• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN TABANAN BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN TABANAN BALI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN REPRODUKSI SAPI BALI PADA KONDISI

PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN TABANAN BALI

(The Reproductive Performance of Bali Cattle at Small Holder Farmers

in Tabanan Bali)

ENDANG ROMJALI danAINUR RASYID

Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184

ABSTRACT

Bali cattle (Bos sondaicus) is one of the Indonesian breed beef cattle that have high level of fertility and reproductivity. A survey was conducted to study the reproductivity performance of Bali cattle belong to the farmers. The survey was carried out in Tabanan regency, province of Bali, which is the area of breeding stock and combined with the Bali Cattle Improvement Project (P3 Bali). The survey was done from 2004 to 2005 through observation technique and periodical monitoring. Cow body weight, calf birth weight and reproduction activities were observed. The material of the survey was 150 heads of Bali cow aged more than four years or had given birth twice. The parameters measured consisted of cow and calf performance, pregnancy duration, calving interval and days open. The data analysis was done based on General Linear Model (GLM) of SAS, and presented descriptively consisting of the average value and frequency of distribution. The variables measured consisted of the cow body weight, the calf birth weight, birth date and mating date. The result of the survey showed that the average body weight of cow was 276.0 ± 55.1 kg and the birth weight was 15.93 ± 0.40 kg. The peak season of birth Bali cow took place in the dry season during May to September each year. The reproductive performance of Bali cattle was good enough based on their calving interval average 388,6 days (13 months), the mating post partus (days open) was 115 ± 38 days, and the duration of pregnancy was 275 ± 10 days. It is concluded that the reproductive performance of cow of Bali cattle in the area of breeding stock in Tabanan had good level of efficiency based on their calving interval and days opens. The improvement of management and feed during the lactation is needed in order to improve the reproductive efficiency and survival of the calf.

Keys Word: Bali Cattle, Reproduction, Breeding Stock

ABSTRAK

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu sapi potong asli Indonesia yang mempunyai tingkat kesuburan yang cukup tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan produksi dan reproduksi sapi Bali pada lokasi yang berbeda di provinsi Bali. Penelitian dilakukan di Kecamatan Marga (Desa Payangan) dan Kecamatan Panebel (Desa Pesagi) Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, yang merupakan wilayah pengembangan BPTU Sapi Bali program P3 Bali. Pengamatan dilakukan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 secara survei dengan teknik observasi, wawancara secara berkala. Observasi dilakukan terhadap bobot badan induk, bobot lahir pedet dan aktivitas reproduksi. Materi penelitian menggunakan sebanyak 117 ekor sapi Bali induk yang berumur diatas 4 tahun atau telah beranak 2 kali. Parameter yang diukur meliputi performans induk dan pedet, lama kebuntingan, jarak beranak dan days open. Analisis data menggunakan

General Linear Model (GLM) menurut petunjuk SAS. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bobot badan

induk sapi Bali rata-rata sebesar 276,0 ± 55,1 kg. Puncak kelahiran sapi Bali terjadi musim kamarau mulai bulan Mei-September. Jarak beranak rata-rata sebesar 13,4 ± 1,4 bulan, dan kawin kembali setelah beranak (days open) adalah 115 ± 38 hari dan lama kebuntingan 275 ± 10 hari. Periode tahun kelahiran dan sistem perkawinan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap jarak beranak, sedangkan lokasi tidak nyata. Disimpulkan bahwa performans reproduksi induk sapi Bali di wilayah breeding stock di Kab. Tabanan mempunyai tingkat efisiensi yang cukup baik berdasarkan jarak beranak dan days open. Diperlukan perbaikan pengelolaan dan pakan selama menyusui untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan kelangsungan hidup pedetnya.

(2)

PENDAHULUAN

Salah satu parameter performans reproduksi yang menentukan tingkat efisiensi reproduksi pada usaha pembibitan sapi potong adalah jarak beranak; dipengaruhi oleh umur sapih,

estrus post partus, days open dan teknis

perkawinan. Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang mempunyai keunggulan dibading sapi potong lainnya yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi dan berkembang dibeberapa wilayah di Indonesia.

Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi Bali ditandai dengan aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah melahirkan (TALIB et al., 2001),

sehingga memberikan tingkat efisiensi reproduksi yang lebih baik dibading dengan sapi PO (PUTU et al.,1998). Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan, tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi). TALIB et al. (1998) menyatakan bahwa sapi Bali rela mengorbankan anaknya dengan cara meminimkan produksi susunya agar aktivitas reproduksinya (siklus birahi) segera aktif kembali setelah melahirkan, sedangkan sapi potong lainnya kebalikannnya yaitu menghentikan aktivitas reproduksinya dan terfokus pada pembesaran anaknya.

Hasil penelitian performans reproduksi induk sapi Bali dibeberapa wilayah di Indonesia telah banyak dilaporkan, tetapi data yang diperoleh cukup beragam untuk setiap lokasi. ENTWISTLE et al. (2001) telah menghimpun data jarak beranak induk sapi Bali di wilayah Nusa Tenggara Timur (15,4 ± 2,0 bulan), Nusa Tenggara Barat (16 bulan), Bali (14 bulan) dan Sulawesi Selatan (15,7 ± 1,8 bulan); dan kematian pedet sapi Bali di wilayah tersebut rata-rata berkisar antara 8 – 48%. Kinerja reproduksi induk sapi Bali yang bervariasi ini diduga karena pengaruh faktor lingkungan terutama gizi ternak dan tatalaksana yang diterapkan peternak. TOELIHERE (1983) melaporkan bahwa kegagalan reproduksi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor pengelolaan yaitu kurang gizi, defisiensi meneral, teknik inseminasi dan faktor internal ternak itu sendiri.

Kondisi lingkungan dan tatalaksana pemeliharaan yang berbeda setiap wilayah

secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kinerja reproduksi ternaknya. Penelitian tujuan untuk mengetahui kinerja jarak beranak sapi Bali berdasarkan lokasi pemeliharaan, periode tahun kelahiran dan sistem perkawinan yang berbeda.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Kecamatan Marga (Desa Payangan) dan Kecamatan Panebel (Desa Pesagi) Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, yang merupakan wilayah binaan Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3 Bali). Penelitian dilakukan tahun 2004 sampai 2005 secara survei dengan teknik observasi dan

monitoring secara berkala dengan mengikuti

kegiatan rutine P3 Bali. Observasi dilakukan dengan melakukan penimbangan bobot badan sapi induk dan aktivitas reproduksinya. Pengumpulan data reproduksi dilakukan dari data rekording di lapangan dari tahun 2003 sampai 2005. Materi penelitian menggunakan sebanyak 117 ekor sapi Bali induk dan mempunyai rata-rata umur 4 tahun atau telah beranak 2 kali. Parameter yang diamati meliputi performans induk dan pedet, lama kebuntingan, jarak beranak (calving interval) dan days open. Variabel yang diukur meliputi bobot badan induk, bobot lahir pedet, tanggal lahir dan tanggal kawin. Analisis data menggunakan General Liiear Model (GLM) menurut SAS (2004) dan disajikan secara

deskriptif meliputi nilai rata-rata dan frekuensi

distribusi. Jarak beranak induk yang dibedakan berdasarkan lokasi, periode tahun kelahiran dan sistem perkawinan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Musim kelahiran

Berdasarkan data kelahiran sapi Bali di lokasi pengamatan menunjukkan bahwa bulan kelahiran sapi Bali terjadi sepanjang tahun, dengan puncak kelahiran terjadi pada musim kemarau antara bulan Mei sampai September (Gambar 1). Data curah hujan tahun 2004 dari Meteorologi dan Geofisika di station Negara menunjukkan bahwa musim kemarau terjadi selama 3 bulan yaitu mulai bulan Juni sampai Agustus, namun masih terjadi hujan dengan

(3)

jumlah hari hujan perbulan antara 5 – 8 hari dan curah hujan antara 18 – 61 mm (Gambar 2).

Dari Gambar 1 terlihat bahwa kelahiran anak sapi Bali yang cukup tinggi terjadi mulai bulan Mei sampai September dan puncaknya terjadi pada bulan Juni, diprediksikan musim birahi dan kawin kembali berikutnya mulai bulan Juli dengan puncaknya bulan Oktober sampai Nopember (musim hujan). Hasil penelitian ini sesuai dengan sapi Bali di Kec. Gerokgak Kab. Buleleng Bali yaitu musim kelahiran terjadi mulai bulan Mei sampai Agustus, dan bulan birahi/kawin terjadi mulai bulan Juli dan puncaknya bulan Oktober sampai Nopember (YASA et al., 2005). Sedangkan di Pulau Sumbawa, NTB puncak kelahiran sapi Bali antara bulan Mei sampai Juli (PANJAITAN at al., 2003).

Gambar 1. Kelahiran anak sapi Bali pada tahun

2004

Gambar 2. Rata-rata curah hujan tahun 2004

Rata-rata bobot lahir anak sapi di lokasi pengamatan sebesar 15,93 ± 0,40 kg. Hasil tersebut lebih tinggi jika dibandingankan dengan rata-rata berat sapi Bali di peternakan rakyat di Sumbawa NTB sebesar 14,2 (PANJAITAN et al.. 2003). Kondisi ini diduga disebabkan ketersediaan pakan hijauan yang cukup berbeda, dimana di Sumbawa NTB

secara umum memiliki kondisi lingkungan lebih kering dibandingkan di Bali.

Puncak kelahiran sapi Bali yang bertepatan dengan musim kemarau (hijauan mulai berkurang), akan berpengaruh terhadap keberlangsung hidup pedet, penurunan bobot badan dan aktivitas reproduksi induk induk selama menyusui.

Jarak beranak

Jarak beranak sangat dipengaruhi estrus

post partus maupun days open, yaitu semakin

besar days open maka jarak beranak.juga semakin panjang. Jarak beranak sapi Bali di lokasi pengamatan berkisar antara 209 – 508 hari dengan rata-rata 388,6 hari. Dari sebanyak 102 ekor sapi induk yang diamati memiliki sebaran frekuansi jarak beranak adalah tertinggi diatas 14 bulan (33%), disusul > 12 – ≤ 13 bulan (27%) dan < 12 (18%) (Tabel 1). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan LUBIS dan SITEPU (1998), jarak beranak sapi Bali di wilayah breeding stock di Kab. Lampung Utara antara 290 – 566 hari (9,6 – 18,8 bulan) dengan frekuensi terbesar (27%) berkisar antara 411 – 440 hari atau 13,7 – 14,6 bulan.

Tabel 1. Sebaran frekuensi jarak beranak sapi Bali

di lokasi pengamatan

Selang calving interval Ekor (%)

< 12 bulan 18 18

> 12 – ≤ 13 bulan 28 27 > 13 – ≤ 14 bulan 22 22

> 14 bulan 34 33

Jumlah 102 100

Hasil analisis stastistik terhadap jarak beranak sapi Bali dengan perbedaan lokasi, periode tahun kelahiran, sistem perkawinan dan bobot badan induk disajikan dalam Tabel 2.

Jarak beranak sapi Bali di 2 lokasi (Kec. Marga dan Panebel) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal tersebut diduga bahwa baik ketersedian pakan dan manajemen pemeliharaan sapi di kedua lokasi hampir sama. Namun demikian periode kelahiran dan sistem perkawinan masing-masing menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P <

0,01), sedangkan bobot badan induk

0 100 200 300 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan C ura h huja n (m m ) 0 5 10 15 20 25 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 6 11 12 Bulan Pe rs en ta se ke la hi ra n (% )

(4)

berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap jarak beranak.

Tabel 2. Jarak beranak sapi Bali berdasarkan lokasi,

periode kelahiran, sistem perkawinan dan bobot badan induk

Keragaman N Rata-rata (hari)

Lokasi pengamatanns

Kec. Marga 34 395,83 ± 9,69a Kec. Panebel 83 380,09 ± 6,78a Periode tahun kelahiran**

2003/2004 34 373,16 ± 5,89a 2004/2005 83 402,76 ± 4,54b Sistem perkawinan**

IB 90 404,85 ± 6,76a

Kawin alam 27 371,07 ± 9,52b Bobot badan induk (kg)*

< 250 19 431,06 ± 9,49a 250 – 300 21 387,08 ± 8,93b > 300 8 396,68 ± 15,16b Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap kelompok: ns tidak berbeda nyata; *berbeda nyata (P < 0,05); **sangat nyata (P < 0,01)

Periode kelahiran sapi Bali terjadi sepanjang tahun, tetapi puncak kelahirannya akan mengikuti pengaruh musim. Rata-rata jarak beranak sapi Bali untuk periode tahun kelahiran anak 2003/2004 (373,16 hari) sangat nyata lebih pendek dibandingkan pada periode 2004/2005 (402,76 hari). Kondisi tersebut diduga erat kaitannya dengan ketersediaan pakan akibat adanya perubahan musim yang terjadi pada kedua periode tahun pengamatan tersebut, sehingga berpengaruh terhadap kondisi pakan dan reproduksi (pola perkawinan) sapi Bali. SARIUBANG et al. (1992) menyatakan bahwa perkawinan pada sapi Bali cenderung mengikuti musim kawin (seasonal breeding) seperti nenek moyangnya yaitu banteng liar, sehingga sapi yang gagal kawin atau abortus tidak akan kawin pada musim kawin tersebut.

Demikian juga halnya dengan perbedaan sistem perkawinan. Jarak beranak sapi yang selalu dikawinkan dengan Inseminasi Buatan (404,85 hari) lebih panjang jika dibandingkan dengan sistem kawin alam (371,07 hari). Hal ini diduga pada sistem perkawinan IB banyak

faktor yang dapat berpengaruh antara lain kecermatan deteksi estrus dan pelaporan oleh peternak ke petugas IB. Selain itu kondisi sarana transportasi dan komunikasi untuk daerah yang jauh dari pusat kecamatan seperti beberapa desa di kecamatan Panebel masih berkendala, sehingga penggunaan pejantan alam lebih tepat (efisien) untuk wilayah tersebut.

Hasil pengamatan di 2 lokasi (Kec. Marga dan Penebel, Kabupaten Tabanan Bali), rataan bobot badan induk sapi Bali adalah 266,85 kg dengan bobot badan minimal dan maksimal sebesar 193 dan 414 kg berturut-turut. TALIB et

al. (2002) melaporkan, rata-rata bobot badan

induk dewasa sapi Bali yang ada di Provinsi Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan adalah berturut-turut 302,3; 241,9; 221,5 dan 211,0. Adanya perbedaan bobot badan induk sapi Bali yang berada di Bali ini dimungkinkan selain pada pengamatan ini memiliki variasi yang tinggi juga adanya pengaruh lain diantaranya kecukupan pakan yang juga dipengaruhi oleh bulan kering dan basah. Bobot badan induk terbukti nyata (P < 0,05) berpengaruh terhadap jarak beranak, dimana induk yang memiliki rata-rata bobot badan kurang dari 250 kg (431,06 hari) lebih panjang dibandingkan induk dengan bobot badan 250 – 300 kg (387,08 hari) dan > 300 kg (396,68 hari). Hal ini diduga disebabkan induk yang memiliki bobot badan yang lebih tinggi setelah melahirkan memiliki aktivitas reproduksi lebih baik. Sejalan dengan yang dikemukan BAMUALIM dan WIRDAHAYATI (2003) melaporkan bahwa sapi induk yang mempunyai kondisi tubuh yang bagus dengan skor kondisi tubuh 3 (skala 1 – 5) dengan bobot badan rata-rata sebesar 223 kg akan menghasilkan tingkat kebuntingan yang tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Keragaan reproduksi sapi Bali di Kecamatan Marga dan Panebel Kabupaten Tabanan Propinsi Bali dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pakan dan manajemen. Induk sapi Bali yang memiliki rata-rata bobot badan diatas 250 kg memiliki jarak beranak lebih pendek. Jarak beranak pada sapi yang lebih panjang akibat kegagalan dalam perkawinan dapat diperbaiki dengan melakukan sistem

(5)

perkawinan secara alam dengan menggunakan pejantan.

DAFTAR PUSTAKA

BAMUALIM, A. dan R.B. WIRDAHAYATI. 2003. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Proc of Workshop 4 – 7 February 2002, Bali, Indonesia. Ed. K. Entwistle and D.R. Lindsay. ACIAR. No. 110. Canberra. BPS. 2005. Bali dalam Angka 2004/2005. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali.

ENTWISTLE, K., C.THALIB, A.R. SIREGAR, S. BUDIARTI,W.TURNER and D.LINDSAY. 2001. Bali cattle performace: Current population dynamics and performance and some strategies for improvement (A. Preliminary Report). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 32 – 39. LUBIS, A.M. dan P. SITEPU. 1998 Performans

reproduksi sapi Bali dan potensinya sebagai breeding stock di Kecamatan Lampung Utara. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 1 – 2 Desember 1998. Puslibang Peternakan, Jilid I.

PANJAITAN, T., G. FORDYCE dan D. POPPI. 2003. Bali cattle performance in the dry tropics of Sumbawa. JITV 8(3): 183 – 188.

PUTU, I-G., P. SITUMORANG, P. LUBIS, T.D. CHANIAGO, E. TRIWULANINGSIH, T. SUGIARTI, I-W. MATHIUS dan B. SUDARYANTO.1998. Pengaruh pemberian pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah kelahiran terhadap performan produksi dan Reproduksi Sapi Potong. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 1 – 2 Desember 1998. Puslibang Peternakan, Bogor. hlm. 279 – 286.

SARIUBANG, M.,P. PONGSAPAN dan A.PRABOWO. 1992. Tingkat Kelahiran Sapi Bali di Kecamatan Taneteriaja Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. J. Ilmiah Peternakan

Ternak Gowa. 1(2).

TALIB, C., A. BAMUALIM dan A. POHAN. 2001. Pengaruh perbaikan pakan pada pola sekresi hormon progesteron induk sapi Bali bibit dalam periode post partus. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 79 – 84.

TALIB, C., K. ENTWISTLE., A.R. SIREGAR, S. BUDIARTI,W.TURNER andD.LINDSAY. 2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. In: ENTWISTLE,K. and D.LINDSAY (Ed.). Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. ACIAR, Camberra. 110: 3 – 9.

TALIB, C., A. BAMUALIM dan A. POHAN. 1998. Problematika pengembangan sapi Bali dalam pemeliharaan di padang pengembalaan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1 – 2 Desember 1998. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 248 – 253.

TOELIHERE, M.R. 1983. Tinjauan tentang penyakit reproduksi pada ruminansia besar di Indonesia. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. YASA,IM.R.,IN.ADIJAYA dan S.GUNTORO. 2005.

Peluang inovasi teknologi budidaya ternak sapi di lahan kering melalui pendekatan PRA (kalender musim). Pros. Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian bekerjasama dengan BPTP Bali.

Gambar

Tabel 1.  Sebaran frekuensi jarak beranak sapi Bali  di lokasi pengamatan
Tabel 2. Jarak beranak sapi Bali berdasarkan lokasi,  periode kelahiran, sistem perkawinan dan  bobot badan induk

Referensi

Dokumen terkait

1 Persentase distribusi frekuensi jumlah sampel penelitian yang memenuhi kriteria pada suku Batak Toba Oklusi klas I Angle usia. 19-

Hubungan Minat Belajar Dengan Hasil Belajar Berdasarkan data yang ditemukan bahwa minat belajar kela X dan XII SMK Putra Tama bantul berada pada kategori sangat tinggi hak ini

Hasil dari uji F dibuktikan dengan menunjukkan tingkat signifikan 0,000 &lt; 0,05 dan dapat disimpulkan bahwa secara bersama inovasi, kesesuaian, keunggulan

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) Menemukan pedoman keterampilan dasar komunikasi konseling untuk meningkatkan efektivitas konseling individual (2)

judul Pondok Pesantren Modern di Semarang dimulai pukul 10.30 WIB yang dibuka oleh. Bapak Ir. Moedjiono, yang dimulai dengan sesi presentasi kemudian dilanjutkan

•Di dalam Dhamma yang dinyatakan dengan sempurna olehKu demikian itu, wahai para bhikkhu, yang jelas, terbuka, telah diperlihatkan dan. seperti kain usang

Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan-pembiayaan bermasalah di KSPPS Bina Insan Mandiri, (2) untuk