• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelakasanaan Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Kredit Yang Hanya Diikuti Dengan Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelakasanaan Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Kredit Yang Hanya Diikuti Dengan Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEKUATAN HUKUM TERHADAP JAMINAN YANG HANYA DIIKUTI DENGAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN

A. Ruang Lingkup Jaminan Yang Berupa Hak Tanggungan 1. Pengertian Jaminan

Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu

kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur,

yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai

tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.39 Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan telah

digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan

daripada istilah agunan.40 Berkaitan dengan pengaturan hukum jaminan, dalam Pasal 51 UUPA, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan

pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan , sebagai pengganti lembaga hipotek

(hypootek) dan credietverband, yang akan diatur dalam suatu undang-undang tersendiri. Dengan lahirnya UUPA, baik lembaga hak jaminan hipotek maupun

credietverband akan dilebur menjadi Hak Tanggungan.41

Jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil risiko apabila

debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit

39

Rachmadi Usman,Hukum Jaminan Keperdataan,(Jakarta: Sinar Grafika,2009), hal 66

40

Ibid, hal 69.

41Ibid

(2)

yang telah dikucurkan. Dengan adanya jaminan apabila debitur tidak mampu

membayar maka debitur dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang telah

diberikannya.42

Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian

atas pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh

penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan persyaratan untuk memperkecil

risiko bank dalam menyalurkan kredit. Walaupun demikian secara prinsip jaminan

bukan persyaratan utama. Bank memprioritaskan dari kelayakan usaha yang

dibiayainnya sebagai jaminan utama bagi pengembalian kredit sesuai dengan jadwal

yang disepakati bersama. Sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali dana

yang telah disalurkan oleh kreditur kepada debitur, jaminan hendaknya

dipertimbangkan dua faktor, yaitu:43

a. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan, jika dikemudian hari

terjadi wanprestsi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk

melakukan tindakan eksekusi.

b. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur, dengan

mempertimbangkan dua faktor diatas, jaminan yang diterima oleh pihak bank

42

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 67

43

(3)

dapat meminimal risiko dalam penyaluran kredit sesuai dengan prinsip

kehati-hatian (prudential banking). Secara normatif sarana perlindungan bagi kreditur tercantum dalam berbagai ketentuan perundang-undangan.

Hukum jaminan telah ada sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, Jepang,

dan zaman kemerdekaan sampai saat ini. Pada zaman Hindia Belanda, ketentuan

hukum yang mengatur tentang Hukum Jaminan dapat dikaji dalam Buku II

KUHPerdata dan Staatsblad 1908 Nomor 542 dan telah diubah dengan Staatsblad

1937 Nomor 190 Tentang Credietverband. Dalam Buku II KUHPerdata, ketentuan hukum yang berkaitan dengan Hukum Jaminan adalah gadai (pand) dan hipotek.

Pand diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata, sedangkan hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUHPerdata.44

Hukum jaminan tergolong dalam bidang hukum yang akhir-akhir ini populer

disebut sebagai economic law (hukum ekonomi) wiertschaftrecht atau droit economic yang mempunyai fungsi menunjang pembangunan ekonomi dan kemajuan

pembangunan pada umumnya.45 Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J.

Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang

44

Salim H.S., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 5.

45

(4)

jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya

hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang.46 Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah Pasal 8 ayat (1) UUP

yang menyatakan bahwa :

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang

mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh

ketentuan-ketentuan KUHPerdata adalah sebagai berikut:47 a. Kedudukan Harta Pihak Peminjam

Pasal 1131 KUHPerdata mengatur tentang kedudukan harta peminjam, yaitu

bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan

(tanggungan) atas utangnya.

Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam,

baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah

ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan

utang pihak peminjam. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan salah satu

ketentuan pokok dalamhukum jaminan, yaitumengatur tentang kedudukan harta

pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya.

46

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 3

47

(5)

b. Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa

kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu

yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing

dan yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang

lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

Pasal 1132KUPerdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi

jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta

tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

piutang masing-masing, kecuali apabila diantara pihak pemberi pinjaman iu

mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan.

c. Larangan Memperjanjikan Pemilikan Objek Jaminan Utang oleh Pihak Pemberi

Pinjaman.

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikann akan memiliki objek

jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang demikian diatur oleh Pasal 1154KUHPerdata tentang gadai, Pasal 1178 tentang

Hipotek.

Larangan bagi pihak pemberi pinjaman untuk memperjanjikan akan memiliki

objek utang sebagaimana yansg ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga

jaminan tersebut tentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan

pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi

(6)

berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang secara serta-merta menjadi

pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjama ingkar janji.

Ketentuan-ketentuan seperti tersebut diatas tentunya akan dapat mencegah tindakan

sewewang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak

peminjam.

2. Kedudukan Hak Tanggungan Sebagai Jaminan

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda

antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang

sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi

tuntutan itu.

Pengertian hak tanggungan adalah sebagai jaminan security (jaminan) hutang dengan tanah sebagai agunannya. Penjelasan Pasal 25 UUPA menyatakan, bahwa

tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap di tangan pemiliknya, sehingga

berbeda dengan Hak Gadai dimana tanahnya beralih kepada pemegang gadai.48

Pemberian hak tanggungan didahulukan dengan janji untuk memberikan hak

tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan

merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan

atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.49

48

A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,(Bandung: Mandar Maju, 2008), hal222.

49

(7)

UUHT mengatur lembaga jaminan yang disebut hak tanggungan. Lembaga

jaminan hak tanggunan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa

tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Sejak

berlakunya UUHT pada tanggal 9 April 1996, pengikatan objek jaminan utang berupa

tanah sepenuhya dilakukan melalui lembaga jaminan hak tanggungan.50

Dengan mulai berlakunya UUHT tanggal 9 April 1996, hak tanggungan

merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah

Nasional yang tertulis.51 Pasal 57 merupakan pasal peralihan mengenai masih berlakunya ketentuan-ketentuan Hypotheek dan Credietverband sebagai pelengkap ketentuan mengenai hak tanggungan. Hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah

Nasional kita adalah Hak Tanggungan, menggantikan Hypotheek dan Credietverband

sebagai lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yang ketentuannya diatur oleh

hukum tertulis dalam Hukum Tanah lama.52

UUHT dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA, yang menggantikan

berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang diatur dalam KUHPerdata Indonesia dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908 No.542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.190. Hal-hal mengenai tidak berlakunya lagi ketentuan-ketentuan hypotheek ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 29 UUHT yang menyatakan:

50

M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2012, hal 22.

51

Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,(Jakarta: Djambatan, 1997), hal 380.

52Ibid

(8)

“Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan dalam Staatsblad

1908-542 jo. Staatsblad 1909-586, dan Staatsblad 1909-584, sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191, dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah, besera benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.”

Berdasarkan Pasal 11 ayat 1 UUHT dinyatakan bahwa hak tanggungan atas tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya hak tanggungan

adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas sebagaimana dimaksud dalam

UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan

dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

diutamakan keapada kreditur-kreditur lain.53

Pasal 4 Penjelasan Umum UUHT, antara lain menyatakan bahwa hak tanggungan

adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut, disimpulkan bahwa hak tanggungan merupakan salah

satu bentuk jaminan kredit yang mempunyai hak preferent bagi

pemegangnya/kreditur, yang mempunyai objek jaminan berupa hak atas tanah yang

telah ditetapkan dalam UUHT. Termasuk hak tanggungan adalah benda-benda lain

yang merupakan bagian dari tanah itu yang berada di atasanya, yang ditegaskan

dalam akta pemberian hak tanggungan.54

53

Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Jakarta:Ghalia Indonesia,2009), hal 158.

54Ibid.

(9)

Pemerintah telah memberlakukan UUHT. Terdapat 4 alasan Presiden untuk

membentuk UUHT, yaitu sebagai berikut:55

a. Pembangunan Nasional butuh dana cukup besar yang sebagian besar

diperbolehkan melalui perkreditan. Oleh karena itu, diperlukan lembaga hak

jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum.

b. Pasal 51 Undang-Undang nomor 4 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria menghendaki Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak

atas tanah diatur dengan undang-undang.

c. Ketentuan mengenai Hypotheek atas tanah dalam Buku II KUHPerdata dan

Credietverband dalam Staatblad 1908-542 jo. S.1937-190 tidak sesuai lagi dengan kebutuhan.

d. Hak Pakai atas tanah tertentu wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat

dipindahtangankan, perlu juga dimungkinan untuk dibebani Hak Tanggungan.

Empat alasan diatas pada dasarnya merupakan reaksi terhadap timbulnya

perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan

hukum jaminan atas tanah, misalnya mengenai pencantuman titel eksekutorial,

pelaksanaan eksekusi, dan sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan

tersebut kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan.

Berdasarkan keempat alasan tersebut, telah ditetapkan UUHT yang diharapkan

akan menjadi hak jaminan atas tanah yang kuat dengan empat ciri-ciri: 56

55

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan,( Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal 4.

56Ibid

(10)

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya;

b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu

berada;

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga

dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap

kreditur-kreditur lain.57

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat didalam definisi

tersebut. Unsur-unsur pokok itu ialah:58

a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.

b. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

c. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat

pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah itu.

d. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu

57

Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, edisi kedua, cet. 1,(Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal. 11

(11)

e. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap

kreditor-kreditor lain.

Ada beberapa asas dari hak tanggungan yang perlu dipahami betul yang

membedakan hak tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan utang yang

lain. asas tersebut tersebar dan diatur dalam berbagai pasal dari UUHT.

Asas-asas hak tanggungan tersebut adalah:59

a. Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur

pemegang hak tanggungan (Pasal 1 (1) UUHT).60

Dari definisi hak tanggungan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui

bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh

atau yang menjadi pemegang hak tanggungan tersebut. Sedangkan dalam

Penjelasan Umum UUHT, bahwa yang dimaksud dengan “memberikan

kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain

ialah bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak

menjual melalui pelelangan umum.

b. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) UUHT).61

Artinya bahwa hak tanggungan membebankan secara utuh objek hak

tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang

59

Sutan Remy Sjahdeini. Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah-Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan),(Bandung : Alumni, 1999),hal 15.

60Ibid 61Ibid,

(12)

yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek hak tanggungan dari beban

hak tanggungan, melainkan hak tanggungan tetap membebani seluruh objek hak

tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Menurut Pasal 2 ayat (1) jo

ayat (2) UUHT, sifat tidak dapat dibagi-bagi dapat disimpangi oleh para pihak

apabila para pihak menginginkan hal yang demikian dengan memperjanjikan

dalam APHT, namun penyimpangan itu hanya dapat dilakukan sepanjang hak

tanggungan dibebankan kepada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang

yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai

masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak

tanggungan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga

kemudian hak tanggungan hanya membebani sisa objek hak tanggungan untuk

menjamin sisa utang yang belum terlunasi.

c. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) UUHT).62 Dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk

melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi

hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Berhubungan

dengan ketentuan itu, maka hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas

tanah yang telah dimiliki oleh pemegang hak tanggungan. Oleh karena itu, hak atas

tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat

dijaminkan dengan hak tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu pula tidak

62Ibid

(13)

mungkin untuk membebankan hak tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru

akan ada di kemudian hari.

d. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan

dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) UUHT).63

Hak tanggungan dapat membebankan bukan saja pada hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan tetapi juga berikut bangungan, tanaman dan hasil

karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, oleh UUHT disebut

sebagai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Benda-benda yang

berkaitan dengan tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan bukan

terbatas pada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah

tersebut.

e. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan

ada di kemudian hari(Pasal 4 ayat (4) UUHT).64

Dengan syarat diperjanjikan secara tegas. Meskipun hak tanggungan hanya

dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, namun sepanjang hak tanggungan

dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah ternyata

dimungkinkan. Dalam pengertian “yang baru akan ada” ialah benda-benda yang

63Ibid

, hal 26

64Ibid

(14)

pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah yang

dibebani hak tanggungan tersebut.

f. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir)(Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) UUHT).65

Perjanjian hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri

tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut

perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian hak tanggungan adalah

perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dijamin itu. Dengan kata

lain perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian accesoir. Dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT disebutkan : “Oleh karena Hak Tanggungan menurut

sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka

kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin

pelunasannya”.

g. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1)

UUHT).66

Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHT dapat dijaminkan untuk :

1). Utang yang telah ada.

65Ibid

, hal 28.

66Ibid

(15)

2). Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan

jumlah tertentu.

3). Utang yang baru akan ada, akan tetapi telah diperjanjikan sebelumnya

dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan

diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian

lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.

h. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) UUHT).67 Pasal 3 ayat (2) UUHT menentukan sebagai berikut :

“Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu

hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa

hubungan hukum” Pasal 3 ayat (2) UUHT, memungkinkan pemberian satu Hak

Tanggungan untuk :

1. Beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan

satu perjanjian utang piutang.

2. Beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan

beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditur

dengan debitur yang bersangkutan.

i. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7 UUHT).68

67Ibid

, hal 34.

68Ibid,

(16)

Dengan demikian maka hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek

hak tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apapun juga (droit de suite). Asas ini memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah atau hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan itu bila debitur cidera janji, sekalipun tanah atau

hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan itu dijual oleh pemiliknya

kepada pihak ketiga.

j. Tidak dapat diletakan sita oleh pengadilan.69

Tidak dapat diletakkan sita karena tujuan dari hak jaminan pada umumnya

dan khususnya hak tanggungan itu sendiri. Tujuan dari hak tanggungan adalah

untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang hak

tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Bila terhadap hak

tanggungan dimungkinkan sita oleh pengadilan, maka berarti pengadilan

mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditur

pemegang hak tanggungan. Penegasan dalam UUHT bahwa hak tanggungan

tidak dapat diletakkan sita, dapat memberikan kepastian hukum bagi semua

pihak, apabila tidak ditegaskan maka akan timbul perbedaan menyangkut

penafsiran hukum.

69Ibid

(17)

k. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) UUHT).70 Asas ini menghendaki bahwa hak tanggungan hanya dapat dibebani atas tanah

yang ditentukan secara spesifik. Lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e,

menunjukan bahwa objek hak tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukan

dalam APHT yang bersangkutan.

l. Wajib didaftarkan(Pasal 13 UUHT).71

Terhadap hak tanggungan berlaku asas publisitas atas asas keterbukaan.

Menurut Pasal 13 UUHT,pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada

Kantor Pertanahan, dimana merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak

tanggungan dan mengikatkan hak tanggungan terhadap pihak ketiga. Tidaklah

adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu hak tanggungan

asas-suatu objek hak tanggungan apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk

mengetahui tentang pembebanan hak tanggungan. Hanya dengan cara pencatatan

atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga

dapat mengetahui tentang adanya pembebanan hak tanggungan atas suatu hak

atas tanah.

70Ibid

hal 42.

71Ibid

(18)

m. Pelaksanaan eksekusi lebih mudah dan pasti.72

Pasal 6 UUHT, memberikan hak kepada pemegang hak tanggungan untuk

melakukan parate eksekusi. Hal ini berarti pemegang hak tanggungan tidak perlu bukan saja memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan, tetapi juga

tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan

eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal

debitur cidera janji. Pemegang hak tanggungan dapat langsung datang dan

meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek

hak tanggungan yang bersangkutan. Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan

tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan,

memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

n. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu(Pasal 11 ayat (2) UUHT).73 Janji-Janji tersebut dicantumkan dalam APHT yang bersangkutan. Dalam

Pasal 11 ayat (2) UUHT, janji-janji tersebut bersifat fakultatif dan tidak limitatif.

Janji-janji tersebut bersifak fakultatif, karena janji-janji tersebut boleh atau tidak

dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bersifat tidak limitaif, karena

72Ibid

, hal 46.

73Ibid

(19)

dapat pula diperjanjikan janji-janji lain selain janji yang telah dicantumkan sesuai

dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.

o. Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjiakan untuk dimiliki sendiri oleh

pemegang Hak Tanggungan bila debitor cidera janji.74

Pasal 12 UUHT, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak

tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji,

batal demi hukum. Larangan pencantuman janji ini, dimaksudkan untuk

melindungi debitur, agar dalam kedudukannya yang lemah dalam menghadapi

kreditur (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit)

terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan bagi

dirinya.

B. Tinjauan Umum Mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 1. Pengertian Mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Pada asasnya surat kuasa tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu bisa lisan,

tertulis, dibawah tangan maupun otentik. Bahwa pada asasnya pemberian hak

tanggungan wajib dilakukan oleh pemilik sendiri adalah sesuai dengan asas umum,

74Ibid

(20)

yang mengatakan bahwa pada dasarnya tindakan hukum harus dilakukan oleh

berkepentingan sendiri. 75

Secara umum surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab

keenam belas, buku III KUHPerdata, sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk

pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami

pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUHPerdata, yang berbunyi

“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelengarakan suatu urusan”.76

Dilihat dari cara merumuskannya, pemberian kuasa ini dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu secara khusus dan umum, hal ini sesuai dengan Pasal 1795 KUHPerdata.

Dilihat dari jenis surat kuasa yang diatur dalam undang-undang dapat dibedakan

menjadi 4 jenis surat kuasa, yaitu:77 1. Kuasa umum

Dalam Pasal 1796 KUH Perdata, menyatakan pemberian kuasa yang dirumuskan

secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk

memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat

suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh

seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas.

75

J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal 165.

76

Pasal 1792 BW.

77 Endsten’s Blog, Jenis Surat

(21)

Titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan

kepentingan pemberi kuasa.

2. Kuasa Khusus

Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dilakukan secara khusus, yaitu hanya

mengenai suatu kepentingan atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan

pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi

kuasa sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa khusus ini, tidak

bisa hanya mengiktui ketentuan sesuai dengan Pasal 123 HIR ayat (1), yang

menyatakan bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili

oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus,

kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi

kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan dimasukkan menurut

ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut Pasal 120,

maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang

dibuat surat gugat ini.

Apabila di lihat dari makna yang terkandung pada pasal tersebut dari sudut

pandang pengaturan pembuatan pemberian kuasa, surat kuasa khusus dalam format

pasal ini sangat lah sederhana, hanya dengan memberikan judul khusus pada surat

kuasa, kemudian dibuat dalam bentuk tertulis. Bentuk yang terlalu sederhana ini

(22)

sehingga dilakukan lah penyempuranaan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui

SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) tentang ciri surat kuasa khusus yang

benar-benar dapat membedakannya dengan surat kuasa umum. Dalam perkembangan nya

SEMA ini juga mengalami beberapa pergantian, dimulai dari SEMA No.2 Tahun

1959, sampai dengan yang terakhir SEMA No. 6 Tahun 1994, 14 Oktober 1994.

Dalam SEMA yang terakhir, pada dasarnya lebih kembali menyerupai dengan syarat

pembuatan surat kuasa khusus yang diatur pada SEMA No.02 Tahun 1959, karena

SEMA ini dianggap lebih tepat untuk penyempurnaan ciri dari surat kuasa khusus

dibanding dengan SEMA setelahnya -sebelum SEMA terakhir. Persyaratan pembuat

surat kuasa khusus menurut SEMA ini yaitu:

a. Dalam surat kuasa khusus harus menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat

kuasa, untuk berperan di pengadilan

b. Menyebutkan tentang kompetensi relatif

c. Menyebut identitas dan kedudukan para pihak secara jelas, dan

d. Menyebut secara ringkas dan kongkret pokok dan obyek sengketa yang

diperkarakan.

3. Kuasa Istimewa

Surat kuasa istimewa diatur dalam Pasal 157 HIR (Pasal 187 RBg), yang

(23)

akan menyuruh bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan untuk

mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi dengansurat yang sah,

di mana dengan saksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan diangkat itu.

4. Kuasa Perantara

Surat kuasa perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum

tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang dilakukan agen, mengikat principal sebagi pemberi kuasa, sepanjang tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan

yang diberikan. Kuasa ini berdasar dengan Pasal 1972 KUHPerdata yang mengatur

secara umum tentang surat kuasa.

SKMHT merupakan suatu bentuk surat kuasa khusus yang isinya pemberian

kuasa dari pemberi hak tanggungan kepeda penerima hak tanggungan untuk

membebankan hak tanggungan atas objek hak tanggungan. Dasar untuk lahirnya

lembaga jaminan atas tanah yaitu Hak Tanggungan telah diamanatkan dalam Pasal 15

UUPA. 78 Menurut Pasal 10 ayat 2 UUHT, setelah perjanjian pokok itu diadakan, pemberi hak tanggungan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, apabila si pemberi hak

78

(24)

tanggungan tidak dapat hadir saat pembuatan APHT, maka dapat dilakukan dengan

SKMHT yag telah diatur dalam UUHT79.

Hukum yang secara khusus mengatur SKMHT adalah sebagai berikut: 80

a. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 3 Tahun 1996 tentang Bentuk

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemmberian Hak

Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.

c. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.4 Tahn 1996 tentang

Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.

Dilihat dari bentukanya, SKMHT telah diatur secara baku dalam bentuk blanko,

sebagaimana lampiran Peraturan Menteri Negara Agraria, sehingga pejabat umum

tidak dapat membuat SKMHT berdasarkan kemauan masing-masing. Pihak yang

membuat SKMHT telah ditentukan dan waib dibuat secara akta notaris atau akta

PPAT, sedangkan surat kuasa tidak terdapat kewajiban yang demikian81.

Pada asasnya pemberian hak tanggungan wajib dihadiri dan dilakukan sendiri

oleh pemberi hak tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan

hukum membebankan hak tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Hanya

79Ibid. 80

Try Widiyono,Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 260.

81Ibid,

(25)

apabila benar-benar diperlukan dan berhalangan, kehadirannya untuk memberikan

hak tanggungan dan menandatangani APHT-nya dapat dikuasakan kepada pihak

lain.82

Dalam penjelasan umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT

dinyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi

hak tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT. Pembuatan SKMHT selain oleh

Notaris juga ditugaskan kepada PPAT karena PPAT ini keberadanya sampai pada

wilayah Kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Isi

SKMHT tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:83

a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada

membebankan Hak Tanggungan.

b. Tidak memuat kuasa substitusi.

c. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta

identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi

hak tanggungan.

Menurut Pasal 15 ayat (3) UUHT, SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah

terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT paling lambat 1 (satu) bulan sesudah

diberikan. Sedangkan menurut ayat (4), SKMHT mengenai hak atas tanah yang

82

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaanya,ed revisi, cet.7 (Jakarta:Djambatan,1997), hal 401

83

(26)

belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT paling lambat 3 (tiga) bulan

sesudah diberikan.84

Ada 2 (dua) alasan pembuatan dan penggunaan SKMHT, adalah :

1. Syarat subjektif yaitu :

a. Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan Notaris/Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat akta Hak Tanggungan.

b. Prosedur pembebanan Hak Tanggunan panjang/lama.

c. Biaya pembuatan Hak Tanggungancukup tinggi.

d. Kredit yang diberikan jangka pendek.

e. Kredit yang diberikan tidak besar/kecil.

f. Debitur sangat dipercaya/bonafid.

2. Syarat objektif yaitu :

a. Sertifikat belum diterbitkan.

b. Balik nama atas tanah pemberi HakTanggungan belum dilakukan.

c. Pemecahan/penggabungan tanahbelum selesai dilakukan atas nama pemberi

Hak Tanggungan.

d. Roya/pencoretan belum dilakukan

84

(27)

2. Objek Yang Digunakan Sebagai Jaminan Dalam Surat Kuasa Mebebankan Hak Tanggungan

Objek-objek hak tanggungan yang dapat digunakan sebagai jaminan dalam suatu

perjanjian kredit perbankan adalah sebagai berikut:

a. Hak milik

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan tepenuh yang dapat dipunyai

orang atas tanah dan memberi kewenangan untuk menggunakannya bagi segala

macam keperluan selama waktu tidak terbatas, sepanjang tidak ada larangan untuk

itu dengan mengingat fungsi sosial atas tanah.85

Subjek hak milik atas tanah adalah perorangan atau warga negara Indonesia

dan badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh peraturan pemerintah Nomor 38

Tahun 1963 tentang Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat

Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Badan-badan hukum tersebut adalah

bank-bank Pemerintah, lembaga keagamaan yang disahkan oleh Menteri Agama dan

lembaga sosial yang ditunuk oleh Menteri Sosial.

b. Hak guna usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu dan luasan tertentu guna

perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.86

85

H.Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti Di Indonesia Termasuk Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing,(Bandung: Mandar Maju,2013),hal 19.

86Ibid

(28)

Subjek hak guna usaha adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan

penentuan subjek hak tersebut berarti hak guna usaha tersebut dapat dianggaap

sebagai hak yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang sepenuhnya tidak

dimungkinkan untuk diberikan kepada orang asing atau badan hukum asing.

c. Hak Guna Bangunan87

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangungan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka

waktu tertentu dan luasan tanah tertentu.

Subjek hak guna bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan hukum

yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Sebagaimana hak milik dan hak guna usaha, hak guna bangunan ini dapat

dianggap sebagai hak yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang

sepenuhnya antara subjek hak dan objek hak tanahnya, sehingga tidak

dimungkinkan untuk diberikan kepada orang asing atau badan hukum asing.

d. Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai lagusung oleh negara atau tanah milik orang lain yang

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian

haknya/perjanjiannya.

87Ibid

(29)

Subjek dari hak pakai ini, tergantung kepada jenis haknya, sebab hak pakai

dibagi dua, yakni hak pakai privat dan hak pakai publik. Hak pakai privat

subjeknya adalah perseorangan warga negara Indonesia dan juga orang asing yang

berkedudukan di Indonesia serta dapat juga diberikan kepada badan hukum

Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Sedangkan subjek hak pakai publik adalah Lembaga Pemerintah/Daerah,

perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional, Badan hukum sosial

dan keagamaan.88

Pada dasarnya hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah saja.

Hak Tanah yang dapat dijadikan jaminan sesuai UUPA yaitu Hak Milik, Hak Guna

Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut

sifatnya dapat dipindahtangankan (Pasal 4 ayat (1) UUHT). Selain hak-hak atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Hak Pakai atas tanah negara yang

menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat

dipindatangankan dapat juga dibebani hak tanggungan (Pasal 4 ayat (2) UUHT).

Pembebanan hak tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT).

88Ibid

(30)

C. Perjanjian Kredit Yang Hanya Berlandaskan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

1. Jaminan Kredit Yang Hanya Diikat Berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Terhadap suatu jaminan dalam perjanjian kredit bank yang hanya diiukti dengan pembuatan SKMHT tentu tidak kuat kekuatan hukumnya, tidak dapat menjadi pegangan yang kuat bagi pribadi pihak banknya. Tidak kuat karena hanya berlandaskan SKMHT saja, tetapi tidak dilanjuti dengan pembuatan APHT. 89 Sehingga apabila ada terjadi masalah dikemudian hari bank tidak dapat menguasai karena tidak kuatnya kekuatan hukum tersebut,sehingga apabila ada terjadi masalah dapat ditindaklanjuti. 90

Kondisi inilah yang melatar belakangi yang menyebabkan bahwa SKMHT

dalam jangka waktu tertentu seperti yang terdapat dalam Pasal 15 UUHT harus

secepatnya ditingkatkan menjadi APHT agar dapat memiliki kekuatan eksekutorial

terhadap benda yang dijaminkan oleh debitur, namun dalam kenyataannya SKMHT

sering sekali tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan APHT dan juga tidak

didaftarkan, sehingga SKMHT tersebut dapat menjadi batal demi hukum maksudnya

adalah bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat dijadikan dasar dalam pembuatan

APHT, dengan demikian akan berlaku ketentuan jaminan umum seperti yang terdapat

dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan kreditur sebagai kreditur konkuren seperti yang

terdapat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu

89

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rico pegawai bagian Administrasi Kredit Bank Tabungan Negara Helvetia pada tanggal 13 Agustus 2015.

90

(31)

bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”

Selain sebagai jaminan umum yang timbul dari Undang-Undang, juga sebagai

kreditur konkuren, sehingga apabila timbul tindakan kredit macet yang dilakukan

oleh debitur maka dari pihak kreditrnya harus mengajukan gugatan perdata ke

Pengadilan Negeri.

Ketentuan mengenai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (3)

dan ayat (4) UUHT, tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin

kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,

misalnya adalah kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit

lainnya yang sejenis.91

Jaminan kredit yang hanya diikuti dengan SKMHT pada dasarnya dapat

memiliki kekuatan hukum apabila terhadap jaminan tersebut seperti yang telah

disebutkan haruslah berupa jaminan untuk kredit-kredit kecil saja, bukan untuk kredit

besar. Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.4 Tahn

1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu (PMNA/ KBPN),

SKMHT yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil

sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

No.26/24/KEP/DIR tanggal 28 Mei 1993, berlaku sampai saat berakhirnya masa

91

(32)

berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. 92 Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 PMNA/KBPN,yang dimaksud kredit-kredit tertentu adalah:

1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi : a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;

b. Kredit Usaha Tani;

c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya.

2. Kredit Pemilikan Rumah yang diadakan untuk pengadaan perumahan, yaitu : a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah

sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m² (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m² (tujuh puluh meter persegi);

b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m² (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m² (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberi-kan untuk membiayai bangunannya;

c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagai-mana dimaksud huruf a dan b;

3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkre-ditan Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain :

a. Kredit Umum Pedesaan (BRI);

b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah);

Berdasarkan hal tersebut jaminan kredit yang hanya dengan diikuti SKMHT

dapat memiliki kekuatan hukum, tetapi apabila jaminan tersebut adalah untuk kredit

besar maka seperti yang telah disebutkan haruslah segera dilanjutkan dengan

pembuatan APHT agar memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan dapat

dilakukan ekskusi nantinya.

Berdasarkan dari Surat Edaran Direksi No: 138-DIR/ADK/03/2015 yang tertanggal 12 Maret 2015 perihal Penjelasan Atas Surat Edaran Direksi NOSE: S.25c-DIR/ADK/09/2015 tentang Revisi Ketentuan Kupedes (Koperasi Pedesaan), menyebutkan bahwa untuk Kupedes diatas Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah), atas agunan tambahan berupa tanah dan/atau bangunan dengan status kepemilikan tanah berupa SHM, SHGB,

92Ibid,

(33)

SHGU, Petok D, Girik, Letter C, atau bukti kepemilikan tanah berdasarkan hukum adat lainnya, diserahkan ke pada Bank sebagai agunan kredit dengan menggunakan Surat Kuasa Menjual Agunan (SKMA) yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang, dimana SKMA tersebut bukan merupakan bentuk pengikatan sehingga tidak memberikan hak preferensi bagi Bank.93

Terhadap jaminan kredit tersebut hanya diikuti dengan pembuatan SKMA saja,

sebenarnya sama dengan hanya diikuti dengan SKMHT, kedua sama-sama tidak

memiliki kekuatan hukum yang tetap, dan keduanya sama-sama tentunya dapat

merugikan pihak Bank suatu hari kedepan apabila terjadinya suatu masalah dalam

perjanjian tersebut, misalnya seperti terjadinya kredit macet dan adanya tindakan dari

debitur ternyata tidak sanggup lagi untuk melaksanakan apa yang sudah di janjikan

sebelumnya dalam perjanjian kredit.

Jaminan yang hanya diikuti dengan pembuatan SKMHT atau dengan SKMA

sering menyebabkan terjadi masalah,banyak debitur yang kadang bermasalah dalam

memenuhi janjinya.94 Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh pihak bank, apabila terjadinya suatu masalah terhadap perjanjian tersebut tentu akan

kesusahan,pihak bank biasanya memilih penyelesaian secara kekeluargaan. Tapi ada

pula dilakukan dengan meletakan sita jaminan, hal ini dilakukan apabila tidak bisa

diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila ternyata debiturnya sebenarnya memiliki

biaya tetapi tidak mau membayar ataupun menyalahgunakan kredit konsumtif, maka

melakukan sita jaminan dapat dilakukan.

93

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Aidil pegawai Bank Rakyat Indonesia Unit Setia Budi bagian Administrasi Kredit pada tanggal 20 Agustus 2015.

94

(34)

2. Kelemahan Apabila Perjanjian Kredit Hanya Berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Terhadap perjanjian kredit yang hanya diikuti dengan pembuatan SKMHT

saja tentu tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Karena tidak adanya

peningkatan untuk di buat hak tanggungannya dan didatarkan ke BPN, hingga pihak

bank dalam hal ini adalah posisi yang tidak kuat, karena apabila suatu waktu terjadi

masalah dalam perjanjian kredit yang hanya dengan SKMHT saja, akan sulit untuk di

laksanakan penyelesaiannya.

Berdasarkan kenyataannya terdapat kendala dalam menerapkan fungsi dan

kedudukan SKMHT sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUHT. Seperti yang

diketahui bahwa SKMHT merupakan proses atau tahap menuju pembuatan APHT,

dimana SKMHT tersebut hanya merupakan lembaga kuasa dan bukan sebagai

lembaga jaminan dalam pelunasan suatu kredit. Berarti SKMHT tidak memberikan

kedudukan apapun kepada pihak bank sebagai kreditur.

Yang menjadi hambatan untuk dilakukannya pemasangan hak tanggungan,

adalah karena biaya dan waktu. Untuk pemasangan hak tanggungan dan dibuat

sertifikatnya memiliki pengeluaran biaya yang cukup besar, bukan biaya untuk

pembuatan APHTnya oleh PPAT, tetapi biaya untuk pemasangan hak tanggungan

(35)

3. Kekuatan Hukum Terhadap Jaminan Yang Hanya Diikuti Dengan SKMHT

SKMHT diberikan untuk jangka waktu selama 1 (satu) bulan lamanya bagi

hak atas tanah yang sudah terdaftar sedangkan 3 (tiga) bulan lamanya bagi hak atas

tanah yang belum terdaftar sebagai upaya bagi kreditur untuk secepatnya

meningkatkan status SKMHT tersebut menjadi APHT sehingga dapat mempunyai

kekuatan eksekutorial terhadap tanah yang dijaminkannya tersebut.

Jangka waktu yang telah ditentukan tersebut apabila tidak dipenuhi, maka

dapat mengakibatkan SKMHT tersebut menjadi “batal demi hukum” maksudnya

batal demi hukum dalam hal ini adalah bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak

dapat lagi dipergunakan sebagai dasar untuk pembuatan APHT, sehingga kreditur

tersebut bukan lagi sebagai pemegang hak tanggungan yang merupakan jaminan

khusus melainkan hanya sebagai pemegang jaminan umum saja, yang pada akhirnya

kreditur sebagai kreditur konkuren.

Ketentuan jaminan umum diatur pada Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Jadi seluruh harta debitur menjadi jaminan seluruh hutangnya, ini disebut dengan

istilah jaminan umum, dalam arti meliputi seluruh harta debitur dan untuk

keuntungan semua krediturnya. Harta debitur adalah semua hartanya yang berupa

(36)

ada di kemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan kredit yang bersangkutan.95 Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan asas yang sifatnya universal yang

terdapat pada setiap sistem hukum jaminan setiap Negara96, atau juga bisa disebut dengan jaminan yang lahir dari undang-undang.

Legalitas SKMHT yang dibuat sesuai bentuk dan menurut PMNA/ KBPN Nomor

3 Tahun 1996 memuat kuasa kepada penerima kuasa untuk mencantumkan di dalam

APHT janji-janji antara lain:

a. Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk

mengajukan permohonan perpanjangan masa laku dan atau memperbaharui hak

atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan;

b. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual obyek hak

tanggungan atas kekuasaan sendiri.

c. Sedangkan menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT tidak boleh memuat kuasa

untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan,

bahkan dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan sebagai contoh dilarangnya

dimuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek hak tanggungan atau pun

memperpanjang hak atas tanah yang bersangkutan.

d. Kekhawatiran tersebut di atas tidak perlu ada, karena kuasa yang diberikan

kepada penerima kuasa dalam SKMHT untuk memuat janji-janji tersebut dalam

95

Bahsan, Hukum Jaminan Dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,(Jakarta:Rajawali Pres,2010), hal. 71

96

(37)

APHT bukan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada

membebankan HT yang dilarang oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT.

Undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam

kedudukan yang sama. Setiap kreditur menikmati hak jaminan umum seperti

itu.Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUHPerdata ditentukan:97

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya tagihan masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu adaalasan-alasan yang sah untuk didahulukan”

Kata “kebendaan” disini meliputi baik benda bergerak maupun tidak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada, sedangkan kata “bersama-sama”

bagi semua kreditur berarti, bahwa semua kreditur-krediturnya debitur dijamin

dengan semua benda debitur seperti yang tersebut dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

Artinya semua kreditur dijamin dengan benda-benda yang sama milik debitur.98 Sarana perlindungan yang ditentukan dalam Pasal 1132 KUHPerdata bahwa benda

tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan

padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,

yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara yang

berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini merupakan

jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua

kreditur, sifat umum dari hak jaminan diartikan tidak ada perbedaan atau prioritas

97Ibid

.hal 80

98

(38)

bagi kreditur tertentu berlaku asas paritas creditorum, dimana pembayaran atau pelunasan hutang kepada para kreditur dilakukan secara seimbang.99

Perjanjian kredit yang hanya diikuti dengan pembuatan SKMHT pada

dasarnya memiliki kekuatan hukum yang kuat apabila perjanjian kredit tersebut

adalah perjanjian untuk pelunasan kredit-kredit kecil tertentu atau kredit dengan

pinjamannya yang kecil. Seperti yang telah ada ditentukan dalam PMNA/ KBPN

Pasal (1), bahwa perjanjian kredit dengan SKMHT dapat berlaku apabila:

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut di bawah ini berlaku sampai saat ini berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan :

1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi : a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;

b. Kredit Usaha Tani;

c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya.

2. Kredit Pemilikan Rumah yang diadakan untuk pengadaan perumahan, yaitu : a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah

sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m² (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m² (tujuh puluh meter persegi);

b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m² (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m² (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberi-kan untuk membiayai bangunannya;

c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagai-mana dimaksud huruf a dan b;

3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkre-ditan Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain :

a. Kredit Umum Pedesaan (BRI);

b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah);

99

Referensi

Dokumen terkait

Data loss material yang diakibatkan oleh pengambilan sampel pada tahapan dilution untuk produk alkyd dan melamin dapat dilihat pada Lampiran 6. Resin yang terbuang untuk

PENUTUP 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan perlakuan penambahan gelatin dan lama inkubasi yang berbeda dalam pembuatan yogurt sari buah belimbing

Berkaitan dengan pengetahuan adalah kesadaran individu ataupun kelompok dalam melakukan interaksi atau komunikasi antar budaya, secara langsung dari pengalaman sadar

Sukun dapat terjadi sepanjang musim, saat bahan pangan lainnya dalam keadaan paceklik karena baru melalui periode musim kemarau, namun pohon sukun tetap berbuah

Pertama secara tegas Republika menggunakan sumber dari MUI dan Ketua Umum PBNU untuk mengkonstruksi pemberitaan yang menun- jukkan bahwa pemerintah tidak tegas

[r]

Indeks Kinerja Ekonomi Kabupaten Induk Tapanuli Utara dan Kabupaten Pemekaran Toba Samosir Tahun 1998-2015. Dari Gambar 4.7 dapat dilihat indeks kinerja ekonomi

Based on the graph composed of two rounds of minimum spanning trees (MST), the proposed method (2-MSTClus) classifies cluster problems into two groups, i.e.. separated cluster