• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panduan Penataan Ruang Dan Pengembangan Kawasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Panduan Penataan Ruang Dan Pengembangan Kawasan"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

2001

Panduan

Penataan Ruang &

Pengembangan

Kawasan

Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN)

Sekretariat: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310

Telp. 021-3926601, Fax. 021-3927412

http://www.bktrn.org

(2)

KATA PENGANTAR

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU No.24/1992) yang telah

dijabarkan ke dalam berbagai peraturan pemerintah, ditetapkan sebelum seluruh proses reformasi

berjalan di negara ini. Proses reformasi melahirkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU

No. 22/1999) tentang Pemerintahan Daerah yang pada intinya memberikan keleluasaan kepada

daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan berlakunya UU No. 22/1999 tersebut

maka diperlukan berbagai penyesuaian dalam UU No. 24/1992. Penyesuaian peraturan di tingkat

undang-undang membutuhkan penyesuaian di tingkat peraturan pemerintah yang menjabarkan

dengan lebih detail isi undang-undang tersebut. Proses ini akan memakan waktu yang cukup lama,

sementara pemerintah otonom yang baru terbentuk memerlukan berbagai perangkat untuk

merencanakan pembangunan daerahnya dengan cepat.

Untuk itu, telah dilakukan satu studi yang bertujuan untuk menambah wawasan berpikir yang

sudah ada, yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan perencanaan pembangunan di

daerah. Dalam pelaksanaan studi ini telah dilakukan diskusi dan seminar untuk memperkaya isi.

Dalam setiap diskusi, diundang narasumber dari berbagai instansi yang berkecimpung di tataran

konsep dan di tataran teknis dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah, seperti pakar

yang berasal dari perguruan tinggi, instansi pemerintah pusat, dan daerah. Pengayaan materi tidak

hanya didapatkan dari narasumber saja, tetapi tidak kalah pentingnya adalah pendapat dari peserta

diskusi yang berasal dari berbagai instansi seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,

lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di tingkat pusat dan daerah, serta anggota Badan

Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).

Secara umum, buku ini memuat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang dan

pengembangan wilayah yang berwawasan lingkungan serta pedoman praktis yang dapat digunakan

di dalam penataan ruang kawasan-kawasan spesifik seperti perkotaan, perdesaan, wilayah

pariwisata di pesisir, dan di kawasan rawan bencana longsor.

Akhir kata, kami berharap agar buku ini dapat berguna untuk memperkaya wawasan pemerintah

propinsi, kabupaten, dan kota, dalam penyelenggaraan penataan ruang dan pengembangan wilayah.

Selain itu kami haturkan pula terima kasih kepada para narasumber, peserta diskusi, serta

pihak-pihak yang telah meluangkan waktu untuk bersama -sama menggali berbagai permasalahan dan

memberikan rekomendasi agar penyelenggaraan kegiatan penataan ruang di daerah dapat lebih

baik.

Jakarta, Desember 2001

Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam,

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

...

2

DAFTAR ISI

...

3

BAGIAN PERTAMA : PENGANTAR

I. PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang...

9

2.

Tujuan Kegiatan...

9

3.

Ruang Lingkup Kegiatan... 10

4.

Hasil Pelaksanaan Kegiatan... 10

II. PENGENALAN STRATEGI DAN

RANCANGAN KEBIJAKAN

1.

Penataan Ruang dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan... 11

2.

Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan... 11

3.

Konsolidasi Tanah dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan... 12

4.

Pengenalan dan Pengendalian Kawasan Rawan Longsor ... 12

5.

Pengembangan Pariwisata Wilayah Pesisir Indonesia ... 13

BAGIAN KEDUA : PANDUAN PENATAAN RUANG

DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN

III. PENATAAN RUANG DALAM KONTEKS

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

1.

PENDAHULUAN ... 14

1.1. Latar Belakang... 14

1.2. Maksud dan Tujuan... 15

1.3. Metodologi ... 15

2.

PENATAAN RUANG DALAM KONTEKS

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN... 16

2.1. Pembangunan Berkelanjutan... 16

2.2. Penataan Ruang... 18

2.3. Penataan Ruang dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan... 20

2.4. Penataan Ruang Perkotaan dengan Konsep Ekologis ... 22

2.5. Instrumen Penataan Ruang... 23

2.6. Indikator Pembangunan Berkelanjutan... 25

3.

PANDUAN PEMBANGUNAN... 25

3.1. Perencanaan Tata Ruang... 25

(4)

3.2.1. Pelaksanaan RDTR... 31

3.2.2. Pemantauan/Monitoring Pelaksanaan RDTR ... 31

3.2.3. Keterlibatan Masyarakat... 31

3.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang... 31

3.4. Evaluasi Kinerja... 32

3.4.1. Penilaian... 32

3.4.2. Pengawasan oleh Masyarakat... 32

3.5.

Strategi Perencanaan Tata Ruang dalam Konteks

Keberlanjutan... 32

3.6. Informasi Pendukung dalam Penataan Ruang... 33

4.

KESIMPULAN ... 34

IV. PENGELOLAAN TATA RUANG KAWASAN PERDESAAN

1. PENDAHULUAN ... 36

1.1.

Latar Belakang... 36

1.2.

Maksud dan Tujuan ... 36

2. TERMINOLOGI PERDESAAN... 37

3.

MODEL PENGEMBANGAN PERDESAAN ... 37

3.1.

Elemen Perdesaan... 37

3.2.

Konsep Pengembangan Perdesaan... 37

3.3.

Kajian Peraturan dan Perundangan ... 38

3.4.

Penilaian Lingkungan Perdesaan... 38

3.5.

Pembentukan dan Pengembangan Visi... 39

3.6.

Analisis Visi dan Kebijakan... 39

3.7.

Pemantauan dan Pengendalian... 39

4.

PANDUAN PEMBANGUNAN... 40

4.1. Menentukan dan Melindungi Karakter Perdesaan... 40

4.1.1.

Menentukan Karakter Perdesaan... 40

4.1.2.

Melindungi Karakter Perdesaan... 41

4.2.

Perencanaan Ruang Terbuka untuk

Melindungi Karakter Perdesaan... 42

4.3.

Menetapkan Pelayanan ... 42

4.4.

Menetapkan Penggunaan Lahan... 43

4.5.

Penetapan Tata Guna Lahan Kawasan Perdesaan... 43

4.6.

Perlindungan Daerah Kritis, Air Permukaan, dan Air Tanah... 43

4.7.

Perlindungan Dampak Pemanfaatan Lahan untuk

Pembangunan Sumberdaya Alam... 44

4.7.1.

Penyediaan Lahan di Kawasan Perdesaan bagi

Daerah Pengembangan Perkotaan... 44

4.7.2.

Tata Guna Lahan bagi Pembangunan Ekonomi

Pedesaan... 44

(5)

5.

TEKNIK INOVATIF PEMBANGUNAN KAWASAN

PERDESAAN UNTUK MELINDUNGI KARAKTER PERDESAAN

5.1.

Pengalihan Peraturan Pembangunan dan Hak Pengembangan... 45

5.2.

Pedoman Desain... 54

5.3.

Peraturan Konservasi... 54

6.

PRINSIP-PRINSIP PRAKTIS ... 46

6.1.

Pertanian... 64

6.2.

Hutan... 64

6.3.

Perumahan ... 47

6.4.

Komersial... 47

6.4.1.

Industri

Cottage

dan Bisnis Skala Kecil ... 47

6.4.2.

Pusat Rekreasi dan Wisata Berskala Kecil ... 49

6.5.

Industri ... 49

6.5.1.

Industri besar di Luar Daerah Pertumbuhan Kota... 50

6.5.2.

Lahan Industri bagi Daerah Kabupaten yang Sesuai

dengan Kondisi Kawasan... 50

6.5.3.

Industri yang Berbasiskan pada Sumberdaya Alam... 50

7. KESIMPULAN ... 51

V. KEBIJAKAN DAN STRATEGI KONSOLIDASI TANAH

DALAM PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN.

I.

PENDAHULUAN ... 52

1.1.

Latar Belakang... 52

1.2.

Maksud dan Tujuan... 53

1.3.

Metodologi... 53

2. PERENCANAAN KAWASAN PERKOTAAN... 53

2.1.

Perencanaan Kawasan Perkotaan... 53

2.2.

Dasar Peraturan Perencanaan Kawasan Perkotaan ... 54

2.3.

Permasalahan dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan ... 54

2.4.

Peranan Konsolidasi Tanah dalam

Penataan Ruang Kawasan Perkotaan... 55

3. KONSOLIDASI TANAH... 57

3.1. Pengertian dan Tujuan... 57

3.2.

Dasar Peraturan ... 57

3.3.

Analisis Kebijakan Konsolidasi Tanah dalam

Penataan Ruang Kawasan Perkotaan... 57

3.4.

Potensi Konsolidasi Tanah dalam

Penataan Ruang Kawasan Perkotaan... 59

3.5.

Teknis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Kawasan Perkotaan... 59

3.6.

Permasalahan yang Mungkin Timbul dalam Pelaksanaan

Konsolidasi Tanah dan Alternatif Penyelesaiannya ... 63

3.7. Tantangan, Kendala, dan Hasil Pelaksanaan

Konsolidasi Tanah... 65

(6)

4.

KAIDAH DAN PRINSIP-PRINSIP PRAKTIS ... 66

4.1. Kaidah Penataan Ruang... 66

4.2. Kaidah Pertanahan... 68

4.3. Kaidah Sosial dan Ekonomi... 69

4.4. Indikator Keberhasilan... 69

4.5. Fasilitas yang Dibutuhkan... 70

4.6.

Rencana Aksi ... 72

4.7.

Sumber Informasi Lebih Lanjut ... 74

5. LAMPIRAN

A.

Contoh Hasil Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan

di Kelurahan Babakan Surabaya, Kota Bandung ... 75

B. Prosedur Umum Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan... 78

VI. PENGENALAN DAN PENGENDALIAN KAWASAN

RAWAN LONGSOR

1. PENDAHULUAN ... 79

1.1. Latar Belakang... 79

1.2. Akibat Bencana Longsor... 79

1.3. Pertimbangan Aspek Longsor dalam Pembangunan... 79

1.4. Tujuan dan Sasaran... 80

2. IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN LONGSOR... 80

2.1. Karakteristik dan Penyebab Longsor... 80

2.2. Pengenalan Kawasan Rawan Longsor ... 81

3. PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN

PENGENDALIAN KAWASAN RAWAN LONGSOR ... 85

3.1. Pertimbangan Potensi Longsor dalam Penataan Ruang... 85

3.2. Kapasitas Kelembagaan dalam Perencanaan, Pemanfaatan

dan Pengendalian Kawasan Rawan Longsor... 86

3.3. Sistem Informasi Geografis dalam Perencanaan,

Pemanfaatan, dan Pengendalian Kawasan Rawan Longsor ... 87

3.3.1. Direktorat GTL Departemen Energi dan

Sumberdaya Mineral... 88

3.3.2. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional... 88

3.4.

Prinsip Praktis bagi Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota... 89

3.4.1.

Prinsip-prinsip Pemanfaatan Ruang Kawasan dengan

Tingkat Kerawanan Tinggi ... 92

3.4.2.

Prinsip-prinsip Pemanfaatan Ruang Kawasan dengan

Tingkat Kerawanan Menengah... 92

3.4.3.

Prinsip-prinsip Pemanfaatan Ruang Kawasan dengan

Tingkat Kerawanan Rendah... 95

4. SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA LONGSOR... 95

4.1.

Manajemen Penanggulangan Bencana Longsor ... 95

(7)

4.2.1.1. Permukiman... 98

4.2.1.2. Persawaha n ... 99

4.2.1.3. Tegalan ... 99

4.2.1.4. Bangunan Prasarana dan Sarana Fisik... 99

4.2.3. Sistem Jangka Menengah... 100

4.2.4. Sistem Jangka Panjang... 100

4.2.5. Sistem Peringatan Dini... 101

5. PENUTUP ... 101

5.1. Kesimpulan... 101

5.2.

Tindak Lanjut... 102

VII. PENGEMBANGAN PARIWISATA WILAYAH PESISIR INDONESIA

1. PENDAHULUAN ... 103

1.1

Latar Belakang... 103

1.2

Maksud dan Tujuan... 104

1.3

Ruang Lingkup Kegiatan... 104

1.4

Metodologi Analisis... 104

2. PARIWISATA TANJUNG LESUNG DAN KEDUDUKANNYA

DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BANTEN ... 104

2.1 Arahan Pemanfaatan Ruang dan Pengembangan Wilayah Banten ... 104

2.1.1 Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung... 104

2.1.2 Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya... 105

2.2. Rencana Pengembangan Banten ... 105

2.3 Karakteristik Kawasan Wisata Tanjung Lesung ... 106

2.3.1 Kondisi Alam... 106

2.3.2 Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi ... 106

2.4 Konsep Pengembangan Wisata Tanjung Lesung... 107

2.4.1 Konsepsi... 107

2.4.2 Desa Wisata Cikadu... 108

3. IDENTIFIKASI KONDISI INTERNAL DAN EKSTERNAL

KAWASAN PARIWISATA WILAYAH

PESISIR TANJUNG LESUNG ... 109

3.1

Kekuatan dan Kelemahan Internal Pengembangan

Kawasan Tanjung Lesung... 109

3.1.1 Analisis Kekuatan Wilayah Pengembangan ... 109

3.1.2 Analisis Kelemahan Wilayah Pengembangan... 110

3.2

Peluang dan Tantangan Eksternal Wilayah Pengembangan... 111

3.2.1 Analisis Peluang ... 111

3.2.2 Analisis Tantangan ... 112

3.3

Identifikasi

Benefit

dan

Beneficieries

... 113

4. PENGEMBANGAN PARIWISATA

WILAYAH PESISIR TANJUNG LESUNG ... 115

(8)

4.2

Tujuan Pengembangan Pariwisata

Wilayah Pesisir Tanjung Lesung ... 115

4.2.1

Tujuan Ekonomi ... 115

4.2.2

Tujuan Konservasi Ekologi ... 115

4.2.3

Tujuan Pembangunan Sosial... 115

4.3

Skenario dan Strategi Pengembangan Kawasan Tanjung Lesung ... 115

4.4

Kebijaksanaan Pengembangan Kawasan Tanjung Lesung ... 116

4.4.1

Kebijaksanaan Pengembangan Spasial ... 116

4.4.2

Kebijaksanaan pengembangan Aspasial... 117

4.5

Program Pengembangan Jangka Panjang ... 118

5. PENUTUP ... 122

5.1

Tindak Lanjut... 122

5.2

Isu-Isu Strategis dalam Pengembangan Pariwisata Pesisir ... 124

(9)

PENDAHULUAN

1

1. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional, ruang yang berfungsi sebagai wadah untuk melakukan berbagai kegiatan pembangunan menjadi sangat penting dan perlu diperhatikan. Dengan mengacu kepada terciptanya tata ruang yang seimbang, teratur, dan terarah, maka pemanfaatan ruang lebih ditekankan pada keseimbangan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dengan berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang berfungsi sebagai rencana untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan, perlu dirumuskan suatu strategi dan rancangan kebijakan penataan ruang yang lebih rinci dan operasional. Strategi dan rancangan kebijakan penataan ruang ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota.

Penyusunan strategi dan rancangan kebijakan operasional ini tidaklah mudah, mengingat prosesnya cukup rumit dan panjang. Agar rancangan kebijakan dan strategi ini dapat diterima oleh berbagai pihak pengguna ruang, maka proses penyusunannya perlu melibatkan berbagai pihak.

Mengingat wilayah adalah suatu sistem terpadu yang menampung seluruh kegiatan manusia, maka dalam penataan ruang yang harus diwujudkan adalah ruang yang dapat mendukung peningkatan kinerja dan kualitas hidup manusia, sistem produksi, jasa, permukiman yang sehat, tetapi juga tetap mendukung kelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

Dalam kaitannya dengan rancangan kebijakan desentralisasi seperti yang diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, upaya penyiapan rancangan kebijakan pengembangan tata ruang nasional dan kawasan ini diharapkan dapat memaduserasikan program-program sektoral yang kemudian akan menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan di daerah dalam rangka mendukung program pembangunan nasional dan program pembangunan daerah.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam upaya untuk mengantisipasi tantangan pembangunan ke depan, RTRWN perlu dijabarkan lebih detail untuk pembinaan dan pengembangan kawasan dan kegiatan yang lebih spesifik. Rancangan kebijakan penataan ruang nasional yang dikembangkan senantiasa memperhatikan kelestarian fungsi-fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna menopang pembangunan yang berkelanjutan.

2. Tujuan Kegiatan

Studi ini dimaksudkan untuk menyusun rancangan strategi dan kebijakan penataan ruang nasional yang didasarkan pada penataan ruang berdasarkan kawasan budidaya, dan kawasan lindung. Lebih spesifik lagi tujuan dari studi ini diantaranya adalah meliputi:

a. Penyusunan suatu rancangan kebijakan penataan ruang nasional yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yang mempertimbangkan dinamika perkembangan wilayah masa kini dan masa datang, terutama pada era desentralisasi yang berorientasi pada tantangan global yang dapat menggantikan atau menyempurnakan berbagai rancangan kebijakan yang sudah tidak sesuai lagi.

b. Penyusunan suatu rancangan kebijakan penataan ruang nasional yang lengkap dan terpadu untuk mendorong pertumbuhan pembangunan daerah dalam konteks pembangunan nasional yang berkelanjutan.

(10)

c. Penyusunan suatu rancangan kebijakan penataan ruang nasional yang lengkap dan terpadu serta mencakup rancangan kebijakan penataan ruang di kawasan lindung.

3. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan studi ini diantaranya meliputi kegiatan-kegiatan utama sebagai berikut:

a. studi literatur untuk mendapat pemahaman tentang strategi dan rancangan kebijakan dan mekanisme penataan ruang wilayah nasional yang dikaitkan dengan upaya untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup, pemanfaatan ruang yang optimal, efisien, dan efektif untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan.

b. kajian tentang kondisi berbagai peraturan dan rancangan kebijakan yang berkaitan dengan penataan ruang nasional dikaitkan dengan upaya pencapaian penataan ruang demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara terpadu dan menyeluruh.

c. penyusunan rancangan strategi dan rancangan kebijakan penataan ruang nasional.

d. diskusi pembahasan rancangan kebijakan tersebut dengan melibatkan berbagai instansi terkait dan nara sumber potensial demi mendapatkan rancangan yang komprehensif dan operasional untuk ditetapkan. 4. Hasil Pelaksanaan Kegiatan

Hasil-hasil yang telah dicapai adalah lima strategi dan rancangan kebijakan penataan ruang yang dapat dibaca pada Bab 2 sampai dengan Bab 6 di dalam buku ini. Kelima strategi dan rancangan kebijakan tersebut dapat disusun setelah dilaksanakan diskusi dan seminar yang bertema:

a. Konsolidasi Tanah dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan. b. Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan.

c. Penataan Ruang dalam Rangka Mendorong Pengembangan Ekonomi Wilayah. d. Penataan Ruang dalam Konteks Pembanguan Berkelanjutan.

e. Pengenalan dan Pengendalian Kawasan Rawan Longsor.

Untuk setiap seminar dan diskusi tersebut, telah disusun prosiding yang mendokumentasikan seluruh rangkaian acara diskusi dan seminar. Peserta seminar dan diskusi berasal dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses penataan ruang, terutama adalah departemen terkait, anggota tim teknis pokja 1, 2, dan 3 BKTRN, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum.

(11)

PENGENALAN STRATEGI

2

PENATAAN RUANG &

PENGEMBANGAN KAWASAN

1. PENATAAN RUANG DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Pembangunan pada hakikatnya adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Ketersediaan sumberdaya sangat terbatas sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian lingkungan hidup agar kemampuan serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia. Memajukan kesejahteraan generasi sekarang melalui pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kebijakan terpadu dan menyeluruh tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Strategi pengelolaan yang dimaksud yaitu upaya sadar, terencana, dan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan sumberdaya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup. Kesadaran bahwa setiap kegiatan selalu berdampak terhadap lingkungan hidup merupakan pemikiran awal yang penting untuk memaksa manusia berpikir lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana wujud dampak tersebut, sehingga sedini mungkin dilakukan langkah penanggulangan dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Penataan ruang merupakan satu proses pembangunan yang perlu mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan. Dalam menyusun suatu rencana tata ruang yang baik, nilai-nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Pembangunan berkelanjutan mengaitkan tiga aspek utama yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial budaya, ekosistem terpadu yang menopangnya harus terjaga dengan baik. Karena itu aspek lingkungan perlu diinternalisasikan ke dalam pembangunan ekonomi. Dengan terjadinya hal tersebut, maka pembangunan ekonomi tidak akan membuat kesenjangan dalam masyrakat sehingga terjadi pemerataan dan kestabilan.

2. PENGELOLAAN TATA RUANG KAWASAN PERDESAAN

Kawasan perdesaan dapat didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Kawasan perdesaan berperan penting sebagai penunjang kehidupan manusia, karena sebagian besar kawasan masih berupa lahan terbuka yang dapat diolah menjadi lahan pertanian, daerah penyangga, kawasan lindung, dan fungsi-fungsi budidaya dan lindung lainnya. Masyarakat dan pemerintah daerah harus menyadari bahwa kawasan perdesaan memiliki potensi yang besar untuk berkembang tanpa merubah karakter dan fungsi kawasan. Untuk menjadi daerah yang maju, kawasan perdesaan tidak usah berubah fungsi meniru kawasan kota yang cepat tumbuh, tetapi berkembang sesuai dengan karakter dan fungsinya yang khas. Kekhasan ini tidak boleh hilang, karena kekhasan adalah salah satu bagian dari kekayaan daerah yang harus dipertahankan.

Untuk itu, diperlukan suatu bentuk rencana yang dapat memudahkan pemerintah desa dan masyarakat untuk menyusun berbagai perangkat peraturan yang dapat melindungi kawasan perdesaan dan memadukan

(12)

pembangunan yang telah ada dengan keinginan untuk melindungi karakter perdesaan. Peraturan tersebut adalah perangkat untuk memadukan pembangunan yang sudah dilakukan pada masa sebelumnya dan rekomendasi penggunaan lahan untuk fungsi budidaya yang terbatas dan intensif.

Untuk dapat membuat rencana yang baik, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menentukan: (1) elemen perdesaan spesifik yang berada di daerahnya; (2) konsep pengembangan perdesaan yang dibutuhkan oleh masyarakat di daerah tersebut dan antisipasi pertumbuhan kota sekitarnya; (3) kajian peraturan dan perundangan yang ditetapkan di kawasan tersebut; serta (4) analisis dan penilaian lingkungan perdesaan. Setelah keempat langkah tersebut diselesaikan, barulah dapat dilakukan pembentukan dan pengembangan visi serta analisis visi dan kebijakan.

3. KONSOLIDASI TANAH DALAM PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN

Perkembangan kawasan perkotaan berlangsung sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang kemudian mendorong pertumbuhan berbagai aktivitas terkait termasuk bidang permukiman. Di satu sisi terjadi peningkatan jumlah penduduk dan urbanisasi yang menyebabkan pertambahan permintaan tanah untuk permukiman dan perumahan beserta fasilitas umum lainnya, sementara di sisi lain penyediaan tanah tidak mengalami pertambahan. Hal ini menjadi salah satu penyebab tidak terkendalinya penggunaan tanah dan tidak memadainya infrastruktur yang mendukung suatu kota sehingga kota tidak menjadi suatu kawasan yang nyaman bagi penduduknya. Banyaknya kepentingan komponen dan kompleksnya pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan menambah rumitnya permasalahan penataan ruang di kawasan perkotaan.

Berkaitan dengan masalah tersebut, dibutuhkan suatu mekanisme perencanaan kawasan perkotaan dan pelaksanaannya yang dapat berjalan selaras dengan perkembangan dan pertumbuhan suatu kota. Konsolidasi tanah, mengupayakan penataan kembali penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan tata ruang wilayah serta mengupayakan pengadaan tanah untuk pembangunan yang meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan pemeliharaan sumber daya alam, dapat menjadi salah satu sarana pembangunan kawasan perkotaan. Konsep yang memadukan aspek legalitas penguasaan tanah dan aspek fisik penggunaan tanah ini, yang melibatkan masyarakat secara langsung dalam pelaksanaannya, diharapkan dapat mengurangi masalah pertumbuhan kota yang tidak terkendali. Di samping itu, konsolidasi tanah dapat pula menjadi instrumen yang efektif dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan perkotaan, salah satunya dalam menjalankan fungsi pengendalian pemanfaatan ruang.

Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah kabupaten/kota dapat menggunakan konsolidasi tanah sebagai salah satu sarana dalam pembangunan kawasan perkotaannya. Daerah diharapkan dapat memetik manfaat dari penerapan konsolidasi tanah ini yaitu berupa kawasan perkotaan yang teratur, tertib dan sehat dengan didukung sarana dan prasarana yang menunjang kawasan tersebut dengan selalu memperhatikan tata ruang wilayah dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Untuk mencapai hal yang diharapkan tersebut, berbagai kendala yang masih mungkin ditemui dalam pelaksanan konsolidasi tanah, seperti aspek peraturan perundangan, kelembagaan, dan pembiayaan, perlu diantisipasi dan diatasi guna menjamin kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan konsolidasi tanah dalam pembangunan dan penataan ruang kawasan perkotaan.

4. PENGENALAN DAN PENGENDALIAN KAWASAN RAWAN LONGSOR

Bencana adalah kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya, tetapi dengan perkembangan teknologi, beberapa jenis bencana dapat dikenali gejalanya dan dapat diperkirakan waktu kejadiannya. Dengan pemanfaatan teknologi diharapkan bencana dapat dikurangi dampaknya dan masyarakat bisa mendapatkan peringatan yang lebih dini.

(13)

Untuk pengembangan daerah rawan bencana, diperlukan suatu bentuk rencana yang mempertimbangkan kawasan rawan bencana yang mutlak harus dihindari untuk pemanfaatan apapun dan kawasan rawan bencana yang masih dapat dikembangkan. Hal tersebut penting sehingga seluruh proses dan prosedur perencanaan wilayah dapat mempertimbangkan konsep-konsep mitigasi bencana yang alami ataupun yang diakibatkan oleh perbuatan manusia.

Tujuan utama mempertimbangkan potensi bencana longsor selama tahap perencanaan pembangunan adalah untuk: (1) meminimalisir resiko dan pengaruh daerah rawan longsor pada kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum; (2) memastikan bahwa berbagai jenis pembangunan tidak dapat dilakukan di lokasi dengan potensi rawan longsor tanpa tindakan pengamanan yang memadai; (3) mengembalikan fungsi lahan rawan longsor, bila memungkinkan, menjadi tanah yang produktif; (4) membantu pengamanan masyarakat dan investasi swasta melalui kompensasi yang sesuai dengan kondisi lokasi tanah dan tindakan pencegahan yang diperlukan; dan (5) menyiapkan lokasi untuk evakuasi apabila terjadi bencana.

5. PENGEMBANGAN PARIWISATA WILAYAH PESISIR INDONESIA

Kawasan pesisir dan lautan di Indonesia memiliki kekayaan yang besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Seperti yang telah diungkapkan bahwa secara umum kawasan pesisir dan lautan telah dijadikan sebagai lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan seperti: perikanan budidaya maupun tangkapan, kegiatan konservasi laut (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan biota laut lainnya), perhubungan laut/alur pelayaran, serta dijadikan sebagai lokasi pariwisata bahari dan pantai. Bahkan untuk beberapa tempat, wilayah pesisir dijadikan pula sebagai lokasi kegiatan industri maritim seperti perkapalan, dan pertambangan (lepas pantai) seperti minyak, gas, timah, dan pasir.

Pengembangan pariwisata yang berbasiskan kegiatan bahari dan pantai merupakan kegiatan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai kegiatan utama penggerak ekonomi di kawasan pesisir dan lautan. Namun di lain pihak pengelolaan kawasan pesisir dan lautan dirasakan masih kurang terlaksana dengan baik. Bahkan masih banyak dijumpai kegiatan-kegiatan yang dapat merusak keseimbangan ekosistem yang mengakibatkan timbulnya degradasi habitat wilayah pesisir dan lautan. Kegiatan-kegiatan seperti: konversi hutan mangrove, penggunaan bom atau potas, pengambilan karang dan penggalian pasir pantai, harus dihindari. Oleh karena itu untuk mengembangkan kegiatan pariwisata diperlukan rencana dan kebijakan terhadap pengelolaan kawasan pesisir yang efisien.

Kebijakan dalam penataan ruang wilayah pesisir dan lautan yang mendukung pengembangan pariwisata merupakan kebijakan yang masih relatif baru dalam kerangka pembangunan nasional. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan upaya penggalian pemikiran tentang bagaimana cara yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan kelautan guna meningkatkan perkembangan ekonomi wilayah tersebut. Pengembangan kawasan pesisir dan lautan harus didukung dan dilakukan bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat dan stakeholder lainnya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan kawasan pesisir sebagai kawasan pariwisata terpadu yang dapat berperan sebagai penggerak ekonomi wilayah, maka perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (a) perlu adanya persamaan persepsi dan saling koordinasi antar sektor, wilayah, serta melibatkan seluruh stakeholder dalam menata kawasan pesisir. Hal ini ditujukan guna menghilangkan konflik yang selama ini sering terjadi. (b) Perlunya dukungan perangkat hukum untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan. Perlu dukungan tata ruang yang secara khusus mengatur kawasan pantai dan pesisir. (c) Memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, terutama kegiatan yang menunjang pengembangan pariwisata.

(14)

PENATAAN RUANG DALAM KONTEKS

3

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan sering meletakkan pertimbangan ekonomi di atas pertimbangan lingkungan hidup. Orientasi pembangunan cenderung terfokus pada perolehan manfaat sebesar-besarnya dari pengolahan sumberdaya yang tersedia dengan pembiayaan serendah-rendahnya untuk tujuan mewujudkan kemakmuran dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Dalam mencapai tujuan tersebut dikerahkan sumberdaya yang dimiliki tanpa disertai penekanan terhadap pentingnya pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang. Dampak yang ditimbulkan oleh hal tersebut ialah eksploitasi habis-habisan terhadap sumberdaya alam, kelestarian lingkungan terabaikan, penurunan kualitas lingkungan dan kualitas hidup kelompok manusia lainnya sehingga tujuan pembangunan tidak tercapai. Berbagai kondisi tersebut pada gilirannya akan menjadi bumerang bagi perekonomian nasional.

Dewasa ini pembangunan mulai menerapkan konsep sustainable development atau yang dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan. Landasan keberlanjutan tersebut berpijak di atas pengetahuan tentang nilai-nilai lingkungan hidup yang pada awalnya diterapkan semata-mata sebagai tanggung jawab manusia memelihara bumi/alam karena merupakan habitatnya. Dalam perkembangan di berbagai negara, kewajiban tersebut kemudian mengalami penguatan di jalur hukum (dibakukan sebagai peraturan) dan didukung oleh berbagai disiplin ilmu. Pada akhir abad ke-19 kewajiban melestarikan kehijauan lingkungan hidup telah melahirkan kebutuhan baru dalam diri manusia yaitu kebutuhan akan kesan nyaman dan hijau pada lingkungan fisik sekitarnya. Baru setelah memasuki abad ke-20 pemenuhan akan kebutuhan tersebut mulai menarik perhatian manusia.

Pembangunan pada hakikatnya ialah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Ketersediaan sumberdaya sangat terbatas sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian lingkungan hidup agar kemampuannya serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia. Memajukan kesejahteraan generasi sekarang melalui pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kebijakan terpadu dan menyeluruh tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Strategi pengelolaan yang dimaksud yaitu upaya sadar, terencana dan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan sumberdaya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup. Kesadaran bahwa setiap kegiatan selalu berdampak terhadap lingkungan hidup merupakan pemikiran awal yang penting untuk memaksa manusia berpikir lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana wujud dampak tersebut, sehingga sedini mungkin dilakukan langkah penanggulangan dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Pertimbangan berbagai aspek terkait diikutsertakan agar keputusan yang diambil sedapat mungkin mendatangkan kebaikan bagi semua pihak.

Penataan ruang merupakan satu proses pembangunan yang perlu mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan. Dalam menyusun suatu Rencana Tata Ruang (RTR) yang baik, nilai-nilai ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

(15)

1. 2 Maksud dan Tujuan

Tulisan ini merupakan kerangka dasar pemikiran yang berisi penjelasan rinci mengenai bagaimana nilai lingkungan hidup yang dimasukkan ke dalam RTR akan menuntun pembangunan ke arah yang lebih baik, memberikan gambaran sederhana mengenai bagaimana rumusan RTR suatu wilayah diharapkan relevan di masa mendatang serta menumbuhkan gagasan mengenai kebijakan penataan ruang dalam menunjang terwujudnya konsep pembangunan berkelanjutan. Penyusunan pedoman kebijakan penataan ruang dalam konteks pembangunan berkelanjutan ini dimaksudkan untuk:

1. Menjadi sumber informasi bagi ketiga aktor pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) mengenai prinsip keberlanjutan yang mendasari kebijakan penataan ruang. Prinsip keberlanjutan berperan penting sebagai salah satu instrumen pengendali penataan ruang dalam pelaksanaan pembangunan.

2. Menjadi kerangka pikir sekaligus pedoman pelaksanaan pembangunan fisik yang secara prosedural harus memenuhi ketentuan dan nilai-nilai lingkungan hidup.

Melalui laporan ini diharapkan segenap aparat pemerintah Indonesia diharapkan meninjau ulang agenda pembangunan yang akan dilaksanakan agar tidak bertentangan dengan konsep keberlanjutan. Tujuan dari tulisan ini ialah:

1. Menghasilkan usulan strategi lingkungan jangka panjang agar tercapai pembangunan yang berkesinambungan.

2. Menghasilkan rekomendasi alternatif solusi yang berkenaan dengan masalah lingkungan dengan menyadari adanya keterkaitan antara manusia, sumberdaya, lingkungan dan pembangunan.

3. Mempertimbangkan berbagai rumusan alternatif solusi secara lebih efektif terhadap masalah-masalah lingkungan.

4. Mengupayakan terciptanya persepsi yang sama tentang berbagai masalah lingkungan terutama masalah berdampak jangka panjang serta mengupayakan penanganan terbaik terhadap masalah tersebut.

1.3 Metodologi

Metode yang digunakan dalam penyusunan pedoman kebijakan penataan ruang dalam konteks pembangunan berkelanjutan ini ialah pendekatan tiga tahap yaitu melalui:

a. Studi literatur

Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data atau informasi mengenai pedoman kebijakan penataan ruang dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku dan materi lainnya dari dalam dan luar negeri.

b. Diskusi terfokus

Diskusi terfokus dilakukan dengan para pakar dari instansi terkait, pihak perguruan tinggi, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Diskusi dilakukan untuk mengetahui bagaimana pembangunan berkelanjutan dalam bidang penataan ruang sebaiknya dilaksanakan di Indonesia serta hasil optimum yang mungkin dicapai. Diskusi ini merupakan hal penting sebab pada kenyataannya pengendalian dampak lingkungan tidak mudah dilaksanakan. Berbagai kesalahan dan kekeliruan di masa lalu serta kendala yang ditemukan di lapangan dijadikan sebagai masukan bagi penyusunan pedoman ini.

c. Tinjauan lapangan

Kunjungan terhadap salah satu daerah merupakan upaya mengetahui tanggapan masyarakat dan pemerintah setempat mengenai bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan dipahami, sejauh mana penerapannya serta melihat hasil/manfaat secara langsung dan tidak langsung. Kegiatan ini merupakan upaya visualisasi informasi secara lengkap terutama hal-hal yang sukar disampaikan melalui media tulis maupun gambar.

(16)

2. PENATAAN RUANG DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Definisi dasar pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh komisi Brundlandt adalah pembangunan untuk memenuhi keperluan hidup manusia kini dengan tanpa mengabaikan keperluan hidup manusia masa datang. Pengertian awal ini dikembangkan oleh UNEP menjadi "memperbaiki kualitas kehidupan manusia dengan tetap memelihara kemampuan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan hidup dari ekosistem yang menopangnya." Suatu pendapat mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan kemajuan yang dihasilkan dari interaksi aspek lingkungan hidup, dimensi ekonomi dan aspek sosial politik sedemikian rupa masing-masing terhadap pola perubahan yang terjadi pada kegiatan manusia (produksi, konsumsi, dan sebagainya) dapat menjamin kehidupan manusia yang hidup pada masa kini dan masa mendatang dan disertai akses pembangunan sosial ekonomi tanpa melampaui batas ambang lingkungan (WCED, 1987). Perlu digarisbawahi bahwa pengertian keberlanjutan tidak dapat didefinisikan secara mutlak maupun mengikuti pendekatan atau ukuran pemahaman tertentu, demikian pula dengan keberlanjutan kebijakannya.

Pembangunan berkelanjutan mengkaitkan tiga aspek utama: ekonomi, sosial dan lingkungan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Untuk menjamin berkelanjutannya pembangunan ekonomi dan sosial-budaya, ekosistem terpadu (integrated ecosystem) yang menopangnya harus tetap terjaga dengan baik. Karena itu aspek lingkungan perlu diinternalisasikan ke dalam pembangunan ekonomi. Secara sosial, ekosistem ini harus terjaga hingga generasi yang akan datang (inter-generasi) sebagai sumberdaya alam pendukungnya, terutama menghadapi tantangan pertumbuhan penduduk tinggi yang memacu produksi dan konsumsi. Sementara intra-generasi, pembangunan ekonomi tidak membuat kesenjangan dalam masyarakat, terjadinya pemerataan dan kestabilan.

Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga matra berikut ini:

1. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan fakta bahwa lingkungan hidup dan berbagai elemen di dalamnya memiliki keterkaitan dan juga memiliki nilai ekonomi (dapat dinyatakan dengan nilai uang). Pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat mengelola lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara efektif dan efisien dengan yang berkeadilan perimbangan modal masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.

2. Keberlanjutan sosial budaya; pembangunan berkelanjutan berimplikasi terhadap pembentukan nilai-nilai sosial budaya baru dan perubahan bagi nilai-nilai-nilai-nilai sosial budaya yang telah ada, serta peranan pembangunan yang berkelanjutan terhadap iklim politik serta stabilitasnya. Dalam hal ini juga perlu keikutsertaan masyarakat dalam pembanguna ekonomi yang berwawasan lingkungan serta mengurangi kesenjangan antar tingkat kesejahteraan masyarakat.

3. Keberlanjutan kehidupan lingkungan (ekologi) manusia dan segala eksistensinya. Sebagai penopang pembangunan ekonomi, lingkungan perlu dipertahankan kualitasnya, karena itu harus dijaga keselarasan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. Sebagai satu upaya mempertahankan keberlanjutan, setiap kegiatan diminimasikan dampak lingkungannya, diupayakan menggunakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, mengurangi limbah dan meningkatkan penggunaan teknologi bersih.

Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa konsep yang menjadi landasan berpikir dalam pengembangannya. Konsep tersebut antara lain sebagai berikut:

? Pembangunan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan proses transformasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya pendukung beserta kombinasi ketiganya yang menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sebesar-besarnya.

? Hasil pembangunan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang (orientasi masa kini dan masa mendatang).

(17)

? Pemahaman yang baik -- tentang implikasi dari masing-masing pelaksanaan kegiatan pembangunan itu sendiri, baik positif maupun negatif, terhadap elemen hidup dan tidak hidup dalam lingkungan yang terkena pembangunan -- merupakan suatu alat efektif yang berfungsi mengendalikan. Penerapan nilai-nilai lingkungan hidup terutama nilai-nilai-nilai-nilai yang menekankan tentang keselarasan dan keterkaitan yang terdapat antara manusia dengan alam; berperan sebagai strategi utama.

? Pengendalian keberlanjutan (produk) tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan secara sinergis merupakan suatu bentuk keberlanjutan.

Terdapat beberapa prinsip dasar dan pandangan umum yang mendukung keberlanjutan antara lain:

? Prinsip Humanisme; manusia mampu mengubah lingkungan sesuai kehendaknya, bahkan terkadang sampai pada tahap di mana perubahan tersebut melampaui kemampuan alam untuk menanggungnya.

? Prinsip Government Power; setiap individu merasa bahwa perlindungan dan perbaikan lingkungan merupakan masalah yang dirasa penting khususnya masyarakat yang sedang melaksanakan pembangunan ekonomi, pemerintah sebagai penguasa dituntut tanggung jawabnya dalam perlindungan tersebut.

? Prinsip Kebijaksanaan; apabila kemampuan manusia mengubah lingkungan dijalankan secara bijaksana, maka pembangunan hanya akan menghasilkan kebajikan dan harapan untuk meningkatkan kualitas hidup. Berbagai pertimbangan matang dibutuhkan dalam pengelolaan lingkungan. Sebaliknya, yang sekarang sering terjadi ialah kesalahan dan kekeliruan dalam perhitungan manusia yang dampaknya berupa pencemaran pada air, tingkat polusi udara dan tanah yang sangat parah. Kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan tersebut semakin hari semakin memburuk dan pada akhirnya merusak biosfer keseimbangan ekologis.

? Prinsip Kepedulian; negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar persoalan lingkungan disebabkan oleh adanya kemiskinan, contohnya permukiman kumuh yang disertai berbagai permasalahan lingkungan. Sedangkan di negara-negara industri yang sudah maju pada umumnya masalah lingkungan berkaitan erat dengan industrialisasi dan kemajuan teknologi. Oleh karena itu, meskipun berbeda namun pada dasarnya seluruh negara memiliki kontribusi masing-masing terhadap perubahan lingkungan di bumi ini, oleh karena itu adalah lebih baik apabila setiap negara menggalang kepedulian lingkungan.

? Prinsip Dinamika yang Relevan; tingkat pertumbuhan penduduk alami, yang berlangsung secara terus-menerus pada akhirnya melahirkan masalah lingkungan yang juga mengalami perubahan mengikuti pertumbuhan tersebut dan oleh karena itu sejumlah kebijakan yang sesuai harus diambil dan dilaksanakan dalam mengatasi masalah tersebut.

? Prinsip Kebersamaan; pemahaman yang arif dan bijaksana seharusnya disertai dengan pelaksanaan upaya-upaya penyelamatan terhadap bumi dari berbagai kerusakan sebagai tindaklanjut yang merupakan perbuatan terpuji. Diperlukan pengembangan cakrawala pandang yang luas untuk meningkatkan derajat kualitas lingkungan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.

? Prinsip Tanggung jawab; tanggung jawab warga negara, masyarakat, perusahan dan berbagai level institusi yang terdapat di masyarakat. Terhadap individu-individu perlu ditekankan adanya pertahanan nilai-nilai kehidupan tentang kebutuhan generasi manusia masa depan terhadap lingkungan hidup beserta elemen-elemennya, sebagaimana manusia masa sekarang, yang dalam tingkatannya masing-masing, memiliki kebergantungan terhadap alam lingkungan hidup.

? Prinsip Nilai Ekonomis; segala sesuatu yang dianggap sebagai sumberdaya seharusnya dapat dikonversikan ke dalam bentuk nilai uang. Lingkungan hidup yang merupakan sumberdaya alam dieksploitasi dan diberikan nilai kemanfaatan yang lebih tinggi melalui kegiatan produksi.

? Prinsip Pemerataan; pembangunan berkelanjutan menjamin pemerataan dan keadilan sosial yang seharusnya diwujudnyatakan dalam berbagai aspek.

(18)

? Prinsip Partisipasi; pembangunan berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan pembangunan partisipatif, bahwa terdapat peranserta masyarakat dalam penataan ruang dalam hal perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian terhadap pemanfaatan serta terdapat transparansi dalam ketiga tahapan proses tersebut.

? Prinsip Keanekaragaman; pembangunan berkelanjutan menghargai keanekaragaman dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhan serta dalam berbagai perbedaan kompleksitas kegiatan didasarkan kepada visi serta tujuan akhir yang sama.

? Prinsip Integrasi; pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan integratif dan holistik, bahwa suatu kegiatan tertentu dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar daripada kemanfaatannya serta mempengaruhi kegiatan-kegiatan lainnya karena mengganggu keseimbangan lingkungan.

2.2 Penataan Ruang

Dokumen Agenda 21 menjelaskan secara rinci program -program yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Di dalam Agenda 21 dicantumkan bahwa penataan ruang merupakan satu isu yang termasuk dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya tanah, meski kenyataannya penataan ruang tidak terbatas pada ruang daratan saja. Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No. 24 Tahun 1992, penataan ruang diartikan sebagai suatu upaya mewujudkan tata ruang terencana melalui serangkaian proses yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang setiap bagiannya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Sedangkan yang dimaksud dengan tata ruang ialah wujud struktural dari pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Undang-Undang tersebut menjelaskan juga bahwa masing-masing Daerah Tingkat I propinsi dan Daerah Tingkat II kabupaten/kota perlu menyusun RTR Wilayah (RTRW).

(19)

Gambar 1: Segitiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: RE. Soeriaatmadja, 2001

Di samping itu lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan legitimasi mengenai kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah Daerah. Kewenangan dalam penataan ruang yang dimaksud meliputi wewenang yang luas dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Implikasi dari hal tersebut ialah meningkatnya peran pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain desentralisasi dan dekonsentrasi terdapat beberapa tuntutan lain yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah, di antaranya ialah partisipasi masyarakat dan prinsip transparansi atau keterbukaan yang harus diutamakan dalam proses pelaksanaan pembangunan.

Hal tersebut di atas telah mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan intensifikasi kegiatan yang meliputi proses penyusunan RTR dan evaluasi RTR pada masing-masing daerah maupun dalam pelaksanaan RTR. Melalui penetapan RTR sebagai Perda diharapkan pembangunan di daerah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Tindaklanjut dari hal tersebut dituangkan secara teknis dalam bentuk perangkat kebijakan dan peraturan tambahan. Dengan demikian diharapkan tujuan, sasaran dan alokasi pemanfaatan ruang yang tercantum dalam RTR dapat tercapai secara efektif. Kebijakan ini meliputi

EKONOMI:

? Pertumbuhan ? Eko-Efisiensi ? Pemerataan

?

Stabilitas

EKONOM

I

SOSIAL

SDA/LH

(EKOLOGI

PBBL

Intra-generasi

Internalisasi

Inter-generasi

SOSIAL:

? Pengentasan Kemiskinan ? Peran Serta

? Pemantapan Jatidiri Bangsa

? Sumberdaya Manusia Berkelanjutan ? Mobilitas

?

Sistem Kelembagaan

EKOLOGI:

? Integritas Ekosistem ? Pelestarian LH ? Pencegahan Pemborosan SDA ? Pencegahan Pencemaran

?

Pemulihan LH yang rusak

(20)

kebijakan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang secara keseluruhan mengarahkan program pembangunan sesuai RTR yang telah ditetapkan.

Secara umum penataan ruang memiliki tiga tujuan, yaitu: (a) menyelenggarakan fungsi pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan ketahanan nasional; (b) menyelenggarakan fungsi pengaturan pemanfaatan ruang bagi kawasan lindung dan kawasan budi daya; dan (c) menciptakan pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Sesuai dengan pengertiannya, proses berantai dalam penataan ruang dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: (1) perencanaan tata ruang; (2) pemanfaatan ruang; dan (3) pengendalian pemanfaatan ruang. Rangkaian proses tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang bukan merupakan kegiatan yang berhenti pada terwujudnya suatu RTR, melainkan merupakan proses yang terus-menerus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal. Dengan demikian penataan ruang dilaksanakan secara prosedural, bertahap dan terencana serta membentuk suatu siklus; siklus tersebut menjelaskan mengapa ketiga tahap di atas tidak dapat dipisahkan secara mutlak.

2.3 Penataan Ruang dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan

Secara teori, penataan ruang di Indonesia diarahkan kepada konsep berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan pada UU 24/1992 tentang Penataan Ruang pada pasal 2 dan merupakan hal yang seharusnya seperti itu, berorientasi kepada jangka panjang. Pertanyaan bagaimana pembangunan berkelanjutan diterapkan dalam proses penataan ruang menjadi menarik karena dalam kenyataannya penataan ruang di Indonesia kerapkali tidak mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan. Contoh lebih konkrit dalam perkembangan kota-kota besar yang lebih banyak mengikuti aspek ekonomi dibandingkan sosial dan lingkungan.

Dari tiga matra berkelanjutan sesuai aspek di atas, Prof. RE Soeriaatmadja (2001) bahkan mengusulkan satu matra lagi, matra keberlanjutan penataan ruang yang antara lain menggambarkan:

? "Keseimbangan tata ruang Desa dan Kota yang mendukung keserasian dan keselarasan kegiatan Ekonomi Berkelanjutan perlu dikembangkan secara konsekuen, sehingga tujuan ekonomi dan ekologi pemanfaatan lingkungan hidup/sumberdaya alam berkelanjutan dapat terwujud.

? Kegiatan Ekonomi Berkelanjutan, baik di Ekosistem Alam maupun Ekosistem Binaan juga siap mencegah gangguan, hambatan, ancaman dan tantangan terhadap Ekosistem yang peka terhadap perubahan alami maupun budaya.

? Mengembangkan Pertanian Reproduktif dan Regeneratif serta Agro-perhutanan bagi petani kecil disertai dengan siklus (daur) sarana yang mendukung hasil panen berkelanjutan dalam perjalanan ruang dan waktu.

? Mengembangkan industri yang terdesentralisasi dengan dukungan “IPTEK generasi : RAMAH LINGKUNGAN” melalui aneka-ragam upaya pemanfaatan Jejaring Informasi INDUSTRI-Berkelanjutan, baik pada tingkat nasional, regional maupun global."

Sistem perencanaan penataan ruang memegang peranan penting dalam meningkatkan nilai-nilai keberlanjutan. Peranan tersebut dinyatakan dalam bentuk (1) pengaturan guna lahan, (2) perlindungan dan pengukuhan terhadap lingkungan hidup dan (3) memadukan kebijakan-kebijakan berbagai sektoral. Akan tetapi kapasitas sistem perencanaan tata ruang dalam mendukung keberlanjutan ditentukan bukan hanya semata-mata oleh sistem itu sendiri, melainkan oleh berbagai kondisi masing-masing elemen yang terkandung di dalamnya. Kondisi elemen yang dimaksud antara lain: perilaku publik dan profesional dalam menyikapi isu lingkungan hidup, karakteristik spesifik pembangunan yang dilaksanakan, kecenderungan ekonomi, serta isu perencanaan tata ruang. Seluruh elemen di atas kondisinya mempengaruhi kapasitas sistem perencanaan nasional dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutannya.

(21)

perbandingan. Dari pengetahuan tersebut dapat dihasilkan hipotesis sementara antarobyek mengenai susunan dan kombinasi susunan yang bagaimana yang berpeluang tinggi dalam menyusupkan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam perencanaan spasial. Prinsip-prinsip perencanaan berkelanjutan barangkali sama di setiap negara, akan tetapi langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan adalah berbeda sesuai dengan kondisinya masing-masing. Melalui perbandingan situasi dan kondisi secara kontras, kita dapat mengetahui kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang dari setiap kasus.

Keterkaitan antara perencanaan tata ruang dan keberlanjutan pada masa ini telah diketahui sebagaimana dituangkan dalam berbagai dokumen hasil diskusi forum. Perencanaan tata ruang berperan sebagai mekanisme yang mengatur guna lahan, sebagai alat koordinasi kebijakan sektoral dan sebagai alat perlindungan bagi lingkungan hidup. Berdasarkan peranan tersebut, perencanaan tata ruang itu sendiri telah menjadi alat untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Keterkaitan antara perencanaan tata ruang dan pembangunan keberlanjutan merupakan suatu aksioma, yakni sesuatu yang sudah pasti dan tidak memerlukan pembuktian serta telah diketahui oleh masyarakat umum. Meskipun aksiomatik, namun kita memperoleh pemahaman tambahan dari kenyataan tersebut, yakni bahwa praktik pelaksanaan sistem perencanaan tata ruang mempengaruhi tujuan akhir pembangunan berkelanjutan. Atau dengan perkataan lain, jika pelaksanaan sistem perencanaan tata ruang berjalan dengan baik maka tujuan pembangunan berkelanjutan akan tercapai, demikian pula sebaliknya. Kapasitas sistem perencanaan nasional untuk mencapai tujuannya di samping bergantung pada karakteristik sistem itu sendiri bergantung juga pada kondisi dan konteks di mana sistem tersebut dioperasikan. Kapasitas yang dimaksud dalam konteks ini ialah kemampuan sistem untuk menghasilkan keluaran seoptimal mungkin kemudian ukuran tersebut dijadikan sebagai target yang harus dicapai. Baik perencanaan tata ruang maupun pembangunan berkelanjutan, masing-masing memiliki beban dan kendala yang secara langsung saling berkaitan. Misalnya kondisi perilaku publik dan profesional terhadap lingkungan serta karakteristik pembangunan dan perekonomian dalam suatu negara dalam banyak hal berkaitan dengan isu perencanaan tata ruangnya.

Intervensi terhadap sistem penataan ruang berkelanjutan merupakan analisis dalam konteks lintaswilayah. Hal ini harus dipandang sebagai pemahaman umum/generalisasi karena melibatkan kondisi beberapa wilayah atau subwilayah yang sedang dipelajari. Dalam konteks sistem perencanaan tata ruang dan konteks keberlanjutan, kondisi pembangunan sangat ditentukan oleh faktor iklim, topografi, ekologi, demografi dan ekonomi. Faktor-faktor tersebut dapat diproyeksikan dalam dimensi penataan ruang. Misalnya penataan ruang berdasarkan faktor demografi diperlihatkan oleh perbedaan kepadatan penduduk secara geografis di pusat dan pinggiran suatu kota, beserta persebarannya dalam konstelasi ruang. Faktor ekonomi juga dapat diproyeksikan dalam konstelasi ruang berdasarkan jenis penggunaan lahan atau karakteristik kegiatan/mata pencaharian dominan. Konstelasi ruang yang diproyeksikan oleh faktor-faktor tersebut kemudian dapat diberi penilaian dari sudut pandang keberlanjutan dengan atau tanpa disertai tindakan pengubahan.

Di samping perbedaan yang ada, pemahaman tentang persamaan dalam konteks lintaswilayah juga sangat dibutuhkan. Fenomena atau kecenderungan yang sama antarwilayah/subwilayah dapat dipandang sebagai kemudahan karena memungkinkan dilakukannya intervensi dengan tindakan atau kebijakan yang sama. Lebih jauh lagi, permasalahan yang sama secara lintaswilayah bisa saja disebabkan oleh isu yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Dalam kasus tersebut, nilai-nilai keberlanjutan akan menuntut adanya koordinasi pembangunan lintaswilayah tanpa mempermasalahkan batas wilayah administrasi. Sebagai contoh ialah permasalahan arus lalu lintas, pemekaran suatu kota, penyediaan air bersih dari sumber yang sama, antisipasi terhadap bencana alam, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa dalam konsep keberlanjutan, perbedaan karakteristik masing-masing wilayah studi tidak menutup kemungkinan untuk memiliki kerangka berpikir dan kinerja yang sama maupun untuk melakukan koordinasi dalam pembangunan.

Penataan ruang sangat berperan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dalam setiap tahapan proses dalam penataan ruang itu sendiri. Berawal dari tahap perencanaan, pemanfaatan sampai dengan

(22)

tahap pengendalian pemanfaatan ruang, nilai-nilai keberlanjutan sedapat mungkin dicerminkan dalam setiap elemen, metoda dan instrumen yang digunakan oleh pemerintah. Implementasi Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan lebih efektif dilaksanakan pada tingkat pemerintahan lokal, yakni jenjang pemerintahan kabupaten dan kota. Pengetahuan dan kesimpulan yang diperoleh pada masyarakat kabupaten atau kota tersebut apabila digeneralisasikan untuk tahap selanjutnya dapat dijadikan sebagai rekomendasi alternatif berupa pendekatan umum bagi perencanaan pembangunan berkelanjutan.

Sebagaimana penataan ruang diterapkan dalam konteks daerah/lokal, yakni kabupaten dan kota, pembangunan berkelanjutan juga seharusnya diaplikasikan dalam konteks kabupaten dan kota agar lebih efisien. Penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang) akan jauh lebih mudah dilaksanakan dalam ruang lingkup yang lebih kecil. Demikian pula konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya lebih obyektif dan efektif apabila diterapkan terhadap ruang yang lebih kecil. Hal ini dapat dipahami berdasarkan kenyataan bahwa keberlanjutan suatu sistem sangat ditentukan oleh kondisi internal sistem tersebut beserta keharmonisan interaksi berbagai subsistem di dalamnya. Akan tetapi dalam berbagai kasus sering ditemukan bahwa keberlanjutan suatu sistem sangat dipengaruhi oleh lingkungan di luar sistem tersebut, yakni oleh satu atau beberapa sistem lainnya. Misalnya keberlanjutan daerah hilir sungai sangat dipengaruhi oleh daerah hulu dan daerah sepanjang aliran sungai tersebut. Dengan demikian, sekalipun penataan ruang dan nilai-nilai keberlanjutan sangat efektif diterapkan dalam skala kabupaten atau kota namun koordinasi yang baik dari seluruh kabupaten dan kota dalam hal penataan ruang pada hierarki yang lebih tinggi merupakan hal yang tidak kalah penting. Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih mendalam penataan ruang kota yang berkelanjutan.

Dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, terdapat beberapa elemen penting yang berperan dalam membentuk kinerja yang baik. Elemen-elemen tersebut antara lain:

? Kemitraan: esensi/obyektif, langkah-langkah pelaksanaan

? Analisis isu berbasis-masyarakat: langkah-langkah

? Perencanaan Tindakan (action planning): struktur, isi, langkah-langkah

? Pelaksanaan dan Pemantauan (Implementation and Monitoring): menciptakan struktur efektif, menciptakan keterkaitan perencanaan yang efektif, melakukan pemeriksaan dan pemantauan (auditing and monitoring), dokumentasi

? Evaluasi dan Umpan balik: pelaporan, pengukuran kinerja, ulasan kemajuan secara periodik, umpanbalik dari masyarakat

2.4 Penataan Ruang Perkotaan dengan Konsep Ekologis

Penataan ruang suatu perkotaan mulai memasukkan konsep ekologis sebagai pertimbangan dalam menjadikan kota mandiri, walaupun menghubungkan antara kota dengan ekologi belum banyak dilakukan oleh peneliti (Argo, 2001). Pada saat ini kota terkesan tidak mandiri, bersifat parasitik, banyak tergantung pada desa dalam hal pemenuhan sumberdaya alam untuk konsumsi dan pembuangan sampah perkotaan. Hal ini dapat menunjukkan ketidakberlanjutan kota dapat terjadi. Untuk itu kota perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut (Argo, 2001 dan Samiadji, 2001):

1. Memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara efisien, baik yang berada di pinggiran kota maupun di kabupaten di luar kota. Jika sumberdaya alam itu tersedia di luar perkotaan perlu dilakukan kerja sama antar daerah untuk mempertahankan keberlanjutan. Untuk itu pula kawasan sumberdaya alam ini perlu dikontrol pembangunannya.

2. Memanfaatkan ruang kota sebagai sumberdaya alam kota yang memiliki tiga nilai (Chaoin, 1957 dalam Samiadji, 2001) yaitu:

(23)

a. Nilai ekonomi: fungsi ekonomi ruang kota dapat diperoleh dari perdagangan, penyewaan ruang kota, dan lain-lain;

b. Nilai lingkungan: memanfaatkan ruang kota sebagai daya dukung dan daya tampung sehingga terjadi keseimbangan dan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan untuk menghindari terjadinya bencana alam, seperti banjir, longsor, dan sebagainya;

c. Nilai kepentingan umum: ruang kota digunakan untuk fasilitas masyarakat umum, seperti jalan, taman, bahkan memungkinkan untuk berkembangnya demokrasi yang adil dan merata.

3. Kegiatan kota diusahakan dalam skala kecil untuk mengurangi eksploitasi yang tinggi. 4. Meminimasikan pergerakan dan diupayakan sifatnya lokal dalam kota itu sendiri.

Untuk mengembangkan konsep keberlanjutan dalam penataan ruang kota, terdapat beberapa format yang berbeda di tiap negara. Indonesia menggunakan konsep land use planning sebagaimana tercantum dalam UU 24/1992 dalam rangka menahan tekanan urbanisasi. Sementara Jepang, misalnya, memasukkan urban promotion area dalam land use planning-nya serta adanya urban development project yang terdiri dari land readjustment project, urban redevelopment project, new residential area development project, dan sebagainya (Bambang, 2001).

Konsep-konsep kota yang lain juga ditawarkan oleh ahli ekologi perkotaan modern. Kota dianggap sebagai satu kesatuan sehingga muncullah konsep-konsep kota yang ekologis sebagai berikut (Argo, 2001):

1. Compact city. Konsep yang dikenal di Jerman ini meminimalkan penggunaan ruang kota sehingga memudahkan pergerakan penduduknya dari suatu lokasi ke lokasi lain dengan berjalan kaki atau bersepeda, misalnya. Akibatnya timbul istilah rooftop garden, ruang terbuka hijau di atap-atap gedung untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.

2. Eco-city. Berbeda dengan compact city, eco-city lebih mempertimbangkan interaksi antara manusia dengan alamnya agar menjadi kreatif. Kota dibangun untuk memaksimalkan pertukaran (exchange, dari barang, jasa, emosi, dan lain-lain) dan meminimalkan pergerakan (traffic). Namun karena pembangunan kota lebih ditujukan kepada manusia, maka dalam konsep ini, pergerakan jalan kaki lebih didahulukan daripada transportasi massa, yang menggunakan mesin.

3. Bioregional city. Konsep bioregion menekankan pada pemanfaatan sumberdaya lokal sehingga masyarakat kota tersebut masih menanam tanaman pangan sendiri hingga mendistribusikan secara lokal pula. Hubungan kota dan non-kota memang tidak dibutuhkan, tetapi sifatnya yang lokal ini menjadikan kota rentah terhadap pengaruh global.

4. Sustainable city. Aspek penurunan kualitas lingkungan menjadi faktor penting dalam konsep ini. Kota berkelanjutan diupayakan dapat menilai ketergantungan kepada lingkungan alam, sebatas mana kerusakan lingkungan masih dapat ditolerir. Meski demikian, sesuai dengan pengertian berkelanjutan, aspek ekonomi dan sosial pun terkait erat pada lingkungan.

2.5 Instrumen Penataan Ruang

Penataan ruang membutuhkan sejumlah alat yang berfungsi mengatur pelaksanaan sistem tata ruang dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Ketersediaan instrumen yang sesuai dengan kebutuhan maupun penggunaan instrumen secara tepat sangat penting dalam menentukan sistem tata ruang yang dihasilkan. Sistem tata ruang yang baik ialah tata ruang yang dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan tingkat aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan. Penyesuaian tersebut menjadi alasan mengapa tata ruang masing-masing wilayah dapat saling berbeda. Di samping itu, tata ruang yang baik harus berwawasan lingkungan serta memiliki nilai-nilai keberlanjutan. Instrumen penataan ruang dapat berupa program kerja maupun peraturan/perundang-undangan sebagai landasan hukum atas setiap langkah/tindakan yang diambil. Secara umum klasifikasi jenis instrumen yang dimaksud ialah:

(24)

? Program Kerja

? Metode Analisis Ilmiah

? Peranserta Masyarakat

Peraturan perundang-undangan yang termasuk di antaranya ialah: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

4. Permendagri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. 5. Permendagri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.

6. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. 7. Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Lahan (Land Consolidation) sebagai

instrumen penataan ruang.

8. Land Readjustment sebagai instrumen penataan ruang. 9. Land Suitability sebagai instrumen penataan ruang. 10. Urban Renewal sebagai instrumen penataan ruang.

11. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai instrumen penataan ruang; terdiri dari Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

12. RTRW Nasional, RTRW Propinsi, RTRW Kabupaten/Kota dan RDTR (BWK) serta RTTR.

Di samping faktor kesesuaian instrumen, faktor komunikasi juga sangat berperan dalam penataan ruang. Komunikasi merupakan media koordinasi untuk menyamakan visi dan orientasi dalam wadah pemikiran yang menyatu agar pembangunan berjalan secara harmonis dalam sistem tata ruang yang baik. Proses komunikasi dan koordinasi yang baik dapat dilakukan secara formal maupun informal. Integrasi setiap elemen pelaku pembangunan dalam proses penataan ruang akan dapat terwujud melalui komunikasi vertikal dan horizontal antarinstansi dan antarpengambil keputusan yang terkait. Proses komunikasi dan koordinasi yang dimaksud mengharuskan dijalankannya langkah-langkah berikut ini secara bertahap dan berurutan:

? Proses komunikasi antarprofesional masing-masing bidang multidisiplin sebagai bentuk interaksi internal tiap bidang. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan pada tiap tahap penataan ruang; tahap perencanaan, tahap pemanfaatan dan tahap pengendalian pemanfaatan ruang.

? Proses komunikasi antarprofesional antarbidang multidisiplin sebagai interaksi eksternal antarbidang dan berkesinambungan dalam tiap tahap penataan ruang.

? Proses komunikasi internal secara berkesinambungan antarpengambil keputusan dalam tiap tahap penataan ruang. Terdapat penekanan penting pada proses ini terutama apabila bersifat multistakeholder atau melibatkan kepentingan berbagai pihak sebab diharapkan keputusan yang disepakati merupakan aspirasi pemerintah, swasta, masyarakat, media massa dan seluruh kelompok masyarakat. Proses pengambilan keputusan tersebut merupakan upaya mencapai kesepakatan interen pada masing-masing tahap penataan ruang.

? Proses komunikasi antartahap antarpengambil keputusan, yaitu berbagai pihak terkait seperti instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan media massa. Proses komunikasi eksternal ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengupayakan kesepakatan internal dalam masing-masing tahap penataan ruang.

? Proses komunikasi berkesinambungan antarprofesional dan antarpengambil keputusan. Adanya dukungan politik dan komitmen pada masing-masing hierarki pemerintahan.

(25)

2.6 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Untuk mengetahui sejauh mana diimplementasikannya konsep pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari terpenuhi atau tidaknya indikator yang telah ditetapkan. Indikator ini berisi sejumlah informasi penting yang dimaksudkan untuk menyederhanakan suatu sistem yang kompleks agar lebih mudah dipahami. Indikator ini membantu untuk mendapatkan gambaran suatu keadaan yang dapat dijadikan satu acuan evaluasi dan penilaian. Sering pula indikator menjadi sebuah sinyal jika suatu keadaan telah mencapai satu titik ekstrim, misalnya baku mutu lingkungan.

Penerapan pembangunan berkelanjutan yang kompleks dapat disederhanakan dengan penggunaan sejumlah indikator yang tepat. Ketepatan indikator yang dipilih menentukan pada penilaian akhir karena indikator bersifat spesifik untuk masing-masing kondisi. Pemilihan banyaknya indikator pun perlu diperhitungkan karena jika terlalu banyak tidak saja akan memakan biaya dan waktu yang banyak, tetapi juga dapat mengaburkan fokus yang ingin dicapai. Sebaliknya bila terlalu sedikit, dirasakan adanya kelemahan, bahkan kekeliruan dalam menerjemahkan keadaan. Karena itu penetapan sekumpulan indikator yang tepat untuk menggambarkan pembangunan berkelanjutan menjadi satu tugas yang sulit.

Indikator diterapkannya konsep pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang dapat dibagi sesuai dengan tiga aspek yang ingin dicapainya, yaitu ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup dengan beberapa contoh sebagai berikut:

? Indikator Ekonomi: PDB/PDRB, pendapatan perkapita, volume ekspor-impor, dan lain-lain secara stabil serta kemajuan sektor kegiatan ekonomi yang telah ada sekaligus tumbuhnya sektor kegiatan baru yang mendukung perekonomian nasional.

? Indikator Sosial Budaya: kualitas sumberdaya manusia, angka harapan hidup, intensitas kegiatan budaya; tingkat kebergantungan penduduk (desa-kota, nonproduktif-produktif, jumlah pengangguran, dan lain-lain).

? Indikator Lingkungan Hidup: standardisasi kualitas air, udara, tanah; perubahan suhu udara, tingkat permukaan air tanah, intrusi air laut, frekuensi bencana, dan lain-lain.

3. PANDUAN PEMBANGUNAN

3.1 Perencanaan Tata Ruang

Salah satu bagian penting dalam proses ini ialah melakukan analisis terhadap rencana tata ruang yang berlaku pada periode rencana sebelumnya. Analisis tersebut merupakan tinjauan terhadap aspek legal. Landasan yang menjadi esensi penyusunan rencana tata ruang antara lain ialah:

? Dibutuhkan kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional dan wilayah regional yang baik dan mampu menyelaraskan program-program pembangunan sektoral serta mampu menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan untuk mendukung program pembangunan nasional dan daerah.

? Dibutuhkan prosedur pengelolaan tata ruang beserta ketentuan pedoman teknis yang dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan kebijakan pengelolaan tata ruang.

? Dibutuhkan sumberdaya manusia yang memadai baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif dan diorganisasikan secara formal dalam aspek kelembagaan sebagai penyelenggara penataan ruang.

? Dibutuhkan pembinaan dan tinjau ulang secara periodik (evaluasi) dalam hal penyamaan standar tata ruang serta terhadap orientasi pemetaan tata ruang.

? Dibutuhkan ketentuan dan pedoman pengelolaan tata ruang secara rinci untuk perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Gambar

Gambar 1: Segitiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan.. Jakarta:

Pola sebaran bobot dan panjang badan ikan gurame yang direndam dengan hormon pertumbuh- an rekombinan ikan mas (r Cc GH) dibandingkan dengan kontrol. Kotak ( box ) dengan

Dengan demikian yang dimaksud peserta didik (murid) adalah manusia yang sedang mengalami perrtumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani. Pendidikan dirancang dan

Berdasarkan fakta sejarah tersebut di atas, maka sesuai dengan prinsip asas uti possidetis penentuan batas wilayah negara Indonesia-dengan Ma- laysia dilakukan berdasarkan

Dari analisis ruang dan tipologi temuan yang dilakukan, menunjukkan bahwa masa persebaran arca menhir di Situs Rampi berasal pada masa logam awal (paleometalik) yang didukung

Gambar 8 menjelaskan ilustrasi penyisipan pesan. Warna kuning merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan file format media sebesar 56 bytes, warna biru digunakan

Tabel III.1 Kategori Skor Interval Event 38 Tabel III.2 Kategori Skor Interval Brand Awareness 39 Tabel IV.1 Hasil Pengujian Validitas Event 47 Tabel IV.2 Hasil

Tujuan dari perencanaan ini adalah untuk mendapatkan lokasi intake terbaik dari rambatan salinitas air asin yang masuk ke badan air Sungai Jawi agar dapat dimanfaatkan