9 2.1 Perusahaan Perbankan
2.1.1.1 Definisi Bank
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1992 (dalam Maharani, 2009, hal. 8) tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undag-Undang No. 10 tahun 1998 pasal 1 nomor 2 adalah sebagai berikut:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Sedangkan pengertian bank dalam Standar Akuntansi Keuangan nomor 31 adalah:
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan antar pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang menghimpun dan menyalurkan dana ke masyarakat.
2.1.2 Jenis-jenis Bank
Menurut Widjanarto (2003, dalam Maharani, 2009, hal. 9), jenis-jenis bank dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis bank menurut fungsinya
a. Bank Central, merupakan Bank Indonesia
b. Bank Umum, merupakan bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional ataupun berdasarkan prinsip syariah (UU Perbankan tahun 1998 pasal 1 ayat 3).
c. Bank Perkreditan Rakyat, merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional ataupun prinsip syariah namun
tidak memberikan jasa pembayaran (UU Perbankan tahun 1998 pasal 1 ayat 4).
d. Bank Umum merupakan bank yang menjalankan kegiatan tertentu berdasarkan ketentuan UU Perbankan tahun 1992 pasal 5 ayat 2. 2. Jenis bank menurut kepemilikannya
a. Bank Umum Milik Negara, merupakan bank yang didirikan berdasarkan Undang-Undang.
b. Bank Umum Swasta, merupakan bank yang menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan Bank Indonesia.
c. Bank campuran, merupakan bank yang didirikan oleh bank umum Indonesia dengan bank yang berkedudukan di luar negeri.
2.2 Impression Management
2.2.1 Definisi Impression Management
Impression management melibatkan upaya untuk membangun makna atau tujuan dari interaksi sosial, memandu tindakan dan membantu kita mengantisipasi apa yang diharapkan dari orang lain. Orang-orang merupakan pemain yang memainkan banyak peran yang berbeda untuk membangun identitas sosial mereka. Ketika identitas sosial ini melibatkan informasi yang berhubungan dengan diri, istilah self-presentation kadang-kadang juga digunakan (Aaina, Che Su & Mohd. Taib, 2013). Menurut Leary dan Kowalski (1990 dalam Aaina, Che Su & Mohd. Taib, 2013), impression management yang disebut juga self- prensentation, mengacu pada proses dimana individu mencoba untuk mengontrol kesan orang lain terhadap diri mereka. Hal ini dikarenakan kesan yang diciptakan seseorang terhadap orang lain memiliki implikasi tentang bagaimana orang lain memandang, mengevaluasi dan memperlakukan mereka serta untuk membuat pandangan tentang diri mereka sendiri, terkadang individu berperilaku dengan cara yang akan membuat kesan tertentu di mata orang lain. Sementara, Schlenker (1980 dalam Aaina, Che Su & Mohd. Taib, 2013) mendefinisikan impression management sebagai upaya untuk mengontrol gambaran yang diproyeksikan dalam interaksi sosial yang nyata atau dibayangkan. Robbins (2003) menjelaskan bahwa impression management
merupakan proses yang ditempuh organisasi untuk mengendalikan kesan orang lain terhadap mereka. Menurut Newman (2009), impression management adalah tindakan menyajikan citra publik sehingga orang lain akan membentuk penilaian positif. Terrel dan Kwok (2011) mendefiniskan impression management sebagai studi tentang bagaimana organisasi berusaha untuk mengelola atau mengontrol persepsi orang lain yang membentuk mereka. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa impression management merupakan proses yang ditempuh organisasi dalam mengelola kesan orang lain terhadap mereka sehingga membentuk penilaian positif.
2.2.2 Pendekatan Dramaturgical dalam Impression Management
Konsep impression management menurut Goffman (dalam Yuarta, 2008), mengatakan bahwa setiap orang dalam berinteraksi, mereka akan bertindak seperti mereka berada di sebuah “panggung”. Seseorang akan bertindak dalam lingkungan sosial layaknya mereka dalam sebuah drama. Mereka diberi peran dan akan menampilkan diri dengan cara yang ingin mereka sampaikan kepada orang lain. Orang-orang akan berinteraksi dengan cara tertentu untuk meninggalkan kesan. Peran sosial mirip dengan peran yang diberikan dalam teater, di mana seorang individu akan memproyeksikan gambar dari diri mereka sendiri kepada orang lain. Goffman juga melihat adanya perbedaan akting saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton, dan individu sedang berada dalam bagian pertunjukkan. Saat itu individu berusaha untuk memainkan peran sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilakunya. Dalam front stage, individu dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama berhasil. Sedangkan back stage merupakan keadaan dimana seorang individu berada di belakang panggung, dengan kondisi tidak ada penonton, sehingga ia dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku yang harus ditampilkannya. Misalnya seorang front liner bank seperti teller, senantiasa berpakaian rapi, menyambut nasabah dengan ramah, murah senyum, santun serta bersikap formil supaya meninggalkan kesan baik di mata nasabah. Sedangkan
saat waktu istirahat, seorang front liner dapat bersikap santai, bersenda gurau atau bersikap tidak formal.
2.2.3 Taktik Impression Management
Menurut Jones dan Pittman (1990 dalam Mohamed, Gardner, & Paolillo, 1999), ada lima taktik impression management:
a. Self Promotion, perilaku organisasi yang menampilkan kompetensi, keefektifan, dan kesuksesan organisasi. Strategi ini dapat digunakan ketika organisasi berusaha untuk menciptakan atau mempertahankan atribusi kompetensi. Di sini, kompetensi didefinisikan sebagai tingkat keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tugas-tugas tertentu. b. Ingratiation, perilaku yang digunakan oleh pelaku organisasi untuk
membuat organisasi tampil lebih menarik di mata publik seperti berbagi informasi, bertindak sebagai mitra, bersikap baik, senyum, menyenangkan orang lain, dan jujur.
c. Exemplification, perilaku yang digunakan oleh organisasi untuk memberikan gambaran integritas, tanggung jawab sosial, dan kelayakan moral dengan tujuan untuk menjadi teladan bagi orang lain. Organisasi dapat melakukan kegiatan seperti filantropi umum, pelayanan publik, dan perbaikan masyarakat.
d. Supplication, perilaku organisasi yang menggambarkan suatu ketergantungan dan kerentanan untuk tujuan meminta bantuan dari orang lain.
e. Intimidation, organisasi mencoba terlihat kuat dan menakutkan. Taktik ini digunakan untuk menyampaikan kesan kekuasaan dan ketegasan organisasi.
2.2.4 Tujuan Impression Management
Leary & Kowalski (1990 dalam Merkl-Davies & Brennan, 2007) menyebutkan ada tiga motivasi utama bagi para pelaku organisasi untuk terlibat dalam impression management. Pertama, organisasi akan terlibat dalam perilaku oportunistik dengan memaksimalkan keuntungan yang diharapkan dan
meminimalkan hukuman. Organisasi dapat terlibat dalam impression management untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Kedua, Leary & Kowalski (1990 dalam Merkl-Davies & Brennan, 2007) menyatakan bahwa organisasi berusaha untuk memastikan bahwa citra publik mereka konsisten dengan peran sosial mereka. Ketiga, kegagalan publik atau rasa malu dapat menyebabkan organisasi terlibat dalam impression management untuk memperbaiki citra mereka yang rusak.
2.3 Kebanggaan terhadap organisasi
2.3.1 Definisi Kebanggaan terhadap organisasi
Kebanggaan terhadap organisasi mengacu pada pengalaman
menyenangkan dan self respect yang muncul dari anggota organisasi (Jones, 2010 dalam Olson, Bryan, dan Thompson, 2013). Menurut Pryce (2011, hal.1), “pride is a psychological feeling and an excessively high opinion employees having about their job and organization”. Ini merupakan kombinasi dari kesenangan, perasaan positif, harga diri, kehangatan personal, dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai di dalamnya. Menurut beberapa studi yang didasarkan pada penelitian psikologis, kebanggaan ditandai sebagai hal positif, terkait kinerja emosi. Hal tersebut dipicu oleh peristiwa tertentu seperti keberhasilan yang dirasakan dari perbuatan pribadi (Decrop & Derbaix, 2009; Grandey et al , 2002; Lea dan Webley, 1997; Tracy & Robins, 2007). Alexander Haslam (2004) mengemukakan bahwa kebanggaan terhadap organisasi merujuk pada perasaan positif seorang individu terhadap kelompoknya yang bersumber dari penilaian orang lain terhdap status kelompok tersebut. Sementara itu menurut Mischkin (1998), kebanggaan terhadap organisasi nerupakan perasaan bangga yang individu rasakan sebagai hasil pengidentifikasian diri dengan organisasi yang memiliki reputasi dan rekam jejak yang bagus dimana individu tersebut terlibat. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebanggaan terhadap organisasi merupakan perasaan positif mengenai pekerjaan dan organisasi.
2.3.2 Aspek-aspek Kebanggaan Terhadap Organisasi 2.3.2.1 Emotional Organizational Pride
Karyawan dapat memunculkan emosi kebanggaan yang dipicu oleh peristiwa seperti pencapaian kesuksesan organisasi yang bukan merupakan kontribusi mereka sendiri. Kebanggaan adalah salah satu emosi yang paling kuat (Katzenbach, 2003b dalam Gouthier & Rhein, 2011) dan merupakan pengalaman mental (Fisher & Ashkanasy, 2000 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Biasanya, objek stimulus tertentu atau peristiwa tertentu menyebabkan munculnya rasa bangga (Basch & Fisher, 2000 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Menurut prinsip atribusi eksternal, karyawan bisa bangga dengan prestasi rekan-rekan mereka, kelompok kerja mereka, atau perusahaan pada umumnya dan, dengan demikian, mengembangkan emotional organizational pride. Oleh karena itu, pencapaian/prestasi yang pernah diraih perusahaan, dapat memunculkan rasa bangga karyawan. Pemicu awal yang memunculkan emotional orgaizational pride adalah perbandingan kognitif antara prestasi aktual perusahaan dan harapan asli karyawan tentang bagaimana tugas organisasi dipenuhi oleh perusahaan (Eccles & Wigfield, 2002 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Jika karyawan menganggap perbuatan ini sebagai suatu keberhasilan, emotional organizational pride dapat muncul. Emotional organizational pride, seperti semua emosi, mempengaruhi sikap dan perilaku yang dihasilkan karyawan (Elfenbein , 2007 dalam Gouthier & Rhein, 2011).
2.3.2.2 Attitudinal Organizational Pride
Penelitian dan praktek organisasi secara umum melihat kebanggaan terhadap organisasi bukan sebagai emosi tetapi sebagai konstruksi yang didasarkan pada keanggotaan karyawan dalam kelompok (Arnett et al., 2002 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Sikap merupakan kecenderungan psikologis yang dihasilkan dari evaluasi – dengan beberapa derajat suka atau tidak suka- dari sebuah objek atau orang (Eagly, & Chaiken, 1998, dalam Gouthier & Rhein, 2011). Berdasarkan teori sikap, organisasi merupakan objek sikap yang potensial (Ajzan, 2005 dalam Gouthier & Rhein, 2011).
Dalam kasus attitudinal organizational pride, individu memiliki derajat rasa suka yang tinggi terhadap perusahaan. Sikap biasanya merupakan hasil dari pengalaman, mereka dipelajari dan - dibandingkan dengan emosi belaka - cukup bertahan dalam jangka panjang (Fairfield dan Wagner, 2004 dalam Gouthier & Rhein, 2011).
2.3.2.3 Commitment to Customer Service
Menurut teori Broaden-and-Built, emosi positif seperti emotional organizational pride memperluas thought-action repertoir karyawan, yang mendorong mereka untuk mempertimbangkan jangkauan yang lebih luas dari pemikiran dan tindakan mereka (Fredrickson, 2001 dalam Gouthier & Rhein, 2011) yang khas. Emotional organizational pride berkontribusi terhadap keterbukaan pikiran karyawan mengenai informasi baru dan, dengan demikian, menyebabkan konsolidasi pengetahuan (Fredrickson, 1998 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Emosi kebanggaan, menyebabkan upaya karyawan untuk menawarkan kualitas pelayanan yang tinggi terhadap pelanggan (Arnett et al., 2002 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Oleh karena itu, rasa bangga menunjukkan peningkatan komitmen dalam hal pelayanan terhadap pelanggan, yang merupakan kecenderungan dari seorang karyawan untuk mengerahkan usaha pada pekerjaan untuk kepentingan pelanggan (Peccei & Rosenthal, 1997 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Karyawan yang berkomitmen untuk pelanggan mereka berjuang untuk melakukan pelayanan berkualitas tinggi sebagai tujuan pekerjaan yang penting. Dari perspektif afektif, komitmen untuk customer service melihat bahwa karyawan meningkatkan dan membuat upaya karena mereka memandang bahwa melayani pelanggan menjadi pengalaman yang memuaskan (Peccei & Rosenthal, 1997 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Akibatnya, konsep komitmen untuk customer service merupakan konstruk utama yang menarik bagi perusahaan jasa untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan, dengan demikian, menstabilkan hubungan jangka panjang dengan pelanggan.
2.3.2.4 Creativity
Pelayanan biasanya ditandai dengan interaksi yang intensif antara pegawai frontline dengan pelanggan. Pelayanan yang dilakukan pegawai menyediakan insight terhadap harapan, kebutuhan, dan masalah para pelanggan. Dalam melayani pelanggan, pegawai akan mengalami tantangan dan masalah baru (deBrentani, 2001 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Dengan menghadapi tantangan, mereka akan menemukan cara baru untuk melewati hambatan yang ada. Konseptualisasi ide-ide baru merujuk kepada konstruk kreativitas yaitu kemampuan untuk menghasilkan ide. Di tingkat individu, kreativitas meningkatkan perilaku problem solving dalam suatu pekerjaan (Sternberg, 1999 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Emosi positif menyebabkan individu untuk mengasimilasi informasi lebih mudah dan mengarahkan pada sejumlah alternatif yang bervariasi. Akibatnya, emotional organizational pride memiliki potensi untuk merangsang kreativitas (Fredrickson, 2001 dalam Gouthier & Rhein, 2011).
2.3.2.5 Turnover Intention
Turnover pada karyawan adalah bentuk paling radikal karena berakhirnya hubungan karyawan dengan organisasi, sering mengeluarkan biaya (Walsh et al., 1985 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Bagi perusahaan, pengeluaran biaya tersebut berasal dari perekrutan personil baru dan on the job training (Mukherjee & Malhotra, 2006 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Situasi yang dihasilkan dari kekurangan karyawan menyebabkan stress pada karyawan yang masih tersisa (Hacker, 2003 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Dalam hubungannya dengan pelanggan, fluktuasi karyawan secara negatif mempengaruhi kualitas pelayanan dan retensi pelanggan sehingga berpengaruh pada profitabilitas perusahaan (Bendapudi & Leone, 2002; Schlesinger dan Heskett, 1991 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Bagi karyawan, turnover sering menyertakan konsekuensi ekstrim seperti ketidakpastian tentang masa depan atau perubahan tempat tinggal. Implikasi ekstrim terkait perubahan pekerjaan, niat karyawan untuk meninggalkan
organisasi dapat digambarkan sebagai keputusan kognitif (Fisher, 2002 dalam Gouthier & Rhein, 2011).
2.4 Manfaat dari Kebanggaan Terhadap Organisasi
Menurut Tracy, Shariff, dan Cheng (2010) ada beberapa keuntungan yang dapat dihasilkan dari rasa bangga:
a. Pengalaman merasakan kebanggaan memotivasi seseorang untuk melakukan suatu pencapaian, rasa bangga juga merupakan perasaan yang menyenangkan dan dapat membuat seseorang merasa senang dengan dirinya sendiri.
b. Pegawai yang dimanipulasi untuk merasakan kebanggaan sebagai hasil dari keberhasilan dalam mengerjakan tugas juga akan menjadi lebih gigih dalam mengerjakan tugas berikutnya yang serupa dengan tugas sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pengalaman merasakan kebanggaan secara langsung meningkatkan hasrat dan keinginan untuk mencapai sesuatu (Williams & DeSteno, 2008, dalam Tracy, Shariff, & Cheng, 2010).
c. Semakin besar rasa bangga pegawai, semakin besar pula motivasi pegawai tersebut dalam menyelesaikan tugas yang sulit.
Sedangkan menurut penelitian Gouthier dan Rhein (2011) rasa bangga akan organisasi (organizational pride) memiliki efek positif terhadap komitmen pegawai dalam bekerja, kreativitas pegawai, dan selain itu rasa bangga akan organisasi juga berarti menghadirkan konstruk yang penting yang berkontribusi terhadap daya saing organisasi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui emosi pegawai terhadap organisasi dimana ia bekerja terutama rasa bangga yang dimilikinya terhadap organisasi tersebut.
2.5 Pegawai
2.5.1 Definisi Pegawai
Menurut Undang-Undang Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja dalam pasal 1 dikatakan bahwa pegawai adalah tenaga kerja yang melakukan pekerjaan dan memberikan hasil karyanya kepada
pengusaha yang mempekerjakan mereka, dimana hasil karyanya itu sesuai dengan profesi atau pekerjaan atas dasar keahlian sebagai mata pencariannya. Senada dengan hal tersebut menurut Undang-Undang No.14 Tahun 1969 tentang Pokok Tenaga Kerja, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Manullang, 2002, hal. 3).
2.5.2 Frontliner
Frontliner merupakan barisan depan yang paling pertama dilihat oleh pelanggan dan menciptakan kesan pertama (first impression) dalam perusahaan. Mereka inilah yang nantinya akan membentuk citra perusahaan. Mereka harus mampu menserasikan antara apa yang diharapkan dan diwujudkan, mempertemukan kepentingan bersama organisasi atau perusahaan dengan para pelanggannya. Dengan keharmonisan tersebut, akan menciptakan pula iklim yang terus-menerus positif dalam pengertian kreatif, produktif, dan progresif antara kedua belah pihak (Baker, 1999 dalam Ardilla, 2013, hal.4).
2.6 Kerangka Berpikir
Adanya persaingan yang semakin ketat, menuntut bank-bank di Indonesia untuk meningkatkan pelayanan nasabah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Banyak cara yang dapat dilakukan bank dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah, salah satunya dengan memberikan kesan/citra yang baik dalam hal produk maupun pelayanan kepada nasabah. Citra menggambarkan pengalaman dan harapan konsumen atas kualitas pelayanan perusahaan. Citra perusahaan yang positif dapat memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk berkomunikasi dan mencapai tujuan secara efektif. Hal yang dapat dilakukan perusahaan dalam menciptakan, meningkatkan dan memelihara citra positif di mata publik, adalah dengan melakukan impression management. Organisasi mempraktikkan impression management dengan menciptakan opini yang lebih positif di antara masyarakat, klien, pelanggan, konsumen atau pasien mereka (Ivancevich, dkk, 2005).
Menurut Jones dan Pittman (1990), ada lima taktik dalam impression management dalam Mohamed, Gardner, & Paolillo, 1999) yaitu ingratiation, self
promotion, exemplification, supplication dan intimidation. Ingratiation, merupakan perilaku yang digunakan oleh pelaku organisasi untuk membuat organisasi tampil lebih menarik di mata publik seperti berbagi informasi, bertindak sebagai mitra, bersikap baik, senyum, menyenangkan orang lain, dan jujur. Taktik yang kedua adalah self promotion, perilaku organisasi yang menampilkan kompetensi, keefektifan, dan kesuksesan organisasi. Strategi ini dapat digunakan ketika organisasi berusaha untuk menciptakan atau mempertahankan atribusi kompetensi. Selanjutnya adalah exemplification, perilaku yang digunakan oleh organisasi untuk memberikan gambaran integritas, tanggung jawab sosial, dan kelayakan moral dengan tujuan untuk menjadi teladan bagi orang lain. Kemudian supplication, yaitu perilaku organisasi yang menggambarkan suatu ketergantungan dan kerentanan untuk tujuan meminta bantuan dari orang lain. Individu menekankan ketergantungan dan kelemahan sendiri untuk mendapatkan bantuan dari orang lain yang lebih mampu. Taktik yang terakhir adalah intimidation, organisasi mencoba terlihat kuat dan menakutkan. Taktik ini digunakan untuk menyampaikan kesan kekuasaan dan ketegasan organisasi.
Organisasi menggunakan taktik impression management untuk mengelola citra organisasi dan menumbuhkan citra positif di luar lingkup organisasi (Terrel & Kwok, 2011). Salah satu manfaat citra positif perusahaan adalah meningkatkan kebanggaan karyawan terhadap organisasi (Philip Kotler & Howard Barich, 1991). Kebanggaan terhadap organisasi adalah perekat yang membuat karyawan berkomitmen untuk organisasi mereka. Rasa bangga (pride) merupakan salah satu emosi penting yang cukup berperan dalam fungsi psikologis. Lebih tepatnya, rasa bangga dapat meningkatkan perilaku prososial seperti altruism dan perilaku adaptif seperti prestasi (Hart & Matsuba, in press; Weiner, 1985, dalam Tracy & Robins, 2007). Rasa bangga pada karyawan juga secara positif mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap bekerja di suatu perusahaan, meningkatkan pelayanan dan mengurangi keinginan untuk keluar dari perusahaan (Appleberg, 2005, dalam Gouthier & Rhein, 2011).
Kebanggaan terhadap organisasi merupakan perasaan positif karyawan mengenai pekerjaan dan organisasi. Aspek-aspek kebanggaan terhadap organisasi
adalah sebagai berikut: emotional organizational pride, attitudinal orgaizational pride, commitment to customer service, creativity, dan turnover intention. Emotional organizational pride adalah pengalaman merasakan pencapaian organisasi, karyawan bisa bangga dengan prestasi rekan-rekan mereka, kelompok kerja mereka, atau perusahaan pada umumnya dan, dengan demikian,
mengembangkan emotional organizational pride. Oleh karena itu,
pencapaian/prestasi yang pernah diraih perusahaan, dapat memunculkan rasa bangga karyawan. Attitudiunal organizational pride adalah kebutuhan afiliasi karyawan terhadap organisasi, dalam hal ini kebanggaan terhadap organisasi bukan hanya dilihat sebagai emosi tetapi sebagai konstruksi yang didasarkan pada keanggotaan karyawan dalam kelompok (Arnett et al., 2002 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Commitment to customer service adalah pelayanan kualitas tinggi terhadap pelanggan. Rasa bangga pada karyawan menunjukkan peningkatan komitmen dalam hal pelayanan terhadap pelanggan, yang merupakan kecenderungan dari seorang karyawan untuk mengerahkan usaha pada pekerjaan untuk kepentingan pelanggan (Peccei & Rosenthal, 1997 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Creativity adalah kemampuan karyawan untuk menghasilkan ide yang diukur, emosi yang positif menyebabkan individu untuk mengasimilasi informasi lebih mudah dan mengarahkan pada sejumlah alternatif yang bervariasi. Akibatnya, emotional organizational pride memiliki potensi untuk merangsang kreativitas (Fredrickson, 2001 dalam Gouthier & Rhein, 2011). Turnover intention adalah keinginan karyawan untuk berhenti dari perusahaan. Jika karyawan memiliki rasa bangga, ia akan menetap pada suatu perusahaan.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Impression management Kebanggaan terhadap organisasi Citra Positif