BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perkembangan dunia industri semakin cepat, persaingan bisnis pun semakin ketat.
Setiap perusahaan baik itu perusahaan swasta maupun perusahaan milik Negara (BUMN)
berlomba-lomba untuk tetap dapat hidup dan berkembang dengan matang. Hidup dan
matinya sebuah perusahaan memang tidak ada yang bisa memprediksi. Dalam
perkembangannya, organisasi membutuhkan pengelolaan yang spesifik dan terukur untuk
tetap dapat bertahan, termasuk pengelolaan reputasi.1
Setiap perusahaan berlomba-lomba untuk membangun reputasi perusahaan yang
lebih baik. Reputasi bagi sebuah perusahaan adalah hal vital, karena hidup dan matinya
organisasi, sangat tergantung pada sejauh mana kemampuan organisasi mengelola reputasi
baiknya. Reputasi tidak bisa diperoleh dalam waktu singkat karena harus dibangun
bertahun-tahun untuk menghasilkan sesuatu yang bisa dinilai oleh publik.2 Sebuah bisnis dapat
mencapai tujuannya dengan lebih mudah jika memiliki reputasi yang baik di mata para
stakeholders, terutama stakeholders kunci seperti pelanggan terbesar, pemimpin opini dalam
komunitas bisnis, pemasok dan karyawan.3
Upaya sebuah perusahaan dalam membangun reputasi perusahaan, salah satunya
dengan melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR). CSR dimaksudkan
untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak
berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga
1
Irmulan Sati, Kontribusi Strategis Public Relations dalam Organisasi. Public Relations dan Corporate Social Responsibility, Aspikom, Yogyakarta, 2011, hlm. 12.
2
Frazier Moore, Humas Membangun Citra Dengan Komunikasi, PT Remaja Rosdakary, Bandung, 2005, hlm 636.
3
pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh
manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha. Dalam Untung4 Michael
Porter mengatakan adanya korelasi positif antara profit dan kepedulian sosial, atau tujuan
finansial dan tujuan sosial perusahaan. Reputasi positif yang dimiliki oleh perusahaan
merupakan aset penting yang harus dilindungi dan dikembangkan dimana reputasi sendiri
tidak hanya dinilai dari aspek finansial, namun termasuk seberapa baik penilaian stakeholders
terhadap komitmen perusahaan dalam memenuhi harapan stakeholders tersebut.
Corporate social responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk
berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan
tangung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian
terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.5 Sedangkan menurut Iriantaracorporate
social responsibility (CSR) menunjukkan sebuah konsep tentang pengintegrasian kepedulian
terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis perusahaan dan
interaksi sukarela antara perusahaan dan para stakeholdernya.6 Seperti halnya perusahaan
swasta, perusahaan milik Negara (BUMN) pun dituntut untuk lebih peduli terhadap
lingkungan dan masyarakat, yaitu melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) merupakan salah satu instrumen
perwujudan tanggung jawab sosial tersebut yang wajib dilaksanakan bagi seluruh BUMN
sebagai wujud kontribusi perusahaan terhadap masyarakat.
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) merupakan program sosial
perusahaan-perusahaan plat merah sebagai amanat dari Undang-undang RI No. 19 Tahun
2003 tentang BUMN (UU BUMN). Pada Pasal 88 UU BUMN menyebutkan bahwa BUMN
4
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal 5 5
Hendrik Budi Untung, Ibid., hal 1 6
dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil / koperasi
serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. 7 Pemerintah melalui Undang-Undang
menjadikan tanggung jawab sosial sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
perusahaan sesuai dengan isi Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 74.8
Program PKBL ini terbagi dalam dua subprogram yaitu program kemitraan dan
program bina lingkungan. Program bina lingkungan ditujukan untuk memberikan manfaat
kepada masyarakat sekitar wilayah usaha BUMN seperti pendidikan dan pelatihan
masyarakat, kesehatan masyarakat, bantuan tertentu seperti korban bencana alam,
sarana/prasarana umum dan sarana ibadah masyarakat yang cakupannya juga dapat diperluas.
Program kemitraan ditujukan bagi para pengusaha menegah dan kecil agar mereka dapat
meningkatkan kemampuan usahanya sehingga bisa menjadi tangguh dan mandiri melalui
pemanfaatan bagian laba BUMN. Ini merupakan bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat
secara khusus dan jangka panjang di sekitar lokasi usaha BUMN.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No. : Per-05/MBU/2007 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan pengganti
dari Keputusan Menteri BUMN Nomor 236/MBU/2003 maka, perusahaan BUMN melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba perusahaan, wajib menjalankan program PKBL, yaitu
jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari
laba bersih untuk program kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk
Program Bina Lingkungan seperti yang ditegaskan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor
PER-05/MBU/2007 pada Pasal 9.9
7 UU No. 19 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 8 8Harja “aputra, Carut Marut Pe yalura PKBL BUMN , di
akses dari
https://harjasaputra.wordpress.com/tag/bumn/ pada tanggal 22 Januari 2015 Pukul 22.15 9
Dari jumlah BUMN penyalur PKBL sebanyak kurang lebih 142 perusahaan, dimana
sampai dengan tahun 2009, BUMN telah menyalurkan dana PKBL sebesar Rp. 9,693 triliun
dengan jumlah mitra binaan sebanyak 653 ribu unit dan mitra binaan dari tahun mengalami
kenaikan. Realisasi penyaluran dana PKBL dari tahun 2007 – 2009 disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1.1 Realisasi Penyaluran Dana PKBL BUMN Tahun 2007-2009
No. Uraian 2007 2008 2009
Pertamina (Persero), PT. Bank BRI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT. Jasa
Raharja (Persero), dan PT. Telkom (persero) Tbk. Total penyaluran dari kelima BUMN
tersebut telah mencapai Rp. 2,76 triliun dari total penyaluran nasional sebesar Rp. 9,693
triliun atau sekitar 28,47%.10
Data dari www.bumn.go.id dalam Winardi mengatakan bahwa pelaksanaan program
kemitraan BUMN tersebut terlihat belum efektif dilihat dari tingkat pengembalian
pinjamannya, padahal alokasi dana yang dianggarkan cukup besar. Alokasi dana PKBL
seluruh BUMN pada tahun 2005 mencapai Rp. 1,064 trilyun.11 Tahun 2004, akumulasi dana
PKBL 142 tercatat Rp. 3,613 triliun. Dari jumlah itu yang berstatus dalam pengembalian
10 MB-IPB, di akses dari http://elibrary.mb.ipb.ac.id/files/disk1/21/mbipb-12312421421421412-mangasaerb-1043-5-e30-05-m-n.pdf pada 22 Januari 2015 pukul 21.30.
11
mencapai Rp. 2 triliun lebih dengan piutang pengembalian yang macet dan dihapusbukukan
(write off) mencapai sekitar 35%, dalam uraian Tabel 2.
Tabel 1.2 Realisasi Penyaluran Dana Program Kemitraan 142 BUMN per 31 Desember 2003
No. Uraian Satuan
Jumlah (Tahun)
Ket.
2003 s/d 2003
1. Bagian laba yang diterima Rp./juta 367,956 2.489,150
2. Pinjaman yang disalurkan Unit 38.244 357.575
3. Pinjaman yang disalurkan Rp./juta 575,298 3.465,140
4. Hibah Rp./juta 56,274 402,456
5. Piutang Rp./juta - 1.759,716
6. Piutang macet & bermasalah Rp./juta - 370,299 35,18%
Keterangan : *) Dari 142 BUMN, hanya 85 BUMN yang merinci piutangnya
Sumber : www.pkbl.go.id
Selanjutnya dalam penelitian Winardi dengan judul “Evaluasi Efektivitas dan
Strategi Penyaluran Dana program kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil di Perum
Perhutani” diperoleh hasil penelitian sampai dengan tahun 2004 tingkat kemacetan pinjaman
mitra binaan pada program kemitraan BUMN masih cukup tinggi yaitu diatas 30% dan jauh
bila dibandingkan dengan tingkat Non Performance Loan(NPL) perbankan nasional yang
berada pada kisaran 8,3% sampai 9,3%.Tingkat kemacetan pinjaman pada program kemitraan
BUMN di Perum Perhutani mencapai 44,62% dan masih lebih tinggi dari tingkat nasional
seluruh BUMN yang mencapai 35,18%.
Tingginya tingkat piutang macet dan bermasalah ini akan berpengaruh terhadap
sebagian laba BUMN setelah pajak sebesar 2% dan 1%, salah satu sumber dana program
kemitraan ini berasal dari pengembalian pinjaman mitra binaan sebagai dana bergulir.Kondisi
kolektibilitas pinjaman mitra binaan khusus wilayah Provinsi Sumatera Selatan dalam
penelitian Saniyanto dengan judul “Manajemen Kredit Pada Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan PT. Pertamina (Persero) di Palembang diperoleh data bahwa pinjaman macet
PKBL PT. Pertamina (Persero) Regional II Palembang sampai dengan tahun 2004, realisasi
Rp. 5,986 milyar pinjaman macet Rp. 1,684 milyar atau 60,89%.12
PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) adalah salah satu dari 5 (lima) Badan
Usaha Milik Negara memiliki komitmen penuhdalam penyelenggaraan program kemitraan
dengan usaha kecil dan Program Bina Lingkungan. Performa program kemitraan Telkom
selama tiga tahun terakhir terus mengalami penigkatan dari segi besaran nominal bantuan,
pemberian pinjaman dan penerimaan angsuran, dan pada tahun 2012, Telkom telah
menyalurkan dana melalui program kemitraan sebesar Rp 343,8 miliar untuk 9.346 mitra
binaan, Program Pembinaan sebasar Rp 9,9 miliar dengan tingkat kolektabilitas
pengembalian pinjaman mitra binaan sebesar Rp 308,2 miliar. Suteki sebagai Kepala CDSA
Telkom area Sumatera mengatakan bahwa Telkom sejak menjalankan PKBL dari tahun 2002,
Telkom sudah menyalurkan sebesar Rp. 1,7 triliun dan telah bekerja sama dengan 85 ribu
lebih pelaku usaha kecil.13
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan ini telah berjalan cukup lama, namun
masih banyak mitra binaannya yang belum mampu mencapai tujuan dari yang telah
ditetapkan oleh si pembina yang dapat dilihat dari tingkat pengembalian peminjaman si mitra
12
MB-IPB, di akses dari http://elibrary.mb.ipb.ac.id/files/disk1/21/mbipb-12312421421421412-mangasaerb-1043-5-e30-05-m-n.pdf pada 22 Januari 2015 pukul 21.34
13
“uteki, Telko Ku urka Rp, , Miliar Kepada UKM di akses dari
binaan. Ben Sugito sebagai koordinator pelaksana program kemitraan PT Telkom Sub Area
Medan mengatakan banyaknya mitra binaan menggunakan dana pijaman bukan pada
tempatnya atau mitra binaan melakukan pinjaman bukan untuk keperluan pengembangan
usahaanya ini diakibatkan dari lemahnya pengawasan di lapangan. Dengan demikian, tujuan
dari program tersebut yaitu menjadikan usaha tangguh dan mandiri akan sulit tercapai. Oleh
karena itu penulis merasa tertarik untuk lebih mengkaji hal ini sehingga mendorong penulis
untuk membuat skripsi dengan judul Efektivitas Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk CD Sub Area Medan Dalam
Mengembangkan Usaha Kecil.
1.2. Fokus Penelitian
Adapun yang menjadi fokus penelitian yang ada dalam penelitian ini adalah program
kemitraannya, hal ini karena program kunci yang menjadi faktor utama dalam
mengembangkan usaha kecil adalah bagian kemitraannya, sedangkan untuk Program Bina
Lingkungan penelitian peneliti, karena Bina Lingkungan hanya sebagai salah satu wujud
tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar wilayah kerja perusahaan
yang menyangkut kesehatan masyarakat, bantuan tertentu seperti korban bencana alam,
sarana/prasarana umum dan sarana ibadah masyarakat yang cakupannya juga dapat diperluas.
1.3. Perumusan Masalah
Untuk dapat memudahkan penelitian ini selajutnya dan agar penelitian dapat lebih
terarah dalam mengiterpretasikan fakta dan data ke dalam pembahasan, maka terlebih dahulu
penelitian dimana penulis mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan
dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian.14
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang menjadi
perhatian penulis dalam penelitian ini adalah Bagaimana Efektivitas Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan dalam mengembangkan usaha kecil yang dilakukan oleh PT.
Telekomunikasi Indonesia, Tbk CD Sub Area Medan.
1.4. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki tujuan
penelitian. Tujuan penelitian adalah suatu pernyataan yang disusun berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah yang mendasari dilakukannya penelitian. Tujuan penelitian
juga merupakan suatu petunjuk kearah mana kegiatan penelitian dilakukan. Adapun yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan kendala PKBL di PT Telekomunikasi
Indonesia, Tbk CD Sub Area Medan.
2. Untuk mengetahui efektivitas PKBL dalam mengembangkan usaha kecil.
3. Untuk mengetahui apakah PKBL bisa memberikan keuntunga secara ekonomis
kepada pembina dan mitra binaan.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
14
1. Secara Subjektif
Untuk mengembangkan pengetahuan, wawasan serta kemampuan berfikir khususnya
dalam pembuatan karya ilmiah.
2. Secara Praktis
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang
berguna bagi instansi terkait di dalam melaksanakan Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL).
3. Secara Akademis
Mengembangkan dan memperluas wawasan keilmuan dalam penerapan disiplin Ilmu
Administrasi Negara, khususnya tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
dalam mengembangkan usaha kecil dan sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan strata satu Departemen Ilmu Administrasi Negara.
4. Sebagai informasi yang bermanfaat khususnya bagi masyarakat usaha kecil dalam
memperoleh modal melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
1.6. Kerangka Teori
Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan
masalah perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Landasan teori perlu
ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar perbutan
coba-coba (trial and error) landasan teoritis. Dalam Sugiyono15 Hoy dan Miskel mengatakan teori
adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi.
Keranga teori adalah bagian dari penelitian, tempat penelitian meberikan pejelasan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel ataupokok masalah
15
yang ada dalam penelitian.16Untuk dapat menerangkan dan menjelaskan tentang program
kemitraan dan bina lingkungan dalam mengembangkan usaha kecil, maka penulis
menggunakan kerangka teori sebagai berikut:
1.6.1. Efektivitas
Efektif merupakan kata dasar, sementara kata sifat dari efektif adalah efektivitas.
Efektivitas adalah suatu kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa inggris
yaitu: “Efective” yang berarti ditaati, mengesahkan, mujarab dan mujur. Kamus ilmiah
populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang
tujuan. Dari sederetan arti di atas, maka yang paling tepat adalah berhasil dengan baik atau
tepat guna. Jika seseorang dapat bekerja dengan baik maka ia dapat dikatakan bekerja dengan
efektif.
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah
ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila
tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat
H. Emerson yang dikutip Soewarno Handayaningrat S17 yang menyatakan bahwa Efektivitas
adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Effendy mendefinisikan efektivitas sebagai berikut: ”Komunikasi yang
prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu
yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan”.18 Efektivitas menurut pengertian di
atas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah
tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pengertian lain menurut Susanto,
16 Suharsimi Arikunto, Op.cit., hal 92. 17
Soewarno Hadayaningrat S, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Haji Masagung, Jakarta, 1994, hal 16.
18
Efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan
pesan-pesan untuk mempengaruhi.19 Menurut pengertian Susanto diatas, efektivitas bisa diartikan
sebagai suatu pengukuran akan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya
secara matang.
Menurut pendapat Mahmudi dalam bukunya Manajemen Kinerja Sektor Publik
mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut:20 “Efektivitas merupakan hubungan antara
output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian
tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan”.
Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau kegiatan yang dinilai
efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, maka efektivitas adalah menggambarkan seluruh siklus input,
proses dan output yang mengacu pada hasil guna daripada suatu organisasi, program atau
kegiatan yang menyatakan sejauh mana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai,
serta ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai
target-targetnya. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa efektivitas lebih memfokuskan pada akibat
atau pengaruh sedangkan efisiensi menekankan pada ketepatan mengenai sumber daya, yaitu
mencakup anggaran, waktu, tenaga, alat dan cara supaya dalam pelaksanaannya tepat waktu.
Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat dilakukan melalui konsep
efektivitas. Konsep ini adalah satu faktor untuk menentukan apakah perlu dilakukan
perubahan secara signifikan terhadap bentuk dan manajemen atau tidak. Dalam hal ini
efektivitas merupakan pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang
dimiliki secara efisien, ditinjau dari sisi masukan (input), proses, namun keluaran (output).
Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan personil, sarana dan
19
Astrud S Susanto, Pendapat Umum, Bina Cipta, Bandung, 1975, hal 156. 20
prasarana serta metode dan model yang digunakan. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila
dikerjakan dengan benar dan sesuai dengan prosedur sedangkan dikatakan efektif bila
kegiatan dilaksanakan dengan benar dan memberikan hasil yang bermanfaat.
1.6.1.1. Ukuran Efektivitas Organisasi
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena
efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai
serta mengiterpretasikannya. Walaupun banyak orang setuju bahwa manajemen memegang
peranan utama dalam mencapai efektivitas organisasi, tetapi sulit sekali memperinci apa yang
dimaksud dengan konsep efektivitas itu sendiri. Bagi seorang ahli ekonomi atau analis
keuangan, efektivitas organisasi adalah keuntungan atau laba investasi. Bagi seorang manajer
produksi, efektivitas seringkali berarti kuantitas atau kualitas keluaran (output) barang atau
jasa. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektivitas dijabarkan dengan jumlah paten,
penemuan atau produk baru suatu organisasi. Dan bagi sejumlah orang sarjana ilmu sosial,
efektivitas seringkali ditinjau dari sudut kualitas kehidupan pekerja. Singkatnya, ukuran
efektivitas organisasi mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada
kerangka acuan yang dipakai.21
Terdapat beberapa macam ukuran efektivitas yang dapat digunakan untuk mengukur
kefektifan sebuah organisasi. Menurut pendapat David Krech, Richard S. Cruthfied dan
Egerton L. Ballachey menyebutkan ukuran efektivitas, sebagai berikut:22
1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa kuantitas atau
bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil dimaksud dapat dilihat dari
perbandingan antara masukan dengan keluaran.
21
Richard M. Steers, Efektivitas Organisasi, Erlangga, Jakarta, 1985, hal 1 22
2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini dapat
kuantitatif dan dapat juga kualitatif.
3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungan kondisi yang kondusif dengan dunia
kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan.
4. Intensitas yang dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi dalam suatu tingkatan
intens sesuatu, dimana adanya rasa saling memiliki dengan kadar yang tinggi.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa ukuran daripada efektivitas harus adanya suatu
perbandingan antara masukan dan keluaran, ukuran daripada efektivitas harus adanya tingkat
kepuasan dan adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi,
artinya ukuran daripada efektivitas adanya keadaan rasa saling memiliki dengan tingkatan
yang tinggi.
Membahas masalah ukuran efektivitas memang sangat bervariasi tergantung dari
sudut terpenuhinya beberapa kriteria akhir. Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh
Richard M. Steers menyebutkan beberapa ukuran dari pada efektivitas, yaitu:23
1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;
3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan dalam hal
penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;
4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk
menghasilkan prestasi tersebut;
5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan
kewajiban dipenuhi;
6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa
lalunya;
23
7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;
8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu
9. Semangat Kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tujuan, yang
melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;
10.Motivasi artinya adanya kekuatan yang mucul dari setiap individu untuk mencapai
tujuan;
11.Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain,
artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;
12.Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur
standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan
lingkungan;
Sehubungan dengan hal -hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas
merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauh mana organisasi, program/kegiatan melaksanakan
fungsi-fungsinya secara optimal.
Selanjutnya Strees mengemukakan 5 (lima) kriteria dalam pengukuran efektivitas,
yaitu:24
1. Produktivitas
2. Kemampuan adaptasi kerja
3. Kepuasan kerja
4. Kemampuan berlaba
5. Pencarian sumber daya
24
Pendapat para ahli di atas dapat dijelaskan, bahwa efektivitas merupakan usaha
pencapaian sasaran yang dikehendaki (sesuai dengan harapan) yang ditujukan kepada orang
banyak dan dapat dirasakan oleh kelompok sasaran yaitu masyarakat. Hal ini sejalan dengan
pendapat Duncan yang dikutip Richard M. Steers dalam bukunya “Efektivitas Organisasi”
mengatakan mengenai ukuran efektivitas, sebagai berikut:25
1. Pencapaian Tujuan
2. Integrasi
3. Adaptasi
Merujuk dari banyaknya ukuran efektivitas dari beberapa ahli di atas, penelitian ini
akan menggunakan teori yang disampaikan oleh Duncan terkait ukuran efektivitas yang
meliputi 3 (tiga) hal, yakni;
1. Pencapaian tujuan
Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu
proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan
pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian –bagiannya maupun
pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu
: (1) Sasaran merupakan target yang kongktit, (2) Dana dan Waktu pencapaiannya
ditentukan.26 Penelitian ini akan menggunakan faktor – faktor tersebut sebagai tolak ukur
efektivitas Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam mengembangkan usaha kecil.
2. Integrasi
Integrasi adalah pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk
mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus, dan komunikasi dengan berbagai
macam organisasi lainnya. Intergrasi ini terdiri dari beberapa faktor yaitu (1) prosedur,
25
Richard M. Steers, Op.cit., hal 53 26
(2) proses sosialisasi.27 Peneliti mengukur efektivitas program kemitraan menggunakan
faktor prosedur yang digunakan dan proses sosialisai. Perumusan, penerapan, dan
pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan akan dinilai efektif jika
dilakukan dengan baik berdasarkan prosedur yang ada. Proses sosialisasi program
kemitraan terhadap usaha-usaha kecil, calon mitra binaan atau pun pihak lain yang
terlibat dalam perumusan, penerapan, dan pelaksanaan program kemitraan dikatakan
efektif jika ada feedback yang baik dari mitra binaan atau calon mitra binaan.
3. Adaptasi
Adaptasi adalah proses penyesuaian diri yang dilakukan untuk menyelaraskan suatu
individu terhadap perubahan – perubahan yang terjadi di lingkungannya. Faktor yang
mempengaruhi adaptasi adalah (1) peningkatan kemampuan, (2) sarana dan prasarana.
Berdasarkan faktor yang telah disebutkan peneliti bermaksud untuk menggunakannya
sebagai tolak ukur efektivitas penerpan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam
pembinaan melalui pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, pendampingan
promosi kepada mitra binaan dalam mengembangkan usaha. Sedangkan tolak ukur lain
adalah adanya sarana dan prasarana yang mendukung penerapan dan pelaksanaan
program kemitraan.
Teori tersebut akan dipakai untuk mengukur efektivitas dimana teori tersebut dipilih
karena teori Duncan dianggap mampu untuk mengukur efektivitas organisasi,
program/kegitan yang dilihat dari pencapaian tujuan dengan melihat integrasi dan
adaptasinya.
27
1.6.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Organisasi
Dalam mencapai efektivitas suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan bidang kegiatan atau usaha suatu organisasi.
Demikian banyak rangkaian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas
organisasi seperti apa yang dikemukakan diatas, akan tetapi untuk menentukan faktor-faktor
yang mempengaruhi kriteria adalah sangat sulit sekali, karena harus melihat pada hasil-hasil
penelitian terdahulu. Banyak pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas organisasi, namun pada dasarnya pendapat-pendapat tersebut telah
terangkum dalam hasil penelitian Richard M. Steers. Dengan dikemukakannya empat faktor
yang berpengaruh terhadap efektifitas organisasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas organisasi sebagai berikut:28
1. Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi. Struktur diartikan sebagai
hubungan yang relatif tetap sifatnya, merupakan cara suatu organisasi menyusun
orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi yang meliputi faktor-faktor seperti
deentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi
antar pribadi dan seterusnya. Secara singkat struktur diartikan sebagai cara bagaimana
orang-orang akan dikelompokkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Teknologi menyangkut mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah
menjadi keluaran jadi. Teknologi dapat memiliki berbagai bentuk, termasuk
variasi-variasi dalam proses mekanisme yang digunakan dalam produksi, variasi-variasi dalam
pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang kegiatan menuju sasaran. Ciri
organisasi yang berupa struktur organisasi meliputi faktor luasnya desentralisasi. Faktor
28
ini akan mengatur atau menentukan sampai sejauh mana para anggota organisasi dapat
mengambil keputusan. Faktor lainnya yaitu spesialisasi pekerjaan yang membuka peluang
bagi para pekerja untuk mengembangkan diri dalam bidang keahliannya sehingga tidak
mengekang daya inovasi mereka.Faktor formalisasi berhubungan dengan tingkat adaptasi
organisasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, semakin formal suatu organisasi
semakin sulit organisasi tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Hal tersebut
berpengaruh terhadap efektivitas organisasi karena faktor tersebut menyangkut para
pekerja yang cendenrung lebih terikat pada organisasi dan merasa lebih puas jika mereka
mempunyai kesempatan mendapat tanggung jawab yang lebih besar dan mengandung
lebih banyak variasi jika peraturan dan ketentuan yang ada dibatasi seminimal mungkin.
2. Karakteristik Lingkungan
Karakteristik lingkungan ini mencakup dua aspek yaitu internal dan eksternal.
Lingkungan internal dikenal sebagai iklim organisasi. Yang meliputi macam-macam
atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi dan efektivitas
khususnya atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari
efektivitas khususnya atribut diukur pada tingkat individual.
Lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul dari luar batas organisasi yang
memperngaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi seperti kondisi ekonomi,
pasar dan peraturan pemerintah. Hal ini mempengaruhi: derajat kestabilan yang relatif
dari lingkungan, derajat kompleksitas lingkungan dan derajat kestabilan lingkungan.
Steers menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan para ahli bahwa keterdugaan,
persepsi dan reasionalitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi hubungan
lingkungan.29 Dalam hubungan terdapat suatu pola dimana tingkat keterdugaan dari
29
keadaam lingkungan disaring oleh para pengambil keputusan dalam organisasi melalui
ketetapan persepsi yang tepat mengenai lingkungan dan pengambilan keputusan yang
sangat rasional akan dapat memberikan sumbangan terhadap efektivitas organisasi.
3. Karakteristik Pekerja
Karakteristik pekerja berhubungan dengan peranan perbedaan individu para pekerja
dalam hubungan dengan efektivitas. Para individu pekerja mempunyai pandangan yang
berlainan, tujuan dan kemampuan yang berbeda-beda pula. Variasi sifat pekerja ini yang
sedang menyebabkan perilaku orang yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut
mempunyai pengaruh langsung terhadap efektivitas organisasi. Dua hal tersebut adalah
rasa keterikatan terhadap organisasi dan prestasi kerja individu.
4. Kebijakan dan Praktek Manajemen
Karena manajer memainkan peranan sentral dalam keberhasilan suatu organisasi melalui
perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan yang ditujuan ke arah sasaran.
Kebijakan yang baik adalah kebijakan tersebut secara jelas membawa kita ke arah tujuan
yang diinginkan. Pada intinya manajemen adalah tentang memutuskan apa yang harus
dilakukan kemudian melaksanakannya melalui sumber daya manusia yang ada.
Dari faktor kebijakan dan praktek manajemen ini, sedikitnya diindentifikasikan menjadi
enam variabel yang menyumbang efektivitas yaitu: 1) penyusunan tujuan strategis, 2)
pencarian dan pemanfaatan sumber daya, 3) menciptakan lingkungan prestasi, 4) proses
1.6.2. Program
Setiap organisasi akan selalu memerlukan pedoman dalam setiap gerak langkahnya
termasuk dalam melaksanakan roda organisasi. Program akan menjadi suatu kebutuhan
primer bagi suatu organisasi karena organisasi tanpa memiliki suatu program kerja yang
terarah dan terpadu dapat diibaratkan bagaikan orang buta yang mencari kucing hitam dalam
gelap malam tanpa cahaya.Program dapat diartikan sebagai suatu rencana kegiatan dari suatu
organisasi yang terarah, terpadu dan tersistematis yang dibuat untuk rentang waktu yang telah
ditentukan oleh suatu organisasi. Program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan.
Dengan program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk
dioperasionalkan.30 Dalam pengertian tersebut menggambarkan bahwa program-program
adalah penjabaran dari langkah-langkah dalam mencapai tujuan itu sendiri. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya
kegiatan pelaksanaan karena dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara
lain;31
1. Adanya tujuan yang ingin dicapai
2. Adanya kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam pencapaian tujuan itu.
3. Adanya aturan-aturan yang dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
4. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
5. Adanya strategi dalam pelaksanaan
Unsur lainyang harus dipenuhi dalam pelaksanaan progoramialahadanya kelompok
orang yang menguji sasaran program sehingga kelompok orang tersebut merasa ikut
dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan dan adanya perubahan
sertapeningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan manfaat pada kelompok orang,
30
Charles O Jones, Pengantar Kebijakan Publik Terjemahan Ricky Istamto, Roja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal 296.
31
boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Berhasiltidaknya suatu program
dilaksanakan tergantung dari unsur pelaksanaanya untuk pelaksanaan itu merupakan unsur
ketiga. Pelaksana adalah hal penting dalam mempertanggungjawabkan pengolahan maupun
pengawasan dalam pelaksanaan, baik itu organisasi ataupun perorangan.32
1.6.2.1. Konsep Implementasi Program
Program di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai
rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan. Jones dalam Arif
Rohman33 (2009: 101-102) menyebutkan program merupakan salah satu komponen dalam
suatu kebijakan. Program merupakan upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.
Menurut Charles O. Jones dalam Siti Erna Latifi Suryana,34 ada tiga pilar aktivitas dalam
mengoperasikan program yaitu;
1. Pengorganisasian
Struktur oganisasi yang jelas diperlukan dalam mengoperasikan program sehingga
tenaga pelaksana dapat terbentuk dari sumber daya manusia yang kompeten dan
berkualitas.
2. Interpretasi
Para pelaksana harus mampu menjalankan program sesuai dengan petunjuk teknis dan
petunjuk pelaksana agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
3. Penerapan atau Aplikasi
Perlu adanya pembuatan prosedur kerja yang jelas agar program kerja dapat berjalan
sesuai dengan jadwal kegiatan sehingga tidak berbenturan dengan program lainnya.
32
Charles O Jones, Op.cit. hal 298 33
Rohman Arif, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, hal 101-102.
34
Siti Erna Latifi Suryana, Implementasi Kebijakan tentang Pengujian KendaraanBermotor di Kabupaten Aceh
Salah satu model implementasi program yakni model yang diungkapkan oleh David
C. Korten. Model ini memakai pendekatan proses pembelajaran dan lebih dikenal dengan
model kesesuaian implementasi program. Model kesesuaian Korten digambarkan sebagai
berikut:35
Gambar 1.1 Model Kesesuaian Implementasi Program
Korten menggambarkan model ini berintikan tiga elemen yang ada dalam
pelaksanaan programyaitu program itu sendiri, pelaksanaan program, dan kelompok sasaran
program. Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat
kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program
dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa
yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antaraprogram
dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program
dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat
dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk
35
Header Akib dan Antonius Tarigan,Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif, Model dan Kriteria Pengukurannya. Jurnal, 2000, hal 12
PROGRAM
Output
Tugas
dapat memperoleh outputprogram dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran
program.36
Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa kinerja
program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan kalau tidak terdapat
kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan. Hal ini disebabkan
apabilaoutputprogram tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran,jelas outputtidak
dapat dimanfaatkan.Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan
melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program, maka organisasinya tidak dapat
menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi
pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran, maka kelompok sasaran
tidak mendapatkan outputprogram. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur
implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang
telah dibuat.
Terkait landasan dan mutu implementasi program, menurut Islamy dalam buku
Maryono37 yang berjudul Menakar Kebijakan RSBI: Analisis Kritis Studi Implementasi,
untuk bisa melihat apakah proses implementasi program telah berjalan dengan baik ada
kriteria yang perlu diperhatikan, beberapa diantaranya yakni:
1. Apakah unit pelaksana teknis telah disiapkan?
2. Apakah pelaksana kebijakan telah mengerti akan rencana, tujuan, dan sasaran
kebijakan ?
3. Apakah aktor-aktor utama telah ditetapkan dan siap menerima tanggung jawab
pelaksanaan kebijakan tersebut?
4. Apakah koordinasi pelaksanaan telah dilakukan dengan baik?
36
Header Akib dan Antonius Tarigan, Loc.cit. 37
5. Apakah hak dan kewajiban, kekuasaan dan tanggung jawab telah diberikan dan
dipahami serta dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan?
6. Apakah kriteria penilaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan telah ada, jelas, dan
diterapkan dengan baik?
Berbagai pertanyaan di atas dapat menjadi bahan dan pedoman dalam proses
pencarian data dalam upaya untuk mendeskripsikan pelaksanaan program kemitraan.
1.6.3. Kemitraan
Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong atau
kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut
Notoatmodjo kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu,
kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu.38 Ada
berbagai pengertian kemitraan secara umum meliputi:
a. kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal antara dua
pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan ”mitra” atau ”partner”.
b. Kemitraan adalah proses pencarian/perwujudan bentuk-bentuk kebersamaan yang
saling menguntungkan dan saling mendidik secara sukarela untuk mencapai
kepentingan bersama.
c. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor, kelompok
masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah untuk bekerja sama mencapai
tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing.
Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok atau organisasi
untuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan melaksanakan serta membagi tugas,
menanggung bersama baik yang berupa resiko maupun keuntungan, meninjau ulang
38
hubungan masing-masing secara teratur dan memperbaiki kembali kesepakatan bila
diperlukan.
1.6.3.1Prinsip Kemitraan
Terdapat 3 prinsip kunci yang perlu dipahami dalam membangun suatu kemitraan
oleh masing-masing naggota kemitraan yaitu:39
1. Prinsip Kesetaraan
Individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus
merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan
yang disepakati.
2. Prinsip Keterbukaan
Keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota serta
berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus diketahui oleh anggota lain.
Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan.
Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling
membantu diantara golongan (mitra).
3. Prinsip Azas manfaat bersama
Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat
dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi masing-masing. Kegiatan atau
pekerjaan akan menjadi efisien dan efektif bila dilakukan bersama.
1.6.3.2. Langkah-Langkah Kemitraan
Kemitraan memberikan nilai tambah kekuatan kepada masing-masing sektor untuk
melaksanakan visi dan misinya. Namun kemitraan juga merupakan suatu pendekatan yang
memerlukan persyaratan, untuk itu diperlukan langkah-langkah tahapan sebagai berikut:40
39
1. Pengenalan masalah
2. Seleksi masalah
3. Melakukan indentifikasi calon mitra dan pelaku potensial melalui surat-menyurat,
telepon, kirim brosur, rencana kegiatan, visi, misi, AD/ART.
4. Melakukan identifikasi peran mitra/jaringan kerjasama antar sesama mitra dalam
upaya mencapai tujuan, melalui: diskusi, forum pertemuan, kunjungan kedua
belah pihak, dll
5. Menumbuhkan kesepakatan yang menyangkut bentuk kemitraan, tujuan dan
tanggung jawab, penetapan rumusan kegiatan memadukan sumberdaya yang
tersedia di masing-masing mitra kerja, dll. Kalau ini sudah ditetapkan, maka setiap
pihak terbuka kesempatan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang lebih
bervariasi sepanjang masih dalam lingkup kesepakatan.
6. Menyusun rencana kerja: pembuatan POA penyusunan rencana kerja dan jadwal
kegiatan, pengaturan peran, tugas dan tanggung jawab
7. Melaksalakan kegiatan terpadu: menerapkan kegiatan sesuai yang telah disepakati
bersama melalui kegiatan, bantuan teknis, laporan berkala, dll
8. Pemantauan dan evaluasi
1.6.3.3 Indikator Keberhasilan Kemitraan
Untuk dapat mengetahui keberhasilan pengembangan kemitraan diperlukan adanya
indikator yang dapat diukur. Dalam penentuan indikator sebaiknya dipahami prinsip-prinsip
indikator yaitu: spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan tepat waktu. Sedangkan
pengembangan indikator melalui pendekatan manajemen program yaitu:41
40
ibid 41
Gambar 1.2 Indikator Keberhasilan Kemitraan
1. Indikator Input
Tolak ukur keberhasilan input dapat diukur dari tiga indikator, yaitu:
a. Terbentuknya tim wadah atau sekretariat yang ditandai dengan adanya
kesepakatan bersama dalam kemitraan.
b. Adanya sumber dana/biaya yang memang diperuntukkan bagi pengembangan
kemitraan.
c. Adanya dokumen perencanaan yang telah disepakati oleh institusi terkait.
Hasil evaluasi terhadap input dinilai berhasil apabila ketiga tolok ukur tersebut terbukti
ada.
2. Indikator Proses
Tolok ukur keberhasilan proses dapat diukur dari indikator sebagai frekuensi dan
kualiatas pertemuan tim atau secretariat sesuai kebutuhan. Hasil evaluasi terhadap proses
nilai berhasil, apabila tolok ukur tersebut terbukti adanya yang dilengkapi dengan agenda
pertemuan, daftar hadir dan notulen hasil pertemuan.
3. Indikator Output
Tolok ukur keberhasilan output dapat diukur dari indikator sebagai berikut: Jumlah
kegiatan yang dikerjakan oleh institusi terkait sesuai dengan kesepakatan peran
masing-INPUT
PROSES
OUTPUT
OUTCOME
masing institusi. Hasil evaluasi terhadap output dinilai berhasil, apabila tolok ukur
tersebut diatas terbukti ada.
4. Indikator Outcome
Tolok ukur keberhasilan outcome adalah adanya peningkatan tingkat prekonomian pada
pada mitra binaan maupun kemandirian dalam usaha mitra binaan.
1.6.4. Pengembangan Usaha
Dalam pengembangan usaha banyak hambatan-hambatan yang dihadapi seperti
kekurangan modal, tenaga kerja yang ahli atau terampil, kinerja keuangan usaha yang buruk,
dan sebagainya. Tetapi hambatan-hambatan itu semua dapat diatasi dengan cara
mengembangkan dan menerapkan strategi pengembangan usaha yang baik. Definisi
pengembangan usaha itu sendiri adalah terdiri dari sejumlah tugas dan proses yang pada
umumnya bertujuan untuk mengembangakan dan mengimplementasikan peluang
pertumbuhan usaha. Pengembangan usaha bukan saja dibarengi dengan modal yang banyak
atau tenaga kerja yang terampil tetapi juga harus dibarengi dengan pembinaan yang rutin.
Cara lain yang harus dilakukan untuk dapat mengembangakan usaha dengan baik
adalah dengan memberikan pendidikan meningkatkan keahlian kepada pengusaha
(wirausaha) seperti memberikan pelatihan workshop tentang pengembangan usaha, dan
sebagainya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih
kepada pengusaha.42
42
Harris Fadilah, Pengembangan Usaha, diakses dari
1.6.4.1. Usaha Mikro dan Kecil
a. Usaha Mikro
Usaha mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri keuangan No.
40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, yaitu usaha produktif milik keluarga atau
perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha Mikro dapat mengajukan kredit
kepada bank paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).43
Dilihat dari kepentingan perbankkan, usaha mikro adalah suatu segmen pasar
yang cukup potensial untuk dilayani dalam upaya meningkatkan fungsi intermediasi-nya
karena usaha mikro mempunyai karekteristik positif dan unik yang tidak selalu dimiliki
oleh non mikro, antara lain:
1. Perputaran usaha (trun over) cukup tinggi, kemampuannya menyerap dana yang
mahal dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan
bahkan terus berkembang;
2. Tidak sensitive terhadap suku bunga;
3. Tetap berkembang walau dalam situasi krisis ekonomi dan moneter;
4. Pada umumnya berkarakter jujur, ulet, lugu, dan dapat menerima bimbingan asal
dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa masih banyak usaha mikro yang
sulit memperoleh layanan kredit perbankkan karena berbagai kendala baik pada sisi
usaha mikro maupun pada sisi perbankkan sendiri.
b. Usaha Kecil
43
Usaha kecil merupakan usaha yang intergraldalam dunia usaha nasional yang
memiliki kedudukan, potensi, dan peranan yang signifikan dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Selain itu, usaha kecil jug merupakan kegiatan usaha dalam memperluas lapangan
pekerjaan dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas, agar dapat mempercepat
proses pemerataan dan pendapatan ekonomi masyarakat.
Secara otentik, pengertian usaha kecil diatur dalan Bab I Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Usaha Kecil yaitu kegiatan ekonomi
masyarakat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil
pendapatan tahunan, serta kepemilikan.44 Pengertian disini mencakup usaha kecil
informal, yaitu usaha yang belum di daftar, belum dicatat, dan belum berbadan hukum,
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pengertian disini mencakup
usaha kecil informal, yaitu usaha yang belum di daftar, belum dicatat, dan belum
berbadan hukum, sebagaiman yang ditentukan oleh instansi yang berwenang.
Usaha kecil sebagaimana dimaksud Undang-Undang No.9 Tahun 1995 adalah
usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Adapun yang termasuk dalam penggolongan usaha kecil adalah sebagai berikut;
44
1. Industri kecil, seperti: industri kerajinan tangan, industri rumahan, industri
loggam.
2. Perusahaan berskala kecil, seperti: toserba, mini market, koperasi, dan sebagainya.
3. Usaha informal, seperti: pedagang kaki lima yang menjual barang-barang
kebutuhan pokok.
1.6.4.2. Pengembangan Usaha Kecil
Menurut PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kecil, maka pengembangan usaha kecil adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia
usaha dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan modal untuk
menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh
dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menegah.45
1.6.4.2.1. Komponen-Komponen Pengembangan Usaha
Dalam PP No. 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan usaha kecil,
Bab II Pasal 5 menyatakan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Identifikasi potensi dan masalah yang dihadapi oleh usaha kecil
2) Penyiapan program pembinaan dan pengembangan sesuai potensi dan masalah yang
dihadapi oleh usaha kecil
3) Pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan
4) Pemantauan dan pengendalian pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan
bagi usaha kecil
45
1.6.4.2.2. Faktor Pendukung Pengembangan Usaha Kecil
Menurut Sartika dan Rachman dalam Suseno,46 upaya untuk mengembangkan Usaha
kecil akan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu faktor dari dalam perusahaan (factor internal) dan
luar perusahaan (faktor eksternal), sebagai berikut:
1. Faktor Internal, yaitu:
1) Meningkatkan kemampuan manajemen dan kewirausahaan
2) Melakukan perencanaan usaha dan investasi dalam jangka panjang
3) Mengembangakan Research and Development
2. Faktor Eksternal, yaitu:
1) Menciptakan iklim yang kondusif untuk mengembangkan usaha (penyederhanaan
perizinan dan birokrasi)
2) Mengupayakan adanya program pendampingan
3) Mengupayakan tersedianya faktor-faktor produksi
4) Mengupayakan tersedianya produk-produk pendukung dalam proses produksi
5) Mengupayakan tersedianya infrastruktur sosial
6) Mengupayakan tersedianya biaya dari kredit
7) Perlu memberikan fleksibilitas dalam penerapan prinsip penyaluran kredit,
diantaranya faktor kapasitas dan kemampuan debitor dalam menghasilkan
keuntungan juga masalah agunan atau collateral kredit
8) Kebijakan Pemerintah Pusah dan Daerah yang mendukung pengembangan usaha
kecil
46
1.7. Definisi Konsep
Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara
abstrak sebuah kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian
ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapta menyederhanakan
pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang
berkaitan satu dengan yang lainnya.47
Oleh karena itu, untuk dapat menentukan batasan yang lebih jelas agar penulis dapat
menyederhanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka penulis
mengemukakan konsep-konsep antara lain:
1. Kemitraan
Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok atau organisasi
untuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan melaksanakan serta membagi tugas,
menanggung bersama baik yang berupa resiko maupun keuntungan, meninjau ulang
hubungan masing-masing secara teratur dan memperbaiki kembali kesepakatan bila
diperlukan.
2. Efektivitas
Efektivitas memiliki arti berhasil atau tepat guna. Secara lebih luas efektivitas
memiliki pengertian yaitu usaha pencapaian sasaran yang sesuuai dengan harapan dan
tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para
ahli, peneliti menggunakan teori Emerson dalam Handayaningrat48 yang menyatakan
bahwa “Efektivitas adalah pengukuran, dalam arti tercapainya tujuan dan sasaran yang
47
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Sosial, LP3ES, Jakarta, 1995, hal 33. 48
telah ditentukan”. Adapun ukuran efektivitas yang penulis gunakan untuk melihat
efektivitas Program Kemitraan dan Bila Lingkungan dalam mengembangakan usaha
kecil, yaitu sebagai berikut:
1) Pencapaian Tujuan
Untuk dapat mengukur keberhasilan suatu program dapat dilihat dari seberapa jauh
program itu mencapai tujuannya. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir
semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian
bagian –bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan
terdiri dari beberapa faktor, yaitu : (1) Kurun waktu pencapaiannya ditentukan, (2)
sasaran merupakan target yang kongktit. Penelitian ini akan menggunakan faktor –
faktor tersebut sebagai tolak ukur efektivitas Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan dalam mengembangkan usaha kecil.
2) Integrasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, integrasi adalah pengukuran terhadap
tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi dan komunikasi
dengan berbagai macam organisasi lainnya. Dalam penelitian ini integrasi
mempunyai pengertian pengukuran terhadap tingkat kemampuan anggota organisasi
untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat dalam mewujudkan efektivitas
pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dalam mengembangkan
usaha kecil.. Untuk mengukur keberhasilan dalam proses sosialisasi dapat diukur
atau dilihat dari bagaimana (1) prosedur dan (2) proses sosialisasi yang dilakukan
oleh organisasi dalam hal ini pihak PT. Telkom, Tbk Sub Area Medan kepada
masyarakat dan dari sosialisasi tersebut apakah mereka memahami/mengerti atau
bahkan sebaliknya.
Adaptasi adalah proses penyesuaian diri yang dilakukan untuk menyelaraskan suatu
individu terhadap perubahan – perubahan yang terjadi di lingkungannya. Faktor
yang mempengaruhi adaptasi adalah (1) peningkatan kemampuan, (2) sarana dan
prasarana. Berdasarkan faktor yang telah disebutkan peneliti bermaksud untuk
menggunakannya sebagai tolak ukur efektivitas penerpan Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan dalam pembinaan melalui pendidikan, pelatihan, pemagangan,
pemasaran, pendampingan promosi kepada mitra binaan dalam mengembangkan
usaha. Sedangkan tolak ukur lain adalah adanya sarana dan prasarana yang
mendukung penerapan dan pelaksanaan program kemitraan.
3. Pengembangan Usaha Kecil
Pengembangan usaha kecil adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
mengingkatkan peluang pertumbuhan usaha dan kualitas usaha yang tergolong usaha