• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Yang Dibuat Atas Nama Anak Di Bawah Umur Dan Pertanggungjawaban Wali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Yang Dibuat Atas Nama Anak Di Bawah Umur Dan Pertanggungjawaban Wali"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM PENDAFTARAN TANAH

Pengertian Anak di Bawah Umur

Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan

ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal

dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa

suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan

keturunannya.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas

sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang

akan datang nantinya, oleh karna itu harus kita jaga dan kita lindungi dari perbuatan

buruk ataupun sebagai korban dari perbuatan buruk seseorang.

Pengertian anak memiliki arti yang sangat luas, anak di kategorikan menjadi

beberapa kelompok usia, yaitu masa anak-anak (berumur 0-12 tahun), masa remaja

(berumur 13-20 tahun), dan masa dewasa (berumur 21-25 tahun). Pada masa

anak-anak sendiri anak-anak cenderung memiliki sifat yang suka meniru apa yang dilakukan

orang lain dan emosinya sangat tajam.56

(2)

Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam

menentukan bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi dalam setiap

perbedaan pemahaman tersebut, tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan

yang mana yang akan dipersoalkan nantinya.

Pengertian anak Secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua

setelah ayah dan ibu.57 Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata

hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan

usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum

mencapai usia18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah

kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan.58

Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada

pasal 330 adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan sebelumnya

belum kawin.

Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang

belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.59 Dalam perspektif Undang-Undang Peradilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan

belum pernah kawin.60

57WJS.Poerdarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, Hal 38-39

58Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(3)

Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pengertian anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan61.

Pengertian Anak di bawah umur menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1997

tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka (20) anak adalah orang laki-laki atau wanita

yang berumur kurang dari 15 tahun.

Anak menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Pasal 21 (1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin,

berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau

ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya

berkewarganegaraan Republik Indonesia.

Menurut Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi Pasal 1 (4)

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Anak menurut Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan

tindak pidana perdagangan orang Pasal 1 angka (5) adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak menurut Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 1

angka (5) adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan

belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut

adalah demi kepentingannya.

(4)

Anak dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas Usia

anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak

tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan

perkawinan.62 Adapun pengertian anak menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana) sebelum

umur 16 (enam belas) tahun.63

Begitu juga halnya dalam permohonan pemindahan dan peralihan hak dan

pendaftarannya sebagaimana diatur dalam pasal 39 dan pasal 45 Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 haruslah orang yang memenuhi syarat untuk

bertindak oleh karena itu apabila yang mengajukan permohonan adalah anak di

bawah umur diwakili oleh orang tua atau walinya baik dalam penandatangan

permohonan, Surat Pernyataan Ahli Waris maupun hal-hal lain yang berkaitan

dengan itu. Hanya saja dalam pelayanan pertanahan tersebut yakni pendaftaran

pertama kali, pendaftaran peralihan atau pemindahan hak, batas umur orang atau anak

yang dapat mengajukan permohonan sendiri sejak tahun 2015 sudah dimungkinkan

18 tahun sesuai surat edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tanggal 26 Januari 2015 tentang Batas Usia

Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan.

62

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, Jakarta, 2001, Hal 50.

63

(5)

Penetapan batas usia dewasa atau orang dapat mengajukan permohonan untuk

mendapatkan pelayanan pertanahan selama ini 21 tahun, dengan penetapan ini

tentang adanya kepastian hukum mengenai kedewasaan dan kecakapan seseorang

dalam melakukan perbuatan dalam rangka pelayanan pertanahan.

Kedudukan Anak Di Bawah Umur Sebagai Subjek Hukum

Dalam melakukan perbuatan hukum, anak di bawah umur harus diwakili oleh

orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum mampu untuk menentukan

mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian domisili anak di bawah

umur juga mengikuti domisili orang tua atau walinya, sehingga anak di bawah umur

tidak dapat dinyatakan tidak hadir (afwezig). Ukuran atau batasan untuk menentukan

seseorang masih di bawah umur atau sudah cukup umur dalam KUHPerdata

ditentukan dalam pasal 330, meskipun menurut pasal 282 KUHPerdata seorang pria

berumur 19 tahun dan wanita berumur di bawah 19 tahun boleh melakukan

pengakuan anak (erkenning) dan menurut pasal 897 KUHPerdata bila sudah

mencapai usia 18 tahun boleh membuat surat wasiat, artinya untuk melakukan

perbuatan hukum yang tertentu itu seorang anak boleh datang menghadap Notaris

untuk menandatangi akta yang berkenaan. Perlu pula diketahui kapankah seorang

anak itu di bawah kekuasaan orang tua (ourdelijke-macht), karena sistem hukum

perdata barat yang sebelumnya berlaku dengan sistem Undang-undang Perkawinan

menganut pandangan yang berbeda.64

64Siti Hafsah Ramadhany,Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas

(6)

Menurut hukum seseorang yang belum dewasa atau di bawah umur tidak cakap

bertindak serta tidak dapat dipertanggungjawabkan akibat dari perbuatan yang

dilakukannya. Anak di bawah umur harus diwakili oleh orang tua atau walinya agar

hak-haknya terlindungi karena dalam hukum semua orang itu memiliki hak-hak yang

sama yang harus dilindungi, tanpa melihat dewasa atau tidaknya seseorang serta

cakap atau tidaknya ia dalam melakukan perbuatan hukum, bahkan seseorang yang

masih dalam kandungan pun sudah memiliki hak dengan catatan ia harus lahir.65 Dalam ketentuan hukum di Indonesia dijelaskan bahwa setiap orang dapat

menjadi subyek hukum, tetapi menurut ketentuan Undang-Undang ada subyek hukum

yang tidak sempurna artinya bahwa subyek hukum itu hanya mempunyai kehendak,

tetapi tidak mampu untuk menuangkan kehendaknya di dalam perbuatan hukum,

dengan kata lain subyek hukum yang tidak sempurna tersebut terkait dengan

kecakapan bertindak atau melakukan perbuatan hukum, mereka-mereka itu adalah :66 a. Orang yang belum dewasa/anak di bawah umur;

b. Orang dewasa tetapi tidak mampu berbuat (gila);

c. Wanita dalam perkawinan.

Mengenai subyek hukum yang tidak sempurna, yaitu orang-orang yang belum

dewasa, menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum mencapai umur

21 tahun dan belum pernah kawin sebelumnya, sedangkan wanita dalam perkawinan

sejak dikukuhkan SEMA Nomor 03 Tahun 1963, maka kedudukan wanita dalam

65Ibit, Hal. 26

(7)

perkawinan dianggap cakap menurut hukum, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 31

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam melakukan jual beli tanah bersertipikat hak milik sendiri maupun milik

bersama anak di bawah umur tersebut harus dilengkapi dengan Surat Penetapan dari

Pengadilan yang memberikan ijin kepada orang tua atau walinya untuk melakukan

perbuatan hukum atau peralihan, pemindahan atau pembebanan hak. Hal ini sesuai

ketentuan Pasal 309 dan Pasal 393 KUHPerdata, pengalihan hak milik dari anak yang

masih di bawah umur harus berdasarkan pada Penetapan dari Pengadilan.

Kewajiban adanya penetapan pengadilan dalam pendaftaran peralihan,

pemindahan atau pembebanan hak atas tanah yang merupakan milik sendiri atau

milik bersama anak di bawah umur pada Kantor Pertanahan dilakukan untuk

melindungi kepentingan dari anak di bawah umur yang bersangkutan.

Namun demikian, hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat unifikasi

tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini menunjukkan

bervariasinya batasan usia dinyatakan sebagai anak di bawah umur dalam berbagai

peraturan perundangan di antaranya adalah sebagai berikut :

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai

umur 21 tahun, namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 tahun

atau wanita berumur 16 tahun dapat melakukan perbuatan hukum

(8)

Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa penghadap harus memenuhi syarat

paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah.

Khusus dalam pelayanan pertanahan, sudah ada kemajuan dengan terbitnya

Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 4/SE/I/2015 tanggal 26 Januari 2015, yang telah menetapkan batas usia

dewasa adalah 18 tahun atau sudah kawin sebagaimana telah diuraikan terdahulu

hanya saja, dalam praktek terutama dilembaga perbankan, penetapan usia dewasa

masih mengacu kepada KUHPerdata yaitu 21 tahun, hal ini dibuktikan dengan tetap

adanya persyaratan ijin pengadilan apabila pihak pemegang hak dibawah umur 21

tahun hendak mengajukan permohonan mendapatkan kredit dengan sertipikat tanah

sebagai agunan (Hak Tanggungan). Ketentuan ini diketahui ketika berkas pendaftaran

Hak Tanggungan ke Kantor Pertanahan masih melampirkan ijin pengadilan

tersebut.67

Menurut Abd. Rahim lubis68 syarat tidak berhak salah satunya adalah anak di bawah umur namun demikian anak di bawah umur masih bisa diberikan hak atas

tanah dengan catatan persyaratan yang mengajukan permohonan tersebut adalah

orang tua atau walinya dan haruslah tanah tersebut berdasarkan pemberian atau

warisan orang tunya bukan berdasarkan pembelian dari orang lain sebab anak di

bawah umur belum berhak sebagai pihak melakukan perjanjian atau kontrak

(9)

sebagaimana dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata sesuai ketentuan Pasal 1320

KUHPerdata. Apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut maka permohonan hak atas

anak di bawah umur akan ditolak.

Dengan demikian anak di bawah umur tidak dapat mengajukan permohonan

pendaftaran tanah begitu juga tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa

diwakilkan oleh orang tua atau walinya. Apabila anak di bawah umur tetap

mengajukan permohonan hak atas tanah, melakukan perbuatan hukum atas tanah,

maka akan ditolak oleh Kantor Pertanahan atau Notris/PPAT kecuali diwakilkan oleh

orang tua atau walinya.

Sedang orang tua atau walinya hendak memindahkan/mengalihkan hak,

termasuk mengagunkan tanah yang pemilik/pemegang haknya termasuk anak di

bawah umur, baik pemilikan sendiri atau pemilikan bersama, maka haruslah terlebih

dahulu mendapatkan ijin pengadilan, tanpa ijin tersebut pendaftaran peralihan,

pemindahan hak atau pembebanannya akan ditolak oleh Kantor Pertanahan.

Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

1. Pemberian Hak Atas Tanah.

Istilah Pendaftaran tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa Belanda

merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai dan

(10)

“Cadastre” berasal dari bahasa latin “Capitastrum” yang berarti suatu register atau

capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotatio Terrens)69. Pengertian pendaftaran tanah terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1 bahwa :

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Menurut A.P. Parlindungan, sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso,

pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre, yang dalam bahasa Belanda disebut

Kadaster. Cadastre adalah suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang

menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap

suatu bidang tanah.70 Kata Cadastre berasal dari bahasa Latin Capistrtum, yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi

(Capitatio Terrens).71Selain berfungsi untuk memberikan uraian dan indetifikasi dari sebidang tanah, Cadastre juga berfungsi sebagai rekaman yang berkesinambungan

dari suatu hak atas tanah.72

69 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 1999, Hal 18.

70

Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Predana Media, Jakarta, 2010, Hal 12.

(11)

Berdasarkan pengertian pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 1 angka

1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pendaftaran Tanah dapat diuraikan

beberapa unsur pendaftaran tanah, yaitu:

1. Adanya serangkaian kegiatan

2. Dilakukan oleh Pemerintah

3. Secara terus menerus, berkesinambungan

4. Secara teratur

5. Bidang tanah dan satuan rumah susun

6. Pemberian surat tanda bukti hak

7. Hak-hak tertentu yang membebaninya.73

Pengertian di atas menunjukkan bahwa ada berbagai macam kegiatan dalam

penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain

dan merupakan suatu kesatuan untuk memperoleh apa yang disebut sertipikat.

Kegiatan pendaftaran tanah tidak hanya diadakan sekali tetapi untuk seterusnya

apabila terjadi perubahan terhadap tanah maupun pemegang haknya74.

Pengertian dari pendaftaran tanah meliputi 2 ( dua ) kegiatan, antara lain

sebagai berikut :

a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali

b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah

73 Ibid.

74Erpinka Aprini,Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan

(12)

Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) ini, menurut Boedi

Harsono75meliputi tiga bidang kegiatan, yaitu: Bidang fisik atau “teknis kadastral” ;

Bidang yuridis ; dan

Penerbitan dokumen tanda-bukti hak.

Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran

peralihan dan pembebanan hak, dan juga apabila terjadi perubahan data pendaftaran

tanah baik data yuridis maupun data fisik.

Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan produk dari

kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam

UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997, yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum

bagi pemegang hak atas tanah dengan memberikan tanda bukti hak yang kuat.

Disamping itu dengan dilakukannya pendaftaran tanah secara tertib dan teratur akan

merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan.76 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa pendaftaran

tanah itu diselenggarakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang

pertanahan dengan sistem publikasinya “sistem negatif bertendensi positif” atau

sistem negatif yang mengandung positif.

Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dikenal sistem publikasi positif dan

sistem publikasi negatif. Sistem publikasi positif, dapat diartikan pemerintah

75Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya (jilid I), Djambatan, Jakarta, 1999, Hal 74.

76Ilhamsyah, Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat Untuk Pertama Kali Oleh Masyarakat Di

(13)

menjamin kebenaran data yang disajikan, sehingga sertifikat merupakan alat bukti

yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.

Sedangkan dalam sistem publikasi negatif, sertifikat bukan merupakan alat

bukti yang mutlak, melainkan sebagai alat bukti yang kuat dalam arti bahwa nama

seseorang atau badan hukum sudah didaftar sebagai pemegang hak, belum tentu

sebagai pemilik yang sah karena masih terbuka kemungkinan pihak lain untuk

membuktikan kepemilikannya yang sebenarnya melalui gugatan di lembaga

peradilan.

Di Indonesia, sistem publikasi pendaftaran tanah yang digunakan adalah

sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Artinya, pendaftaran

sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, bukan mutlak.77 Hal ini diperkuat dalam ketentuan Pasal 32 (a) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) ditentukan bahwa :

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan

yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :

a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-haktersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

77Engkos Koswara,Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematis di

(14)

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan

masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan

penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan

pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat

yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, masyarakat juga

diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai pasal 23, pasal 32, dan pasal

38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :

Pasal 23 ayat 1 UUPA : Hak Milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya

dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan

ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk

dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak

milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 32 ayat 1 UUPA : Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat

pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut,

harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal

19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian

yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam

hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 38 ayat 1 UUPA : Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat

(15)

harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal

19 ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian

yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan

tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya

berakhirnya.

Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka

diterbitkanlah beberapa peraturan-peraturan di antaranya : Peraturan Pemerintah No.

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan akan kepastian hukum hak atas tanah,

sehingga diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah tertanggal 8 Oktober 1997, dengan peraturan pelaksanaannya

antara lain Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.

3 Tahun 1997.

Jaminan kepastian hukum memiliki beberapa manfaat, di antaranya

memajukan perekonomian nasional (karena sertipikat hak atas tanah dapat dijadikan

agunan untuk memperoleh kredit perbankan), melestarikan lingkungan (karena

hubungan yang pasti antara pemegang hak dengan obyek hak memberikan motivasi

pemegang hak untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian

lingkungan), meningkatkan penerimaan negara (karena pendaftaran tanah

memungkinkan adanya penertiban administrasi peralihan hak dan itu memungkinkan

adanya pemasukan dari bea balik nama), melindungi kepentingan masyarakat

(16)

untuk kepentingan tertentu, pemegang hak akan memperoleh kompensasi yang

wajar), mencegah atau mengurangi sengketa pertanahan, dan mendukung

perencanaan tata ruang untuk pembangunan78.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang bersangkutan

dan agar dapat dengan mudah membuktikan haknya maka diberikanlah suatu

sertipakat hak atas tanah. Untuk menyediakan informasi sebagaimana dalam Pasal 3

huruf b Kantor Pertanahan bersifat terbuka, sehingga pihak-pihak yang

berkepentingan dapat dengan mudah mencari data fisik dan data yuridis tentang suatu

bidang tanah yang sudah terdaftar. Sedangkan untuk tertib administrasi pertanahan

maka pendaftaran tanah tidak hanya dilakukan sekali tapi secara terus-menerus

mengikuti perbuatan hukum dan peristiwa hukum yang mengakibatkan data fisik

maupun data yuridis pada suatu bidang tanah mengalami suatu perubahan79.

Menurut J.B. Soesanto, dalam diktatnya Hukum Agraria I menyatakan bahwa

tujuan pendaftaran tanah adalah80:

Memberikan kepastian hukum, yaitu kepastian mengenai bidang teknis

(kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal

ini diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian hari, baik dengan

pihak yang menyerahkan maupun pihak-pihak yang mempunyai tanah.

78Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1988-1998, Hal 182.

79Erpinka Aprini,Op.Cit.,Hal 10-11.

(17)

Memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi yuridis mengenai status

hukum, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai) dan ada tidaknya

hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status

hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan, karena dikenal tanah-tanah

dengan bermacam-macam status hukum, yang masing-masing memberikan

wewenang dan meletakan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak

yang mempunyai hal mana akan terpengaruh pada harga tanah.

Memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai siapa yang

mempunyai diperlukan untuk mengetahui dengan siapa kita harus

berhubungan untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah

mengenai ada atau tidak adanya hak-hak dan kepentingan pihak ketiga,

diperlukan untuk mengetahui perlu atau tidaknya diadakan tindakan-tindakan

tertentu untuk menjamin penguasaan dan penggunaan tanah yang

bersangkutan secara efektif dan aman.

Jadi dengan Pendaftaran Tanah akan diperoleh kepastian hukum tentang

hak-hak atas tanah yang diakui di Indonesia dan untuk si pemegang hak-hak akan diterbitkan

sertifikat sebagai alat bukti kuat sebagai pemegang hak atas tanah.

Pewarisan

Menurut Hukum Barat (Kitab Undang-Udang Hukum Perdata).

Dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa:

(18)

Pengertian pewarisan menurut hukum perdata adalah perpindahan hak dan

kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang

merupakan ahli warisnya. Berdasarkan pengertian diatas jelas bahwa pihak-pihak

yang berhak menerima warisan atau yang disebut dengan ahli waris adalah pihak

keluarga dari pihak yang meninggal dunia yaitu pewaris.

Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli

warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Pengertian dari

mewaris itu sendiri adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang

meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di

bidang hukum kekayaan. Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat pribadi atau

yang bersifat hukum keluarga (misalnya perwalian) tidaklah beralih.81 Hal tersebut diatur dalam Pasal 830 KUHPerdata. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi

jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu ada seseorang yang meninggal dunia, ada

seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada

saat pewaris meninggal dunia, dan ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan

pewaris.82

Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun

perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang

diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,

baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.83

81H. F. A. Vollmar,Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali, Jakarta, 1989, hal. 375 82 H. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia - Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 2

(19)

Menurut Hukum Perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal

dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak

tersebut kepada para ahli waris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli waris, berapa

bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya. Diatur oleh hukum waris

almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh hukum tanah. Hukum tanah

memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan

hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris.84 Pewarisan sendiri merupakan segala sesuatu mengenai apa yang harus terjadi

dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain pewarisan

merupakan peristiwa perpindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal

dunia kepada orang yang masih hidup yang merupakan ahli warisnya. Pada asanya

yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan

saja. Kecuali ada hak-hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang tidak

dapat diwariskan, yaitu perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan

pemberian kuasa.

Pewarisan menurut KUHPerdata memiliki ciri khas yaitu adanya hak mutlak

dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari

harta warisan. Jadi apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di

depan pengadilan, ketentuan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris lainnya.

Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 KUHPerdata, yaitu85:

84Suheri,Op. Cit.,Hal 6.

(20)

1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak

dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan

tidak dapat dibagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;

2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada

perjanjian yang melarang hal tersebut;

3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan

hanya untuk beberapa waktu tertentu;

4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima

tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Bahwa sistem hukum waris barat tidak sesuai dengan alam pikiran bangsa

Indonesia karena sifatnya yang mementingkan hak-hak perseorangan atas kebendaan.

Hal mana selalu akan dapat menimbulkan perselisihan tentang harta warisan diantara

para waris apabila pewaris wafat, dikarenakan menurut hukum barat pada hakekatnya

semua harta warisan termasuk hutang piutang beralih kepada waris, sedangkan para

waris dapat memilih diantara 3 (tiga) sikap yaitu :86

Sikap menerima secara keseluruhan, berarti waris menerima warisan termasuk

hutang-hutang pewaris.

Sikap menerima dengan syarat, berarti waris menerima warisn secara

terperinci dan hutang-hutang pewaris akan dibayar berdasarkan barang-barang

warisan yang diterima.

86

(21)

Sikap menolak, berarti waris tidak mau menerima warisan karena ia tidak tahu

menahu mengenai pengurusan harta warisan itu.

Menurut Hukum Islam

Pewarisan menurut Hukum Islam adalah peristiwa wafatnya seseorang

manusia secara umum mengakibatkan beralihnya segala hak-hak (termasuk

kewajiban) atau aktiva dan passive dari seseorang manusia yang wafat tadi untuk

selanjutnya dimiliki oleh generasi berikutnya yang menyusulnya. secara sederhana

dengan meninggalnya seseorang mengakibatkan segala harta kekaayaannya beralih

kepada ahli-warisnya, yang pada umumnya87 terdiri dari pasangan kawinnya yang

hidup terlama beserta anak-anak dan sekalian keturunannya.88 Dari uraian itu tersirat pula bahwa yang menyebabkan terjadinya proses pewarisan itu menurut Islam adalah

adanya seseorang peninggal harta yang wafat89 adanya kekayaan yang ditinggalkan

dan adanya ahli-waris yang benar-benar masih hidup yang akan mewarisi kekayaan

yang ditinggalkan seorang peninggal harta yang wafat.90

Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat

Alquran dan Hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang

ditentukan Rasulullah. Baik dalam Alquran maupun hadis-hadis Rasulullah, dasar

87 Disebut “Pada Umumnya” karena ada kalanya seseorang peningggal harta wafat dalam keadaan tidak terikat perkawinan dan tidak memiliki keturunan tetapi masih memiliki ahliwaris berupa keluarga sedarah yang lainnya.

88 M.Hasballah Thaib dan Syahrial Sofyan, Teknik Pembuatan Akta Penyelesaian Warisan

Menurut Hukum Waris Islam di Indonesia, (diterbitkan sebagai buku-ajar untuk para peserta didik Program Studi Magister Kenotariatan FH USU), Citapusaka Media, Medan, 2014, Hal 2.

89M. Hasballah Thaib dan Imam Jauhari,Kapita Selekta Hukum Islam, Pusaka Bangsa Press, 2004, Hal 177.

(22)

hukum kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat,

bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak

ditemui dasar atau sumber hukum itu dalam Surah An-Nissa’; disamping surah

lainnya sebagai pembantu.

Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada

sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuik menerima

warisan:

1. Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di

buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau

pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak

termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.

2. Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang

mewariskan meninggal dunia.

3. Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan :

Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas

seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu,

paman, dll.

Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi

dua syarat:

Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang

(23)

Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan

bercerai.

Apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi

maka hartanya akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam)

untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam.

Beberapa prinsip dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :

1) Prinsip Ijbari

Yang dimaksud dengan Prinsip Ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang

yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya.91

Dalam Hukum Kewarisan Islam, dijalankannya Prinsip Ijbari ini berarti, peralihan

harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku

dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak

pewaris atau ahli waris.92 2) Prinsip Individual

Secara singkat dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Prinsip

Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki

secara perorangan. Ini berati setiap ahli waris berhak atas bagian warisan yang

didapatkan tanpa terikat oleh ahli waris yang lain.

Ada perbedaan yang sangat mencolok, jika Prinsip Individual dalam Hukum

Kewarisan Islam dibandingkan dengan salah satu prinsip dalam Hukum Kewarisan

91

Amir Syarifuddin,Pelaksanaan Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984, Hal 18.

(24)

Adat, yakni Prinsip Kolektif. Menurut prinsip ini, ada harta peninggalan yang tidak

dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Di beberapa daerah di Indonesia

terdapat suatu adat, harta peninggalan yang turun-temurun diperoleh dari

nenek-moyang, tidak dapat dibagi-bagi, jadi ahli waris harus menerimanya secara utuh.93 Misalnya adalah Harta Pusaka di Minangkabau da Tanah Dati di Hitu Ambon.

Tiap-tiap anak, turut menjadi anggota (deelgenot) dalam kompleks famili yang mempunyai

barang-barang keluarga (harta pusaka) itu.94

Apabila kompleks famili itu menjadi terlalu besar, maka kompleks famili

itudipecah menjadi dua, masing-masing berdiri sendiri dan menguasai Harta

Pusaka.95

3) Prinsip Bilateral

Yang dimaksud dengan Prinsip Bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun

perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak

kekerabatan laki-laki dan pihak kekerabatan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin

bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi dan baik dalam garis lurus

ke bawah, ke atas serta garis ke samping, Prinsip Bilateral tetap berlaku.96

Menurut Hukum Adat

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan

tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris

93Soekanto,Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, Hal 121. 94Ibid, Hal 122.

95 Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal 5.

(25)

serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari

pewaris kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan

harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Perbuatan penerusan atau

pengalihan harta pewaris kepada waris sebelum pewaris meninggal dapat terjadi

dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas

bendanya oleh pewaris kepada waris.

Harta warisan menurut hukum adat tidak merupakan kesatuan yang dapat

dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi

menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak

boleh dijual sebagai, kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para

waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris barat.

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan

penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yangdapat dibagikan. Harta

yang tidak terbagi dalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki

perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan

pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Harta warisan adat yang tidak

terbagi dapat di gadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para

tua-tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk hata warisan yang

terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan

pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggan

(26)

Sistem Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat di Indonesia sistem kewarisan

yang terdapat pada masyarakat ada 3 yaitu :97 a) Sistem Pewarisan kolektif,

Sistem ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir yang kita jumpai dalam

masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang “comun” atau

“komunal/kebersamaan”. Cara berpikir yang komunal ini menekankan pada rasa

kebersamaan dalam ikatan kemasyarakatan yang kuat, senasib sependeritaan,

secita-cita dan setujuan, meliputi seluruh lapangan kehidupan. Keadaan ini menggambarkan

bahwa individualitas (sifat individu) dari seseorang terdesak kebelakang.

Kebersamaanlah yang utama, baik dalam suka maupun duka.

Cara berpikir komunal ini dikaitkan dengan hukum waris adat, lebih baik

harta peninggalan (warisan) dibiarkan tetap utuh tidak dibagi-bagikan, diwarisi

bersama sama oleh sekumpulan ahli waris, dan hasilnya dinikmati bersama,

kemudian dijadikan harga pusaka. Dalam hal ini dapat saja setiap ahli waris

memakainya, tetapi tidak memiliki, tetapi sekedar diberikan hak pakai saja.

b) Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem kewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem

pewarisan kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang

tidak terbagi bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai

pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu

sebagai kepala keluarga. Anak tertua dalam kedudukannya sebagai penerus

(27)

penanggung jawab orang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara

saudara-saudara yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan

kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah tangga dan

berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka yang turun menurun. Seperti

halnya dengan sistem kolektif setiap anggota waris dari harta bersama mempunyai

hak memakai dan hak menikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau

memilikinya secara perorangan.

c) Sistem Pewarisan Individual

Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem

pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan

atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta

warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan

memiliki bagian harta warisan untuk disahkan, dinikmati atau dialihkan. (dijual)

kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain Berbicara tentang

sistem kewarisan tidak lepas dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh

masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia, apabila masyarakat-masyarakat adat yang ada di Indonesia

memeluk agama yang berbeda-beda, bersuku-suku yang mempunyai bentuk

kekeluargaan, kekerabataan atau keturunan yang berbeda-beda pula. Secara teoritis

sistem kekerabatan atau keturunan itu dapat dibedakan dalam 3 corak yaitu:

Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,

dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita

(28)

Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,

dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria

dalam pewarisan.

Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut

garis orangtua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan

pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan.

Menurut A. Pitlo98 pengertian hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai

pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini

bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan

mereka, maupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.

Selain itu, M. Idris Ramulyo99 menerangkan bahwa apabila membicarakan

masalah warisan maka akan sampai pada empat masalah pokok dimana yang satu

dengan yang lainnya tidak dapat terpisahkan. Masalah pokok tersebut adalah :

pertama adanya seseorang yang meninggal dunia, kedua ia meninggalkan harta

peninggalan, masalah pokok yang ketiga adalah meninggalkan orang “orang yang

mengurusi dan berhak atas harta peninggalan tersebut (ahli waris)”, dan masalah

pokok yang keempat yang tidak kalah pentingnya adalah keharusan bagian

masing-masing.

98A. Pitlo,Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Cet ke-2 terjemahan, Isa Arief Jakarta Intermasa, 1968, Hal 1.

99 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab

(29)

Bila seorang manusia adanya hukum kewarisan yang menentukan siapa saja

ahli waris dan berapa sebagai individu meninggal dunia maka akan timbul pertanyaan

bagaimana hubungan yang meninggal dunia itu dengan yang ditinggalkan serta

kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, terutama dalam masalah kekayaan

(vermogensrecht) dari orang yang meninggal dunia.

Demikian membutuhkan aturan aturan yang mengatur bagaimana caranya

hubungan yang meninggal dunia dengan harta benda yang ditinggalkan, siapa yang

mengurus atau mewarisi, dan bagaimana cara peralihan harta tersebut kepada yang

masih hidup. Jadi masalah yang timbul dalam kewarisan adalah masalah harta benda

(kekayaan) dari orang yang meninggal dunia dengan orang-orang yang ditinggalkan

(ahli waris).

Peralihan hak atas tanah karena pewarisan terjadi karena pemegang haknya

telah meninggal dunia, secara hukum hak tersebut beralih kepada ahli warisnya.

Perbuatan ini dilakukan secara tidak sengaja, karena hukum maka hak atas tanah

berpindah kepada orang lain (ahli waris). Mengenai siapa para ahli warisnya berapa

bagian masing-masing dan cara pembagiannya diatur oleh hukum perdata, lebih

khusus lagi diatur oleh hukum waris yang dianut almarhum pemegang hak yang

bersangkutan bukan oleh Hukum Tanah.

Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka

memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi ketertiban tata usaha

(30)

keadaan yang mutakhir.100Untuk mengubah data yuridis bidang tanah pada alat bukti haknya, maka ahli waris yang sah dan berhak mendapatkan warisan tersebut wajib

mendaftarkan perubahan data yuridis atas tanah dimaksud kepada kantor pertanahan

Kabupaten/Kota.101

Hibah dan Hibah Wasiat.

Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang

dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu

penghibah masih hidup juga. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah

untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang

dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan

berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.

Hibah sebagai mana diatur dalam KUHPerdata Bab X Buku III tentang

Perikatan diatur dalam Pasal 1666 yaitu : “Penghibahan adalah suatu persetujuan,

dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa

dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan

barang itu. Undang-Undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara

orang-orang yang masih hidup”.

Hibah menurut KUHPerdata adalah perjanjian yang dilakukan oleh penghibah

ketika masih hidup untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma kepeda

penerima hibah. “Hibah merupakan perbuatan hukum yang dilakukan atas kehendak

100Boedi Harsono,Op. Cit.,Hal 504

(31)

ikhlas dari pemberi hibah. Dengan kata lain, inisiatif pemberian hibah berasal dari

pemberi hibah dan bukan dari penerima hibah”.102

Berdasarkan Pasal 1683 KUHPerdata, hibah harus dilakukan dengan akta

Notaris103. Dalam akta hibah, pemberi hibah mungkin mewajibkan penerima hibah untuk memasukkan kembali nilai hibah yang telah diterimanya itu ke dalam harta

peninggalan/warisan pemberi hibah. Ini yang dinamakan wajib inbreng. Mungkin

pula dalam akta hibah pemberi hibah tidak mewajibkan atau membebaskan penerima

hibah dari kewajiban pemasukan atas nilai hibah yang diterimanya itu. Ini yang

dinamakan tidak wajib inbreng. Dalam beberapa hal penarikan kembali pemberian

hibah memerlukan persetujuan pihak Penerima Hibah atau atas persetujuan

pengadilan104.

Hibah kepada anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada

orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya

yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa

termaksud, maka hibah itu tetap sah, meskipun penghibah telah meninggal dunia

sebelum terjadi pemberian kuasa itu (KUHPerdata pasal 300, 307, 330 dst, 370, 385,

402, 452, 1330, dan 1448). Hak Milik atas barang-barang yang dihibahkan, meskipun

diterima dengan sah, tidak beralih kepada orang yang diberi hibah, sebelum

diserahkan dengan cara penyerahan menurut pasal 612, 613, 616 dst. (Ov. 26;

102 Anisitus Amanat,Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,Cet. 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal 75.

103Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,

Hukum Islam, dan Hukum Adat, Cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hal 91.

(32)

KUHPerdata Pasal 1459, 1475 dan 1666) tertuang dalam pasal 1686 KUHPerdata,

hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat

piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah,

bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri

atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang

diberi hibah (KUHPerdata Pasal 613, 1354 dst, 1682, dan 1792).105

Syarat-syarat pemberi dan penerima hibah dan tata cara hibah berdasarkan

KUHPerdata :

Pemberian hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum, kecuali

dalam hak yang ditetapkan dalam Bab ketujuh dari buku kesatu KUHPerdata

(pasal 1677);

Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan

oleh notaris (pasal 1682 KUHPerdata);

Suatu hibah mengikat sipenghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari

penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh sipenerima hibah

(pasal 1683 KUHPerdata);

Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah

kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan

orang tua (pasal 1685 KUHPerdata).

105 Ira Erwita, Pelaksanaan Hibah Kepada Anak Dibawah Umur Dan Akibat Hukumnya

(33)

Sedangkan pengertian hibah menurut Hukum Perdata Islam adalah pengeluaran

harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk

kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah, juga kepada seseorang yang

berhak menjadi ahli warisnya. Intinya adalah pemberian suatu benda semasa hidup

seseorang tanpa mengharapkan imbalan, dasar hukumnya terdapat dalam Al-Quran

Surah Al-Baqarah (2) ayat 177, Surah Ali Imran ayat 38, Pasal 210 sampai 214

Kompilasi Hukum Islam.

Hibah dalam pengertian Hukum Perdata Islam diatas, merupakan pemberian

biasa dan tidak dapat dikategorikan sebagai harta warisan. Kategori itu tampak bahwa

hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika ia masih hidup,

sedangkan warisan baru dapat dilaksanakan bila calon pewaris meninggal dunia.

Sedangkan pelaksanaan pemberian hibah sesuai dengan Hukum Perdata Islam

dijelaskan yang memberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan dan pada

waktu pemberian itu dilakukan, berada dalam keadaan sehat baik jasmani maupun

rohaninya.

Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan

hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak,

maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa

mengharapkan apa-apa.106

Firman Allah, artinya :

(34)

“Dan meberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang

miskin, musyafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang

meminta”. (Q.S. Al-Baqarah : 17).107

Rasulallah bersabda, artinya :

“Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : saling memberi

hadialah kamu sekalian niscaya kamu akan mencintai”.(HR. Al-Bukhari).

Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan,

bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta

berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan

suatu dokumen tertulis.

Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya

peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.108

Syarat-syarat hibah sebagai berikut :109

Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :

Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas

harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu

mustahil

Orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada

orang lain.

107 Departemen Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara Al-Quran dan

Terjemahannya, Mahkota, Surabaya, 1989, Hal 45.

108Mu Al-Adab Al-Mufrud, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1990, Hal 180. 109

(35)

Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau

perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.

Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu

harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena

hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.

Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar

dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak

sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan

tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan

karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.

Hibah Wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan semasa

hisupnya menyetakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta

peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah pewaris meninggal

dunia.110

Hibah Wasiat merupakan pemberian barang atau barang-barang tertentu oleh

Pewaris (orang yang memiliki harta) kepada orang tertentu yang telah disebutkan atau

ditetapkan oleh Pewaris dalam Surat wasiat yang dibuatnya. Sedangkan dalam Pasal

957 KUHPerdata menyatakan, hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang

khusus, dengan nama si yang mewariskan (Pewaris) kepada seseorang atau lebih,

(36)

memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, misalnya segala

barang-barangnya yang bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil

atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.

Hibah wasiat berbeda dengan hibah biasa. Hibah biasa dilaksanakan ketika

pemberi hibah masih hidup, sedangkan hibah wasiat dilaksanakan ketika pemberi

hibah telah meninggal. Hibah wasiat harus memenuhi beberapa persyaratan agar

pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hukum waris dan tidak merugikan para

ahli waris yang tidak memperoleh warisan melalui hibah. Setiap pewaris memiliki

wewenang untuk mengangkat seorang atau lebih pelaksana wasiatnya, baik dengan

surat wasiat maupun dengan akta di bawah tangan, ataupun dengan akta notaris

khusus. Pelaksana wasiat haruslah seseorang yang cakap dalam hukum. Seseorang

yang tidak dapat diangkat sebagai pelaksana wasiat adalah :

1. Orang di bawah umur, walaupun telah memperoleh pendewasaan;

2. Orang yang berada di bawah pengampuan; dan

3. Mereka yang tidak berwenang membuat perikatan

Hibah wasiat atau legaat adalah suatu penetapan khusus, di mana pewaris

memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua

berang-barang dan macam tertentu, misalnya barang bergerak atau

barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barang-barangnya, sesuai dengan

Pasal 957 KUHPerdata.

Pewaris dapat memberikan penguasaan atas semua barang dari harta

(37)

hal pertama, penguasaan itu meliputi baik barang-barang tetap maupun barang-barang

bergerak. Penguasaan itu menurut hukum tidak akan berlangsung lebih lama dari

pada setahun, terhitung dari hari ketika para pelaksana dapat menguasai

barang-barang itu. Bila semua ahli waris sepakat, mereka dapat menghentikan penguasaan

itu, asalkan mereka memungkinkan para pelaksana untuk membayar atau

menyerahkan hibah-hibah wasiat yang murni dan tak bersyarat, atau menunjukkan

bahwa penyerahan hibah-hibah itu telah dilaksanakan. Hibah wasiat sendiri dalam

hukum Islam hampir sama dengan shadaqah, yang mana merupakan pemberian tak

Referensi

Dokumen terkait

dengan media audio visual dalam meningkatkan motivasi dan

Media saat ini telah berkembang tidak hanya sekadar mempresentasikan pengetahuan, gagasan, dan pandangan yang kemudian membentuk struktur secara mantap seperti halnya pada

Hubungan Komunikasi Interpersonal Dan Strategi Coping Dengan Stres Pada Mahasiswa Psikologi Yang Sedang Menyusun Skrips: Jurnal Psikoborneo... Tim Pakar: Tingkat Stres Pengungsi

Apabila A1 mendapat tegangan pada logika HIGH yang menandakan pintu dalam keadaan terbuka selama 1 menit, maka buzzer akan menyala disertai RFID Reader akan berhenti membaca atau

Allah berfirman, ‖Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.‖ Dalam ayat lain Allah

Di dalam skripsi ini disajikan pokok-pokok bahasan berdasarkan pengamatan di lapangan meliputi pengaruh variable laju umpan, ukuran umpan, laju air terhadap hasil penggerusan

Pengembangan masyarakat pesisir harus didasarkan pada pengelolaan wilayah pesisir, daerah aliran sungai dan laut yang komperehensif, sehingga menuntut (1) perhatian yang lebih

atas kegiatan yang dilakukan guru dan siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Lembar observasi