BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trans-Pacific Partnership adalah sebuah perjanjian perdagangan antara
antara Australia, Brunei, Kanada, Cile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat (hingga Januari 2017), dan Vietnam yang diberi nama Trans-Pacific Partnership (TPP) atau Trans-Pacific
Partnership Agreement (TPPA). Perjanjian ini mulai memasuki proses drafting
pada tanggal 5 November 2015 dan ditandatangani pada tanggal 4 Februari 2016 di Selandia baru setelah 7 (tujuh) tahun masa negosiasi, dan akan berlaku efektif setelah dua tahun. Perjanjian ini adalah perjanjian perdagangan terbesar dalam sejarah.
Seperti yang tercantum pada perjanjian tersebut, TPP memiliki tujuan untuk membangun sebuah perjanjian regional yang komprehensif yang memajukan integrasi ekonomi untuk perdagangan bebas dan investasi. TPP juga bertujuan untuk membawa pertumbuhan ekonomi dan sosial, menciptakan kesempatan kerja baru dan kesempatan bisnis yang baru. Selain itu, dalam perjanjian tertulis komitmen dari TPP untuk meningkatkan standar hidup, keuntungan bagi konsumen, dan berkontribusi untuk mengurangi kemiskinan serta memajukan pembagunan berkelanjutan.1
1
Apabila kita membandingkan TPP dengan perjanjian perdagangan regional lainnya, terdapat hal yang membuatnya berbeda dengan perjanjian lain, yakni adanya klausula regulatory coherence. Klausula ini tercantum pada Bab 25 yang berjudul “Regulatory Coherence”. Didorong oleh Amerika Serikat dengan dukungan kuat dari Australia dan Selandia Baru, tujuan negosiasi TPP mengenai
regulatory coherence adalah untuk menghilangkan hambatan regulasi yang
kurang penting, serta membuat sistem regulasi dari negara anggota TPP lebih sesuai dan transparan.2
Regulatory coherence sendiri didefinisikan sebagai penggunaan dari
praktik regulasi yang baik pada proses perencanaan, perancangan, penerbitan, proses implementasi, dan proses pengkajian pelaksanaan regulasi, yang bertujuan untuk memfasilitasi pencapaian dari tujuan pembuatan regulasi, dan pencapaian tujuan dalam hubungan kerja sama dengan pemerintah lain, untuk membangun kooperasi regulasi. Hal ini bertujuan untuk memajukan objektivitas, memajukan perdagangan dan investasi internasional, pertumbuhan ekonomi, dan terciptanya lapangan kerja, serta tujuan-tujuan lain selaras dengan tujuan dibentuknya TPP. 3
Hal yang disepakati oleh para pihak berkaitan dengan regulatory
coherence selain definisi tersebut adalah pentingnya: (a) melanjutkan dan
memperkuat keuntungan dari perjanjian TPP melalui penerapan regulatory
coherence, guna memfasilitasi penambahan perdagangan barang dan jasa, serta
menambah investasi diantara para pihak; (b) hak berdaulat para pihak untuk
2
Ian F. Fergusson and Bruce Vaughn, The Trans-Pacific Partnership Agreement, Washington, D.C.: Congressional Research Service, November 1, 2010, hlm. 9.
3
mengidentifikasi prioritas regulasi mereka, dalam tingkat yang dianggap layak oleh para pihak; (c) peranan yang diambil dari regulasi dalam mencapai tujuan dari pembuatan peraturan umum; (d) mempertimbangkan masukan dari pihak yang tertarik atau memiliki kepentingan pada perkembangan kebijakan regulasi; dan (e) membangun kooperasi regulasi dan proses peningkatan capacity building (kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan) diantara para pihak. 4
Sebelum terciptanya klausula regulatory coherence, sebenarnya dunia perdagangan internasional telah beberapa kali membahas dan mengatur mengenai kebijakan regulasi untuk masing-masing negara (domestic regulatory). Hal ini diperkenalkan oleh Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja sama dan Pembangunan
Ekonomi, yang merupakan sebuah organisasi internasional yang terbentuk sejak tahun 1961.
Salah satu misi utama dari pembentukan OECD di bidang ekonomi adalah untuk memperkuat kebijakan yang akan mengembangkan kesejahteraan ekonomi dan sosial dari manusia di seluruh dunia. Pada tahun 2011, OECD telah mengidentifikasi kebutuhan untuk fokus pada inclusive growth di negara anggota, yang dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi yang menciptakan kesempatan bagi seluruh segmen dari populasi dan menyebarluaskan dividen dari meningkatnya kesejahteraan, baik secara moneter dan non moneter, secara adil hingga ke seluruh masyarakat.5
4
Ibid. Artikel 25.2: General Provision (2)
5
Deighton-Smith, R., A. Erbacci and C. Kauffmann (2016), ‘Promoting inclusive growth through better regulation: The role of regulatory impact assessment’, OECD Regulatory Policy Working Papers, No. 3, OECD Publishing, Paris, hlm. 6.
Untuk mendukung terciptanya misi tersebut, maka sejak lebih dari 1 dekade OECD telah mempersiapkan beberapa hal yang dapat mempermudah proses pencapaian tersebut, salah satunya dengan adanya perbaikan pembentukan peraturan atau regulasi di tingkat nasional. Hal ini diungkapkan oleh OECD’s Public Management Committee pada tahun 1995 saat pembentukan Recommendation of the Council of the OECD on Improving the
Quality of Government Regulation.
Pada tahun 1997, OECD melanjutkan kembali usahanya untuk terus memperbaiki kualitas daripada regulasi pemerintah dengan mengeluarkan rekomendasi baru, yakni 1997 OECD Report on Regulatory Reform Synthesis. Reformasi regulasi (regulatory reform) adalah respon dari adanya kebutuhan untuk meningkatkan persaingan dan mengurangi biaya regulasi, dimana hal ini dapat meningkatkan efisiensi, menurunkan harga, merangsang inovasi dan membantu meningkatkan kemampuan ekonomi untuk beradaptasi dengan perubahan dan tetap kompetitif. Jika dilakukan secara benar, reformasi regulasi juga dapat membantu pemerintah memajukan tujuan kebijakan penting lainnya, seperti kualitas lingkungan, kesehatan, dan keselamatan.6
Hal tersebut di atas menunjukan pentingnya peraturan nasional dalam kemajuan perdagangan dan perkembangan ekonomi negara tersebut. Reformasi regulasi terus disuarakan oleh OECD untuk memperbaiki ekonomi nasional dan memperkuat kemampuan untuk beradaptasi pada perubahan di bidang
6
perdagangan.7 Sampai pada saat ini, telah banyak dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh OECD mengenai regulasi pemerintah negara-negara bahkan bekerja sama dengan organiasi internasional yang lain.
Pada tahun 2005 APEC dan OECD telah membentuk APEC-OECD
Integrated Checklist on Regulatory Reform dimana dokumen ini adalah sebuah
intrumen peraturan untuk melihat kualitas regulasi, peraturan kompetisi dan keterbukaan pasar. Pembentukan checklist ini didasarkan pada kesadaran para negara anggota bahwa reformasi regulasi adalah elemen utama yang mendukung terciptanya sebuah pasar yang terbuka dan kompetitif, dan merupakan kunci dari efisiensi ekonomi dan kesejahteraan kensumen.
Berdasarkan berbagai uraian yang telah disampaikan di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan regulasi domestik dalam dunia ekonomi internasional mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan regulasi pemerintah yang koheren (regulatory coherence) terutama dalam konteks perdagangan internasional, yang kedepannya dapat memfasilitasi pencapaian dari tujuan pembuatan regulasi, dan pencapaian tujuan dalam hubungan kerja sama dengan pemerintah lain untuk membangun kooperasi regulasi.8
Di sisi yang lain, Indonesia bukanlah anggota dari banyak organisasi internasional yang telah disebutkan di atas (kecuali APEC), namun tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara yang sedang bergerak untuk memajukan perekonomiannya, dan hal terkait kebijakan regulasi sangat penting
7
OECD Guiding Principles for Regulatory Quality and Performance, hlm. 1
8
diperhatikan agar tidak melakukan kesalahan yang dapat merugikan ekonomi Indonesia.
Perdagangan internasional dan investasi sudah tentu bukan hal yang baru di Indonesia. Untuk mengatur perdagangan internasional Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan peraturan mengenai Perdagangan secara spesifik pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Undang-Undang tersebut mendefinisikan Perdagangan Luar Negeri sebagai Perdagangan yang mencangkup kegiatan Ekspor dan/atau Impor atas Barang dan/atau Perdagangaan Jasa yang melampaui batas wilayah negara.
Secara spesifik Pemerintah mengatur Perdagangan Luar Negeri pada Bab V (lima) yang mengatur mengenai kebijakan Perdagangan Luar Negeri Indonesia yang meliputi peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor, pengharmonisasian standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang, penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri, pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri, dan pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional, serta dampak negatif Perdagangan Luar Negeri.
Seperti yang telah dikatakan bahwa salah satu elemen utama dari perdagangan internasional utama Indonesia adalah kegiatan ekspor. Ffaktor utama yang mempengaruhi kegiatan ekspor sendiri adalah pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia (secara spesifik adalah negara-negara tujuan
ekspor utama Indonesia), harga komoditas, kesepakatan dagang yang bersifat material, dan global supply chain produk ekspor utama.9
Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah diterbitkan beberapa paket kebijakan ekonomi yang dilatarbelakangi oleh adanya ketakutan akan perlambatan ekonomi dunia yang dapat mengakibatkan menurunnya konsumsi dunia, menurunnya permintaan komoditas, menurunnya harga komoditas, dan hal ini sempat diperparah dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menambah ketidak pasar. Hal ini dapat memberikan pengaruh yang tidak begitu baik bagi Indonesia, yakni: melemahnya kinerja sektor industri, menurunnya produksi, menurunnya ekspor komoditas, menurunnya penerimaan devisa, dan berujung pada menurunnya penerimaan negara.10
Dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Ekonomi di Indonesia bertujuan untuk menjaga momentum dan meningkatkan kepercayaan. Hal ini dapat dicapai dengan adanya stabilisasi ekonomi makro, meningkatkan daya saing, meningkatkan asilitas kemudahan berusaha, dan memperluas akses ekonomi masyarakat. Hal ini merupakan respon cepat untuk menjaga laju sektor riil, meningkatkan daya saing industro, menarik investasi, dan memperlancar logistik. Langkah-langkah strategis tersebut didukung dengan perlusan pendidikan vokasional, percepatan Proyek Strategis Nasional, reformasi
9
Outlook Perdagangan Internasional Indonesia 2016, diunduh dari http://www.indonesiantanners.com/download/Outlook2016X.pdf.
10
“Menjaga Momentum, Meningkatkan Kepercayaan” Paket kebijakan Ekonomi (PKE), diunduh dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2016/08/18/menjaga-momentum-meningkatkan-kepercayaan-id0-1471493602.pdf.
anggaran negara, pencabutan peraturan daerah yang menghambat kegiatan ekonomi, serta repatriasi dan deklarasi kekayaan.
Sebanyak 15 Paket Kebijakan Ekonomi telah dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak September 2015 hingga tahun 2017. Prioritas dalam Paket Kebijakan Ekonomi tersebut antara lain adalah untuk mendorong ekspor melalui program National Interest Account dan mengoptimalkan peran lembaga Penjamin Ekspor Indonesia (LPEI), mendorong investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. Dengan masuknya sejumlah investasi ke tanah air maka dana tersebut bisa diputar untuk menggerakkan perekonomian nasional, pengeluaran belanja modal yang utamanya digunakan dalam pembangunan infrastruktur, menjaga stabilitas harga utamanya harga pangan yang menjadi faktor penentu pergerakan inflasi. Selain itu pergerakan inflasi juga dipengaruhi administer price yakni harga BBM dan tariff listrik. Jika inflasi semakin besar akan menurunkan daya beli masyarakat. Akibatnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.11
Sampai dengan Paket Kebijakan tahap XII, total regulasi yang dideregulasi pada Paket Kebijakan Ekonomi sebanyak 213 regulasi. Total Regulasi yang dikeluarkan dari proses deregulasi sebanyak 10 regulasi hingga total regulasi efektif yang di deregulasi menjadi 203. Sedangkan berkaitan dengan perkembangan regulasi teknis Paket Kebijakan Ekonomi hingga tahap XII, total
11
Rangkaian Paket Kebijakan Ekonomi, diunduh dari
https://www.dkn.go.id/images/publikasi/pdf/publikasi-625611-majalah-catra-edisi-maret-2017-final.pdf.
regulasi teknis yang dibutuhkan guna menjalankan Paket Kebijakan Ekonomi I-XII adalah sebanyak 26 peraturan teknis.
Beberapa hal yang menyinggung perdagangan dan investasi internasional ada pada Paket Kebijakan Ekonomi X yang fokus pada perlindungan terhadap UMKM. Pemerintah menambah 19 bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKM dan Koperasi melalui revisi Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2914 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Invesasi (DNI). Bagi kemitraan yang ditujukan agar Penanaman Modal dalam Negeri dan Penanaman Modal Aing bekerja sama dengan UMKM yang semula hanya 48 bidang usaha, bertambah 62 bidang. Hal ini dilakukan untuk memotong mata rantai peemusatan ekonomi yang selama ini dinikmati oleh kelompok tertentu. Dengan demikian harga-harga dapat menjadi lebih murah, sekaligus mengantisipasi era persaingan dan kompetisi Indonesia yang sudah memasuki MEA, serta mendorong perusahaan nasional agar mampu bersaing dan semakin kuat di pasar dalam negeri maupun pasar global.12
Selain itu, pada Paket Kebijakan Ekonomi XII mengenai pemangkasan izin, prosedur, waktu, dan biaya untuk kemudahan UMKM, pemerintah bergerak untuk menaikkan peringkat Ease of Doing Business atau Kemudahan Berusaha Indonesia. Indikator terkait tingkat kemudahan berusaha tersebut masing-masing adalah Memulai Usaha, Perizinan terkait Pendirian Bangunan, Pembayaran
12
Paket Kebijakan Ekonomi X, Komposisi Saham PMA Berubah, diunduh dari
Pajak, Akses Perkreditan, Penegakan Kontrakm Penyambungan Listrik, Perdagangan Lintas Negara, Penyelesaian Perkara Kepailitan, dan Perlindungan terhadap Investor Minoritas. Dari indikator tersebut, jumlah prosedur yang sebelumnya adalah 94 prosedur, dipangkas menjadi 49 prosedur. Perizinan yang berjumlah 9 izin, dipotong menjadi 6 izin. Waktu yang sebelumnya dibutuhkan sejumlah 1.566 hari, kini dipersingkat menjadi hanya 132 hari.13
Hal ini memperjelas arah kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia saat ini, yakni melakukan deregulasi dan debirokratisasi serta penegakkan hukum di bidang ekspor-impor, mengembalikan skema imbal dagang, pemanfaatan skema kerjasama bilateral dan regional yang sudah berjalan, managing market melalui
technical regulation, dan melindungi pasar ekspor dari tindakan unfair trade.14
Pada Oktober 2015, Presiden Joko Widodo mengumumkan niatnya untuk mendorong agar Indonesia ikut serta dalam keanggotaan TPP, yang secara keseluruhan akan membuka peluang bagi Indonesia untuk memiliki 800 juta konsumen dan menguasai sekitar 40% pasar global. Indonesia telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan tujuh dari dua belas negara anggota TPP, namun belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan negara besar seperti Amerika Serikat dan Kanada.
13
Kemudahan UKM dalam Paket Kebijakan XII, diunduh dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57221f10b40fd/catat-ini-kemudahan-ukm-dalam-paket-kebijakan-xii.
14
Strategi Perdagangan Luar Negeri Untuk Mendukung Target dan Kinerja Ekspor, diunduh dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2017/02/17/rapat-kerja-kementerian-perdagangan-2017-id4-1487324772.pdf.
Di sisi lain, keinginan Indonesia untuk ikut serta dalam TPP memerlukan kemauan yang politik yang kuat, terutama dalam mengatasi beban yang muncul dari aturan investasi TPP yang sangat ketat, serta adanya pembatasan peran Badan Usaha Milik Negara, yang merupakan badan usaha penting di Indonesia. Tidak hanya itu, bergabung dengan TPP juga akan menuntut Indonesia untuk mengaplikasikan regulatory coherence yang memiliki syarat cukup berat dalam pelaksanaannya.
Pada praktiknya, tujuan peraturan dalam negeri dan tujuan perdagangan internasional sulit untuk mencapai titik temu. Banyak terbentuk peratuan yang diskriminatif, tidak efisien, tidak jelas, berlebihan, dan tidak teransparan, yang dianggap telah menghambat kegiatan perdagangan internasional. Penerapan standar internasional secara terbatas yang terjadi pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, membuatnya sulit untuk bergerak maju mengembangkan standar mereka sendiri dalam perdagangan internasional. Ketidakseimbangan yang terjadi membuat meningkatnya biaya perdagangan internasional, dan menghambat kepatuhan dan penegakan peraturan.15
Pendekatan terhadap regulatory coherence pada TPP akan mengejar liberalisasi perdagangan dan tujuan dari peraturan secara terpadu. Kompablititas dan transparansi sistem peraturan harus dicapai melalui kerja sama dalam hal pencapaian kepentingan perdagangan bersama dan oleh pembuat peraturan. Anggota TPP sekarang dan yang akan datang akan berpartisipasi lebih dalam pada diskusi mengenai perdagangan untuk menghilangkan heterogenitas
15
peraturan yang tidak perlu, jika diketahui bahwa rekondisi peraturan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dapat dilakukan.16
Namun, kembali pada fakta bahwa Indonesia belum bergabung dengan TPP membuat Indonesia belum terikat untuk dapat menerapkan ketentuan dalam perjanjian tersebut pada peraturan nasionalnya. Di sisi lain, salah satu bagian dari TPP yakni regulatory coherence menjadi hal yang menarik untuk dapat dipelajari lebih lanjut, mengingat pentingnya peran peraturan pada tingkat domestik untuk dapat memajukan perdagangan dan investasi internasional suatu negara. Hal ini dirasa cukup penting, karena Indonesia juga menjalankan perdagangan dan investasi internasional dengan negara lain yang merupakan anggota dari TPP.
Walaupun TPP belum berlaku secara efektif, sudah ada beberapa negara anggota yang kemudian mengimplementasikan komitmen-komitmen perjanjian ini seperti Jepang dan Singapura. Amerika Serikat yang pada dasarnya telah menjadi negara yang terbuka/liberal dalam hal perdagangan sudah memiliki standar sendiri, namun akan membuka peluang untuk masuk ke pasar yang lebih luas lagi melalui perantara perjanjian TPP. Vietnam pun telah melakukan liberasi dalam hal perdagangan dan hal tersebut membuat Vietnam mendapatkan banyak keuntungan dalam hal perdagangan dan investasi. Pada dasarnya, negara-negara sudah mulai meningkatkan standar perdagangan dan investasinya dan menerapkan komitmen-komitmen TPP walaupun faktanya belum mengikat.
Oleh sebab itu, Penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis lebih
16
lanjut sejauh mana kepentingan Indonesia untuk mengimplementasikan
regulatory coherence, sebagai bagian dari TPP, pada regulasi perdagangan dan
investasi internasional, dan bagaimana Indonesia dapat mengimplementasikan
regulatory coherence tersebut dalam regulasi perdagangan dan investasi
internasional. Kajian dan analisis tersebut berjudul:
“Kajian Tentang Implementasi Regulatory Coherence pada Regulasi Perdagangan dan Investasi Internasional Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah dampak implementasi regulatory coherence sebagai bagian dari
Trans-Pacific Partnership (TPP) bagi Indonesia?
Berdasarkan rumusan masalah utama tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana analisis manfaat terhadap implementasi regulatory coherence, sebagai bagian dari TPP, pada regulasi perdagangan dan investasi internasional Indonesia?
2. Bagaimana cara Indonesia mengimplementasikan regulatory coherence pada regulasi perdagangan dan investasi internasional?
C. Tujuan Peneitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan secara objektif dan subjektif. Tujuan penelitian ini secara subjektif adalah untuk memenuhi syarat kelulusan studi S-1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kemudian secara objektif tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Untuk menjelaskan dampak implementasi regulatory coherence sebagai bagian dari Trans-Pacific Partnership (TPP) bagi Indonesia.
D. Keaslian Penelitian
Hingga saat penelitian ini dilakukan dari penelusuran yang dilakukan peneliti melalui Perpustakaan Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ataupun berupa suatu pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain, belum ada peneliti yang secara spesifik melakukan penelitian mengenai Regulatory Coherence terutama berkaitan dengan dampak implementasi regulatory coherence sebagai bagian dari
Trans-Pacific Partnership bagi Indonesia.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu: 1. Secara Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan serta wawasan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai dampak implementasi regulatory
coherence sebagai bagian dari Trans-Pacific Partnership bagi
Indonesia. 2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para akademisi pada khususnya, dalam hal pengembangan ilmu hukum khususnya hukum internasional untuk
kemudian digunakan sebagai data sekunder dalam melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan dampak implementasi regulatory coherence sebagai bagian dari Trans-Pacific Partnership bagi Indonesia.