• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengenalan Kawasan Rawan Longsor

B. Prosedur Umum Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan

VI. PENGENALAN DAN PENGENDALIAN KAWASAN

2. IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN LONGSOR

2.2. Pengenalan Kawasan Rawan Longsor

Kondisi lahan/kawasan yang rawan longsor dapat diuraikan sebagai berikut (Sartono, 1975; Heath dan Sarosa, 1988; Heath, dkk. 1988; Tjojudo, 1985; Sarosa 1992 dan Kamawati, 1997 dan 2000) dibedakan atas kondisi alamiah dan kondisi non alamiah. Adapun karakteristik kondisi alamiah adalah:

1. Kondisi lereng yang biasanya mempunyai kemiringan lebih dari dua puluh derajat. 2. Kondisi tanah/ batuan penyusun lereng, umumnya lereng yang tersusun oleh:

? tumpukan massa tanah gembur/ lepas-lepas yang menumpang di atas tanah/batuan yang lebih kedap dan kompak

? perlapisan tanah/batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng.

3. Adanya struktur geotogi (misal kekar) yang miring searah dengan kemiringan lereng. Struktur geologi ini dapat merupakan bidang-bidang lemah dan massa tanah sensitif bergerak di sepanjang bidang- bidang lemah tersebut.

4. Kondisi hidrologi lereng, terutama kondisi aquifer dan kedudukan muka air tanah dalam lereng. Kondisi dinamika pada lereng yang dapat dipicu oleh:

1. Hujan (lamanya hujan dan curahnya) yang dapat mengakibatkan kenaikan tekanan air pori di dalam tanah

2. Hilangnya penahan lateral dan penahan di bagian bawah lereng, misal karena erosi/ abrasi/pengikisan oleh air

3. Getaran gempa bumi

Sedangkan kondisi non alamiah ini umumnya mempengaruhi dinamika gaya-gaya dalam lereng dan merupakan pemicu terjadinya longsoran. Kondisi-kondisi ini dapat berupa: 1. Getaran-getaran misalnya getaran kendaraan atau getaran akibat penggalian pada lereng. 2. Bertambahnya pembebanan pada lereng, misal karena adanya konstruksi bangunan atau meresapnya air

dan pennukaan.

3. Hilangnya penahan pada lereng karena penggalian di bagian bawah (bagian kaki) lereng. 4. Perubahan lahan di atas lereng, misal karena penebangan pohon secara sembarangan

5. Sangat jarang longsoran terjadi hanya karena salah satu faktor penyebab di atas, tetapi lebih sering karena interaksi dan berbagai faktor di atas.

Gejala tanah longsor antara lain: 1. Retakan/rekahan

2. Kemiringan pohon tidak beraturan atau sejajar lereng. 3. Timbulnya mata air baru atau hilangnya mata air lama. 4. Gumpalan tanah segar yang terlempar dari lereng. 5. Kabel listrik kendor atau kencang bahkan sampai putus. 6. Suara (rathing ---> explosion).

7. Perubahan pada struktur bangunan yang ada diatasnya (retak-retak, miring, pintu susah dibuka, dan lain-lain).

8. Tingkah laku hewan yang aneh.

Tanah Longsor pada umumnya terjadi pada: 1. Awal musim hujan (Nopember)

2. Puncak musim hujan (Desember - Januari) 3. Kebanyakan terjadi pada malam hari.

2.2.1. Tipologi A: Daerah Lereng Bukit, Lereng Gunung, Lereng Perbukitan, dan Lereng Pegunungan

Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh berbagai karakteristik berikut: a. Faktor kondisi alam:

1. Lereng relatif cembung dengan kemiringan lebih curam dari 200 (40%) 2. Kondisi tanah/batuan penyusun lereng:

(a) Lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (>2m), bersifat gembur dan mudah lolos air, misalnya tanah-tanah residual, yang umumnya menumpang di atas batuan dasarnya (misal: andesit, breksi andesit, tuf, napal, dan batu lempung) yang lebih kompak da kedap air.

(b) Lereng tersusun oleh tanah penutup tebal (>2m), bersifat gembur dan mudah lolos air, misalnya tanah-tanah residual atau tanah kolovial, yang di dalamnya terdapat bidang kontras antara tanah dengan kepadatan lebih rencah dan permeabilitas lebih tinggi yang menumpang di atas tanah dengan kepadatan lebih tinggi dan permeabilitasnya lebih rendah.

(c) Lereng yang tersusun oleh batuan dengan bidang diskontinuitas atau struktur retakan/kekar pada batuan tersebut.

(d) Lereng yang tersusun oleh pelapisan batuan miring ke arah luar lereng (pelapisan batuan miring searang kemiringan lereng), misalnya perlapisan batu lempung, batulanau, serpih, napal, dan tuf.

3. Curah hujan

(a) Curah hujan yang tinggi (dapat mencapai 100 mm/hari atau 70 mm/jam) dengan curah hujan tahunan lebihd ari 2.500 mm

(b) Curah hujan kurang dari 70 mm/jam tetapi berlangsung terus menerus selama lebih dari dua jam, hingga beberapa hari.

4. Keairan lereng. Sering muncul rembesan-rembesar air atau mata air pada lereng, terutama pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih permeable.

5. Kegempaan. Lereng pada daerah rawan gempa sering pula rawan terhadap gerakan tanah.

b.

Faktor Aktivitas Manusia

1. Lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanamai tanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/ladang dan hutan pinus.

2. Dilakukan penggalian/pemotongan lereng, misal untuk jalan atau bangunan dan penambangan, tanpa memperhatikan struktur perlapisan tanah/batuan pada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng.

3. Dilakukan pencetakan kolan yang dapat mengakibatkan merembesnya air kolam ke dalam lereng. 4. Sistem drainase tidak memadai.

5. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar.

c.

Jenis Gerakan Tanah yang Dapat Terjadi:

1. Jatuhan yaitu jatuhan batuan, robohan batuan, dan rebahan batuan.

2. Luncuran baik berupa luncuran batuan, luncuran tanah, luncuran bahan rombakan dengan bidang gelincir berbentuk lurus, melengkung, atau tidak beraturan.

3. Aliran misalnya aliran tanah, aliran batuan, dan aliran bahan rombakan batuan. 4. Kombinasi antara dua atau beberapa jenis gerakan tanah.

2.2.2. Tipologi B: Daerah Kaki Gunung, Kaki Bukit, Kaki Pegunungan, dan Kaki Perbukitan Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh beberapa karakteristik berikut:

a. Faktor Kondisi Alam:

1. Lereng relatif landai dengan kemiringan sekitar 100 (20%) hingga 200 (40%)

2. Kondisi tanah/batuan penyusun lereng umumnya merupakan lereng yang tersusun oleh tanah lempung yang mudah mengembang apabila jenuh air (jenis montmorillonite).

3. Curah hujan mencapai 70 mm/jam atau 100 mm/hari. Curah hujan tahunan mencapai lebih dari 2.500 mm, atau kawasan rawan gempa.

4. Keairan lereng. Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutama pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih permeabel.

b. Faktor Aktivitas Manusia

1. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air kolam ke dalam lereng. 2. Sistem drainase tidak memadai

3. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang melampai daya dukung tanah. c. Jenis Gerakan Tanah

1. Berupa rayapan tanah yang mengakibatkan retakan dan amblesan tanah.

2. Kecepatan gerakan lambat hingga menengah (kecepatannya kurang dari 2 m per hari). 2.2.3. Tipologi C: Daerah Tebing Sungai

Kawasan rawan di daerah ini dicirikan oleh beberapa karakteristik berikut: a. Faktor Kondisi Alam:

1. Daerah belokan sungan (meandering) dengan kemiringan tebing sungai lebih dari 200 (40%). 2. Lereng tebing sungai tersusun oleh tanah residual, tanah kolovial, atau batuan sedimen hasil

endapat sungai dengan ketebalan lebih dari 2 m.

3. Curah hujan mencapai 70 mm/jam atau 100 mm/hari. Curah hujan tahunan mencapai lebih dari 2.500 mm, sehingga debit sungai dapat meningkat dan mengerosi kaki tebing sungai

4. Keairan lereng. Sering muncul rembesan-rembesan air atau mata air pada lereng, terutama pada bidang kontak antara batuan kedap dengan lapisan tanah yang lebih permeabel.

5. Kegempaan. Lereng pada daerah rawan gempa sering pula rawan terhadap gerakan tanah. b. Faktor Aktivitas Manusia

1. Lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanami btanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/ladang dan hutan pinus.

2. Dilakukan penggalian/pemotongan lereng, misal untuk jalan atau bangunan dan penambangan, tanpa memperhatikan struktur lapisan tanah/batuan pada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng.

3. Dilakukan pencetakan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air kolam ke dalam lereng. 4. Sistem drainase tidak memadai.

5. Dilakukan pembangunan konstruksi dengan beban yang terlalu besar. c. Jenis Gerakan Tanah yang Dapat Terjadi

1. Jatuhan yaitu jatuhan batuan, robohan batuan, dan rebahan batuan.

2. Luncuran baik berupa luncuran batuan, luncuran tanah, luncuran bahan rombakan dengan beidang gelincir berbentuk lurus, melengkung, atau tidak beraturan dengan gerakan relatif cepat (lebih dari 2 m per hari hingga dapat mencapai 25 m per menit).

3. PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN KAWASAN RAWAN