KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA
SERASAH DAUN Avicennia marina YANG
MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI
TINGKAT SALINITAS
FERY KURNIAWAN
(Fakultas Tarbiyah IAIN STS Jambi)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 22 jenis fungi yang berasal dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Jumlah jenis fungi tertinggi dijumpai pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt, yaitu 17 jenis fungi dan jumlah jenis fungi terendah terdapat pada kontrol, yaitu 6 jenis. Populasi fungi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebanyak 17,16 x 102 CFU/ml. Populasi fungi terendah terdapat pada kontrol yaitu sebanyak 11,65 x 102 CFU/ml. Frekuensi kolonisasi fungi untuk berbagai tingkat salinitas berkisar antara 12,5% sampai 100%. Indeks keanekaragaman jenis fungi tertinggi pada tingkat salinitas 10-20 ppt, yaitu 2,74 dan yang terendah terdapat pada kontrol, yaitu 1,35. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 75 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 18,370%.
Kata kunci : Avicennia marina, Dekomposisi, Salinitas, Fungi,
Mangrove
PENDAHULUAN
Di Indonesia banyak terdapat jenis mangrove Avicennia marina yang merupakan salah satu jenis mangrove yang toleran terhadap kisaran salinitas yang luas bila dibandingkan dengan jenis mangrove yang lain (Mac Nae, 1978). Selain itu A. marina juga dapat menghasilkan serasah dan sebanyak 310 g/m2 tiap bulan (Clarke, 1994).
Adapun proses dekomposisi serasah ini dilakukan oleh mikroorganisme pengurai seperti bakteri dan fungi. Keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina dihubungkan dengan faktor salinitas air. Hal ini didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa
kehidupan mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang bersifat salin.
Proses dekomposisi dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh fungi yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Fungi akan mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati. Proses dekomposisi Oleh fungi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan misalnya air, keasaman, suhu, oksigen, substrat dan inhibitor (Dix and Webster, 1995).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2009 sampai November 2009 yang bertempat di kawasan hutan mangrove Teluk Tapian Nauli Desa Aek Horsik, kecamatan Badiri Tapanuli Tengah (luas 604,2 hektar dan secara geografis terletak pada 1o 27’ - 1o 40’ LU dan 98o 45’ - 98o 55’ BT). Isolasi dan Identifikasi fungi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan analisis karbohidrat dan protein dilakukan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia industri.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan yang terdiri atas dua faktor, yaitu:
Faktor pertama adalah waktu pengambilan serasah (T) yang terdiri atas:
T0 = Hari ke-0 (kontrol) T3 = Hari ke-45 T6 = Hari ke-90 T1 = Hari ke-15 T4 = Hari ke-60 T7 = Hari ke-105 T2 = Hari ke-30 T5 = Hari ke-75 T8 = Hari ke-120 Faktor kedua adalah tingkat salinitas atau plot (S) yang terdiri atas: S1 = Tingkat salinitas 0-10 ppt
S2 = Tingkat salinitas 10-20 ppt S3 = Tingkat salinitas 20-30 ppt S4 = Tingkat salinitas ≥30 ppt
Pengumpulan Serasah Daun A. marina dengan menggunakan penampung serasah yang terbuat dari jaring kasa nilon yang berukuran 2x2 m sebanyak 10 kain nilon yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara kedua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi hal ini dimaksudkan untuk menghindari air saat pasang.. Serasah daun A. Marina yang sudah menguning atau gugur dikumpulkan sekitar 4800 gram (50 g serasah x 9 perlakuan x 3 ulangan x 4 kelompok) dan kontol 150 gram (50 g serasah x 3 ulangan. Serasah daun A. marina yang terkumpul dipisahkan menurut komponennya yaitu daun, bunga, hipokotil, dan ranting.
Penempatan Serasah Daun di Lokasi Penelitian Serasah daun A. marina sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam kantong serasah yang berukuran 40 x 30 cm yang terbuat dari nilon. Kemudian kantong
serasah di tempatkan pada lokasi penelitian pada berbagai tingkat salinitas yang telah diukur dengan hand refraktometer (0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt , dan >30 ppt). Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan di atas dibuat satu plot berukuran 170 cm x 500 cm dengan jumlah plot keseluruhan sebanyak empat plot. Kantong serasah yang berisi serasah daun A marina ditempatkan secara acak pada plot-plot ini.
Penentuan populasi fungi baik yang terdapat pada kontrol (belum mengalami proses dekomposisi) maupun pada perlakuan (mengalami proses dekomposisi) dilakukan dengan metode pengenceran yaitu dengan membuat suatu seri pengenceran (dilution series). Pengenceran serasah daun A. marina dan isolasi fungi dalam cawan petri dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: Sebanyak 10 g serasah daun A. marina yang telah dihancurkan dalam mortar dengan alu secara aseptis kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya disuspensikan air laut yang berasal dari lingkungan serasah pada masing-masing salinitas sampai volume mencapai 100 ml kemudian disterilkan selanjutnya dilakukan penenceran pada tingkat yang optimal untuk isolasi fungi yaitu 10-2, kemudian sebanyak 0,1 ml suspensi hasil pengeceran dituang ke dalam cawan petri yang telah berisi media PDA (Potato Dextrose Agar) dan dibuat ulangan sebanyak 3 kali untuk tiap pengenceran. Suspensi fungi sebanyak 0,1 ml diambil dengan pipet serologi ditanam ditempatkan pada media yang telah memadat dengan hockey Stick suspensi fungi yang ditanam disebar merata pada media (metode cawan sebar) . Suspensi fungi diinkubasi selama 3 sampai 12 hari dan dilakukan Pengamatan terhadap koloni yang muncul. Jumlah koloni per ml dihitung dengan cara mangalikan jumlah koloni terhitung dengan faktor pengenceran. Koloni fungi yang berkembang, selanjutnya dimurnikan dengan membuat sub-media biakan, media agar PDA dalam cawan petri untuk pengamatan makroskopis dan media agar miring PDA dalam tabung reaksi untuk disimpan sebagai cadangan isolat, setelah bekembang media agar miring di simpan dalam lemari pendingin agar sub-biakan tidak cepat mati. Sub-biakan digunakan sebagai bahan untuk identifikasi fungi.
Identifikasi Fungi dari Serasah Daun A. marina dilakukan dengan cara biakan murni fungi diremajakan pada media PDA pada cawan petri dan diinkubasi selama 5-7 hari pada suhu ruang. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna hifa, dan warna massa spora atau konidia. Pengamatan fungi secara mikroskopik dilakukan dengan metode Block square yaitu spora fungi dari hasil biakan murni digoreskan pada seluruh bagian pinggir potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm kemudian diletakkan pada kaca obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Biakan pada kaca obyek ini ditempatkan dalam cawan Petri
yang telah diberi pelembab berupa kapas basah atau dengan kertas saring yang dibasahi. Biakan kaca obyek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai fungi tumbuh cukup berkembang. Fungi yang berkembang diamati ciri mikroskopiknya yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa. Ciri-ciri yang didapatkan ditabulasi, kemudian dicocokan dengan kunci identifikasi fungsi (Rifai, 1973., Samson et al., 1984, Gandjar et al., 1999). Setelah diidentifikasi dicatat jumlah tiap-tiap jenis fungi, populasi, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi fungi yang terdapat pada serasah A. marina. Kegiatan ini dilakukan tiap kali pengambilan serasah dari lapangan selama masa proses dekomposisi yaitu mulai dari hari ke-0 (kontrol) sampai hari ke-120.
Analisis keanekaragaman jenis fungi dilakukan dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Winner (1949) dalam Ludwig dan Reynold (1988): s H’ = ∑ (pi) Ln (pi) i=1 s H’ = - ∑ │( ni /N ) ln ( ni / N ) │ i=1 Keterangan :
H’= Indeks Keanekaragaman Jenis Pi = ni/N
Ni = Nilai kuantitatif suatu jenis
N = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis dalam komunitas S = Jumlah Total Spesies
Laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan persamaan (Olson, 1963) :
Xt / X0 = e – kt Xt = X0. e – kt
1n Xt = 1n X0 – kt dengan:
Xt = Berat serasah setelah waktu pengamatan ke-t X0 = Berat serasah awal
e = Bilangan logaritma natural (2,72) k = Laju dekomposisi serasah t = Waktu pengamatan
Model linear untuk rancangan acak kelompok dapat ditulis dengan rumus:
Yij = µ + τi + β j + ε ij (6) dengan:
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan kelompok ke-j µ = Rataan umum (nilai tengah populasi)
τi = Pengaruh perlakuan ke-i β j = Pengaruh kelompok ke-j
ε ij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil
Hasil isolasi fungi dari serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (kontrol) dan yang telah mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 22 jenis fungi. Dari 22 jenis fungi tersebut terdapat 6 kelompok fungi yaitu kelompok Aspergillus sebanyak 7 jenis, Penicillium sebanyak 9 jenis, Trichoderma sebanyak 3 jenis, Arthrinium, Curvularia dan Mucor masing-masing sebanyak 1 jenis (Tabel 1).
Laju dekomposisi terbesar terjadi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas >30 ppt dengan nilai k sebesar 6,56/tahun dan lama masa serasah terdapat di lingkungan yaitu 0,15 tahun sedangkan laju dekomposisi terendah terjadi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 20-30 ppt dengan nilai k sebesar 4,92/tahun dan lama masa serasah terdapat di lingkungan yaitu 0,20 tahun.
Kehadiran dari berbagai jenis fungi mencerminkan pola suksesi fungi yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina. Kehadiran Aspergillus sp.1 dan Arthrinium phaeospermum pada kontrol dan semua tingkat salinitas diduga merupakan dekomposer awal serasah daun A. marina sedangkan Penicillium, Trichoderma dan Curvularia lunata merupakan jenis-jenis fungi yang muncul pada berbagai tingkat salinitas. Kehadiran fungi pada serasah daun umumnya bersifat saprofit dan berperan sebagai pengurai bahan organik. Fungi tersebut berperan besar dalam menjaga kelangsungan daur unsur hara khususnya daur karbon, nitrogen, dan fosfor (Hobbie et al., 2003).
Jumlah jenis fungi yang terendah pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 20-30 ppt diperkirakan terjadi karena kandungan salinitas yang tinggi sehingga hanya jenis-jenis fungi tertentu yang mampu bertahan hidup pada lingkungan tersebut sedangkan jenis fungi yang tidak toleran terhadap tingkat salinitas tinggi diduga mati dan terseleksi secara alami.
Berdasarkan pola suksesi, jenis fungi yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, dan >30 ppt dapat dilihat bahwa keberadaan jenis fungi pada serasah umumnya bervariasi dengan lama masa dekomposisi tertentu.
Kontiniutas keberadaan berbagai jenis fungi ini diperkirakan juga dapat mempengaruhi kecepatan laju dekomposisi serasah.
Adanya perubahan pola suksesi mikroorganisme selama proses dekomposisi serasah daun A. marina menyebabkan terjadinya pergantian jenis fungi setiap kali pengamatan. Kemunculan jenis fungi umumnya bersifat dinamis yaitu saling bergantian dari waktu ke waktu. Jumlah koloni dan keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas cenderung tinggi pada minggu pertama terutama dalam kisaran antara 30-75 hari setelah masa dekomposisi. Tingginya kelimpahan jenis fungi pada minggu pertama berhubungan dengan tingginya laju dekomposisi serasah. Tingginya laju dekomposisi serasah disebabkan oleh adanya kehadiran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Polunin, 1986).
b. Pembahasan
Penicillium dan Aspergillus merupakan jenis yang paling banyak dijumpai sewaktu isolasi dari serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) maupun yang telah mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Fungi Penicillium dan Aspergillus mendominasi baik dari segi jenis dan jumlah diduga karena kedua kelompok fungi ini merupakan jamur Ascomycotina yang sering hidup di tanah sebagai mikroba saprofit. Menurut Kohlmeyer et al., (1995) bahwa habitat mangrove merupakan habitat bagi kelompok jenis fungi yang disebut “Manglicolous Fungi”. Kelompok organisme ini berperan dalam siklus unsur hara pada habitat mangrove.
Menurut Nakagiri et al., (1996) bahwa dalam ekosistem mangrove terdapat beranekaragam jenis fungi yang meliputi suku Ascomycotina, Basidiomycotina, Deutromycotina dan Mastigomycotina. Di antara bermacam-macam kelompok jenis fungi ini, ada yang mempunyai kemampuan mendekomposisi ranting, akar tunjang (prop root), serasah daun dan bagian-bagian pohon lainnya. Selain itu jenis-jenis fungi tersebut juga berperan dalam kelangsungan ekosistem mangrove.
Menurut Kohlmeyer dan Kohlmeyer (1979) terdapat 43 jenis fungi dengan kelompok fungi yang terbanyak ditempati oleh kelompok Ascomycotina yaitu sebanyak 23 jenis, kelompok Deutromycotina sebanyak 17 jenis, dan 3 jenis fungi dari kelompok Basidiomycotina. Jamur Basidiomycotina merupakan kelompok utama pendegradasi lignoselulosa.
Selama isolasi dari serasah daun A. marina baik pada kontrol maupun pada berbagai tingkat salinitas, Arthrinium phaeospermum, Curvularia lunata, dan Mucor plumbeus merupakan kelompok fungi yang paling sedikit ditemukan jenisnya sewaktu isolasi dari serasah daun A. marina. Hal ini diduga karena ketiga jenis fungi ini umumnya lebih banyak dijumpai pada makanan yang telah rusak. Menurut Pitt et al.,
(1993) bahwa Arthrinium phaeospermum merupakan jenis fungi yang menyebabkan kerusakan pada kacang panjang, gandum, padi, umbi rambat dan jus apel. Curvularia lunata merupakan jenis fungi yang menyebabkan kerusakan pada padi, jagung, gandum, sorghum, kacang-kacangan, tomat, dan lada sedangkan Mucor plumbeus merupakan jenis fungi yang menyebabkan kerusakan pada keju, jus apel, daging, kacang-kacangan dan padi.
Jenis fungi Aspergillus sp.4 merupakan jenis yang hanya muncul pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi. Jenis ini tidak lagi ditemukan pada isolasi fungi dari serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi. Hal ini diduga karena faktor lingkungan dan semua yang terlibat dalam proses dekomposisi tidak mendukung pertumbuhan jenis fungi ini. Dalam hal ini, nutrisi, O2 serta salinitas menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan jenis fungi ini. Sedangkan untuk Aspergillus sp.1, Aspergillus sp.2, Aspergillus sp.3, Arthrinium phaeospermum dan Trichoderma sp.1 merupakan kelima jenis fungi yang masih ditemukan dapat bertahan hidup pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Kelima jenis fungi ini diduga sebagai fungi halofilik. Menurut Mahasneh (2001) bahwa kelompok mikroorganisme yang sanggup bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrem dengan kadar garam tinggi merupakan mikroorganisme halofilik.
Keenam jenis fungi yang berhasil diisolasi pada kontrol, diasumsikan sebagai dekomposer awal yang telah terdapat pada serasah A. marina sebelum ditempatkan pada air payau untuk didekomposisi. Menurut Atlas & Bartha (1981) bahwa organisme awal yang membentuk koloni pada suatu substrat merupakan organisme pioner. Adapun kadar unsur-unsur hara yang terkandung dalam berbagai jenis daun mangrove yang telah diteliti yakni daun Avicennia marina mengandung 47,93% C; 0,35% N; 0,086% F; 0,81% K; 0,30% Ca; dan 0,49% Mg. Unsur-unsur hara ini kemudian dimanfaatkan oleh mikroorganisme pioner yang melekat pada serasah daun A. marina sebagai sumber nutrisi. Jumlah jenis fungi terbesar didapatkan pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt. Hal ini mungkin disebabkan karena kondisi hutan mangrove pada tingkat salinitas ini hampir sama dengan kondisi air tawar (payau) sehingga banyak fungi yang mampu hidup dan berkembang bila dibandingkan dengan kondisi pada tingkat salinitas yang lebih tinggi.
Jumlah jenis ini berkurang pada tingkat salinitas 20-30 ppt yaitu berkurang sebanyak 3 jenis sedangkan pada tingkat salinitas >30 ppt, terjadi kenaikan kembali jumlah jenis fungi yaitu sebanyak 2 jenis. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh aliran sungai yang terdapat di sekitar lokasi penelitian dimana propagul fungi berupa spora,
hifa ataupun konidia tercuci dan terbawa oleh aliran sungai menuju ke laut sehingga sewaktu terjadinya pasang air laut, banyak propagul fungi yang terbawa ke lokasi penelitian dan menempel pada serasah daun A. marina serta terlibat dalam proses dekomposisi serasah pada tingkat salinitas >30 ppt.
Jenis-jenis fungi yang tumbuh sewaktu isolasi dari serasah daun A. marina pada tingkat salinitas 0-10 ppt di laboratorium mungkin berasal dari propagul dorman yang menempel pada daun serasah A. marina tadi. Menurut Dunn and Baker (1983) bahwa viabilitas propagul dari 30 jenis fungi masih terpelihara pada pasir yang terbenam air laut selama 5 minggu. Populasi fungi pada serasah daun A. marina lebih besar pada tingkat salinitas >30 ppt mungkin disebabkan karena pengaruh pasang air laut yang membawa propagul fungi dari dari daratan. Pada saat terbawa oleh pasang air laut, propagul fungi ini berada dalam keadaan dorman sehingga sewaktu dilakukan isolasi dari daun serasah ini di laboratorium, propagul yang semulanya dorman aktif kembali untuk tumbuh dan berkembang karena kondisi yang menguntungkan seperti adanya nutrisi dalam media tempat isolasi.
Menurut Waring and Schlesinger (1985) bahwa propagul fungi akan aktif kembali untuk tumbuh bila terdapat beberapa persyaratan antara lain ketersediaan unsur hara, ketersediaan bahan ekstraktif, suhu, pH, kandungan O2 dan CO2 yang optimum dan air yang cukup. Jumlah jenis fungi terbesar didapatkan pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt yaitu masing-masing sebesar 17 jenis. Tingginya jumlah jenis fungi pada tingkat salinitas ini mungkin disebabkan karena salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt pada kawasan pesisir mangrove mirip dengan kondisi air tawar (perairan payau). Tingginya jumlah jenis fungi pada salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt menunjukkan bahwa setiap mikroorganisme memiliki kisaran toleransi terhadap salinitas. Fungi akan tumbuh dan berkembang dengan memecah jaringan daun hingga dihasilkan asam-asam volatil seperti asam-asam format, asam-asam asetat, asam-asam propionat dan asam butirat.
Pada tingkat salinitas 20-30 ppt didapatkan jumlah jenis fungi yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt dan >30 ppt. Hal ini mungkin disebabkan karena bertambahnya tingkat salinitas menciptakan kondisi yang ektrem bagi fungi sehingga hanya jenis-jenis fungi tertentu saja yang dapat bertahan hidup pada kondisi tersebut.
Menurut Mallin et al., (2000) dan Langenheders (2005) bahwa bertambahnya salinitas akan memberikan efek negatif terhadap kelimpahan dan keanekaragaman jenis fungi. Tingginya tingkat salinitas merupakan faktor pembatas yang mengontrol jumlah jenis fungi dan menyebabkan rendahnya tingkat aktivitas fungi akibat terjadinya shock osmotic atau toksik.
Menurut Austin and Vitousek (2000) bahwa keberadaan salinitas yang tinggi merupakan salah satu karakteristik dari hutan mangrove. Hidup pada lingkungan dengan salinitas yang tinggi mengharuskan mikroorganisme harus mampu beradaptasi dengan dengan lingkungan sekitarnya. Hanya jenis-jenis fungi tertentu saja yang mampu mengembangkan mekanisme fisiologis dan adaptasi morfologi dalam menghadapi kondisi salinitas yang tinggi untuk dapat bertahan hidup. Jenis-jenis fungi yang mampu bertahan hidup pada kadar salinitas tinggi tersebut umumnya tergolong kedalam fungi halofilik.
Adapun populasi fungi lebih besar pada serasah daun A. marina yang berada pada tingkat salinitas >30 ppt mungkin disebabkan karena pengaruh pasang yang membawa propagul fungi terbawa dari daratan menuju ke lokasi penelitian. Propagul yang terbawa berada dalam keadaan dorman namun dapat aktif kembali untuk tumbuh bila terdapat kondisi lingkungan sekitar yang memungkinkan. Kalau propagul ini dibiarkan tetap berada dalam kondisi lingkungan dengan tingkat salinitas >30 ppt, maka diperkirakan jenis-jenis fungi tertentu yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan seperti salinitas yang tinggi ini akan mati.
Populasi fungi terendah didapatkan pada kontrol yaitu pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan dengan jumlah populasi sebesar 11,65 x 102 CFU/ml. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada serasah yang belum ditempatkan di lapangan diperkirakan populasi funginya hanya berasal dari lingkungan sekitar yang berasal dari tanah, terbawa oleh angin, dan burung. Propagul fungi yang terbawa tersebut seperti spora, tidak dapat langsung tumbuh melainkan tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya seperti ketersedian air dan nutrisi selain itu serasah daun A. marina yang baru jatuh dari pohon miskin akan nutrien. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya jumlah populasi fungi pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (kontrol).
Dari semua tingkat salinitas dapat dilihat bahwa nilai frekuensi kolonisasi fungi berbanding lurus dengan jumlah populasi fungi. Besarnya frekuensi kolonisasi fungi tergantung pada besarnya jumlah populasi fungi itu sendiri.
Jenis-jenis fungi yang terdapat pada kontrol dan pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 22 jenis fungi yang terdiri dari 6 genus dengan genus Penicillium yang paling banyak dijumpai yang diikuti dengan genus Aspergillus dan Trichoderma sehingga ketiga genus fungi ini diduga sebagai fungi pendegradasi serasah daun A. marina. Dalam penelitian Ayunasari (2009) bahwa jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) dan yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 13 jenis fungi dengan 4 genus fungi yaitu Aspergillus, Penicillium, Curvularia dan Saccharomyces. Genus
Aspergillus dan Penicillium memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan baik pada kontrol maupun pada berbagai tingkat salinitas. Indeks diversitas fungi tertinggi terdapat pada 0-10 ppt dan 10-20 ppt yaitu masing-masing sebesar 2,17 dan 1,56.
Dalam penelitian Silitonga (2010) bahwa jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Rhizopora mucronata yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) dan yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 15 jenis fungi dengan 8 genus fungi yaitu Aspergillus, Penicillium, Fusarium, Trichoderma, Mucor, Rhizopus, Gliocladium dan Epicoccum. Genus Aspergillus dan Trichoderma memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan baik pada kontrol maupun pada berbagai tingkat salinitas. Indeks diversitas fungi tertinggi terdapat pada 20-30 ppt dan >30 ppt yaitu masing-masing sebesar 1,93 dan 2,16.
Tabel 1. Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Kontrol) dan yang Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas. N o. Jenis Fungi Kehadiran Ko ntrol 0 -10 ppt 10-20 ppt 20-30 ppt 30 ppt 1 . Aspergillus sp. 1 √ √ √ √ √ 2 . Aspergillus sp. 2 √ √ √ √ √ 3 . Aspergillus sp. 3 √ √ √ - √ 4 . Aspergillus sp. 4 √ - - - - 5 . Aspergillus sp. 5 - √ √ √ √ 6 . Aspergillus sp. 6 - √ - √ - 7 . Aspergillus sp. 7 - √ √ √ - 8 . Penicillium sp. 1 - √ √ √ √ 9 . Penicillium sp. 2 - √ √ √ √ 1 0. Penicillium sp. 3 - √ √ - √
1 1. Penicillium sp. 4 - √ √ - √ 1 2. Penicillium sp. 5 - √ √ √ √ 1 3. Penicillium sp. 6 - √ √ √ √ 1 4. Penicillium sp. 7 - √ √ √ √ 1 5. Penicillium sp. 8 - - √ √ √ 1 6. Penicillium sp. 9 - - √ - - 1 7. Trichoderma sp. 1 √ √ √ √ - 1 8. Trichoderma sp. 2 - √ - - √ 1 9. Trichoderma sp. 3 - - √ √ √ 2 0. Arthrinium phaeospermum √ √ √ √ √ 2 1. Curvularia lunata - √ √ √ √ 2 2. Mucor plumbeus - - - - √
Keterangan: √ = ditemukan ; - = Tidak ditemukan
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi
N o.
Jenis Fungi Rataan Jumlah Koloni x 102
(CFU/ml) 1 . Aspergillus sp. 1 5,33 2 . Aspergillus sp. 2 1 3 . Aspergillus sp. 3 1 4 . Arthrinium phaeospermum 0,33 5 . Aspergillus sp. 4 3,66 6 Trichoderma sp. 1 0,33
.
Total rata-rata jumlah
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi fungi dan keanekaragaman jenis fungi. Jumlah jenis fungi pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt lebih besar dibandingkan dengan tingkat salinitas 20-30 ppt dan >30 ppt. Populasi fungi tertinggi pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebesar 17,16 x 102 CFU/ml. Frekuensi kolonisasi fungi untuk semua tingkat salinitas berkisar antara 12,5% sampai 100%. Indeks keanekaragaman fungi lebih besar pada tingkat salinitas 10-20 ppt yaitu sebesar 2,74 dibanding dengan tingkat salinitas 0-10 ppt, 20-30 ppt dan >30 ppt.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan dari tiap-tiap jenis isolat fungi yang didapat sehingga dapat meningkatkan laju proses dekomposisi serasah daun A. marina di kawasan pesisir mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R.M. and Bartha, R. 1981. Microbial Ecology. Fundamentals and Application. Philippines: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Austin, A.T., and Vitousek, P.M. 2000. Precipitation, Decomposition and Litter Decomposability of Metrosideros polymorpha in Native Forest on Hawaii. Journal of Ecology. 88: 129-138
Ayunasari, W. 2009. Diversitas Dan Visualisasi Karakter Fungi Dekomposer Serasah Daun Avicennia marina Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Skripsi Biologi. USU Medan.
Clarke, P. J. 1994. Baseline Studies of Temperate Mangrove Growth and Reproduction; Demographic and Litterfall Measures of Leafing and Flowering. Austria. Journal of Botany. 42: 37-48. Gandjar, I., Samson, R.A., Vermulen, T.D.V.K., Oetari, A., Santoso, I.
1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hlm. 136.
Hobbie, E. A., Watrud, L. S., Maggard, S., Shiroyama, T. and Rygiewicz, P.T. 2003. Carbohydrate Use and Assimilation by Litter and Soil Fungi by Carbon Isotopes and Biology Assays. Soil Biology & Biochemistry. 35: 303-311.
Kohlmeyer, J., Bebout, B. and Volkman-Kohlmeyer, B. 1995. Decomposition of Mangrove Wood by Marine Fungi and Teredinids in Belize. Marine Ecology. (16): 27-39.
Kohlmeyer, J., and Kohlmeyer, E. 1979. Marine Ecology. Academic Press. New York.
Langenheders, S. 2005. Links Fungi Structure and Function of Heterotrophic Aquatic Fungi Communities. Disertation. Uppala University. Sweden.
Ludwig, J. A. dan J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A Primer Methods and computing. Jhon wiley and Sons Inc. New York 337 Hlm.
Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forests in The Indowest-Pasific Region. Adv. Mar. Biol. 6: 73-270
Mahasneh, A. M. 2001. Bacterial Decomposition of Leaf Litter From al-khor Qatar-arabian gul. Journal of Biological Sciences. 1(8): 717-719.
Mallin, M. A., Williams, K. E., Esham, E. C. and Lowe, R. P. 2000. Effect of Human Development on Fungical Water Qualitative in Coastal Watershed. Eco Appl. 10: 1047-1056.
Nakagiri, A., S.Y. Newell, T. Ito, T. K. Tan and C. L. Pek. 1996. Biodiversity and Ecology of The Oomycetes Fungus, Halophytopthora. Diwpa Series 1: 273-280.
Olson, J. S. 1963. Energi Storage and the Balance of Producer and Decomposers in Ecologycal System. Ecology 44 : 322-331. Pitt, J. I., and Hocking A. D. 1997. Fungi and Food Spoilage. Second
Edition. Published by Academic Press. Sydney.
Polunin, N.V.C. 1986. Decomposition Processes in Mangrove Ecosystem. Workshop on Mangrove Ecosystem Dynamic. UNDP/UNESCO. Hlm. 95.
Rifai, M. A. 1969. A Revision of The Genus Trichoderma. Hlm 1-56 dalam Mycological Papers No.116. Herbarium Bogoriense. Bogor.
Samson, A. R., Hoekstra, E. S. and Van Oorschot, C. A. N. 1984. Introduction To Food-Borne Fungi. Second Edition. Institute of The Royal Netherlands.
Silitonga, E. L. 2010. Jenis-Jenis Fungi Yang Terdapat Pada Serasah Daun Rhizophora mucronata Yang Mengalami Dekomposisi
Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Skripsi Budidaya Hutan. USU Medan.
Waring, R. H. and Schlesinger, W. H. 1985. Forest Ecosystems-Concepts and Management. Academic Press, Orlando. Florida.
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
BIOLOGI
Kholid Musyaddad Abstarksi
Istilah kontekstual dalam bahasa Inggris dikenal dengan Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar yang melihat bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jiwa siswa “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya”.
Kata Kunci : Pembelajaran bermakna A. Pendahuluan
Beberapa temuan penelitian sebagaimana dikutip dalam Masnur Muslich (2007 : 4-6) menjelaskan tentang persoalan praktis dihadapi guru yang memberikan dampak yang signifikan pada pelaksanaan inti pembelajaran. Drost menemukan ketidaksiapan guru di berbagai sekolah dalam menerapkan. Guru masih bingung dalam mengajar dengan model KBK, sehingga dalam temuannya sebagian guru masih mengajar dengan cara lama walaupun sekolah telah menggunakan KBK. Kurikulum yang dijadikan acuan adalah KBK tapi model dan strategi pembelajaran guru tidak berubah sama sekali. Lebih jauh hasil penelitian Dantes dkk mengungkapkan fakta yang mengejuutkan bahwa hanya 1,4 % sekolah yang menyatakan guru telah memahami betul KBK. Ketidakpahaman guru terkait dengan ketidaktahuan tentang landasan filosofis dan pedagogis yang mendasari kurikulum tersebut dan ini berimplikasi pada ketidakjelasan kepada apa yang seharusnya mereka lakukan dalam kegiatan pembelajaran.
Kurikulum Satuan Pendidikan dipandang penyempurna kurikulum sebelumnya, dimana tekanan pada mengupayakan kesempatan yang lebih besar bagi lembaga satuan pendidikan untuk mengembangkan pembelajaran dengan berpedoman pada standar isi, standar kompetensi lulusan, dan panduan penyusunan kurikulum yang ditetapkan BNSP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
Pembelajaran berbasis kompetensi merupakan inti dari KTSP. Persoalan kualitas pendidikan yang sering dipertanyakan banyak pihak seiring dengan tuntutan persaingan di era gobalisasi ini dan perubahan kehidupan dan kebutuhan lulusan masa depan mendasari perubahaan kurikulum yang menuntut perhatian pembelajaran yang bermakna dimana siswa berkepentingan terhadap materi atau isi pelajaran terkait dengan kehidupannya. Hal ini dapat disebabkan kebutuhan untuk kepentingan dunia kerja yang serba kompetitif atau untuk studi ke jenjang lebih tinggi atau karena kepentingan lainnya.
Mengacu pada pembelajaran berbasis kompetensi dengan mengedepankan keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki siswa ketika belajar (Nurhadi, 2002) maka diperlukan penciptaan model pembelajaran yang sesuai, strategi yang berorientasi pada siswa dan penciptaan suasana yang menyenangkan (Irianto, 2002), karena itu pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) menjadi pilihan yang tepat untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut. .
Tulisan ini akan menelah latarbelakang dan karakteristik pendekatan kontekstual, dikemukakan pula lebih jauh dengan tugas dan tanggung jawab guru dalam menyikapi tuntutan pembelajaran yang bermakna dan implikasi pendekatan tersebut bagi guru dalam pembelajaran.
B. Prinsip dan Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran yang selama ini dipergunakan di sekolah dengan penekanan pada penguasaan materi nampaknya tidak dapat mengembangkan siswa yang kreatif, aktif, dan inovatif. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dari belajar hanya bertahan dalam ingatan jangka pendek berupa hapalan dari sekian banyak bahan pelajaran yang mereka terima, namun tidak diikuti dengan pemahaman dan pengertian yang berrguna untuk membekali mereka memecahkan persoalan dalam kehidupan. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang bermakna. Penggunaan istilah ini menunjuk pada kemampuan siswa dalam menghubungkaan pengetahuan yang mereka miliki dengan pemanfaatannya dalam menyikapi persoalan hidup di masa sekarang atau mendatang. Pendekaatan Kontekstual dalam hal ini sangat tepat untuk dipergunakan dalam pembelaajaran.
Istilah kontekstual dalam bahasa Inggris dikenal dengan Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar yang melihat bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jiwa siswa “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya”. (Kunandar, 2007: 293).
Sejalan dengan definisi di atas Masnur Muslich (2007) mengungkapkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong