BAB II
LANDASAN TEORI
A. Prestasi Belajar Statistika
1. Definisi Prestasi Belajar Statistika
Secara umum, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan prestasi
belajar sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan
melalui mata pelajaran, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka
nilai yang diberikan oleh guru. Menurut Crow dan Crow (dalam Lawrence, 2013),
prestasi belajar adalah taraf yang dimiiki seorang pelajar berdasarkan pengarahan
pada area pembelajaran. Prestasi belajar juga disebut sebagai performa siswa
dalam area akademik seperti membaca, seni, matematika, sain dan sejarah yang
diukur melalui tes prestasi (Cunningham, 2012). Selain itu, Umar (dalam
Roebianto, 2010) juga menyatakan bahwa prestasi belajar adalah skor pencapaian
hasil tes atau ujian yang diperoleh siswa atas pembalajaran yang telah dilakukan.
Kemudian, Tirtonegoro (dalam Auliani, 2010) mengartikan prestasi belajar
sebagai penilaian hasil usaha kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk simbol
angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai
oleh setiap anak dalam periode tertentu.
Berdasarkan pemaparan teoritis di atas, prestasi belajar dapat disimpulkan
sebagai penguasaan pengetahuan/keterampilan ataupun performa yang
penelitian ini, prestasi belajar yang dibahas adalah khusus pada prestasi belajar di
mata kuliah statistika.
Statistika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
pengklasifikasikan, pengorganisasian dan penganalisisan data (King & Minium,
2003). Sudjana (2005) juga turut menjelakan bahwa statistika adalah pengetahuan
yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengolahan atau
penganalisisan serta penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan
penganalisisan yang dilakukan. Statistika merupakan ilmu terapan di bidang
matematika, sehingga dalam mempelajari statistika juga akan turut melibatkan
berbagai macam penghitungan matematis seperti menjumlahkan, mengurangkan,
membagikan, mengalikan, mengkuadratkan hingga mengakaran angka. Dalam hal
ini, peneliti menyimpulkan bahwa statistika adalah ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengklasifikasian dan
pengorganisasian data, penganalisisan data serta penarikan kesimpulan
berdasarkan penaganalisisan yang dilakukan.
Berdasarkan pengertian prestasi belajar dan statistika di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar statistika adalah skor pencapaian hasil tes atau
hasil ujian statsitika yang diperoleh siswa atas pembelajaran yang telah dilakukan
di mata kuliah statistika.
2. Proses Belajar
Menurut Syah (2010), belajar merupakan aktivitas yang berproses. Dalam
dengannya beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil
tertentu (Reber, dalam Syah, 2010). Proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan
perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa.
Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju
daripada keadaan sebelumnya (Syah, 2010).
Menurut Wittig (dalam Syah, 2010), setiap proses belajar selalu
berlangsung dalam tahapan-tahapan yang mencakup:
a. Acquisition (tahap perolehan/peneriman informasi)
Pada tingkatan ini, siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus dan
melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku
baru. Proses acquisition dalam belajar merupakan tahapan yang paling mendasar.
Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap
berikutnya.
b. Storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tingkatan ini, siswa secara otomatis akan mengalami proses
penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia peroleh ketika menjalani
proses acquisition. Peristiwa ini melibatkan fungsi short term dan long term
memori.
c. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Pada tingkatan ini, siswa akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi
memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah.
Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam
memori berupa informasi, simbol, pemahaman dan perilaku tertentu sebagai
respons atau stimulus yang sedang dihadapi.
3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Statistika
Hasil penelitian dari Lalonde & Gardner (dalam Tremblay dkk., 2000),
Nasser (2007) dan Silvia dkk. (2007) menghasilkan beberapa varibel yang
diketahui berhubungan dan mempengaruhi prestasi belajar statistika, yaitu:
a. Kemampuan matematika
Prestasi di bidang statistika seseorang akan menjadi tinggi jika
kemampuannya dalammatematika juga tinggi, begitu juga sebaliknya.
b. Keberhasilan Sebelumnya (Previous success)
Keberhasilan pada nilai hasil kuis dan nilai ujian tengah semester yang
sebelumnya menjadi prediktor bagi nilai akhir statistika individu
c. Sikap Terhadap Statistika
Individu yang memiliki skor sikap yang positif terhadap statistika ternyata
mendapatkan prestasi yang tinggi pula pada bidang statistika
d. Kecemasan terhadap statistika
Kecemasan terhadap statistika membuat sikap terhadap statistika menjadi
rendah. Jika sikap terhadap statistika menjadi rendah, maka prestasi di bidang
statistika juga akan menjadi rendah, begitu juga sebaliknya. Selain itu, kecemasan
terhadap statistika juga mempengaruhi usaha melalui sikap dan motivasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi prestasi belajar statistika yaitu kemampuan dalam bidang
matematika, sikap terhadap matematika dan statistika, kesuksesan terdahulu
(previous success), motivasi, usaha dan kecemasan terhadap statistika.
4. Pengukuran Prestasi Belajar Statistika
Prestasi belajar secara umum dapat diukur dengan menggunakan tes yang
biasa disebut sebagai tes prestasi belajar. Azwar (2010) menyatakan bahwa tes
prestasi belajar bertujuan untuk mengungkap keberhasilan seseorang dalam
belajar. Beliau juga menambahkan bahwa tes prestasi belajar adalah berupa tes
yang disusun secara terencana untuk mengungkap performansi maksimal subjek
dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam penelitian
ini, dapat dikatakan bahwa tes prestasi belajar statistika adalah tes yang disusun
secara terencana untuk mengungkap performansi maksimal mahasiswa dalam
menguasai bahan-bahan atau materi statistika yang telah diajarkan. Tes prestasi
belajar dapat berbentuk ulangan-ulangan harian, tes formatif, tes sumatif, bahkan
ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi (Azwar, 2010).
Pengukuran prestasi belajar pada mata kuliah statistika di Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara diukur melalui ulangan-ulangan harian
(kuis) serta tes formatif melalui ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir
5. Indikator Prestasi Belajar Statistika
Menurut Azwar (2010), salah satu pedoman dalam menentukan tingkat
kompetensi aitem tes adalah taksonomi tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh
Bloom dkk. (1956). Taksonomi ini secara luas mencakup sistem klasifikasi tujuan
pendidikan dalam tiga kawasan perilaku yaitu: kawasan afektif (berisi hal-hal
yang berkenaan dengan minat dan sikap), kawasan kognitif (mengenai aspek
intelektual atau fungsi pikir) dan kawasan psikomotor (mengenai aspek
keterampilan motorik). Azwar (2010) menambahkan bahwa dalam pembahasan
mengenai tes prestasi, maka yang dipusatkan adalah hanya pada kawasan kognitif.
Bloom dkk (dalam Azwar, 2010) menyusun konsep taraf kompetensi
kognitif ke dalam enam jenjang atau tingkatan yang kompleksitasnya bertingkat,
mulai dari yang paling rendah yaitu knowledge, comprehension, application,
analysis, synthesis, hingga evaluation. Azwar (2010) memaparkan contoh kata
kerja untuk menunjukkan hasil belajar tertentu pada masing-masing tingkatan
kompetensi kognitif tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Knowledge
Mengenali, mendeskripsikan, menamakan, mendefinisikan, memasangakan,
memilih
b. Comprehension
Mengklasifikasikan, menjelaskan, mengikhtisarkan, meramalkan, membedakan
c. Application
Mendemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan,
d. Analysis
Menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi,
mengambil kesimpulan, menyusun urutan
e. Synthesis
Menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi,
menyusun kembali, merevisi
f. Evaluation
Menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan,
memberi dukungan.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka pengukuran prestasi belajar di
bidang statistika akan diungkap berdasarkan 6 tingkatan kompetensi kognitif di
atas sesuai dengan apa yang dipelajari mahasiswa di bidang tersebut.
B. Kecemasan Terhadap Ujian Statistika
1. Definisi Kecemasan Terhadap Ujian Statistika
Menurut Stuart (dalam Tresna, 2011), kecemasan secara umum dapat
didefininisikan sebagai suatu keadaan dengan perasaan keprihatinan, rasa gelisah,
ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual
yang tidak diketahui atau dikenal. Hampir sama, Davison (2004) menyatakan
bahwa kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan dari rasa takut dan
khawatir yang disertai dengan rangsangan fisiologis. Post (dalam Tresna, 2011)
juga menjelaskan bahwa kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak
ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat.
Sedangkan Froggatt (dalam Supriyantini, 2010) secara lebih spesifik menjelaskan
bahwa istilah kecemasan mengacu pada perasaan tidak nyaman dan ketakutan,
ditambah dengan beberapa gejala fisik yang tidak menyenangkan, termasuk
ketegangan (otot yang menegang), denyut jantung yang bertambah cepat, nafas
memburu, mulut kering, badan berkeringat dan gemetar. Apabila rasa cemas
semakin parah, berbagai hal yang lebih buruk bisa muncul, misalnya rasa pusing,
pingsan, dada sakit, pandangan buram, perasaan tercekik, badan terasa panas dan
dingin, mual dan sering buang air besar atau diare.
Kecemasan dapat terjadi di berbagai situasi, baik situasi kerja, situasi
keluarga ataupun situasi pendidikan. Dalam konteks pendidikan, salah satu yang
dapat menimbulkan ancaman, tekanan dan kekhawatiran pada diri siswa adalah
ujian, karena ujian merupakan proses pemeriksaan mengenai pengetahuan dan
keahlian siswa sebagai akibat dari suatu proses belajarnya selama menjalani
pendidikan, sekaligus menjadi tolak ukur bagi keberhasilan siswa dalam
menempuh proses pendidikannya. Suyanto (dalam Supriyantini, 2010)
menyatakan bahwa rasa cemas adalah salah satu di antara beragam reaksi
emosional yang diperlihatkan mahasiswa dalam menghadapi ujian.
Tresna (2011) berpendapat kecemasan dalam menghadapi ujian adalah
kondisi psikologis dan fisiologis siswa yang tidak menyenangkan yang ditandai
pikiran, perasaan dan perilaku motorik yang tidak terkendali yang memicu
timbulnya kecemasan dalam menghadapi ujian. Adapun kondisi yang tidak
memilih jawaban yang benar, mental blocking, khawatir, takut, gelisah, gemetar
pada saat menghadapi ujian (ulangan). Kecemasan yang dimaksud berfokus
khususnya pada mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa, seperti
matematika, fisika, kimia,dan bahasa inggris. Selain kondisi yang tidak terkendali
dan tidak menyenangkan, Yousefi (2010) dalam hasil penelitiannya juga turut
menjelaskan bahwa kecemasan dalam menghadapi ujian terbukti tidak hanya
mempengaruhi memori, tetapi juga mempengaruhi motivasi belajar serta
kemampuan untuk memusatkan perhatian dan konsentrasi dalam belajar yang bisa
mengakibatkan kegagalan pada bidang akademis.
Selain kecemasan terhadap ujian, dalam konteks dunia pendidikan juga
dikenal jenis kecemasan yang lain yaitu kecemasan terhadap statistika. (Cruise,
Cash & Bolton, (dalam Liu, 2011) menyatakan bahwa kecemasan terhadap statistika adalah perasaan cemas yang ditemui ketika mengambil pelajaran
statistika yang didalamnya melakukan analisis statistika, pengumpulan,
pengolahan dan interpretasi. Kecemasan statistika melibatkan lebih banyak faktor
kecemasan daripada sekedar memanipulasi angka, yaitu dalam menginterpretasi
data dan hasil statistik, ketakutan dalam bertanya dan takut terhadap pengajar
statistika. (Richardson & Suinn, 1972, Cruise et al., 1985, dalam Williams, 2010).
Onwuegbuzie (dalam Williams, 2010) juga menambahkan bahwa kecemasan
statistika mempengaruhi kemampuan siswa untuk memahami artikel penelitian,
analisis data dan interpretasi pada analisis. Selain itu, kecemasan statistika
melibatkan lebih banyak faktor kecemasan daripada sekedar memanipulasi angka,
dan takut terhadap pengajar statistika. (Richardson & Suinn, 1972, Cruise et al.,
1985, dalam Williams, 2010).
Berdasarkan berbagai pemaparan teoritis di atas, maka dalam penelitian ini
peneliti menyimpulkan bahwa kecemasan terhadap ujian statistika adalah kondisi
psikologis dan fisiologis mahasiswa yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh
pikiran, perasaan dan perilaku motorik yang tidak terkendali dalam menghadapi
dan mengerjakan ujian statistika yang didalamnya mahasiswa melakukan analisis
statistika, pengumpulan, pengolahan dan interpretasi data.
2. Jenis-Jenis Kecemasan
Menurut Spielberger (dalam Auliani, 2010), kecemasan dapat dibagi
menjadi 2 jenis, yaitu state anxiety dan trait anxiety. State anxiety adalah gejala
kecemasan yang timbul saat seseorang berhadapan dengan situasi yang
mengancam, berlangsung sementara dan ditandai dengan perasaan subyektif atau
tekanan-tekanan tertentu, kegugupan dan aktifnya susunan syaraf pusat.
Sedangkan trait anxiety adalah kecemasan yang menetap pada diri seseorang dan
menjadi pembeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Kecemasan ini
sudah terintegrasi dalam kepribadian seseorang sehingga ia lebih mudah
merasakan cemas saat menghadapi sebuah situasi.
Berdasarkan pembagian 2 jenis kecemasan di atas, kecemasan terhadap
ujian statistika dapat digolongkan ke dalam jenis state anxiety karena gejala yang
muncul timbul hanya pada saat mahasiswa menghadapi ujian statistika. Gejala
dengan penelitian yang dilakukan oleh Trimoni & Shahini (2011) bahwa
kecemasan terhadap ujian dirasakan pada saat menjelang ujian dan saat ujian
sedang berlangsung. Sedangkan para mahasiswa yang mengikuti ujian statistika
juga memiliki kemungkinan untuk memiliki trait anxiety yang berbeda-beda yang
menjadikan tingkat kecemasan antara mahasiswa yang satu dengan mahasiswa
yang lainnya bisa berbeda pula saat menghadapi ujian statistika.
3. Respon Kecemasan
Menurut Stuart (2006), pada orang yang cemas akan muncul beberapa
respon yang meliputi :
a. Respon fisiologis, diantaranya : 1. Kardiovaskular : palpitasi, tekanan darah
meningkat, tekanan darah menurun, dan denyut nadi menurun; 2. Pernafasan :
nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan terengah-engah; 3. Gastrointestinal :
nafsu makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual dan diare; 4.
Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing; 5. Traktus
urinarius : sering berkemih; 6. Kulit : keringat dingin, gatal, dan wajah
kemerahan;
b. Respon perilaku : respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor,
ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang
kooordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal dan melarikan diri dari
masalah;
c. Respon kognitif: respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu,
meningkat, tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan,
menurunnya lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol,
takut pada gambaran visual dan takut cedera atau kematian
d. Respon afektif: respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu,
tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah
dan malu.
Berdasarkan pemaparan teoritis di atas, peneliti menggunakan indikator
gejala-gejala kecemasan yang dikemukan oleh Stuart dalam melihat respon gejala
kecemasan yang muncul pada mahasiswa saat menghadapi ujian statistika.
4. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kecemasan
Kecemasan yang muncul pada individu dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Ramaiah (2003) menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan
kecemasan, diantaranya yaitu :
a. Lingkungan
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berfikir
individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat,
ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman
b. Emosi yang ditekan
Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan
keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal, terutama jika dirinya
menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama.
c. Sebab-sebab fisik
Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan,
semasa remaja dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa
kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan.
Grainger (dalam Supriyantini, 2010) secara ringkas menjelaskan bahwa
penyebab kecemasan dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor
lingkungan dan faktor individu. Faktor lingkungan meliputi tuntutan terhadap diri
sendiri yang berasal dari rumah, tempat kerja maupun sekolah. Sedangkan faktor
individu meliputi kehidupan pribadi, ciri kepribadian, tingkat sosial dan individu
itu sendiri. Sedangkan Divine & Kylen (dalam Hidayat, 2013) secara khusus
menyatakan bahwa terdapat beberapa sumber kecemasan yang berhubungan
dengan akademik, yaitu :
1. Reputasi akademik
2. Pendapat tentang kompetensi dan kemampuan
3. Fokus pada pencapaian dari tujuan
Berdasarkan berbagai faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan di atas,
pemaparan teoritis yang disampaikan oleh Divine & Kylen sesuai dengan
penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti, terkait dengan apa yang dirasakan
oleh sebahagian besar mahasiswa yang mengalami kecemasan terhadap ujian
statistika. Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti,
sebanyak 127 mahasiswa dari 146 mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara memilih ujian statistika sebagai ujian yang paling membuat cemas
karena merasa tidak yakin dengan kompetensi dan kemampuan yang dimiliki
khususnya di bidang matematika dan statistitka, khawatir karena merasa belum
siap untuk ujian, takut mendapatkan nilai yang tidak memuaskan serta merasa
kesulitan dalam mengerjakan soal ujian.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Stuart dan Sundeen
(dalam Darliana, 2008) adalah:
a. Usia atau tingkatan perkembangan
Semakin tua usia seseorang, tingkat kecemasan dan kekuatan seseorang semakin
konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi kecemasannya dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini dibuktikan dari hasil pemeriksaan asam lemak bebas
c.Pengalaman individu
Pengalaman individu sangat mempengaruhi respon kecemasan karena pengalaman
dapat dijadikan suatu pembelajaran dalam menghadapi suatu stressor atau
masalah. Jika respon kecemasan yang semakin berkurang bila dibandingkan
dengan seseorang yang baru pertama kali menghadapi masalah tersebut.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan di atas, maka
peneliti menjadikan faktor usia, jenis kelamin dan pengalaman mahasiswa di
bidang statistika sebagai faktor yang dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya
kecemasan mahasiswa terhadap ujian statistika.
6. Tingkat Kecemasan
Stuart (2006) membagi kecemasan ke dalam beberapa tingkatan dan
menjelaskan mengenai efek dari tiap tingkatan tersebut. Setiap tingkatan memiliki
karakteristik lahan persepsi yang berbeda tergantung pada kemampuan individu
dalam menerima informasi / pengetahuan mengenai kondisi yang ada dari dalam
dirinya maupun dari lingkungannya. Tingkat kecemasan tersebut dapat terbagi
menjadi empat, yaitu :
a. Ansietas Ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari; ansietas ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan
lapang persepsinya. Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
b. Ansietas Sedang
Ansietas sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang
penting dan engesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang
persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang
selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk
melakukannya.
c. Ansietas Berat
Ansietas berat sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu
cenderung berfokus pada hal yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang
hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu
tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
d. Panik
Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan
dan terror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami
kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan
menimbulkan peningkatakan aktivitas motoric, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan
dan jika berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama maka dapat terjadi
C. Musik Klasik Sedatif
1. Definisi Musik Klasik Sedatif
Musik secara umum didefinisikan sebagai suatu karya seni yang tersusun
atas kesatuan unsur-unsur seperti irama, melodi, harmoni, bentuk atau struktur,
dan ekspresi (Muttaqin & Kustap, 2008). Karya musik digolongkan ke dalam
beberapa jenis aliran tertentu, salah satunya adalah musik klasik. Berdasarkan
kamus Oxford (2014), musik klasik adalah musik yang diciptakan pada tradisi
kesenian barat yang dimulai dari tahun 1750-1830 yang ditunjukkan dalam bentuk
musik yang menjadi standar yaitu seperti symphony, concerto dan sonata.
Menurut Muttaqin & Kustap dalam Buku Seni Musik Klasik Jilid 1
(2008), perkembangan musik klasik dapat dikelompokkan dengan berbagai
sistem. Sebagai contoh ialah sistem yang mengacu pada perkembangan tekstur
musikal, seperti periodesasi yang di buat oleh Ewen (1963, dalam Muttaqin &
Kustap, 2008) yaitu: Era Polifonik (1200-1650), Masa Kelahiran Homofonik
(abad ke-17), Periode Klasik (abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19) Periode
Romantik (abad ke-19) dan Periode Modern (abad ke-20). Sedangkan periodesasi
historis musik klasik atas prosedur komposisi dan bentuk musik terbagi atas Era
Kuno (Sebelum 600), Era Abad Pertengahan (600-1450), Era Renaisans
(1450-1600), Era Barok (1600-1750), Era Klasik (1750-1820), Era Romantik
(1820-1900), dan Era Kontemporer (1900-Sekarang).
Berdasarkan jenisnya, musik secara umum dapat dibagi menjadi musik
stimulatif dan musik sedatif (Djohan, 2006). Menurutnya, musik sedatif atau
darah, menurunkan tingkat rangsang dan secara umum dapat membuat tenang.
Elemen yang terdapat dalam musik sedatif adalah seperti tempo yang stabil,
stabilitas atau perubahan secara berangsur-angsur pada tekstur yang konsisten,
modulasi harmoni yang terprediksi, kadens yang tepat, garis melodi yang
terprediksi, pengulangan materi, struktur dan bentuk yang tetap, timbre yang
mantap dan sedikit aksen.
Berdasarkan pemaparan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
musik klasik sedatif adalah musik klasik sebagai musik tradisi kesenian barat
yang dibuat dari tahun 1750-1830 yang dapat menurunkan detak jantung dan
tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang dan secara umum dapat membuat
tenang.
2. Manfaat dan Cara Kerja Musik Klasik
Muttaqin dan Kustap (2008) menyatakan bahwa musik secara umum dapat
berfungsi sebagai alat terapi kesehatan. Ketika seseorang mendengarkan musik,
gelombang listrik yang ada di otaknya dapat diperlambat atau dipercepat dan pada
saat yang sama, kinerja sistem tubuh pun mengalami perubahan. Bahkan, musik
mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang, serta
mampu meningkatkan daya ingat. Musik dan kesehatan memiliki kaitan erat, dan
tidak diragukan bahwa dengan mendengarkan musik kesukaannya seseorang akan
mampu terbawa ke dalam suasana hati yang baik dalam waktu singkat.
Musik juga memiliki kekuatan memengaruhi denyut jantung dan tekanan
musik, denyut jantung semakin lambat dan tekanan darah menurun. Akhirnya,
pendengar pun terbawa dalam suasana santai, baik itu pada pikiran maupun tubuh.
Oleh karena itu, sejumlah rumah sakit di luar negeri mulai menerapkan terapi
musik pada pasiennya yang mengalami rawat inap (Muttaqin & Kustap, 2008).
Musik dapat menyembuhkan sakit punggung kronis dan bekerja pada
sistem syaraf otonom yaitu bagian sistem syaraf yang bertanggung jawab
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, dan fungsi otak yang mengontrol
perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua sistem tersebut bereaksi sensitif
terhadap musik. Ketika kita merasa sakit, kita menjadi takut, frustasi dan marah
yang membuat kita menegangkan ratusan otot dalam punggung. Mendengarkan
musik secara teratur membantu tubuh santai secara fisik dan mental sehingga
membantu menyembuhkan dan mencegah sakit punggung. Para ahli yakin setiap
jenis musik klasik seperti Mozart atau Beethoven dapat membantu sakit otot
(Muttaqin & Kustap, 2008).
Rachmawati (dalam Susanti & Rohmah, 2011) menambahkan bahwa
ketika berada dalam kondisi cemas, maka seseorang akan akan merasakan
ketegangan, ketakutan dan kekhawatiran. Musik yang dapat memberikan
ketenangan dan kedamaian adalah musik dengan tempo yang lebih lambat. Musik
dapat berfungsi sebagai alat terapi kesehatan. Ketika seseorang mendengarkan
musik, gelombang listrik yang ada di otaknya dapat diperlambat atau dipercepat
dan pada saat yang sama kinerja sistem tubuh pun mengalami perubahan. Bahkan,
musik mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang,
Musik klasik mempengaruhi kinerja dan kemampuan otak melalui melodi
dan ritmenya. Melodi adalah esensi yang dapat mendorong pemikiran kreatif,
sedangkan ritme mensinkronisasikan emosi-emosi yang ada dengan pola-pola
vital seperti detak jantung dan pola bernafas, serta memicu peningkatan produksi
level serotonin di otak yang meningkatkan cara berfikir kritis.
Serotonin adalah sebuah neurotransmitter yang bekerja dalam transimisi
impuls saraf dalam membantu mempertahankan rasa senang. Ketika otak
memproduksi serotonin, maka ketegangan akan mereda. Melodi dan ritme dalam
musik klasik bertindak secara sinergis di dalam otak. Yang pertama adalah karena
ritmenya, yang mensinkronisasikan dengan irama vital tubuh seperti yang telah
disebutkan dan menghasilkan suasana hati yang tepat untuk meningkatkan
kemampuan kognitif dan kreatif. Efek kedua yang bertindak bersinergi dengan
yang pertama adalah melodi, yang akan membuat seseorang memiliki perasaan
yang hangat bahwa ia mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada melalui
jalan untuk menemukan solusi baru dan memberikan kemampuan untuk membuat
pilihan yang tepat di antara berbagai solusi yang ada.
Melodi dan irama bersama-sama bertindak bersinergi dengan otak dan
"membuka" saluran pendengaran dan sensorik yang terhubung ke otak, sehingga
meningkatkan kemampuan otak (Maglione, dalam situs Classical Forums, 2006)
Susunan-susunan yang ada di dalam musik pada periode baroque dan
klasik membuat otak memproduksi serotonin yang lebih banyak, membuat tubuh
dan pikiran dapat bekerja lebih baik ketika mendengarkan komposisi yang ada
pitch, kontras pada karakter, pengulangan, serta perubahan pada tema. Musik
modern tidak memberikan keseimbangan yang benar pada ritme dan melodinya,
sehingga tidak memberikan efek yang tepat pada otak seseorang (Maglione, dalam
situs Classical Forums, 2006).
3. Musik Klasik Sedatif Yang Sering Digunakan Dalam Terapi
Berikut adalah rekomendasi oleh Pelletier (dalam Juslin & Sloboda, 2010)
mengenai musik klasik bertempo lambat yang direkomendasikan untuk
kepentingan klinis dan sebagai terapi musik : Dvorak, New World Symphony
(Symphony No. 9 in E minor, Op. 95, Second Movement); Sibelius, Swan of
Tuonela; Bach, Air on a G String.
Selain itu, Tague (dalam Suggestions for Sedative Relaxation Music, 2007)
menambahkan beberapa musik klasik yang tergolong dalam tipe musik klasik
sedatif, yatu :
1. Nicamer Zabaleta: Concerto for the Harp and Orchestra in G major
2. Mozart: Adagio, Sonata in E-flat
3. Henry Purcell: Adagio from the Fairy Queen
4. Mozart: Andante K. 525
5. JS Bach: Air on a G String
6. Mozart: Concerto for Clarinet and Orchestra in A
7. Brahms: Lullaby, Cradle Song, Opus 49
8. JS Bach: Arioso in F
10. Schumann: Scenes from Childhood, Foreign Lands and People
Peneliti hanya memilih dan menggunakan beberapa karya musik klasik
saja yang disesuaikan dengan waktu jalannya eksperimen dalam penelitian ini.
Beberapa musik klasik yang dipilih dan digunakan dalam penelitian ini melewati
proses uji coba terlebih dahulu terhadap beberapa responden yang akan dijelaskan
di bab selanjutnya.
D. Pengaruh Musik Klasik Sedatif Terhadap Kecemasan Terhadap Ujian Statistika dan Prestasi Belajar Statistika
Kecemasan dengan intensitas yang moderat sebenarnya membantu prestasi
akademis dengan menciptakan motivasi. Tanpa kecemasan, sebagian besar dari
siswa akan kekurangan motivasi untuk belajar dan ujian. Namun, tingkat
kecemasan yang tinggi dapat mengganggu konsentrasi dan memori yang dapat
berpengaruh pada keberhasilan akademis. Grafik 1 menggambarkan hubungan
antara kecemasan dan performa.
Grafik 1. Hubungan Antara Kecemasan Dengan Performa (Jacofsky, dkk., 2003)
Performa
Kecemasan Ekstrim
Tidak ada Sangat baik
Kecemasan dapat terjadi di berbagai situasi, salah satunya adalah di situasi
akademis, yaitu saat mahasiswa menghadapi ujian dan saat mahasiswa
berhadapan dengan statistika. Kecemasan dalam menghadapi ujian statistika telah
dijabarkan sebagai kondisi psikologis dan fisiologis mahasiswa yang tidak
menyenangkan yang ditandai pikiran, perasaan dan perilaku motorik yang tidak
terkendali yang memicu timbulnya kecemasan dalam menghadapi ujian statistika,
seperti sulit untuk konsentrasi, bingung memilih jawaban yang benar, mental
blocking, khawatir, takut, gelisah, gemetar pada saat menghadapi ujian dan
mempengaruhi memori, motivasi belajar serta kemampuan untuk memusatkan
perhatian dan konsentrasi dalam belajar yang bisa mengakibatkan kegagalan pada
prestasi belajar statistika.
Ketika berada dalam kondisi cemas, maka seseorang akan akan merasakan
ketegangan, ketakutan dan kekhawatiran. Terdapat berbagai macam cara dalam
menurunkan kecemasan, salah satunya yaitu dengan mendengarkan musik. Musik
sudah menjadi bagian yang tidak terlepas dari kehidupan kita sehari-hari sebagai
salah satu sarana penghibur. Namun, musik juga dapat berfungsi sebagai alat
terapi kesehatan. Ketika seseorang mendengarkan musik, gelombang listrik yang
ada di otaknya dapat diperlambat atau dipercepat dan pada saat yang sama kinerja
sistem tubuh pun mengalami perubahan. Bahkan, musik mampu mengatur
hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang, serta mampu meningkatkan
daya ingat.
Musik memiliki kekuatan mempengaruhi denyut jantung dan tekanan
(dalam Susanti & Rohmah, 2011) menyatakan bahwa musik yang dapat
memberikan ketenangan dan kedamaian adalah musik dengan tempo yang lambat.
Makin lambat tempo musik, denyut jantung semakin lambat dan tekanan darah
menurun. Akhirnya, pendengar pun terbawa dalam suasana santai, baik itu pada
pikiran maupun tubuh. Musik bertempo lambat tersebut dapat digolongkan ke
dalam jenis musik sedatif. Menurut Djohan (2006), musik sedatif atau musik
relaksasi adalah musik yang dapat menurunkan detak jantung dan tekanan darah,
menurunkan tingkat rangsang dan secara umum dapat membuat tenang.
Selain itu, Hanser (1999, dalam Juslin & Sloboda, 2010) menyatakan
bahwa musik bisa berpengaruh pada pelepasan neurotransmitter. Neurotransmiter
adalah unsur utama dalam otak yang berfungsi menyampaikan pesan dari sel
syaraf ke sel syaraf yang lain. Ketika neurotransmiter tidak bekerja dengan baik,
maka jaringan komunikasi internal otak rusak dan otak dapat bereaksi dengan cara
tertentu dalam beberapa situasi. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan. Penelitian
Evers dan Suhr (dalam Juslin & Sloboda, 2010) melihat efek dari mendengarkan
musik yang menyenangkan dan tidak menyenangkan terhadap pelepasan
neurotransmitter. Mereka melihat perubahan dalam ukuran serotonin sejalan
dengan waktu mendengarkan musik ketika musik itu dinilai menyenangkan.
Ketika otak memproduksi serotonin, maka ketegangan akan mereda.
Susunan-susunan yang ada di dalam musik klasik membuat otak memproduksi serotonin
yang lebih banyak, membuat tubuh dan pikiran dapat bekerja lebih baik ketika
Musik klasik juga mempengaruhi kinerja dan kemampuan otak melalui
melodi dan ritmenya. Melodi adalah esensi yang dapat mendorong pemikiran
kreatif, sedangkan ritme mensinkronisasikan emosi-emosi yang ada dengan
pola-pola vital seperti detak jantung dan pola-pola bernafas, serta memicu peningkatan
produksi level serotonin di otak yang meningkatkan cara berfikir kritis. Melodi
dan ritme bersama-sama bertindak secara sinergi terhadap otak dan "membuka"
saluran pendengaran dan sensorik yang terhubung ke otak, sehingga
meningkatkan kemampuan otak.
Mendengarkan musik klasik sedatif sesaat sebelum ujian berlangsung akan
memicu peningkatan produksi level serotonin di otak, sehingga ketegangan yang
diakibatkan oleh kecemasan yang ada saat itu akan mereda. Selain itu,
elemen-elemen sedatif seperti tempo yang stabil, stabilitas atau perubahan secara
berangsur-angsur pada tekstur, modulasi harmoni yang terprediksi, kadens yang
tepat, garis melodi yang terprediksi, pengulangan materi, struktur dan bentuk yang
tetap, timbre yang mantap dan sedikit aksen dalam musik klasik sedatif akan
menurunkan detak jantung dan tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang dan
secara umum dapat membuat tenang. Saat ketegangan tersebut mereda dan ketika
mahasiswa menjadi tenang, bersamaan dengan saat itu juga efek musik klasik itu
sendiri dengan pola-pola khusus pada ritme, melodi dan susunan yang ada di
dalamnya akan meningkatkan tingkat konsentrasi, memori dan kemampuan otak
individu yang dibutuhkan individu ketika sebelum ujian, yaitu saat melakukan
persiapan ujian seperti belajar, menghafal dan memahami materi yang
Sedangkan ketika individu mendengarkan musik klasik sedatif saat ujian
sedang berlangsung, maka ketegangan dan gejalan-gejala kecemasan terhadap
ujian dan kecemasan dalam mengerjakan soal-soal statistika juga akan menurun.
Efek musik klasik itu sendiri juga akan meningkatkan tingkat konsentrasi, memori
dan kemampuan otak individu. Hal ini diperlukan terkait aktifitas yang dilakukan
oleh individu saat sedang ujian, yaitu saat melakukan perhitungan, mengingat
kembali informasi materi pelajaran statistika yang sudah dipelajari sebelumnya,
melakukan pengumpulan data, pengolahan atau penganalisisan serta penarikan
kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang telah dibuat.
Selain itu, dengan efek musik klasik sedatif yang dapat memberikan
ketenangan dan kedamaian, maka kondisi psikologis dan fisiologis yang tidak
menyenangkan dan tidak terkendali seperti sulit untuk konsentrasi, bingung
memilih jawaban yang benar, mental blocking, khawatir, takut, gelisah, gemetar
pada saat menghadapi ujian akan mereda. Ketika respon yang tidak
menyenangkan tersebut mereda yang disertai dengan meningkatnya kemampuan
otak, motivasi, memori dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, maka
performa mahasiswa dalam mengerjakan soal ujian statistika akan lebih baik yang
ditunjukkan dengan meningkatnya prestasi belajar statistika mahasiswa.
Namun, meskipun musik klasik sedatif dianggap memiliki efek positif
secara langsung terhadap kemampuan otak, kecemasan yang masih tinggi dapat
membuat efek tersebut menjadi tidak begitu optimal. Sehingga dengan demikian,
prestasi belajar statistika akan menjadi lebih tinggi jika terdapat penurunan
kemampuan otak. Dengan kata lain, musik klasik sedatif akan semakin
meningkatkan prestasi belajar statistika melalui penurunan kecemasan terhadap
ujian statistika.
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan dinamika hubungan dan pengaruh antara musik klasik sedatif
dengan kecemasan terhadap ujian statistika dan prestasi belajar statistika, maka
hipotesis penelitian yang digunakan adalah :
1. Hipotesis Penelitian 1 : Terdapat perbedaan prestasi belajar statistika pada
keempat kelompok eksperimental
a. Hipotesis Minor 1
1) 1.A : Prestasi belajar statistika di kelompok eksperimen 1 lebih tinggi dari
kelompok kontrol
2) 1.B : Terdapat perbedaan prestasi belajar statistika antara kelompok eksperimen
2 dengan kelompok kontrol
3) 1.C : Prestasi belajar statistika di kelompok eksperimen 3 lebih tinggi dari
kelompok kontrol
4) 1.D: Terdapat perbedaan prestasi belajar statistika antara kelompok eksperimen
1 dengan kelompok eksperimen 2
5) 1.E : Terdapat perbedaan prestasi belajar statistika antara kelompok eksperimen
1 dengan kelompok eksperimen 3
6) 1.F : Terdapat perbedaan prestasi belajar statistika antara kelompok eksperimen
2. a. Hipotesis Penelitian 2.A : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian
statistika antara pada kondisi sebelum belajar, pada saat belajar dan pada saat
ujian di keempat kelompok eksperimental
b. Hipotesis Penelitian 2.B : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian
statistika pada kondisi belajar (KTUS II) di keempat kelompok eksperimental
1) Hipotesis minor 2.B :
i. 2.B.a : Kecemasan terhadap ujian statistika saat belajar di kelompok eksperimen
1 lebih rendah dari kelompok kontrol
ii. 2.B.b : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat belajar di
kelompok eksperimen 2 lebih dengan kelompok kontrol
iii. 2.B.c : Kecemasan terhadap ujian statistika saat belajar di kelompok
eksperimen 3 lebih rendah daripada kelompok kontrol
iv. 2.B.d : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat belajar
antara kelompok eksperimen 1 dengan kelompok eksperimen 2
v. 2.B.e : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat belajar
antara kelompok eksperimen 1 dengan kelompok eksperimen 3
vi. 2.B.f : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat belajar
antara kelompok eksperimen 2 dengan kelompok eksperimen 3
c. Hipotesis Penelitian 2.C : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian
1). Hipotesis minor 2.C :
i. 2.C.a : Kecemasan terhadap ujian statistika saat ujian di kelompok eksperimen 1
lebih rendah dari kelompok kontrol
ii. 2.C.b : Kecemasan terhadap ujian statistika saat ujian di kelompok eksperimen
2 lebih rendah daripada kelompok kontrol
iii. 2.C.c : Kecemasan terhadap ujian statistika saat ujian di kelompok eksperimen
3 lebih rendah daripada kelompok kontrol
iv. 2.C.d : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat ujian
antara kelompok eksperimen 1 dengan kelompok eksperimen2
v. 2.C.e : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat ujian antara
kelompok eksperimen 1 dengan kelompok eksperimen 3
vi. 2.C.f : Terdapat perbedaan kecemasan terhadap ujian statistika saat ujian
antara kelompok eksperimen 2 dengan kelompok eksperimen 3
3. Hipotesis Penelitian 3: Musik klasik sedatif memiliki pengaruh positif terhadap