• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU AKSEPTOR KB TENTANG KONTRASEPSI DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU AKSEPTOR KB TENTANG KONTRASEPSI DI PUSKESMAS KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU AKSEPTOR KB TENTANG KONTRASEPSI DI PUSKESMAS

KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Christina Santi Dwi Prastiwi

NIM : 05 8114 049

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU AKSEPTOR KB TENTANG KONTRASEPSI DI PUSKESMAS

KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Christina Santi Dwi Prastiwi

NIM : 05 8114 049

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

iii 

 

(4)

iv

 

(5)

v Dedicated to :

My First Goal -Jesus Christ -, Bapak, Ibu, Maria Sant i, Libert us Tint us, Sahabat -sahabat ku, Almamat erku

Ada pribadi yang berjalan di depan kita

Tapi sering membuat kita tertinggal.

Ada pribadi yang berjalan di sisi kita

Tapi sering membuat kita kesepian.

Namun ada Pribadi yang berjalan di dalam kita

Dan kita pun melangkah dengan berbeda

Waktu pepohonan meranggas

Tanah mulai kerontang dan retak

Waktu lutut ingin menyerah

Beri perkasa padaku

Karena aku ingin belajar kuat

(6)
(7)

vi

PRAKATA

Tiba saatnya bagi penulis untuk memanjatkan puji dan syukur kepada Bapa

di surga dan Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya

membuat penulis mampu untuk menyelesaikan skripsinya yang berjudul

“Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Perilaku Akseptor KB Tentang

Kontrasepsi di Puskesmas Kabupaten Sleman”.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm.), Program Studi

Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk

menambah kasanah pengetahuan dalam dunia kesehatan pada umumnya, dan

dunia kefarmasian pada khususnya.

Rasa terimakasihpun pantas penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah

mendukung terwujudnya skripsi ini. Dukungan baik secara langsung maupun tak

langsung yang mereka berikan akan sangat bermanfaat bagi penulis.

Adapun ucapan terimakasih yang tulus hendak penulis haturkan kepada :

1. Bapa di surga yang telah mengutus putra-Nya yang tunggal ke dunia

untuk menebus dosa manusia dan untuk menyertai umat-Nya yang

masih berjuang di dunia ini.

2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

(8)

vii

memberikan segala waktu dan kesabarannya dalam mendampingi

penulis dari awal penelitian hingga selesainya skripsi ini.

3. Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc., yang telah memberikan banyak

masukan tentang cara analisis data pada penelitian ini.

4. Walikota Yogyakarta c.q BAPPEDA Sleman yang telah memberikan

ijin untuk melakukan penelitian di Sleman.

5. Pihak Puskesmas Kabupaten Sleman yaitu Puskesmas Mlati I,

Puskesmas Depok II, Puskesmas Ngaglik I atas kerjasamanya

memberikan ijin peneliti untuk mengambil data guna kepentingan

penelitian.

6. Akseptor KB di puskesmas yang telah bersedia meluangkan waktunya

mengisi kuisioner dan diwawancarai guna kepentingan data penelitian.

7. Bapak dan Ibu terkasih, atas kasih sayang, semangat, bantuan, dan doa

yang tiada henti untuk penulis.

8. Maria Santi Astuti, kakakku yang dengan suka duka menemani penulis

saat pengambilan data sampai dengan selesainya skripsi ini.

9. Libertus Tintus H, untuk dukungan, kasih sayang, pertengkaran, air

mata, senyuman, canda tawa, dan buat ajaran hidupnya dalam

mengatasi setiap masalah.

10. Keluarga besar di Pangkalpinang atas dukungan dan semangat yang

diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di

(9)

viii

11. Olivia Ganeswati, Theresia Elvira, Ade Entyna, Dwi Arunningtyas,

Aloysia Dona untuk kebersamaannya di masa lalu dan masa yang akan

datang.

12. Asyen, Meidina, Kak Merry, Dini, Yenni, Ayu, Grace, Sari, Jojo, Livi,

Kak Galih, Sifa, Tegal, Eka, Evina, Ita, Ina, Jesti, Putri untuk

kebersamaannya dari pagi hingga pagi lagi di Kost Difa.

13. Alexander Arie Sanata Dharma atas masukan dan bantuan dalam

penelitian ini.

14. Teman-teman FKK angkatan 2005, yang selalu mendukung dan

memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung kepada

penulis.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

mendukung untuk terwujudnya skripsi ini.

Segala kesempurnaan adalah milik Bapa, maka penulis yang jauh dari

sempurna inipun mengucapkan kata maaf apabila ada kesalahan dan kata-kata

yang kurang berkenan di hati pembaca. Dari sini penulis sadar bahwa betapa

penting kritik dan saran yang membangun agar karya ini menjadi lebih baik dan

bermanfaat. Akhir kata, semoga karya ini berguna bagi perkembangan dunia

kesehatan pada umumnya dan dunia kefarmasian pada khususnya.

(10)

ix 

 

(11)

x

INTISARI

Sebagai upaya untuk mengendalikan banyaknya penduduk, pemerintah melancarkan program KB. Tujuan utama adalah membatasi jumlah kelahiran dan menjarangkan kelahiran. Di tengah perjalanan, ternyata banyak manfaat yang dapat dipetik dari program KB. Dengan ber-KB ternyata lebih mensejahterakan ibu hamil. Kegiatan KB berhubungan langsung dengan penggunaan alat kontrasepsi. Awalnya teknologi kontrasepsi sejalan dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah pertumbuhan penduduk. Namun saat ini pemilihan kontrasepsi lebih didasarkan pada bagian dari hak-hak reproduksi. Berhasil tidaknya metode kontrasepsi yang digunakan berkaitan dengan pengetahuan mereka yang dapat dilihat dari tingkat pendidikan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan tingkat pendidikan terhadap perilaku akseptor KB di Puskesmas Kabupaten Sleman. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah non eksperimental analitik dengan rancangan penelitian cross sectional yang dilakukan dengan pengisian kuisioner dan wawancara kepada responden yang merupakan pelanggan KB tetap Puskesmas. Hasil wawancara digunakan untuk pendekatan kualitatif. Nilai kuisioner yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan dipakai untuk pendekatan kuantitatif. Data kuantitatif diolah dengan menghubungkan tingkat pendidikan dengan nilai pengetahuan, sikap, dan tindakan responden. Pengolahan dilakukan menggunakan metode statistik Chi square.

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan tindakan akseptor KB tetapi tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap.

(12)

xi ABSTRACT

As the effort to control the number of population, the government develop Family Planning Program’s. The main purpose of this system is to make a birth limit and spare. And then, a lot of benefit is got by Family Planning Program’s. With Family Planning Program’s the pregnant women is more prosperous. Family Planning Program’s activity is directly related with contraception device. At the beginning, contraception technology is used to solve development problem. Recently, the used of the contraception is based on the reproduction rights. Succesfull of contraception method related with their knowledge which is can be seen by education level.

The purpose of this research is to find out the correlation between the education level and the behaviour of Family Planning Program’s acceptors towards the contraception in Sleman Local Government Clinic. The method of this research is non experimental analytic with cross sectional program and did it by quiz and interview to a group of respondent who is always use Family Planning Program’s in Sleman Local Government Clinic. The result of interview is used to quality limitation. The score which is consist of knowledge, behaviour, and action are used to quantity limitation. Data of quantity is processed to find the relation between education degree with knowledge, behaviour, and action of the respondent. Data is processed by Chi square method.

The result of this research show that there is correlation between education level with knowledge and action of the respondent, but there is no correlation between education level with behaviour.

(13)

xii

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………...

(14)

xiii

2. Pelayanan kontrasepsi………..

B. Reproduksi…… ………....

1. Anatomi fisiologi alat reproduksi wanita………..

2. Haid dan fertilisasi………...

C. Kontrasepsi………..

1. Definisi………..

2. Cara Kerja Kontrasepsi……….

D. Jenis Kontrasepsi………...

1. Secara nonfarmakologis………...

2. Secara farmakologis…………...

E. Penggunaan Kontrasepsi yang Rasional……….

F. Perilaku………...

BAB III. METODE PENELITIAN………..…………..

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………..

B. Variabel dan Definisi Operasional………..

(15)

xiv

C. Waktu dan Tempat Penelitian………

D. Instrumen Penelitian………...

E. Subjek Penelitian……….

F. Tata Cara Penelitian………

1. Penentuan lokasi penelitian……….

2. Pengurusan izin penelitian………

3. Sampling frame………

4. Penetapan besar sampel………...

5. Pembuatan transkrip wawancara dan kuisioner………

6. Pengujian reliabilitas dan validitas kuisioner………

G. Pengambilan Data………...

H. Tata Cara Analisis Data………..

I. Kesulitan dan Kelemahan………...

1. Kesulitan penelitian………..

2. Kelemahan penelitian………...

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………...

A. Karakteristik Responden……….

1. Usia responden……….

2. Jumlah anak………...

3. Pekerjaan responden……….

4. Tingkat pendidikan responden……….

5. Jenis kontrasepsi yang digunakan……….

(16)

xv

7. Pernah atau tidak mengganti jenis kontrasepsi……….

B. Kejadian Efek Samping dan Penggantian Jenis Kontrasepsi yang

Pernah Dialami Akseptor KB………

1. Efek samping yang muncul dari pemakaian kontrasepsi suntik...

2. Efek samping yang muncul dari pemakaian kontrasepsi pil…….

3. Efek samping yang muncul dari pemakaian kontrasepsi IUD…..

4. Kejadian penggantian jenis kontrasepsi………

C. Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Perilaku Akseptor KB

(Pendekatan Kuantitatif)………

1. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan

akseptor KB tentang kontrasepsi………...

2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap akseptor KB

tentang kontrasepsi………

3. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tindakan akseptor

KB tentang kontrasepsi……….

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I.

Tabel II.

Tabel III.

Tabel IV.

Tabel V.

Kontrasepsi hormonal yang sering dipakai di Indonesia………..

Skor berdasarkan kategori jawaban………

Persentase usia akseptor KB di Puskesmas Sleman………

Frekuensi efek samping dari kontrasepsi yang digunakan

Akseptor KB di Puskesmas Sleman………

Frekuensi alasan penggantian kontrasepsi oleh akseptor KB

Puskesmas Sleman……….. 20

40

48

60

(18)

xvii

Anatomi alat reproduksi wanita………..

Metode Billings………..

Skema teori Parsons………..

Skema teori Weber………

Analisis hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku….

Persentase jumlah anak akseptor KB di Puskesmas

Sleman………

Persentase jenis pekerjaan akseptor KB di Puskesmas

Sleman………

Persentase tingkat pendidikan akseptor KB di Puskesmas

Sleman………

Persentase dua tingkat pendidikan akseptor KB di

Puskesmas Sleman………..

Persentase jenis kontrasepsi yang disediakan dan digunakan

akseptor KB di Puskesmas Sleman……….

Persentase kejadian efek samping pada akseptor KB di

Puskesmas Sleman………..

Persentase kejadian penggantian jenis kontrasepsi pada

akseptor KB di Puskesmas Sleman………

Persentase efek samping dari kontrasepsi yang digunakan

(19)

xviii

Gambar 14. Persentase alasan penggantian kontrasepsi oleh akseptor KB

(20)

xix

Contoh kuisioner dengan jawaban………..

Pedoman wawancara………

Ijin penelitian………...

Daftar puskesmas……….

Hasil uji reliabiitas dan validitas kuisioner……….

Hasil kuisioner………

Statistik deskriptif jumlah anak……….

Statitistik deskriptif tingkat pendidikan………

Median perilaku………...

Pembagian nilai pendidikan, pengetahuan, sikap dan

(21)

1

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Problem mendasar yang selalu dialami oleh negara-negara berkembang,

yaitu masalah kependudukan. Di Indonesia masalah ini sudah menjadi masalah

nasional, mengingat kondisinya yang masih dalam perkembangan. Sejak lama

Indonesia mempunyai potensi penduduk yang termasuk empat besar di dunia

setelah Republik Rakyat China, India, Amerika Serikat dan kemudian Indonesia.

Sejak lama pula potensi tersebut sudah disadari oleh bangsa kita. Menurut Hasil

Sementara Sensus Penduduk Indonesia tahun 2004 dan proyeksi secara sederhana

menghasilkan jumlah penduduk pada akhir tahun 2004 sebanyak 214 – 215 juta

jiwa. Pertumbuhannya tinggi dengan ditandai tingkat kelahiran dan tingkat

kematian yang tinggi pula. Melihat situasi seperti ini mengakibatkan kesehatan

ibu dan anak sangat rendah. Tidak semua penduduk produktif dan dana yang

berhasil dikumpulkan oleh keluarga habis untuk memelihara kesehatan dan

kehidupan keluarga yang kurang sejahtera (Haryono, 2008).

Usaha pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan suatu program yang

dikenal sebagai program Keluarga Berencana (KB). Tujuan program KB di

Indonesia, antara lain melembagakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan

Sejahtera (NKKBS). Selama 20 tahun pelaksanaan program KB, angka kelahiran

kasar menurun dari 44 menjadi 29 per 1000 penduduk. Kesuksesan program KB

(22)

Pelayanan Keluarga Berencana yang merupakan salah satu didalam paket

Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial perlu mendapatkan perhatian yang

serius, karena dengan mutu pelayanan KB berkualitas diharapkan akan dapat

meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Telah berubahnya paradigma dalam

pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan yang awalnya pendekatan

pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang berfokus

pada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi, maka pelayanan KB harus

menjadi lebih berkualitas serta memperhatikan hak-hak klien atau masyarakat

dalam memilih metode kontrasepsi yang diinginkan (Soeradi, 1994).

Masalah konkrit yang dihadapi pasangan suami istri dalam melaksanakan

program KB adalah bagaimana memilih metode kontrasepsi yang paling baik,

tidak hanya soal cara mana yang paling gampang untuk mencegah kehamilan,

akan tetapi banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih cara

ber-KB (Gieles, 2001). Salah satu analisis tentang program Keluarga Berencana

Indonesia yang sangat luas menunjukkan bahwa sebagian besar pengurangan

fertilitas berkaitan dengan peningkatan jenjang pendidikan.

Ada beberapa kemungkinan kurang berhasilnya program KB diantaranya

dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu dan faktor pendukung lainnya. Untuk

mempunyai sikap yang positif tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik,

demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka kepatuhan menjalani program

KB berkurang (Notoatmojo, 2003). Melihat hal ini, maka faktor pendidikan

seseorang sangat menentukan dalam pola pengambilan keputusan dan menerima

(23)

informasi yang lebih daripada seseorang yang berpendidikan rendah (Broewer,

1993). Masih rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia, ditakutkan akan

membuat pelaksanaan program KB yang kurang berhasil.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan

pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya sesuatu hal, termasuk

pentingnya keikutsertaan dalam KB. Ini disebabkan seseorang yang berpendidikan

tinggi akan lebih luas pandangannya dan lebih mudah menerima ide dan tata cara

kehidupan baru (Anonim ,1980).

Kalau kita berbicara tentang KB, tentu tidak akan lepas akan pembicaraan

tentang kontrasepsi. Hal ini karena metode kontrasepsi merupakan sarana vital

guna mensukseskan gerakan KB, sehingga penggunaan kontrasepsi sangat penting

untuk diinformasikan dan dimengerti oleh masyarakat luas. Demikian pula

informasi tentang sarana dan prasarana pendukung lainnya, seperti tempat

pelayanan kontrsepsi, tenaga medis yang melayani, tempat merujuk jika terjadi

kegagalan atau komplikasi serta upaya penanggulangan efek samping pemakaian

kontrasepsi secara mandiri.

Saat ini masih terjadi penggunaan alat kontrasepsi yang tidak sesuai

dengan tujuan pengaturan maupun kondisi fisik pengguna. Hal tersebut

disebabkan oleh belum tersosialisasinya penggunaan kontrasepsi secara rasional.

Pemakaian alat kontrasepsi secara rasional, efektif dan efisien akan meningkatkan

keberlanjutan pemakaian kontrasepsi.

Berdasarkan data BPS tahun 2005, Kabupaten Sleman mempunyai

(24)

Yogyakarta yaitu 318.423 rumah tangga dengan jumlah akseptor KB mencapai

113.296 peserta, sehingga akan mendukung dalam penyebaran kuisioner.

Responden yang digunakan adalah akseptor KB yang merupakan

pelanggan tetap di Puskesmas Kabupaten Sleman. Sesuai dengan tiga fungsi

puskesmas sendiri yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan

kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan

kesehatan dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama, sehingga diharapkan

dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi

akan gerakan KB.

Untuk mendukung gerakan KB ini mutu pelaksana, pengelola dan peserta

KB harus ditingkatkan. Untuk petugas klinik, dokter, dan penyuluh KB yang

merupakan ujung tombak harus lebih dahulu menguasai materi untuk mendukung

gerakan KB, sehingga dengan bekal tersebut diharapkan petugas KB dapat

memberikan informasi dan motivasi yang jelas dan benar kepada para PUS secara

dini. Pelayanan KB diarahkan untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas

pelayanan kontrasepsi. Peningkatan tersebut dalam hal pemakaian kontrasepsi

serta kemandirian dalam kegiatan pelayanan kontrasepsi maupun mengikuti

cara-cara kontrasepsi (Rukanda, Ryanto, Syarief, Hasjim, Saleng, Muhasjim, 1993).

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan

masalah yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah:

(25)

b) Seperti apakah kejadian efek samping dan penggantian jenis kontrasepsi yang

pernah dialami akseptor KB ?

c) Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan,

sikap, dan tindakan akseptor KB di Puskesmas Sleman?

2. Keaslian penelitian

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, penelitian sejenis mengenai “Hubungan

Tingkat Pendidikan Terhadap Perilaku Akseptor KB Tentang Kontrasepsi di

Puskesmas Kabupaten Sleman” yang sudah pernah dilakukan seperti: Perilaku

Akseptor Di Kota Yogyakarta: Kajian Motivasi, Pengetahuan Dan Pola

Penggunaan oleh Kusuma (2006), Pengetahuan dan Motivasi Tentang Kontrasepsi

pada Akseptor KB Di 4 Taman Kanak-Kanak Di Kecamatan Sleman oleh Erny

(2007), Pengetahuan Pasangan Usia Subur (PUS) Tentang Penggunaan Metode

Kontrasepsi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kembaran di Kecamatan Kembaran

Kabupaten Banyumas Jawa Tengah oleh Kuswati (2007). Perbedaannya terletak

pada subyek penelitian, tempat dan waktu pengambilan data.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang perilaku

akseptor KB tentang kontrasepsi di Puskesmas Kabupaten Sleman.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan pelayanan

(26)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan, yaitu:

1. Untuk mengetahui seperti apakah karakteristik akseptor KB di Puskesmas

Sleman.

2. Untuk mengetahui seperti apakah kejadian efek samping dan penggantian jenis

kontrasepsi yang pernah dialami akseptor KB.

3. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan

(27)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Keluarga Berencana 1. Definisi

Definisi Keluarga Berencana (KB) menurut World Health Organisation

(WHO) adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri

menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang

diinginkan, mengatur interval kehamilan, mengontrol waktu kelahiran dalam

hubungan dengan umur suami istri, dan menentukan jumlah anak (Hartanto,

2004).

Program KB berrfungsi bagi pasangan untuk menunda kelahiran anak

pertama (post poning), menjarangkan anak (spacing) atau membatasi (limiting)

jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan keamanan medis, serta ferundity yaitu

kemungkinan kembalinya fase kesuburan (Anonim,2001).

Akseptor adalah pasangan usia subur yang menggunakan satu atau lebih

cara kontrasepsi. Pasangan Usia Subur adalah pasangan yang istrinya berumur

15-49 tahun, dalam hal ini termasuk pasangan yang istrinya berumur di bawah 15

tahun atau lebih 49 tahun dan tetap mendapatkan menstruasi (Anonim,1990).

Pengertian sekarang oleh pemerintah, bahwa KB tidak lagi diartikan

sebagai upaya pengaturan kelahiran semata, tetapi lebih untuk itu yaitu diartikan

sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat

(28)

ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan

NKKBS (Mardiya, 1999).

2. Pelayanan kontrasepsi

Pelayanan kontrasepsi diarahkan untuk lebih meningkatkan kualitas dan

kuantitas pelayanan maupun pemakaian kontrasepsi Untuk itu dikembangkan

kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Pola pelayanan kontrasepsi rasional yang berpedoman pada masa reproduksi

sehat.

b. Pelayanan kontrasepsi ditujukan agar cara-cara KB baik bagi wanita maupun

pria lebih mengarah pada metode yang efektif dan terpilih.

c. Mengusahakan pemerataan tempat dan tenaga pelayanan kontrasepsi

(Rukanda dkk, 1993).

Dalam konseling pelayanan KB sebaiknya dilakukan secara dua arah.

Hal ini untuk membahas berbagai pilihan kontrasepsi, membantu akseptor

memilih metode kontrasepsi yang sesuai, dan memberikan informasi mengenai

konsekuensi pilihannya. Calon peserta KB yang sebelum memakai kontrasepsi

melakukan konseling yang baik, maka kelangsungan pemakaian kontrasepsi akan

lebih tinggi (Hartanto, 2004).

B. Reproduksi

Usia menikah yang umum dianjurkan sekurang-kurangnya 20 tahun

untuk wanita dan 25 tahun bagi laki-laki. Anjuran ini didasarkan pemikiran pada

usia tersebut wanita dan pria sudah mempunyai kesiapan batin dan jasmani untuk

(29)

dan persalinan adalah umur 20-30 tahun, dengan memperhitungkan jarak

kelahiran tiap anak ± 4 tahun diharapkan ibu hanya akan melahirkan dua kali.

Waktu 20-30 tahun itu disebut saat reproduksi sehat (Rukanda dkk, 1993).

Masa reproduksi adalah masa antara awal seorang wanita mendapat haid

(menorrhea) sampai akhir pubertas atau tidak haid lagi (menopause). Menopause

atau mati haid adalah masa seorang wanita tidak mendapat haid lagi, dan biasanya

terjadi sesudah umur 46-50 tahun (Anonim, 1990a).

1. Anatomi fisiologi alat reproduksi wanita

Alat reproduksi wanita terdiri ada 5 macam, yaitu vagina, uterus, tuba

fallopi, ovarium, dan ovum.

Gambar 1. Anatomi alat reproduksi wanita (Anonim, 2003)

a. Vagina

Merupakan saluran penghubung antara introitus vaginae di vulva dengan

(30)

b. Rahim (uterus)

Letaknya di rongga panggul, di belakang kandung kencing, di depan

rektum, besarnya sebesar telur ayam. Uterus terdiri atas fundus uretri yang

merupakan bagian proksimal tempat masuknya kedua falopii, corpus uretri

(badan) berfungsi sebagai tempat berkembangnya janin, cervix uretri (leher) dan

bagian cervix yang menonjol ke dalam vagina disebut mulut rahim (portio).

c. Saluran telur (tuba fallopi)

Saluran telur ini bermuara dalam uterus bagian atas dan panjangnya ±10

cm. Saluran ini merupakan tempat terjadinya konsepsi, mempunyai fimbriae yang

akan menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium.

d. Indung telur (ovarium)

Pada tiap wanita umumnya ada dua indung telur kanan dan kiri. Pada

wanita dewasa selama masa hidupnya akan mengeluarkan kira-kira 400 butir sel

telur. Setiap bulannya indung telur akan mengeluarkan satu sel telur yang matang,

kadang-kadang dua sel telur. Lepasnya sel telur dari indung telur disebut ovulasi.

e. Sel telur (ovum)

Garis tengah 0,2 mm. Lama daya tahan sel telur untuk dapat dibuahi

kira-kira 12 jam. Tidak lama setelah keluarnya sel telur, di sekelilingnya banyak

menempel sel-sel yang akhirnya terlepas pada waktu melalui saluran telur

(Mardiya, 1999).

2. Haid dan fertilisasi

Haid atau menstruasi adalah pendarahan rahim yang fisiologik, terjadi

(31)

dihitung saat hari pertama menstruasi sampai hari pertama menstruasi berikutnya.

Menstruasi berlangsung rata-rata 4-5 hari yang terjadi secara berkala, dengan

selang waktu kurang lebih 4 minggu. Lebih kurang satu minggu sebelum ovulasi

dinding rahim menebal dan jaringan pembuluh darah bertambah, bila tidak terjadi

kehamilan dinding rahim yang menebal akan lepas dan keluar sebagai menstruasi.

Panjangnya siklus menstruasi tidak sama pada setiap wanita, rata-rata panjang

siklus menstruasi adalah 28 hari (Mardiya, 1999). Pada setiap siklus menstruasi

dikenal 3 fase yang mempengaruhi siklus seorang wanita (DiPiro, 2005). Fase ini

adalah:

a. Fase follicular

Sistem reproduksi diatur oleh poros Hipotalamus-Pituitari-Gonad.

Follicle Stimulating Hormone (FSH) merupakan kelenjar pituitari yang

distimulasi oleh Follicle Stimulating Hormone Releasing Hormone (FSHRH).

Empat hari pertama siklus menstruasi, FSH akan meningkat dan menstimulasi

perkembangan folikel-folikel di indung telur. Antara hari ke -5 dan ke- 7 ada

yang telah menjadi folikel yang dominan, yang nantinya akan pecah dan

melepaskan sel telur. Folikel-folikel dominan ini akan meningkatkan jumlah

estradiol dan inhibin yang dapat menyebabkan feed back negative.

Estradiol menghentikan menstruasi dari siklus sebelumnya, menebalkan

endometrium di rahim untuk mempersiapkan tempat untuk implanasi embrio.

Estrogen bertanggung jawab meningkatkan produksi mucus pada leher rahim

(32)

b. Fase ovulasi

Terjadinya mekanisme feed back negative meyebabkan hipotalamus

memproduksi Follicle Stimulating Hormone Inhibiting Hormone (FSHIH) yang

berfungsi untuk mengurangi produksi hormon FSH. Pada saat yang bersamaan

hipotalamus menstimulasi Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LHRH)

sehingga kelenjar pituitari mengeluarkan Luteinizing Hormone (LH). LH ini

menstimulasi maturasi folikular dan ovulasi. LH muncul 28 – 32 jam sebelum

folikel pecah, ini merupakan parameter ovulasi. Kira-kira pada hari ke-14 tiba-tiba

kadar LH menjadi tinggi menyebabkan folikel yang paling masak pecah dan

melepaskan sel telur. Pembuahan paling berhasil ketika pembuahan dilakukan 2

hari sebelum ovulasi sampai hari ovulasi. Sel folikel yang pecah tersebut

membentuk corpus luteum. Corpus luteum menghasilkan hormon progesteron

(Notodihardjo, 2002).

c. Fase luteal

Corpus luteum mensintesis androgen, estrogen dan progesteron.

Progesteron membantu mempertahankan dinding rahim, yang menopang

implanasi embrio dan mempertahankan kehamilan. Progesteron juga menghambat

pelepasan gonadotropin, mencegah perkembangan folikel yang baru. Jika

pembuahan tidak terjadi, maka terjadi degenerasi corpus luteum dan produksi

pergeseran progesteron. Penurunan progesteron akan menyebabkan menstruasi.

Pada akhir fase luteal, dengan tingkat estrogen dan progesterone yang rendah,

(33)

Fertilisasi adalah bertemunya sel telur dan sel sperma di saluran telur

(Mardiya, 1999). Fertilisasi dapat terjadi dengan syarat: pertama, adanya sel telur

dan sel sperma yang subur. Kedua, cairan sperma harus ada di vagina sehingga sel

sperma dapat menuju cervix kemudian ke rahim, lalu ke saluran oviduk untuk

membuahi sel telur. Ketiga, sel telur yang sudah dibuahi harus mampu turun ke

rahim, di rahim sel telur tersebut akan melakukan nidasi. Keempat, endometrium

atau dinding rahim harus siap untuk menerima nidasi (Notodihardjo, 2002).

C. Kontrasepsi 1. Definisi

Secara umum kontrasepsi mengandung arti pencegahan kehamilan setelah

hubungan seksual. Prinsipnya dengan menghambat sperma bertemu dengan ovum

yang matang, atau dengan mencegah ovum yang matang dari penanaman yang

sukses pada endometrium (DiPiro, 2005).

2. Cara kerja kontrasepsi

Cara kerja kontrasepsi adalah dengan mencegah masuknya sperma ke

dalam uterus, membunuh atau melemahkan sperma sehingga tidak dapat masuk ke

dalam rahim, menghambat terjadinya ovulasi, mengganggu terjadinya nidasi,

mencegah masuknya sel telur ke dalam rahim (Rukanda dkk, 1993).

D. Jenis Kontarsepsi

Strategi terapi yang digunakan didasarkan pada penggolongan jenis

kontrasepsi yaitu secara non farmakolgis dan farmakologis (DiPiro, 2005).

(34)

Kata nonfarmakologis, artinya pada metode kontrasepsi ini tidak

digunakan obat-obatan sebagai sarana pencegah kehamilan. Dasar metode

kontrasepsi ini adalah mencegah bertemunya sperma dengan sel telur. Terapi

non-farmakologis terdiri dari beberapa metode seperti pantang periodik (metode

kalender, metode mukus serviks, metode Basal Body Temperature), metode

barrier, dan tubektomi.

a. Sistem kalender

Untuk menggunakan metode ini wanita harus mengetahui jumlah hari

pada siklus pendek menstruasi dan jumlah hari pada siklus panjang. Kemudian

jumlah hari siklus pendek dikurang 18 untuk mengetahui hari subur pertama dan

jumlah hari pada siklus panjang dikurang 11 untuk mengetahui hari subur

terakhir. Angka kegagalan metode ini adalah 14.4 – 47 kehamilan pada 100

wanita per tahun (Hartanto, 2004).

b. Metode pengamatan mukus serviks (Billings)

Metode ini mempredikisi masa subur dengan mengukur lendir serviks.

Lendir ini dihasilkan oleh leher rahim, dan diatur oleh hormon-hormon

reproduksi. Hormon estrogen menyebabkan jumlah lendir serviks akan meningkat

dan lebih elastis. Terdapat Pola Dasar Tidak Subur (PDTS) yaitu PDTS kering

dan berlendir. Setelah masa menstruasi tidak ada lendir yang keluar (PDTS

kering) merupakan masa tidak subur, biasanya terjadi selama 3-5 hari (tidak tentu)

tapi mungkin juga tidak terjadi sama sekali. Hari pertama lendir keluar merupakan

hari kemungkinan subur, yang disebut PDTS berlendir. Makin mendekati saat

(35)

memberikan rasa licin dan rasa basah. Dalam kondisi seperti ini dilarang untuk

melakukan hubungan seksual. Hubungan seksual dapat dilakukan 4 hari setelah

lendir serviks maksimal (hari puncak) hingga menstruasi terjadi lagi (Billings,

2006).

Gambar 2. Metode Billings (Billings, 2006)

Angka kegagalan metode ini adalah 1 – 25 kehamilan pada 100 wanita

per tahun (Billings, 2006).

c. Metode BBT (Basal Body Temperature)

Dasar metode ini adalah peninggian suhu badan 0.2 – 0.5 0 C pada waktu

ovulasi. Peninggian BBT mulai 1 – 2 hari setelah ovulasi, dan disebabkan oleh

peninggian kadar hormon progesteron. Metode ini dapat dikacaukan oleh

(36)

ataupun alkohol. Angka kegagalan metode ini adalah 0.3 – 6.6 kehamilan pada

100 wanita per tahun (Hartanto, 2004).

d. Metode barrier

Termasuk dalam metode ini adalah diafragma, cervical cap, dan kondom.

1) Diafragma

Merupakan tutup karet berbentuk seperti kubah, dapat digunakan kembali

dengan pinggiran yang fleksibel, yang dimasukkan ke dalam vagina, untuk

menghalangi jalan masuk sperma menuju ovum (DiPiro, 2005). Keuntungan

diafragma antara lain dapat mencegah kemungkinan penularan penyakit kelamin.

Efek samping pemakaian diafragma yaitu adanya rasa panas dan nyeri akibat

alergi terhadap karet dan lecet pada kemaluan wanita akibat pemakaian diafragma

yang tergesa-gesa atau akibat goresan kuku pada saat pemakaian diafragma.

Angka kegagalannya tinggi yaitu 19-20% (Rukanda dkk, 1993).

2) Cervical cap

Bersifat lembut, berbahan karet dengan pinggiran kuat yang lebih kecil

ukurannya dari diafragma dan melindungi leher rahim seperti sarung jari. Cap

tetap efektif selama 48 jam dari hubungan seksual tanpa penambahan spermicide,

hal ini berarti “lebih rapi” untuk digunakan daripada diafragma.

3) Kondom

Merupakan alat yang mencegah kontak langsung antara vagina dengan

semen, luka, pengotoran alat kelamin dan penyakit menular. Keuntungan kondom

antara lain biaya murah, mudah didapat, tidak memerlukan resep dokter,

(37)

dipakai dengan benar. Efek samping pemakaian kondom adalah adanya rasa nyeri

dan panas akibat alergi terhadap karet kondom dan lecet pada kemaluan akibat

pemakaian tergesa-gesa atau kurangnya pelicin (Rukanda dkk, 1993).

e. Metode tubektomi

Dilakukan pada wanita yang meliputi pemotongan, penjepitan, penarikan

tuba fallopi (saluran sel telur) sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum.

Keuntungan tubektomi antara lain sekali untuk selamanya, dapat dilakukan

setelah persalinan, setelah keguguran, efektifitas langsung setelah sterilisasi.

Kerugian tubektomi yaitu harus dengan pembedahan, tingkat reversibilitas rendah

(Mardiya, 1999).

2. Secara farmakologis

Pada metode kontrasepsi ini digunakan obat-obatan sebagai sarana

pencegah kehamilan. Termasuk dalam metode ini adalah penggunaan hormon dan

spermatisida (DiPiro, 2005).

a. Kontrasepsi dengan metode hormon

Penghambatan ovulasi merupakan mekanisme primer kontrasepsi dalam

mengontrol kehamilan. Ovulasi dicegah melalui penekanan produksi FSH dan

LH. Estrogen sangat aktif dalam menghambat pelepasan FSH, tetapi pada dosis

yang cukup tinggi dapat juga menghambat LH. Jenis kontrasepsi hormonal yaitu:

1)Pil KB

Pil KB dapat mengandung 2 komponen aktif yaitu estrogen dan

progesteron yang disebut pil kombinasi atau hanya progesteron sintetik yang

(38)

estradiol (EE) dan mestranol. Dosis yang umum dipakai dalam pil KB kombinasi

saat ini adalah 20-100 mcg EE dan yang paling banyak dipakai 30-35 mcg EE.

Progestin (progesteron) yang dipakai dalam pil KB saat ini adalah: (1) kelompok

norethindrone yaitu norethindrone, norethindrone asetat, ethynodiol diasetat,

linestrenol, norethynodrel, (2) kelompok norgestrel yaitu norgestrel,

levonogestrel, desogestrel, gestoden (Hartanto, 2004).

Pil kombinasi dibedakan menjadi 2 jenis yaitu pil dosis tinggi dan pil

dosis rendah (Anonim, 2001). Pil dosis tinggi adalah pil yang mengandung

50-150 mcg estrogendan 1-10 mg progesteron. Contohnya adalah lyndiol yang berisi

etinilestradiol 50 mcg dan linestrenol 2,5 mg. Pil dosis rendah adalah pil yang

mengandung 30-50 mcg estrogen dan kurang dari 1 mg progesteron. Contohnya

adalah Microgynon 30 yang berisi 1-Norgestrel 150 mcg dan etinil estradiol 0,03

mg (Rukanda, dkk,1993). Kombinasi pil kontrasepsi dikelompokkan menjadi

monophasic, biphasic, atau triphasic tergantung pada kadar hormon yang sama

sepanjang 3 minggu pertama siklus menstruasi. Tujuannya adalah untuk mencapai

pengaturan siklus menstruasi dengan menggunakan dosis estrogen dan progestin

yang lebih rendah, sebingga dapat mengurangi resiko adverse effects (DiPiro,

2005).

Pil mini dapat diberikan terus-menerus dalam siklus haid. Kelebihan pil

mini adalah dapat diberikan pada ibu menyusui (Anonim, 2001). Contoh pil jenis

ini adalah exluton yang berisi linestrenol 0,5 mg (Sujudi, Sampurno, Slamet,

(39)

a) Cara kerja

Pil KB harus diminum tiap hari agar efektif karena zat yang terkandung

di dalam pil KB dimetabolisir dalam 24 jam. Bila akseptor lupa minum 1 kali,

maka segera minum pil yang terlupa saat teringat, dan minumlah pil untuk hari itu

seperti biasanya (Hartanto, 2004).

Cara kerja pil KB adalah menekan ovulasi yang akan mencegah lepasnya

sel telur wanita dari indung telur, mengentalkan lendir mulut rahim sehingga sel

sperma tidak dapat masuk, menipiskan endometrium sehingga tidak siap untuk

implanasi (Anonim, 2001).

b) Efektivitas dan kontraindikasi

Secara teoritis efektivitas pil KB dapat mencapai 99,99%, akan tetapi hal

tersebut tergantung pada sikap disiplin pemakai. Keuntungan pil KB antara lain

reversibilitas tinggi, dapat mengurangi rasa nyeri pada waktu menstruasi,

mencegah anemia, mengurangi kemungkinan resiko pelvic infection (infeksi

panggul), dan untuk pil mini tidak mempengaruhi Air Susu Ibu (Rukanda,

dkk,1993).

Pemakaian pil KB dikontraindikasikan antara lain untuk wanita yang

sedang menyusui kecuali pil mini karena estrogen menghambat aksi prolaktin

pada reseptor jaringan payudara, menyebabkan penurunan produksi susu dan

kandungan protein (DiPiro, 2005), untuk yang pernah sakit jantung, yang

menderita tumor, kelainan jantung, hipertensi, migrain hebat, sedang memakai

obat rifampisin atau obat epilepsi dikarenakan mempunyai efek menurunkan

(40)

c) Efek samping pil KB

Efek samping yang ditimbulkan karena pemakaian pil KB ada dua

kelompok yaitu munculnya gejala pseudo-pregnancy yang disebabkan oleh

estrogen yang berlebihan seperti muntah, pusing, payudara membesar, udema,

berat badan bertambah, selain itu juga kerena progestin yang berlebihan seperti

nafsu makan yang bertambah besar, rasa lelah, depresi. Gejala lain yaitu

berhubungan dengan siklus haid seperti siklus lebih teratur, lamanya haid menjadi

lebih singkat, jumlah darah haid berkurang dan berkurangnya gejala sakit perut

saat menstruasi (Hartanto, 2004).

Tabel I. Kontrasepsi hormonal yang sering dipakai di Indonesia (Anonim, 2007)

Nama Kandungan Konsentrasi Tipe Microgynon ® Norgestrel

Etinil estradiol

Kontrasepsi suntik telah banyak digunakan sejak tahun 1960, terdapat dua

jenis kontrasepsi suntik berdaya kerja lama yaitu:

a) depo provera: mengandung depot medroxyprogesteron asetat (DMPA) dosis

(41)

b)noristerat: mengandung norethindron enanthate (NET-EN) dosis 200 mg tiap 8

minggu sekali (Hartanto, 2004).

(1)Cara kerja suntik KB

Cara kerja kontrasepsi suntik adalah mencegah pematangan dan

pelepasan sel telur dengan menekan produksi hormon FSH, mengentalkan lendir

mulut rahim sehingga sperma tidak dapat masuk ke dalam rahim, dan menipiskan

endometrium sehingga tidak terjadi nidasi (Anonim, 2001).

(2)Keuntungan dan kerugian kontrasepsi suntikan

Keuntungan pemakaian kontrasepsi suntik antara lain praktis, aman,

tidak mempengaruhi ASI, dapat menurunkan kemungkinan anemia (Mardiya,

1999). Keuntungan lainnya yaitu mengurangi resiko lupa karena

pemakaiannya jangka panjang (Suririnah, 2005). Kerugian kontrasepsi suntik

antara lain kembalinya kesuburan agak terlambat beberapa bulan, jika

mengalami efek samping suntikan tidak dapat ditarik kembali, tidak dapat

dihentikan sewaktu-waktu sebelum suntikan berikut (Anonim, 2001).

Penggunaan kontrasepsi suntik dikontraindikasikan untuk wanita

yang diduga hamil, menderita perdarahan ginekologi yang tidak diketahui

sebabnya, menderita tumor, menderita penyakit jantung, hati, hipertensi,

kencing manis (penyakit metabolisme). Menderita penyakit paru-paru berat

juga dikontraindikasikan pada penggunaan kontrasepsi suntikan (Rukanda

(42)

(3)Efek samping kontrasepsi suntik

Efek samping yang ditimbulkan pemakaian kontrasepsi suntikan

berupa pusing, sakit payudara, gangguan haid, penambahan berat badan, dan

jerawat. Peringatan dan interaksi obat seperti pada penggunaan estrogen dan

progestin (DiPiro, 2005).

3) Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau Intra Uterine Devices (IUD)

Intra Uterine Devices (IUD) adalah alat kontrasepsi yang

pemakaiannya dimasukkan ke dalam rahim, mempunyai bentuk yang

bermacam-macam dan terbuat dari plastik (polyethylene). Dalam

pemasarannya tersedia 3 tipe IUD yaitu IUD inert (dibuat dari plastik), IUD

yang mengandung tembaga, dan IUD yang mengandung hormon steroid

(Anonim, 2001).

Jenis IUD yang beredar adalah IUD generasi pertama yang dibuat dari

plastik (Lippes Loop) dapat dipakai selama yang diinginkan kecuali apabila

ada keluhan, IUD generasi kedua terbagi menjadi dua yaitu, mengandung

logam dan mengandung hormon. Untuk yang mengandung logam batangnya

dililiti tembaga (Cu T 200 B), atau dililiti campuran tembaga dan perak (Nova

T) dipakai selama 3-5 tahun. IUD yang mengandung hormon (progestasert)

dipakai selama 1 tahun (Hartanto, 2004).

a) Mekanisme kerja

Ada beberapa mekanisme kerja IUD yaitu:

(1)timbulnya reaksi radang lokal yang non spesifik di dalam cavum uteri

(43)

(2)produksi lokal prostaglandin yang meninggi, menyebabkan terhambatnya

implanasi.

(3)gangguan atau terlepasnya blastocyst yang telah berimplanasi di dalam

endometrium (Hartanto, 2004).

b) Keuntungan dan kerugian

Efektivitas IUD secara teoritis tinggi mencapai 98% (Notodihardjo,

2002). Keuntungan pemakaian IUD antara lain praktis, ekonomis, mudah

dikontrol, aman untuk jangka panjang, dapat dilepaskan setiap saat,

kembalinya kesuburan cukup tinggi, dapat dipakai untuk wanita yang sedang

menyusui dan ingin memakai kontrasepsi (Mardiya, 1999).

Kerugian pemakaian IUD yaitu memerlukan pemeriksaan dalam dan

penyaringan infeksi saluran genitalia sebelum pemasangan, klien tidak dapat

mencabut sendiri IUD, memerlukan prosedur pencegahan infeksi sewaktu

memasang dan mencabutnya, tidak dapat melindungi pemakai dari penularan

PMS (Anonim, 2001).

c) Kontraindikasi

Pemakaian IUD dikontraindikasikan antara lain untuk wanita hamil,

wanita yang mengalami gangguan perdarahan, wanita yang mengalami

peradangan alat kelamin, kecurigaan tumor ganas di alat kelamin (Rukanda

dkk, 1993). Wanita yang mempunyai rahim yang terlalu kecil, alergi terhadap

tembaga, menderita anemia berat, dan mengalami kesakitan waktu haid juga

(44)

d) Efek samping

Efek samping IUD adalah perdarahan dalam bentuk spotting,

keputihan, teraba terasa adanya benang IUD dalam liang senggama yang

menyebabkan rasa tak enak yang biasanya terjadi pada waktu haid (Rukanda

dkk, 1993), kram selama minggu-minggu pertama setelah pemasangan, nyeri,

infeksi, translokasi atau keluarnya IUD dari tempat seharusnya ( Suririnah,

2005).

4)AKBK (Alat Kontrasepsi Bawah Kulit)

Implan adalah kontrasepsi yang disusupkan dibawah kulit (Rukanda

dkk,1993). Terdapat dua macam implan yang beredar saat ini yaitu norplant

dan implanon:

a) Norplant merupakan implan berjangka waktu 5 tahun yang terdiri atas 6 batang

susuk yang mengandung hormon. Setiap batang Norplant mengandung 36 mg

levonogestrel.

b)Implanon mengandung 68 mg progestin 3-keto-desogestrel dan 66 mg Simpai

Kopolimer Etilen Vinilacetat (kopolimer EVA) berdaya kerja 2-3 tahun

(Hartanto, 2004).

(1)Cara kerja

Cara kerja implan dengan mekanisme menghambat terjadinya ovulasi,

menyebabkan endometrium tidak siap untuk nidasi, mempertebal lendir

(45)

(2)Keuntungan dan kerugian

Keuntungan pemakaian implan antara lain angka kegagalan 1-3%

(Anonim, 2001), praktis, efektif, masa pakai panjang (5 tahun), membantu

mencegah anemia, dan dapat untuk ibu yang tidak cocok dengan estrogen

(Rukanda dkk, 1993). Kerugian pemakaian implan antara lain membutuhkan

tindak pembedahan minor untuk inversi dan pencabutan sehingga hanya dapat

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, mahal, mengubah pola haid

(Anonim, 2001).

(3)Kontraindikasi

Implan dikontraindikasikan untuk wanita yang mengalami perdarahan

melalui vagina yang tidak diketahui sebabnya, wanita yang mempunyai

penyakit tromboemboli, penyakit hati akut, mempunyai tumor, penyakit

jantung, hipertensi, kencing manis (Hartanto, 2004).

(4)Efek samping

Efek samping pemakaian implan adalah gangguan haid (amenorrhoe,

spotting, methrorhagia), depresi, keputihan, jerawat, perubahan libido,

perubahan berat badan, nyeri pada daerah pemasangan akibat iritasi saraf

setempat, infeksi diakibatkan karena alat-alat yang digunakan tidak steril

(Mardiya, 1999).

b. Spermatisida

Spermatisida, sebagian besar berisi nonoxynol-9, adalah surfaktan kimia

yang menghancurkan dinding sel sperma dan memberikan perlindungan melawan

(46)

dan film. Spermatisida tambahan harus digunakan setiap kali intercourse atau

senggama diulangi (DiPiro, 2005).

Keuntungan spermatisida antara lain tidak memerlukan supervisi medik,

dapat mencegah penyakit kelamin, dan dapat digunakan sebagai pelicin,

efektivitas obat spermatisida cukup tinggi apabila digunakan kondom dan

diafragma. Efek samping spermatisida antara lain rasa panas dan nyeri akibat

reaksi alergi terhadap bahan kimia. (Rukanda dkk, 1993).

E. Penggunaan Kontrasepsi yang Rasional

Untuk mencapai tujuan pelayanan kontrasepsi, terdapat tiga fase

penggunaan yaitu:

1. Masa menunda kehamilan/kesuburan

Wanita dengan usia kurang 20 tahun, disarankan untuk menunda

kehamilan sampai usia 20 tahun (Rukanda dkk, 1993). Pertimbangannya

adalah bahwa wanita yang berumur kurang 20 tahun ditinjau dari segi fisik

alat reproduksinya masih lemah. Secara psikis jiwanya belum cukup dewasa

serta belum siap untuk hamil dan melahirkan (Mardiya, 1999).

Ciri-ciri kontrasepsi yang diperlukan pada fase ini harus memiliki

reversibilitas yang tinggi karena pada masa ini peserta masih ingin

mempunyai anak, dan efektivitasnya yang tinggi yang artinya tingkat

kegagalannya kecil (Rukanda dkk, 1993). Prioritas pertama kontrasepsi yang

disarankan adalah pil KB disusul dengan IUD kemudian metode sederhana

(47)

2. Masa mengatur kehamilan/kesuburan:

Pengaturan pada wanita usia 20-30/35 tahun, dengan mengatur

kehamilannya pada rentang kelahiran 3-4 tahun dengan jumlah anak 2 orang

saja karena jumlah ini yang ideal, baik ditinjau dari segi kesehatan, demografi,

sosial ekonomi maupun budaya. Jarak kelahiran antara 2 anak antara 3-4

tahun, karena dengan rentang waktu tersebut kondisi tubuh ibu (terutama alat

reproduksi) telah siap untuk hamil lagi (Mardiya, 1999).

Ciri-ciri kontrasepsi yang diperlukan pada fase ini yaitu kontrasepsi yang

mempunyai efektivitas cukup tinggi, reversibilitas cukup tinggi karena peserta

masih mengharapkan punya anak lagi, dapat dipakai 3-4 tahun sesuai dengan

jarak kehamilan yang direncanakan, tidak menghambat ASI karena pada fase ini

kemungkinan si ibu habis melahirkan dan sedang menyusui (Rukanda dkk, 1993).

Prioritas pertama kontrasepsi yang disarankan pada masa ini adalah IUD, disusul

pil atau suntikan, metode sederhana, implan (Rukanda dkk, 1993).

3. Masa mengakhiri kehamilan/kesuburan

Wanita dengan usia di atas 30 tahun terutama di atas 35 tahun harus

mengakhiri kehamilannya atau kesuburannya, sebab jika hamil berisiko tinggi

bagi jiwa si ibu maupun anak yang akan dilahirkannya, mengingat kondisi fisik si

ibu yang sudah tidak memungkinkan untuk melahirkan karena otot panggul sudah

tidak lentur dan elastis lagi, dan masih banyak alasan lainnya (Mardiya, 1999).

Ciri-ciri kontrasepsi yang diperlukan pada masa ini yaitu kontrasepsi

(48)

Prioritas pertama kontrasepsi yang disarankan pada masa ini adalah kontrasepsi

mantap, disusul implan, IUD (Rukanda dkk, 1993).

F. Perilaku

Perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat

sederhana maupun bersifat kompleks. Perilaku manusia adalah semua kegiatan

atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak

dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2002). Perilaku manusia merupakan

hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia yang terwujud dalam

bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar

maupun dari dalam dirinya (Sarwono, 1997).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang atau

organisme terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem

pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua

unsur pokok, yakni respon dan stimulus atau perangsangan (Notoatmodjo, 2002).

Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan

sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice), sedangkan

stimulus atau rangsangan di sini terdiri atas 4 unsur pokok, yakni sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan (Notoatmodjo, 2002).

Menurut Teori Parsons, perilaku merupakan tahapan lanjutan adanya

sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian (Sarwono, 1997).

Gambar 3. Skema teori Parsons (Sarwono, 1997)

Sistem Sosial Sistem Budaya Sistem

(49)

1. Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup di

dalam domain kognitif mempunyai 5 tingkatan, yakni:

a.Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali terhadap suatu yang spesifik atas seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima.

b.Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar.

c.Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata atau sebenarnya.

d.Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

(50)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi (Notoatmodjo, 2002).

2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup seseorang

terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau

aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu

masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah

laku terbuka (Azwar, 1995).

Mengikuti skema triadik, struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang

saling menunjang yaitu komponen kognitif (cognitive), komponen afektif

(affective), dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan

representasi yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen afektif

merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, dan komponen konatif

merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang

dimiliki oleh seseorang (Azwar, 2007).

3. Tindakan

Tindakan dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan. Terdapat dua

kondisi yang memacu tindakan untuk pemenuhan kebutuhan, yaitu intrinsic

motivation dan extrinsic motivation. Aspek dalam diri meliputi potensi,

kemampuan, ketrampilan,koordinasi motorik, pengalaman masa lalu, pelaksanaan

kerja dan motivasi. Aspek luar diri meliputi jabatan, pekerjaan, dan upah

(51)

sesuai teori Weber (Sarwono, 1997). Teori Weber dapat digambarkan dengan

skema:

Gambar 4. Skema teori Weber (Sarwono, 1997) G. Pendidikan

Pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor

18 tahun 2003, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pegendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat bangsa dan negara. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan

bahwa adanya pendidikan akan mempengaruhi kepribadian dan kecerdasan

seseorang dalam hubungannya dengan perilaku (Suyuti, 2005).

Dalam proses pendidikan ditanamkan mengenai konsep-konsep yang

dapat dipraktekkan pada situasi nyata serta sikap dan nilai yang sesuai dengan

konsep-konsep tersebut (Semiawan, 1986). Dengan demikian semakin lama masa

pendidikan, kemungkinan tertanamnya konsep-konsep yang dibentuk oleh

pendidikan semakin baik. Pendidikan juga dimaknai sebagai suatu proses

belajar-mengajar dalam bidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional, yang

dilaksanakan oleh lembaga pendidikan. Dengan demikian tingkat pendidikan Stimulus

Individu Pengalaman Persepsi Pemahaman Penafsiran

(52)

dapat dilihat dari aspek lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah (Anonim,

2004).

H. Landasan Teori

Maksud penggunaan kontrasepsi adalah mencegah terjadinya kehamilan

akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma. Salah satu masalah

yang muncul dalam penggunaan kontrasepsi adalah aspek kegagalan penggunaan

kontrasepsi sehingga menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan

kontrasepsi. Pengetahuan tentang KB merupakan salah satu aspek penting ke arah

pemahaman tentang berbagai cara kontrasepsi.

Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta

interaksi manusia yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.

Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang individu

terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Sarwono,

1997). Pendidikan adalah salah satu faktor penentu pada gaya hidup dan status

kehidupan seseorang dalam masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan yang dimiliki mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku

reproduksi dan penggunaan alat kontrasepsi. Berdasarkan SDKI 2002-2003

(Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia), pemakaian alat kontrasepsi

meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan.

Pentingnya tingkat pendidikan untuk melihat apakah cakupan informasi

yang didapatkan sesuai dengan perilaku akseptor KB. Hal ini yang mendorong

peneliti untuk melihat apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap

(53)

I. Hipotesis

Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku akseptor

KB yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan mengenai kontrasepsi di

(54)

34

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat non eksperimental analitik dengan rancangan

penelitian cross sectional yaitu untuk mengetahui bagaimana pola perilaku

akseptor KB tentang kontrasepsi serta mempelajari dinamika antara faktor-faktor

resiko dengan efek, dengan model pendekatan atau observasi sekaligus pada satu

saat yaitu tiap subyek hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan

terhadap status karakter pada saat pemeriksaan (Pratiknya, 2001).

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan responden.

b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah nilai pengetahuan, sikap, dan

tindakan responden (akseptor KB) yang didapat dari kuisioner.

2. Definisi operasional

a. Akseptor KB adalah pengguna 3 golongan kontrasepsi yaitu hormonal seperti

pil KB, suntik, dan implan; alami seperti kondom; dan Alat Kontrasepsi Dalam

Rahim (AKDR) seperti IUD; yang masih aktif dan merupakan pengunjung

tetap di Puskesmas Kabupaten Sleman.

b. Responden merupakan akseptor KB wanita yang sesuai dengan kriteria inklusi

di Puskesmas Sleman.

c. Karakteristik responden adalah usia responden, jumlah anak yang dimiliki,

(55)

digunakan, pernah atau tidak mengalami efek samping, pernah tidaknya

mengganti jenis kontrasepsi yang digunakan.

d. Tingkat pendidikan merupakan tingkatan tertinggi pendidikan yang ditempuh

oleh responden hingga tamat. Terbagi menjadi tingkat pendidikan tinggi

meliputi tamat SMA dan Perguruan Tinggi, dan tingkat pendidikan rendah

meliputi tamat SD dan SMP.

e. Perilaku adalah adalah aspek global yang tersusun ataspenilaian pengetahuan,

sikap, dan tindakan responden.

f. Pengetahuan adalah pemahaman akseptor KB di Puskesmas Kabupaten Sleman

tentang KB, jenis kontrasepsi, pemakaian kontrasepsi, efek samping

kontrasepsi, efektivitas kontrasepsi yang mereka yakini kebenarannya dari

berbagai sumber yang dinilai dengan kuisioner.

g. Sikap adalah respon evaluatif responden terhadap kontrasepsi yang mereka

yakini kebenarannya dari berbagai sumber yang dinilai dengan kuisioner

h. Tindakan adalah hal-hal yang dilakukan oleh responden dalam konteks

pemakaian dan pemilihan metode kontrasepsi yang dinilai dengan kuisioner.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai dengan

bulan Maret 2009. Pengambilan data dilakukan bulan Desember 2008 sampai

dengan bulan Februari 2009 di Puskesmas Kabupaten Sleman. Jumlah puskesmas

(56)

D. Instrumen Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang dalam prosesnya

memiliki dua pendekatan yakni kuantitatif dan kualitatif. Untuk pendekatan

kualitatif digunakan transkrip wawancara sebagai bahan melakukan wawancara.

Transkrip wawancara berisi daftar pertanyaan dan kolom isian jawaban

responden. Untuk pendekatan kuantitatif digunakan instrumen kuesioner.

Instrumen kuisioner terdiri atas 3 aspek utama yakni pengetahuan, sikap, dan

tindakan. Kuisioner yang digunakan awalnya memuat 38 pernyataan yang dibagi

menjadi 20 untuk penilaian aspek pengetahuan, 8 untuk penilaian aspek sikap, dan

10 pernyataan untuk penilaian aspek tindakan. Namun setelah dilakukan validasi

maka pernyataan kuisioner yang disebarkan akhirnya berjumlah 29 buah dengan

13 untuk penilaian aspek pengetahuan, 7 untuk penilaian aspek sikap, dan 9

pernyataan untuk penilaian aspek tindakan. Pernyataan dibuat atas dasar

kebutuhan dan luasnya cakupan aspek yang akan dinilai, sehingga jumlahnya

menjadi berbeda-beda.

E. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah ibu-ibu peserta akseptor KB yang memenuhi

kriteria inklusi yang datang ke Puskesmas di Kabupaten Sleman. Kriteria inklusi

subyek meliputi :

1. Ibu-ibu akseptor KB, usia 20-49 tahun.

2. Sudah menggunakan kontrasepsi 1 tahun atau lebih setelah melahirkan.

(57)

4. Merupakan pengunjung tetap yang sedang melakukan pemeriksaan KB di

Puskesmas Kabupaten Sleman.

F. Tata Cara Penelitian 1. Penentuan lokasi penelitian

Penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku

akseptor KB tentang kontrasepsi ini dilakukan di Puskesmas Kabupaten Sleman.

Penentuan lokasi dilakukan dengan metode simple random sampling yaitu

menentukan secara random 30 puskesmas yang tersebar di 17 kecamatan.

Besar populasi puskesmas yang ada di Kabupaten Sleman sebanyak 30

buah, sehingga dikategorikan sebagai populasi besar (Spiegel, 1998). Sevilla

(1993), mengemukakan bahwa jumlah sampel untuk populasi besar adalah 10%

total populasi, sehingga sampel puskesmas yang digunakan untuk penelitian ini

adalah 3 puskesmas yang berada di Kabupaten Sleman. Penentuan 3 puskesmas

ini dilakukan dengan menggunakan tabel random. Adapun 3 puskesmas yang

terpilih dengan menggunakan tabel random adalah :

a. Puskesmas Mlati I

b. Puskesmas Depok II

c. Puskesmas Ngaglik I

2. Pengurusan izin penelitian

Pengurusan izin penelitian dilakukan ke BAPPEDA di Kabupaten

Sleman. Izin penelitian BAPPEDA diteruskan ke Dinas Kesehatan Kabupaten

Sleman. Izin yang didapat dilanjutkan ke-3 puskesmas terpilih di Kabupaten

(58)

3. Sampling frame

Sampling frame atau kerangka sampel merupakan proses pendataan awal

di setiap lokasi penelitian. Dalam pelaksanaan sampling frame dilakukan

pendataan rata-rata jumlah akseptor KB yang datang pada 3 Puskesmas

Kabupaten Sleman. Hasil sampling frame kemudian digunakan sebagai dasar

proporsi subyek yang akan diambil dari tiap-tiap puskesmas tersebut.

4. Penetapan besar sampel

Perhitungan besar sampel subyek uji dilakukan berdasarkan data total

jumlah akseptor KB di wilayah Kabupaten Sleman menggunakan rumus dengan

taraf kepercayaan 95 %.

(

N

)

Z xpxq

N = jumlah unit populasi (113.296 akseptor KB di Kabupaten Sleman) d = penyimpangan yang ditolerir (10%)

Perhitungan :

Jumlah sampel sebanyak 96 subyek ini ditambahkan akhirnya menjadi

(59)

kesalahan-kesalahan dalam pengisian kuisioner seperti tidak lengkapnya jawaban responden

yang dapat berakibat pada adanya kekurangan data yang didapat oleh peneliti.

Berdasarkan analisis situasi yang kami lakukan, didapatkan data bahwa

dari 3 puskesmas di atas, rata-rata jumlah pengunjung tetap akseptor KB terdiri

atas:

a. Puskesmas Mlati I = 70 orang.

b. Puskesmas Depok II = 100 orang.

c. Puskesmas Ngaglik I = 50 orang.

Langkah selanjutnya, untuk mengetahui jumlah subyek masing-masing

puskesmas, dilakukan perhitungan secara proporsional menggunakan rumus

berikut :

Berdasarkan perhitungan, jumlah subyek yang diambil tiap puskesmas :

a) Puskesmas Mlati I

= 31,81

= 32 subyek

b) Puskesmas Depok II

= 45,45

(60)

c) Puskesmas Ngaglik I

= 22,72

= 23 subyek

5. Pembuatan transkrip kuisioner dan wawancara

Kuisioner dibagi menjadi 3 bagian utama yakni pengetahuan, sikap, dan

tindakan. Setiap bagian terdiri atas pernyataan-pernyataan yang terkait fokus

utama bagian tersebut. Pilihan jawaban dibagi menjadi empat kategori yakni

Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Pernyataan pada kuisioner ini terdiri atas dua sifat, yaitu: favourable dan

unfavourable. Hal ini bertujuan untuk menghindari stereotype jawaban. Suatu

pernyataan sikap dapat berisi hal-hal positif mengenai obyek sikap yaitu berisi

pernyataan yang mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini

disebut favourable. Sebaliknya pernyataan sikap dapat berisi hal-hal negatif

mengenai obyek sikap. Hal negatif dalam pernyataan sikap ini bersifat tidak

memihak atau tidak mendukung terhadap obyek sikap, dan karenanya disebut

dengan pernyataan unfavourable.

Pemberian skor pada kuisioner berdasarkan pada penilaian dalam skala

Likert. Penilaian pada itemfavourable dalam skala ini dimulai dari empat sampai

dengan satu, sebaliknya untuk itemunfavourable dimulai dari angka satu sampai

(61)

Tabel II. Skor berdasarkan kategori jawaban

Jawaban Favourable Unfavourable

Sangat Setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak Setuju 2 3 Sangat Tidak Setuju 1 4

Transkrip wawancara dibuat berdasarkan dua aspek yakni kejadian efek

samping dan pernah tidaknya mengganti jenis kontrasepsi. Pernyataan dibuat

berdasarkan kebutuhan pola perilaku yang diharapkan ingin diketahui (Azwar,

1995).

6. Pengujian reliabilitas dan validitas kuisioner

Uji reliabilitas dilakukan dengan menyebarkan kuisioner pada 30

responden seperti kriteria inklusi dengan daerah yang sama dalam penelitian ini,

namun tidak dilakukan dalam lokasi penelitian. Penyebaran dilakukan kepada 30

responden seperti yang terdapat pada contoh-contoh uji validitas dan reliabilitas di

buku-buku statistik. Pengujian reliabilitas berkaitan dengan masalah adanya

kepercayaan terhadap instrumen penelitian. Suatu instrumen dapat memiliki

tingkat kepercayaan yang tinggi jika hasil pengujian instrumen tersebut

menunjukkan hasil yang tetap. Dengan demikian, masalah reliabilitas instrumen

berhubungan dengan masalah ketetapan hasil atau kalaupun terjadi perubahan

hasil instrumen, perubahannya dianggap tidak berarti.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (r) yang angkanya

berada dalam rentang 0 - 1. Semakin tingggi nilai koefisian reliabilitas atau

(62)

penelitian ini diukur dengan menggunakan program statistik komputer dengan

analisis reliabilitas yang menggunakan koefisien alpha cronbach (Azwar, 2006).

Dalam penelitian ini uji reliabilitas dapat dilakukan secara bersama-sama

terhadap seluruh pertanyaan. Jika nilai Alpha > 0,60 maka reliabel (Mario, 2006).

Pada penelitian didapatkan nilai alpha cronbach sebesar 0,872 yang berarti

penelitian memiliki realibilitas yang tinggi.

Uji validitas digunakan untuk mengetahui kelayakan butir-butir dalam

suatu daftar pernyataan dalam mendefinisikan suatu variabel (Mario, 2006).

Validitas ditentukan oleh ketepatan dan kecermatan hasil pengukuran. Tipe

validitas pada umumnya digolongkan dalam 3 kategori, yaitu content validity

(validitas isi), construct validity (validitas konstruk), dan validitas eksternal.

Pengujian validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah validitas isi.

Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes

dengan analisis rasional. Analisis item dilakukan dengan menghitung korelasi

antara skor butir instrumen dengan skor total. Sebuah pernyataan dikatakan valid

jika sebuah item pernyataan terdapat skor kesejajaran (korelasi yang tinggi)

terhadap skor total item dengan kata lain mempunyai dukungan yang kuat

terhadap skor total (Sugiyono, 2006).

Uji validitas setiap butir pernyataan dalam kuisioner pada penelitian ini

diukur dengan menggunakan program statistik komputer. Analisis ini

menunjukkan validitas hubungan antar butir pernyataan. Setiap butir pernyataan

dinyatakan valid jika koefisien korelasi (r) bernilai positif dan atau ≥ 0,3(Azwar,

Gambar

Tabel I. Kontrasepsi hormonal yang sering dipakai di Indonesia………..
Gambar 14. Persentase alasan penggantian kontrasepsi oleh akseptor KB
Gambar 1. Anatomi alat reproduksi wanita (Anonim, 2003)
Gambar 2. Metode  Billings (Billings, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perguruan Tinggi Pengawasan Renovasi Gedung Fakultas Pertanian 1 Paket Rp. Peningkatan

Perusahaan atau importir yang melanggar pasal 9 atau pasal 15 peraturan ini, atau makanan yang diproduksi atau diedarkan ternyata kemudian membahayakan atau mengganggu

Konsumen memiliki kesan yang baik terhadap mutu produk furniture Ibu Sianin Jelaskan dan berikan contoh:. Produk furnitur Ibu Sianin memiliki perbedaan dengan

Hal ini karena pada waktu interaksi yang sama jumlah partikel antara 100 ppm lebih sedikit daripada 400 ppm sehingga dengan kapasitas adsorpsi adsorben yang

Pada tabel 3.33 dan 3.40 akan menggambarkan mengenai hambatan waktu yang ditemui oleh lansia Kota Surabaya pada saat memenuhi kebutuhan informasinya, yang berisi

Buku Putih Utilisasi Reaktor Riset BATAN 22 Fasilitas iradiasi yang ada di dalam teras reaktor Irradition Position (IP).. dapat digunakan untuk memproduksi

Siklus regeneratif menggunakan uap yang diekstraksi dari turbin untuk memanaskan fluida kerja pada tingkat keadaan cair jenuh yang dipompakan menuju boiler,

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PERBEDAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERBASIS POTENSI LOKAL DAN MODEL KONVENSIONAL TERHADAP MISKONSEPSI PADA MATERI