Infeksi Bakteri Penyebab Osteomyelitis
Jordy Gabriel Tjahja102012069 F9
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6, Duri Kepa, Jakarta Barat 11510 Telp : (021) 5694-2061 email: jordy.gabriel@hotmail.com
Abstrak
Kali ini penulis dihadapkan dengan sebuah skenario tentang seorang laki-laki berusia 20 tahun yang datang ke rumah sakit karena luka di kaki kanan yang tidak sembuh-sembuh sejak 5 bulan lalu. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengakibatkan patah dan luka pada kaki kanannya. Pasien telah menjalani 2 kali operasi dan selama ini hanya control di mantra untuk mengganti perban, namun luka di kaki kanannya tidak sembuh sampai saat ini. Luka tersebut mengeluarkan darah dan nanah. Pasien juga disertai dengan keluhan demam.
abstract
This time the author was faced with a scenario of a man aged 20 years who came to the hospital because of a right foot injury does not heal since 5 months ago. Previously patients had a traffic accident and resulting fractures and injuries to his right leg. The patient had undergone two surgeries and had only control in a spell to change a bandage, but the wound in his right leg did not heal until recently. The wound bleeds and pus. Patients also accompanied with fever.
Pendahuluan
Dewasa ini, begiu banyak ditemukan penyakit dan kelainan pada susunan tulang dan otot, tidak memandang usia, penyakit ini menyerang balita bahkan sampai lansia. Penyakit atau kelainan yang menyerang susunan tulang dan otot disebut sebagai penyakit/kelainan musculoskeletal. Pada tulisan kali ini, penulis akan mencoba membahas sebuah penyakit musculoskeletal yang ditemukan pada manusia,
Rumusa n masalah Rumusa n masalah anamnesi s anamnesi s pemeriksa an fisik pemeriksa an fisik pemeriksaan penunjang pemeriksaan penunjang WD/DD WD/DD penatalaksanaa n penatalaksanaa n prognosis prognosis komplikasi komplikasi epidemiologi epidemiologi etiologi etiologi gambaran klinis gambaran klinis
tentunya sesuai dengan scenario yang sudah dituliskan pada abstraksi diatas. Penulis berharap, kiranya tulisan ini dapat menjadi bahan pembelajaran lebih lanjut tentang penyakit/kelainan msukuloskeletal.
Isi dan Pembahasan
Berdasarkan skenario tersebut, setelah menganalisis inti permasalahannya, penulis menggambarkan semua yang akan dibahas melalui sebuah peta konsep seperti di bawah ini :
Dalam peta konsep yang digambarkan penulis diatas, dapat dilihat bahwa terdapat 10 tahapan yang dapat menjabarkan rumusan masalah yang ada secara detil, 10 tahapan tersebut ialah; anamnesis,pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis (working diagnosis dan Differential Diagnosis), penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, epidemiologi, etiologi, dan gambaran klinis.
Anamnesis
Anamnesis merupakan metode yang digunakan oleh seorang dokter untuk menanyakan keluhan pasien. Terdapat 2 bentuk anamnesis; auto-anamnesis dan allo-anamnesis. Auto-anamnesis ialah anamnesis yang dilakukan oleh seorang dokter langsung kepada penderita/pasien dengan syarat kondisi pasien sadar, sedangkan allo-anamnesis ialah allo-anamnesis yang dilakukan oleh seorang dokter melalui orang terdekat atau kerabat penderita/pasien, biasanya allo-anamnesis dilakukan apabila kondisi asien tidak sadarkan diri atau pada pasien psikiatri/kejiwaan.
Anamnesis sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan pemahaman mengenai kondisi pasien. Dalam melakukan anamnesis kepada pasien, terdapat sejumlah data yang perlu ditanyakan kepada pasien, seperti halnya:1
Identitas diri pasien (Nama, Tempat/tanggal lahir, Usia, Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Status perkawinan, Pekerjaan, dan suku bangsa)
Keluhan utama (disertai dengan lama waktu pasien mulai merasakan keluhan tersebut) dan Keluhan tambahan/penyerta
Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat Penyakit Dahulu yang pernah diderita ataupun trauma/kecelakaan
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Lingkungan Tempat Tinggal dan Tempat Kerja
Dan khusus bagi pasien wanita, perlu ditanyakan riwayat persalinan, riwayat menstruasi, dan riwayat keluarga berencana
Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Setelah melakukan anamnesis kepada pasien baik secara auto-anamnesis maupun allo-anamnesis, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan. Pemeriksaan pasien dibagi menjadi 2 jenis, yaitu; pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya kelainan faali pada pasien. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan 4 tahapan; inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Data-data yang diperlukan dalam pemer iksaan fisik antara lain seperti; keadaan umum,tingkat kesadaran pasien, tanda ruam pada kulit, kelainan bunyi fisiologis organ, nyeri tekan, dan tanda vital (seperti : tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh). Dan pada pemeriksaan musculoskeletal dapat ditambahkan dengan “Look-Feel-Move”. Look berarti melihat keadaan bagian musculoskeletal pasien yang dikeluhkan, ada/tidaknya pus, edema, jaringan granulasi, Feel berarti melakukan palpasi, memeriksan ada/tidaknya neri tekan dan suhu bagian musculoskeletal, dan Move berarti memeriksa kemampuan motoric pasien, apakah bagian musculoskeletal yang dikeluhkan dapat bergerak, atau tidak. Pemeriksaan fisik berguna dalam mengambil diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien.1
Pemeriksaan penunjang dapat membantu dokter dalam mendiagnosis, namun bukan menjadi acuan/patokan dalam mendiagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan penunjang ialah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil laboratorium, radiologi, dan lainnya. Begitu banyak hal yang dapat di periksa dalam pemeriksaan
penunjang, seperti x-ray, MRI, CT-Scan, dll. Pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan penyakit lain, sehingga membantu dokter merujuk kepada satu penyakit pasti.
Diagnosis
Setelah melakukan pemeriksaan fisik secara seksama dan didukung oleh pemeriksaan penunjang, dokter harus mendiagnosis penyakit apa yang diderita oleh pasien, sehingga pasien mendapatkan terapi pengobatan yang tepat. Diagnosis di bagi menjadi 2, yaitu; WD atau Working Diagnosis, dan DD atau Differential Diagnosis.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan setelah dokter melakukan diagnosis terhadap pasien. Penatalaksanaan dibagi menjadi 2 macam, yang pertama ialah penata laksanaan secara Medika Mentosa, yang artinya ialah penatalaksanaan atau prosedur yang dilakukan oleh dokter dalam menyembuhkan pasien melalui pemberian obat. Dan yang kedua ialah penatalaksanaan secara Non-Medika Mentosa, berarti prosedur yang dilakukan dokter dalam menyembuhkan pasiennya bukan dengan cara memberikan obat, melainkan yang lain, seperti; memberikan edukasi, menyarankan pasien untuk melakukan istarahat penuh/bedrest, dan sebagainya.1
Prognosis
Prognosis merupakan perkiraan dokter terhadap kelangsungan/nasib pasien setelah dokter melakukan penatalaksanaan.1
Komplikasi
Komplikasi merupakan sebuah efek samping berupa penyakit lain yang dapat timbul akibat dari sebuah penyakit yang diderita oleh pasien, tidak hanya oleh karena penyakit yang diderita, namun bahkan oleh karena penatalaksanaan yang didapat oleh pasien.1
Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari proses penyebaran infeksi penyakit yang sama seperti diderita oleh pasien.1
Etiologi
Etiologi adalah ilmu yang mempelajari siklus dan cara hidup penyebab infeksi penyakit yang diderita pasien.1
Gambaran Klinis
Gambaran klinis ialah gejala-gejala yang timbul akibat infeksi suatu penyakit.1
PEMBAHASAN SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 20 tahun yang datang ke rumah sakit karena luka di kaki kanan yang tidak sembuh-sembuh sejak 5 bulan lalu. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengakibatkan patah dan luka pada kaki kanannya. Pasien telah menjalani 2 kali operasi dan selama ini hanya control di mantra untuk mengganti perban, namun luka di kaki kanannya tidak sembuh sampai saat ini. Luka tersebut mengeluarkan darah dan nanah. Pasien juga disertai dengan keluhan demam.
anamnesis
Pada scenario kali ini, anamnesis yang dilakukan pada pasien tersebut berupa alloanamnesis. Melalui alloanamnesis, didapat bahwa, pasien tersebut memiliki sebuah luka yang belum sembuh sejak 5 bulan yang lalu pada kaki kanannya. Luka tersebut akbat kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh pasien, tidak hanya luka, pasien juga mendapati patah tulang. Pasien tersebut menjalani 2 kali operasi dan control rutin ke mantra untuk mengganti perban. Pasien juga memiliki keluhan demam.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kesadaran pasien compos mentis yang berarti, pasien sadar penuh dan pasien terlihat sakit sedang. Pada pemeriksaan suhu tubuh, suhu tubuh pasien berada pada 37,9 derajat celcius yang menunjukkan bahwa pasien menderita demam, karena angka suhu tubuh normal ialah 36-37 derajat celcius.2 Pada pemeriksaan tekanan darah, tekanan darah pasien menunjukkan angka normal 120/80
mmHg. Begitu juga dengan pemeriksaan Respiratory Rate/RR pasien menunjukkan angka normal 20 kali per menit. Sedangkan pada pemeriksaan denyut nadi, terlihat ada sedikit peningkatan, pasien memiliki jumlah denyut nadi 102 kali per menit, dengan angka normal 60-100 kali per menit.2 Pada pemeriksaan fisik lanjutan pada cruris dextra, terlihat adanya edema, pus, darah dan jaringan granulasi dengan capillary time reffil kurang dari 2 detik. Terdapat nyeri tekan, dan suhu raba lebih hangat dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Pergerakan terbatas karena nyeri dan akral hangat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang disarankan pada kasus scenario diatas ialah pemeriksaan foto X-ray dan MRI pada cruris dexra.
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien menunjukkan tanda-tanda infeksi pada luka yang disebabkan oleh bakteri. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya nanah/pus pada luka pasien. Ada beberapa bakteri yang mungkin menginfeksi pasien dan menyebabkan osteomyelitis pada pasien, bakteri tersebut ialah; Staphylococcus aureus, Methiciliin-resistant Staphylococcus aureus, streptococci, enterococci, enterobacteriaceae (E.coli, Klebsiella), dan Pseudomonas aeruginosa.3 dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan, penulis menyimpulkan working diagnosis pasien tersebut ialah osteomyelitis, dengan differential diagnosis graucher’s syndrome, demam rematik, dan Ewing sarcoma.3
Osteomyelitis
Osteomyelitis adalah sebuah infeksi tulang dan medulla tulang, baik karena infeksi piogeni atau non-piogenik. Biasanya infeksi bakteri yang menyebabkan osteomyelitis ini terjadi bersamaan dengan fraktura terbuka. Ada beberapa bakteri yang dapat menginfeksi dan menyebabkan osteomyelitis, yang paling sering ditemukan ialah infeksi oleh Staphylococcus aureus. Infeksi lainnya disebabkan oleh Streptococci, Enterobacteriaceae, dan Pseudomonas aeruginosa. Tidak hanya itu saja, ada pula beberapa organisme yang memang jarang ditemukan, namun dapat menginfeksi dan menyebabkan osteomyelitis; Bartonella henselae, Brucella sp., Fungi, Mycobacterium tuberculosis, dan virus.4 osteomyelitis tidak memandang ras
dan jenis kelamin, namun orang-orang yang memiliki faktor dibawah ini dapat lebih rentan terhadap osteomyelitis;5
Diabetes mellitus
Pasien hemodialysis
Sickle cell disease
Narkotisme dan alkoholisme
Pengguna steroid jangka panjang
Secara pathogenesis, osteomyelitis dibagi menjadi 2, osteomyelitis primer dan sekunder. Osteomyelitis primer terdiri dari osteomyelitis hematogenous dan perkontinuitatum akut, osteomyelitis sub akut, dan osteomyelitis kronis.
Osteomyelitis primer
Osteomyelitisi hematogenous akut : Penyebaran osteomielitis dapat terjadi
melalui dua cara yaitu:5 penyebaran umum
melalui sirkulasi darah berupa bakterimia dan septikemia
melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi mltifokal pada daerah- daerah lain
2. penyebaran lokal
subperiosteal abses, akibat penerobosan abses melalui periost
selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit
penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artritis septik
penyebaran ke medula tulang sekitarnya sehingga sistem sirkulasi dalam tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang lokal dengan terbentuknya tulang mati yang disebut sekuestrum.
Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu: 5
Teori vaskuler (trueta)
Pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok dan membentuk sinus-sinus sehingga menyebabkan aliran darah menjadi lambat. Aliran darah yang lambat pasda daerah ini memudahkan bakteri berkembang biak.
Teori fagositosis (rang)
Daerah metafisis merupakan daerah pembentukan sistem retikuloendotelial. Bila terjadi infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur di tempat ini. Meskipun demikian, di daerah ini juga terdapat sel-sel fagosit
imatur yang tidak dapat memfagosit bakteri sehingga beberapa bakteri tidak difagosit dan berkembang biak di daerah ini.
Teori trauma
Bila trauma artifisial dilakukan pada binatang percobaan, maka akan terjadi hematoma pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntikan bakteri secara intravena, akan terjadi infeksi pada daerah hematoma tersebut.
Patologi yang terjadi pada osteomielitis hematogen akut tergantung pada umur, daya tahan penderita, lokasi infeksi, serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus tempat lain dari tubuh pada fase bakterimia dan dapat menimbulkan septikemia. Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam juxta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan udem di daerah metafisis disertai pembentukan pus di tulang panjang. Terbentuknya pus dalam tulang di mana jaringan ulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dlam tulang bertambah, peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh darah tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang disebutkan di atas, pembentukan tulang baru yang ekstendsif terjadi pada bagian dalam periostem sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involukrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Proses ini terlihat jelas pada akhir minggu kedua. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus atau (discharge) dari involukrum keluar melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. 5
Osteomyelitis perkontinuitatum akut disebabkan kontak langsung antara
jaringan tulang dengan bakteri, biasa terjadi karena trauma terbuka dan tindakan pembedahan. Manisfestasinya terlokalisasi dan lebih jelas dari pada hematogenous osteomyelitis.6
Osteomyelitis sering menyertai penyakit lain seperti diabetes melitus, anemia sel sabit, AIDS, penggunaan obat-obatan intra vena, alkoholisme, penggunaan steroid yang berkepanjangan, imunosupresan dan penyakit sendi yang kronik. Pemakaian prostetik adalah salah satu faktor resiko, begitu juga dengan pembedahan ortopedi dan fraktur terbuka.6
Osteomyelitis Subakut bentuk lain dari osteomyelitis, dan abses Brodie
adalah salah satu tipe yang paling umum dari osteomyelitis subakut. Abses ini biasanya ditemukan dalam spongiosa tulang dekat ujung tulang. Bentuk abses ini biasanya bulat atau lonjong dengan pinggiran skleroti, kadang-kadang terlihat sekuester. Abses tetap terlokalisasi dan kavitas dapat secara bertahap terisi jaringan granulasi. Abses Brodie juga dapat ditemukan pada osteomielitis kronik. 7,8
Osteomyelitis subakut terjadi lebih banyak pada tulang-tulang dibandingkan dengan tipe akut, dan itu terjadi pada bermacam-macam daerah diantara tulang-tulang yang terinfeksi. Ekstremitas bawah terinfeksi lebih banyak dibandingkan ekstremitas atas. Tibia terinfeksi lebih sering dibandingkan femur.5,7
Osteomyelitis subakut mungkin hanya terjadi pada epifisis, yang merupakan kebalikan dari yang dipercaya bahwa infeksi tulang pertama tidak terjadi di epifisis. Diafisis kadang-kadang terinfeksi, meskipun lebih sering pada dewasa dibandingkan pada anak-anak; daerah yang paling sering terinfeksi adalah metafisis. Daerah lain yang dilaporkan sebagai osteomielitis subakut adalah metafisis sesuai lokasi, seperti di pelvis, tulang belakang, calcaneus, clavicula, dan talus. Osteomyelitis subakut yang terjadi pada tulang tarsal biasanya terjadi pada daerah subkondral atau batas apofisis dari calcaneus. Lesi subakut dari tulang belakang terjadi lebih sering pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Pada osteomyelitis subakut yang terjadi pada tulang panjang pada orang dewasa, diafisis sering terkena sama seperti metafisis, sedangkan lutut jarang terkena.7,8
Osteomyelitis Kronis adalah Osteomyelitis akut yang tidak diterapi secara
adekuat. Organisme yang biasa berperan adalah Staphylococcus aureus (75%), Escherichia coli, Streptococcus pyogenes, Proteus, dan Pseudomonas. Kebanyakan penyebab dari osteomielitis polimikroba. Kadang-kadang infeksi ini tidak terdeteksi selama bertahun-tahun dan tidak menimbulkan gejala selama beberapa bulan atau beberapa tahun. 5,9
Destruksi tulang tidak hanya pada fokus infeksi tetapi meluas. Kavitas berisi potongan tulang mati (sekuestra) yang dikelilingi jaringan vaskular, dan di luar jaringan vaskular tersebut ada daerah sklerosis, hasil dari reaksi kronis pembentukan tulang baru.
Sekuester berperan sebagai substrat bagi adesi bakteri, lama-kelamaan terbentuk sinus. Destruksi tulang dan dengan meningkatnya sklerosis berakibat
terjadinya fraktur patologis. Gambaran histologis berupa sebukan sel radang kronis di sekitar daerah aselular tulang atau sekuestra.9
Osteomyelitis sekunder
osteomielitis sekunder dapat disebabkan oleh perluasan infeksi secara langsung dari jaringan lunak di dekatnya atau dari arthritis septic pada sendi yang berdekatan.
Infeksi di jaringan lunak kaki atau tangan, terutama di jari kaki atau jari tangan dapat menjalar ke dalam tulang dan menyebabkan osteomielitis. Panarisium subkutan menyebabkan osteomielitis falang terminal. Yang sering ditemukan adalah osteomielitis tulang tangan atau kaki karena neuropati perifer, misalnya pada lepra atau diabetes mellitus.9
Epidemiologi
Osteomyelitis sering ditemukan pada usia dekade I-II, tetapi dapat pula ditemukan pada bayi dan neonatus. Insiden di amerika 1 dari 5000 anak, dan 1 dari 1000 pada neonatal. Pada keseluruhan insiden terbanyak pada negara berkembang, khususnya di negara kita Indonesia. Osteomyelitis pada anak-anak sering bersifat akut dan menyebar secara hematogen, sedangkan osteomyelitis pada orang dewasa merupakan infeksi subakut atau kronik yang berkembang secara sekunder dari fraktur terbuka dan meliputi jaringan lunak. 5,6
Kejadian pada anak laki-laki lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 4:1. Lokasi yang tersering ialah tulang-tulang panjang, misalnya femur, tibia, humerus, radius, ulna dan fibula. Namun tibia menjadi lokasi tersering untuk osteomyelitis post trauma karena pada tibia hanya terdapat sedikit pembuluh darah. 5,6
Faktor-faktor pasien seperti perubahan pertahanan netrofil, imunitas humoral, dan imunitas selular dapat meningkatkan resiko osteomyelitis. 6
Etiologi
Organisme spesifik yang diisolasi dari osteomielitis seringkali dihubungkan dengan usia pasien atau keadaan-keadaan tertentu yang menyertainya (trauma atau riwayat operasi). Staphylococcus aureus terlibat pada kebanyakan pasien dengan osteomielitis hematogenous akut dan bertangguang jawab atas 90% kasus pada anak-anak yang sehat. Penyebab osteomielitis pada anak-anak-anak-anak ialah Staphylococcus aureus
(89-90%), Streptococcus (4-7%), Haemophillus influenza (2-4%), Salmonella typhi dan Escherichia coli (1-2%). Bakteri penyebab osteomielitis kronik terutama Staphylococcus aureus (75%), atau Escherichia coli, Proteus atau Pseudomonas aeruginosa. Staphylococcus epidermidis merupakan penyebab utama osteomielitis kronik pada operasi-operasi ortopedi yang menggunakan implan. 5,6,9
Selain disebabkan bakteri piogenik, osteomielitis juga dapat disebabkan oleh infeksi bakteri granulomatosa seperti tuberkulosis dan siphilis melalui proses spesifik, oleh jamur seperti aktinomikosis yang pada awalnya seringkali bersifat kronik. Selain itu juga dapat disebabkan oleh virus. 4,7,9
Organism Comments
Staphylococcus aureus Organism most often isolated in all types of osteomyelitis Coagulase-negative staphylococci or Propionibacterium species Foreign-bodyassociated infection Enterobacteriaceae species or Pseudomonas aeruginosa
Common in nosocomial infections
Streptococci or anaerobic bacteria Associated with bites, fist injuries caused by contact with another person's mouth, diabetic foot lesions, decubitus ulcers Salmonella species or Streptococcus
pneumoniae
Sickle cell disease
Bartonella henselae Human immunodeficiency virus infection Pasteurella multocida or Eikenella
corrodens
Human or animal bites Aspergillus species, Mycobacterium
avium-intracellulare or Candida albicans
Immunocompromised patients
Mycobacterium tuberculosis Populations in which tuberculosis is prevalent
Brucella species, Coxiella burnetii (cause of chronic Q fever) or other fungi found in specific geographic areas
Population in which these pathogens are endemic
Organisms Commonly Isolated in Osteomyelitis Based on Patient Age Infants(<1year) GroupB streptococci Staphylococcus aureus Escherichia coli Children(1to16years) S. aureus Streptococcus pyogenes Haemophilus influenzae Adults(>16years) Staphylococcus epidermidis S. aureus Pseudomonas aeruginosa Serratia marcescens E. coli
Adapted with permission from Dirschl DR, Almekinders LC. Osteomyelitis. Common causes and treatment recommendations. Drugs 1993;45:29-43.
Gambaran Klinis
Organisme spesifik yang diisolasi dari osteomielitis seringkali dihubungkan dengan usia pasien atau keadaan-keadaan tertentu yang menyertainya (trauma atau riwayat operasi). Staphylococcus aureus terlibat pada kebanyakan pasien dengan osteomielitis hematogenous akut dan bertangguang jawab atas 90% kasus pada anak-anak yang sehat. Penyebab osteomielitis pada anak-anak-anak-anak ialah Staphylococcus aureus (89-90%), Streptococcus (4-7%), Haemophillus influenza (2-4%), Salmonella typhi dan Escherichia coli (1-2%). Bakteri penyebab osteomielitis kronik terutama Staphylococcus aureus (75%), atau Escherichia coli, Proteus atau Pseudomonas aeruginosa. Staphylococcus epidermidis merupakan penyebab utama osteomielitis kronik pada operasi-operasi ortopedi yang menggunakan implan. 6
Selain disebabkan bakteri piogenik, osteomielitis juga dapat disebabkan oleh infeksi bakteri granulomatosa seperti tuberkulosis dan siphilis melalui proses spesifik, oleh jamur seperti aktinomikosis yang pada awalnya seringkali bersifat kronik. Selain itu juga dapat disebabkan oleh virus. 6,9
Staphylococcus aureus Organism most often isolated in all types of osteomyelitis
Coagulase-negative staphylococci or
Propionibacterium species Foreign-bodyassociated infection Enterobacteriaceae species or
Pseudomonas aeruginosa
Common in nosocomial infections
Streptococci or anaerobic bacteria Associated with bites, fist injuries caused by contact with another person's mouth, diabetic foot lesions, decubitus ulcers
Salmonella species or Streptococcus pneumoniae
Sickle cell disease
Bartonella henselae Human immunodeficiency virus infection Pasteurella multocida or Eikenella
corrodens
Human or animal bites Aspergillus species, Mycobacterium
avium-intracellulare or Candida albicans Immunocompromised patients
Mycobacterium tuberculosis Populations in which tuberculosis is prevalent Brucella species, Coxiella burnetii (cause
of chronic Q fever) or other fungi found in specific geographic areas
Population in which these pathogens are endemic
Organisms Commonly Isolated in Osteomyelitis Based on Patient Age Infants (<1 year) Group B streptococci Staphylococcus aureus Escherichia coli Children (1 to 16 years) S. aureus Streptococcus pyogenes Haemophilus influenzae Adults (>16 years) Staphylococcus epidermidis S. aureus Pseudomonas aeruginosa Serratia marcescens E. coli
Adapted with permission from Dirschl DR, Almekinders LC. Osteomyelitis. Common causes and treatment recommendations. Drugs 1993;45:29-43.
Diagnosis dari osteomielitis pada awalnya didasarkan pada penemuan klinik, melalui data dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik. Pada osteomelitis akut, berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan;4
Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah) o Leukosit meningkat sampai dengan 30000 o LED meningkat
o Pemeriksaan Titer antibody-anti Staphylococcus o biopsy
Pemeriksaan radiologis
o USG : memperlihatkan adanya efusi pada sendi
o MRI : menunjukkan gambaran inflamasi awal dari sumsum
tulang, dengan inflamasi periosteum dan jaringan lunak, sebagai bentuk infeksi yang progresif.
Apabila terapi yang tepat tidak dilakukan, osteomyelitis akut akan berangsur-angsur menjadi osteomyelitis kronis. Beriku adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada osteomyelitis kronis;4
Pemeriksaan laboratorium
o Peningkatan LED o Leukositosis
o Peningkatan titer antibody-anti Staphylococcus
Pemeriksaan radiologi
o Foto rontgen/ X-ray : dapat ditemukan adanya tanda-tanda porosis dan sklerosis tulang, penebalan periosteum, elevasi periosteum dan terdapat sekuestrum
o Radioisotope scanning : dapat membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis kronis dengan menggunakan 99mTCHDP
o CT-Scan dan MRI : berguna untuk melihat sejauh mana kerusakan tulang yang dialami pasien
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah tindakan bedah berupa debridement, dan pemberian antibiotik. Berikut merupakan antibiotik pilihan untuk osteomyelitis, tergantung pada bakteri yang menginfeksi;
organisme antibiotik dosis
cephalosporin Cefazolin: 2g IV q8h Ceftriaxone: 1-2g IV q24h Klindamisin* 600-900 mg IV q8h MRSA vancomycin 15mg/kgBB IV q21h Daptomycin* 4-6mg/kgBB IV q24h Linezold* 600mg IV or PO q12h streptococcus Penisilin 5mU IV q6h or 20mU/d dengan
infus berlanjut Enterococcus Penisilin + gentamicin Penisilin : 5mU IV q6h gentamisin : 5mg/kgBB/hari IV vankomisin 15mg/kgBB IV q21h enterobacteriaceae Ceftriaxone / cephalosporin Cefazolin: 2g IV q8h Ceftriaxone: 1-2g IV q24h ciprofloxacin 400mg IV q8-12h Pseudomonas aeruginosa ciprofloxacin 400mg IV q8-12h Prognosis
Angka mortalitas pada osteomyelitis yang diobati adalah kira-kira 1 %, tetapi morbiditas tetap tinggi. Bila terapi efektif dimulai dalam waktu 48 jam setelah timbulnya gejala, kesembuhan yang cepat dapat diharapkan pada kira-kira 2/3 kasus. Kronisitas dan kambuhnya infeksi mungkin terjadi bila terapinya terlambat. 6
Empat faktor penting yang menentukan keefektifan terapi antimikroba dalam terapi osteomyelitis, sehingga akan mempengaruhi prognosis adalah :6
1. Interval waktu diantara onset penyakit dan permulaan terapi.
Terapi yang dimulai dalam 3 hari pertama adalah yang paling ideal karena pada tahap ini area lokal dari osteomyelitis masih belum menjadi iskemi. Dengan pengobatan dini, organisme penyebab akan lebih sensitif terhadap obat yang dipilih dan dapat mengontrol infeksi sehingga osteolisis, nekrosis tulang dan pembentukan tulang baru akan dihambat. Dengan keadaan seperti ini maka perubahan gambaran radiologik tidak akan muncul kemudian pengobatan dalam tiga sampai tujuh hari akan mengurangi infeksi baik sistemik maupun lokal, namun terlalu lambat untuk mencegah kerusakan tulang. Pengobatan yang dimulai setelah satu minggu infeksi hanya dapat mengontrol septikemia dan menyelamatkan jiwa, tetapi memiliki efek yang kecil dalam mencegah kerusakan tulang lebih lanjut.
Hal ini bergantung pada jenis kuman penyebab yang bersangkutan apakah kuman tersebut resisten atau sensitif terhadap antibiotik yang digunakan.
3. Dosis dari obat antimikroba
Faktor lokal dari vaskularisasi tulang yang terganggu memerlukan dosis antibiotik yang lebih besar untuk osteomielitis daripada infeksi jaringan lunak. 4. Durasi terapi antimikroba
Penghentian terapi yang terlalu awal terutama bila kurang dari empat minggu akan mengakibatkan terjadinya infeksi kronik dan rekuren dari osteomyelitis.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada osteomielitis hematogen akut adalah: 5,6
Septikemia
Dengan makin tersedianya obat-obatan antibiotik yang memadai, kematian akibat septikemia pada saat ini jarang ditemukan.
Infeksi yang bersifat metastatik
I nfeksi dapat bermetastatik ke tulang/ sendi lainnya, otak, dan paru-paru, dapat bersifat multifokal dan biasanya terjadi pada penderita dengan status gizi yang jelek
Artritis Supuratif
Artritis Supuratif dapat terjadai pada bayi muda karena lempeng epifisis bayi (yang bertindak sebagai barier) belum berfungsi dengan baik. Komplikasi terutama terjadi pada osteomielitis hematogen akut di daerah metafisis yang bersifat intra-kapsuler (misalnya pada sendi panggul) atau melalui infeksi metastatik
Gangguan Pertumbuhan
Osteomyelitis hematogen akut pada bayi dapat menyebabkan kerusakan lempeng epifsisis yang menyebabkan gangguan pertumbuhan, sehingga tulang yang terkena akan menjadi lebih pendek.
Pada anak yang lebih besar akan terjadi hiperemi pada daerah metafisis yang merupakan stimulasi bagi tulang untuk bertumbuh. Pada keadaan ini tulang bertumbuh lebih cepat dan menyebabkan terjadinya pemanjangan tulang
Apabila diagnosis dan terapi yang tepat tidak dilakukan, maka osteomielitis akut akan berlanjut menjadi osteomielitis kronik
Fraktur Patologis
Ankilosis
Penutup
Sekian pembahasan penulis mengenai infeksi bakteri yang dapat menyebabkan osteomyelitis. Dan hipotesis penulis diterima. semoga apa yang telah dituangkan oleh penulis dapat menjadi acuan dalam menghadapi infeksi bakteri yang dapat menyebabkan osteomyelitis. penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah turut membantu dalam pembuatan tulisan ini, Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, kritik dan saran dapat dikirimkan ke alamat korespondensi di atas.
Daftar Pustaka
1. Hardjodisastro D. Menuju seni ilmu kedokteran: bagaimana dokter berpikir, bekerja, dan menampilkan diri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006. hal 218-9, 229-30
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta: EGC; 2007.h.510-7.
3. Braunwald E. Harrison’s Principles of Internal Medicine. United States of America: The McGraw-Hill Companies,Inc;2012. Hal 1071-6
4.
http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/07/osteomielitis-bab-i-pendahuluan-sistem.html
5. Rasjad C., Infeksi dan Inflamasi. Dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Penerbit Yarsif Watampone. Jakarta. 2007. Hal 132- 41.
6. King R., Johnson D. Osteomyelitis. www.emedicine.com. Last updated: Nov 4, 2008
7. Khoshhal K., Letts R. M. Subacute Osteomyelitis (Brodie Abscess). www.emedicine.com. Last updated: Jul 18, 2008.
8. Rasad S., Kartoleksono S, Ekayuda I. Infeksi Tulang dan Sendi. Radiologi Diagnostik. Bagian Radilogi FKUI. Jakarta. 1995. Hal: 62-72.
9. Jong W., Sjamsuhidayat R. 2005. Infeksi Muskuloskeletal. In Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 903 – 910