BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rongga Mulut
Rongga mulut mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai mastikasi, fonetik, dan juga estetik. Hal tersebut mengakibatkan rongga mulut merupakan tempat paling rawan dari tubuh karena merupakan pintu masuk berbagai agen berbahaya, seperti produk mikroorganisme, agen karsinogen, selain rentan terhadap trauma fisik, kimiawi, dan mekanis. Makanan dan minuman akan diproses di dalam mulut dengan bantuan gigi- geligi, lidah, saliva, dan otot. Pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut merupakan salah satu upaya meningkatkan kesehatan. Mulut bukan sekedar pintu masuk makanan dan minuman, tetapi fungsi mulut lebih dari itu dan tidak banyak orang menyadari besarnya peranan mulut bagi kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Masyarakat akan sadar pentingnya kesehatan gigi dan mulut ketika terjadi masalah atau ketika terkena penyakit. Oleh karena itu kesehatan gigi dan mulut sangat berperan dalam menunjang kesehatan seseorang (Zarco dkk. 2011; Afrina 2007).
gangguan oral lain yang membatasi kapasitas individu untuk menggigit, mengunyah, tersenyum, berbicara dan kesejahteraan psikososial. Rongga mulut merupakan pintu gerbang pertama di dalam sistem pencernaan sebagai jalan masuknya berbagai macam mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan atau minuman, namun tidak semua mikroorganisme tersebut bersifat patogen, di dalam rongga mulut mikroorganisme yang masuk akan dinetralisir oleh zat anti mikroba yang dihasilkan oleh kelenjar ludah dan mikroflora normal (Gade 2012; Chetan dkk. 2011).
2.1.1 Mikroflora Normal Rongga Mulut
menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi perubahan substrat atau berpindah dari habitat yang semestinya (Afrina dkk. 2011; Bhat dkk. 2013).
Mikroflora normal di rongga mulut terdiri dari (Afrina 2007):
- Gram positif yaitu Streptococci, Actinomyces, Lactobacillus,Eubacterium, Propionibacterium, Rothia, Bifidobacterium
- Gram negatif yaitu Neisseria, Veillonella, Actinobacillus, Porphyromonas, Prevotella, Fusobacteria, Haemophillus, Treponema, Eikenella
- Yeast yaitu Candida albicans, Candida tropicalis, Candida glabrata, Candida krusei, Candida guilliermonax, Candida parapsilosis
Kunci kesehatan rongga mulut adalah keseimbangan ekologi dan keanekaragaman mikroflora komensal dan interaksinya terhadap sel inang. Rongga mulut secara terus menerus akan dibasahi oleh saliva, dan hal tersebut memberikan pengaruh yang signifikan pada ekologi di rongga mulut. pH normal saliva antara 6.75–7.25, yang mendukung pertumbuhan mikroflora dan komposisi ion saliva yang menetralisir pH saliva dan kemampuan untuk melakukan remineralisasi enamel. Unsur organik saliva adalah protein dan glikoprotein seperti amilase, musin, imunoglobulin (terutama sIgA), lisosim, laktoferin dan sialoperoksidase. Unsur organik tersebut dapat mempengaruhi mikroflora normal rongga mulut dengan cara (Zarco dkk. 2011; Maller dkk. 2010):
mulut tidak terdistribusi secara acak tetapi biasanya berdasarkan tropisme jaringan, yaitu mikroorganisme tersebut selektif melekat dan hidup pada permukaan tertentu.
b) Berperan sebagai sumber utama nutrisi (karbohidrat dan protein) yang mendorong pertumbuhan mikroflora tanpa menginduksi pH.
c) Melekat ke permukaan mikroorganisme untuk menutupi antigen mikroorganisme,
sehingga membuat mikroorganisme terlihat seperti sel inang.
d) Menggabungkan seluruh mikroorganisme, kemudian memfasilitasi desinfeksi
mikroorganisme tersebut dari rongga mulut dengan cara penelanan, aliran saliva juga akan membersihkan sel-sel lemah yang melekat.
e) Menghambat perlekatan dan pertumbuhan beberapa mikroorganisme eksogen,
dengan peranan sebagai komponen pertahanan sel inang.
Seiring dengan waktu, aktivitas metabolisme mikroorganimse komensal dapat dimodifikasi oleh perubahan lingkungan sehingga memberikan kondisi, hal tersebut dapat dikarenakan (Zarco dkk. 2011; Maller dkk. 2010):
- Perubahan pH normal saliva
- Modifikasi atau paparan reseptor baru pada permukaan perlekatan - Menghasilkan nutrisi baru, misalnya, sebagai produk akhir metabolisme (laktat, suksinat) atau sebagai produk pemecah (peptida, hemin) yang dapat digunakan sebagai nutrisi utama oleh mikroorganisme lain sebagai bagian dari rantai makanan.
- Perubahan temperatur rongga mulut
- Pertahanan sel inang yang menurun karena adanya infeksi
Perubahan lingkungan pada rongga mulut misalnya adanya penyakit jaringan periodontal, karies gigi, hilangnya gigi, pemakaian gigitiruan dengan kebersihan yang tidak adekuat, xerostomia, dapat menyebabkan perubahan pertahanan mikroflora normal.
2.1.2 Kehilangan Gigi
Gigi merupakan tempat menempelnya mikroflora. Sifat menempel ini sangat penting bagi kolonisasi mikroflora di rongga mulut. Glikoprotein saliva mampu menyatukan mikroorganisme tertentu dan mengikatnya pada permukaan gigi. Mikroorganisme akan menghasilkan polisakarida ekstraselular yang disebut dekstrans yang bekerja seperti perekat, mengikat sel-sel mikroorganisme menjadi satu dan juga melekatkan mereka pada permukaan gigi, sehingga jika gigi sudah hilang, akan mengakibatkan perubahan lingkungan pada rongga mulut yang akan menyebabkan perubahan aktivitas dari mikroflora normal dapat menjadi patogen (Maller dkk. 2010). Kehilangan gigi merupakan suatu gambaran buruknya kondisi kesehatan rongga mulut yang memperantarai penumpukan mikroorganisme pada gigi dan juga sebagai
carsinogenic nitrosamines. Nitrosamin dapat menimbulkan penyakit gastrointestinal. Selain itu, mikroorganisme di rongga mulut juga memproduksi zat karsinogenik seperti asetaldehid dan oksigen reaktif. Potensi dari efek toksik asetaldehid biasanya terletak pada adanya penumpukan gugus karbonil pada tubuh. Efek ini akan berakibat pada penyakit hati, teratogenisitas (kerusakan embrio), diabetes, hipertensi, dan penyakit neurogeneratif, sehingga peranan gigitiruan sebagai perawatan untuk mengganti gigi yang hilang sangat penting dilakukan (Rao 2012; Marsh 2000).
2.2 Gigitiruan Penuh
Gigitiruan penuh adalah gigitiruan yang menggantikan seluruh gigi asli dan jaringan sekitarnya yang hilang pada rahang atas dan rahang bawah.
Gigitiruan penuh memiliki beberapa fungsi yaitu (Qiao dkk. 2005): a) Pengunyahan.
Gigitiruan penuh harus memiliki keseimbangan oklusi yang tepat untuk
memperoleh stabilitas gigitiruan yang optimal pada saat menerima beban pengunyahan.
b) Estetis
Anasir gigitiruan pada gigitiruan penuh dapat memperbaiki vertikal dimensi, memberi dukungan kepada bibir dan pipi serta mengembalikan kontur wajah yang hilang.
Gigitiruan penuh dapat mengembalikan pengucapan huruf-huruf yang dihasilkan memalui bantuan gigi, bibir, dan lidah yaitu :
- Bilabial (b, p, m) didukung oleh kedua bibir atas dan bawah
- Labiodental (f,v) didukung oleh gigi insisivus atas dan bibir bawah - Linguoalveolar (t, d, s, z, v, j, l) didukung oleh lidah dengan bagian anterior palatum
- Linguodental (th, ch, sh) didukung oleh lidah di antara gigi anterior atas dan bawah.
Indikasi pemakaian gigitiruan penuh adalah :
-Individu yang seluruh giginya telah hilang atau dicabut
-Individu yang masih memiliki beberapa gigi yang harus dicabut karena kerusakan gigi yang masih ada tidak mungkin diperbaiki
-Bila dibuatkan gigitiruan sebagian lepasan, gigi yang masih ada akan terganggu keberhasilannya
-Keadaan umum dan kondisi mulut pasien sehat
2.2.1 Basis Gigitiruan
Berdasarkan The Glossary of Prosthodontic Terms (GPT) edisi 8, basis gigitiruan adalah bagian dari suatu gigitiruan yang bersandar pada jaringan pendukung dan tempat anasir gigitiruan dilekatkan dan bahan basis gigitiruan adalah suatu bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan basis gigitiruan. Daya tahan, penampilan dan sifat-sifat dari suatu basis gigitiruan sangat dipengaruhi oleh bahan basis tersebut. Berbagai bahan telah digunakan untuk membuat gigitiruan, namun belum ada bahan yang dapat memenuhi semua persyaratan bahan basis gigitiruan.
Berdasarkan International Organization for Standardization (ISO), syarat-syarat bahan basis gigitiruan yang ideal adalah:
a. Biokompatibel : tidak toksik dan non-iritan b. Karakteristik permukaan : halus, keras dan kilat c. Warna : translusen dan warna merata
d. Stabilitas warna : baik
e. Bebas dari porositas : tidak boleh menunjukkan rongga kosong f. Kekuatan lentur : tidak kurang dari 60-65 MPa
g. Modulus elastisitas : paling sedikit 2000 MPa untuk polimer yang
dipolimerisasi dengan panas dan paling sedikit 1500 MPa untuk polimer swapolimerisasi
h. Tidak ada monomer sisa i. Tidak menyerap cairan j. Tidak dapat larut
Klasifikasi basis gigitiruan berdasarkan bahan yang digunakan secara umum terdiri atas bahan logam, resin, dan kombinasi logam-resin. Sebagai basis gigitiruan, resin akrilik menunjukkan beberapa keuntungan (Nallaswamy 2009):
a. Warnanya harmonis dengan jaringan sekitarnya, sehingga memenuhi faktor estetik
b. Dapat dilapis dan dicekatkan kembali c. Relatif lebih ringan
d. Teknik pembuatan dan pemolesannya mudah e. Biaya murah
Di samping keuntungan tersebut, resin juga memiliki beberapa kerugian: a. Penghantar suhu yang buruk
b. Dimensinya tidak stabil baik pada waktu pembuatan, pemakaian dan reparasi
c. Mudah terjadi abrasi pada saat desinfeksi atau pemakaian
d. Walaupun dalam derajat kecil, resin menyerap cairan mulut sehingga mempengaruhi stabilitas warna
e. Kalkulus dan deposit makanan mudah melekat pada basis resin
Berdasarkan ISO 1567, bahan basis gigitiruan resin akrilik dikategorikan dalam tipe dan kelas berikut (Roessler 2003):
a. Tipe 1. Resin akrilik polimerisasi panas (i) Kelas 1. Bubuk dan cairan
(ii) Kelas 2. Plastic cake
(i) Kelas 1. Bubuk dan cairan
(ii) Kelas 2. Bubuk dan cairan resin tuang c. Tipe 3. Potongan atau bubuk termoplastik
d. Tipe 4. Resin akrilik yang diaktifkan dengan sinar e. Tipe 5. Resin akrilik yang dikuring dengan microwave
2.2.2 Resin Akrilik Polimerisasi Panas
Resin akrilik telah digunakan sebagai basis gigitiruan selama lebih dari 60 tahun dan saat ini merupakan bahan yang paling umum digunakan untuk pembuatan basis gigitiruan. Resin akrilik merupakan bahan pilihan karena memiliki estetis yang baik, sifat fisis dan mekanis yang cukup baik, murah, dan mudah dibuat dengan peralatan yang tidak mahal. Walaupun demikian, seperti bahan basis gigitiruan lainnya, resin akrilik tidak terlepas dari keterbatasan dan tidak memenuhi seluruh persyaratan bahan basis gigitiruan yang ideal (Nallaswamy 2009).
Unsur pokok dari resin akrilik polimerisasi panas adalah (Roessler 2003): a. Bubuk
Polimer : butiran atau granul poli metil metakrilat Inisiator : benzoyl peroxide
Pigmen/pewarna : garam cadmium atau besi, atau pewarna organik b. Cairan
Monomer : metil metakrilat
Cross-linking agent : ethyleneglycol dimethylacrylate
Komponen utama dari bubuk adalah butiran-butiran poli metil metakrilat dengan diameter hingga 100 µm dan massa jenis 1,19 g/cm3, sedangkan komponen utama dari cairan adalah monomer metil metakrilat yang bening, tidak berwarna, tidak kental dan berbau menyengat yang disebabkan tekanan penguapan yang relatif tinggi pada suhu ruangan (Nallaswamy 2009).
Resin akrilik polimerisasi panas umumnya diproses dalam sebuah kuvet dengan menggunakan teknik compression-molding. Bubuk dan cairan dicampur dengan perbandingan volume 3:1 atau perbandingan berat 2,5:1. Bahan yang telah dicampur melewati empat tahap :
a. Tahap pertama : tahap basah, seperti pasir (wet sand stage)
b. Tahap kedua : tahap lengket berserat (tacky fibrous) selama polimer larut dalam monomer (sticky stage)
c. Tahap ketiga : tahap lembut, seperti adonan, sesuai untuk diisi ke dalam mold (doughstage/gel stage)
d. Tahap keempat : tahap kaku, seperti karet (rubbery stage)
Setelah prosedur polimerisasi, kuvet dibiarkan dingin secara perlahan hingga mencapai suhu kamar untuk memungkinkan pelepasan internal stress yang cukup sehingga meminimalkan perubahan bentuk basis. Selanjutnya dilakukan pemisahan kuvet dan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah fraktur atau distorsi gigitiruan. Basis gigitiruan akrilik yang telah dikeluarkan dari kuvet, siap untuk diproses akhir dan dipoles (Langevin dkk. 2011).
Keuntungan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah (Noort 2007):
1. Penyerapan air rendah 2. Permukaan halus
3. Kekerasan permukaan tinggi
4. Sudut kontak permukaan dengan air cukup besar sehingga perlekatan mikroorganisme tidak akan mudah terjadi
5. Stabilitas warna baik
6. Mudah dalam pembuatan, penyesuaian, proses akhir dan pemolesan, serta perbaikan
Kerugian penggunaan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas adalah (Noort 2007):
1. Mudah fraktur, karena resin akrilik polimerisasi panas memiliki kekuatan tensile, lentur, fatique dan impak yang rendah serta sifat notch sensitivity yang tinggi
2. Memiliki porositas
dengan mukosa mulut dan menimbulkan gejala hipersensitivitas pada pasien yang alergi terhadap metil metakrilat
4. Dapat terjadi crazing yang melemahkan basis gigitiruan
2.2.3 Sifat Resin Akrilik Polimerisasi Panas
Sifat bahan basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas terbagi atas sifat mekanis, sifat kemis dan biologis, serta sifat fisis (Roessler 2003).
Sifat kemis adalah sifat suatu bahan yang dapat mengubah sifat dasar bahan tersebut, seperti penyerapan air dan stabilitas warna. Sifat biologis adalah sifat suatu bahan dalam interaksinya dengan makhluk hidup, seperti pembentukan koloni mikroorganisme dan biokompatibilitas (Roessler 2003).
a. Penyerapan Air
setelah direndam dalam air selama 7 hari pada temperatur 37±10C, dan nilai penyerapan air yang tidak menyebabkan perubahan dimensi harus kurang atau sama dengan 32 µg/mm3 (Barbosa dkk. 2001). Resin akrilik polimerisasi panas menyerap air dengan sangat signifikan pada 24 sampai 50 jam pertama saat direndam dalam air, tetapi sesudahnya penyerapan air tidak terjadi dalam jumlah yang signifikan karena koefisien difusi air yang rendah (Polat 2003).
b. Pembentukan Koloni Mikroorganisme
Pemakaian gigitiruan akan menyebabkan penumpukan sisa makanan pada permukaan basis gigitiruan, permukaan proksimal gigi penyangga dan permukaan mukosa yang ditutupi oleh basis gigitiruan, meskipun beradaptasi dengan erat terhadap jaringan, larutan gula dan karbohidrat akan tetap berkontak dengan gigi dan mukosa yang bersentuhan dengan gigitiruan (Golbidi dkk. 2009).
c. Stabilitas Warna
Kotrakulji (2008) yang mengutip pendapat Yu-lin Lai, stabilitas warna dan ketahanan terhadap stain pada nilon, silikon serta dua jenis resin akrilik dan ditemukan resin akrilik menunjukkan nilai diskolorisasi yang paling rendah setelah direndam dalam larutan kopi. Beberapa penulis juga menyatakan bahwa resin akrilik polimerisasi panas memiliki stabilitas warna yang baik (Mitchell dkk. 2006).
d. Biokompatibilitas
Secara umum, resin akrilik polimerisasi panas sangat biokompatibel. Walaupun demikian, beberapa pasien mungkin menunjukkan reaksi alergi yang disebabkan monomer sisa metil metakrilat atau benzoic acid pada basis gigitiruan. Pasien yang tidak alergi juga dapat mengalami iritasi apabila terdapat jumlah monomer yang tinggi pada basis gigitiruan yang tidak dikuring dengan baik. Batas maksimal konsentrasi monomer sisa untuk resin akrilik polimerisasi panas menurut standar ISO adalah 2,2 % (Roessler 2003).
2.3 Candida albicans
Gambar 2.1. Candida albicans pada Media Potato Dextrose Agar
Sumber : Maller US, Karthik KS, Maller SV. Candidiasis in denture wearers – A literature review. JIADS 2010; 1(1)
2.3.1 Lapisan Biofilm pada Candida albicans
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi lingkungannya tergantung pada kemampuan untuk membentuk suatu komunitas. Candida albicans membentuk komunitasnya dengan membentuk ikatan koloni yang disebut biofilm, sebagai pelindung sehingga mikroba yang membentuk biofilm biasanya mempunyai resistensi terhadap antimikroba biasa atau menghindar dari sistem kekebalan sel inang. Secara struktur, biofilm terbentuk dari dua lapisan yaitu lapisan basal yang tipis berupa lapisan khamir dan lapisan luar yaitu lapisan hifa yang lebih tebal tetapi lebih renggang (Cenci dkk. 2008; Banting dkk. 2001)
merupakan indikator infeksi Candida. Hifa atau pseudohifa sering ditemukan sering ditemukan pada pasien denture stomatitis daripada pasien yang menggunakan gigitiruan tanpa denture stomatitis (Afrina 2007).
Berkembangnya biofilm biasanya seiring dengan bertambahnya infeksi klinis pada sel inang sehingga biofilm ini dapat menjadi salah satu faktor virulensi dan resistensi. Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan keberadaan serum dan saliva dalam lingkungannya. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan biofilm Candida albicans diantaranya adalah ketersediaan udara. Pada kondisi anaerob, Candida albicans dapat membentuk hifa tetapi tidak mampu membentuk biofilm (Cenci dkk. 2008; Banting dkk. 2001).
2.3.2 Mekanisme Infeksi Candida albicans pada Permukaan Sel
Tahap pertama dalam proses infeksi Candida albicans ke tubuh manusia (sel inang) adalah perlekatan (adhesi). Kemampuan melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan penyerangan (invasi) ke sel inang. Bagian pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel inang adalah dinding sel. Mekanisme perlekatan sendiri sangat dipengaruhi oleh keadaan sel tempat dinding sel Candida albicans melekat (misalnya sel epitelium). Perlekatan dan kontak fisik antara Candida albicans dan sel inang selanjutnya mengaktivasi mitogen activated protein kinase (Map-kinase) yang dibutuhkan untuk perkembangan hifa dan lapisan biofilm Candida albicans.
dipengaruhi oleh lingkungan mikro sel inang yang terdeteksi oleh Candida albicans selama proses invasi.Hifa Candida albicans mempunyai kepekaan untuk menempel sehingga membantu dalam proses infiltrasi pada permukaan epitel selama invasi jaringan. Kemampuan untuk merubah morfologi merupakan faktor penting dalam menentukan infeksi dan penyebaran Candida albicans pada jaringan inang (Pintauli 2008).Candida albicans dapat melepaskan endoktoksin yangmerusak mukosa mulut dan menyebabkan terjadinya denture stomatitis.Denture stomatitis adalah inflamasi pada mukosa mulut dengan bentuk utamanya atropik dengan lesi hiperplastik.
Faktor etiologi terjadinya denture stomatitis adalah multifaktorial, antara lain Candida albicans sebagai agen etiologi primer, diikuti dengan plak, trauma, pemakaian gigitiruan secara terus-menerus, oral hygene yang buruk, diet yang tidak memadai, penggunaan antibiotik, dan kondisi sistemik. Faktor etiologi denture stomatitis terbagi atas dua faktor yaitu faktor utama dan faktor predisposisi (Campanha 2013).
Faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya denture stomatitis adalah: 1. Faktor gigitiruan
submandibular, dan sublingualis, sehingga memberikan self cleansing effect serta aktivitas antimikroorganisme yang lebih baik daripada rahang atas (Salermo dkk. 2011).
2. Faktor infeksi
Faktor infeksi yang disebabkan gigitiruan dapat menghasilkan sejumlah perubahan ekologi yang memfasilitasi akumulasi daripada mikroorganisme dan jamur. Spesies Candida, terutama Candida albicans telah diidentifikasi pada banyak pasien denture stomatitis. Pasien denture stomatitis menunjukkan konsentrasi Candida albicans yang tinggi di dalam mulut daripada individu sehat. Candida albicans merupakan agen penyebab yang paling utama bagi terbentuknya denture stomatitis dan terjadi sedikitnya 50% pada pemakai gigitiruan. Beberapa penelitian terdahulu telah menemukan bahwa Candida albicans paling sering diisolasi dari permukaan gigitiruan yang berkontak ke mukosa daripada mukosa yang terlibat itu sendiri. Keberadaan Candida albicans akan mengubah lingkungan di rongga mulut bersamaan dengan faktor etiologi dan predisposisi yang ada.
Faktor predisposisi denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):
1. Faktor sistemik yaitu umur, gangguan fungsi endokrin, malnutrisi, neoplasia, gangguan imun, spektrum antibiotik yang luas.
2. Faktor lokal yaitu antimikroba dan topikal maupun kortikosteroid inhalasi, diet tinggi karbohidrat, konsumsi tembakau dan alkohol, hiposalivasi, oral hygene yang buruk, pemakaian gigitiruan pada malam hari.
gigitiruan menghasilkan lingkungan mikro yang kondusif bagi pertumbuhan Candida dengan oksigen yang rendah, pH yang rendah dan lingkungan anaerob. Hal tersebut meningkatkan perlekatan spesies Candida albicans pada akrilik, mengurangi aliran saliva di bawah permukaan gigitiruan, gigitiruan yang tidak stabil dan oral hyegene yang buruk.
perkembangan denture stomatitis, dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti jumlah saliva, umur pasien, dan umur gigitiruan. Oleh karena itu desinfeksi gigitiruan merupakan faktor penting yang harus dilakukan (Uludamar dkk. 2010).
Denture stomatitis memiliki gambaran klinis berupa eritema difus dan pembengkakan mukosa pada permukaan mukosa yang berkontak dengan gigitiruan. Tanda dan gejala pada denture stomatitis disertai dengan perdarahan mukosa, pembengkakan, rasa terbakar, halitosis, perasaan tidak nyaman, dan mulut kering. Denture stomatitis berhubungan dengan angular selitis, atrofik glositis, kandidiasis pseudomembran akut, dan kandidiasis hiperplastik kronis.
Denture stomatitis dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan klasifikasi Newton, yaitu (Campanha dkk. 2013; Rao 2013):
1. Tipe 1 yaitu tahap inisial berupa ptechiae (bintik merah) terlokalisir atau tersebar pada mukosa palatum (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Denture stomatitis tipe 1
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A
review. Biological and Biomedical
Reports 2012; 2(2)
Gambar 2.3. Denture stomatitis tipe 2
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A review. Biological and
Biomedical Reports, 2012; 2(2)
3. Tipe 3 yaitu hiperplasia papila dengan eritema difus (Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Denture stomatitis tipe 3
Sumber : Rao PK. Ora candidiasis – A review. Biological and
Biomedical Reports 2012; 2(2)
Perawatan denture stomatitis disesuaikan dengan faktor etiologinya. Tujuan utama perawatan denture stomatitis adalah (Campanha dkk. 2013):
- Untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pencetus terkait - Untuk mencegah penyebaran secara sistemik
- Untuk menurunkan level infeksi Candida
Karena faktor etiologi denture stomatitis multifaktorial, sehingga perawatan denture stomatitis juga semakin kompleks. Beberapa rencana perawatan dapat digunakan, diantaranya yaitu (Cenci dkk. 2008):
- Memperbaiki gigitiruan yang menyebabkan trauma.
Gigitiruan yang tidak sesuai adalah faktor predisposisi terjadinya denture stomatitis, sehingga memperbaiki adaptasi gigitiruan tersebut merupakan salah satu penanganan denture stomatitis. Melepaskan gigitiruan pada malam hari juga merupakan salah satu perawatan yang penting.
- Terapi antifungal.
bahwa setelah pemberian terapi antifungal tidak lagi diberikan maka denture stomatitis akan kambuh kembali.
- Oral hygiene yang baik
Prosedur pemeliharaan oral hygiene dapat dilakukan dengan cara membersihkan rongga mulut dengan kain kasa steril yang sudah dibasahi dengan air, berkumur dengan larutan antiseptik, menyikat mukosa rongga mulut dengan sikat yang lembut.
-Desinfeksi gigitiruan
Prosedur desinfeksi gigitiruan yang tepat dapat merawat dan mencegah denture stomatitis terjadi dan kambuh kembali. Metode desinfeksi gigitiruan dapat dilakukan secara mekanis, kemis, serta kombinasi keduanya.
- Pembedahan
Pada kasus yang berat seperti tipe 3, dilakukan perawatan dengan pembedahan.
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Candida albicans
distribusi Candida albicans di rongga mulut adalah (Tjampakasari 2011; Campanha 2013):
1. Saliva
Gigitiruan yang dipasang di dalam rongga mulut akan berkontak dengan saliva dan membentuk lapisan organik tipis yang disebut pelikel yang mengandung protein yang dapat mengikat Candida albicans dan melekat pada permukaan gigitiruan sehingga menyebabkan saliva pada pemakai gigitiruan tidak dapat mengalir dengan baik.
2. pH
Jumlah Candida albicans pada pH normal (7,2-7,5) adalah kurang dari 100 koloni atau 300-500 mikroorganisme per milimeter saliva. Pemakaian gigitiruan dapat menyebabkan pH antara permukaan gigitiruan yang berkontak dengan mukosa bersifat lebih asam (pH 5,0-5,5) sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan Candida albicans dalam rongga mulut.
3. Adhesi
Faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya Candida albicans dalam rongga mulut karena penutupan mukosa oleh basis gigitiruan dapat mengurangi efek desinfeksi saliva, sehingga sisa makanan menumpuk dan meningkatkan prevalensi mikroorganisme.
4. Kebersihan rongga mulut dan gigitiruan
Gigitiruan yang dipasang di rongga mulut, akan segera berkontak dengan saliva. Gigitiruan kemudian akan mengabsorpsi sejumlah molekul saliva dan membentuk lapisan organik tipis yang disebut pelikel. Selanjutnya pelikel ini akan segera melapisi permukaan gigitiruan, dan salah satu bagian utama dari pelikel adalah glikoprotein yang berperan sebagai tempat perlekatan dan kolonisasi mikroorganisme dalam mulut dan melekat pada permukaan gigitiruan. Mikroorganisme ini akan berkolonisasi dengan mikroorganisme lain dan berkembang biak membentuk biofilm pada permukaan gigitiruan yang disebut plak, sehingga sangat dianjurkan desinfeksi gigitiruan dan rongga mulut yang dapat menyingkirkan plak secara menyeluruh.
2.3.4 Penghitungan Candida albicans
Candida albicans dapat tumbuh pada media yang terdiri dari garam, karbon (misalnya glukosa), nitrogen (misalnya garam amonia) dan phospat serta memerlukan persyaratan adanya biotin. Candida albicans ini akan tumbuh pada temperatur 20o -40oC dan pada pH antara 2-8. Pemeriksaan Candida albicans dapat dibagi menjadi pemeriksaan langsung, yang dilakukan dengan pewarnaan gram yang akan terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu dan pemeriksaan biakan, yang dilakukan dengan menggunakan Potato dextrose agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator selama 24-48 jam. Koloni yang terlihat berupa yeast like colony. Koloni Candida diidentifikasi jika ada koloni halus seperti pasta yang berwarna krem serta mempunyai bau ragi.
a. Swab (ulas), dilakukan menggunakan cotton bud steril pada sampel yang memiliki permukaan luas dan umumnya sulit dipindahkan. Caranya dengan mengapuskan cotton bud secara memutar sehingga seluruh permukaan kapas dari cotton bud kontak dengan permukaan sampel. Swab akan lebih baik jika cotton bud dicelupkan terlebih dahulu ke dalam larutan atraktan. Swab dilakukan jika kultur dibutuhkan.
b. Rinse (bilas) ditujukan untuk melarutkan sel-sel mikroba yang menempel pada permukaan substrat yang luas.
c. Smear, didapatkan dengan hapusan pada lesi menggunakan spatula atau tongue blade dan hasilnya langsung diaplikasikan pada glass slide.
d. Biopsi, dilakukan jika hasil pengamatan secara histopatologi mengarah ke leukoplakia.
Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan cara viable count atau disebut juga sebagai standart plate count didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah mikroorganisme dalam suspensi tersebut.
lazim digunakan untuk mengisolasi mikroba patogen dalam air, makanan, dan spesimen penyakit.
Koloni yang tumbuh tidak selalu berasal dari satu sel mikroorganisme, karena beberapa mikroorganisme tertentu cenderung untuk berkelompok atau berantai. Bila ditumbuhkan pada media dan lingkungan yang sesuai kelompok mikroorganisme ini hanya akan menghasilkan satu koloni. Berdasarkan hal tersebut seringkali digunakan istilah colony forming units (CFU/ml) untuk penghitungan jumlah mikroorganisme hidup.
Sebaiknya hanya lempengan agar yang mengandung 30-300 koloni saja yang digunakan dalam perhitungan. Lempengan agar dengan jumlah koloni yang tinggi (> 300 koloni) sulit untuk dihitung sehingga kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar. Pengenceran sampel membantu untuk memperoleh perhitungan jumlah yang benar, namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar dengan jumlah koloni yang rendah (< 30 koloni). Lempengan demikian tidak absah secara statistik untuk digunakan dalam penghitungan. Dalam penghitungan mikroorganisme seringkali diperlukan pengenceran, tetapi hal tersebut biasa dilakukan untuk kelompok kontrol, dan tidak dilakukan untuk kelompok perlakuan.
30-300 koloni. Jumlah mikroorganisme per milimeter ialah jumlah koloni dikalikan faktor pengencer (Washington 2007).
Perbandingan jumlah koloni Candida albicans sebelum dan sesudah perlakuan yang diberikan kepada sampel dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya (Attwa dkk. 2012; Srinavasan dkk. 2010):
a) Menggunakan penghitungan selisih jumlah koloni
CFU (Setelah) – CFU (Sebelum) CFU (Sebelum)
b) Menggunakan skor untuk hasil penghitungan jumlah koloni Skor 0 : Tidak dijumpai adanya koloni Candida
Skor I : <1000 CFU
Skor II : 1,000–10,000 CFU Skor III : 10,000–100,000 CFU Skor IV : >100,000 CFU
2.4 Metode Desinfeksi Gigitiruan
Pentingnya mempertahankan kebersihan dan kesehatan rongga mulut yang baik masih kurang diketahui oleh pemakai gigitiruan. Sisa-sisa makanan, mikroorganisme, plak dan kalkulus dapat melekat pada gigitiruan bila tidak dibersihkan dengan baik. Plak pada gigitiruan merupakan penyebab utama terjadinya inflamasi pada jaringan lunak mulut. Plak pada permukaan gigitiruan yang menghadap ke jaringan lunak merupakan faktor pendukung dalam patogenesis
denture stomatitis. Sebagian besar penyebab inflamasi jaringan lunak adalah mikroorganisme, sehingga desinfeksi gigitiruan merupakan suatu prosedur pencegahan yang penting untuk mengurangi inflamasi tersebut.
Terdapat 3 metode desinfeksi gigitiruan, yaitu (Campos dkk. 2009):
1. Desinfeksi gigitiruan secara mekanis dapat dilakukan dalam 2 cara, yaitu dengan menggunakan sikat gigi dan menggunakan alat ultrasonic cleanser.
2. Desinfeksi gigitiruan secara kemis dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu menggunakan natrium hipoklorit, asam seperti vinegar, effervescent, klorheksidin dan energi microwave.
3. Kombinasi kedua-duanya dimana cara desinfeksi secara mekanis dan kemis digunakan bersamaan. Misalnya, kombinasi sikat gigi dengan effervescent, kombinasi sikat gigi dengan asam, kombinasi sikat gigi dengan energi microwave dan sebagainya.
2.4.1 Energi Microwave Sebagai Alternatif Desinfeksi Gigitiruan
gelombang cahaya (di luar spektrum sinar tampak). Keduanya sama-sama terdapat dalam spektrum gelombang elektromagnetik. Panjang gelombang cahaya berkisar antara 400-700 nm (1 nm = 10-9 m); sedangkan kisaran microwave sekitar 1-30 cm (1 cm = 10-2 m). Microwave bergerak dalam garis lurus dengan kecepatan cahaya (186,282 miles/sec) (Gambar 2.5).
Gambar 2.5. Medan Magnet dan Medan Elektrik Sebuah Gelombang Elektromagnetik
Sumber : Chandra U. Microwave heating. Croatia, 2011; Intech
Gambar 2.6. Bagian-bagian dari Magnetron Sumber : Chandra U. Microwave
heating. Croatia 2011; Intech
saling bertubrukan. Tubrukan-tubrukan inilah yang akan meningkatkan suhu molekul air, yang kemudian meningkatkan suhu makanan secara keseluruhan. Ruangan di dalam microwave walaupun mengandung uap air akibat penguapan cairan tidak menjadi panas, karena uap air memiliki kerapatan yang jauh lebih rendah di banding air, sehingga tidak terjadi tubrukan antara molekul air (Vollmer dkk. 2004; Chandra 2011).
Gambar 2.7. Komponen Utama Microwave
Sumber : Chandra U. Microwave heating. Croatia, 2011 ; Intech
dalam setiap gelombangnya. Pada microwave, perubahan polaritas ini terjadi jutaan kali dalam setiap detiknya, dan microwave membutuhkan daya listrik kurang lebih 1000 watt, yang menyebabkan microwave keluar dari tabung magnetron, dan memanaskan bahan yang dipaparkan di microwave, sedangkan bahan itu sendiri juga memiliki unsur terkecil disebut molekul dengan polaritas positif dan negatif. Microwave menyebabkan polaritas molekul bahan untuk berotasi dengan hitungan jutaan per detik. Pemanasan alami yang tepat akan tergantung pada apakah bahan itu terdiri dari molekul yang berbeda, pasangan molekul polar atau perluasan pola molekul.
Energi microwave dikategorikan sebagai desinfeksi kimia. Hal tersebut karena adanya percepatan laju reaksi yang dihasilkan oleh microwave. Percepatan laju reaksi dipelajari pada cabang ilmu kimia fisik yaitu pada kinetika kimia. Microwave akan mentransfer energi dalam 10-9 detik pada setiap siklus gelombang elektromagnetik. Relaksasi kinetik molekul adalah 10-5 detik. Maknanya bahwa energi yang ditransfer lebih cepat daripada relaksasi kinetik molekul. Hal tersebut menyebabkan pemanasan yang dihasilkan dari tabrakan antarmolekul yang membuat energi rotasi dikonversi menjadi energi termal, menghasilkan sumber panas yang lebih efektif daripada pemanasan konvensional. Hanya bahan yang dapat mengabsorpsi iradiasi microwave yang sesuai dengan proses tersebut. Bahan tersebut dikategorikan berdasarkan tiga mekanisme pemanasan, yaitu (Chandra 2011; Taylor 2005):
a. Polarisasi dipolar
yang sesuai, molekul polar akan mengikuti gelombang tersebut dan menyesuaikan diri pada gelombang tersebut, namun karena daya intermolekul, molekul polar akan mengalami kelemahan dan tidak dapat sepenuhnya mengikuti gelombang elektromagnetik. Hal tersebut akan mengakibatkan pergerakan molekul secara acak dan pergerakan acak ini yang akan menghasilkan panas. Polarisasi dipolar dapat menghasilkan panas melalui salah satu mekanisme di bawah ini:
- Interaksi antara pelarut molekul polar seperti air, metanol, dan etanol - Interaksi antara cairan molekul polar seperti ammonia dan asam formik Hal terpenting untuk polarisasi dipolar adalah batas frekuensi dari pergerakan gelombang elektromagnetik harus sesuai sehingga didapatkan interaksi yang adekuat antar partikel. Jika batas frekuensi sangat tinggi, daya antar molekul akan menghentikan pergerakan molekul polar, sebelum molekul polar mencoba mengikuti gelombang elektromagnetik, menyebabkan interaksi antara partikel molekul yang inadekuat. Selain itu, jika batas frekuensi rendah, molekul polar mendapatkan waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri agar menyatu dengan gerakan gelombang elektromagnetik tersebut, sehingga tidak ada interaksi acak yang terjadi antar partikel molekul polar. Iradiasi microwave mempunyai frekuensi yang sesuai (0,3-30 GHz) untuk partikel polar bergerak dan memungkinkan interaksi antar partikel. Sebagai tambahan, energi dalam foton microwave (0,037 kcal/mol) sangat rendah dibandingkan energi yang biasa dibutuhkan untuk memutuskan ikatan molekul (80-120 kcal/mol), sehingga stimulasi iradiasi microwave pada molekul tidak mempengaruhi struktur pada molekul organik, dan interaksi kinetik (Gambar 2.8).
Mekanisme konduksi menghasilkan panas melalui resistensi arus listrik. Konduktor atau semikonduktor listrik mengalami metode pemanasan yang agak berbeda. Setiap pembawa muatan yang bergerak (misalnya elektron, ion) relatif mudah berpindah melewati bahan yang berada di bawah pengaruh medan listrik microwave tersebut. Arus induksi ini akan menyebabkan pemanasan bahan yang mengakibatkan hambatan listrik. Gerakan gelombang elektromagnetik menimbulkan gerakan elektron atau ion dalam konduktor, yang menyebabkan terjadinya arus listrik. Arus listrik bersama dengan resistensi internal, yang akan memanaskan konduktor. Batas utama dari mekanisme konduksi adalah tidak bisa digunakan pada bahan yang memiliki konduktivitas tinggi, karena bahan dengan konduktivitas tinggi akan memantulkan kebanyakan energi yang ada. Jika air murni dipanaskan dalam microwave, di mana mekanisme polarisasi mendominasi, tingkat panas secara signifikan lebih rendah daripada yang diamati ketika volume yang sama dari larutan garam encer dipanaskan.
c. Polarisasi Interfasial
permukaan logam, bubuk logam merupakan penyerap iradiasi microwave yang baik. Bubuk logam menyerap iradiasi dan dipanaskan oleh mekanisme yang hampir sama dengan polarisasi dipolar. Lingkungan bubuk logam merupakan pelarut untuk molekul polar dan membatasi gerakan ion oleh gaya yang sama dengan interaksi antar partikel dalam pelarut polar. Gaya pembatas, dibawah pengaruh gerakan gelombang elektromagnetik, yang menstimulasi fase lambat dalam pergerakan ion. Fase lambat tersebut yang menyebabkan gerakan acak dari ion dan menghasilkan sistem pemanasan.
Gambar 2.8. Metode Pemanasan Oleh Iradiasi Microwave Sumber : Taylor M. Development in Microwave
Chemistry. Evalueserve 2005
pembersih gigitiruan dan disikat, karena energi microwave ini tidak mengubah bau dan warna gigitiruan, tidak menimbulkan reaksi alergi pada pemakai gigitiruan, tidak ada kadaluarsa. Selain itu, energi microwave juga dapat membunuh beberapa mikroorganisme, seperti Candida albicans sehingga dapat dijadikan salah satu perawatan denture stomatitis.7 Desinfeksi microwave efektif karena dapat mengurangi jumlah Candida albicans yang invasif dari permukaan gigitiruan dan mukosa palatum, dimana bentuk patogen C.albicans mati pada suhu diatas 60oC, sedangkan microwave dengan daya tinggi setiap menitnya memiliki suhu ± 30oC. Metode desinfeksi microwave lebih baik daripada perawatan antifungal yang lain karena dapat mengeliminasi mikroorganisme dan menyeleksi jamur yang resisten (Attwa 2012).
merupakan efek termal yang dihasilkan oleh energi microwave. Di dalam microwave, energi microwave dihasilkan oleh satu tabung elektron, yang dinamakan magnetron. Energi microwave yang dihasilkan tersebut akan dipantulkan oleh lapisan logam dalam microwave dan diserap oleh bahan-bahan yang mengandung air dan lemak, sehingga molekul-molekul bahan tersebut bergetar dan menghasilkan gesekan yang menimbulkan panas. Sel-sel hidup mempunyai molekul air di dalamnya, maka dapat disimpulkan bahwa sel-sel hidup rentan terhadap energi microwave. Neppelenbroek dkk. (2008) yang mengutip pendapat Baena-Monroy dkk., mikroorganisme dapat dibunuh pada suhu termal yang lebih rendah, hal ini disebabkan oleh karena interaksi elektromagnetik dengan molekul sel dan menghasilkan efek yang tidak dipengaruhi oleh termal (non thermal effect). Selain itu, mikroorganisme juga mempunyai konsentrasi ion intraselular yang tinggi, sehingga dapat menyerap termal lebih banyak dari medium cairan disekitarnya. Pemanasan selektif oleh energi microwave terhadap sel tergantung pada komposisi kemis sel dan volume serta komposisi medium disekitarnya. Proses mechanical disruption terjadi saat gelombang elektromagnetik menggerakkan molekul sel dengan kecepatan yang tinggi sehingga dapat melampaui batas elastis dinding sel, akibatnya, sel menjadi pecah. Efek dari energi microwave yang dapat membunuh berbagai mikroorganisme telah lama diketahui dan dibuktikan, tetapi mekanisme energi microwave dalam membunuh mikroorganisme masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut (Neppelenbroek dkk. 2008).
dengan soft resilient liner, tetapi desinfeksi dengan daya 650 watt selama 2 menit adalah yang paling efektif. Attwa dkk. (2012) menyatakan bahwa daya microwave, waktu pemaparan, tipe mikroorganisme yang berkolonisasi pada gigitiruan, dan intensitas desinfeksi dengan energi microwave berhubungan dengan penurunan jumlah koloni mikroorganisme (Attwa dkk. 2012). Silva dkk. (2012) menyatakan bahwa desinfeksi dengan energi microwave menggunakan daya 650 watt selama 3 menit yang diulang sebanyak 3 kali seminggu selama jangka waktu 14 hari efektif menanggulangi denture stomatitis daripada topikal antifungal, karena energi microwave dapat mengurangi jumlah Candida albicans dalam bentuk yang invasif (pseduhyphae) dari permukaan gigitiruan dan mukosa palatum (Silva dkk. 2012). Ritonga (2013) menyatakan bahwa desinfeksi dengan energi microwave dengan daya 800 watt selama 3 menit adalah efektif membunuh Candida albicans dan perubahan dimensi yang terjadi pada basis gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas masih termasuk dalam batas toleransi (Ritonga 2013).
2.4.2 Klorheksidin Sebagai Desinfeksi Gigitiruan dan Larutan Kumur
yang disebabkan oleh gigitiruan (Kadakol dkk. 2013). Klorheksidin memiliki efek fungisidal dan fungistatik yang akan menyebabkan terjadinya koagulasi nukleoprotein dan mempengaruhi dinding sel serta menyebabkan komponen sitoplasma lepas melalui sel membran plasma. Klorheksidin pada konsentrasi rendah (<0,5%), akan menciptakan pori-pori pada membran sel yang akan mempengaruhi transportasi selular pada sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi (≥0,5%) akan langsung berpenetrasi ke sel mikroorganisme dan menyebabkan kematian mikroorganisme tersebut (Kashinath 2006; Lawrence dkk. 2008; Uludamar dkk. 2010). Klorheksidin bertahan pada mukosa di rongga mulut melalui elektrostatik reversibel yang mengikat glikoprotein. Proporsi klorheksidin dapat bertahan secara langsung bergantung kepada dua hal yaitu konsentrasi dan volum larutan kumur. Sekitar setengah dari kuantitasnya bertahan selama 60 detik saat berkumur, dan akan berikatan dengan molekul reseptor pada 15 detik pertama. pH rongga mulut secara signifikan mempengaruhi pengikatan dan pelepasan klorheksidin. Penurunan pH juga akan menurunkan pertahanan klorheksidin. Klorheksidin ditemukan lebih sedikit bertahan di rongga mulut saat pH saliva menjadi lebih asam, daripada saat pH saliva normal atau alkalin (Gupta dkk. 2012).
fungsi ganda klorheksidin akan berpengaruh terhadap penderita denture stomatitis. Jika hanya merawat rongga mulut tidak akan membunuh Candida albicans secara adekuat, karena Candida albicans masih terdapat pada permukaan gigitiruan yang tidak dipolis, sehingga Candida albicans tersebut dapat menyebabkkan infeksi berkelanjutan.
Klorheksidin dapat menghambat pembentukan plak karena memiliki kemampuan untuk (Uludamar dkk. 2010):
a. Mengadakan ikatan dengan kelompok asam ionik glikoprotein saliva sehingga pembentukan pelikel yang diperlukan untuk kolonisasi mikroorganisme plak terhambat.
b. Mengadakan ikatan dengan lapisan polisakarida yang menyelubungi mikroorganisme sehingga absorbsi mikroorganisme ke permukaan pelikel terhambat
c. Mengendapkan faktor-faktor aglutinasi asam yang ada dalam saliva dan menggantikan kalsium yang diperlukan sebagai perekat mikroorganisme pembentuk massa plak
d. Memiliki efek fungisidal dan fungistatik Menyebabkan terjadinya koagulasi nukleoprotein dan mempengaruhi dinding sel serta menyebabkan komponen sitoplasma lepas melalui sel membran plasma pori-pori pada membran sel yang akan mempengaruhi transportasi selular pada sel.
larutan kumur klorheksidin 0,2 % sebagai efektif mengeliminasi Candida albicans pada 90 pemakai gigitiruan penuh dengan denture stomatitis tipe 1. Uludamar juga menyatakan bahwa klorheksidin dapat digunakan sebagai larutan kumur dan desinfeksi gigitiruan, atau diaplikasikan secara topikal dan dapat menghilangkan biofilm yang digunakan Candida albicans sebagai pelindung sehingga resisten terhadap antimikroba biasa atau menghindar dari sistem kekebalan sel inang (Uludamar dkk. 2010). Srinivasan dkk. (2010) menyatakan bahwa pemakaian larutan kumur klorheksidin 0,2% sebanyak dua kali sehari selama satu menit yang dikombinasikan dengan bahan pembersih alkalin adalah efektif dalam mengurangi jumlah Candida albicans pada pemakai gigitiruan penuh (Srinivasan dkk. 2010). Chetan dkk. (2011) menyatakan bahwa pemakaian larutan kumur klorheksidin 0,2% sebagai bahan desinfektan gigitiruan yang digunakan selama 30 menit, dapat mengurangi 9% jumlah Candida albicans pada pemakai gigitiruan penuh, tetapi dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada basis gigitiruan (Chetan dkk. 2011). Gade dkk. (2012) menyatakan bahwa pemakaian klorheksidin 0,2% yang digunakan sebagai larutan kumur dan desinfeksi gigitiruan, yang dilakukan dalam jangka waktu 2 minggu, memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap 35 pemakai gigitiruan penuh dengan denture stomatitis (Gade dkk. 2012).
2.5 Pemeliharaan Kesehatan Rongga Mulut
2.6 Landasan Teori
Antiseptik(Klorheksidin) pH Adhesi Gigitiruan
2.8 Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh desinfeksi gigitiruan dengan energi microwave daya 800 watt selama 3 menit dan berkumur dengan larutan klorheksidin 0,2% selama 1 menit terhadap jumlah Candida albicans pada pemakai gigitiruan penuh resin akrilik polimerisasi panas
2. Ada pengaruh desinfeksi gigitiruan dengan larutan klorheksidin selama 5 menit dan berkumur dengan larutan klorheksidin 0,2 % selama 1 menit terhadap jumlah Candida albicans pada pemakai gigitiruan penuh resin akrilik polimerisasi panas