• Tidak ada hasil yang ditemukan

jtptiain gdl anikrisala 3911 1 3103247 p

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "jtptiain gdl anikrisala 3911 1 3103247 p"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Ilmu Pendidikan Agama Islam

Oleh : Anik Risalati NIM : 3103247

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)

ii 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 35; 2) relevansi makna khalifah dalam QS.al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam.

Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan Metode Riset Kepustakaan (library research), dengan Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif. Data penelitian yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Maudhu’i dan Interpretasi.

Dalam penelitian ini penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa makna khalifah tidak hanya dapat dipahami sebagai penggantian atau pewarisan. Berdasarkan tafsir-tafsir QS. al-Baqarah ayat 30-35, khalifah berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna. Khalifah adalah manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh. Khalifah adalah manusia kritis, kreatif serta dinamis yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapan-Nya.

Secara operasional tugas kekhalifahan dapat dijabarkan melalui: pertama, tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri yakni menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. Kedua, tugas kekhalifahan terhadap keluarga, menyangkut tugas membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah mawaddah warahmah). Ketiga, tugas kekhalifahan dalam masyarakat, meliputi tugas mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, menegakkan keadilan dalam masyarakat, bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk fakir miskin serta anak yatim. Keempat, tugas kekhalifahan terhadap alam, menyangkut tugas mengkulturkan alam, menaturalkan kultur dan mengislamkan kultur

(3)
(4)

iv

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian pula skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan rujukan.

Semarang, 15 Januari 2008 Deklarator

(5)

v

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp. : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi

a.n. Sdri. Anik Risalati

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari :

Nama : Anik Risalati NIM : 3103247

Judul : Makna Khalifah Dalam Al-Qur’an Relevansinya Dengan Tujuan Pendidikan Islam ( Analisis QS. Al-Baqarah Ayat 30-35)

Dengan ini, saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Pembimbing I, Pembimbing II,

(6)

vi

PENGESAHAN Nama : Anik Risalati

NIM : 3103247 Jurusan : PAI

Judul Skripsi : Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam (Analisis QS. al-Baqarah ayat 30-35) Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :

24 Januari 2008

dan dapat diterima sebagi kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan Studi Program sarjana Strata 1 ( S1) guna memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Tarbiyah.

Semarang, 30 Januari 2008

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dra. Hj. Nur Uhbiyati, M.Pd Siti Tarwiyah, S. S. M. Hum

NIP. 150 170 474 NIP. 150 290 932

Penguji I Penguji II

Dra. Siti Mariam, M.Pd Dra. Muntholi’ah, M.Pd NIP. 150 257 372 NIP. 150 263 166

Pembimbing I Pembimbing II

(7)

vii

(8)

viii 1. Ayah dan ibu tercinta

2. Suamiku tercinta

(9)

ix Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat taufiq, hidayah dan inayah-Nya. Sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat-sahabatnya serta orang-orang mukmin yang senantiasa setia jadi pengikutnya.

Dengan pertolongan Allah SWT jualah penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Namun penulis yakin bahwa disepanjang pembahasan skripsi ini terdapat berbagai kelemahan, baik yang menyangkut metodologis maupun analisisnya. Hal ini dikarenakan akibat dari kemampuan dari penulis yang sangat terbatas.

Selanjutnya dengan segenap kerendahan hati dan penuh kesadaran, penulis sampaikan bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas jasa beliau semua yang telah memberikan secara ikhlas baik berupa tenaga, pikiran, bimbingan dan saran-saran sebagai sesuatu yang sangat berguna bagi penulis dalam mencari kesempurnaan dari penulisan skripsi ini. Dan beliau yang penulis maksud antara lain :

1. Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M.Ed selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

(10)

x

motivasi baik secara moral maupun material kepada penulis yang semua itu telah terbukti menunjang keberhasilan studi penulis sejak awal hingga saat diselesaikannya penulisan skripsi ini.

5. Suamiku tercinta yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Sahabat-sahabat karibku semua yang ikut berperan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Atas jasa-jasa beliau semua ini, penulis tidak mampu untuk membalasnya, kecuali dengan berdo’a semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda.

Penulis berharap kehadiran skripsi ini dihadapan para pembaca budiman akan memberikan manfaat terutama kepada diri penulis dan para pembaca pada umumnya. Amin ya Robal ‘alamin.

Semarang, 15 Januari 2008

(11)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN ABSTRAK ... ii

HALAMAN DEKLARASI ... ix

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penegasan Istilah... 5

C. Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Kajian Pustaka ... 8

G. KerangkaTeori... 9

H. Metodologi Penelitian ... 11

BAB II MAKNA KHALIFAH DALAM QS. AL-BAQARAH AYAT 30-35 A. Pengertian Khalifah... 13

B. Deskripsi QS. al-Baqarah Ayat 30-35... 18

(12)

xii

BAB IV RELEVANSI MAKNA KHALIFAH DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Hubungan Makna Khalifah dengan Tujuan Pendidikan

Islam... 46 B. Urgensi Makna Khalifah dalam Tujuan Pendidikan

Islam... 49 C. Tujuan Pendidikan Islam Berdasarkan Makna Khalifah ... 53 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 57 B. Saran-Saran ... 58 C. Penutup ... 58 LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam Islam, manusia dianggap sebagai khalifah di bumi dan seluruh

ciptaan lainnya tunduk kepadanya. Menurut al-Qur’an (2: 30-31), setelah

menciptakan manusia pertama Adam, Allah SWT mengajarkan kepadanya

nama-nama segala benda.13

Dengan kebesaran-Nya, Allah SWT menciptakan segalanya dari tiada

menjadi ada. Kehendaknya adalah sumber ciptaan dan setiap unsur dalam ciptaan

memanifestasikan kekuasaan Allah SWT. Karena itu setiap objek dalam ciptaan

menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memberitahukan kepada

Adam nama-nama benda, berarti membuatnya sadar akan esensi ciptaan. Dengan

kata lain membuat sadar akan sifat-sifat Tuhan dan hubungan antara Tuhan dan

ciptaan-Nya. Ini bukanlah semata-mata kesadaran intelektual yang terpisah dari

kesadaran spiritual. Ini adalah kesadaran spiritual yang mengontrol, membimbing,

dan mempertajam intelek, dengan menanamkan dalam diri nabi Adam perasaan

ta’dhim dan hormat kepada Tuhan dan membuatnya mampu menggunakan

pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan umat manusia.14

Akan tetapi banyak sekali diantara umat Islam yang memaknai khalifah

sebagai khilafah. Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang

dilontarkan oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya

khilafah Islamiyah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924. Khilafah Utsmaniyah

berakhir sejalan dengan kencangnya tuntutan kemerdekaan di berbagai Negara

kolonial yang berpenduduk mayoritas seperti Negara yang ada di kawasan Asia

Tenggara, Afrika Utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain.

Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasaan Turki Usmani yang kuat yang

1

Soenarjo, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), hlm.13-14

2

(14)

menguasai Timur Tengah dan Negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan

khalifah yang amat tinggi. Khusus kekuatan Sekularisme didukung oleh kekuatan

intern di Turki waktu itu, mengurangi kekuasaan khalifah dari ranah kekuasaan

politik.15

Sejak merosotnya umat Islam menjelang serbuan tantara Tar-tar nampak

sekali bahwa umat Islam telah gagal merespon kehendak Tuhan karena telah lalai

mengkaji isi al-Qur’an maupun hadist Rasul secara total dan komprehensif. Umat

Islam sampai hari ini pun masih terjebak dalam sekat-sekat penjara parsial dan

hanya mengambil sepenggal-sepenggal untuk kepentingan diri sendiri saja

sehingga gambaran besar yang ada dalam al-Qur’an tentang cara-cara hidup di

bumi yang selaras dengan tuntunan Allah diabaikan. Akibatnya pengetahuan

Tuhan pun seolah lenyap dari umat Islam dan muncul kembali di Eropa untuk

membuka zaman baru disana sebagai Era Renaissance yang mengubah banyak

hal. Meskipun era tersebut mengawali lahirnya sekularisme, namun Tuhan Maha

Adil, sehinnga Dia pun menepati janji bahwa siapapun yang selaras dengan

kehendak-Nya, harmonis dengan diri-Nya sebagai Rabbul Alamin akan menerima

manfaat yang diperoleh dari seluruh pengetahuan yang telah disampaikan Nabi

Adam.

Karena kenyataan demikian, kekhalifahan itu harus dikembalikan kepada

makna dasar yang lebih elementer karena menyangkut kemampuan individual

sebagai manusia berpengetahuan atau khalifah yang unggul, yang bisa menjadi

pembimbing bagi manusia lainnya atau bagi kaumnya. Jadi, secara individual

semua umat Islam harus mempunyai akhlak dan pengetahuan yang benar dahulu

dalam koridor Islam sebagai adab hamba di hadapan pencipta-Nya, yang akhirnya

dari keberadabannya itu akan memberikan rahmat sebelum membangun sistem

kekhalifahan sebagai suatu identitas global.16

3

M. Abdurrahman Assegaf, “Konsep Khilafah Islamiyah”, http//www.persis.co.id/15112007/, hlm.1

4

(15)

Manusia diciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling baik diantara

makhluk lain. Ia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih, dan tidak ternoda.

Pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah yang akan menentukan seseorang

dalam mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, sebagaimana Nabi Muhammad

bersabda :

“Dari Abu Hurairah katanya : Bersabda Rasulullah Saw. Tiap-tiap anak dilahirkan dengan keadaan putih bersih maka dua ibu bapaknya yang me-Yahudikan atau me-Nasranikan atau me-Majusikan”. (HR. Muslim).

Allah memberikan anugrah berupa potensi kepada manusia yang harus

dikembangkan dan harus diaktualisasikan agar dapat memberikan manfaat bagi

kepentingan hidupnya. Sebagai khalifah ia haruslah memiliki kekuatan untuk

mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya.

Sebagai ‘abd ia harus melaksanakan seluruh usaha dan aktifitasnya dalam rangka

ibadah kepada Allah SWT. Dengan pandangan yang terpadu ini maka sebagai

khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau

bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Berdasarkan pengakuan Islam terhadap fitrah dan potensi manusia maka

dalam pendidikan Islam, manusia perlu dididik sesuai dengan nilai-nilai dan

norma-norma ajaran Islam. Menurut Achmadi dalam buku yang berjudul Islam

sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan

pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang berusaha memelihara dan

megembangkan fitrah serta sumber daya insani yang ada padanya menuju

terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam”.6

5

Imam Abi Husain Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz IV,(Beirut : Darul al-Kutub, tt).hlm.2047.

6

(16)

Karena besarnya peranan manusia di muka bumi dengan segala aspek

kehidupannya, pendidikan Islam sangat perlu dan penting sekali.

Dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna maka

diharapkan mampu untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka

bumi. Atas dasar ini Quraish Shihab berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam

adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu

melaksanakan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya guna membangun

dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.7

Pendidikan merupakan suatu usaha untuk melahirkan masyarakat yang

berkebudayaan serta melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, dan

pendidikan akan mengarahkan kepada sumber daya manusia yang berkualitas.8 Selain itu dalam Islam, pendidikan bertujuan menumbuhkan keseimbangan pada

kepribadian manusia melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan

dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan

jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, spiritual, intelektual,

imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara

kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencari kebaikan dan kesempurnaan.

Pada gilirannya tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak

kepada Allah SWT pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada

umumnya.9

Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik, manusia

perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi dan

sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan konsep khalifah dalam al-Qur’an erat

kaitannya dengan pendidikan.

7

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,2007),hlm.173.

8

Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Tinjauan Fenomenologis, dalam Rusman

Thoyyib, Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta:

Pustaka Pelajar,1999),hlm.16.

9

(17)

B. Penegasan Istilah

Untuk mengurangi kekaburan dan untuk nenghindari kesalahan pengertian

atau penafsiran bagi para pembaca, maka penulis perlu memberikan penegasan

istilah terhadap masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

a. Makna Khalifah dalam QS. Al-Baqarah Ayat 30 -35

Makna dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti arti atau maksud

pembicara atau penulis. Jadi makna adalah arti atau maksud dari suatu obyek

yang dikaji.10 Khalifah adalah kata yang berelemen huruf kha’, lam dan fa’ bermakna mengganti, mewakili, generasi dan belakang.11 Sedangkan dalam tafsir Alqur’anul Majid An Nur disebutkan bahwa pengangkatan manusia sebagai

khalifah meliputi pengangkatan seluruh manusia pada posisi diatas makhluk lain

dengan diberi kekuatan akal.12

Al-Qur’an biasa didefinisikan sebagai “firman-firman Allah yang

disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad

SAW dan diterima oleh umat Islam secara mutawattir dan membacanya

merupakan ibadah.”13 Dengan definisi ini, kalamullah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain nabi Muhammad, tidak dinamakan al-Qur’an seperti Taurat yang

diturunkan kepada nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada nabi Isa.

Sedangkan yang diteliti disini adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30-35

b. Relevansi Tujuan Pendidikan Islam.

Relevansi berasal dari bahasa Inggris relevance yang berarti bersangkut

paut atau bisa disebut juga hubungan.14 Dalam kamus popular dijelaskan bahwa makna relevansi adalah hubungan, keterkaitan atau pertalian.15 Sedangkan dalam penelitian ini diartikan dengan hubungan yaitu adanya hubungan antara satu hal

10

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka,1995),hlm.619.

11

A.Mustain Syafi’i, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Koran,(Surabaya: Harian Bangsa,2004),hlm.163.

12

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nur,(Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,2000),hlm.71.

13

M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,(Bandung: Mizan,2005),hlm.43.

14

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1993),hlm.475.

15

(18)

dengan hal lain yang dapat berguna secara langsung untuk menambah atau

melengkapi satu sama lain.

Tujuan menurut Zakiyah Daradjat adalah sesuatu yang diharapkan

tercapainya setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Selain itu tujuan adalah

sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang

melaksanakan suatu kegiatan. Karena itu tujuan pendidikan Islam yaitu sasaran

yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan

pendidikan Islam.16

Menurut Achmadi tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi tiga tahapan

yaitu:17

a. Tujuan akhir: pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia dan

peranannya sebagai ciptaan Allah yaitu menjadi hamba Allah yang bertakwa,

mampu menjadi khalifah di bumi dan memperoleh kesejahteraan hidup di dunia

dan akhirat.

b. Tujuan umum: tujuan ini berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat

diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian peserta

didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang utuh.

c. Tujuan khusus : tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan

perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama masih

tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi.

Dari penegasan istilah diatas dapat dipahami bahwa yang dimaksud judul

skripsi Makna Khalifah dalam al-Qur’an Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan

Islam (Analisis QS. al-Baqarah Ayat 30-35) adalah hubungan makna khalifah

yang tersurat dalam surat al-Baqarah ayat 30-35 dengan tujuan pendidikan Islam,

artinya unsur kesamaan yang ada antara keduanya dapat dikaji dalam rangka

merealisasikan pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam yang

disampaikan Rasulullah SAW dalam rangka beribadah kepada Allah.

16

Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat pendidikan Islam,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2001),hlm.68.

17

(19)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di muka, maka ada

beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini, permasalahan tersebut antara

lain:

1. Bagaimana makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35 ?

2. Bagaimana relevansi makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35

dengan tujuan pendidikan Islam ?

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi

1. Tujuan penelitian skripsi

Berpijak dari permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui makna khalifah dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35.

b. Untuk mengetahui relevansi makna khalifah dalam QS.al-Baqarah ayat

30-35 dengan tujuan pendidikan Islam.

2. Manfaat penelitian skripsi

a. Dengan meneliti dan mengkaji makna khalifah yang terkandung dalam

QS.al-Baqarah ayat 30-35, maka diharapkan akan dapat meningkatkan

wawasan serta pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna

khalifah dari berbagai sudut pandang para mufassir.

b. Dari hasil kajian dan pemahaman ayat di atas, diharapkan dapat membantu

usaha penghayatan sekaligus pengamalan terhadap isi, kandungan dan

nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an baik yang tersirat maupun

tersurat dalam QS. al-Baqarah ayat 30-35.

c. Kajian ini dilakukan sebagai salah satu acuan dalam mengarahkan peserta

didik untuk dapat mengoptimalkan potensi diri agar dapat berperan

(20)

d. Dengan melakukan kajian ini diharapkan dapat merumuskan tujuan

pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat

membantu peserta didik menjalankan fungsinya sebagai khalifah.

E. Kajian Pustaka

Kajian tentang manusia dan tujuan pendidikan Islam kaintannya dengan

al-Qur’an telah banyak dilakukan, bahkan terdapat beberapa karya ilmiah dan

buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dikaji telah memberikan

kontribusi yang lebih signifikan dalam rangka mengkaji dan memahami

permasalahan yang dikaji, sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih

komprehensif. Diantara karya ilmiah yang mendukung kajian ini adalah sebagai

berikut:

Pertama, Tujuan Pendidikan Islam Relevansinya dengan Fungsi Manusia

Menurut al-Qur’an (kajian filosifis) yang diteliti oleh Nur Imamah.18 Skripsi ini berisi tentang tujuan pendidikan yang pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup

manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah, kemudian dikaitkan dengan

fungsi manusia menurut al-Qur’an yakni sebagai khalifah dan ‘abdullah yang

pada akhirnya menuju terbentuknya insan kamil.

Kedua, Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya

terhadap Pendidikan Islam yang dikaji oleh Syamsu.19 Penelitian ini berisikan tentang manusia secara eksistensial adalah makhluk Allah yang diberi tugas

sebagai khalifah di muka bumi, makhluk pribadi yang terdiri dari dwi matra yaitu

jiwa dan raga. Pengenalan tentang manusia merupakan langkah pertama yang

harus diperhatikan para pakar atau pelaksana pendidikan, karena manusia dalam

pendidikan dipandang sebagai subyek dan obyek pendidikan.

18

Nur Imamah, 3100224, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi : “Tujuan Pendidikan Islam Relevansinya dengan Fungsi Manusia Menurut al-Qur’an (kajian filosifis)”, ( Semarang : 2005), td.

19

(21)

Ketiga, Makna Ibadah dalam al-Qur’an Surat az-Dzariyat ayat 56

Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam yang dikaji oleh Ali Usman.20

Skripsi ini menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dan makna ibadah

mempunyai hubungan atau keterkaitan dalam ramgka mewujudkan tujuan hidup

manusia yaitu sebgai ‘abd dan khalifatullah yang diwujudkan melalui pendidikan.

Berbeda dengan beberapa penelitian di atas, maka penelitian ini

memfokuskan untuk mengetahui makna khalifah yang terkandung dalam surat al-

Baqarah ayat 30-35 kaitannya dengan tujuan pendidikan Islam. Dengan harapan

agar makna khalifah tersebut dapat menjadi dasar untuk merumuskan tujuan

pendidikan Islam.

F. Kerangka teori

Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik

dari aspek jasmaniah maupun ruhaniahnya. Karena kesempurnaannya itulah maka

untuk dapat memahami, mengenali secara dalam dan totalitas dibutuhkan keahlian

yang spesifik. Dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melalui studi yang

panjang dan hati-hati tentang manusia melalui al-Qur’an dan sudah tentu di

bawah bimbingan dan petunjuk Allah serta berparadigma kepada proses

pertumbuhan dan perkembangan eksistensi diri yang terdapat pada para Nabi,

Rasul dan khususnya nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah penciptaan manusia, dijelaskan bahwa sebelum

diciptakannya manusia, Tuhan telah menyampaikan rencana penciptaan ini

kepada para malaikat, agar makhluk ini (manusia) menjadi khalifah (kuasa atau

wakil) Tuhan di bumi (QS 2: 30). Dari sini jelas pula bahwa hakikat wujud

manusia dalam kehidupan ini adalah melaksanakan tugas kekhalifahan:

membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Berangkat

dari misi al-Qur’an sebagai petunjuk dari Allah dan sebagai pedoman hidup

20

Ali Usman, 3100150, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2005, Judul Skripsi : “Makna Ibadah dalam al-Qur’an Surat az-Dzariyat ayat 56 Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan

(22)

seluruh manusia, maka tugas umat adalah mengkaji dan memahaminya. Tidak

sedikit ayat al-Qur’an yang berbicara tentang manusia. Bahkan manusia adalah

makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam rangkaian wahyu Tuhan yang

pertama (QS. 96 : 1- 5 ).21

Allah juga telah menyuruh seluruh manusia untuk menyadari dirinya

sendiri, merenungkan dan memikirkan hakikat hidupnya, dari mana asalnya dan

hendak kemana dia serta bagaimana ia hidup di dunia ini. Sebagaimana firman

Allah dalam surat adz-Dzariyat: 21 “Dan (juga) pada dirimu sendiri, apakah

kamu tidak memperhatikan”.22

Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut dengan baik, manusia perlu

diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan, pengalaman serta sarana

pendukung lainnya. Hal ini menunjukkkan bahwa konsepsi manusia dalam

al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan, khususnya pendidikan Islam.karenanya

pembicaraan apapun yang berkenaan dengan pendidikan, pastilah mengupas

tentang manusia terlebih dahulu. Sebab manusia merupakan subyek sekaligus

obyek pendidikan. Dalam artian bahwa aktivitas pendidikan berkaiatan dengan

proses “humanizing of human being“ proses “memanusiakan manusia“ atau

upaya membantu subyek (individual atau satuan sosial) berkembang normatif

lebih baik. Ini tentunya dimulai dengan merumuskan hakekat subyek didik

(manusia). Dari sini disusunlah sistematika tentang bagaimana seharusnya proses

dilaksanakan.23

Persoalan manusia merupakan tema sentral dan titik tolak dalam

memaknai pendidikan Islam, termasuk di dalamnya adalah untuk merumuskan

tujuan pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam pada dasaranya ingin

mengantarkan manusia menuju ke kemanusiaan sejati. Dalam pendidikan Islam,

21

M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan , 2007), hlm. 233

22

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan terjemahnya, ( Bandung : Gema Risalah Press , 1992 ), hlm. 13-14

23

(23)

pemikiran tentang manusia berdasarkan pada sumber–sumber ajaran Islam

diharapkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam yang

sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

G. Metodologi penelitian

1. Metode pengumpulan data

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu

penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan kepustakaan atau literature

baik berupa buku laporan ataupun catatan hasil penelitian terdahulu.24

Secara garis besar, sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi

dua, yaitu:

a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber informasi yang lansung dari subyek penelitian

dengan menggunakan alat pengambilan data lansung pada subyek sebagai

informasi yang dicari.25 Dalam skripsi ini, sumber primernya adalah al-Qur’an serta tafsir-tafsirnya, terutama tafsir Misbah, tafsir Ibnu Katsir, tafsir

al-Qur’anul Majid An-Nur dan tafsir al-Maraghi.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah sumber informasi secara tidak langsung mempunyai

wewenang dan tanggung jawab atau yang berkaitan dengan tema tersebut.26 Dalam hal ini adalah buku-buku yang relevan dengan pembahasan dalam

penelitian ini, diantaranta adalah buku Membumikan al-Qur’an dan

buku-buku tentang Filsafat Pendidikan Islam.

2. Metode analisis data

a. Metode Maudhu’i

Metode yang digunakan adalah metode tafsir maudhu’i. Tafsir maudhu’i

ini mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan mengenai satu

24

M. Iqbal Ihsan, Pokok-pokok Materi MetodologiPenelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11

25

Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian , ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 ) hlm, 90

26

(24)

surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat

umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang

dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh

dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang

sama-sama membicarakan satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian

rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan

secara maudhu’i.27 Kedua bentuk metode tafsir maudhu’i tersebut digunakan dalam penelitian ini adalah agar mendapat penjelasan makna khalifah dalam

al-Qur’an terutama dalam surat al-Baqarah ayat 30-35 secara komprehensif.

b. Metode Interpretatif

Metode ini berperan untuk mencari makna yang merupakan upaya untuk

menangkap dibalik yang tersurat, selain itu juga mencari makna yang tersirat serta

mengaitkan dengan hal-hal yang terkait yang sifatnya logik teoritis dan

transendental.28 Metode digunakan dalam rangka mencari kandungan surat al-Baqarah ayat 30-35 tentang khalifah relevansinya dengan tujuan pendidikan

Islam.

27

Abd. Al-Hay Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994 ), hlm. 35-36

28

(25)

BAB II

MAKNA KHALIFAH DALAM Q.S AL-BAQARAH AYAT 30-35

A. Pengertian Khalifah

Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam al-Qur’an yaitu dalam al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Sedangkan dalam bentuk plural ada dua bentuk yang digunakan yaitu: (a) khalaif yang terulang sebanyak empat kali terdapat dalam surah al-An’am ayat 165, Yunus ayat 14 dan 73 dan Fathir ayat 39; (b) khulafa’ terulang sebanyak tiga kali pada surah al-A’raf ayat 69 dan 74 dan al-Naml ayat 62. Keseluruhan kata tersebut pada berakar dari kata khalafa

yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari sini kata khalifah sering kali diartikan sebagai “pengganti”.1

Manusia di dunia ini memiliki kedudukan yang istimewa. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Al-Qur’an menyatakan :

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, bahwa sesungguh-Nya aku akan menjadikan di bumi seorang Khalifah …. (QS. al- Baqarah : 30 ) 2

Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini kata khalifah ada yang memahami dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, namun hal ini bukan berarti Allah tidak mampu atau menjadikan manusia

1

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Mizan, 2007) hlm. 157

2

(26)

berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan.3

Dalam Lisanul Arab disebutkan:

Ibnu Atsir berkata Al Khalifah (

ﺔﻔﻴ ا

) artinya adalah orang yang mengambil alih posisi orang lain yang “pergi” dan melanjutkan tugasnya. Dan jamaknya adalah khulafa’

ﺄﻔ

4

Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa yang menggantikan itu boleh jadi menyangkut waktu ataupun tempat. Ayat ini dapat berarti pergantian antara sesama makhluk manusia dalam kehidupan dunia ini, tetapi dapat juga berarti kekhalifahan manusia yang diterimanya dari Allah. Namun asy-Sya’rawi tidak memahaminya dalam arti bahwa manusia yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya, akan tetapi ia memahami kakhalifahan tersebut berkaitan dengan reaksi dan ketundukan bumi kepada manusia yang dianugerahkan Allah kepada manusia.5

Al Maraghi berpendapat bahwa khalifah berarti jenis lain dari makhluk sebelumnya, disamping itu bisa juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia. Sebagian mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan khalifah di sini adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya kepada manusia. Oleh sebab itu istilah yang mengatakan “manusia adalah khalifah Allah di bumi”, sudah sangat popular.6

3

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan , Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol 1 ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ) hlm. 142

4

Ibnu Manzur Jamaluddin al-Anshary, Lisanul Arab, (Mesir: Darul Misriyah, tt.,), hlm. 437. 5

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, Vol 4 ( Jakarta : Lentera Hati, 2001 ) hlm. 363- 364

6

(27)

Sebagai dalilnya adalah firman Allah kepada nabi Daud :

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi… (QS. Shad: 26) 7

Kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud a.s. berkaitan dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperoleh Daud berkat anugerah ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.8

Pengangkatan khalifah ini menyangkut juga pengertian pengangkatan sebagian manusia yang di beri wahyu oleh Allah tentang syari’at-syari’at-Nya. Kemudian juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang berciri memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa.9

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa khalifah dalam surat al-Baqarah ayat 30 berarti kaum yang silih berganti menghuni dan meliputi kekuasaan dan pembangunan nya.10 Sebagaimana firman Allah dalam surah al-An’am ayat 165:

Dialah Allah yang menjadikan kalian silih berganti menghuni dan menguasai bumi… (QS. al-An’am: 165)11

Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah meliputi:12

a) Pengangkatan sebagian anggota masyarakat manusia dengan mewahyukan syari’at-Nya kepada mereka untuk menjadi khalifah.

(28)

b) Pengangkatan seluruh manusia pada posisi diatas makhluk lain dengan diberi kekuatan akal.

Sebagian tanda hikmah Allah yang sangat nyata adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah di bumi dengan memiliki kemampuan yang luar biasa yang menampakkan keajaiban dan rahasia-rahasia yang terpendam dalam ciptaan Allah.

Makna term khalifahmemunculkan banyak pendapat. Perbedaan pendapat juga muncul dalam pembicaraan mengenai siapa yang mengganti atau mengikuti siapa, dalam hal ini terdapat tiga pendapat yang berbeda.13 Pendapat pertama

mengatakan bahwa manusia merupakan spesies yang menggantikan spesies lain yang lebih dahulu hidup di bumi. Menurut pendapat ini, yang mendahului manusia hidup di bumi adalah jin. Dengan demikian manusia menurut pendapat ini merupakan khalifah jin di atas bumi.

Pendapat kedua mengatakan bahwa tiada makhluk lain di bumi yang digantikan manusia. Istilah khalifah bagi kelompok ini menunjuk kepada sekelompok manusia yang mengganti kelompok lain. Salah satu ayat yang digunakan sebagai penguat pendapat ini adalah :

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi… (QS. al-Naml: 62)14

Sedangkan pendapat ketiga menjelaskan bahwa khalifah bukanlah sekedar menunjuk pengertian seorang mengganti atau mengikuti orang lain, namun

13

Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory, A Quranic Outlook, terj. Mutammam, ( Bandung : CV. Diponegoro, 1991), hlm. 68-69

14

(29)

khalifah disini adalah khalifah Allah. Mulanya Allah kemudian datang khalifah

-Nya yang berperilaku dan berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran--Nya. Ar-Razi, at-Thabari, Thabathaba’i dan Qurthubi condong dengan penafsiran yang ketiga ini.

Dengan mengkaji ketiga penafsiran tersebut menunjukkan bahwa secara umum ketiganya memiliki titik singgung, meskipun perbedaan yang diekspresikan masing-masing tampak sekali. Makna term khalifah tercakup dalam ketiga penafsiran tersebut. Dinamakan khalifah adalah karena menggantikan yang lain apakah Allah, kelompok manusia lain atau makhluk selain manusia seperti jin. Dalam hal ini dua penafsiran pertama terasa tidak tepat. Keduanya tidak mengisyaratkan peran yang dimainkan oleh khalifah. Dengan menyatakan bahwa pengertian sebenarnya adalah khalifah Allah, penafsiran ketiga memberikan makna lebih dalam terhadap term khalifah. Penafsiran yang ketiga ini nampak adanya hubungan antara manusia dengan Allah, bukan hanya antara manusia dengan manusia atau manusia dengan makhluk lain.

Kata khulafa dalam surat al-A’raf menggambarkan manusia sebagai yang melakukan interaksi dengan lingkungan fisiknya, mereka membangun gunung-gunung dan dataran. Sedangkan dalam surat al-An’am menerangkan bahwa

khalaif diberi status demikian adalah untuk menguji mereka, sedangkan dalam surah Fathir manusia diberi status khalifah agar mereka bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka yang salah. Makna yang sama juga dinyatakan dalam ayat berikut 15:

Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami perhatikan bagaimana kalian berbuat. (QS. Yunus: 14) 16

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa semua manusia dipilih menjadi khalifah atau khulafa adalah dalam kondisi tertentu. Pemegang

15

Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit., hlm. 71 16

(30)

jabatan khalifah ini tidak lepas dari pengawasan Allah dalam melaksanakan fungsinya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapakah khalifah itu atau apakah terdapat lebih dari satu khalifahdi muka bumi? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa gelar khalifah adalah khusus diberikan kepada Adam, tidak kepada yang lain.

Pendapat kedua tidak menolak gelar khalifah bagi Adam tetapi mereka tidak membatasi gelar khalifah hanya untuk Adam yang diangkat sebagai khalifah oleh Allah dihadapan para malaikat. Dengan demikian gelar khalifah tidak khusus milik Adam namun berlaku untuk seluruh manusia. Penafsiran ini menjelaskan dan membawa kepada pemahaman langsung ayat-ayat yang berbicara mengenai

khulafa atau khalaif atau Daud sebagai khalifah. Penafsiran ini memberikan prestis tinggi kepada manusia tanpa mengurangi hak Adam.17

Pendapat kedua ini diperkuat oleh Abdullah Assegaf bahwa yang dimaksud khalifah adalah khalifah Allah SWT yang secara hakiki mewakili dalam penyampaian, penghantaran, dan perwujudan hukum-hukum Allah yaitu Zat dimana kekhalifahan itu berasal. Dengan demikian, makna khalifah tidaklah dinisbatkan kepada Adam saja melainkan seluruh manusia. Adapun ayat yang menguatkan pernyataan bahwa makna khalifah itu umum, tersurat dalam al-A’raf:69, Yunus:14, dan al-Naml:62. ini merupakan penegasan Allah SWT bahwa

khalifah yang diturunkan Allah adalah al-insan.18

B. Deskripsi QS. al-Baqarah Ayat 30 -35

ِ

ِ

ِ

ﹸ ﺠ

ﹸﹶ

ِ

ِ

ﺽ ﹶ

ِ

ِ

ِ

ِ

ِ

ِ

ِ

ﹶ

ِ

ِ

ﺴ 

ِ

ﹶ ﹶ

ِ

)

:

(

17

Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit. hlm. 72 18

(31)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “. Mereka berkata : “ mengapa Engkau hendak menjadikan ( khalifah ) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. al-Baqarah: 30 )19

Dalam ayat ini Allah menyampaikan keputusan-Nya kepada para malaikat tentang rencana penciptaan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan di bebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya dan sebagainya. Penyampaian ini bisa jadi setelah penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk di huni manusia pertama (Adam) dengan nyaman.20

Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Mendengar pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan, karena memang akan ada diantara yang diciptakannya itu berbuat seperti yang diduga malaikat. Allah hanya menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.21

Menurut Muhammad Abduh ayat ini mengisyaratkan bahwa setelah menciptakan bumi, mengelola dan mengaturnya, memberikan kekuatan-kekuatan

19

Soenarjo, op.cit,. hlm. 13 20

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,( Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), hlm. 141

21

(32)

rohani yang dikehendakinya yang menjadi penegak bumi, serta menjadikan semacam kekuatan bagi masing-masing yang senantiasa berada padanya, Allah pun menciptakan manusia dengan dilengkapi kekuatan yang mampu membuat mereka dapat mengelola dan menata segala bentuk kekuatan serta menundukkanya untuk kemakmuran bumi.22

Dengan kemampuan akal, manusia bisa mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan, tumbuh-tumbuhan, dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah wajah bumi yang tandus menjadi subur dan bukit yang terjal bisa menjadi dataran atau lembah yang subur. Dengan kemampuan akalnya, manusia juga dapat merubah jenis tanaman baru sebagai hasil cangkok, sehingga tumbuh pohon yang sebelumnya belum pernah ada. Semuanya ini diciptakan Allah yang maha kuasa untuk kepentingan umat manusia.23

Hal ini menunjukkan bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan bakat-bakat dan keistimewaan dalam dirinya. Sehingga ia akan mampu melaksanakan funfsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan segala kemampuannya, manusia akan dapat mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah.

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama ( benda-benda ) seluruhnya, kemudian mengemukakannya pada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau

22

Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 73 23

(33)

ajarkan kepada Kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah: 31-32)24

Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Misalnya fungsi api, angin, air dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan di mulai denghan kata kerja, tetapi mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama.

Sebagian ulama ada yang memahami pengajaran nama-nama kepada Adam dalam arti mengajarkan kata-kata. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ketika dipaparkan nama-nama benda itu, pada saat yang sama beliau mendengar suara yang menyebut nama benda itu pada saat dipaparkannya, sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedakannya dari benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau ide, tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan.

Dengan demikian salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menagkap bahasa sehingga ini mengantarkannya untuk “mengetahui”. Di sisi lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan. 25

Di samping itu nama-nama segala benda yang oleh para ahli tafsir diartikan sifat segala sesuatu serta ciri-cirinya yang lebih dalam, segala sesuatu disini termasuk juga perasaan. Ciri-ciri dan perasaan tertentu yang berada di luar

24

Soenarjo, op.cit,.hlm.14 25

(34)

para malaikat oleh Tuhan diberikan pada sifat manusia. Dengan demikian manusia mampu menggunakan cinta kasih dan memahami arti cinta kasih dan dengan ini manusia membuat rencana serta berinisiatif, sesuai kedudukannya sebagai khalifah.26

Setelah mengajari Adam tentang segala macam nama, Allah mengemukakan hal itu kepada para malaikat dengan itu mereka mengetahui bahwa Adam (manusia) mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang tidak mereka ketahui dan manusia sanggup memegang kekhalifahan di bumi. Karakternya sebagai penumpah darah seperti dikhawatirkan malaikat tidak menghilangkan hikmah Allah menjadikan Adam (manusia) sebagai khalifah.

Ucapan malaikat “Maha Suci Engkau“ yang mereka kemukakan sebelum menyampaikan ketidaktahuan mereka, menunjukkan betapa mereka tidak bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sekaligus sebagai pertanda “penyesalan“ mereka atas ucapan atau kesan yang ditimbulkan oleh pertanyaan itu.27

ﹸﹶ

ِ

ِ

ﺋ ﹶ

ِ

ِ

ِ

ﺋ ﹶ

ِ

ِ

Allah berfirman, “Hai Adam beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahu rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?. (QS. al-Baqarah: 33)28

Dalam ayat sebelumnya Allah telah mengajarkan nama-nama benda pada Adam. Kemudian dalam ayat ini Allah membuktikan kemampuan khalifah (Adam) kepada malaikat. Allah memerintahkan Adam untuk memberitahukan nama-nama benda kepada malaikat.

26

Abdullah Yusuf Ali, Terjemah The Holy Qur’an,( Jakarta, Pustaka Firdaus: 1993 ), hlm. 24 27

M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.147 28

(35)

Hikmah Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam dan kemudian mengajarkannya kepada para malaikat adalah untuk memuliakan Adam dan mengutamakannya, sehingga malaikat tidak membanggakan diri dengan ilmu dan makrifatnya. Selain itu juga untuk menunjukkan rahasia ilmu yang tersimpan dalam perbendaharaan ilmu Allah yang Maha Luas dengan perantaraan lisan seorang hamba yang dikehendaki-Nya.29

Meskipun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci yang tidak mengenal dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, karena yang bertugas menyangkut sesuatu harus memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang akan bertugas di bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi, paling sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Hal ini tidak diketahui oleh malaikat, tetapi Adam mengetahuinya. Karena itu, dengan jawaban para malaikat sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia.

Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah SWT, yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengolah bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal meskipun seandainya dia tekun ruku’, sujud dan beribadah kepada Allah. Melalaui kisah ini, Allah SWT bermaksud menegaskan bahwa bumi dikelola bukan semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi juga dengan amal ilmiah dan ilmu amaliah.30

29

Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 76 30

(36)

ِ

ِ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. al-Baqarah: 34 )31

Setelah Allah membuktikan kemampuan Adam kepada para malaikat, selanjutnya Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi.

Ini adalah penghormatan dalam bentuk paling tinggi kepada makhluk yang akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Akan tetapi manusia diberi rahasia yang bisa mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada malaikat. Mereka diberi rahasia makrifat sebagaimana mereka diberi rahasia iradah yang merdeka untuk memilih jalan hidup. Berbagai macam tabiat dan kemampuannya untuk mengendalikan iradahnya dalam menghadapi jalan yang sulit dan keseriusannya mengemban amanah hidayah ke jalan Allah dengan usahanya yang khusus. Semua ini adalah sebagian rahasia penghormatan kepada mereka.32

Sujud secara bahasa berarti tunduk. Ungkapan paling kongkrit dari sujud ini adalah meletakkan kening di lantai (tanah). Ada dua makna sujud. Pertama, sujud penyembahan (sujud ibadah), yakni sujud yang hanya dilakukan seorang hamba kepada pencipta-Nya. Sujud ini hanya khusus kepada Allah saja. Kedua, sujud penghormatan (sujud takrim), yaitu sebuah sikap penghargaan dari makhluk kepada sesama makhluk yang mempunyai kelebihan. Sebagaimana sujud para malaikat kepada Adam.33

31

Soenarjo, loc.cit,. 32

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. As’ad Yasin dkk,( Jakarata : Gema Insani Press, 2000 ), hlm. 97

33

(37)

Mengenai sujud kepada Adam, ada beberapa pendapat:34 1. Sujud untuk memuliakan Adam, bukan menyembahnya.

2. Sujud tahiyyah kepada Adam, sebaigama dikatakan Ibnu Anbar bahwa sujud malaikat kepada Adam merupakan sujud tahiyyah bukan sujud ibadah.

3. Sujud memuliakan Adam atas nama ibadah kepada Allah. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa firman ini bermakna sujudlah bagi Adam dengan perintah Allah dan ketetapan-Nya.

Ayat ini dapat menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana ayat 35 yang mempersilahkan Adam dan isterinya bertempat tinggal di surga. Hal ini menjadi syarat atas kewajaran ilmuan dan keluarganya mendapat fasilitas, yang tentu saja antara lain agar ia dapat lebih dapat mengembangkan ilmunya.

Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim. (QS. al-Baqarah: 35)35

Ayat ini berhubungan dengan kandungan ayat 30 sampai dengan ayat 34. seluruh ayat ini menguraikan satu episode dari kisah Adam. Dalam ayat ini Allah berfirman sebagai pemberitahuan mengenai perkara yang dengannya Adam dimuliakan Allah. Allah membolehkannya untuk mendiami surga dimana saja yang disukainya dan memakan yang diinginkannya dengan sepuas-puasnya yaitu berupa makanan yang menyenangkan, banyak dan baik.36

34

Teuku M. Hasby As-Shidiqie, Tafsir al-Bayan I ( Semarang : Thoha Putra, 1977 ), hlm. 193 35

Soenarjo, loc.cit,. 36

(38)

Ada dua statemen dalam ayat ini yang diperuntukkan buat Adam dan pasangannya. Pertama, perintah bersakinah, mendiami secara damai dan menikmati segala fasilitas surga. Kedua, larangan mendekati pohon khusus. Ini adalah dasar semua aturan yang ada di dunia yakni perintah dan larangan. Seorang hamba disebut sebagai taat dan berbakti jika telah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.37

1. Perintah hidup sakinah, dalam perintah ini terdapat dua item : 38

a. “Uskun anta wa zaujuk”, yaitu hidup rukun bersama istri. Perintah ini diawali dengan menunjuk dhamir khitab mufrad mudzakar, “anta” yang artinya kaum lelaki, Adam, suami adalah isyarat bahwa menciptakan rumah tangga yang sakinah itu diawali dari suami terlebih dahulu. Seorang suami adalah pencipta dan pengendali rumah-rumah sakinah. Hal ini menunjukkan bahwa tugas seorang khalifah diantaranya adalah membina keluarga sakinah.

b. Puas makan “Wa kula minha raghadan haitsu syi’tuma”. Dalam ayat ini terdapat korelasi yang positif antara perintah menciptakan kedamaian dalam rumah tangga dengan makan yang lezat dan puas. Hal ini tersirat dalm pesan Allah tentang rumah tangga Adam dan Hawa di surga, bahwa kedamaian keluarga terkait dengan datangnya rizki yang cukup sehingga dapat makan yang lezat dan nikmat. Kata “raghadan“ menunjuk nilai makanan yang tinggi baik kualitas maupun kuantitas. Ini adalah lambang kemapanan ekonomi dan banyaknya rejeki.

2. Jangan melanggar”Wala taqraba hadzih al-syajarah”. Sesungguhnya di dunia ini tidak ada kebebasan mutlak. Jangankan di dunia, di surga sekalipun tetap ada aturan termasuk aturan yang melarang Adam untuk mendekati pohon terlarang. Tuhan menghendaki hidup berumah tangga iru ibarat menempati surga, atau dengan kata lain menciptakan surga di rumah sendiri. Agar

37

A. Mustain Syafi’i, op.cit,. hlm. 203 38

(39)

suasana surga tetap menghiasi rumah, maka anggota keluarga itu jangan sampai ada yang melanggar aturan.39

Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman hidup di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini yang meliputi kecukupan sandang, pangan dan papan, serta rasa aman sekaligus arah terakhir bagi kehidupan akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis dengan akibat yang fatal itu adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bagi manusia bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun bila mengikuti rayuan Iblis akan terusir dari surga.40 Dengan demikian manusia harus dapat mengambil hikmah dari pengalaman hidup Adam dan Hawa di surga ini, agar dalam menjalankan hidupnya ia akan berhati-hati dengan godaan Iblis yang dapat menggelincirkannya untuk tidak mematuhi perintah-perintah Allah SWT.

Berdasarkan deskripsi surat al-Baqarah ayat 30-35, maka makna khalifah tidak hanya dapat dipahami sebagai penggantian atau pewarisan. Khalifah disini berarti wakil Allah dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan-Nya di bumi. Hal ini adalah sebuah penghormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia karena ia adalah makhluk yang paling sempurna.

Isyarat yang paling jelas dalam kisah Adam ini ialah nilai terbesar yang diberikan oleh tashawwur Islam mengenai manusia dan peranannya di muka bumi, kedudukannya di dalam tatanan alam semesta dan nilai-nilai yang dijadikan timbangan serta hakikat hubungannya dengan janji Allah SWT.

Berdasarkan pandangan terhadap manusia yang demikian, dapat diambil pelajaran yang bernilai tinggi: pertama, manusia adalah khalifah, sayid (majikan) di bumi, karena itu segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia.

Kedua, manusia memegang peranan utama di bumi, merekalah yang membuat perubahan-perubahan dan memodifikasi bentuk dan tatanannya. Pandangan

39

Ibid, hlm. 209 40

(40)

Qur’an menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi sebagai pihak yang aktif dalam tatanan alam semesta ini. Ketiga, pandangan Islam yang luhur terhadap hakikat manusia dan tugasnya melahirkan sikap menjunjung tinggi nilai kesopanan, menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan dan nilai-nilai akhlak, nilai iman, kesalehan di dalam kehidupannya. Inilah nilai-nilai yang menjadi tumpuan pelaksanaan janji kekhalifahannya.

Keempat, pandangan Islam menjunjung tinggi iradah manusia yang merupakan tempat bergantungnya perjanjian dengan Allah, tempat bergantungnya penugasan dan pembalasan. Ia mengangkat derajat manusia, mengendalikan kehendaknya, dan mengalahkan gangguan yang menggodanya. Selanjutnya peristiwa peperangan yang digambarkan oleh kisah ini yaitu antara manusia dan setan terdapat peringatan. Peperangan ini merupakan peperangan antara pelaksanaan perjanijian Allah dan penyelewengan setan.41

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah manusia yang aktif dalam tatanan alam semesta, seorang khalifah adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, keimanan dan amal saleh serta manusia kreatif yang mampu membangun dunia ini sesuai dengan ketetapan-Nya.

C. Khalifah Sebagai Manusia Terdidik

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, ia diciptakan demikian agar dapat berperan sebagai khalifah di muka bumi. Manusia sebagai khalifah merupakan cita ideal. Manusia ideal memiliki tiga aspek, yaitu: kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia mempunyai pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas.

Dalam kerangka ini kekhalifahan manusia di bumi nampaknya relatif berhasil. Misalnya Tuhan telah menciptakan matahari guna menerangi rumah

41

(41)

manusia. Dengan kreatifitasnya manusia telah mampu membawa sinar surya itu ke dalam rumah melalui PLTS ( Pembangkit Listrik Tenaga Surya )42 .

Sebagai khalifah, manusia bertugas mengatur dunia ini. Dalam melaksanakan tugas ini sesungguhnya ia akan diuji apakah akan melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya. Mengurus dengan baik adalah mengurus dunia ini sesuai dengan kehendak Allah, sesuai dengan pola yang ditentukan-Nya agar kemanfaatan alam semesta dan segala isinya dapat dinikmati oleh manusia dan makhluk lainnya. Kalau sebaliknya, pengurusan itu tidak baik, artinya tidak sesuai dengan pola yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi khalifah Allah, manusia diberi akal pikiran dan kalbu yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Dengan akal pikirannya, manusia mampu mengamati alam semesta. Menghasilkan dan mengembangkan ilmu yang benihnya telah “disemaikan“ Allah sewaktu mengajarkan nama-nama (benda) kepada manusia asal, waktu Allah menjadikan manusia (Adam) menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini dahulu.

Dengan akal dan pikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah. Dengan mengabdi kepada Allah dan mengemban amanah sebagai khalifahnya di bumi, manusia diharapkan akan dapat mencapai tujuan hidupnya memperoleh keridha’an ilahi di dunia ini, sebagai bekal mendapatkan keridha’an Allah di akhirat nanti.

Manusia sebagai khalifah di bumi bertugas untuk memakmurkan bumi. Tugas memakmurkan bumi artinya mensejahterakan kehidupan di dunia ini. Untuk itu manusia wajib bekerja, beramal shaleh yaitu berbuat baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya, serta menjaga

42

(42)

keseimbangan alam dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntunan yang diberikan Allah melalui agama.43

Sebagai khalifah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugasnya dalam menjalankan mandat Allah. Adapun mandat yang dimaksud adalah:44

1. Patuh dan tunduk sepenuhnya pada titah Allah serta menjauhi laranganNya. 2. Bertanggung jawab atas kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai

pengemban amanah Allah.

3. Berbekal diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, hidayah agama dan kitab suci.

4. Menerjemahkan segala sifat-sifat Allah SWT pada perilaku kehidupan sehari-hari dalam batas-batas kemanusiaannya (kemampuan manusia) atau melaksanakan sunah-sunah yang diridhai-Nya terhadap alam semesta.

5. Membentuk masyarakat Islam yang ideal yang disebut dengan “ummah“, yaitu suatu masyarakat yang sejumlah perseorangannya mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama.

6. Mengembangkan fitrahnya sebagai khalifatullah yang mempunyai kehendak, komitmen dengan tiga dimensi yaitu: kesadaran, kemerdekaan dan kreatifitas. Ketiga kehendak ditopang oleh ciri idealnya, yaitu: kebenaran, kebajikan dan keindahan.

7. Menjadi penguasa untuk mengatur bumi dengan upaya memakmurkan dan mengelola negara untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dijanjikan kepada seluruh masyarakat yang beriman bukan kepada seseorang atau suatu kelas tertentu.

8. Mengambil bumi dan isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dalam semua aspek kehidupan, serta dalam rangka mengabdi kepada Allah.

43

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1997 ), hlm15-16 44

(43)

9. Membentuk suasana aman, tentram, dan damai di bawah naungan ridha Allah SWT, sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an, yaitu negara Saba’

sebagai negara yang memiliki predikat “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur”.

Manusia sebagai khalifah, bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggung jawab ini bersifat pribadi, tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan. Apabila amanah dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan iman dan amal saleh menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya, jadilah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang mulia dan sempurna.

Sebagai pemegang amanah yang bertanggung jawab, manusia sebagai khalifah memang mempunyai kemerdekaan untuk memilih apa yang diyakini atau yang tidak diyakininya, merdeka untuk berkehendak, berbuat, berpikir, berpendapat atau mengembangkan krearifitasnya. Namun kemerdekaan itu harus dipertanggung jawabkan kelak, karena kemerdekaan yang diberikan oleh Allah itu tidak boleh melampaui batas-batas amanah dan tanggung jawab yanag telah ditentukan-Nya baik yang terdapat dalam alam semesta maupun yang terkandung dalam firman-firman-Nya dalam al-Qur’an.45

Dengan demikian hakekat makna khalifah adalah bahwa:

1. Manusia sebagai khalifah harus sadar, bahwa dia sebagai pemegang mandat dari Allah yang wajib mengikuti apa yang diinginkan oleh sang pemberi mandat (Allah) dan tidak boleh mengabaikannya.

2. Manusia sebagai khalifah, harus berusaha menghiasi diri dengan ilmu karena tidak mungkin ia dapat melaksanakan amanah tanpa ilmu. Allah mengajarkan atau memberikan kemampuan pada manusia untuk memformulasikan apa yang ada di muka bumi atau alam semesta ini.

3. Menjadi khalifah bukan sekedar pekerjaan rutin tetapi harus siap menghadapi problematika kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan karena tidak

45

(44)

selamanya kehidupan manusia selalu mulus. Karena di balik kesenangan juga tersimpan kesedihan dan di balik kesuksesan terkandung juga sebuah kegagalan.

4. Manusia sebagai khalifah harus mengetahui bahwa kekhalifahan itu amanah yang harus dipertahankan.

(45)

BAB III

KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha

atau kegiatan selesai. Apabila pendidikan kita anggap sebagai suatu proses,

maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir dari

pendidikan. Karena pendidikan merupakan sebuah usaha dan kegiatan yang

berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, maka tujuannya

juga bertahap dan bertingkat.

Pencapaian tujuan pendidikan Islam tidak mungkin dilakukan

sekaligus secara serentak. Pencapaian tujuan harus dilakukan secara bertahap

dan berjenjang. Meskipun demikian, setiap tahap dan jenjang memiliki

hubungan dan keterkaitan sesamanya karena adanya landasan yang sama serta

tujuan yang tunggal.

Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany membagi tujuan pendidikan

Islam menjadi tiga tahap, yaitu:1

1. Tujuan tertinggi atau terakhir adalah tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan

lain. Tujuan tertinggi tidak terbatas pelaksanaannya pada institusi-institusi

tertentu melainkan wajib dilaksanakan oleh semua institusi-institusi

masyarakat.

2. Tujuan umum yaitu perubahan-perubahan yang dikehendaki yang

diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dapat

dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu.

3. Tujuan khas yaitu perubahan-perubahan yang diingini yang bersifat

cabang atau bagian yang termasuk di bawah tujuan umum pendidikan atau

dengan kata lain gabungan pengetahuan, keterampilan, pola-pola tingkah

laku, sikap yang terkandung dalam tujuan tertinggi atau tujuan umum.

1 Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung,

(46)

Ahmadi menambahkan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi

tiga tahapan yaitu: 2

1. Tujuan akhir: pada dasarnya tujuan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia

dan peranannya sebagai ciptaan Allah, yaitu menjadi hamba Allah yang

bertakwa, mengantarkan subyek didik menjadi khalifatullah di bumi dan

memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

2. Tujuan umum: tujuan ini berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya

dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan

kepribadian peserta didik sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai

pribadi yang utuh.

3. Tujuan khusus: tujuan ini bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk

diadakan perubahan dimana perlu disesuaikan dengan tuntutan dan

kebutuhan, selama masih berpijak pada kerangka tujuan tertinggi, terakhir

dan umum.

Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tertinggi atau terakhir

diperlukan upaya yang tidak pernah berakhir, sedangkan tujuan umum sebagai

proses realisasi diri juga terus berlangsung selama hayat masih dikandung

badan dari sinilah dalam Islam dikenal konsep pendidikan sepanjang hayat.

Sedangkan Zakiyah Daradjat membagi tujuan pendidikan Islam

menjadi empat tahap, yaitu:3

a. Tujuan umum, yakni tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan

pendidikan. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar

pada pribadi seseorang yang sudah dididik.

b. Tujuan akhir, tujuan akhir pendidikan Islam dapat dipahami sebagai upaya

untuk kembali kepada Allah dalam keadaan takwa dan berserah diri

kepada-Nya. Insan kamil yang mati dalam keadaan takwa kepada

Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam.

2

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam,Paradigma Humanisme Teosentris,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.95-101

3

(47)

c. Tujuan sementara, adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik

diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu

kurikulum pendidikan formal.

d. Tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan

sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan

dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan

mencapai tujuan tertentu yang disebut tujuan operasional.

Sedangkan di lembaga sekolah formal dikembangkan istilah tujuan

institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional, tujuan semester, tujuan

catur wulan, tujuan kelas dan sebagainya. Namun semua itu dapat

dikualifikasikan sebagai tujuan perantara bila diukur dari tujuan pendidikan

Islam yang identik dengan tujuan hidup manusia.4

Pentahapan tujuan pendidikan ini hanya merupakan cara untuk dapat

mencapai tujuan akhir atau tertinggi pendidikan Islam. Tujuan akhir

pendidikan Islam tidak dapat tercapai secara instan melainkan melaui proses.

Sepanjang hidupnya manusia akan terus berusaha mencapai tujuan hidupnya,

selama inilah proses pendidikan akan terus berlangsung.

B. Ruang LingkupTujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam mengacu pada tujuan yang dapat dilihat

dalam berbagai dimensi. Dari sudut pandang yang demikian, maka tujuan

pendidikan Islam memiliki karakteristik yang ada kaitannya dengan sudut

pandang tertentu. Secara garis besarnya tujuan pendidikan Islam dapat dilihat

dari tujuh dimensi utama. Setiap dimensi mengacu kepada tujuan pokok yang

khusus. Atas dasar pandangan yang demikian, maka tujuan pendidikan Islam

mencakup ruang lingkup yang luas. Adapun dimensi tersebut adalah :5

1. Dimensi hakikat penciptaan manusia.

Berdasarkan dimensi ini, tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada

pencapaian target yang berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia oleh

4

Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 29

5

Referensi

Dokumen terkait

Relevansi nilai pendidikan dalam surah Ibrahim Ayat 35-36 dan surah Yusuf ayat 5 dengan dunia pendidikan yakni dapat ditanamkan kepada kita agar kita dapat menerapkannya untuk

Uraian diatas menunjukkan bahwa dengan mempelajari filsafat, arah pemikiran seseorang, khususnya pendidik yang dalam hal ini lebih difokuskan kepada pendidik

Prosedur audit yang kami lakukan adalah prosedur yang disepakati sesuai dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang Pedoman

Keberadaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi potensi pembangunan daerah turut diperhitungkan, dan dengan motto Gertak Saburai Sikep

Disini, kaidah interaksi manusia dan komputer dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai apakah menu atau tampilan layar ATM sudah sesuai yang diinginkan nasabah atau

Sumber Daya Manusia Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d merupakan Pegawai Negeri sipil yang mempunyai kualifikasi dan wewenang tertentu yang bertugas

Peran pesantren yang begitu besar terhadap masyarakat kini mendapat tantangan yang begitu berat, terutama di zaman modern pada saat sekarang ini, dimana posisi

Saya setuju juga dengan pendapat izzat anuar yang mengatakan kerajaan akan mengambil tindakan untuk menyekat rancangan yang berbentuk hiburan ini ditayangkan terlalu