Nan Jauh di Mudik
Buruk Kelaku Budak
Manggala Ismanto
Herman Peudada
Ida Yanti
Made Asri Budisuari
dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis
Manggala Ismanto Herman Peudada
Ida Yanti Made Asri Budisuari
Editor
Made Asri Budisuari Desain Cover
Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected]
ISBN 978-602-1099-15-5 Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina : Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si
Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam
Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 POTRET KEHIDUPAN MASYARAKAT MELAYU JAMBI KASIRO
2.1. Mengenal Dekat Sarolangun dan Etnis Melayu Jambi 2.2. Desa Kasiro
2.2.1. Sejarah Desa Kasiro
2.2.2. Sejarah asal usul nenek moyang Orang Kasiro 2.3. Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial 2.3.1. Runding Tengganai
2.3.2. Sistem Perkawinan dan Kekerabatan 2.3.3. Menikah di Usia Muda
2.4. Tinggal dalam Umah Tinggi
2.5. Hidup dari Alam : Sistem Mata Pencaharian Warga Kasiro
2.5.1. Bertani, Berladang dan Berkebun 2.5.2.Menanam Parah
2.5.3. Beternak Kerbau 2.5.4. Kerja Balok 2.5.5. Mendulang Emas 2.6. Religi dan Kepercayaan 2.7. Mengato Melayu Jambi
2.8. Kesenian dan Permainan Rakyat
v vii x xi 1 9 9 17 22 26 29 30 35 47 52 57 57 66 67 73 75 82 85 86
3.1. Konsep Sehat Sakit
3.2. Penyakit Tidak Menular dalam Kacamata Masyarakat Desa Kasiro
3.2.1. Gangguan Jiwa 3.2.2. Hipertensi
3.3. Penyakit Menular dalam Kacamata Masyarakat Desa Kasiro
3.3.1. Penyakit kulit sabit bulan 3.3.2. Penyakit Kulit Ringas Binsai 3.3.3. Penyakit Diare (Bocor)
3.3.4. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 3.4. Kecelakaan dan Penyakit Akibat Dompeng 3.5. Pola Hidup Bersih dan Sehat
3.5.1. Sungai Batang Asai; Sumber Kehidupan di Desa Kasiro
3.5.2. Perilaku Merokok; Sudah Terjadi sejak Anak-anak 3.6. Gambaran Pelayanan Kesehatan di Desa Kasiro 3.7. Praktek bidan desa
3.8. Health Seeking Behaviour
BAB 4 KESEHATAN BALITA DI DESA KASIRO
4.1. Nilai Anak dalam Kacamata Masyarakat Desa Kasiro 4.2. Menjalankan Syarat Orang Tuo Lamo dalam kehamilan 4.2.1. Cerita tentang Gedang Buloh
4.2.2. Pantangan saat Ibu Mengandung 4.2.3. Memberi Tando ke Dukun bayi
4.2.4. Mandi Limau, Mandi Akar Riang, dan Telur Ayam 4.3. Menyambut Kehadiran Bayi
4.3.1. Dukun Bawah dan Dukun Atas 4.3.2. Menjelang Persalinan 89 93 93 95 100 100 101 103 106 107 110 110 115 121 128 133 145 145 149 149 152 155 157 167 169 175 178
4.4.1. Mandi Kayik 4.5. Pemberian ASI
4.6. Menjaga Bayi dari Gangguan Supranatural 4.7. Pola Pengasuhan Anak
4.8. Cukit Budak: Imunisasi pada Balita 4.9. Pengobatan Buruk Kelaku
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN INDEKS
GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH
189 192 195 197 204 217 223 227 229 235
Tabel 1.1. Pemeriksaan Ibu Hamil K1 & K4 Kabupaten
Sarolangon 2013
Tabel 1.2. Data KIA Desa Kasiro Januari- Juli 2014 Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah Desa, dan Jumlah
Penduduk Kabupaten Sarolangun Tahun 2012 Tabel 2.2. Data penduduk berdasarkan jenis kelamin
tahun 2013
Tabel 3.1. Data kunjungan rawat jalan poskosdes Kasiro Jan-Mei 2014 5 6 11 21 89
Gambar 2.1. Peta Kabupaten Sarolangun Gambar 2.2. Pemukiman Desa Kasiro Gambar 2.3. Sarana Transportasi Sungai Gambar 2.4. Kondisi Jalur Transportasi Darat
Gambar 2.5. Mempelai pengantin di malam pernikahan Gambar 2.6. pemberian pseko (pusaka) saat balik pagi Gambar 2.7. Pemberian uang dari tengganai untuk
pengantin
Gambar 2.8. Rumah tinggi di Desa Kasiro
Gambar 2.9. Kegiatan nyerayo mendirikan fondasi rumah Gambar 2.10. Menanam padi di sawah
Gambar 2.11. Menjemur padi Gambar 2.12. Lumbung padi
Gambar 2.13. Kebun palawija milik seorang warga Gambar 2.14. Kerbau yang merumput di pagi hari Gambar 2.15. Mendulang emas
Gambar 3.1. Mandi dan mencuci makanan di sungai Gambar 4.1. Memasak dodol untuk acara tujuh bulanan Gambar 4.2. Kelapa tua yang dimakan tupai
Gambar 4.3. Kelapa dan jeruk nipis sebagai syarat mandi limau
Gambar 4.4. Potongan jeruk nipis untuk mandi limau Gambar 4.5. Proses mandi limau di pinggir sungai Gambar 4.6. dukun kit yang dimiliki dukun bayi Gambar 4.7. Daun puding hitam
Gambar 4.8. Perlengkapan dalam ritual mandi kayik Gambar 4.9. Keramaian pada acara mandi kayik Gambar 4.10. Prosesi mandi kayik di sungai
10 18 19 20 35 40 45 53 54 40 63 64 65 68 80 112 156 159 160 161 164 172 177 183 184 185
Gambar 4.13. Gelang hitam di kaki bayi
Gambar 4.14. Gunting dan Al-quran pada buaian bayi Gambar 4.15. Kegiatan posyandu di Desa Kasiro Gambar 4.16. Pengobatan buruk kelaku
Gambar 4.17. Tanaman Jerangau Gambar 4.18. Habitat Jerangau
Gambar 4.19. Daun rambu sirah dan putih
193 195 201 206 207 208 209
BAB 1
PENDAHULUAN
Kesehatan dan kebudayaan merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan karena kesehatan dan kebudayaan tidak pernah lepas dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, ketika berbicara kesehatan manusia juga terdapat unsur kebudayaan di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Menurut Taylor (1871 dalam Bernard&Spencer, 2010) kebudayaan adalah kompleksitas yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat yang didalamnya terdapat pengetahuan, kepercayaan, seni, moral-moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan serta perilaku. Sementara itu, menurut WHO (1948 dalam Jakab, 2011), kesehatan adalah kondisi yang menyeluruh meliputi kesehatan jasmani, rohani, sosial dan tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
Hubungan antara kebudayaan dan kesehatan dalam sebuah masyarakat tidak bisa dipisahkan. Masyarakat yang hidup dalam pranata sosial dan budaya pada suatu wilayah tertentu juga memiliki adaptasi untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang mereka hadapi.Arianto (2001) menjelaskan bahwa dalam masyarakat, perilaku kesehatan seseorang sangatlah berhubungan dengan masalah pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya, terkait dengan etiologi, terapi, serta pencegahan penyakit (baik berupa fisik, psikis
maupun sosial). Dalam kajian Foster dan Anderson (1986) masyarakat juga bisa memiliki strategi adaptasi sosial-budaya dimana tingkah laku dan bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya muncul sebagai bentuk respon terhadap ancaman-ancaman yang disebabakan oleh penyakit. Hal ini juga dijelaskan oleh Dunn (1976 dalam Foster&Anderson, 1986) bahwa adanya “pola-pola dari pranata-pranata sosial dan tradisi-tradisi budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan.”
Salah satu etnik yang terdapat di Indonesia adalah Melayu-Jambi yang tersebar di beberapa wilayah di Sumatera, salah satunya di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Etnik Melayu-Jambi ini merupakan bagian dari sub Melayu yang ada di Indonesia. Etnik Melayu Jambi ini masih memegang erat adat istiadat mereka.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang dihasilkan dalam penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Kabupaten Sarolangun, menempati ranking 414 dari 440 kabupaten yang ada di Indonesia (Badan Litbangkes, 2007). Salah satu indikator IPKM tersebut berkaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak seperti cakupan antenatal care, perinatal care, kunjungan neonatus, kunjungan ibu nifas, persalinan ke tenaga kesehatan, dan status gizi bayi dan balita.
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kesehatan khususnya Kesehatan Ibu dan Anak. Salah satu upaya tersebut adalah dengan cara membangun fasilitas kesehatan di berbagai pelosok daerah di Kabupaten Sarolangun dan menempatkan tenaga kesehatan khususnya bidan di semua daerah termasuk daerah terpencil. Namun, upaya tersebut
belum bisa mengatasi permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak seperti masih rendahnya cakupan antenatal care (ANC), perinatal
care (PNC), dan persalinan ke tenaga kesehatan.
Untuk mengatasi masalah tersebut memerlukan pendekatan lain, salah satunya melalui pendekatan sosial budaya atau kemasyarakatan. Pendekatan sosial budaya tersebut salah satunya menggunakan pendekatan etnografi yang merupakan sebuah pendekatan dimana tujuan utamanya adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Tujuan tersebut menurut Malinowski (1922 dalam Spradley 1997) adalah memahami tentang sudut pandang penduduk asli mengenai hubungan mereka dengan kehidupan dan untuk memperoleh pandangan mereka mengenai dunianya.
Melalui pendekatan tersebut diharapkan mampu
mengungkapkan masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini permasalahan kesehatan di dalam masyarakat akan dikaji dengan kacamata bagaimana masyarakat memahami kesehatan tersebut dan juga mengatasi persoalan-persoalan serta hambatan dalam permasalahan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kesehatan yang terjadi dalam masyarakat yang terkait dengan konsep sehat sakit, pemahaman masyarakat mengenai Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Penyakit Menular (PM), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) health seeking behavior, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) khususnya berkaitan dengan perilaku merokok, dan sistem pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat.
Kesehatan ibu dan anak yang menjadi perhatian dalam penelitian ini memang merupakan fenomena yang tidak hanya harus dilihat dari segi medis saja, tetapi juga dari sisi budaya. Dalam pendekatan dalam antropologi telah dikemukakan bagaimana pendekatan biososiokultural digunakan untuk menerangkan fenomena kesehatan. Dalam pendekatan ini
kesehatan ibu dan anak, merupakan suatu proses yang mencangkup pemahaman mengenai “kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara-cara pencegahan bahaya, penggunaan ramu-ramuan... cara-cara menolong persalinan, dan... pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya” (Jordan, 1993 dalam Swasono 1998).
Penelitian ini dilakukan di Desa Kasiro, Kecamatan Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Pemilihan Desa Kasiro sebagai lokasi penelitian ditentukan berdasarkan informasi dan keputusan yang direkomendasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun, Puskesmas yang masih mempunyai banyak permasalahan kesehatan adalah Puskesmas Pekan Gedang yang terletak di Kecamatan Batang Asai. Berikut gambaran Puskesmas Batang Asai dalam Kesehatan Ibu dan Anak.
Tabel 1.1. Pemeriksaan Ibu Hamil K1 & K4 Kabupaten Sarolangon Tahun 2013
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun
Sementara itu, menurut informasi Kepala Puskesmas Batang Asai, desa yang menjadi wilayah kerja Puskesmas Batang Asai yang mempunyai banyak permasalahan kesehatan adalah Desa Kasiro baik PTM seperti gangguan jiwa, dan PM seperti diare. Sementara itu, menurutnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) juga belum diterapkan oleh masyarakat Desa Kasiro. Hal ini ditunjukan dengan hampir sebagian besar masyarakat Desa Kasiro tidak mempunyai jamban dan perilaku merokok yang sudah terjadi sejak anak-anak. Disamping itu permasalahan KIA juga menjadi bagian masalah kesehatan di Batang Asai, dan dalam hal ini Desa Kasiro.
Puskesmas Ibu hamil Jumlah K1 K4 Jumlah % Jumlah % Sarolangun 1142 1142 100,0 1141 99,9 Limbur tembesi 447 441 98,7 443 99,1 Pauh 510 495 97,1 481 94,3 Pelawan 697 690 99,0 678 97,3 Singkut 897 889 99,1 846 94,3 Mandiangin 494 490 99,2 485 98,2 Butang baru 280 272 97,1 273 97,5 Air hitam 236 233 98,7 233 98,7 Pematang kabau 352 339 96,3 335 95,2 Pulau pandan 280 281 100,4 268 95,7 Mersip 99 95 96,0 94 94,9 Lubuk resam 268 268 100,0 252 94,0 Pekan gedang 397 390 98,2 372 93,7
Tabel 1.2. Data KIA Desa Kasiro Januari- Juli 2014 Bulan Kunjungan bumil Persalinan tenaga kesehatan (%)
Kunjungan neonatal Kunjungan nifas K1 (%) K4 (%) KN1 (%) KN2 (%) KN3 (%) KNF1 (%) KNF2 (%) KNF3 (%) Jan 3,7 3,7 8,00 8,7 8,7 8,7 8,7 8,00 8,00 Feb 11,11 11,11 20,00 21,74 17,39 17,39 20,00 16,00 16,00 Mar 25,93 25,93 28,00 30,43 26,09 30,43 28,00 24,00 24,00 Apr 37,03 33,33 36,00 39,13 34,98 34,78 36,00 32,00 32,00 Mei 44,44 40,74 48,00 52,17 17,39 17,39 20,00 16,00 16,00 Jun 48,14 44,4 52,00 56,52 17,39 21,74 24,00 20,00 20,00 Juli 11,11 11,11 20,00 21,74 17,39 17,39 20,00 16,00 16,00 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun
Untuk menggali informasi tersebut, maka diperlukan suatu penelitian dengan menggunakan metode penelitian etnografi. Menurut LeCompte dan Schensul (1999; dalam Emzir, 2011:18), etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi dengan tujuan untuk mengungkapkan masalah kesehatan yang belum terpecahkan meskipun fasilitas dan tenaga kesehatan telah disediakan oleh pemerintah.
Metode penelitian etnografi berbeda dengan metode penelitian lainnya.Dalam metode penelitian etnografi peneliti secara langsung terjun ke lapangan mencari fenomena, informasi dari informan melalui observasi partisipatori (Ratna, 2010:88). Metode observasi partisipasi digunakan sebagai metode pengumpulan data, yaitu suatu metode di mana peneliti mengalami hidup bersama dengan objek penelitian dan menjadi bagian keluarga dari masyarakat di suatu etnik (Ratna, 2010:218). Terjun langsung ke masyarakat dan hidup bersama mereka mempunyai tujuan agar penelitian ini dapat menghasilkan informasi yang mendalam melalui observasi dan wawancara
mendalam. Oleh sebab itu, dalam penelitian tim peneliti tinggal bersama masyarakat selama kurang lebih 60 hari untuk mengamati kehidupan sosial budaya dan perilaku masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan.
Selain melakukan observasi, selama tinggal bersama dengan masyarakat, peneliti juga melakukan wawancara yang seringkali dilakukan secara informal agar informan dapat memberikan informasi dengan leluasa. Informan diperoleh melalui snowball
sampling, yaitu mencari informan kunci dari satu informan ke
informan lain sampai menemukan seorang informan yang dianggap mengetahui informasi terkait. Berhubung penelitian ini bertajuk kesehatan budaya maka informan yang dipilih adalah informan yang berkaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit Menular, dan budaya yang terdapat di Desa Kasiro. Informan tersebut berasal dari masyarakat di Desa Kasiro dan instansi terkait yang bertanggung jawab pada kesehatan Desa Kasiro seperti petugas kesehatan di Puskesmas Pekan Gedang dan Poskesdes Kasiro.
Selain menggunakan metode observasi partisipatori dan wawancara, penelitian ini juga menggunakan metode telaah dokumen pendukung yang terdapat di instansi terkait seperti data Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun, Puskesmas Pekan Gedang, dan Poskesdes Kasiro. Hal ini dilakukan sebagai proses triangulasi data sebagai metode validasi untuk mengurangi bias dalam perolehan data. Selain triangulasi data, sebagai validasi juga dilakukan triangulasi informan, yaitu mencari informasi dengan tema yang sama tetapi dengan informan yang berbeda baik berbeda dalam jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, kelas sosial, dan peran sosial. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pola yang terjadi dalam masyarakat.
Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dan telaah dokumen tersebut dicatat di dalam sebuah catatan harian.
Catatan harian tersebut merupakan ‘bank data’ dan manajemen data yang dimiliki oleh peneliti etnografi. Catatan harian tersebut dianalisis setiap hari setelah menulis untuk menganalisis fenomena yang terjadi setiap hari. Menurut Emzir (2011), seorang peneliti etnografi perlu menganalisis catatan-catatan lapangan untuk mengetahui apa yang akan dicari dalam periode berikutnya dalam observasi partisipasi. Sementara itu, Spradley (1980; dalam Emzir, 2011) mengungkapkan bahwa semua analisis etnografis akan melibatkan pencarian melalui catatan lapangan untuk menemukan pola-pola budaya.
Banyak metode yang digunakan untuk menganalisis data etnografi, namun pada umumnya metode analisis data etnografi yang seringkali digunakan adalah metode Spradley. Analisis merupakan pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk “menentukan bagiannya, hubungan di antara bagian-bagian, serta hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhannya” (Spradley 1997). Dalam analisis itu, data-data yang telah dikumpulkan dilapangan akan dikelompokkan sesuai dengan tema tertentu. Kemudian akan dilihat bagaimana hubungan antara bagian-bagian tema tersebut terkait dengan kebudayaan di masyarakat. Menurut Spradley (1997) strategi analisis tersebut merupakan upaya untuk mengungkapkan sistem makna budaya yang digunakan oleh masyarakat.
BAB 2
POTRET KEHIDUPAN MASYARAKAT
MELAYU JAMBI KASIRO
2.1. Mengenal Dekat Sarolangun dan Etnik Melayu Jambi
Sarolangun adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi jambi. Untuk menuju daerah Sarolangun jarak yang harus ditempuh adalah sejauh 179 km dari Ibukota Provinsi Jambi. Jarak yang cukup jauh tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat berupa jasa angkutan travel. Waktu yang diperlukan untuk mencapai Sarolangun dari kota Jambi adalah sekitar 5-6 jam.
Kawasan Sarolangun ini memiliki sejarah yang cukup panjang yaitu kurang lebih selama 20 tahun menjadi daerah kewedanan sebelum menjadi sebuah kabupaten. Bermula dari tahun 1950 sampai Jambi didirikan menjadi sebuah propinsi pada tahun 1957, Sarolangun telah menjadi daerah kewedanan. Sarolangun Bersama kota-kota yang lain, yaitu Bangko, Muaro Bungo dan Muara Tebo, merupakan bagian dari Kabupaten Merangin yang saat itu beribukota di Jambi (lalu ibukota bergeser ke Sungai Emas Bangko).
Kemudian pada tahun 1960, muncul keputusan dari sidang pleno yang diadakan oleh DPRD Kabupaten Merangin tentang pemisahan Kabupaten Merangin. Hasil keputusan yang disepakati tersebut menghasilkan pemecahan Kabupaten
Merangin menjadi Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Bungo Tebo. Saat itulah kewedanan Sarolangun memiliki basis hukum yang secara resmi diangkat menjadi bagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko dengan beribukota di Bangko (Profil Kabupaten Sarolangun 2012).
Gambar 2.1. Peta Kabupaten Sarolangun
Sumber: RPJMD 2011-2016 Kabupaten Sarolangun
Setelah itu, muncul kebijakan mengenai Pemekaran Kabupaten di Propinsi Jambi yang tercangkup dalam Keputusan DPRD Jambi Nomor 2/DPRD/99 tnggal 9 Juli 1999. Dalam kebijakan itu, Kabupaten di Propinsi Jambi dimekarkan menjadi 9 wilayah Kabupaten dan 1 Kota. Berdasarkan atas kebijakan inilah pada tanggal 12 Oktober 1999 Kabipaten Sarolangun telah diresmikan menjadi daerah otonom dengan Bupati dan Wakil
Bupati terpilih saat itu, yaitu H. Muhammad Madel dan Maryadi Syarif.
Sampai tahun 2012 Kabupaten Sarolangun terdiri dari beberapa daerah administratif, yaitu 10 kecamatan, 9 kelurahan serta 125 desa. Luas wilayah kabupaten ini mencangkup 6.174 km ², yang terdiri dari dataran rendah seluas 5.248 Km² serta dataran tinggi seluas 926 km². Menurut data pada tahun 2012, jumlah penduduk di kabupaten tersebut berjumlah 318.246 jiwa dengan kepadatan penduduk 40 jiwa/km², yang memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk sebanyak 3,32% pertahun (Profil Kabupaten Sarolangun 2012).
Tabel 2.1. Luas Wilayah, Jumlah Desa, dan Jumlah Penduduk Kabupaten Sarolangun Tahun 2012
Sumber: Profil Kabupaten Sarolangun 2012
Secara geografis daerah Kabupaten Sarolangun berada di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, Batang Limun, Batang Tembesi dan Batang Merangin. Kabupaten ini memiliki
Kecamatan Luas Wil.
(Km²) Penduduk Desa
Batang Asai 858 63.142 23 desa
Limun 799 39.805 16 desa
Sarolangun 319 1.862 10 desa 6 kel
Pelawan 330 23.182 14 desa
Singkut 173 22.348 12 desa 1 kel
Pauh 1.770 39.370 12 desa 1 kel
Mandiangin 636 33.490 27 desa dan 1
desa UPT
Air Hitam 471 18.415 9 desa
Bathin VIII 498 24.116 14 desa 1 kel Cermin Nan
Gedang
batas wilayah, antara lain: Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Merangin, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Rejang Lebong, dan Utara berbatasan dengan Kabupaten Batanghari. Sesuai dengan lambang daerah Sarolangun (berupa dasar warna hijau berbukit), kawasan ini memang dipenuhi dengan daerah perbukitan, yaitu Bukit Bulan, Bukit Tujuh, Bukit Rayo Perbukitan Btang Asai dan Cagar Alam Bukit Dua Belas. Tidak hanya perbukitan kabupaten ini juga memiliki lima sungai, yang juga tertera pada lambang daerah (berupa lima ruas jembatan lintas), yaitu Sungai Batang Asai, Batang Limun, Batang Air Hitam, Batang Merangin, dan Batang Tembesi (Profil Kabupaten Sarolangun 2012).
Sarolangun merupakan kabupaten yang secara hidrologi memiliki beberapa Daerah Aliran Sungai yang relatif luas. Sungai-sungai yang berada di daerah ini rata-rata memiliki lebar kurang lebih 50-100 m. Di kawasani ini dikenal dengan lima wilayah DAS, yaitu DAS Batang Tembesi, DAS merangin, DAS Batang Asai dan DAS Limun (Pokja PPSP Kabupaten Sarolangun, 2012). Dalam PPSP Kabupaten Sarolangun dipaparkan mengenai beberapa aliran sungai tersebut :
1. Batang Merangin berhulu di Danau Tujuh. Aliran sungainya melewati sungai Manau, Kota Bangko menuju Kabupaten Sarolangun. Di Sarolangun, sungai ini bermuara di Sungai Pelakar dan di Desa Batu Kucing, yang selanjutnya bermuara di Batang Tembesi.
2. Sungai Batang Tembesi memiliki hulu di Gunung Masurai (2.935 m), bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Dari Gunung tersebut sungai ini melewati daerah Jangkat, Muara Siau lalu menuju Perkotaan Sarolangun. Di Sarolangun Sungai ini lalu bermuara ke Sungai Sekamus, Kolang, Penarun, Selembau dan
Batang Limun. Setelah melewati daerah Sarolangun, sungai ini mengalir menuju Kabupaten Batang Hari.
3. Sungai Batang Asai berhulu di Gunung Gedang (2.447 m), pada kawasan Kecamatan Batang Asai. Sungai tersebut melewati dua kecamatan, yaitu Batang Asai dan Limun. Sungai ini juga bermuara ke beberapa sungai seperti Sungai Tangkui, Kinantan, Merandang, Melinai, Penetai, Pebaik, Perambil dan Belakang.
4. Sungai Batang Limun Bermuara ke Limun di Perkotaan Sarolangun kemudian ke B. Tembesi. Sungai ini bermuara di Sungai Batang Limun, Kutur, Mensau, Mengkadai, Singkut dan Jelapang.
Ketika tiba di Kabupaten Sarolangun, kita bisa melihat beberapa infrastrukur umum. Di daerah ini banyak terdapat taman kota, dan juga dibagian tengah jalan dihiasi dengan tanaman bunga. Dari sisi perekonomian, kegiatan ekonomi warga dapat dilihat dari pusat pasar yang ramai. Selain itu juga beragam jenis ruko terlihat banyak sekali berdiri di jalan utama kabupaten yang menjual beragam keperluan masyarakat. Beberapa ruko tersebut bahkan dimodifikasi pada bagian atasnya sebagai bangunan sarang walet. Selain itu , usaha-usaha jasa juga berkembang di Kabupaten Sarolangun ini yang dapat terlihat dari fasilitas penginapan dan hotel.
Di Kabupaten Sarolangun, yang termasuk dalam wilayah Jambi memiliki heterogenitas dalam hal etnik masyarakat yang hidup di dalamnya. Masyarakat disini terbentuk dari perpaduan berbagai kelompok etnik. Beberapa kelompok etnik tersebut antara lain etnik bangsa Kerinci, Bajau, Bathin, Etnik Anak Dalam, Bathin, Orang Penghulu, Etnik Pindah dan Orang Melayu. Tidak hanya masyarakat setempat, di daerah ini juga hadir masyarakat pendatang yang berasal dari Palembang, Minangkabau, Jawa, Bugis, Banjar, Batak. Di dalam kawasan ini hadir falsafah atau
nilai hidup yang muncul dalam istilah setempat, yaitu “Adat Bersendikan Syarat, Syarat Bersendikan Kitabullah”. Falsafah ini memiliki pengertian bahwa hukum adat yang berlaku adalah adat yang bersendikan pada hukum Islam (Profil Kabupaten Sarolangun, 2012).
Di dalam buku ini kami akan memfokuskan pada kajian mengenai kebudayaan masyarakat Melayu (Jambi) dalam kaitannya terhadap kesehatan masyarakat, yang lebih dikerucutkan pada aspek budaya pada kesehatan ibu dan anak. Para ahli Antropologi mencoba mengkategorisasikan ras Melayu menjadi dua bagian, yaitu Melayu Muda (Deutro) dan Melayu Tua (Proto). Karakteristik dari ras Melayu tua ialah etnik bangsa yang kebudayaannya sangat sedikit bercampur dengna kebudayaan asing. Disisi lain, ciri dari ras Melayu Muda ialah etnik bangsa yang kebudayaannya sudah agak bercampur dengan kebudayaan lainnya, seperti ajaran Hindu, Islam, dan lainnya. Menurut kajian Depdikbud (1977/1978), etnik-etnik di daerah Jambi yang masuk dalam kategori ras Proto-Melayu adalah etnik Bajau, Kerinci dan orang Batin, sedangkan yang masuk dalam kategori ras Deutro-Melayu adalah Melayu Jambi, Orang Penghulu dan Etnik Pindah.
Dalam sejarahnya, etnik Melayu tidak bisa dipisahkan dari perjalanan berdirinya Kerajaan Melayu yang merupakan asal usul dari daerah Jambi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya Melayu hampir sebagian besar atau bahkan keseluruhan unsurnya berasal dan dikembangkan dalam kerajaan-kerajaan Melayu yang bertahan hingga tahun 1940-an di kawasan Sumatera Timur dan Riau Kepulauan. Lebih khususnya lagi, budaya Melayu sering dikaitkan dengan kebesaran kerajaan-kerjaan Melayu, yaitu kerajaan Melayu di Malaka dengan tokohnya, Hang Tuah (Ahimsa-Putra, 2007).
Kajian mengenai kerajaan Melayu (Jambi) bisa ditelisik dari catatan perjalanan bangsa Cina ke Indonesia, terutama saat mereka menginjakkan kaki ke Pulau Sumatera. Informasi tentang kerajaan Melayu jambi ini memang dianggap sangatlah kurang dan masih sangat tergantung pada catatan sejarah Cina. Dalam catatan sejarah Cina tersebut, istilah “Melayu” mengacu kepada orang-orang di bagian Selatan Sumatera yang pernah mengirim utusan ke China di tahun 644 (Chatib et.al, 2011).
Selain itu, seorang pengembara China, bernama I-Tsing, pernah mengunjungi bagian Selatan Sumatera sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 671 dan dari tahun 689-695 dan mengatakan dia pernah mengunjungi “Melayu”. Menurut pemaparan I-Tsing, dalam kunjungan pertama di tahun 671 itu dia menghabiskan waktu sekitar enam bulan di suatu tempat yang ia sebut sebagai
Shilifoshi. Kemudian, dia juga pernah mengunjungi tempat
bernama Mo-lo-yu (“Melayu”) selama dua bulan. Lalu pada kunjungan kedua (689-695), “negeri Melayu” yang dikunjunginya telah menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya (Shilifoshi). Kerajaan Sriwijaya inilah yang dianggap oleh I-Tsing sebagai pusat pembelajaran agama Budha (Chatib et.al, 2011: 27).
Mengacu dari catatan perjalanan tersebut, Schnither (1939 dalam Chatib et.al , 2011) menduga bahwa “negeri Melayu” yang sempat dikunjungi oleh I-Tsing terletak di Muara Jambi. Hal tersebut juga mengacu pada penyebutan kata “Melayu” di abad ke-7 yang merujuk pada nama dari pelabuhan dagang terpenting di Muara Jambi yang lokasinya terletak di Sungai Batang Hari (Zain , 2002 dalam Wee, 2005). Dari situ dapat diperkirakan bahwa Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri pada tahun 644/645, dimana kerjaan tersebut 25 tahun lebih dulu berdiri dibanding dengan Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada tahun 670 (Chatib et.al, 2011).
Kedua kerajaan di Sumatera, yaitu antara Melayu (Jambi) dan Sriwijaya memang dianggap memiliki kaitan yang erat. Casparis (dalam Chatib et.al, 2011) menyatakan bahwa Sriwijaya dan Melayu adalah dua nama yang berbeda, tetapi dari kerajaan yang sama atau tingkat kesejarahannya yang berbeda. Melayu tersebut berkembang dalam dua tahapan. Tahap pertama, bersamaan dengan masa Sriwijaya, Melayu I berkembang sebelum tahun 689 sampai akhir abad ke-11 dan Melayu II berkembang dari awal abad ke-12 sampai tahn 1400. Casparis berpendapat hubungan antara Sriwijaya dan Melayu merupakan kontinuitas dari pada persaingan. Bisa dikatakan pula bahwa antara Sriwijaya dan Melayu II tidak identik tetapi saling melengkapi dan melanjutkan.
Salah satu perkembangan kebudayaan Melayu juga terdapat di kawasan Jambi dimana struktur pemerintahannya masih berbentuk Kerajaan Islam yang disebut Kerajaan Melayu II pada tahun 1460-1907.Awal mula kerajaan ini bermula dari wafatnya seorang raja bernama Tun Telanai. Kemudian kerajaan tersebut beberapa lama tidak memiliki pemimpin sampai datang seorang putri yang dikisahkan berasal dari kerajaan bernama Pagaruyung. Kisah tersebut tertuang dalam naskah kuno yang menyebutkan bahwa,
“Dan tatkala mati Tun Telanai, ini Jambi tidak beraja lagi, maka turun anak raja Pagaruyung ke Jambi,...[ber]nama Tuan Putri Selaras Pinang Masak...menjadi raja di tanah Jambi yang bernegri di Ujung [Tanjung] Jabung, nikah dengan Datuk Paduka Berhala, anak raja dari Setambul menjadi raja,...dapat anak empat orang... Orang Kayo Pingai,... Orang Kayo Kedataran,...Orang Kayo Hitam,...Orang Kayo Gemuk. (Naskah “Ini Sajarah Kerajaan Jambi” dalam Chatib et.al 2011).
Pada masa kerajaan tersebut simbol kekuasaan bagi para raja-raja tertuang pada senjata utama berupa “Keris Siginjai”. Keris inilah yang yang menjadi perlambang bagi para pemegang kekuasaan Kerajaan Melayu Jambi. Cerita mengenaiKeris ini bermula pada anak dari raja Jambi bernama Orang Kayo Hitam yang datang ke Ratu Mataram. Kepada Ratu Mataram dia melakukan perundingan yang berisi bahwa dia menolak rakyat Jambi untuk memberikan upeti kepada kerajaan Mataram. Mendengar permintaan itu, Ratu Mataram memerintahkan untuk mengambil sebilah keris dan sebatang tombak kepada perdana menterinya dan menyerahkan kepada Tumenggung Beraja Karti. Orang Kayo hitam awalnya kagum dengan keris tersebut dan baru menyadari bahwa keris itu dipersiapkan untuk membunuhnya. Sontak, Orang Kayo Hitam merebut keris dan membunuh Tumenggung Beraja Karti. Ratu Mataram pun mengakui kehebatan Orang Kayo Hitam, dan memenuhi permintaan untuk menghapus upeti dari Jambi (Naskah “Ini Sajarah Kerajaan Jambi” dalam Chatib et.al 2011).
Kerajaan Melayu dalam perkembangannya memiliki peran yang cukup penting dalam perlawanan melawan kolonial Belanda di kawasan Jambi. Puncak perlawanan terhadap Belanda ini terjadi pada periode kekuasaan Sultan Thaha yaitu pada tahun 1856-1904.Dalam sebuah pertempuran di tahun 1904 bernama Betung Berdarah, Sultan Thaha wafat dan Keris simbol kekuasaan dibawa oleh Belanda. Pemerintah Belanda saat itu menyadari bahwa Sultan Thaha adalah pemimpin Jambi yang paling disegani dan mengancam ambisi Belanda untuk menguasai Jambi (Chatib et.al 2011).
2.2. Desa Kasiro
Desa Kasiro merupakan salah satu dari 23 desa dalam wilayah administratif kecamatan Batang Asai, Kabupaten
Sarolangun. Desa ini berlokasi di tepi sungai Batang Asai yang berjarak sekitar 100 km dari ibukota kabupaten. Untuk menuju desa ini dari Kabupaten, ada dua jalur perjalanan yang bisa digunakan.
Gambar 2.2. Pemukiman Desa Kasiro Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Jalur pertama adalah menggunakan sarana angkutan sungai. Untuk menuju pelabuhan transportasi sungai bernama
kretek, dari ibukota kabupaten digunakan sarana transportasi
umum dengan biaya perjalanan Rp 25.000,00 per penumpang yaitu, berupa mobil berjenis carry kap terbuka dengan tambahan desain atap. Angkutan umum dari terminal Pasar Atas Sarolangun ini nantinya akan menempuh perjalanan selama 1,5 jam menuju daerah bernama Berau, yaitu pelabuhan untuk tranportasi sungai. Di daerah Berau sudah menunggu angkutan sungai yang menanti penumpang. Perahu bernama Kretek dengan panjang
sekitar 6-7 meter ini bisa menampung kurang lebih 8 penumpang. Untuk menuju Desa Kasiro, perjalanan melewati sungai Batang Asai akan dilalui selama kurang lebih 3-4 jam dengan biaya perjalanan Rp. 65.000,00.
Gambar 2.3. Sarana Transportasi Sungai Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Jalur kedua adalah dengan menggunakan jalur darat menuju kecamatan Batang Asai. Jalur darat menuju kawasan Batang Asai terkenal memiliki medan yang sulit. Hal ini dikarenakan jalan yang dilalui oleh mobil adalah jalan yang memiliki struktur tanah dan bebatuan. Kemulusan perjalanan mobil melalui jalur darat ini sangat bergantung pada kondisi cuaca. Ketika jalan ini terguyur hujan, maka perjalanan akan terhambat dengan kondisi permukaan jalan yang berubah menjadi tanah berlumpur. Bahkan kemungkinan terburuk, mobil bisa terjerembab di lumpur dan perjalanan harus dihentikan sampai meminta bantuan mobil dengan tenaga gardan memberi bantuan untuk menarik mobil dari lumpur. Jika saat musim
kemarau, kondisi jalan tanah tersebut strukturnya mengeras dan lebih mudah dilewati oleh mobil. Saat kondisi jalan baik seperti itu, perjalanan menuju batang asai bisa ditempuh dengan waktu sekitar 6-7 jam dengan biaya sebesar Rp 50.000 menggunakan mobil travel.
Gambar 2.4.
Kondisi Jalur Transportasi Darat Sumber : Dokumentasi Tim Peneliti
Desa ini memiliki batas-batas daerah dengan kawasan di sekitarnya. Desa ini berbatasan dengan Desa Kasiro Ilir pada bagian Utara. Pada bagian Timur berbatasan dengan sungai batang asai. Bagian Barat dari desa ini berbatasan dengan perbukitan Bukit Rayo. Kemudian pada bagian Selatan Desa Kasiro berbatasan dengan Desa Padang Jering.
Desa Kasiro ini dikelilingi dengan perbukitan serta sawah dan juga kebun-kebun warga. Desa ini diapit beberapa perbukitan, antara lain bernama Bukit Raya, Bukit Selasih, serta Bukit Perayun. Persawahan biasanya terletak di bagian pinggir sungai Batang Asai. Sedangkan kebun karet yang merupakan
salah satu mata pencaharian utama warga terletak di kaki-kaki bukit. Kebun-kebun palawija tersebar di beberapa bagian desa yang biasa dapat dilihat di depan atau belakang halaman rumah, ataupun dipinggir sawah.
Tabel 2.2. Data Penduduk Desa Kasiro Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2013
Sumber: Data Penduduk Poskesdes
Awalnya Desa Kasiro memiliki kawasan adminstrasi sebanyak 7 dusun. Namun, pada tahun 2000-an dua dusun lain dimekarkan menjadi desa sendiri menjadi Desa Bukit Sulah dan Desa Datuk Nan Duo. Setelah pemekaran tersebut, saat ini Desa Kasiro terbagi dalam 5 dusun yang bernama Dusun Tinggi, Dusun Baru, Dusun Muara Kebunut, Dusun Gerabak benteng, serta Dusun Tamsu. Menurut data demografi tahun 2013 dari Poskosdes, jumlah Kepala Keluarga (KK) di desa ini mencapai 321, dengan jumlah penduduk sebanyak 1159 jiwa.
Sebagai desa yang terletak jauh dari pusat kota, beberapa kekurangan infrastruktur terdapat di desa ini. Salah satu yang utama adalah sulitnya akses transportasi menuju desa ini yang harus melewati jalan darat dengan kondisi rusak maupun jalur sungai yang memiliki risiko tinggi. Selain itu, masalah infrastruktur listrik menjadi kendala di desa ini. Masyarakat masih secara swadaya menggunakan genset pribadi untuk memenuhi kebutuhan listrik di rumah-rumah. Baru beberapa bulan, sudah mulai diperkenalkan pembangkit listrik tenaga diesel yang dikelola oleh swasta bagi beberapa rumah tangga yang memiliki kemampuan ekonomi membayar biaya bulanan.
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Perempuan 858
2 Laki-laki 799
Fasilitas air bersih juga masih merupakan salah satu kendala. Meskipun sudah dibangun fasilitas air bersih dari program CWSHP, baru dua dusun yang bisa menikmati air bersih. Sedangkan tiga dusun lainnya belum bisa memanfaatkan air bersih dan masih menggunakan air sungai dan sumur untuk kebutuhan mereka.
Meskipun ada kekurangan dari beberapa infrastruktur, desa ini memiliki fasilitas umum, seperti fasilitas pendidikan, ibadah, maupun olahraga. Dari fasilitas pendidikan, desa ini mempunyai bangunan sekolah dari tingkat TK, SD, SMP, sampai dengan SMK. Fasilitas ibadah juga didirikan di setiap dusun berupa musholla dan juga masjid di pusat desa. Lapangan olahraga terletak di dekat gedung TK, diantaranya merupakan lapangan sepak bola, lapangan volley dan juga lapangan sepak takraw.
2.2.1. Sejarah Desa Kasiro
Sejarah nama Kasiro berasal dari nama anak sungai yang melintasi kawasan desa tersebut. Nama desa itu diambil dari nama anak sungai (batang) yang bernama Kasiro. Menurut pemaparan tokoh masyarakat bernama Pak DH, nama Kasiro itu awalnya berasal dari penamaan yang diberikan oleh penelusur sungai Batang Asai yang berasal dari kerajaan Mataram. Senada dengan hal itu, menurut pemaparan Hardiyanto (2010), kerajaan Mataram di Pulau Jawa sempat mengalami kemunduran dan ketidakstabilan kepempimpinan saat Raja pertamanya bernama Wangsa Sangjaya wafat. Pengaruh dari ketidakstabilan kerajaan tersebut, banyak para panglima atau hulubalang yang meninggalkan kerajaan dan mencari daerah baru. Diantara mereka ada tiga orang hulubalang bersaudara yang meninggalkan kerajaan untuk berlayar dan mengarungi lautan menuju Pulau Sumatera dan singgah di Muaro Jambi. Dari Muaro
Jambi ini orang dari kerajaan Mataram menelusuri beberapa aliran sungai di Jambi.
Tokoh masyarakat Desa Kasiro mengisahkan bahwa ada rombongan dari Kerajaan Mataram yang juga menyusuri Sungai Batang Asai, yang dahulu lebih dikenal dengan sebutan Sungai Rotan. Selama berhari-hari sampai berbulan-bulan, penelusur tersebut menyusuri sungai dan berhenti pada sebuah pulau di dekat anak sungai, tepatnya di muara sungai. Mereka kemudian mendirikan pondok untuk beristirahat di pinggir sungai tersebut. Dari pinggir sungai itulah, mereka bisa melihat salah satu anak sungai. Para penelusur sungai tersebut mengatakan ketika menikmati makanan didepan anak sungai tersebut terasa sangat nikmat.
“Nyaliro kata mereka, kalau kata orang sini Nyliro itu suasana makan yang enak, Nyliro nian makan. Mereka makan di pinggir sungai dan kata mereka nyliro. Itu makanya orang kasih nama Nyaliro. Terus nama itu berubah menjadi Kasiro.”
Pola perkampungan di daerah Batang Asai, termasuk di Desa Kasiro awalnya dinamai dengan istilah Marga yang baru berganti menjadi desa pada tahun 1979. Marga ialah kesatuan masyarakat hukum adat yang berdasarkan tempat tinggal, yang merupakan penggabungan dari beberapa dusun dan merupakan wilayah persekutuan adat. Seperti tercantum dalam Inlandsche
Gemente Ordonantie Buiten gewesten istilah Marga dapat
disejajarkan dengan istilah Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli dan Gelarong di Sulawesi Selatan. Yaitu suatu kesatuan hukum dalam masyarakat yang mengacu dan didasarkan pada kesatuan teritorial. Marga tersebut akan dikepalai oleh seorang Pasirah yang dipilih berdasarkan dari penduduk dusun yang berada dalam lingkungan marga tersebut. Pasirah Kepala Marga bertugas menjalankan Pemerintahan
Marga sebagai Kepala Adat di Marga dan memiliki tugas untuk menyelesaikan perkara-perkara adat di kawasan kekuasaannya (Depdikbud 1977/1978).
Namun Kepemimpinan Pasirah pada tahun 1979, pasirah mulai diganti dengan desa dengan dibentuknya Undang-Undang No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sistem kepemimpinan berdasarkan adat mulai diformalkan dengan munculnya sistem kesatuan masyarakat yang disebut desa. Dalam pasal satu Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
Seperti yang dijelaskan diatas, pola administrasi perkampungan yang dipimpin oleh Pasirah juga sempat dialami oleh masyarakat di Desa Kasiro. Dahulu kala, pemimpin berstatus Pasirah yang memiliki daerah kekuasaan di kawasan Batang Asai ini mencangkup tiga marga, yaitu Marga Batang Asai, Marga Muara Talang, dan Marga Sungai Pinang. Masing-masing marga tersebut dikepalai oleh seorang pasirah. Menurut pemaparan seorang tokoh masyarakat Desa Kasiro, pada masa kepemimpinan Pasirah, total desa pada tiga marga tersebut mencapai 40 kampung, dengan rincian 20 kampung di Batang Asai, 10 kampungdi Muara Talang, dan 10 kampung di Sungai Pinang. Dia menyebutkan tiga orang Pasirah yang sempat menjabat yaitu, Haji Yunus, Haji Bakar, dan H Bukhari. Menurut tokoh masyarakat , Pak DH, satu periode kepemimpinan pasirah berlangsung selama kurang lebih 8 tahun, namun terkadang ada juga pasirah yang memimpin lebih lama daripada itu.Pada saat masa pasirah yang diperkirakan mulai berlangsung pada masa
penjajahan belanda. Sebagai pasirah mendapat pajak bumi dari wilayah yang dikepalainya. “Dulu pasirah bisa dapat ratusan ton[karet], kepala camat dapat dari pasirah juga,” sahut Pak DH.
Dahulu desa ini menjadi pusat pemerintahan dari Pasirah. Hal ini terlihat dari peninggalan bangunan tua untuk kantor pasirah yang didirikan oleh Belanda. Selain sebagai pusat pemerintahan, desa ini cukup ramai dan menjadi pusat kegiatan ekonomi. Beberapa warga selalu mengingat bahwa banyak sekali warga yang membuka warung di desa ini. “Dulu banyak sekali warung disini. Dibawah-bawah rumah panggung itu hampir warung semua. Ini rumah saya dulu juga warung, dulu bapak saya buka warung makan, bahkan ada yang dikontrakkan untuk orang lain ruangnya”, sahut warga bernama Ibu Y.
Namun, sekitar tahun 1970-an desa Kasiro tidak lagi menjadi pusat pemerintahan pasirah karena sistem pasirah sudah dihapuskan. Meskipun demikian, sempat ada tawaran dari pemerintah setempat agar Kecamatan didirikan di Desa Kasiro. Pemerintah menjelaskan kepada warga bahwa pemerintah memerlukan tanah di desa Kasiro untuk mendirikan kantor kecamatan serta pasar. Tetapi permintaan itu tidak diberikan oleh orang-orang tua di desa Kasiro dengan beragam pertimbangan. Menurut keturunan dari tetua desa, orang-orang tua saat itu tidak ingin memberikan tanah desa karena dianggap akses mereka terhadap tanah tersebut akan terbatas, seperti membuat rumah atau kebun. Menurut penuturan beberapa warga, setelah Desa Kasiro tidak menjadi pusat pemerintahan lagi banyak sekali warga yang mulai merantau ke luar daerah seperti ke Sarolangun ataupun Jambi. Para perantau ini baru akan kembali ke kampung halamannya ketika hari raya lebaran tiba. Seorang keturunan dari tetua desa, Pak DH, menceritakan bagaimana neneknya menolak ketika ada tawaran dari
pemerintah untuk menjadikan Desa Kasiro sebagai pusat kecamatan,
“Itu masih nenek saya juga yang memutuskan, saya ada dosa juga. Mereka yang dipikirkan dirinya sendiri, bagaimana katanya mau bangun rumah mau tanam tanaman. Mereka tidak mau tanahnya digunakan untuk kecamatan, padahal rugi sekali, sekarang lihat anak-anak pergi merantau ke Jambi, ke Sarolangun.”
2.2.2. Sejarah asal usul nenek moyangOrang Kasiro
Kisah-kisah mengenai asal-usul nenek moyang dari Desa Kasiro hanya beberapa orang yang mengetahuinya. Salah satunya adalah orang yang sudah dituakan bernama Nyai J yang sudah berumur 105 tahun. Dia sempat menceritakan asal-usul tersebut dengan ingatan yang dimilikinya, namun hanya terbatas pada cerita mengenai tiga orang yang menjadi asal muasal penduduk desa. Kemudian, anaknya yang sekarang menjadi salah satu tokoh masyarakat desa masih memiliki ingatan tentang cerita orang tuanya.
Anak laki-laki Nyai J bernama Pak DH, salah satu orang yang masih mengingat cukup jelas bagaimana cerita cikal bakal penduduk Desa Kasiro. Dia menceritakan bahwa dahulu kala di kampung ini hanya ada satu orang perempuan (betino), yang merupakan titisan orang dewo (orang yang mempunyai kekuatan mistis). Sebagai orang dewo, perempuan tersebut masih berhubungan dengar roh-roh halus dan bersahabat dengan binatang-binatang buas penghuni hutan, seperti harimau. “Itu hantu kayik [hantu air], tahu hantu kayik, itu sering bermain dan datang ke rumahnya,” sahut tokoh masyarakat tersebut. Perempuan itu berasal dari salah satu Gunung di bagian Selatan
kampung yang bernama Gunung Bungkuk dan mendirikan memiliki rumah dari kayu disana.
Kemudian datanglah seorang laki-laki pendekar yang memiliki ilmu tinggi (jago) menghampiri perempuan yang tinggal di Gunung Bungkuk tersebut. Lelaki pengelana itu berasal dari daerah Lidung, daerah bagian hilir dari Sarolangun. Dia datang ke daerah Kasiro ini dan bertemu dengan perempuan ini. Laki-laki itu meminang si perempuan dan kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah.
Selang beberapa waktu setelah mereka menikah, ketika si suami perempuan ini pergi meninggalkan rumah datanglah seorang laki-laki pendekar lain ke Kasiro. Laki-laki jago tersebut datang dari daerah bernama Sungai Tenang, yang terletak di kawasan Jangkat Hulu. Ketika datang, Pendekar itu memamerkan kekuatan kepada si istri yang baru ditinggal oleh suaminya. Untuk menunjukkan kesaktiannya, pendekar dari Sungai Tenang itu mencabut dengan mudah pohon enau yang ada di dekat rumah dan menanamnya. Kemudian pendekar tersebut tanpa meninggalkan nama ataupun jejak kemudian pergi menghilang. Berikut penuturan tokoh masyarakat tentang datangnya pendekar kedua,
“Jago [pendekar] itu datang asalnya dari Sungai Tenang,
namanya saja jago, dia mencabut batang pohon enau, dan menanamnya di depan rumah si perempuan. Laki-laki itu setelah menanam pohon dia pergi. Siapa coba yang bisa mencabut pohon enau?, kalau bukan orang jago [pendekar] yang punya kesaktian”
Sewaktu suami perempuan itu kembali ke rumah, dia heran tentang keberadaan sebuah pohon enau besar tepat di depan rumahnya. Dia bertanya kepada sang istri mengenai siapa yang datang dan menanam pohon enau di depan rumah. Istri tersebut yang juga bingung dan tidak mengerti menjelaskan
bahwa dia tidak tahu siapa yang datang. Dia hanya tahu ada seorang laki-laki berbadan besar yang datang di luar rumah dan langsung menanam pohon enau.
Suami tersebut berpikir mengapa tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang memamerkan kesaktian kepada dia dan istrinya. Apakah memang ada niat lain atau hanya ingin menunjukkan kekuatan saja. Sang suami mulai memahami bahwa pendekar yang datang tersebut sepertinya ingin mengambil istrinya. “Laki-laki yang datang itu hendak ambil bini, gurindam di dalam hati pasti ada, nggak mungkin tiba-tiba datang mencabut enau,” papar tokoh masyarakat Kasiro.
Mengerti bahwa kekuatan pendekar laki-laki itu melebihi dirinya,sang suami memutuskan untuk pergi. Dia menganggap bahwa kemungkinan besar kalaupun harus bertanding kesaktian, suami tersebut pasti akan tetap kalah. Kemudian suami itu mengambil kain dan berkemas pergi meninggalkan rumah. Tetapi meskipun sang suami itu terkesan mengalah, dia juga tetap menunjukkan bahwa dia adalah pendekar dan memiliki kesaktian. “Saat menyeberang sungai Kasiro dia meninggalkan jejak bahwa dia melewati sungai dengan satu langkah saja,” sahut Pak DH.
Kemudian setelah suami itu pergi, pendekar kedua datang lagi ke Kasiro, dan menikah dengan perempuan tersebut. Istri itu, selain memiliki anak dari suami pertama, ternyata juga memiliki anak dari suami yang kedua. Kemudian setelah sekian lama, anak-anak tersebut tumbuh besar. Suatu saat, kedua anak dari dua suami yang berbeda itu bertemu dan ingin menikah. Saat pernikahan kedua anak mereka inilah, dua pendekar laki-laki itu untuk pertama kalinya bertemu. Mereka menganggap masalah yang telah lalu itu telah selesai. Dan mereka bertiga, satu orang perempuan dan dua orang laki-laki tersebut menjadi nenek moyang dari orang-orang yang tinggal di Desa Kasiro.
Orang Kasiro sering menyebut mereka berasal dari tiga orang nenek. Sampai sekarang anak dari suami pertama dikenal sebagai keturunan dari rumah gedang. Sedangkan anak dari suami yang kedua dinamakan keturunan dari empat nenek. Terkait dengan rumah gedang, di Desa Kasiro dulu memang sempat dibangun rumah gedang, selain rumah yang kecil-kecil. Rumah itu dibikin untuk rumah pertemuan, seluruh orang bisa berkumpul.
2.3. Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial
Organisasi sosial merupakan salah satu bagian dari unsur kebudayaan ada terdapat dalam sebuah masyarakat. Dalam organisasi sosial terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat (2011) menjelaskan bahwa dalam tiap masyarakat, kehidupan masyarakat di dalamnya diorganisasi atau diatur oleh aturan-aturan atau adat istiadat mengenai berbagai macam kesatuan tertentu. organisasi sosial merupakan bagian integral dari sebuah masyarakat dimana, aturan-aturan dan norma-norma dibuat oleh struktur yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Dalam masyarakat Desa Kasiro, organisasi sosial yang masih berlaku dan masih diyakini fungsinya sebagai pengontrol sosial adalah struktur kepempimpinan berjenjang dari pihak laki-laki. Struktur tersebut antara lain Tengganai, Tuo Tengganai, dan
Ninik Mamak. Struktur inilah yang masih menjadi pedoman
dalam mengatur kehidupan di masyarakat Desa Kasiro, terkait antara lain dengan perkawinan, adat, serta mata pencaharian. Di dalam bagian sub bab ini juga akan dipaparkan bagaimana sistem perkawinan adat yang masih berlangsung pada masyarakat Desa Kasiro.
2.3.1. Runding Tengganai
Sistem kemasyarakatan di dalam masyarakat Desa Kasiro mengacu pada budaya yang terdapat dalam etnik Minang. Hal ini secara historis bisa dilacak ketika Bukit Tinggi pernah menjadi Ibukota dari Keresidenan Jambi. Pada tahun 1957 Jambi merupakan salah satu keresidenan dalam lingkungan wilayah Provinsi Sumatera Tengah dengan ibukota Bukit Tinggi (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. Jambi 2007). Adanya kedekatan daerah administrasi antara Jambi dan Minang bisa mempengaruhi adat di Jambi. Selain itu, kontak budaya antara masyarakat minang di masyarakat wilayah Sumatera lain juga cukup dekat yang bisa dilihat dari sensus tahun 1930 dimana sebanyak 211.000 orang Minangkabau sudah tinggal di luar kampung mereka yang tersebar di Jambi (58.000), Riau (51.000), Sumatera Timur (51.000) dan Malaya (14.000) (Reid, 2011). Masyarakat Desa Kasiro juga mempercayai bahwa mereka memiliki keturunan dari daerah Minang.
Bisa dikatakan bahwa kebudayaan Minangkabau banyak memberikan pengaruh kepada daerah Jambi. Pengaruh budaya tersebut bisa dilihat dari bunyi pepatah yang terkenal di kawasan Jambi, yaitu: “Adat dari Minangkabau Teliti Mudik dari Jambi”. Pepatah itu memiliki pengertian bahwa adat mengacu pada kebudayaan, dan teliti adalah hukum atau peraturan-peraturan (Depdikbud 1977/1978). Jadi hukum atau peraturan-peraturan yang ada di Jambi berakar dari kebudayaan Minangkabau. Kepercayaan ini juga diperkuat dengan penjelasan seorang tokoh masyarakat Desa Kasiro, bernama Pak DH, sempat mengungkapkan mengenai mengapa sistem kebudayaan di desa ini hampir mirip dengan sistem budaya pada masyarakat Minang,
“Kalau disini itu namanya undang dari Padang, teliti dari Jambi, maksudnya aturan-aturan adat memang berasal
dari Minang, tetapi orang di Jambi-lah yang memantau dan memilah apakah adat tersebut cocok atau tidak...”
Dalam kepemimpinan masyarakat, warga Desa Kasiro mengenal istilah Tengganai, Tuo Tengganai, beserta Nenek
Mamak. Kepemimpinan yang berjenjang dalam adat setempat ini
mempunyai kewenangan untuk mengurus perihal-perihal adat yang ada di kampung, seperti pernikahan, menyelesaikan perselisihan, upacara siklus hidup dan mendirikan rumah (Ja’far et.al, 1984/1985).
Tingkatan berjenjang dari dalam masyarakat ini bisa dilihat dari peribahasa yang dikenal sebagai “Berjenjang naik, bertangga turun”. Berjenjang ini seperti anak tangga. Ketika ada permasalah di desa maka tingkatan ini harus dilalui secara linear, dan tidak bisa melewati satu tingkatan untuk menuju tingkatan yang lain. Seorang nenek mamak dalam suatu acara di desa mengatakan, “kalau ada masalah kan ada indu dan bapak, ada rumah tengganai, ada juga nenek mamak, jadi dimulai dari bawah dulu, nda bisa langsung ke atas”.
Dalam kajian mengenai Budaya Jambi yang bisa dilihat dari tulisan Kemas Arsyad Somad yang berjudul Mengenal Adat Jambi
Dalam Perspektif Modern (2002), salah satu bagiannya
memaparkan mengenai struktur sosial masyarakat Jambi dalam hal ini kedudukan serta peran dan tanggung jawab dari tengganai dan nenek mamak. Somad (2002) menjelaskan bahwa tengganai dan nenek mamak memiliki peran sentral dalam kehidupan dan struktur sosial di masyarakat, dalam hal memecahkan persoalan dan memberikan solusi yang terjadi di masyarakat.
Mengacu pada kajian tersebut, tengganai dalam istilah bahasa Melayu memiliki pengertian sebagai saudara laki-laki dari pihak suami ataupun istri. Dalam hal ini terdapat kategorisasi untuk membedakan keduanya. Ada yang disebut sebagai
laki-laki dari pihak istri. Sedangkan Tengganai luar atau sering disebut sebagai perbuali adalah saudara dari pihak Suami.
Kedudukan tengganai dalam kehidupan sebuah keluarga di masyarakat desa cukup penting. Tengganai ini memiliki hak dan kewajiban untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada di dalam keluarga dengan menggunakan jalan adat. Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk “menyelesaikan hal yang kusut, menjernihkan yang keruh segala hal-hal yang terjadi dalam keluarga yang dipimpinnya” (Somad, 2002 : 134). Pentingnya peran dari Tengganai tersebut dalam keluarga juga tertuan dalam pepatah masyarakat yang menyatakan bahwa “Tengganai adalah Rajo Keluargo”.
Selain Tengganai, ada juga kedudukan penting dalam masyarakat desa yang disebut dengan Tuo Tengganai. Tuo
Tengganai adalah orang-orang tua dari kumpulan Tengganai
yang berasal dari keluarga (kalbu) dalam kampung, desa, dusun atau kelurahan. Berbeda dengan Tengganai yang kepempimpinannya diakui dalam lingkup keluarga, Tuo
Tengganai memiliki fungsi yang lebih besar karena lingkup
mereka adalah menyelesaikan permasalahan adat di tingkat kampung atau desa. Kewajiban Tuo Tengganai adalah meluruskan atau mencari solusi serta jalan keluar dari permasalahan yang terdapat pada kampung yang dipimpinnya berdasarkan dan berpedoman pada “adat nan lazim, pusako nan
kawi, adat nan bersendikan sarak, sarak bersendi kitabullah”
(Somad, 2002: 135).
Setelah Tuo Tengganai, jenjang kepemimpinan adat lainnya adalah Nenek Mamak. Nenek Mamak tersebut adalah gabungan dari tuo-tuo tenganai dalam suatu wilayah yang berada dalam satu kampung, dusun, desa atau kelurahan. Tugas dan kewajiban dari Mamak ini antara lain untuk “menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh...setiap persoalan yang tidak
dapat diselesaikan oleh tuo-tuo tengganai” (ibid). Dalam memecahkan persoalan yang ada selalu menggunakan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat, yang dikenal dengan ungkapan adat “bulat air deke pembuluh, bulat kato dek
mufakat”. Peran penting dari Nenek Mamak ini tertuang pula
dalam ungkapan :
“...sebagai kayu gedang dalam negeri rimbun tempat berteduh, gedang tempat bersandar, pergi tempat bertanyo, balik tempat bercerito, menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat di dalam desa” (Somad 2002 :136).
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa adat juga menjelaskan bagaimana sistem kepemimpinan dalam masyarakat terwujud. Dalam pepatah-pepatah adat tersebut terlihat secara hirarkis bagaimana struktur kepemimpinan berfungsi dalam masyarakat. Dalam kajian Somad (2002) dapat dilihat bagaimana struktur tersebut tertuang dalam ungkapan adat:
1. anak sekato bapak (anak dipimpin oleh bapak)
2. kemenakan sekato mamak (anak dipimpin oleh mamak atau paman)
3. istri sekato suami (istri dipimpin oleh suami)
4. rumah sekato tengganai (rumah dipimpin oleh tengganai) 5. luak sekato penghulu (luak/dusun dipimpin oleh
penghulu)
6. kampung sekato tuo (kampung dipimpin oleh tuo-tuo kampung)
7. negeri sekato batin (negeri/wilayah dipimpin oleh kepala batin/pasirah)
8. rantau sekato jenang (rantau/kabupaten dipimpin oleh jenang/bupati)
9. Alam sekato rajo (kerajaan dipimpin oleh raja atau sultan).
Musyawarah antara pimpinan adat memiliki peran yang cukup penting dalam menyelesaikan permasalahan di desa. Seperti yang dipaparkan Ja’far (1984/1985) bahwa dalam masyarakat Jambi untuk menyelesaikan perselisihan pimpinan adat harus diselesaikan secara bertingkat. Pertama perselisihan diselesaikan pada tuo tengganai, kalaupun tidak bisa maka akan disampaikan kepada nenek mamak. Kalaupun perselisihan belum selesai maka akan diselesaikan oleh kepala desa. Dalam satu kasus di daerah pedesaan Jambi, permasalahan telah sampai pada tingkat pengadilan tanpa melewati peranan pemimpin adat. Kemudian karena masalah tersebut termasuk dalam hukum adat, maka pengadilan mengembalikan kepada adat setempat yang dipimpin oleh nenek mamak (Ja’far et.al 1984/1984: 108).
Dalam pernikahan keterlibatan tengganai dan nenek
mamak menjadi keharusan karena mereka dianggap sebagai
orang yang dituakan dan memiliki pengalaman hidup yang banyak. Di Desa Kasiro, seorang informan mengatakan kalau saat ada pasangan yang merencanakan pernikahan tanpa memberi tahu salah satu dari tengganai mereka, maka nanti pasangan tersebut akan terkena sanksi adat. Sanksi tersebut bisa berupa pemberian hewan ternak berupa ayam atau kambing kepada
tengganai mereka.
Untuk mendirikan sebuah bangunan rumah yang terkait dengan penentuan lahan, mengumpulkan tengganai juga menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Di Desa Kasiro penentuan tentang lokasi tanah yang bisa dijadikan lokasi pembangunan rumah harus dikonsultasikan kepada tengganai. Pada malam hari, biasanya pihak yang berencana membangun rumah, akan mengundang para tengganai di rumahnya. Kemudian pihak tersebut akan menyampaikan niatannya
membangun rumah, dan meminta saran di lokasi mana kira-kira ada tanah yang masih kosong. Dari para tengganai inilah pihak yang ingin membangun rumah akan mendapatkan informasi tentang tanah di kawasan desa yang masih bisa dijadikan tempat pendirian bangunan.
Dengan begitu terlihat bahwa kedudukan tengganai dan nenek mamak merupakan panutan dan pemberi tuntunan dalam melakukan suatu tindakan di masyarakat. Sebagai panutan di dalam masyarakat, kesepakatan dari nenek mamak dan
tengganai lah yang selalu dipertimbangkan dan dijunjung tinggi
sebagai sumber pijakan untuk mengambil keputusan dan juga pemberi solusi atas suatu permasalah di kampung.
2.3.2. Sistem Perkawinan dan Kekerabatan
Pernikahan salah bentuk dari institusi sosial dimasyarakat yang mempersatukan dua keluarga. Tujuan utama dari pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan dari keluarga yang bersangkutan (Georgopoulos 2006). Dalam pernikahan ini biasanya diperlukan beberapa tahapan yang akan menyatukan dua orang dari dua keluarga.
Sebelum menjalin sebuah tahap pernikahan, sebagian besar masyarakat etnik Melayu Jambi mengenal istilah
bertandang. Istilah ini merupakan bentuk pergaulan muda-mudi
yang dapat dikatakan universal, yang bisa ditemukan di pelosok pedesaan di daerah Jambi (Depdikbud 1977/1978). Bertandang bisa dikatakan sebagai upaya pendekatan seorang pemuda kepada perempuan dan keluarganya, sebagai pembuka jalan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Dalam bertandang ini, pihak dari pemuda akan datang menghampiri rumah si perempuan. Pada malam hari pemuda akan pergi ke rumah perempuan yang kedatangannya telah diberitahukan kepada orang tua si perempuan. Pemuda tersebut
juga biasanya akan mengajak teman lelakinya untuk ikut dalam bertandang. Di masa lalu, pemuda yang datang harus membawa semacam bawaan yang akan diserahkan kepada orang tua si perempuan. Mereka diminta membawa dua atau tiga kebat sirih yang telah dipepat kepalanya. Selain itu, sirih tersebut dilengkapi pula dengan pinang, kapur, tembakau dan gambir (Depdikbud, 1977/1978). Menurut pemaparan seorang informan di Desa Kasiro, pemuda HB, terkadang si pemuda juga membawa rokok serta kopi ke rumah si gadis. Kopi dan rokok tersebut nantinya akan dikonsumsi bersama oleh si pemuda dan bapak si perempuan ketika dia sedang bertandang.
Saat ini, beberapa hal dalam kegiatan bertandang sudah mulai mengalami perubahan. Pemuda tidak lagi membawa beberapa syarat seperti sirih besarta pinang dan tembakau, tetapi datang dengan kendaraan sepeda motor. Perkenalan muda-mudi pun saat ini sudah diakomodir dengan kehadiran teknologi informasi berupa telepon genggam beserta fitur-fitur sosial media di dalamnya, seperti facebook dan juga BBM. Seorang pemuda bahkan mengatakan mendapatkan kenalan perempuan dari kontak BBM yang diberikan oleh temannya, dan mulai menjalin hubungan dekat dengan perempuan tersebut. Terkait dengan perubahan pola perkenalan atau pergaulan antara muda-mudi, warga bernama Ibu F, menceritakan pengalamannya,
“Dulu waktu jaman saya, kalau betandang itu yang laki-laki bawa kopi, gulo, sama rokok duo. Rokok yang satu untuk si bapak, malu kalau bawa pulang rokok lagi. Kalau sekarang jamannya beda, naik motor berdua-duaan, sudah ada hape berhubungannya,”
Tata cara pernikahan di Desa Kasiro pun dilangsungkan dengan beberapa tahapan setelah kedua pasangan dianggap sudah memiliki niatan menjalin hubungan ke jenjang yang lebih