• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. gunungan sampahnya di TPST Bantargebang yang selalu bertambah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. gunungan sampahnya di TPST Bantargebang yang selalu bertambah"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan sampah sampai saat ini merupakan persoalan pelik yang menghinggapi kota-kota di Indonesia seperti Jakarta dengan permasalahan gunungan sampahnya di TPST Bantargebang yang selalu bertambah 6000-7000 ton/hari, Kota Bandung dengan masalah pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti yang harus menggelontorkan biaya mencapai 8 Miliyar perbulannya, Yogyakarta dengan masalah TPST Piyungan yang Overlod namun tetap dipaksa beroprasi, dan tak terkecuali dengan Kota Surabaya (KumparanNEWS, 2019). Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia dengan proyeksi jumlah penduduk ditahun 2019 mencapai lebih dari 2,8 juta jiwa (BPS Kota Surabaya, 2019), Kota Surabaya dihadapkan pada tingginya volume produksi sampah yang terus meningkat. Berdasarkan data neraca pengelolaan sampah Kota Surabaya oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 2017-2019 perolehan timbunan sampah Kota Surabaya terus meningkat hingga di tahun 2019 mencapai 2.248 ton/hari (DLH Provinsi Jawa Timur, 2019). Peningkatan volume sampah ini tentu saja sejalan dengan pertumbuhan populasi dan permukiman serta keterbatasan lahan untuk pembuangan akhir.

Beberapa sumber sampah yang berkontribusi terhadap timbunan sampah Kota Surabaya antara lain berasal dari rumah tangga/pemukiman, perkantoran, pasar tradisional, pusat perniagaan, fasilitas publik, kawasan, dan lain-lain.

(2)

tangga yaitu sekitar 43,4% atau 1.212 ton/hari yang terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik (Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, 2018). Mendominasinya timbunan sampah yang dihasilkan oleh pemukiman atau rumah tangga di Kota Surabaya sesungguhnya memerlukan sebuah penanganan strategis dalam pengelolaan sampah melibatkan partisipasi masyarakat.

Permasalahan yang cukup serius saat ini dihadapi Pemerintah Kota Surabaya terkait pengelolaan sampah yaitu meningkatnya volume sampah berbanding terbalik dengan penyediaan TPA Pemerintah Kota Surabaya yang saat ini hanya memiliki 1 TPA yang beroprasi, hal tersebut menjadi peringatan untuk mengantisipasi kembalinya peristiwa Surabaya darurat sampah 20 tahun lalu. Pada awal tahun 2000 Kota Surabaya mengalami permasalahan sampah cukup serius yang disebabkan oleh tidak siapnya Lahan Pembuangan Akhir (LPA) Benowo yang disiapkan menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pengganti dari ditutupnya 2 TPA sebelumnya yang dimiliki Pemerintah Kota Surabaya yaitu TPA Lakarsari di tahun 2000 dan TPA Keputih/Sukolilo di tahun 2001. Darurat sampah Surabaya kemudian diperparah dengan tidak diangkutnya timbunan sampah sekitar 168,000 meter kubik atau 42,000 ton sampah dari perkampungan hingga ketengah Kota Surabaya (Annisa, 2016). Kondisi seperti ini tentunya dapat berakibat buruk dan mengganggu kenyaman, lingkungan, kesehatan serta keindahan Kota Surabaya.

Masalah sampah sesungguhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Kota Surabaya diharapkan untuk mampu menerapkan manajemen publik yang baik dalam pengelolaan sampah dengan menghasilkan kebijakan dan memberikan layanan persampahan yang dapat menangani masalah

(3)

sampah di Kota Surabaya dengan benar. Oleh karena itu, diharapkan akan muncul upaya Pemerintah Daerah untuk memenuhi dan mengatasi masalah yang terjadi pada masyarakat, termasuk masalah persampahan.

Pemerintah dalam hal ini akhirnya mengambil tindakan dengan langsung mengoprasionalkan TPA Benowo yang memiliki luas 12,6 Ha pada bulan Oktober 2001 (Gaufar et al., 2009). Namun saat pertamakali beroprasi, TPA Benowo hanya mampu menampung maksimal 12% dari total sampah Kota Surabaya yang berjumlah sekitar 8000 m3/hari. Hal tersebut lagi-lagi tetap mengakibatkan terjadinya penumpukan sampah. Selain terbatasnya ketersediaan lahan TPA Benowo yang belum diimbangi dengan peningkatan volume sampah yang pada akhirnya mengakibatkan kelebihan kapasitas. Kebutuhan akan penanganan sampah secara cepat membuat Walikota Surabaya saat itu yaitu Bapak Bambang langsung memperluas lahan TPA Benowo yang semula memiliki luas 12,6 Ha kemudian diperluas menjadi 37 Ha di tahun 2002.

Permasalahan sampah di Kota Surabaya sesungguhnya dihadapkan oleh terbatasnya lahan pembuangan yang belum sebanding dengan volume sampah yang terus meningkat. Peningkatan jumlah sampah memiliki dampak besar jika tidak siasati dengan kesiapan dalam hal penanganan sampah (Heru & Endah, 2016). Tindakan pemerintah dalam menangani sampah dengan membuka dan memperluas lahan TPA Benowo tentu saja bukan penyelesaian yang baik mengingat TPA yang berkapasitas 2.520.000 meter kubik sampah itu kian lama akan semakin penuh. Selain itu, penanganan sampah yang masih sebatas mengangkut dan membuang juga menjadi kendala utama dalam pengelolaan sampah. Satu hal tindakan yang

(4)

dirasa perlu untuk diambil oleh Pemerintah dalam menuntasakan permasalahan pengelolaan sampah yaitu mencari cara pengeloaan sampah yang tepat agar dapat mengurangi sampah.

Dalam praktiknya selama ini sebagai upaya pengelolaan sampah, Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya telah melakukan berbagai pola pengelolaan sampah yang mana melibatkan peran pemerintah Kota Surabaya, partisipasi masyarakat, maupun pihak Swasta. Pada Tahun 2001 – 2003 Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mulai melakukan pembenahan lingkungan dan pengelolaan sampah. Selain memperluas lahan TPA Benowo untuk mengatasi tumpukan sampah kota, Pemerintah Kota Surabaya juga melakukan Program Brantas Bersih oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya yang bekerjasama dengan pihak Unilever yang memfokuskan pada upaya peningkatan kualitas air bersih di sungai brantas yang terkenan dampak dari pencemaran lingkungan yang sebagian besar disebabkan oleh sampah (Annisa, 2016). Hal ini kemudian mendorong program Brantas Bersih dilaksanakan di salah satu kelurahan yang berbatas langsung dengan aliran Sungai Brantas yaitu Kelurahan Jambangan. Dengan memberikan penyuluhan terkait lingkunga dan melakukan kampanye untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Pada tahun 2004, Pemkot Surabaya kembali berupaya memperbaiki pengelolaan sampah dengan lebih melibatkan masyarakat didalamnya melalui Program Green and Clean. Program ini diinisiasi oleh pertemuan Walikota Surabaya Bapak Bambang dengan beberapa pihak yaitu Unilever, Jawa Pos, dan sejumlah pakar pengelolah sampah. Melalui sosialisasi, pembentukan kader

(5)

lingkungan, pendampingan warga, hingga pembagian sarana dan prasarana kebersihan (Aryunto, 2015), Kelurahan Jambangan yang sebelumnya dipilih sebagai proyek percontohan mulai melakukan berbagai kegiatan dalam mensukseskan program yang dicanangkan oleh Green and Clean seperti mengolah sampah, membuat kompos, pembibitan tanaman, penghijauan pekarangan, jalan, dan pinggir sungai, serta membuat dan menggunakan jamban. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan dampak positif dan perubahan kepada warga untuk lebih menjaga kebersihan lingkungan.

Keberhasilan di Kelurahan Jambangan dalam memperbaiki pengelolaan sampah dengan lebih melibatkan masyarakat mendorong program ini diterapkan diberbagai wilayah lainnya di Surabaya. Sehingga antara tahun 2004 hingga 2006, sistem yang berhasil diterapkan di Kelurahan Jambangan ini telah diterapakan di 13 Kelurahan lainya di Surabaya. Selain itu, untuk mengukur tingkat keberhasilan program Grean and Clean, Pada tahun 2005 Pemerintah bersama dengan pihak Unilever dan Jawa Pos mengadakan perlombaan Surabaya Grean and Clean (SGC). Dengan digelarnya SGC ini, diharpkan dapat mengingatkan masyarakat untuk lebih menjaga lagi kebersihan lingkungan, mengelola dan memilih sampah dari sumbernya sehingga terciptanya lingkungan yang indah, bersih , dan sehat.

Selain itu, hadirnya regulasi baru yang mengatur terkait pengelolaan sampah pada UU Nomor 18 tahun 2008 mengenai Pengelolaan Sampah dan PP No 81 tahun 2012 mengenai Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rurnah Tangga juga mengamanatkan akan perlunya kerja sama pemerintah dalam pengelolaan sarnpah dengan pihak lain berbasis reduce, reuse, and recycle (3R).

(6)

Selain itu, Untuk mencapai sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan, pendekatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) juga masih menjadi elemen penting dari semua tahapan pengelolaan sampah hingga saat ini (Sunarto & Sulistyaningsih, 2018). Sejalan dengan hal tersebut mengenai wajah baru terhadap pengelolaan sampah, Kebijakan pengelolan sampah kemudian bertransformasi dengan menggunakan pendekatan 3R. Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan mulai menerapkan program 3R secara skala kota yang bersinergi denga program sebelumnya yaitu Program Grean and Clean melalui penyempurnaan kegiatan sosialisasi dan pengkaderan perilaku masyarakat yang masih kurang memiliki kesadaran mengenai kebersihan dan pentingnya pengelolaan sampah. Program 3R sesungguhnya lebih menitik beratkan kepada pengurangan sampah mulai dari sumbernya. Kegiatan pengurangan sampah ini dilakukan dengan berbagai cara seperti pengolahan dan pemilihan sampah antara organik dan anorganik, pengolahan sampah mandiri berbasis komunitas yang dapat merubah sampah organik menjadi kompos dan mendaur ulang/menjual sampah anorganik.

Hal tersebut ternyata mampu mereduksi sampah masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sekitar 17%. Melalui pendekatan 3R diseluruh lapisan masyarakat, Hal ini dimaksudkan untuk merubah pandangan dan pemerlakuan sampah sebagai sumber alternatif yang dapat dimanfaatkan kembali, baik itu secara langsung, melalui pendauran ulang, ataupun proses lainya. Berdasarkan data sampah yang masuk ke TPA Benowo, Tahun 2005-2011 Volume sampah yang masuk ke TPA cenderung menurun dari tahun ketahun. Kota Surabaya menjadi lebih bersih ketimbang lima tahun lalu dan tidak ada lagi sampah di pinggir jalan,

(7)

selain itu air selokan dan sungai mengalir lancar tanpa terlihat ada sampah di aliranya (Kompas.com, 2010). Hal ini membuktikan sistem pengelolaan sampah berbasis 3R sudah mulai berjalan dan menimbulkan dampak yang cukup baik terhadap pengelolaan sampah di Kota Surabaya. Selain itu berkurangnya volume sampah juga sejalan dengan berkembangnya kualitas tenaga dan sarana kebersihan.

Selain itu, Pada tahun 2012 Pemerintah Kota Surabaya juga melakukan strategi kreatif seperti membangun TPS (Tempat Pembuangan Sementara) di beberapa titik wilayah kota, menambah bank sampah, gerakan eco school, campus and office, dan gerakan Merdeka Dari Sampah (MDS). Kemudian ditahun 2014, Pemerintah juga telah mengeluarkan Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan Kota Surabaya yang berfokus pada penyelenggaraan pengelolaan sampah yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta manjadikan sampah sebagai sumber daya. Berbagai usaha yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dalam menangani sampah sukses memberikan kota Surabaya penghargaan Adipura kategori metropolitan sejak 2006 hinga 2011 berturut-turut, Rekor Muri untuk 13 Taman Kota eks-SPBU (2008-2009) Sepanjang tahun 2008-2009, penghargaan Sekolah Adwiyata Mandiri di 5 Sekolah yang ada di Surabaya tahun 2010, penghargaan ICT Pura tahun 2011, dan Penghargaan ASEAN Enviromentally Sustainable City (ESC) tahun 2012 (Pemkot Surabaya, 2016).

Kenyataan dari berbagai upaya pengelolaan sampah yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Kota Surabaya, tidak serta merta dapat mengurangi sampah secara signifikan yang hal tersebut dirasa belum efektif dan belum mampu

(8)

mereduksi volume sampah yang masih relatif besar diatas 1.000 ton/hari. Selain itu, berdasarkan data yang dirilis oleh DKP Kota Surabaya pada tahun 2012 – 2014 tercatat telah terjadi peningkatan volume sampah di kota Surabaya menjadi 1.300 ton/hari di tahun 2013 dan meningkat lagi manjadi 1.400 ton/hari ditahun 2014 yang kemudian pada faktanya setiap hari sampah di Kota Surabaya sendiri bisa menembus angka 1.800 ton/hari (Dai, 2017). Kenaikan volume sampah tersebut disebabkan oleh meningkatnya perekonomian warga seperti menjamurnya tempat usaha restoran dan hotel, meningkatnya populasi dan wisatawan yang berkunjung ke Kota Surabaya, dan membaiknya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah kesungai yang secara tidak langsung akan membuang sampah ke TPS maupun TPA secara langsung.

Permasalahan yang masih muncul terkait volume sampah tentu saja membuktikan bahwa berbagai program pengelolaan sampah yang sebelumnya dilakukan Pemerintah Kota Surabaya belum maksimal dengan realita perubahan pola hidup masyarakat saat ini, Hal ini juga menujukkan bahwa pentingnya upaya dan strategi lain yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Sebagai langkah selanjutnya dalam penyelesaian masalah pengelolaan sampah di Kota Surabaya, Pada tahun 2012 Pemerintah Kota Surabaya menjalin sebuah kerjasama Internasional dibidang lingkungan yaitu Kerjasama Sister City dengan Kitakyushu. Hal ini menjadi salah satu implementasi dari kebangkitan sebuah kota dalam mengikuti arus global. Menurut Farazmand interaksi ketiga aktor sebelumnya harus dilengkapi dengan struktur kekuatan internasional/global yang mendominasi struktur ketiganya (Domai, 2011). Dengan dikerangkai oleh perspektif sound government pelaksanaan program sister city yang menjadi kegiatan pemerintah daerah dengan Negara lain

(9)

(elemen internasional) yaitu kerjasama antara Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Kitakyushu dengan berfokus pada permasalahan lingkungan yang terjadi di Kota Surabaya. Dilatar belakangi oleh kesamaan permasalahan kota yang dihadapi serta kesamaan geografis dan kependudukan merupakan alasan dipilihnya Kitakyushu sebagai mitra Sister City Kota Surabaya yang berfokus pada masalah lingkungan.

Arus globalsaisi di bidang politik saat ini ternyata membawa perubahan terhadap persoalan domestik yang tak bisa diselesaikan. Perkembangan era-Globalisasi yang dinamis membawa perubahan terhadap degradasi lingkungan saat ini memungkinkan akan adanya aktor-aktor lain di pemerintahan lokal (Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat) dalam merespon permasalahan yang tengah dihadapi yaitu struktur kekuatan internasional/global. Hal tersebut menjadi dasar berkembanganya kerjasama atau collaborative internasional di beberapa daerah di Indonesia secara langsung dengan pihak asing yang salah satunya yaitu di Kota Surabaya yang menjalin kerjasama dengan Kota Kitakyushu.

Kerjasaman antara Surabaya dan Kitakyushu sejatinya sudah terjalin pada Tahun 1997 dengan ditandatanganinya Join Declaration of The Kitakyushu Conference on Enviromental Cooperation among Cities in The Asian Region. Penandatanganan Konferensi Lingkungan antar kota di Asia tersebut memiliki fokus pada kerjasama dibidang pengelolaan terjalin sejak 1998 hingga 2006. Kemudian ditahun 2007 kerjasama tetap berlanjut dengan diberikanya bantuan program untuk merevitalisasi Sungai Kalimas yang meliputi dua hal yaitu

(10)

peningkatan kualitas air dan pengembangan partisipasi masyarakat (Purnomo, 2012).

Di Indonesia sendiri, Kerjasama Sister City telah diatur dalam Peraturan Menteri Luar Negri No.09/A/KP/XII/2006/01 yang menyebutkan bahwa kerjasama antar daerah dengan pemerintah daerah di luar negri, dilakukan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri, serta berdasarkan pada sepenuh hati menghormati kedaulatan NKRI, persamaan kedudukan yang tidak memaksakan kehendak, saling memberikan manfaat dan keuntungan serta tidak merujuk pada campur tangan urusan dalam negeri (Dai, 2017). Melalui skema Sister City, hubungan antara Surabaya dan Kitakysuhu semakin berkembang dengan ditanda tanganinya MoU Kerjasama Geen Sister City pada 12 November 2012. Dengan adanya kerjasama Geen Sister City, Kota Surabaya secara tidak langsung mendapatakan bantuan Proyek Manajemen Persampahan oleh Pemerintah Kitakyushu sebagai bentuk penanggulangan persoalan sampah di Kota Surabaya melalui skema bantuan dari Joint Crediting Mechasim (JCM) dan pembiayaan dari Japan Internasional Coopration Agency (JICA).

Melihat pada kondisi volume sampah Kota Surabaya yang terus membludak dan kurang dikelola dengan baik menyebabkan sampah yang ada di Kota Surabaya tercampur antara sampah kering dan basah. Adanya bantuan Proyek Persampahan berupa bantuan teknis dan hibah teknis dari pihak swasta yang ditunjuk langsung oleh pemerintah Kitakyushu yaitu Nishihara Corporation melalui pengembangan TPS Suterejo menjadi Super Depo Suterejo. Pengelolaan sampah di depo ini

(11)

kemudian menerapkan prinsip 3R yang pada awalanya sampah akan dipisahkan di Conveyor belt melalui 3 unit pemilahan sampah, setelah itu beberapa sampah yang telah dipisahkan sesuai dengan kategorinya akan diproses kembali di beberapa mesin yang berbeda, seperti sampah organik akan diproses menjadi kompos dimesin pencacah dan sampah plastik akan dipadatkan di mesin press plastik.

Super Depo Suterejo merupakan proyek pengolahan persampahan kerjasama Pemerintah Kota Surabaya dengan Pemerintah Kota Kitakyushu melalui Nishihara Corporation yang terletak di Kelurahan Dukuh Suterejo, Kecamatan Mulyorejo Kota Surabaya (Dai, 2017). Berada pada lahan seluas 1,483 m2 dengan kapasitas 15 Ton/Hari, Super Depo Suterejo melayani persampahan di 2 kelurahan yaitu Kelurahan Dukuh Suterejo dan Keluarahan Kalisari. Diawal beroprasinya di Tahun 2013, Sampah yang masuk ke Super Depo Suterejo hanya berkisar 73 Ton/bulan, namun berangsur mulai mengalami peningkatan 142 ton/bulan pada akhir tahun 2013. Kemudian di tahun 2014 kembali meningkat menjadi 250-300 ton/bulan. Super Depo Suterejo mempekerjakan 10 warga sekitar yang sebelumnya berprofesi sebagai pengepul dan pemulung.

Partisipasi dari berbagai stakeholder dalam pengelolaan sampah yaitu pihak swasata (Nishihara Corporation), Pemerintah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), dan Masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai pemulung membuktikan adanya penerapan pola kerjasama berbagai pihak untuk berkolaborasi dalam merespon permasalahan di Kota Surabaya. Kerjasama dan perencanaan yang matang akan menghasilkan sebuah bentuk sinergi jika antara dua atau lebih organisasi untuk menjawab permasalaahn serta mengantisipasi peluang dan tantangan yang muncul

(12)

secara cermat dan dalam proses yang dilakukan (Khanifah et al., 2020). Salah satu bentuk kerjasama dalam pengelolaan sampah yaitu dengan pendekatan kolaboratif.

Pendekatan kerjasama kolaboratif juga dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam aspek pengelolaan persampahan. Dalam pengelolaan sampah pendekatan kolaboratif bisa dipertimbangkan dimana dapat smenjadi salah satu alternatif dalam pemecahan masalah sampah (Rosyadi, 2013). Melalui kekuatan proses kolaborasi menjadi penentu dalam kerjasama antar stakeholder yang terlibat. Adanya kolaborasi dengan masyarakat yaitu dari beberapa warga yang sebelumnya berprofesi sebagai pemulung yang sekarang dijadikan pekerja di Super Depo Suterejo dalarn pengelolaan sampah mengindikasikan akan perlunya partisipasi masyarakat di dalamnya. Permasalahan yang terjadi terkait pengelolaan sampah sejatinya tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu pihak.

Sejalan dengan pendapat Ansell dan Gash mengemukakan bahwa manajemen kolaboratif merupakan serangkaian proses di mana penentuan kebijakan dan implementasi publik dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dari beberapa organisasi atau lembaga baik dari lembaga pemerintah, lapisan masyarakat, atau pihak swasta (Subarsono, 2016). Adanya kerjasama antara pihak Pemerintah Surabaya yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan dalam menyediakan lahan dan juga Pihak Swasta oleh Nishihara Corporation yang memberikan bantuan hibah teknis berupa Scale, Conveyor, Plastic Washer Machine, Plastic Press Machine, dan Organic Waste Crusher Machine, dan pengelolaan di Super Depo Suterejo tentu saja juga melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pekerjanya agar dapat

(13)

mengatasi permasalahan bersama terkait pengelolaan sampah dengan pendekatan kolaboratif.

Sejalan dengan capaian MDG’s ke 7 memastikan kelestarian lingkungan dan capaian MDG’s ke 8 yaitu mengembangkan kemitraan gelobal untuk mencapai tindakan nyata terhadap kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015, kerjasama Green Sister City menjadi salah satu program kerjasama yang menitikberatkan pada kelestarian lingkungan yang cenderung menurun melalui kerjasama kemitraan lintas negara antara Surabaya dengan Kitakhyushu. Dengan mengadopsi pada metode 3R dan teknik sederhana melalui pemisahan sampah berdasarkan jenisnya dan dibantu dengan peralatan yang canggih yang ramah lingkuangan dalam pengemasan sampah yang telah dipisah terbukti dapat mereduksi sampah masuk ke TPA Benowo sebesar 50% (Octavia, 2017). Selain itu, sebagai kota yang cukup berpotensi menjadi kota yang berkelanjutan dalam hal lingkungan, Kota Surabaya tentu saja saat ini memiliki peranan penting dalam mensukseskan Sustainable Development Gols ke 13 yaitu Penanganan Perubahan Iklim. Berdasarkan kondisi permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian tentang Collaborative Governance dalam Pengelolaan Sampah Pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(14)

2. Apa saja yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang diatas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya.

2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan bahwa hasil penelitian ini akan memberikan manfaat teoritis dan praktis, diantaranya sebagai berikut:

A. Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan terkait dengan Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya serta sebagai salah satu sumber referensi bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian serupa.

(15)

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut; Pertama, bagi Pemerintah Daerah serts jajaran Organisasi Perangkat Daerahnya serta stakeholder lain diharapkan dari hasil penelitian yang dilakukan dapat menjadi salah satu bahan kajian bagi Pemerintah Daerah, terkhusus Pemerintah Kota Surabaya. Kedua, bagi Akademisi hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya bagi para mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang yang akan melakukan kajian terhadap Collaborative Governance dalam konteks pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya. Ketiga, bagi Masyarakat diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi referensi serta acuan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.

1.5 Definisi Konseptual

Definisi konseptual adalah batas masalah yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini, dimana diharapkan akan memberikan kemudahan ketika berada di lapangan untuk lebih memahami dan memudahkan dalam menafsirkan teori dalam penelitian ini. Berikut definisi konseptual yang terkait dengan yang akan diteliti, antara lain:

A. Collaborative Governance

Collaborative Governance atau Tata kelola kolaborasi adalah peraturan pemerintah di mana satu atau lebih lembaga public yang secara langsung mengikut sertakan pemangku kepentingan non-pemerintah dalarn proses pengambilan

(16)

keputusan kolektif formal, konsensus, deliberatif, yang tujuannya adalah untuk menciptakan dan menerapkan kebijakan publik atau aset publik (Ansell & Gash, 2008). Fokusnya adalah pada pengambilan keputusan dan mengimplementasikan program yang dijalankan secara kolektif antara beberapa pemangku kepentingan. Ini menyiratkan bahwa pemerintah ini bukan hanya satu individu yang rnembuat keputusan tetapi tentang masing-masing kelornpok atau organisasi atau sistem organisasi yang membuat keputusan.

B. Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah dapat didefinisikan atau diartikan sebagai bidang yang terkait dengan kontrol sampah, penyimpanan, pengumpulan, transfer dan transportasi, pemrosesan dan penghapusan sampah dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terkait terbaik dengan kesehatan masyarakat, ekonomi, kecantikan dan pertimbangan lingkungan lainnya dan mempertimbangkan komunitas yang lebih luas (Tchobanoglous et al., 1993).

Menurut UU No 18 Tahun 2008 mengenai Pengelolaan Sampah menyatakan bahwa pegelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi penangan sampah dan pengurangan sampah. Adapun tujuannya yaitu untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumberdaya. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rurnah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga juga mengamanatkan akan perlunya penanganan sampah berbasis reduce, reuse, and recycle (3R). Sistem 3R dapat

(17)

berjalan pada awal sampah dipilah dari sumber, pemilahan sampah dilakukan dengan memisahkan sarnpah organi dan anorganik. Penyortiran sampah membutuhkan partisipasi serta peran masyarakat dan infrastruktur yang memadai, seperti tempat pemilahan sampah, gerobak truk yang memiliki pemilahan sampah organik dan anorganik, dan jadwal pengambilan sampah.

1.6 Definisi Operasional

Definisi oprasional bertujuan untuk mengoprasionalkan konsep-konsep yang ada sehingga menjadi jelas variable dan indikator yang diperlukan agar dapat mempermudah analisis dalam suatu penelitian. Berikut variable-variabel yang akan didefinisikan secara oprasional dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

A. Collaborative Governance dalam Pengelolaan Sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya:

1. Kondisi awal sebelum penerapan Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya.

2. Desain Institusional pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya

3. Kepemimpinan dari stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya.

4. Proses Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya

a) Dialog dan pertemuan antar stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya

(18)

b) Pengembangan Kepercayaan dalam Collaborative Governance pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya c) Komitmen pada proses dalam Collaborative Governance

pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya d) Hasil Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada

Super Depo Suterejo Kota Surabaya

B. Faktor Penghambat Collaborative Governance dalam Pengelolaan Sampah Pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya:

a. Rendahnya kompetensi pengelola sampah b. Tantangan komitmen dalam proses kolaborasi 1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian menjadi suatu teknik atau cara ilmiah peneliti dalam memperoleh data. Metode penelitian akan menjadi alat bagi peneliti dalam melakukan analisis data yang ada. Sehingga dapat menemukan sebuah kesimpulan dari penelitian tersebut.

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian Kualitatif. Jenis penelitian Kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan sebagai mengeksporasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2016). Dan menggunakan pendekatan deskriptif yang merupakan sebuah penelitian yang mendeskripsikan sebuah objek penelitian berdasarkan data berupa kata-kata yang tertulis maupun lisan dari sebuah objek yang diamati.

(19)

2. Subjek Penelitian

Subjek Penelitian dapat dipahami sebagai seseorang/pihak yang dimanfaatkan untuk memperoleh sumber informasi lengkap dan valid terkait situasi dan kondisi latar belakang penelitian. Pada penelitian kualitatif sampel adalah orang-orang yang dipandang paham terkait situasi sosial tertentu. Penentuan orang yang diwawancarai dilakakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Pada saat mengembangankan sebuah purposive sampling, peneliti menggunakan pengetahuan dan pemahamannya mengenai suatu kelompok untuk memilih subjek yang mewakili untuk diteliti. Oleh karena itu, pengambilan sampel pada penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan cara purposive sampling.

Berdarsakan purposive sampling, peneliti menentukan beberapa subjek penelitian yang dianggap mengetahui, memahami serta ikut terlibat yang dimana memiliki hak dan tanggung jawab dalam mengorganisir jalanya pengelolaan sampah yang ada di Super Depo Suterejo pada penelitian ini yakni sebagai berikut:

a. Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Kota Surabaya b. Kepala Bidang Kebersihan Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau

Kota Surabaya

c. Koordinator TPS/Super Depo Suterejeo Kota Surabaya

d. Perwakilan Nishihara Corporation dan Kitakyushu Urusan Low Carbon Konsulat-Jenderal Jepang di Surabaya

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kota Surabaya dengan menyasar pada pabrik pengelolah sampah Super Depo Sutorejo, instansi Pemerintahan Kota

(20)

Surabaya yaitu Kantor Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH), dan Kantor Konsulat-Jenderal Jepang di Surabaya dengan maksud penelitian ini dapat memperoleh data yang valid mengenai Collaborative Governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo Kota Surabaya.

4. Sumber Data

Data merupakan catatan atas kumpulan suatu fakta. Dalam penelitian ini kualitatif, Sumber data utamanya yaitu kata-kata dan tindakan. Sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer (primary data) merupakan data yang diperoleh berupa informasi yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumbernya dimana sebuah data dihasilkan. Dengan rnenggunakan sumber data prirner dapat mempermudah penelitian dalarn mencari informasi dan bahan yang diperlukan dalarn penelitian. Karena peneliti berhadapan langsung kepada objek penelitian yang telah ditentukan. Sumber data yang telah didapatkan lalu dijadikan bukti bahwa data dari penelitian ini langsung diperoleh dari instansi atau lernbaga yang menjadi objek penelitian.

b. Data sekunder

Data Sekunder (secoundary data) Data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara (hasil dari pihak lain) yang dapat dimanfaatkan dalam suatu penelitian tertentu. Data sekunder biasanya berupa catatan atau laporan data dokurnentasi oleh lembaga tertentu yang dipublikasikan.

(21)

Dalam penelitian ini, data sekundernya meliputi salinan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah, profil lembaga atau instansi terkait pengelolaan sampah di Super Depo Suterejo yang diperoleh melalui dokumentasi. Selain itu data sekunder juga bisa diperoleh dari jurnal-jurnal atau buku-buku yang memiliki keterkaitan dengan collaborative governance dan pengelolaan sampah.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menjadi serangkaian tahapan yang dilakukan untuk menghimpun data yang dibutuhkan serta memberikan gambaran aspek yang akan diteliti. Ada 3 proses pengambilan data pada penelitian kualitataif yaitu sebagai berikut:

a. Pengamatan/Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang di saksikan dan di amati perilakunya dimana peneliti mengumpulkan data dengan mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan secara langsung dengan melihat, dengan mendengar, menganalisis dan selanjutnya dapat membuat kesimpulan. Penelitian ini menggunakan observasi terstruktur yaitu observasi yang dirancang secara sistematis, tentang apa yang diamati, kapan dan dimana tempatnya sehingga akan memperoleh data-data yang relevan dengan fokus dan masalah yang terkait dengan collaborative governanace dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Surerejo.

b. Wawancara

Wawancara pada dasarnya adalah sebuah percakapan, namun percakapan disini memiliki tujuan. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

(22)

atau mengajukan pertanyaan, dan pihak lain adalah informan yaitu orang yang memberikan jawaban atas pewawancara. Jenis wawancara yang digunalan dalam Penelitian ini yaitu menggunakan wawancara terstruktur yang dimana peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan datanya.

Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara secara berhadap-hadapan dengan sebuyek penelitian, mewawancarai melalui telepon, atau terlibat wawancara dalam kelompok tertentu yang dalam hal ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan secara umum yang tidak terstruktur. Dan juga bersifat terbuka yang dirancang peneliti untuk memunculkan pandangan dan opini dari informan. Dengan menggunakan jenis wawancara tersebut informan dapat menjawab secara bebas dan permasalahan yang termuat dalam pertanyaan dapat terjawab dengan baik. Melalui wawancara ini, peneliti berharap dapat memperoleh gambaran dan data-data dari subyek penelitian terkait collaborative governanace dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Surerejo.

c. Dokumentasi

Dokumentasi menjadi salah satu metode pengumpulan data kualitatif yang melihat dan menganalisis dokumen-dokumen yang telah dibuat oleh oleh orang lain berkaitan dengan penelitian berupa dokumen atau catatan resmi instansi yang diteliti. Pada umumnya, dokumentasi dalam penelitian ini adalah berupa gambar-gambar, foto-foto, rekaman wawancara, dokumen-dokumen resmi, dan lain sebagainya yang berasal dari lembaga atau instansi yang diteliti yang terkait dengan collaborative governanace dalam pengelolaan sampah di Super Depo Suterejo.

(23)

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahapan yang penting untuk mengolah data menjadi informasi. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan urian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Pada penelitian ini, penulis menggunakan model analisis data yang dikemukan oleh Miles, Huberman dan Saldana untuk menganalisis data hasil penelitian. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. adapun komponen-komponen dalam model interaktifnya ialah yang di kemukakan oleh Milles, Huberman dan Saldana yaitu sebagai berikut (Miles, Huberman, & Saldana, 2014: 10):

(24)

Gambar 1.1

Komponen Analisis Data Model Interkatif

Sumber : Miles, Huberman, & Saldana, 2014: 33 a. Data Condensation

Kondensasi data mengarah pada proses pemilihan, pemfokusan, menyederhanakan, pengabstrakan serta upaya mentranformasikan data yang muncul dari catatan lapang yang tertulis, dokumen, wawancara dan bahan-bahan lainnya (Miles, Huberman, & Saldana, 2014: 31). Proses ini tidak hanya berarti implementasi pengurnpulan data, tetapi juga menerapkan klasifikasi data dan berfokus pada kebutuhan penelitian. Karena, dalam proses pengumpulan data, para peneliti harus berhati-hati terhadap kondensasi di mana data informatif dan menanggapi masalah penelitian.

b. Display Data

Dalam proses analisis data adalah mendisplay atau menampilkan data. Penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk bagan, hubungan antar kategori, dan dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan tahapan selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut (Miles, Huberman, & Saldana, 2014: 31). Secara umum, penyajian data data juga

Data Collection

Data Condensation

Display Data

Penarikan dan Verifikasi Kesimpulan

(25)

merupakan tolak ukur untuk mencapai analisis data yang valid dengan proses analisis berkelanjutan. Oleh karena itu, penyajian data terstruktur dapat memberikan peneliti dalam mendeskripsikan data yang diperoleh terkait dengan collaborative governance dalam pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo.

c. Penarikan dan Verifikasi Kesimpulan

Langkah ketiga dalarn kegiatan analisis data yakni melakukan penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat final mungkin tidak muncul hingga pengumpulan data selesai, karena itu sangat menentut kecermatan penelti dalam proses-proses sebelumnya (Miles, Huberman, & Saldana, 2014: 32). Selain itu, dalam proses nya peneliti juga harus melakukan verifikasi hasil kesimpulan dengan menilik kembali catatan lapang atau argumentasi yang telah dibuat sehingga terwujud kemantapan hasil penarikan kesimpulan (Miles, Huberman, & Saldana , 2014: 31). Ini dilakukan supaya validasi data dapat dipenuhi dalam penarikan balik kesimpulan yang dijelaskan secara rinci dan ringkas. Sehingga penelitian terkait Collaborative Governance dalarn pengelolaan sampah pada Super Depo Suterejo dapat mendapatkan hasil kesimpulan yang sesuai dan diharapkan.

Referensi

Dokumen terkait

Seseorang dikatakan memiliki psychological well being tinggi jika memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dapat mengembangkan diri sebaik

Berdasarkan hasil analisis datanya menunjukan bahwa tingkat kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan soal berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking

Gambaran umum pendidikan tinggi disajikan pada Tabel 3 yang dirinci menurut variabel pendidikan, status lembaga, dan jenis lembaga.. Dengan demikian, jenis lembaga

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis mengupas permasalahan mengenai makna implisit pada sebuah klasifikasi tindak tutur ilokusi dengan judul ‘’Makna

Melalui program kerja yang telah kami laksanakan berupa workshop kopi dan pelatihan diversifikasi olahan pangan berupa aren, diharapkan masyarakat memiliki

Terlaksananya kegiatan  peningkatan kapasitas  pelayanan administrasi  kependudukan  pemerintah kota  setidaknya diikuti 20 ...

Mengetahui kelayakan investasi usaha budidaya ikan lele di Kelurahan Toapaya Asri, Kecamatan Toapaya, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan

Pernyataan kemampuan dasar disusun dengan tujuan melengkapi pernyataan kompetensi penunjang yang tercantum pada Buku Standar Kompetensi Dokter gigi terbitan