan. SDKI 1997 melaporkan bahwa 24.6% persalinan dengan komplikasi harus ditolong dengan bedah Caesar, dimana sebagian besar kasus ini disebabkan oleh partus lama dan perdarahan.

Selain itu juga ada 4 macam penundaan yang dapat berpengaruh pada resiko kematian pada saat persalinan. Penundaan yang pertama adalah akibat wanita hamil tidak mengenali tanda-tanda komplikasi yang membutuhkan perawatan yang intensif, kemudian yang kedua adalah penundaan dalam memutuskan usaha untuk mencari pertolongan, yang ketiga perlu waktu yang lama untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan yang sesuai (puskesmas atau rumah sakit), dan yang keempat adalah bahwa mereka mendapat pelayanan dibawah standard atau pelayanan yang lambat dari fasilitas kesehatan.

Dalam rangka mewujudkan kesehatan ibu dan anak, maka World Health Organization (WHO) pada tahun 1987 meluncurkan program Safe Motherhood Initiative (SMI) bersama dengan Safe Motherhood Inter Agency antara lain UNFPA, UNICEF, World Bank, dll. untuk menempatkan kesehatan ibu menjadi agenda utama pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dalam skala international. Inisiatif ini dititikberatkan pada mobilisassi sumber daya manusia yang berkualitas yang didukung dengan pelayanan yang berdasar evidence-based.

Pada tahun 2002, Indonesia mengikuti Millenium Summit Declaration of 2000 dan pada pertemuan itu dihasilkan komitmen bersama untuk menurunkan Angka Kematian Ibu. Dalam rangka itulah, maka pemerintah beberapa waktu yang lalu melaksanakan beberapa program. Diantaranya adalah Program Indonesia Sehat 2010 yang salah satu sasarannya adalah untuk dapat menurunkan MMR menjadi 125/100,000 kelahiran hidup. Kemudian ditetapkan 4 strategi utama dan asas pedoman operasionalisasi strategi antara lain bahwa Making Pregnancy Safer memusatkan perhatian pada pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang baku dan efektif, cost effective dan berdasarkan bukti (evidence-based) pada semua tingkat pelayanan dan rujukan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

TUJUAN BUKU PEDOMAN SISTEM RUJUKAN MATERNAL NEONATAL

Buku ini diharapkan akan menjadi pedoman kerja bagi petugas kesehatan di rumah sakit kabupaten, puskesmas dengan atau tanpa perawatan maupun polindes dan puskesmas pembantu serta menjadi bahan acuan bagi lintas sektor terkait dan masyarakat, dalam melakukan perbaikan dan peningkatan pelayanan kesehatan pada umumnya dan kesehatan maternal dan neonatal pada khususnya, berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal secara paripurna.

(12)

BAB 2

SISTEM RUJUKAN MATERNAL & NEONATAL

MASALAH RUJUKAN KESEHATAN MATERNAL & NEONATAL DI 10 KABUPATEN SMFPA

Dalam pengamatan yang dilakukan berkaitan dengan rujukan maternal dan neonatal pada setiap tingkat pelayanan kesehatan, didapatkan beberapa masalah yang dianggap dapat memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan rujukan, antara lain:

• Penerima pertama pasien bukan tenaga medis terlatih

Pada umumnya penerima pasien pertama adalah bukan tenaga medis terlatih, sehingga pengetahuan untuk melakukan pengenalan kegawatdaruratan sangat rendah. Petugas penerima pasien ini secara rutin cenderung hanya menganjurkan prosedur rutin penerimaan pasien (menunjukkan loket pendaftaran, meminta keluarga untuk membeli karcis dll.)

• Dokter dan Bidan sebagai tenaga terlatih justru berada di lini belakang

Dokter dan bidan sebagai tenaga terampil harus dipanggil atau bahkan hanya tersedia setelah ada pemberitahuan (on call), bila ada pasien rujukan maternal dan neonatal. Bidan dengan keterampilan melakukan pengelolaan kegawat daruratan lebih sering berada atau ditempatkan di Kamar Bersalin dibandingkan di Unit Gawat Darurat.

• Prosedur penerimaan rujukan yang lambat karena birokrasi pelaporan

Di beberapa rumah sakit, bidan yang mendampingi pasien yang dirujuknya harus terlebih dahulu menuliskan laporan sebelum pasien yang dirujuk ditangani oleh dokter / dokter spesialis sebagai konsultan

• Bank Darah Rumah Sakit belum berfungsi sebagai tempat antara penyimpanan darah Darah yang diperlukan dalam persiapan operasi langsung dikirim ke kamar operasi dan tidak disimpan dalam almari pendingin. Apabila darah kemudian tidak ditransfusikan, maka persediaan darah tersebut dapat mengalami kerusakan dan tidak dapat dipergunakan kembali untuk kepentingan pasien lain yang membutuhkan

• UTD (Unit Transfusi Darah)

Belum tersedianya UTD di semua Kabupaten/Kota maupun Bank Darah di RS Kabupaten/Kota, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam penyediaan darah bagi pasien yang memerlukan.

• Keterbatasan pelayanan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan SDM, sarana dan prasarana

Belum seluruh pemeriksaan standard yang disyaratkan dapat dilakukan di fasilitas kesehatan, keadaan ini sangat dipengaruhi keterbatasan tenaga maupun sarana dan prasarana yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan

• Keterbatasan keterampilan Puskesmas dalam melakukan tindakan

Secara umum dapat dikatakan bahwa Puskesmas sudah tidak melakukan pertolongan persalinan normal maupun melakukan beberapa tindakan yang sebenarnya masih dalam kewenangan Puskesmas seperti ekstraksi vakum/forseps dan kuretase. Keadaan ini terutama disebabkan oleh karena kurangnya pengalaman praktek dokter puskesmas dalam tindakan tersebut selama mereka menjalani pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran.

(13)

Kesinambungan pelayanan rujukan dalam satu mata rantai yang utuh menjadi bagian dari upaya pemantapan system rujukan. Dalam hal kasus rujukan, maka perujuk juga harus mendapatkan informasi tentang keadaan pasien yang telah dirujuk serta tindak lanjut pasca tindakan di rumah sakit. Umpan balik rujukan dari rumah sakit sering diabaikan karena tindakan yang dilakukan di tingkat RS Kabupaten/Kota dianggap telah menyelesaikan masalah. Walaupun sebenarnya bimbingan teknis juga dapat dilakukan dengan memberikan umpan balik rujukan, sehingga Puskesmas dan pelayanan kesehatan setingkat akan mendapatkan pengalaman dari kasus yang dirujuk serta melakukan penilaian keputusan untuk merujuk dan waktu yang terbaik untuk melakukan rujukan.

• Petunjuk pelaksanaan sistem rujukan yang tidak baku

Rujukan pasien Jaringan Pengaman Sosial (JPS) masih mensyaratkan fotokopi Kartu Sehat agar pelayanan yang dilakukan dapat dibayar melalui sistem JPS. Bahkan di beberapa rumah sakit ditemukan beberapa pasien yang sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria pemberian Kartu Sehat.

Status Puskesmas PONED dan bukan PONED sering membingungkan bidan apabila harus melakukan rujukan, oleh karena pada umumnya tindakan obstetri tidak dikerjakan oleh puskesmas bukan PONED. Sehingga juga sering terjadi kasus rujukan yang terlanjur dikirim dan menjadi beban pekerjaan RS Kabupaten, walaupun sebenarnya hanya diperlukan tindakan yang masih mungkin dilaksanakan di Puskesmas • Belum terdapat persepsi yang sama tentang prosedur tindakan diantara petugas

pelaksana pelayanan kesehatan maternal dan neonatal

Belum terdapat langkah baku dalam prosedur standard pelayanan maupun pedoman standard pengobatan disebabkan terutama oleh karena dokter dan dokter spesialis masih menganut cara prosedur dan pengobatan sesuai dengan asal senter pendidikan masing-masing. Walaupun pada saat ini telah terdapat Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal serta Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal yang merupakan panduan teknis dan prosedur baku.

• Pengetahuan masyarakat tentang kegawatdaruratan maternal & neonatal

Keterlibatan masyarakat dalam percepatan rujukan maternal dan neonatal dalam bentuk kesiagaan untuk memberikan pertolongan merupakan salah satu upaya untuk mempercepat keterlambatan yang selalu terjadi. Disamping itu pengetahuan masyarakat tentang kegawatdaruratan juga akan sangat memudahkan ibu dan keluarga untuk mengambil keputusan, oleh karena secara tidak langsung maupun langsung masyarakat akan melakukan inisiatif untuk memberikan kemudahan pada proses rujukan.

• Kemampuan ibu dalam mengambil keputusan

Pendidikan, pengetahuan dan kemandirian ibu sering tidak cukup untuk mengambil keputusan sendiri yang tepat pada saat diperlukan untuk melakukan rujukan, sehingga sebagai akibatnya terlalu banyak pihak yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini sering akan memperlambat dan menambah waktu yang diperlukan untuk mencapai fasilitas kesehatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pengelolaan kegawatdaruratan yang terjadi

• Konsekuensi finansial sebagai dampak proses rujukan

Bagaimanapun harus disadari bahwa proses rujukan akan memberikan dampak pada konsekuensi finansial bagi ibu, keluarga dan masyarakat. Program Gerakan Sayang Ibu yang memberikan kemudahan bagi pasien rujukan maternal dan neonatal, belum dapat memberikan jaminan secara menyeluruh untuk tanggung jawab finansial.

(14)

Perbaikan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan hanya melakukan standardisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan sistem rujukan maternal dan neonatal yang akan menjadi bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara keseluruhan. Karena dalam kenyataannya, masih akan selalu terdapat kasus maternal dan neonatal yang harus mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan pertolongan awal di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Beberapa kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal memerlukan tempat rujukan antara sebagai sarana untuk melakukan stabilisasi, setelah itu pengobatan dan tindakan definitif harus dikerjakan di fasilitas pelayanan yang lebih baik oleh karena keterbatasan teknis baik di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun tempat rujukan antara (Puskesmas). Kasus perdarahan pasca persalinan tidak memerlukan tempat rujukan antara, karena tindakan definitive histerektomi atau ligasi arteria hipogastrika hanya bisa dilakukan di rumah sakit kabupaten, tetapi stabilisasi pasien tetap harus dikerjakan lebih dahulu di tempat asal rujukan.

Dari beberapa keadaan diatas, tampak sangat jelas bahwa berfungsinya sistem rujukan maternal dan neonatal akan menjadi tulang punggung (backbone) untuk penurunan AKI dan AKB.

DEFINISI

SISTEM RUJUKAN

Sistem yang dikelola secara strategis, proaktif, pragmatis dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi masyarakat yang membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir, dimanapun mereka berada dan berasal dari golongan ekonomi manapun, agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan ibu hamil dan bayi melalui peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal di wilayah mereka berada. Sesuai SK Menteri Kesehatan Nomor 23 tahun 1972 tentang Sistem Rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horisontal dalam arti unit-unit yang setingkat kemampuannya.

POLINDES

Pondok bersalin desa atau lebih dikenal dengan sebutan Polindes, merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat yang didirikan masyarakat oleh masyarakat atas dasar musyawarah, sebagai kelengkapan pembangunan masyarakat desa, untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan kemampuan bidan.

Bidan di Desa sebagai pengelola Polindes dan sekaligus ujung tombak upaya pelayanan Puskesmas perlu mendapatkan pengetahuan dasar tentang tanda bahaya (danger signs) sehingga dapat segera dan secepatnya melakukan rujukan ke pusat pelayanan yang memiliki fasilitas yang lebih sesuai untuk kasus kegawatdaruratan setelah melakukan stabilisasi pasien gawat darurat.

Fungsi polindes

1. Sebagai tempat pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan lainnya. 2. Sebagai tempat-tempat untuk melakukan kegiatan pembinaan, penyuluhan dan KIPK

kesehatan ibu dan anak.

(15)

4. Dalam memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan nifas serta pertolongan persalinan di Polindes, Bidan di Desa (BdD) diharapkan sekaligus memanfaatkannya untuk membina kemitraan dengan dukun bayi.

5. Dengan adanya Polindes, tidak berarti bahwa BdD hanya memberikan pelayanan kesehatan di dalam gedung Polindes, melainkan jaga d luar gedung, misalnya melakukan kunjungan rumah, dll.

Selanjutnya lingkup pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dilakukan di Polindes meliputi:

1. Pemeriksaan kehamilan 2. Persiapan persalinan 3. Pertolongan persalinan 4. Pemeriksaan nifas

5. Pemberian tablet tambah darah (TTD) 6. Pelayanan pemakaian Kontrasepsi

7. Melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan obstetri dan neonatal

8. Pemeriksaan kesehatan bayi baru lahir (perawatan tali pusat, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi Hepatitis B, dll)

9. Melakukan rujukan

10. Pemberian imunisasi Tetanus Toksoid 11. Pemeriksaan kehamilan

12. Persiapan persalinan 13. Pertolongan persalinan 14. Pemeriksaan nifas

15. Pemberian tablet tambah darah (TTD) 16. Pelayanan pemakaian Kontrasepsi

17. Melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan obstetri dan neonatal

18. Pemeriksaan kesehatan bayi baru lahir (perawatan tali pusat, pemberian ASI Eksklusif, imunisasi hepatitis B, dll)

19. Melakukan rujukan

20. Pemberian imunisasi Tetanus Toksoid PUSKESMAS PONED

Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK.

RUMAH SAKIT PONEK

RS PONEK 24 jam memiliki tenaga dengan kemampuan serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai untuk memberikan pelayanan pertolongan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal dasar maupun komprehensif untuk secara langsung terhadap ibu hamil/ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa Puskesmas dan Puskesmas PONED.

PENGEMBANGAN PRA RUMAH SAKIT

POLINDES

Bidan di Desa sebagai pelaksana pelayanan Polindes dan sekaligus ujung tombak upaya pelayanan PONED perlu mendapatkan pengetahuan dasar tentang tanda bahaya (danger

(16)

signs), sehingga dapat segera dan secepatnya melakukan rujukan ke pusat pelayanan yang memiliki fasilitas yang lebih sesuai untuk kasus kegawatdaruratan setelah melakukan stabilisasi pasien gawat darurat. Disamping itu pada keadaan tertentu, bidan juga diharapkan dapat melakukan pelayanan kegawatdaruratan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi.

PUSKESMAS PONED

Agar semua pihak yang terkait memiliki persepsi yang sama dalam melaksanakan kegiatan dalam pengembangan PONED di wilayahnya, maka dipandang perlu untuk melakukan diseminasi informasi. Disamping itu agar pengembangan PONED di Puskesmas dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan adanya kesepakatan lintas program melalui kesepakatan yang dibuat dalam pertemuan yang melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Rumah Sakit Kabupaten / Kotamadya (dalam hal ini termasuk dokter spesialis kebidanan dan anak). Pertemuan ini sebaiknya juga dihadiri oleh nara sumber dari tingkat propinsi. Dalam pertemuan tersebut perlu dibahas upaya yang akan dilakukan untuk melakukan peningkatan secara bertahap pelayanan KIA, sebagai berikut:

a. Cakupan pelayanan kebidanan

• K1 harus ≥ 70% dan K4 ≥ 60% dalam satu tahun. Apabila K1 < 70% dan K4 < 60%, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan antenatal dan peningkatan kualitas pelayanan antenatal agar kesempatan untuk menjaring dan melakukan penatalaksanaan kasus dengan risiko tinggi komplikasi obstetri menjadi lebih besar.

• Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan minimal 60% per tahun di wilayah kerja Puskesmas. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan harus optimal, agar dapat dijaring dan dilakukan penatalaksanaan terhadap kasus kehamilan risiko tinggi dan komplikasi obstetri, karena komplikasi ini tidak dapat diramalkan sebelumnya, disamping dalam kenyataannya komplikasi obstetri terutama akan timbul pada saat persalinan.

• Cakupan penatalaksanaan komplikasi obstetri dan neonatus minimal

Target cakupan ditentukan berdasarkan kondisi setempat. Upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan cakupan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal adalah dengan melakukan pendataan sasaran dan pencatatan kelahiran serta kematian ibu dan bayi baru lahir, upaya yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KIA di Polindes maupun Puskesmas, serta upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengenali tanda komplikasi atau risiko kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.

b. Perkiraan jumlah komplikasi yang akan terjadi

Perkiraan jumlah komplikasi obstetri dan neonatal per tahun di wilayah Kabupaten / Kota akan dapat memberikan gambaran mengenai persiapan yang diperlukan untuk melakukan penanganannya. Perkiraan jumlah kasus per tahun diperoleh dengan cara menghitung perkiraan insidens terhadap jumlah total ibu dengan kehamilan dan jumlah bayi baru lahir sebagai berikut:

Perkiraan proporsi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal

OBSTETRI NEONATAL Perdarahan Sepsis Preeklampsia / Eklampsia Partus lama 10% 8% 5% 5% Asfiksia Tetanus neonatorum Hipotermi / BBLR 5% 3.3% 11%

(17)

Angka nasional diatas dapat dipergunakan apabila tidak terdapat angka insidens yang sebenarnya belum diketahui dalam wilayah tertentu. Perkiraan jumlah kasus yang akan dikelola merupakan dasar untuk melakukan rancangan kebutuhan logistik meliputi alat, obat, bahan habis pakai dan format pencatatan serta pelaporan.

c. Ketenagaan

• Jumlah dan jenis tenaga di Puskesmas yang memiliki kualifikasi terlatih untuk melakukan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar minimal terdiri atas satu orang Dokter dan satu orang Bidan dan/atau Perawat.

• Seluruh tenaga yang tersedia harus siap untuk melakukan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal selama 24 jam dengan dukungan RS PONEK yang juga harus siap untuk melayani rujukan selama 24 jam.

d. Kerjasama Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit Kabupaten / Kota Pada dasarnya apa yang akan ditingkatkan kinerjanya adalah sebuah sistem, sehingga harus dapat dimengerti apabila dalam peningkatan ini kerjasama lintas sektoral dan lintas program merupakan salah satu tumpuan yang diharapkan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut:

• Peningkatan frekuensi Pertemuan Pemantapan Sistem Rujukan antara Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit PONEK dan lintas sektor terkait serta LSOM untuk menyusun rencana kegiatan bersama untuk mengembangkan sistem pembinaan teknis kebidanan bagi Dokter / Bidan Puskesmas / Bidan di Desa berupa antara lain pertemuan Audit Maternal dan Perinatal di wilayah Kabupaten/Kota, upaya pemenuhan kebutuhan darah di Kabupaten/Kota, kegiatan penyeliaan dan peer review.

• Kegiatan magang di bagian Kebidanan secara bergilir bagi Dokter, Bidan dan Perawat Puskesmas serta Bidan di Desa dalam upaya untuk meningkatkan keterampilan.

• Kemampuan RS PONEK Kabupaten / Kota untuk menjadi pusat pelatihan / penyegaran keterampilan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.

• Laporan RS PONEK ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota yang meliputi jumlah persalinan, jumlah kasus dan komplikasi kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang dikelola, jumlah tindakan bedah Caesar, jumlah kematian ibu dan perinatal beserta penyebabnya.

e. Logistik dan sarana pendukung

Kebutuhan logistik dalam kaitan dengan penatalaksanaan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dihitung berdasarkan cakupan pelayanan yang dicapai dalam periode waktu tertentu. Kebutuhan logistik dan sarana pendukung meliputi:

• Alat • Obat

• Penyediaan air bersih dan listrik

• Buku Pedoman Teknis dan Manajemen Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi 24 jam di RS Kabupaten

• Format Pencatatan dan Pelaporan f. Dana

Sumber dana yang digunakan saat ini adalah penentuan prioritas besarnya alokasi sumber dana di tingkat Kabupaten dan Kota untuk upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Perinatal (AKP). Disamping itu perlu dipertimbangkan potensi pengerahan dana dari sumber lain baik pemerintah maupun swadaya sesuai

(18)

dengan kemampuan setempat serta dana peran serta masyarakat dalam bentuk misalnya dana swadaya masyarakat.

Dalam era desentralisasi perlu dipertimbangkan juga kemampuan daerah untuk menyerap dana bantuan dari pihak luar melalui berbagai lembaga sosial kemasyarakatan.

ALUR PELAYANAN RUJUKAN KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATAL Sistim rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan.

Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke Puskesmas PONED harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat Puskesmas PONED atau dilakukan rujukan ke Rumah Sakit PONEK untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya.

• Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.

• Bidan di Desa dan Polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat. Selain menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal, Bidan di Desa dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Puskesmas, Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai.

• Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi pasien dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang sendiri maupun dirujuk oleh kader / Dukun / Bidan di Desa sebelum melakukan rujukan ke Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK.

• Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK.

(19)

Keterangan:

Rujukan Koordinasi

Umpan balik rujukan

Gambar 1 Alur rujukan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal

POKJA /TIM GSI PROVINSI

TIM POKJA GSI KAB/KOTA RUMAH SAKIT PROPINSI RUMAH SAKIT PONEK 24 JAM PUSKESMAS PONED PUSKESMAS POLINDES KADER / DUKUN DINAS KESEHATAN PROPINSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN RS SWASTA KESEHATAN PROPINSI DR SWASTA BPS MASYARAKAT / BUMIL KECAMATAN SATGAS GSI

• RS PONEK 24 Jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan PONEK langsung terhadap ibu hamil / ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa Puskesmas dan Puskesmas PONED.

• Pemerintah Propinsi/Kabupaten melalui kebijakan sesuai dengan tingkat kewenangannya memberikan dukungan secara manajemen, administratif maupun kebijakan anggaran terhadap kelancaran pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal. Ketentuan tentang persalinan yang harus ditolong oleh tenaga kesehatan dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah, sehingga deteksi dini kelainan pada persalinan dapat dilakukan lebih awal dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan dan persalinan

• Pokja/Satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama lintas sektoral di tingkat Propinsi dan Kabupaten untuk menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan masyarakat

(20)

terhadap komplikasi kehamilan dan persalinan serta kegawatdaruratan yang mungkin timbul oleh karenanya. Dengan penyampaian pesan melalui berbagai instansi/institusi lintas sektoral, maka dapat diharapkan adanya dukungan nyata masyarakat terhadap sistem rujukan PONEK 24 Jam

• Rumah Sakit Swasta, Rumah Bersalin dan Dokter/Bidan Praktek Swasta dalam sistem rujukan PONEK 24 Jam diharuskan melaksanakan peran yang sama dengan RS Ponek 24 Jam, Puskesmas PONED dan Bidan dalam jajaran pelayanan rujukan. Institusi ini diharapkan dapat dikoordinasikan dalam kegiatan pelayanan rujukan PONEK 24 Jam sebagai kelengkapan pembinaan pra rumah sakit

PENGEMBANGAN RUMAH SAKIT PONEK 24 JAM

Pembentukan sistem rujukan diantara Polindes, Puskesmas, Puskesmas PONED dan RS PONEK 24 Jam merupakan rangkaian upaya percepatan penurunan AKI dan AKB. Langkah utama dalam upaya ini terdiri atas:

• Peningkatan deteksi dini dan pengelolaan ibu hamil dengan risiko tinggi, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan serta pengelolaan komplikasi kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal melalui aktivasi, efisiensi dan efektivitasisasi mata rantai rujukan.

• Peningkatan cakupan pengelolaan kasus dengan komplikasi obstetri dan neonatal. • Pemantapan kerjasama lintas program antara unsur Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

dengan RS PONEK di Kabupaten/Kota sebagai fasilitas rujukan primer serta kerjasama lintas sektoral pada peningkatan tingkat kesadaran masyarakat dalam upaya penurunan AKI dan AKB.

• Pemantapan kemampuan pengelola program di tingkat Kabupaten/Kota dalam perencanaan, penatalaksanaan, pemantauan dan penilaian kinerja upaya penurunan AKI.

• Peningkatan pembinaan teknis dalam bentuk pelatihan klinik untuk keterampilan PONED untuk Bidan di Desa, Dokter dan Bidan Puskesmas PONED / non PONED dengan menggunakan Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Modul Keterampilan Klinik Standard, teknik pelatihan berdasarkan kompetensi (competency-based training) dan pelatih terkualifikasi dari Jaringan Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR)

• Peningkatan sarana dan prasarana jaringan pelayanan PONED maupun PONEK dalam sistem mata rantai rujukan yang terpadu.

PENCATATAN

Dalam pelaksanaan PONED dan PONEK diperlukan pencatatan yang akurat pada masing-masing tingkat pelayanan. Pencatatan ini diharapkan akan dapat memberikan dukungan untuk peningkatan kualitas pelayanan. Dalam melakukan pencatatan masih dimungkinkan untuk mengembangkan format pencatatan sesuai dengan kebutuhan, format baku yang sudah tersedia antara lain:

• Pencatatan dalam Sistim Informasi Manajemen Pelayanan Kesehatan (SP2TP), Sistim Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SP2RS), Kartu Ibu, Informed Consent

• KMS Ibu Hamil / Buku KIA • Register Kohort Ibu dan Bayi • Partograf

• Kartu Persalinan Nifas

(21)

• Pemantauan Wilayah Setempat – Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA)

• Form Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Puskesmas

• Formulir Rujukan Maternal dan Neonatal • Formulir Autopsi Verbal Maternal dan Perinatal RS PONEK

• Formulir Maternal dan Neonatal • Formulir Medical Audit

• Pelaporan kegiatan AMP

• Formulir dan Lembar Pelaporan Ibu Hamil pada rumah sakit

PELAPORAN

Pelaporan hasil kegiatan dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan format yang sesuai dengan Buku Pedoman AMP, yaitu:

• Laporan Polindes / Bidan di Desa ke Puskesmas

• Laporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Laporan bulanan ini berisi informasi tentang morbiditas dan mortalitas (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru lahir dan jumlah kasus yang dirujuk ke RS Kabupaten/Kota • Laporan dari RS PONEK di Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Laporan bulanan ini berisi informasi tentang morbiditas dan mortalitas (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru lahir

• Laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi

Laporan Triwulan ini berisi informasi tentang kasus ibu dan neonatal yang dilakukan pengelolaan oleh RS Kabupaten/Kota dan Puskesmas serta tingkat kematian dari masing-masing komplikasi / gangguan yang terjadi

PEMANTAUAN

Pemantauan dilakukan oleh institusi yang berada secara fungsional satu tingkat diatasnya secara berjenjang dalam satu kesatuan sistem.

Hasil pemantauan harus dimanfaatkan oleh unit kesehatan masing-masing dan menjadi dasar untuk melakukan perbaikan serta perencanaan ulang manajemen pelayanan melalui: • Pemanfaatan laporan

Laporan yang diterima bermanfaat untuk melakukan penilaian kinerja dan pembinaan • Umpan Balik

Hasil analisa laporan dikirimkan sebagai umpan balik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke RS PONEK dan Puskesmas PONED atau disampaikan melalui pertemuan Review Program Kesehatan Ibu dan Anak secara berkala di Kabupaten/Kota dengan melibatkan ketiga unsur pelayanan kesehatan tersebut diatas. Umpan balik dikirimkan kembali dengan tujuan untuk melakukan tindak lanjut terhadap berbagai masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan PONED/PONEK

(22)

Alur pelaporan hasil kegiatan dalam mata rantai koordinasi dapat digambarkan dalam diagram alur dibawah ini:

DIREKTORAT KESEHATAN KELUARGA DIREKTORAT PELAYANAN MEDIK DINAS KESEHATAN PROPINSI DINAS KESEHATAN KABUPATEN / KOTA

BIDAN / BIDAN DI DESA

RS PONEK KABUPATEN / KOTA RUMAH BERSALIN SWASTA PUSKESMAS PONED Koordinasi Tembusan

Alur pelaporan Umpan balik

Gambar 2 Alur koordinasi dan pelaporan

EVALUASI

Evaluasi pelaksanaan pelayanan PONEK/PONED dilakukan secara berjenjang dan dilaksanakan pada setiap semester dalam bentuk evaluasi tengah tahun dan akhir tahun. Kegiatan evaluasi dilakukan melalui pertemuan evaluasi Kesehatan Ibu dan Anak. Hasil evaluasi disampaikan melalui Pertemuan Pemantapan Sistem Rujukan kepada pihak yang terkait baik lintas program maupun lintas sektoral dalam untuk dapat dilakukan penyelesaian masalah dan rencana tindak lanjut.

Beberapa aspek yang dievaluasi antara lain: ¾ Masukan (Input)

- Tenaga - Dana - Sarana - Obat dan alat

- Format pencatatan dan pelaporan - Prosedur Tetap PONED/PONEK

- Jumlah dan kualitas pengelolaan yang telah dilakukan termasuk Case Fatality Rate ¾ Proses

(23)

- Kemampuan, keterampilan dan kepatuhan tenaga pelaksana pelayanan terhadap Prosedur Tetap PONED/PONEK

- Frekuensi pertemuan Audit Maternal Perinatal di Kabupaten/Kota dalam satu tahun ¾ Hasil (Output)

- Kuantitas

Jumlah dan jenis kasus PONED/PONEK yang dilayani

Proporsi kasus terdaftar dan rujukan baru kasus PONED/PONEK di tingkat RS Kabupaten/Kota

- Kualitas

Case Fatality Rate

Proporsi jenis morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi Response Time

PROGRAM MENJAGA MUTU PELAYANAN

KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL 24 JAM

Program Menjaga Mutu secara umum merupakan gabungan antara koordinasi dengan unsur terkait dan upaya konsolidasi ke dalam, serta proses menjaga mutu pelayanan. Proses ini dimulai sejak program ini di implementasikan, yaitu melalui penyediaan sumber daya dan penentuan standar pelayanan.

Dari unsur masukan, telah ditetapkan bahwa untuk pelayanan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif, harus tersedia :

Ruang rawat inap yang leluasa dan nyaman

Ruang tindakan gawatdarurat dengan instrumen dan bahan yang lengkap

Ruang pulih/observasi pascatindakan

Tenaga kesehatan yang berkualifikasi sebagai pelaksana Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif

Protokol pelaksanaan dan uraian tugas pelayanan (termasuk koordinasi internal)

Dari unsur proses, telah ditentukan bahwa sarana dan tenaga untuk melaksanakan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif telah distandardisasi sebelumnya dan prosedur klinik yang akan diterapkan, merupakan langkah baku yang telah dikembangkan oleh organisasi yang mempunyai kewenangan untuk itu. Prosedur klinik standar yang dikembangkan oleh organisasi profesi, mencerminkan aspek legalitas dan kualitas.

Keluaran yang diharapkan adalah pelayanan bagi pasien dan komplikasinya dengan prosedur sederhana namun efektif, aman dan berkualitas. Mereka yang dilayani, diharapkan memperoleh pelayanan dalam waktu yang singkat, terapi dan prosedur klinik yang tepat, efektif dan aman, morbiditas yang rendah, terhindar dari efek samping/komplikasi yang telah diduga sebelumnya.

Para tenaga pelaksana (provider) dan staf klinik mendapat pelatihan tentang bagaimana pelayanan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif dijalankan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan. Apabila terjadi kesenjangan kualitas, baik dari tahapan masukan, proses, output ataupun hasil yang diperoleh, mereka memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan identifikasi, penentuan sumber masalah, membuat alternatif pemecahan masalah, memilih langkah dengan skala prioritas tertinggi dan melaksanakan upaya untuk mengatasi masalah mutu secara mandiri.

(24)

AUDIT MATERNAL PERINATAL (AMP) 2 TUJUAN

Tujuan umum

Tujuan umum audit maternal-perinatal adalah meningkatkan mutu pelayanan KIA di seluruh wilayah suatu kabupaten/kota dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu dan perinatal.

Tujuan khusus

Tujuan khusus audit maternal-perinatal adalah:

ƒ Menerapkan pembahasan analitik mengenai kasus kebidanan dan perinatal secara teratur dan berkesinambungan, yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, RS pemerintah/swasta dan puskesmas, rumah bersalin (RB), bidan praktik swasta (BPS) di wilayah kabupaten/kota dan di lintas batas kabupaten/kota/propinsi.

ƒ

Menentukan intervensi dan pembinaan untuk masing-masing pihak yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam pembahasan kasus.

ƒ

Mengembangkan mekanisme koordinasi antara dinas kesehatan kabupaten/kota, RS pemerintah dan swasta, puskesmas, RB dan BPS dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap intervensi yang disepakati.

BATASAN DAN PENGERTIAN

Pengertian Audit Maternal-Perinatal yang diterapkan di sini adalah: proses penelaahan bersama kasus kesakitan dan kematian ibu dan perinatal serta penatalaksanaannya, dengan menggunakan berbagai informasi dan pengalaman dari suatu kelompok terkait, untuk mendapatkan masukan mengenai intervensi yang paling tepat dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA di suatu wilayah.

Dengan demikian, kegiatan audit ini berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan dengan pendekatan pemecahan masalah. Dalam kaitannya dengan pembinaan, ruang lingkup wilayah dibatasi pada kabupaten/kota, sebagai unit efektif yang mempunyai kemampuan pelayanan obstetrik-perinatal dan didukung oleh pelayanan KIA sampai ke tingkat masyarakat.

Audit Maternal-Perinatal merupakan suatu kegiatan untuk menelusuri sebab kesakitan dan kematian ibu dan perinatal dengan maksud mencegah kesakitan dan kematian di masa yang akan datang. Penelusuran ini memungkinkan tenaga kesehatan menentukan hubungan antara faktor penyebab yang dapat dicegah dan kesakitan/kematian yang terjadi. Dengan kata lain, istilah Audit Maternal-Perinatal merupakan kegiatan Death and Case Follow-up.

Lebih lanjut, kegiatan ini akan membantu tenaga kesehatan untuk menentukan pengaruh keadaan dan kejadian yang mendahului kesakitan/kematian. Dari kegiatan ini dapat ditentukan:

- sebab dan faktor-faktor terkait dalam kesakitan/kematian ibu dan perinatal,

- di mana dan mengapa berbagai sistem dan program gagal dalam mencegah kematian, - jenis intervensi dan pembinaan yang diperlukan.

Audit Maternal-Perinatal juga dapat berfungsi sebagai alat pemantauan dan evaluasi sistim rujukan. Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan:

- pengisian rekam medis yang lengkap dan benar di semua tingkat pelayanan kesehatan, - pelacakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan puskesmas dengan cara otopsi verbal,

(25)

atau gejala serta tindakan yang diperoleh sebelum penderita meninggal, sehingga dapat diketahui perkiraan sebab kematian.

KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Berdasarkan hal tersebut, Kebijaksanaan Indonesia Sehat 2010 dan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) sehubungan dengan Audit Maternal-Perinatal adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan mutu pelayanan KIA dilakukan secara terus-menerus melalui program jaga mutu di puskesmas, di samping upaya perluasan jangkauan pelayanan. Upaya peningkatan dan pengendalian mutu antara lain dilakukan melalui kegiatan AMP.

2. Peningkatan fungsi kabupaten/kota sebagai unit efektif yang mampu memanfaatkan semua potensi dan peluang yang ada untuk meningkatkan pelayanan KIA di seluruh wilayahnya.

3. Peningkatan kesinambungan pelayanan KIA di tingkat pelayanan dasar (puskesmas dan jajarannya) dan di tingkat rujukan primer (RS kabupaten/kota).

4. Peningkatan kemampuan kabupaten/kota dalam perencanaan program KIA dengan memanfaatkan hasil kegiatan AMP mampu mengatasi masalah kesehatan setempat. 5. Peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan teknis dari para pengelola dan

pelaksana program KIA melalui kegiatan analisis manajemen dan pelatihan klinis. Strategi yang diambil dalam menerapkan AMP adalah:

1. Semua kabupaten/kota sebagai unit efektif dalam peningkatan pelayanan program KIA secara bertahap menerapkan kendali mutu, yang antara lain dilakukan melalui AMP di wilayahnya ataupun diikutsertakan kabupaten/kota lain (lintas batas).

2. Dinas kesehatan kabupaten/kota berfungsi sebagai kordinator fasilitator yang bekerja sama dengan RS kabupaten/kota dan melibatkan puskesmas dan unit pelayanan KIA swasta lainnya dalam upaya kendali mutu di wilayah kabupaten/kota.

3. Di tingkat kabupaten/kota perlu dibentuk Tim AMP, yang selalu mengadakan pertemuan rutin untuk menyeleksi kasus, membahas dan membuat rekomendasi tindak lanjut berdasarkan temuan dari kegiatan audit (penghargaan dan sanksi bagi pelaku).

4. Perencanaan program KIA dibuat dengan memanfaatkan hasil temuan dari kegiatan audit, sehingga diharapkan berorientasi kepada pemecahan masalah setempat.

5. Pembinaan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, bersama-sama RS kabupaten/kota (untuk aspek teknis medis) dilaksanakan langsung pada saat audit atau secara rutin, dalam bentuk yang disepakati oleh Tim AMP.

LANGKAH DAN KEGIATAN

Langkah-langkah dan kegiatan AMP di tingkat kabupaten/kota sebagai berikut: 1. Pembentukan Tim AMP.

2. Penyebarluasan informasi dan petunjuk teknis pelaksanaan AMP. 3. Menyusun Rencana Kegiatan (POA) AMP.

4. Orientasi pengelola program KIA dalam pelaksanaan AMP. 5. Pelaksanaan kegiatan AMP.

6. Penyusunan rencana tindak lanjut terhadap temuan dari kegiatan audit oleh dinkes kabupaten/kota bekerjasama dengan RS.

(26)

Rincian kegiatan AMP yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Tingkat Kabupaten/Kota

1. Menyampaikan informasi dan menyamakan persepsi dengan pihak terkait mengenai pengertian dan pelaksanaan AMP di kabupaten/kota.

2. Menyusun Tim AMP di kabupaten/kota, yang susunannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Secara umum, susunan tim disarankan sebagai berikut: Pelindung : Bupati/Walikota Kepala Daerah

Ketua : Kadinkes Kab/Kota Wakil Ketua : Direktur RS Kab/Kota

Sekretaris : Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan RS Dokter Spesialis Anak RS

Tim ahli : SpOG SpA

Dokter ahli lainnya. Anggota :

1. Kasubdin dan Kasi yang menangani program KIA.

2. Kasubdin dan Kasi yang menangani Yankes Dasar dan Rujukan. 3. Dokter Umum di Bagian Kebidanan Kandungan dan Bagian Anak

RS Kabupaten/ Kota.

4. Wakil dari unit pelayanan KIA lainnya yang berpotensi dalam memberikan masukan atau sumbangan pemikiran (misalnya RS swasta, puskesmas, organisasi profesi, dll).

Tim ini juga berfungsi untuk menghimpun sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan mengidentifikasi “siapa mengerjakan apa”.

3. Melaksanakan AMP secara berkala dengan melibatkan:

- para kepala puskesmas dan pelaksana pelayanan KIA di puskesmas dan jajarannya,

- dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan serta dokter spesialis anak/dokter ahli lain RS kabupaten/kota dan staf yang terkait,

- kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan staf pengelola program terkait, - pihak lain yang terkait, sesuai kebutuhan, misalnya bidan praktik swasta, petugas

rekam medik RS kabupaten/kota dll.

Pada awal kegiatan, pihak yang mutlak perlu dilibatkan adalah puskesmas di wilayah kabupaten/kota dan RS kabupaten/kota. Secara bertahap, sesuai kebutuhan, dinkes kabupaten/kota dapat melibatkan pihak lain tersebut di atas.

4. Melaksanakan kegiatan AMP lintas batas kabupaten/kota/propinsi.

5. Melaksanakan kegiatan tindak lanjut yang telah disepakati dalam pertemuan Tim AMP.

6. Melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan audit serta tindak lanjutnya, dan melaporkan hasil kegiatan ke Dinas Kesehatan Propinsi untuk memohon dukungan. 7. Memanfaatkan hasil kegiatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan

pengelolaan program KIA, secara berkelanjutan.

b. Tingkat Puskesmas

1. Menyampaikan informasi kepada staf puskesmas terkait mengenai upaya peningkatan kualitas pelayanan KIA melalui kegiatan AMP.

2. Melakukan pencatatan atas kasus kesakitan dan kematian ibu serta perinatal, dan penanganan atau rujukannya, untuk kemudian dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota.

(27)

3. Mengikuti pertemuan AMP di kabupaten/kota.

4. Melakukan pelacakan sebab kematian ibu/perinatal (otopsi verbal) selambat-lambatnya 7 hari setelah menerima laporan. Informasi ini harus dilaporkan ke dinkes kabupaten/kota selambat-lambatnya dalam waktu 1 bulan. Temuan otopsi verbal dibicarakan dalam pertemuan audit di kabupaten/kota. Penjelasan tentang otopsi verbal dapat dilihat pada Lampiran I.

5. Mengikuti/melaksanakan kegiatan peningkatan kualitas pelayanan KIA, sebagai tindak lanjut dari temuan kegiatan audit

6. Membahas kasus pertemuan AMP di Kab/Kota.

7. Membahas hasil tindak lanjut AMP non medis dengan LS terkait.

c. Tingkat Propinsi

1. Menyebarluaskan Pedoman Teknis AMP kepada seluruh kabupaten/kota.

2. Menyamakan kerangka pikir dan menyusun rencana kegiatan pengembangan kendali mutu pelayanan KIA melalui AMP bersama kabupaten/kota yang akan di fasilitasi secara intensif.

3. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan di kabupaten/kota.

4. Memberikan dukungan teknis dan manajerial kepada kabupaten/kota sesuai kebutuhan.

5. Merintis kerjasama dengan sektor lain untuk kelancaran pelaksanaan tindak lanjut temuan dari kegiatan audit, yang berkaitan dengan sektor di luar kesehatan.

6. Memfasilitasi kegiatan AMP lintas batas kab/kota/propinsi.

d. Tingkat Pusat

Melakukan fasilitasi pelaksanaan AMP, sebagai salah satu bentuk upaya peningkatan mutu pelayanan KIA di wilayah kabupaten/kota serta peningkatan kesinambungan pelayanan KIA di tingkat dasar dan di tingkat rujukan primer.

METODA

Metoda pelaksanaan AMP sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan pertemuan dilakukan teratur sesuai kebutuhan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota bersama dengan RS kabupaten/kota, berlangsung sekitar 2 jam. Pertemuan sebaiknya dilakukan di RS kabupaten/kota dan Kadinkes/Direktur RS memimpin acara tetapi moderator pembahasan klinis adalah dokter ahli. Presentasi kasus dilakukan oleh dokter/bidan RS kabupaten/kota atau puskesmas terkait, tergantung di mana kasus ditangani.

2. Kasus yang dibahas dapat berasal dari RS kabupaten/kota atau puskesmas. Semua kasus ibu/perinatal yang meninggal di RS kabupaten/kota/ puskesmas hendaknya diaudit, demikian pula kasus kesakitan yang menarik dan dapat diambil pelajaran darinya.

3. Audit yang dilaksanakan lebih bersifat mengkaji riwayat penanganan kasus sejak dari: - timbulnya gejala pertama dan penanganan oleh keluarga/tenaga kesehatan di

rumah,

- proses rujukan yang terjadi,

- siapa saja yang memberi pertolongan dan apa saja yang telah dilakukan,

- sampai kemudian meninggal atau dapat dipertahankan hidup. Dari pengkajian tersebut diperoleh indikasi di mana letak kesalahan/ kelemahan dalam penanganan kasus. Hal ini memberi gambaran kepada pengelola program KIA dalam menentukan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah kesakitan/kematian ibu/perinatal yang tidak perlu terjadi. Kesimpulan hasil audit dicatat dalam Form MA

(28)

(lihat Bab III), untuk kemudian disampaikan dan dibahas oleh Tim AMP dalam merencanakan kegiatan tindak lanjut secara nyata.

4. Pertemuan ini bersifat Pertemuan Penyelesaian Masalah dan tidak bertujuan menyalahkan, atau memberi sanksi, salah satu pihak.

5. Dalam tiap pertemuan dibuat daftar hadir, notulen hasil pertemuan dan rencana tindak lanjut, yang akan disampaikan dan dibahas dalam pertemuan Tim AMP yang akan datang.

6. RS kabupaten/kota dan puskesmas membuat laporan bulanan kasus ibu dan perinatal ke dinas kesehatan kabupaten/kota, dengan memakai format yang disepakati.

PENCATATAN DAN PELAPORAN

Dalam pelaksanaan Audit Maternal-Perinatal ini diperlukan mekanisme pencatatan yang akurat, baik di tingkat puskesmas maupun di tingkat RS kabupaten/kota. Pencatatan yang diperlukan adalah sebagai berikut.

Tingkat Puskesmas

Selain menggunakan rekam medis yang sudah ada di puskesmas, ditambahkan pula: 1. Form R (Formulir Rujukan Maternal dan Perinatal).

Formulir ini dipakai oleh Puskesmas, bidan di desa maupun bidan swasta, untuk merujuk kasus ibu maupun perinatal.

2. Form OM dan OP (Formulir Otopsi Verbal Maternal dan Perinatal).

Form OM digunakan untuk otopsi verbal ibu hamil/bersalin/nifas yang meninggal, sedangkan form OP untuk otopsi verbal perinatal yang meninggal. Untuk mengisi formulir tersebut dilakukan wawancara terhadap keluarga yang meninggal oleh tenaga puskesmas.

RS Kabupaten/Kota

Formulir yang dipakai adalah:

1. Form MP (Formulir Maternal dan Perinatal).

Form ini mencatat data dasar semua ibu bersalin/nifas dan perinatal yang masuk ke RS. Pengisiannya dapat dilakukan oleh atau perawat.

2. Form MA (Formulir Medical Audit).

Form ini dipakai untuk menulis hasil/kesimpulan dari audit maternal maupun audit perinatal. Yang mengisi formulir ini adalah dokter yang bertugas di Bagian Kebidanan dan Kandungan (untuk kasus ibu) atau Bagian Anak (untuk kasus perinatal).

Pelaporan hasil kegiatan dilakukan secara berjenjang, yaitu:

1. Laporan dari Rumah Sakit Kabupaten/kota ke Dinas Kesehatan (LAP RS).

Laporan bulanan ini berisi informasi mengenai kesakitan dan kematian (serta sebab kematian) ibu dan bayi baru lahir di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan serta Bagian Anak.

2. Laporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota (LAP PUSK).

Laporan bulanan ini berisi informasi yang sama seperti di atas, dan jumlah kasus yang dirujuk ke RS Kabupaten/kota.

3. Laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota ke tingkat Dinas Kesehatan Propinsi (LAP KAB/KOTA).

Laporan triwulanan ini berisi informasi mengenai kasus ibu dan perinatal yang ditangani oleh RS kabupaten/kota, puskesmas dan unit pelayanan KIA lainnya (bila ada), serta tingkat kematian dari tiap jenis komplikasi/gangguan. Laporan ini merupakan

(29)

rekapitulasi dari Form MP dan Form R, yang hendaknya diusahakan agar tidak terjadi duplikasi pelaporan untuk kasus yang dirujuk ke RS.

Pada tahap awal, jenis kasus yang dilaporkan adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada ibu maternal dan perinatal.

PEER REVIEW

Program Peer Review (PR) yang pada saat ini dilaksanakan oleh Ikatan Bidan Indonesia, terdiri atas 3 kegiatan utama:

a. Pengumpulan dana (Fund Raising - FR)

Kelangsungan penyediaan dana untuk seluruh sistem telah terbukti bermanfaat dalam pengembangan kelompok pengumpul dana di tingkat kabupaten. Anggota kelompok mendapatkan pelatihan secara khusus untuk mengumpulkan dana sebelum memulai kegiatannya. Pada akhir pelatihan peserta latih membuat rencana tindak lanjut untuk melakukan pengembangan modal. Kelompok menerima uang sejumlah Rp. 10,000,000 sebagai pinjaman modal awal, untuk melakukan kunjungan PR dan biaya penilaian kompetensi. Pinjaman ini dikembalikan pada pengurus IBI Provinsi setelah periode waktu tertentu agar dapat dikembangkan kembali oleh kelompok di kabupaten yang lain.

b. Peer Review (PR)

Tim PR terdiri atas bidan yang telah mendapatkan pelatihan selama 10 hari tentang Auhan Persalinan Normal / Bersih dan Aman dan 5 hari pelatihan sebagai instruktur klinik serta 5 hari pelatihan PR. Petugas penilai akan mengunjungi tenaga kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan standard APN/APBA secara berkala setiap 6 bulan. Selama pelatihan PR diajarkan sistem 6 langkah pemantauan sebagai berikut:

Langkah 1:

Tim penilai melakukan perencanaan waktu penilaian dalam pertemuan IBI Kabupaten dengan bidan yang akan dilakukan penilaian dan bersama-sama melakukan kesepakatan waktu penilaian

Langkah 2:

Tim penilai mempersiapkan formulir penilaian dan sarana yang dibutuhkan untuk kunjungan PR

Langkah 3:

Tim penilai melaksanakan kunjungan PR dengan menggunakan 6 formulir penilaian tentang:

ƒ Partograph

ƒ Pencegahan Infeksi

ƒ Peralatan, obat dan bahan lain yang dibutuhkan ƒ Wawancara klien

ƒ Wawancara keluarga/dukun bayi ƒ 60 langkah Asuhan Persalinan Normal

Pada akhir kunjungan, penilai membahas hasil temuan di lapangan dan mengajukan usulan untuk perbaikan serta memberikan dukungan dan informasi kepada tenaga kesehatan yang dinilai. Hasil kunjungan lebih menekankan pada dukungan dan saran perbaikan daripada kritik terhadap perilaku. Dilakukan juga pengembangan perencanaan langkah terbaik untuk memenuhi kebutuhan akan pengetahuan dan keterampilan. Tenaga kesehatan yang dinilai akan mendapatkan salinan dari hasil penilaian secara lengkap.

(30)

Langkah 4:

Pertemuan lengkap anggota tim PR dengan IBI Provinsi/Kabupaten, koordinator KIA untuk membahas hasil temuan lapangan dan merencanakan apa yang diperlukan untuk melaksanakan Pendidikan Berkelanjutan (lokasi, fasilitas, jumlah peserta, sarana, dukungan financial, materi dll.)

Langkah 5:

Pelatih mempersiapkan Pendidikan Berkelanjutan berdasarkan penentuan prioritas masalah di lapangan

Langkah 6:

Pelatih menyelenggarakan Pendidikan Berkelanjutan untuk mengatasi kesenjangan antara pengetahuan dan keterampilan. Seluruh pelatih telah memiliki kualifikasi sebagai pelatih klinik yang juga merupakan pelatih Jaringan Nasional Pelatihan Klinik – Kesehatan Reproduksi.

2. Mempersiapkan kunjungan PR 3. Melakukan kunjungan PR 4.Menyelenggara kan pertemuan Tim 6. Menyelenggara-kan sesi CE 5. Mempersiapkan topik CE Langkah dalam program Peer Review 1. Persiapan siklus Peer Review

c. Pendidikan Berkelanjutan (Continuing Education - CE)

Materi Pendidikan Berkelanjutan dipilih berdasarkan pada temuan yang didapatkan di lapangan dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan serta kepuasan klien. PERTEMUAN PEMANTAUAN SISTIM RUJUKAN

Kerjasama Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit Kabupaten / Kota Pada dasarnya apa yang akan ditingkatkan kinerjanya adalah sebuah sistem, sehingga harus dapat dimengerti apabila dalam peningkatan ini kerjasama lintas sektoral dan lintas program merupakan salah satu tumpuan yang diharapkan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut:

• Peningkatan frekuensi Pertemuan Pemantapan Sistem Rujukan antara Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan Rumah Sakit PONEK dan lintas sektor terkait serta LSOM untuk menyusun rencana kegiatan bersama untuk mengembangkan sistem pembinaan teknis kebidanan bagi Dokter / Bidan Puskesmas / Bidan di Desa berupa antara lain

(31)

pertemuan Audit Maternal dan Perinatal di wilayah Kabupaten/Kota, upaya pemenuhan kebutuhan darah di Kabupaten/Kota, kegiatan penyeliaan dan peer review.

• Laporan RS PONEK ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota yang meliputi jumlah persalinan, jumlah kasus dan komplikasi kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang dikelola, jumlah tindakan bedah Caesar, jumlah kematian ibu dan perinatal beserta penyebabnya.

POA GABUNGAN DI TINGKAT KABUPATEN

Diperlukan penjadwalan pertemuan untuk menyusun POA Gabungan, sebelum penyusunan POA masing-masing institusi, dalam upaya untuk menyamakan persepsi, tujuan dan pengambilan keputusan upaya peningkatan mutu program serta pelayanan kesehatan. Perlu dirancang dan disepakati juga jadwal waktu pertemuan, format dan cara pelaporan serta dukungan dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pertemuan secara berkala. Dan pada akhirnya POA Gabungan yang dihasilkan harus diusulkan didalam Perencanaan Terpadu Tingkat Kabupaten (IDP-Integrated District Planning) agar didapatkan perencanaan program kesehatan maternal dan neonatal yang berkesinambungan dalam bentuk kegiatan yang saling mendukung dalam bentuk program utuh terpadu di tingkat Kabupaten.

SUPERVISI FASILITATIF

Pada dasarnya, proses ini adalah kegiatan observasi dan evaluasi langsung oleh penyelia terhadap fasilitas kesehatan, kinerja tim medis dan hasil yang diperoleh. Jangankan untuk pusat pelayanan yang bermasalah, fasilitas kesehatan yang berprestasi sekalipun, juga mendapat kunjungan supervisi. Dengan ketentuan seperti ini, tidak akan terjadi perbedaan perlakuan diantara fasilitas kesehatan pelaksana Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif. Kondisi ini, tidak menyebabkan rasa rendah diri pada fasilitas kesehatan yang kurang berprestasi. Sebaliknya, juga tidak menimbulkan perasaan hebat pada mereka yang berprestasi.

Perbedaan supervisi fasilitatif dengan supervisi evaluatif, terletak pada para pelaku dalam proses lingkaran kegiatan observasi dan evaluasi (termasuk menjaga mutu). Dalam proses supervisi evaluatif, penyelia memegang peranan utama dalam evaluasi dan menjaga mutu pelayanan. Masukan dan rekomendasi penyelia menjadi beban pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pelaksana program dan staf klinik. Penilaian kinerja dan target output sangat tergantung dari penyelesaian pekerjaan yang ditentukan oleh penyelia.

Pada supervisi fasilitatif, proses observasi dan evaluasi dilakukan oleh tim medik dan staf klinik yang telah dilatih tentang menetapkan, menjalankan dan menilai mutu pelayanan. Penyelia datang sebagai fasilitator dalam kegiatan yang diperankan secara penuh oleh mereka yang ada di fasilitas kesehatan. Penyelia melakukan bimbingan terhadap setiap tahapan evaluasi dan upaya pemecahan masalah sehingga tim medik dan staf klinik (tim pemantau mutu setempat) dapat menentukan cara terbaik untuk mengatasi kesenjangan mutu yang terjadi. Rekomendasi dan jadwal supervisi ulangan, ditetapkan oleh tim lokal sehingga mereka tidak merasakan tugas tersebut sebagai beban yang harus diselesaikan. Tim menjaga mutu setempat selalu berupaya agar apa yang telah mereka sepakati, dapat dilaksanakan secara penuh dan sesuai target yang ditetapkan. Mereka dengan senang hati akan mengundang penyelia melihat kembali hasil pekerjaan tersebut dan mengkalkulasi hasil yang telah mereka capai.

Dengan kalimat yang sederhana, supervisi fasilitatif menyebabkan tim menjaga mutu setempat, sangat mengharapkan kunjungan penyelia untuk melihat hasil karya mereka. Hal ini berlawanan dengan supervisi evaluatif dimana tim menjaga mutu setempat, justru berupaya sedapat mungkin untuk tidak dikunjungi oleh penyelia. Ataupun jika penyelia

(32)

datang, bagaimana caranya agar hasil pelayanan terlihat (bukan terbukti) berkualitas baik dan waktu kunjungan dapat dipersingkat. Supervisi fasilitatif terbukti meningkatkan kerjasama antar elemen yang terkait.

Supervisi berjenjang dilakukan oleh:

• Dinas Kesehatan Propinsi ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas PONED • Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Puskesmas PONED dan non-PONED

Aspek yang di supervisi meliputi:

• Aspek Medis Teknis (Kebidanan dan Neonatal) oleh RS PONEK

Pembinaan aspek medis teknis yang dilakukan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan / keterampilan dan kepatuhan pelaksana pelayanan terhadap prosedur tetap.

Bimbingan medis teknis dapat berupa:

- Pembahasan kasus melalui Audit Maternal Perinatal

- Kunjungan berkala dokter spesialis kebidanan dan anak ke Puskesmas PONED untuk rujukan kasus dengan cara bedside teaching

- Pelatihan / penyegaran Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal

Pelatihan / penyegaran PONED dilakukan oleh pelatih dan instruktur klinik terkualifikasi JNPK-KR dengan menggunakan modul standard dan metode pelatihan berdasarkan kompetensi. Diharapkan setiap dokter spesialis kebidanan dan anak di RS PONEK Kabupaten/Kota telah memiliki kualifikasi minimal sebagai Pelatih Tingkat Lanjut terkualifikasi (Qualified Advanced Trainer) dan tergabung dalam Pusat Pelatihan Klinik Primer (P2KP) JNPK-KR. Dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, pelatih akan dibantu oleh beberapa instruktur klinik terkualifikasi (Qualified Clinical Instructor) untuk pengelolaan kasus sesuai dengan materi pelatihan.

- Bimbingan dalam pengelolaan kasus rujukan

Pada pengiriman kasus rujukan oleh Bidan dan Puskesmas ke RS PONEK terdapat kesempatan untuk mempelajari pengelolaan kasus secara nyata dengan bimbingan instruktur klinik / dokter spesialis

- Kegiatan magang di RS PONEK

Kegiatan magang di RS PONEK Kabupaten/Kota dilaksanakan secara bergilir dan berkesinambungan untuk mendapatkan jumlah kasus agar dapat dicapai kompetensi yang diharapkan dibawah pengawasan instruktur klinik JNPK-KR terkualifikasi - Supervisi Fasilitatif yang dilaksanakan untuk melakukan penilaian dan peningkatan

kinerja unit pelayanan dalam hal pengelolaan kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal serta memberikan bimbingan dan bantuan langsung untuk penyelesaian masalah di masing-masing tingkat pelayanan

• Aspek Administratif / Manajerial oleh Pengelola Program KIA Pembinaan aspek administratif meliputi:

- Kemitraan dengan pihak terkait dalam rangka penggerakan sasaran - Pencatatan dan pelaporan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi - Rujukan

- Jumlah kasus yang dirujuk dan dilayani oleh Puskesmas PONED - Jumlah kasus yang dilayani oleh RS PONEK

- Peningkatan peran serta masyarakat

- Perhitungan kebutuhan biaya, sarana, obat dan alat dll. - Pengaturan tenaga pelaksana kegiatan

Gambar

Gambar 1  Alur rujukan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal
Gambar 2  Alur koordinasi dan pelaporan  EVALUASI
Tabel 3.1  Kebutuhan minimal, peran dan fungsi tenaga pelayanan kesehatan maternal &amp;
Tabel 3.2  Kebutuhan minimal, peran dan fungsi tenaga pelayanan kesehatan maternal &amp;
+4

Referensi

Dokumen terkait

i. Jika Tim penilai merekomendasi studi lanjut maka tim penilai memberikan rekomendasi kepada pihak Program agar dosen yang bersangkutan difasilitasi dalam melakukan

Pemberian sanksi administratif yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah pemberian hukuman oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh kepada pemustaka

4.2.3 Perhitungan Daya Mekanis Kincir Angin Sebagai contoh perhitungan diambil dari tabel pengujian 4.1 pada pengujian kedua diperoleh kecepatan angin 8.3 m/s, putaran poros n

41 Kotler dan Amsrong, Prinsip-prinsip Pemasaran, hal. 42 Tjiptono, Manajemen Pemasaran , hal.. dapat diartikan sebagai suatu keadaan terbaik dalam batas-batas kondisi tertentu

592 103015921285 RURI FITRIYANI SMAN 1 GUNUNG TALANG Politeknik Negeri Padang-D4 TEKNOLOGI REKAYASA PERANGKAT

 Aktivitas enzim monooksigenase pada populasi nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang  Serotipe virus Dengue di Provinsi Aceh..  Variasi pengobatan

Permasalah yang akan diteliti dalam penulisan ini adalah membahas tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberontakan yang dilakukan oleh orang Cina yang ada di

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Tingkat banding mempelajari dengan seksama berkas perkara yang dimohonkan banding oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Berita