• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Agama Kristen Dalam Keluarga Dengan Orang Tua Beda Agama di Jemaat GKMI Salatiga T2 752013020 Bab II"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TEORI RUJUKAN

Pendahuluan

Memperhatikan judul tesis ini yaitu “Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga dengan Orang Tua Beda Agama di GKMI Salatiga”, maka ada beberapa

unsur penting yang mendapatkan penekanan. Unsur-unsur yang dimaksud adalah

Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam keluarga dan keluarga dengan orang tua

beda agama. Oleh karena kedua unsur tersebut dalam konteks gereja yaitu GKMI

Salatiga sebagai tempat penelitian, maka peneliti mengaitkannya dengan gereja.

Dengan demikian sebagai landasan teori dalam tesis ini, peneliti memaparkan

secara berturut-turut (1) Gereja dan relasinya dengan keluarga, (2) PAK dalam

keluarga (3) Keluarga dengan orangtua beda agama, (4) Pendidikan Agama dalam

keluarga beda agama.

2.1. Gereja dan relasinya dengan keluarga

Gereja menurut kata aslinya ekklesia memiliki arti persekutuan

orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Küng menjelaskan bahwa tidak ada

(2)

15

orang-orang percaya.1 Dengan demikian gereja menjadi pusat iman dan

pertumbuhan iman bagi orang-orang percaya yang ada di dalamnya.

Dalam sejarah gereja, gereja telah ada dari dahulu hingga sekarang.

Dijelaskan oleh Hadiwijono bahwa gereja lahir oleh karena adanya usaha dari

orang-orang yang telah percaya menyampaikan Injil kepada orang-orang yang

belum percaya.2 Sebagaimana disebutkan dalam “tridarma” gereja, meliputi

koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), dan diakonia (pelayanan).3

Koinonia atau persekutuan yang dimaksud adalah persekutuan orang-orang yang

beriman kepada Allah, meliputi bersekutu dengan saudara seiman, bersekutu

dengan umat beriman, bersekutu dengan semua orang dalam masyarakat dan

bersekutu dengan alam. Marturia atau kesaksian, juga disebut mystagogia. 4

Tugas tersebut adalah bina misteri iman dalam rangka menyiapkan diri untuk

mengkomunikasikan iman. Dengan kata lain tugas gereja menghantar manusia

untuk berjumpa dengan Allah, mengalami kasih Allah dan kemudian

menyaksikannya kepada orang lain, sedangkan diakonia merupakan pelayanan gereja kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, diakonia yang dimaksud

meliputi diakonia karitatif (memberi bantuan secara insidental). Diakonia reformatif (memberi bantuan secara berkesinambungan yang mengarah pada

1

Küng,Hans, The Church, Burns and Oates Limited, London, 1967, hal 3. 2 Hadiwijono, H, Dr, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1986, hal.390. 3

Singgih, Gerrit, Emanuel, Ph.D, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja, Menyongsong Abad ke-21, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal.26.

4Tsalatsa, Ya ’ah, da , Pat a i gsih, Agus, Sri, Pdt, da , A. Va Kooij, Rij ardus, Dr, Prof,

(3)

16

perbaikan kehidupan orang yang dibantu), dan diakonia transformatif (bantuan

yang mengarah pada perubahan struktural dalam masyarakat).

Sehubungan dengan tugas marturia (kesaksian) yang di dalamnya

melakukan pemberitaan Injil oleh gereja, maka gereja perlu memberdayakan

setiap anggota untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Dalam hal tersebut keluarga

menjadi salah satu bagian utama dalam pemberitaan Injil yaitu dari orang tua

(baca juga: orang dewasa) kepada anak-anak. Dalam upaya memperkenalkan Injil

kepada anak-anak tersebut keluarga yang menjadi bagian dalam gereja

melaksanakan tugas gereja.

Pelaksanaan tugas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh gereja dan

keluarga bersifat saling mendukung. Seperti diungkapkan oleh Cooley bahwa

gereja (kelompok keagamaan) adalah kelompok sekunder dalam proses sosial

seseorang sedangkan keluarga adalah kelompok primer. Cooley menyebutkan

dalam teorinya bahwa kelompok sosial terbagi menjadi dua, yaitu kelompok

primer atau primary group dan kelompok sekunder atau secondary group.5 Kelompok primer dicirikan adanya hubungan yang erat melalui seringnya anggota

dalam kelompok ini bertatap muka dan bekerja sama. Ciri berikutnya adalah

hubungan dalam kelompok primer berlangsung lama dan didasarkan atas

kerukunan dan kasih antar anggotanya. Oleh karena itu kelompok primer menjadi

dasar bentuk alami kehidupan sosial seseorang.6 Lebih lanjut Cooley memberikan

5

Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung, 1977, hal. 67.

6

(4)

17

contoh kelompok primer di antaranya keluarga dan tetangga. Seseorang memiliki

kebiasaan perilaku bersumber dari proses sosialisasi dari keluarga dan tetangga,

kebiasaan tersebut akan mempengaruhi pada waktu seseorang memiliki kelompok

sosial lainnya.

Adapun kelompok sekunder adalah kelompok yang anggotanya memiliki

hubungan yang tidak terlalu erat, kontak secara langsung sedikit, terbatas dalam

komunikasi dan cenderung resmi.7 Namun demikian, kelompok sekunder

memiliki unsur obyektif dan lebih luas dibandingkan dengan kelompok primer.

Contoh dari kelompok sekunder diantaranya negera dan kelompok-kelompok

keagamaan. Memperhatikan sifat-sifat dari kelompok primer dan kelompok

sekunder, kedua kelompok tersebut sejatinya saling mengisi dan dalam

kenyataannya tidak dapat dipisahkan secara mutlak.8 Dari teori Cooley

menunjukkan bahwa terkait dengan pemberitaan Injil kepada anak, gereja dalam

hal ini sebagai kelompok sekunder dan keluarga sebagai kelompok primer.

Namun demikian keduanya tidak dapat dipisahkan bahkan saling mengisi dan

melengkapi satu dengan yang lain.

Lebih jauh Westerhoff III menjelaskan analisisnya dari hasil penelitian

kepada anak-anak dalam gereja dari keluarga yang berbeda-beda.9 Pertanyaan

yang diajukan pada responden berhubungan dengan pemahaman anak tentang

Tuhan dari pengalaman hidup mereka dari keluarga dan gereja. Ia memperoleh

7

Susanto, S, Astrid, Phil, Dr, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung, 1977, hal 67.

8

Soekanto, Soerjono, Sosiologi, Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal 128. 9

(5)

18

jawaban yang beragam dan semua jawaban dari responden sangat dipengaruhi

pengalaman hidup mereka di keluarga dan gereja.

Westerhoff III merumuskan pendekatan terkait dengan pendidikan iman

bagi anak-anak seharusnya menggunakan keluarga dan gereja secara

bersama-sama guna melakukan tugas tersebut. Hal itu disebabkan ia menyebutkan bahwa

pendidikan iman tidak hanya persoalan ibadah di gereja melainkan cara pandang

orang dewasa dan sistem nilai yang dilakukan dalam hidup sehari-hari. Orang tua

menjadi sumber utama untuk melakukan affirmed (nilai-nilai apa yang

diteguhkan) dan transmitted (pemahaman dan gaya hidup yang diturunkan), sedangkan gereja menjadi komunitas iman bagi keluarga untuk mensosialisasikan,

mengevaluasi dan mereformasi pelayanan pendidikan iman dalam hidup dan

tindakan bersama yang diteruskan oleh orang tua kepada anak-anak dalam

keluarga.

Dengan demikian gereja dan keluarga adalah dua institusi yang saling

melengkapi dalam seluruh aspek spiritual seseorang. Oleh karena itu, keduanya

bekerja sama dalam pelaksanaan PAK keluarga sebagaimana dipaparkan oleh

Westerhoff III, sehingga anak-anak mendapatkan pengalaman yang lengkap

dalam keimanan mereka.

2.2. Gereja dan Relasinya dengan Lingkungan

Keberadaan gereja tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hal itu

(6)

19

Mereka membentuk komunitas sesuai dengan agama yang dianutnya. Dalam hal

inilah gereja memiliki tiga jenis hubungan.10 Hubungan yang dimaksud adalah

pertama, hubungan dengan orang-orang tak beriman dan atau di luar komunitas.

Hubungan ini terkait dengan perutusan pemberitaan Injil kepada sesama.

Hubungan kedua, hubungan dengan dalam komunitas itu sendiri, dalam hal ini

untuk memperdalam iman dan kehidupan kerohaniannya. Hubungan yang ketiga,

adalah hubungan dengan komunitas lain, komunitas lain yang dimaksud adalah

gereja lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hubungan gereja dengan masyarakat

umumnya masuk dalam hubungan gereja dengan luar komunitas. Dalam

hubungan tersebut meskipun dalam rangka pewartaan Injil, gereja dituntut

memiliki pandangan yang terbuka mengenai hidup bermasyarakat dan tidak

eksklusif. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa orang-orang

Kristen telah berperan besar dalam terbentuk negara dan masyarakat, namun

terkait dengan peran gereja masih menjadi pergumulan hingga saat ini.11 Oleh

karena itu hubungan gereja dengan masyarakat terus diupayakan. Hal itu

bertujuan agar gereja dapat berperan serta dalam masyarakat, khususnya

masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat, seperti ekonomi dan sosial. Sejauh ini

dalam gereja telah mengembangkan pelayanan diakonia sebagai langkah kongkret

untuk menjawab tantangan peran gereja dengan masyarakat di lingkungan sekitar.

10

Kiswara, c, sj, Gereja Memasyarakat, Belajar dari Kisah Para Rasul, Yogyakarta, Kanisius, 1988, hal 12-16.

11

(7)

20

Pelayanan diakonia gereja seperti pemberian bantuan kebutuhan pokok kepada

fakir miskin dan bantuan modal usaha.

Salah satu persoalan terkait dengan gereja dan hubungannya dengan

masyarakat di Indonesia adalah pluralitas. Hal itu dilatarbelakangi oleh konteks

masyarakat Indonesia yang majemuk baik agama, budaya, suku, dan bahasa.

Menghadapi prulalitas agama di masyarakat, gereja telah mengembangkan sebuah

metode dalam rangka meningkatkan hubungan dan kerja sama dengan pemeluk

agama lain. Metode tersebut adalah dialog, yaitu dialog antar umat beragama

dalam masyarakat.12 Dengan berdialog gereja dapat mengalami perjumpaan

dengan agama lain di tengah masyarakat dan membangun hubungan yang

bertanggunjawab.

2.3. Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga

Sebagai lembaga sosial terkecil merujuk pada pendapat Sudjana, keluarga

memiliki enam fungsi yaitu fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi

anak, dan ekonomis.13 Terkait dengan fungsi edukatif dan religius keluarga

menyelenggarakan pendidikan agama. Miller menyebutkan pendidikan agama

tidak hanya hal-hal yang berhubungan dengan ritual keagamaan terkait dengan

kelahiran, ulangtahun, pernikahan dan kematian, lebih daripada itu agama

menempatkan keluarga sebagai komunitas yang saling menopang di masa sulit

12

Knitter, F, Paul, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggunjawab Global, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012, hal.143.

13

(8)

21

dan menjadi sebuah sistem nilai yang memberi makna hidup.14 Dengan demikian

pendidikan agama menjadi hal utama dalam keluarga atau dengan kata lain

keluarga menjadi tempat pertama bagi pendidikan agama, sehingga setiap anggota

keluarga dapat memaknai agama bagi kehidupannya. Oleh karena itu, setiap

keluarga mengupayakan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.

Dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga mencakup PAK keluarga.

PAK keluarga yang dimaksud tidak hanya penerusan nilai-nilai, melainkan

melibatkan pemikiran yang sadar, kritis, kreatif dan baru dalam PAK.15 Oleh

karena itu, orang tua sebagai pendidik memiliki tugas penting dalam PAK, terkait

dengan hal itu orang tua perlu memiliki pemahaman PAK itu sendiri dan metode

yang tepat guna melaksanakan PAK dalam keluarga. Untuk hal pertama tentang

pemahaman PAK, penulis merujuk pada apa yang disampaikan oleh Groome 16

bahwa PAK adalah sebagai berikut:

1) Pendidikan bagi Kerajaan Allah. Kerajaan Allah yang dimaksud

adalah simbol yang menggambarkan kehadiran Allah secara aktif yang

berkuasa sepanjang sejarah. Dalam hal ini Kerajaan Allah yang

dibicarakan ialah Kerajaan Allah masa lampau (yang telah hadir dalam

Yesus Kristus), masa kini (ketika umat melaksakan kehendak Allah)

dan masa yang akan datang (kesempurnaan yang akan dikerjakan

14 Elizabeth Miller dalam Lemanna, Ann, Mary, and Riedmann, Agnes, Marriages and Families,

Making Choices in a Diverse Society, Thomson Higher Education, USA, 2009, hal. 70. 15

Hadinoto, Atmadja, N.K, Dialog dan Edukasi, Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal. 272.

16

(9)

22

Allah). Kerajaan Allah itu sendiri adalah pemberian Allah yang

dipahami dalam iman Kristen hadir dalam Yesus Kristus yang disalib

dan dibangkitkan. Orang-orang Kristen dipanggil melalui Yesus

Kristus ke dalam hubungan dengan Allah dan satu sama lain sebagai

anggota Kerajaan Allah. Dalam relasi itu kasih menjadi nilai dasarnya,

selain itu ada pertobatan dari masing-masing individu yang membawa

mereka hidup dalam nilai-nilai Kerajaan Allah (keadilan, kebenaran,

damai dan kesetaraan) di tengah masyarakat. Terkait dengan hal itu

komunitas Kristen (keluarga dan gereja) menjadi tanda kehadiran

Kerajaan Allah dan mewartakannya.

2) Pendidikan bagi Iman Kristen. Dalam hal ini PAK mempromosikan

iman Kristen dan mensponsori orang-orang ke arah iman Kristen yang

dewasa sebagai realitas hidup. Iman Kristen yang dimaksud adalah

anugerah Allah yang menyentuh inti batiniah seseorang dan

membimbingnya ke arah hubungan yang hidup dengan Allah di dalam

Yesus Kristus. Dalam iman Kristen tersebut memiliki dimensi kognitif

(kegiatan percaya), dimensi afektif (kegiatan mempercayakan),

dimensi tingkah laku (kegiatan melakukan).

3) Pendidikan bagi kebebasan manusia. Kebebasan yang dimaksud adalah

kebebasan setiap individu dalam menentukan iman Kristen, artinya

respon seseorang terhadap undangan Allah untuk memiliki iman

Kristen yang hidup haruslah sebuah respon yang bebas. Namun

(10)

23

mengaktualisasikan diri sesuai yang diminta secara terus-menerus

berkaitan dengan iman Kristen. Dalam iman Kristen itu sendiri

kebebasan dipahami sebagai “kebebasan bagi” (Freedom for) dan

“kebebasan dari” (Freedom from). “Kebebasan bagi” yang dimaksud

adalah kebebasan untuk menjadi apa seseorang dipanggil, yaitu

kebebasan menjadi satu dengan Allah yang diekspresikan dalam

kebebasan bersekutu dengan orang lain dan kebebasan melayani orang

lain. Sedangkan “kebebasan dari” adalah kebebasan dari dosa yang

diperoleh dari Allah melalui penyelamatan di dalam Yesus Kristus.

PAK yang mencakup tiga hal tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan

PAK keluarga orang tua tidak hanya mengajarkan secara lisan kepada anak

tentang iman Kristen, tetapi juga memberikan contoh praktek iman dalam

kegiatan sehari-hari di tengah keluarga.

Terkait dengan pelaksanaan PAK keluarga, peneliti merujuk pada

Hadinoto.17 Ada dua metode yang menurutnya harus dilaksanakan secara

bersamaan dalam pelaksanaan PAK keluarga. Kedua metode yang dimaksud

adalah sosialisasi dan edukasi. Metode sosialisasi yang dimaksud adalah proses

pendidikan yang berlaku secara wajar sehingga dengan sendirinya orang tua

meneruskan pengetahuan, kebiasaan, nilai-nilai kepada anak-anak. Proses

sosialisasi PAK dalam keluarga sebagai contoh; mengajak anak tiap hari Minggu

ke gereja, mengajak anak berdoa dengan menutup mata dan melipat tangan.

17

(11)

24

Dengan demikian anak secara wajar akan melakukan hal itu sebagai kebiasaan

yang mereka terima dari orang tua. Hal itu seperti yang diungkapkan juga oleh

Lickona dalam metodenya yaitu pemodelan (teladan).18 Pemodelan yang yang

dimaksud adalah orang tua tidak hanya membicarakan PAK dalam keluarga,

tetapi lebih daripada itu mempraktekkan langsung dalam hidup sehari-hari.

Dengan demikian anak melihat secara langsung dari contoh atau teladan. Pada

akhirnya anak juga mempraktekkan hal tersebut secara sukarela dan sadar karena

melihat bagaimana orang tuanya melakukan.

Lebih lanjut Hadinoto menjelaskan metode sosialisasi dalam PAK

keluarga yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Sebagai proses fungsional yaitu meneruskan nilai-nilai dan

kebiasaa-kebiasaan dari orang tua kepada anak-anak, dari generasi kepada

generasi seperti terjadi dalam masyarakat yang berlangsung dengan

sendirinya, tanpa sadar dan sengaja.

2) Sebagai upaya memberikan “identitas kelompok”. Identitas yang dimaksud adalah identitas anak sebagai anggota dari kelompok

persekutuan Kristen.

3) Sebagai “induksi alamiah iman Kristen” dari orang tua kepada anak

-anak. Dalam hal ini Hadinoto merujuk pada teori Busnell yang

menggambarkan keluarga sebagai kesatuan organik. Keluarga

18

(12)

25

digambarkan seperti batang pohon mengalirkan makanan ke dahan dan

daun, demikian iman Kristen yang dipercayai dan diamalkan orangtua

mengalir ke dalam hidup anak-anak.

4) Sebagai suatu interaksi sosial, yaitu interaksi diantara “anggota

-anggota persekutuan orang percaya” dalam hal ini adalah keluarga.

Dengan demikian dalam metode sosialisasi orang tua menjalankan

fungsinya sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua pada umumnya yaitu

meneruskan nilai-nilai keagamaan sehingga anak menyadari identitasnya sebagai

bagian dari kelompok persekutuan Kristen. Hal tersebut dilakukan oleh orang tua

secara terus menerus melalui proses interaksi dalam keluarga.

Berbeda dengan metode sosialisasi, metode edukasi lebih bersifat

terencana dan disengaja yang mencakup tiga arti sebagai berikut:

1) Emansipasi. Dalam PAK istilah “emansipasi” dipakai sebagai lawan

dari sosialisasi. Jika proses sosialisasi membawa pemaksaan dan

penyesuaian anak menurut model dari orang tua, maka emansipasi

membawa pada subjektivitas dan kemandirian individu dari kelompok

atau masyarakat. Dengan demikian PAK adalah seni dalam mencari

perimbangan antara sosialisasi dan emansipasi.

2) Intentional sosialisasi. Yaitu proses sosialisasi yang diusahakan secara sadar dan sengaja, dengan tidak hanya menggantungkan pada keadaan

saja. Dalam hal ini Hadinoto merujuk pada yang dikemukakan oleh

(13)

26

usaha sengaja, direncanakan dengan cermat melalui jalan menciptakan

keluarga sebagai “persekutuan belajar-mengajar”, dan mempunyai

tujuan yang jelas untuk meningkatkan segala sesuatu yang telah ada.

3) Concientization. Hadinoto meminjam istilah dari Paulo Freire. Dalam metode ini PAK tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan

keagamaan yang dipelajari, tetapi juga membuka kesadaran diri dan

kesadaran akan lingkungan, sehingga anak mampu melihat hubungan

yang satu dengan yang lain dan menganalisis situasi.

Dengan demikian metode Edukasi berfungsi sebagai kritis, dialektis dari

metode sosialisasi. Oleh karena itu jika metode tersebut digabungkan dalam PAK

keluarga, maka keluarga mampu mengahsilkan sikap kritis dan terbuka terhadap

iman Kristen yang diajarkan.

Hadinoto juga menambahkan dari perspektif Alkitab terkait dengan PAK

dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua. Menurutnya proses sosialisasi dan

edukasi seperti dijelaskan di atas, dalam Alkitab dicerminkan melalui keluarga

Yahudi (Perjanjian Lama) dan Yesus beserta murid-murid-Nya (Perjanjian Baru).

Pendidikan Yahudi dimulai dari keluarga dengan tujuan melatih anak-anak

melalui cerita-cerita tentang Allah dan sejarah keselamatan bangsa pilihan Allah

sedemikian rupa, sehingga anak-anak Israel menghayati kisah tindakan

penyelamatan Allah itu sebagai bagian kisah pengalaman mereka juga. Para orang

tua melengkapi pengajarannya dengan Torah sebagai petunjuk yang harus mereka

(14)

27

bentuk lisan, tetapi juga tulisan. Selain menerima pengajaran di rumah dari

orangtuanya, anak-anak Yahudi juga dididik oleh orang tua melalui keikutsertaan

mereka dalam ritual-ritual yang diselenggarakan.

Dalam Perjanjian Baru, pendidikan berpusat pada diri dan pekerjaan

Yesus. Yesus dipanggil sebagai guru, oleh karena itu pengajaran-Nya yang penuh

kuasa yang disaksikan langsung oleh para imam dan ahli Taurat selain

murid-muridNya. Dalam relasinya dengan murid-muridNya sangat jelas bahwa ia

mengajar mereka. Yesus tidak bermaksud mendirikan sekolah ketika Ia bertindak

sebagai guru terhadap para murid, melainkan hendak menjadikan

murid-muridNya kelak menjadi rasul-rasul yang diutus ke dunia untuk memanggil

orang-orang lain mengenal Yesus dan mengalami kuasa pembebasanNya. Oleh

karena tujuan tersebut Yesus mengajar dan menjadi guru atas mereka.

Dari kedua teologi tersebut Hadinoto hendak mengajak para pendidik

dalam hal ini orang tua dalam pelaksanaan PAK keluarga bahwa mereka

mendapat tugas yang sejak PL dan PB dikerjakan demi nilai-nilai kristiani yang

diteruskan pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu sekali lagi metode

sosialisasi dan edukasi harus dikerjakan bersama agar terjadi proses

belajar-mengajar iman Kristen dalam keluarga.

Sebagaimana dalam setiap pendidikan memiliki sasaran didik, demikian

pula PAK keluarga. Sasaran PAK keluarga adalah anak, oleh karena itu orang tua

dalam pelaksanaan PAK dalam keluarga perlu memperhatikan perkembangan

(15)

28

teori yang dikemukakan oleh Fowler. Dalam teorinya Fowler menyebutkan ada

tujuh tahapan iman dalam perkembangan iman seseorang.19 Tahap-tahap yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Tahap pertama disebut kepercayaan Awal dan Elementer (Primal Faith) pada masa ini anak berusia 0-2 tahun. Tahap ini ditandai adanya cita rasa yang bersifat praverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi,

yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan

lingkungan yang secara langsung terlibat dalam pengasuhan, serta

terdapat gambaran kenyataan yang paling akhir dan mendasar. Selama

tahun pertama terjadi perkembangan keseluruhan interaksi timbal balik

(mutual) yang lebih komplek dan mantap antara bayi dan pengasuh

utama (ibu atau penggantinya). Berkat lingkungan pengasuhnya dan

orang lain anak belajar membedakan kebaikan yang dirasakan sebagai

hal yang dapat dipercaya, dan kejahatan yang harus dicurigai dan

dihindari sebagai sumber bahaya dan ancaman. Berdasarkan perbedaan

antara kedua perasaan dasar tersebut timbul “gambaran-gambaran

elementer” (primal images) dan pola acuan imajinatif yang senantiasa

memantau keseluruhan “diri-dunia” menurut sifat baik dan buruknya.

Dalam konteks inilah primal faith dapat muncul yaitu seluruh rasa kepercayaan dan kesetiaan vital-somatik yang bersifat praverbal,

prarefleksi dan prakonseptual terhadap lingkungan dan keseluruhan

“diri-dunia”. Dengan demikian gambaran Allah atau simbol-simbol

19

(16)

29

kepercayaan diangkat dari seluruh gambaran bayi tentang ibu dan

bapak, berdasarkan ingatan imajinatif akan irama kehadiran dan

ketidakhadiran ibu, bapak, atau pengasuh lainnya yang saling

bergantian.

2) Tahap kedua disebut kepercayaan Intuitif-Proyektif (umur 2 sampai 6

tahun). Pada tahap ini anak belajar menyusun dunia pengalaman dari

sudut perasaan dan titik pandangannya berdasarkan daya imajinasi

tanpa dihalangi oleh aturan-aturan pemikiran logis yang ketat. Oleh

karena itu anak praoperasional mengikuti irama fantasinya sendiri.

Dengan demikian anak belum mampu membedakan antara fakta dan

fantasi, kenyataan dan mimpi. Cara pengertian perseptif-intutif yang

diliputi oleh daya imajinatif, fantasi dan mimpi, sangat berpengaruh

dan menciptakan suatu realitas psikis yang terasa lebih nyata dan hidup

dibandingkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang objektif. Oleh

karena itu simbol-simbol kepercayaan muncul dalam

gambaran-gambaran dan tokoh-tokoh yang dilakonkan dalam cerita. Misalnya

cerita khayal, cerita dongeng, mitos, upacara dan ibadat.

3) Tahap ketiga adalah kepercayaan Mitis-Harfiah (umur 6-11 tahun).

Berbagai pola sifat baru dapat ditemukan pada pola pengertian

kepercayaan mitis-harfiah ini. Anak mulai berfikir secara “logis”, dan

mengatur dunia dengan kategori-kategori baru, seperti kategori

kausalitas, kategori ruang dan waktu. Anak menjadi sang empirikus

(17)

30

fungsi sebenarnya dari segala hal dan seluruh kenyataan. Anak

mendasarkan pengetahuan kepercayaannya semata-mata pada autoritas

orang tua, anggota keluarga, dan pribadi-pribadi lain yang dihargainya,

serta pada autoritas yang berasal dari dunia pengalaman langsung dan

dekat.

4) Tahap keempat merupakan kepercayaan Sintetis-Konvensional (umur

12 tahun sampai masa dewasa). Pada tahap ini muncul

bermacam-macam kemampuan kognitif yang berpolakan operasi formal dini

sehingga anak harus meninjau kembali pandangan hidupnya. Oleh

karena itu fungsi dan tugas kepercayaan adalah mensintesiskan dan

mengintegrasikan bermacam-macam bayangan diri serta

menjadikannya satu kesatuan diri atau identitas diri yang koheren dan

yang berfungsi baik. Dalam hal ini identitas diri dibangun berdasarkan

rasa kesetiakawanan, kesetiaan, dan kepercayaan kepada orang lain.

Pola kepercayaan ini juga disebut “konvensional”, sebab secara

kognitif, afektif dan sosial, seorang remaja akan menyesuaikan diri

(conform) dengan orang lain yang dianggap penting baginya dan dengan mayoritas orang. Bagi remaja, kriteria kebenaran adalah fakta

bahwa segala nilai, norma, gambaran religius, dan keyakinan religius

tersebut disahkan oleh konvensi dan konsensus umum antara para

anggota kelompok yang bernilai baginya.

5) Pada tahap kelima disebut kepercayaan Individuatif-Reflektif (umur 18

(18)

31

operasional formal secara penuh. Sebagai akibat dalam tahap ini,

pertama, muncul suatu kesadaran jelas tentang identitas diri yang khas

dan otonomi tersendiri, diperjuangkannya suatu jenis kemandirian

baru, artinya terjadi kesadaran diri dan refleksi diri yang mendalam.

Kedua, berkat daya operasional formal dan sikap refleksivitas dirinya

yang tinggi, individu belajar mengajukan pertanyaan kritis mengenai

seluruh nilai, pandangan hidup, keyakinan kepercayaan, dan komitmen

yang tak diucapkan (tacit system) namun diterima sebagai yang benar

dan sah secara konvensional-konsensus berdasarkan autoritas ekstern.

Akibat ketiga, individu itu sendirilah yang harus memikul tugas

menentukan pilihan dan menyingkirkan sekian banyak alternatif lain

terkait komitmen dalam hidup dan kepercayaan yang terbuka baginya.

Segala perubahan yang dijelaskan di atas mempunyai dampak terhadap

perubahan gambaran tentang Allah. Allah tidak lagi dirasakan sebagai

pribadi atau orang lain yang paling mengenal hati dan paling

menentukan hidup seseorang, melainkan sebagai Pribadi yang dengan

bebas dan dinamis mengundang setiap orang untuk bekerja sama

dengan-Nya dan menjadi rekan kerja-Nya.

6) Tahap enam adalah kepercayaan Konjungtif (umur minimal sekitar

35-40 tahun). Pada tahap ini timbul kesadaran baru dan pengakuan kritis

terhadap prioritas, ketegangan, kedwiartian, dan multidimensionalitas

yang dirasakan oleh pribadi dalam diri dan hidupnya. Kini kenyataan

(19)

32

penangkapan arti yang bersifat rasional, konseptual, dan jelas, tetapi

merupakan hasil perpaduan dari berbagai pertentangan dan paradoks

sehingga kompleksitas realitas sungguh diakui dan dihormati. Pada

tahap ini diperjuangkan pula sifat terbuka terhadap kebenaran

tradisional yang sebelumnya dianggap berlawanan dan asing terhadap

kebenaran rasional karena merupakan hasil ciptaan pribadi. Oleh

karena itu segala hal yang bersifat pertentangan dan kontradiksi, yang

pada tahap sebelumnya dirasakan sebagai sungguh-sungguh terpisah

dan tidak mungkin diperdamaikan, kini dipersatukan dalam suatu

kesatuan utuh yang lebih tinggi dan melampaui segala pertentangan

tanpa meniadakannya. Sehingga timbul keyakinan bahwa kebenaran

hanya dapat ditemukan apabila dalam suatu dialog terbuka secara jujur

kita mau melakukan konfrontasi dialektis antara visi, perspektif, atau

pandangan yang diketengahkan oleh semua patner dialog. Dengan demikian sikap kritik diri dan transendensi diri harus selalu disertai

kewaspadaan untuk mencegah berbagai bahaya fatal yang terdapat

dalam setiap bentuk kepercayaan dan semua agama.

7) Pada tahap tujuh disebut sebagai kepercayaan yang mengacu pada

universalitas (sekitar 30 tahun dan seterusnya). Tahap kepercayaan ini

ditunjukkan melalui tokoh-tokoh besar di sejarah agama. Pribadi

semata-mata didorong oleh berbagai kabajikan ilahi, seperti cinta kasih

inklusif dan keadilan universal serta penghargaan yang amat tinggi

(20)

33

tidak bersifat balas dendam dan mental perombak tidak dipaksakan,

tetapi nampak begitu spontan. Kini transendensi diri merupakan

realisasi diri yang paling manusiawi, yaitu sebagai pembaktian diri

tanpa syarat demi kepentingan orang lain dan keseluruhan kesatuan.

Terdapat semangat cinta sejati, yang tidak mengingat kepentingan diri

pribadi, mengorbankan seluruh tenaga dan hidupnya sendiri. Pribadi

yang demikian oleh Fowler disebut sebagai universalizer yaitu gaya hidup yang jauh lebih manusiawi daripada semua orang lain. Hal itu

didasarkan adanya rasa kesatuan dengan Allah dan sumber daya.

Dengan demikian individu mampu merayakan dan mewujudkan

dengan semangat nyata, dalam bentuk penghayatan religius dan mistik

yang mendalam, keterlibatan etis yang inklusif, rasa tanggungjawab

universal, serta keprihatianan kreatif dan konkret, yang semuanya

menjadi batu bangunan bagi upaya mewujudkan “Kerajaan Allah”

yang secara antisipatif ingin dikembangkan kini dan disini.

Dari teori perkembangan iman sebagaimana dikemukakan oleh Fowler

menuntut orang tua adalah orang yang telah mencapai tahapan dewasa sehingga

mampu melaksanakan PAK keluarga sesuai dengan perkembangan anak. Dalam

konteks keluarga dengan orang tua yang memiliki kepercayaan yang sama akan

lebih terpahami, tetapi berbeda dengan keluarga beda agama. Sejauh ini belum

ada peneliti belum menemukan adanya penelitian tentang PAK keluarga dalam

keluarga dengan orangtua beda agama, namun demikian dalam penelitian lain

(21)

34

Oleh karena itu peneliti dalam hal ini merujuk pada pendidikan multikultural yang

akhir-akhir ini banyak dikembangkan oleh para ahli guna melengkapi PAK

keluarga bagi keluarga dengan orang tua beda agama. Hal itu dikarenakan dalam

keluarga tersebut orang tua memiliki agama yang berbeda sehingga terdapat lebih

dari satu agama dalam satu keluarga. Pendidikan Multikultural pertama kali

ditemukan oleh James Banks, Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan untuk

people of color.20 Artinya pendidikan multikultural hendak mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Berangkat dari temuan Banks

para ahli pendidikan kemudian melakukan penelitian untuk mengembangkannya

sesuai dengan konteks masing-masing. Dalam konteks pendidikan Kristen

Kurniawati mendefinisikan pendidikan multikultural adalah suatu proses

transformasi untuk membantu peserta didik agar cakap berpartisipasi penuh dalam

kehidupan masyarakat sehubungan dengan kepelbagaian etnis, ras, budaya,

agama, bahasa.21

Lebih lanjut, secara khusus Pendidikan multikultural ini menurut

Kurniawati dalam kaitannya dengan pendidikan Kristen memfokuskan pada

kebutuhan akan perubahan dan transformasi sosial.22 Adapun fungsi pendidikan

multikultural adalah sebagai berikut:

20

Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hal.167. 21

Kurniawati, Maryam, D.Min, Pendidikan Kristiani Multikultural, Tangerang, Bamboo Bridge Press, 2014, hal.100.

22

(22)

35

1) Membantu peserta didik memperoleh pemahaman diri lebih luas

dengan melihat dirinya dari sudut pandang suku, ras, agama dan

budaya lain.

2) Menolong peserta didik untuk mengenal, memahami dan menghargai

suku, ras, agama, dan budaya di luar suku, ras, agama dan budayanya

sendiri.

3) Menolong peserta didik untuk mengembangkan kekhususannya dari

suku, agama, ras dan budaya yang dimiliki.

4) Menolong peserta didik untuk dapat berpartisipasi dengan penuh

dalam kehidupan masyarakat yang multikultural.

Dengan penggabungan antara PAK keluarga dan Pendidikan Multikultural

maka PAK keluarga tidak hanya bertujuan untuk meneruskan nilai-nilai Kristen

atau menjadikan anak beragama Kristen, tetapi anak mampu mengembangkan

sikap toleransi terhadap anggota keluarga yang memiliki perbedaan agama. Dalam

hal inilah taggungjawab pendidikan agama pada keluarga beda agama menjadi

tanggungjawab bersama orang tua meskipun mereka berbeda agama.

2.4. Keluarga dengan orang tua beda agama

Dalam pelaksanaan PAK keluarga orang tua memiliki peranan penting.

Oleh karena itu, dalam hal ini bagaimanakah agama ayah dan ibu dalam keluarga

(23)

36

telah dijelaskan sebelumnya, hal itu merujuk pada orang tua yang sama-sama

beragama Kristen. Dengan demikian orang tua yang memiliki agama berbeda

tidak termasuk di dalamnya, tetapi karena salah satu dari orang tua (ayah atau ibu)

beragama Kristen maka yang bersangkutan juga mempunyai tugas yang sama

dalam pekabaran Injil melalui PAK keluarga. Oleh karena itu, perlu ada gambaran

keluarga dengan orang tua beda agama.

Penyebab yang paling umum adanya keluarga beda agama adalah

perkawinan beda agama. Banyak penelitian bahwa terjadi peningkatan jumlah

perkawinan beda agama di masyarakat Indonesia. Padahal Undang-Undang tidak

mengaturnya. Bossard menjelaskan bahwa perkawinan beda agama disebabkan

oleh karena beberapa faktor. Pertama adalah faktor sosial, semua agama memiliki

aspek kehidupan sosial dan organisasi. Dalam hal ini keluarga dianggap sebagai

lembaga yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan nilai-nilai keagamaan. Di

India misalnya agama diidentifikasikan dengan sistem kasta dan melibatkan

seluruh jajaran sosial. Sedangkan di Amerika tidak terlalu dipentingkan, hanya

dikaitkan untuk menunjukkan latar belakang seseorang. Oleh karena itu, di

Amerika jumlah keluarga dengan orang tua beda agama lebih banyak

dibandingkan dengan di India. Di Indonesia sendiri dalam konteks negara yang

multikulral, perkawinan beda agama cukup tinggi meskipun secara hukum belum

diatur dalam Undang-undang.

Faktor yang kedua, adalah sejarah. Perkawinan antar agama dalam sejarah

(24)

37

ayat yang ke 3.23 Perintah itu kemudian dilanjutkan oleh nabi-nabi dan gereja.

Tetapi pada abad keduapuluh Draschler dalam penelitiannya di New York

menyebutkan bahwa telah terjadi pernikahan beda agama yang cukup signifikan.

Hal itu disebabkan oleh populasi penduduk Yahudi dan Kristen yang tidak

berimbang. Oleh karena itu, terjadi sikap lunak baik dari pihak Kristen Katolik

maupun Protestan meskipun tidak secara terbuka. Hal itu juga terjadi di Indonesia,

di mana ada gereja-gereja yang mengijinkan anggotanya melakukan pernikahan

beda agama.

Dalam konteks Indonesia pasangan beda agama yang melakukan

pernikahan dapat mengalami isolasi dari masyarakat. Terisolasinya pasangan beda

agama terjadi karena beberapa alasan seperti yang diungkapkan oleh Ariarajah.24

Ia menyebutkan ada tiga alasan pasangan semacam itu terisolasi. Pertama,

khususnya dalam tradisi agama Kristen dan Islam, jika seseorang menikah dengan

seorang beragama Buddha atau Hindu, maka dia dianggap “berkhianat” atau “kurang kristiani“ atau “kurang islami” dan dianggap “meninggalkan”

persekutuan agamanya. Alasan kedua berhubungan dengan sikap pasangan itu

sendiri. Setelah mendapatkan pertentangan dari orangtua dan saudara atas

pernikahannya, maka setelah menikah mereka berusaha untuk mengatasi masalah

23 Ulangan 7: 1-4: ”Apabila TUHAN, Allah u, telah e bawa e gkau ke dala egeri, ke a a

engkau masuk untuk mendudukinya, dan Ia telah menghalau banyak bangsa dari depanmu, yakni orang Het, orang Girgasi, orang Amori, orang Kanaan orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, tujuh bangsa, yang lebih banyak dan lebih kuat dari padamu, dan TUHAN Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah engkau ..., janganlah engkau kawin mengawinkan dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki...”

24

(25)

38

mereka sendiri tanpa melibatkan keluarga. Alasan ketiga para tokoh agama seperti

Pendeta dalam agama Kristen segan untuk mengadakan kontak dengan pasangan

yang menikah karena takut dituduh ikut campur, sehingga cenderung untuk

menjaga jarak dengan keluarga dari pernikahan beda agama. Oleh karena itu,

Ariarajah menegaskan keberhasilan keluarga beda agama bergantung sepenuhnya

pada pasangan itu sendiri.25

Keluarga dalam kondisi orang tua beda agama oleh beberapa penelitian

menunjukkan adanya dampak terhadap anak-anak. Dampak-dampak tersebut

diantaranya, persoalan interaksi dalam keluarga. Gambaran keluarga sebagai

sebuah sistem yang didalamnya terdapat interaksi personal di antara

anggota-anggotanya, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut 26:

Gambar 1 : Interaksi dalam keluarga

Interaksi yang kuat dalam keluarga memiliki pengaruh yang kuat dalam

proses pendidikan dalam keluarga. Orang tua dalam hal ini ayah dan ibu memiliki

25

Ibid, hal.97. 26

Havighurst, J, Robert, and Neugarten, L, Bernice, Society anda Education, ALLYN AND BACON, INC, Boston, 1959, hal. 82.

Ayah

Anak Anak

(26)

39

peran besar terjadinya interaksi yang kuat dalam keluarga, meskipun interaksi di

antara mereka sendiri juga perlu diupayakan. Keberhasilan proses interaksi ayah

dan ibu mempengaruhi interaksi mereka dengan anak-anak. Oleh karena itu jika

terjadi persoalan pada interaksi orang tua berdampak pada anak, salah satu

persoalannya adalah interaksi terkait adanya perbedaan agama. Dengan kata lain

jika interaksi di antara orang tua tidak kuat karena agama yang berbeda, maka

dapat melemahkan interaksi orang tua dengan anak yang secara langsung

mempengaruhi perkembangan anak.27

Dampak lain dari perbedaan agama di antara orang tua dalam keluarga

adalah rendahnya kualitas agama anak-anak.28 Hal itu disebabkan sikap orang tua

yang kurang memberikan perhatian dan pembinaan agama terhadap anak-anak.

Dampak berikutnya hasil penelitian menunjukkan juga terhadap pemilihan agama

oleh anak di antara agama yang dianut oleh kedua orangtuanya, dalam hal ini

pengaruh maternal lebih kuat sehingga anak lebih cenderung memilih agama ibu.29 Pilihan anak tersebut karena ibu lebih memiliki hubungan yang dekat

dengan anak atau karena waktu bersama dengan ibu lebih banyak dibandingkan

dengan ayah.

27

Bossard, H.S, James, The Sociologi of Chid Development, Harper And Brothers, United State of America, 1954, hal. 390.

28

Asrori, Mohib, Kritisi Jurnal Millah Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan, Sudi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta, www.gurutrenggalek.com/2010/01/kritisi-jurnal-millah-keluarga-beda.html?m=1, 29 Maret 2015.

29

(27)

40

Dengan demikian keluarga dengan orangtua beda agama yang disebabkan

oleh pernikahan beda agama dapat membawa dampak terhadap anak. Oleh karena

itu orang tua dalam keluarga beda agama perlu memperhatikan dampak tersebut

baik sebelum maupun setelah menikah.

2.5. Pendidikan Agama dalam keluarga beda agama

Pendidikan dalam keluarga tidak dapat dilepakan dari pendidikan agama

karena keluarga juga memiliki fungsi religius. Dengan pendidikan agama yang

dilaksanakan oleh keluarga Helmawati mengungkapkan bahwa agama selain

dapat menghasilkan anak pada kedewasaan dalam menerapkan norma-norma

agama dalam hidup sehari-hari, agama juga dapat membantu memecahkan

persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh manusia itu sendiri.30 Dengan

demikian pendidikan agama dalam keluarga mengikat seluruh anggota keluarga,

mereka malaksanakan norma-norma agama bersama dan menggunakan norma

tersebut dalam mengatasi persoalan yang mereka hadapi dalam keluarga. Dalam

hal tersebut orang tua sebagai orang lebih dewasa menjadi sumber pengajaran

agama bagi anak-anak. Hal ini berlaku bagi setiap keluarga termasuk keluarga

beda agama. Meskipun orang tua beda agama yang disebabkan oleh perkawinan

beda agama, mereka tetap memiliki tanggungjawab dalam pendidikan agama.

30

(28)

41

Pendidikan agama dalam keluarga beda agama menurut penelitian

Mustofiyah terdapat tiga variasi berdasarkan interaksi yang terjadi pada orang tua

yang berbeda agama.31 Tiga variasi tersebut, pertama, pasangan suami-istri kurang

kuat dalam keagamaan. Bila hal itu yang terjadi maka pendidikan agama pada

anak lebih ditentukan oleh lingkungan. Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud

adalah keluarga besar seperti kakek-nenek atau saudara dan masyarakat yang ada

di sekitar keluarga. Jika lingkungan mayoritas Islam maka anak akan cenderung

beragama Islam dan pendapatkan pendidikan agama dari lingkungan, demikian

pula jika lingkungan mayoritas beragama Kristen dan sebagainya. Variasi kedua,

salah satu pasangan lebih kuat dalam beragama. Maka pendidikan agama lebih

banyak dilakukan oleh pasangan yang kuat agamanya. Dalam hal ini dari hasil

penelitian ibu lebih banyak dibandingan dengan ayah. Variasi yang ketiga,

pasangan sama-sama kuat beragama. Jika dalam keluarga beda agama terjadi

demikian maka pendidikan agama keluarga di dasarkan atas “perjanjian” yang

disepakati bersama oleh pasangan. Dalam keluarga yang demikian kemungkinan

besar anak memiliki agama yang berbeda satu dengan yang lain karena

dipengaruhi oleh perbedaan agama orang tua dan pengaruh yang kuat dari

masing-masing orang tua.

Dalam keluarga beda agama anak-anak cenderung mengikuti salah satu

agama orang tuannya, tetapi setelah dewasa sangat dimungkinkan perubahan

agama. Hal tersebut karena anak mendapatkan pendidikan dan pengaruh dari

masing-masing orang tua baik yang dalam relasi orang tua satu kuat dan satu

31

(29)

42

lemah dalam hal agama, atau relasi yang kedua orang tua sama-sama kuat

agamanya masing-masing. Dengan demikian perubahan agama lebih besar terjadi

dalam keluarga beda agama dibandingan dengan keluarga yang memeluk satu

agama.

2.6 Kesimpulan

Pendidikan Agama Kristen (PAK) tidak dapat dilepaskan dari gereja. Hal

tersebut disebabkan adanya hubungan erat antara gereja sebagai persekutuan

orang-orang percaya dan keluarga menjadi bagian di dalamnya. Keduanya juga

menjadi sumber PAK keluarga yang saling mengisi dan melengkapi.

Pengertian PAK mencakup seluruh proses pendidikan yang dilaksanakan

secara terencana dari orang tua tentang nilai-nilai Kerajaan Allah (kasih,

kebenaran, damai dan kesetaraan), iman Kristen, dan kebebasan hidup beriman.

Dalam pelaksanaan PAK orang tua dapat menggunakan dua metode sekaligus

yaitu metode sosialisasi dan edukasi sesuai dengan perkembangan kepercayaan

anak. Dalam konteks masyarakat majemuk termasuk dalam keluarga, maka PAK

dilengkapi dengan Pendidikan Multikultural. Dengan demikian PAK keluarga

tidak hanya meneruskan nilai-nilai Kristen sehingga anak menjadi seorang

Kristen, tetapi juga mengembangkan sikap toleransi terhadap anggota keluarga

yang beragama lain.

Pendidikan agama dalam keluarga beda agama sangat bergantung pada

(30)

43

maka pendidikan agama anak lebih ditentukan oleh lingkungan. Apabila orang tua

pada relasi satu lemah dan satu kuat dalam agama, maka yang kuat akan

menentukan pendidikan agama pada anak. Sedangkan apabila orang tua

sama-sama kuat dalam agamanya maka pendidikan agama anak dilaksanakan

berdasarkan perjanjian dari orang tua. Oleh karena itu dalam keluarga beda agama

sangat dimungkinkan terjadinya perubahan agama pada anak-anak sampai

Gambar

Gambar 1 : Interaksi dalam keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk ruang gerak penari digambarkan secara bermakna ke dalam; desain atas dan disain lantai (La Meri: 1979: 12). Ruang gerak tari diberi makna melalui garis lintasan penari

KONTRIBUSI KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MUTU MADRASAH ALIYAH SWASTA DI KABUPATEN BANDUNG BARAT.. Universitas Pendidikan Indonesia

terjadi perubahan warna dari yang awalnya bening menjadi biru muda.Selain itu bisa juga saat kita memanaskan lempeng tembaga yang berwarna merah dengan serbuk belerang yang

INTA allocates capex of IDR75 billion until IDR80 billion in 2018. The capex will be used to build new warehouse in Balikpapan and increase

Joyce & Weil (dalam Rusman, tanpa tahun hlm. 6) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk

Bledo Dukuh Trukan Kota Tegal Tahun Anggaran 2016 dalam waktu 4 (empat) hari. kalender setelah pengumuman pemenang, terhitung mulai hari Sabtu

Desa Pulau Ku'u menjadi desa yang paling tinggi dari desa lain yang diambil sebagai daerah penelitian yaitu dengan 11 slide positif , sedangkan Desa Warukin adalah yang

pemenang, terhitung mulai hari Sabtu tanggal 10 September 2016 sampai dengan hari. Senin tanggal 13 September 2016 dengan disertai bukti terjadinya penyimpangan