• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Sosial Lokal Perempuan docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gerakan Sosial Lokal Perempuan docx"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN DISERTASI

GERAKAN SOSIAL LOKAL PEREMPUAN

Anis Farida

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

RINGKASAN DISERTASI

GERAKAN SOSIAL LOKAL PEREMPUAN

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Program Studi Ilmu Sosial

Pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga dan dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Tahap Terbuka

Anis Farida

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)

Promotor dan Ko Promotor

Promotor : Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, Drs

(4)

Telah diuji pada Ujian Tahap I (Tertutup)

Hari/Tanggal : 2 Juni 2012

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. L. Dyson, Drs., M.A. Anggota : Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, Drs.

Prof. Dr. Susetiawan, SU

Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA Prof. Dr. Irwan Abdullah

Prof. Dr. Warsono, M.S.

Prof. Kacung Marijan,Drs., M.A.,Ph.D. Prof. Dr. Mustain, Drs., M.Si

Dr. Dwi Windyastuti Budi H,Dra., M.A.

Ditetapkan dengan Surat Keputusan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga Surabaya Nomor : 1292/H3.1.7/PPd/2012

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan disertasi dengan judul Gerakan Sosial Lokal Perempuan. Dengan segala keterbatasan penguasaan dan pemahaman saya dalam bidang teoritik maupun lapangan akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini lebih tepat disebut sebagai karya yang dilahirkan dengan dukungan banyak pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada berbagai pihak tersebut, yaitu :

Kepada Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, selaku Promotor dan dosen yang telah banyak memberikan bimbingan dan kontribusi keilmuan berupa arahan, dan kritik sejak proses perkuliahan sampai dengan tiap tahap penulisan disertasi ini. Konsistensi dan kedisiplinan beliau, yang selalu tepat waktu dengan janjinya, memberikan pelajaran tersendiri bagi saya. Dengan setulusnya saya menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada beliau.

Kepada Prof. Dr. Susetiawan, SU, selaku Ko-Promotor dan dosen MKPD untuk Teori Gerakan Sosial, yang telah banyak membuka cakrawala berpikir sejak menjadi mahasiswa di bangku S2 Sosiologi UGM, dan sebagai team work dalam proyek Konsultan Evaluasi Nasional P2KP. Sikap egaliter beliau memungkinkan saya untuk mendiskusikan berbagai hal dengan tanpa beban. Lebih dari itu beliau memberikan kebebasan kepada saya untuk menghubungi beliau di mana saja dan kapan saja, baik langsung maupun dengan bantuan teknologi. Kondisi tersebut membentuk proses pendewasaan keilmuan saya dapat berkembang dengan bebas, namun tetap dalam koridor nilai-nilai yang saya yakini. Untuk segala kebaikan beliau tidak cukup kata-kata untuk menghaturkan rasa terima kasih saya, semoga Allah SWT yang membalasnya.

Kepada Prof. Dr. Fasichul Lisan Apt, selaku Rektor Universitas Airlangga, Drs. Basis Susilo, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, dan Prof. Dr.Hj. Sri Hajati, SH,M.H., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga, yang telah memberikan kesempatan dan kebijakannya kepada saya untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Sosial.

(6)

saya dan juga para mahasiswa lainnya agar segera menyelesaikan studi. Beliau senantiasa memberikan kemudahan dan memfasilitasi agar kami dapat menyelesaikan studi tepat waktu.

Kepada seluruh pengajar di Program Doktor Ilmu Sosial juga saya haturkan terima kasih, yaitu kepada Prof. Hotman M Siahaan, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA, Prof. Ramlan Surbakti, Drs, MA, PhD, Dr. Daniel Sparingga, Prof. Dr. Wirawan, SU. Secara khusus, saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto (Romo Armada) yang telah membimbing dan memberikan tambahan pengetahuan yang bermanfaat, serta menunjukkan Dasun, yang akhirnya menjadi lokasi penelitian disertasi ini. Semoga Romo selalu mendapatkan limpahan berkat dariNya.

Terima kasih pula, saya sampaikan kepada para pengasuh Mata Kuliah Penunjang Disertasi (MKPD) yaitu Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan pemahaman lebih luas tentang Perempuan dan Politik, serta terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Anna Marie Wattie, MA dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah banyak memperkenalkan saya dengan metodologi feminisme.

Selain itu terima kasih juga kepada para penguji yang telah turut menguji saya pada tahap pra kualifikasi sampai dengan ujian Tahap II, yaitu Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA, Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA, Dr. Dhaniel T. Sparingga, MA, Prof. Kacung Marijan, Drs, M.A.,Ph.D, Dr. Dwi Windyastuti Budi H, MA, Prof. Dr. Mustain, Drs, MSi, Dr. Rachma Ida, M.Com, Prof. Dr. Soenyono, M.Si, dan Prof.Dr.Warsono, M.Si terima kasih atas segala kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini.

(7)

sangat, seringkali justru membuat saya merasa bersalah, karena sejauh ini saya masih belum bisa mengamalkan prinsip-prinsip keilmuan yang telah diberikan kepada saya. Dalam kesempatan ini saya mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan saya dalam berpikir dan bersikap, dan saya masih akan terus mengharapkan bimbingan Mas Irwan. Semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk Mas Irwan bersama keluarga.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menempuh studi di jenjang S3. Khususnya kepada Bapak Dr. Moch. Fauzi Said selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan fasilitas dan kelonggaran kepada saya untuk meninggalkan kegiatan mengajar, agar saya bisa fokus menyelesaikan studi di saat-saat yang kritis. Demikian pula saya haturkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu Dekan terdahulu beserta para Wakil Dekan yang mendukung penyelesaian studi saya. Tidak terlupakan juga untuk menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Iche (Dra. Azizah Alie, M.Si), Mbak Ratih (Dr. Ratih Retnowati Mardi, M.Si), Mbak Astrid, Pak Bambang, Pak Suwartono yang selalu memperjuangkan kepentingan-kepentingan saya, sehingga memudahkan saya untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Terima kasih juga untuk seluruah keluarga besar FISIP UWKS dan juga sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada sahabat-sahabat seangkatan tahun 2006 yang hanya beranggotakan lima orang, yaitu Dr. Ali Maksum, M.Ag, M.Si, Dr. Suka Arjawa, dan Dr. Sugeng Pujileksono, serta Suyoto Drs,M.Si. Kekompakan dan kerjasama dalam berbagi bahan kuliah dan buku-buku, tidak akan terlupakan dan selalu menjadi sejarah indah dalam perjuangan meraih gelar akademik. Juga kepada Suster Anna S dari Putri Kasih yang telah banyak membantu dalam memfasilitasi perkenalan dan pertemuan saya dengan Bu Sulastri Lurah Dasun beserta para aktivis yang lain. Terima kasih yang tak terhingga bagi kesediaan Bu Sulastri, Mbak Nur, almarhumah Bu Ngadinem, Pak Mulyono, Mas Zaini dan teman-teman di Dasun yang telah memperlakukan saya sebagai keluarga sendiri, selama saya berada di Dasun.

(8)

terima kasih buat kesabaran, dukungan dan semangat dari kalian semuanya, hingga bisa terselesaikannya studi ini. Terima kasih pula teman-teman lain yang tidak bisa disebut satu persatu. Untuk mas Tino, staf akademik di FISIP Unair, terima kasih yang tulus saya ucapkan, karena berkat bantuannya, semua proses tahapan ujian disertasi saya berjalan dengan lancar.

Kepada kedua orang tua saya, yaitu Ayahanda H. Mochammad Ngasiki, BA dan Ibunda Hj. Sutami, yang senantiasa memanjatkan doa tulus demi kesuksesan dan kelancaran saya dalam menyelesaikan studi. Tidak lupa mertua saya (alm) Ayahanda BRM.Priyo Santi Setyo Basuki dan Ibunda Hj.Suparmi Saminah, serta Ibunda Bulik Hj. Katemi terima kasih atas doa tulus dan dorongannya. Serta kepada adik-adikku tersayang, Dik Laily Fiana, SE (Banda Aceh) dengan Dik Wahyudi Burhan, MPA bersama keluarga, Dik M.Nanang Fauzi, ST (Bandung) dengann Dik Elis, Dik M.Erfin Fatoni, SE (Blitar) dengan Dik Fia, Zaky dan Dila, terima kasih atas dukungan dan perhatiannya selama ini.

Kepada suami saya Dr. H. Priyo Handoko SS, SH, M.Hum yang sangat risau dengan penyelesaian studi saya “yang berkepanjangan”, meskipun dia juga “berinvestasi” dalam hal tersebut. Alhamdulillah, dengan kekuatanNya, semua dapat dilalui dan selalu berakhir dengan indah serta penuh suka cita. Dukungan luar biasa di saat akhir penyelesaian studi, terutama kerelaannya mengasuh anak-anak kami tercinta, di saat saya harus lembur ataupun wira wiri ke Yogyakarta, maka tak terlukiskan rasa terima kasih saya kepada Abi tercinta. Untuk segala kebaikan Abi hanya doa tulus yang dapat saya panjatkan.

(9)

Akhir kata semoga segala bentuk dukungan dan bantuan dari berbagai pihak tersebut mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Sebagai sebuah karya manusia, tentunya disertasi ini penuh dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini, selalu diterima dengan lapang dada. Harapan saya semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu sosial.

Surabaya, Juni 2012

Penulis,

Anis Farida

(10)

Women’s Local Social Movements Anis Farida

This study aims to understand whether the phenomenon of rural women's collective action in Dasun, Kediri can be interpreted as a social movements, and related to the issues, actors and the setting, how’s that social movements can be categorized. Based on this, this study aims (1) to explore and interpret the phenomenon of collective action undertaken by women in Dasun, if indeed a social movement and (2) the implications of the achievement of social movements in society and family life.

This study is a qualitative research with an ethnographic approach, which a plural method include observation, participation, analysis of records, and interviews. The subjects of this study included some Dasun’s women activist and outsiders who were involved in the growth of the local social movements.

Based on the results of field research and theoretical analysis led to some the conclusion, an important finding of this study, show that a leader is the product of the movements. The ability to produce a leaders, as far as the author know, is the specific notion that can not be found on collective action in other places. Social movements in Dasun can not be fully called as new social movements, because the actor is not from a middle class, they were a poor women with a limited or low educational background, and the setting of social movements is a rural agricultural communities. Collective action in Dasun can be interpreted as a social movements, with the fulfillment of the element of collectivity, shared goals, a loose organization, leadership, spontaneity, and moving beyond the village’s authority. The implications of the achievement of social movements in family life is shown by the involvement of women in decision-making and financial control lies in the female. In areas of society, women have begun to participate in the socio-cultural, political, economic and environmental fields.

Keywords: social movements, collective action, women, leadership, social justice, humanity, inequality

(11)

Negara Indonesia sejak masa Orde Baru telah menjadikan paradigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan dari seluruh kebijakan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan di masa itu diatur dalam GBHN dan Repelita sebagai instrumen utama yang sarat dengan rencana dan konsep pembangunan.1 Namun setelah pembangunan dijalankan dalam jangka waktu yang cukup lama, terbukti bahwa pembangunan sebagai peran pokok pemerintah telah membawa dampak negatif dalam pembangunan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merajalela dan membentuk sebuah kebobrokan sistem dalam pelaksanaan pembangunan di masa Orde Baru hingga saat ini.2

Pembangunan yang semula dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat maju, justru hal ini memproduksi persoalan sosial ekonomi. Berbagai bentuk ketimpangan yang ada telah melahirkan ketegangan yang tersembunyi ataupun konflik yang bersifat terbuka dalam masyarakat. Konflik antar pribadi, antar kelompok, ataupun masyarakat berhadapan dengan negara acapkali melahirkan berbagai bentuk penindasan, eksploitasi dan tirani institusi. Praktek tuan tanah dan eksploitasi petani, diskriminasi sosial, kokohnya sistem patriarki dan penindasan terhadap perempuan, dan berbagai institusi lain yang sarat dengan dominasi dan ketidakadilan seringkali melatar belakangi munculnya suatu aksi kolektif3.

1 Ryaas Rasyid. 2005. “ Otonomi Daerah : Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsudin Haris (editor). Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta : LIPI Press, h : 6.

2 Susetiawan. 2003. “Pengantar : Pemberdayaan Masyarakat : Antara Ide dan Komoditi Baru Untuk Perubahan Sosial” dalam Suparjan dan Hempri Suyatno. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta : Aditya Media, xviii.

(12)

Aksi-aksi kolektif yang berkembang dalam suatu masyarakat dalam hal ini merupakan bentuk respon atas ketidakmerataan pelaksanaan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Dampak negatif ketidakmerataan pembangunan di Indonesia telah memproduksi berbagai masalah sosial seperti, disintegrasi bangsa, kemiskinan, buta huruf dan rendahnya tingkat pendidikan, kekurangan pangan dan air bersih, gizi buruk, fasilitas medis yang hanya terpusat di perkotaan, buruknya infrastruktur di pedesaan, kerusakan lingkungan dan lainnya. Kondisi demikian mendorong lahirnya aksi dari berbagai komponen masyarakat sipil untuk mendobrak dan meruntuhkan tatanan struktur ketidakadilan. Aksi kolektif dalam hal demikian menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap kemapanan yang tidak bisa memberikan ruang untuk perbaikan kualitas kehidupan di masyarakat.

Dalam upaya memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat, isu-isu yang diperjuangkan oleh komponen masyarakat sipil yang sering mengklaim aksi kolektif sebagai gerakan sosial, tidak lagi sebatas mengamankan tanah dari klaim kepemilikan oleh pihak lain (isu materialistik), tapi telah bergerak jauh ke depan, dengan mempertanyakan hak-hak konstitusional, kebutuhan untuk melakukan redefinisi dan transformasi nilai-nilai sosial dan norma-norma, artikulasi terhadap permasalahan yang terkait dengan warisan budaya, simbol dan sejarah.4 Adanya pergeseran isu tersebut tidak terelakkan lagi, jika semula isu materialistik mendominasi roh gerakan sosial, pada perkembangannya telah bergeser dengan mengusung isu-isu non materialistik seperti gender, ekologi, Hak Asasi Manusia, kebebasan individu, hak otonomi, serta

(13)

keadilan sosial dan kesetaraan.5 Aksi-aksi kolektif yang dijalankan oleh berbagai komponen masyarakat sipil tersebut seringkali mengalami up and down. Artinya, ketika aksi kolektif yang didorong oleh faktor eksternal ditinggalkan oleh aktornya, maka aksi kolektif yang dilakukan oleh masyarakat dampingan tidak berlanjut. Jika hal demikian ini sering terjadi, masihkah hal seperti ini dapat diklaim sebagai sebuah Gerakan Sosial?

Pergeseran tidak hanya terkait dengan isu yang diperjuangkan, namun juga terkait dengan latar belakang aktor, jika semula memperjuangkan isu materialistik yang berbasis pada kelas, maka pada perkembangannya telas meluas dan menerjang lintas batas. Para aktor ataupun partisipan tidak lagi didukung oleh batas-batas kelas, namun dapat berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, etnis, jenis kelamin, organisasi, akademisi, dan kaum yang relatif terdidik lainnya. Pluralitas isu maupun heterogenitas basis partisipan pengusungnya telah memberikan ruang gerak bagi kaum perempuan untuk turut memperjuangkan perbaikan kualitas kehidupan melalui aksi kolektif.

Aksi-aksi kolektif berkembang menyentuh kaum perempuan, meskipun masih membutuhkan perjuangan panjang, baik yang dilakukan oleh sekelompok kecil individu maupun melalui organisasi. Para perempuan dengan latar belakang pendidikan tinggi sudah mulai mewarnai panggung politik di tingkat daerah maupun nasional. Sementara itu pada tataran lokal, masuknya perempuan ke ruang publik ditandai dengan semakin banyaknya perempuan yang bertarung di arena Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Dalam hal ini tidak sedikit jumlah perempuan yang berhasil memenangkan

(14)

kursi kepala desa. 6 Di luar jalur kekuasaan formal tersebut, di tingkat akar rumput pedesaan mulai bermunculan perempuan yang menjadi aktor ataupun partisipan bagi peningkatan kualitas kehidupan perempuan melalui aksi kolektif yang dirintis dan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh komunitasnya.

Dalam upaya memperbaiki kualitas kehidupan kaum perempuan, isu yang diangkat juga beragam sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas setempat, mulai masalah penyelamatan lingkungan, peningkatan layanan kesehatan, perbaikan tingkat pendidikan, penguatan kapasitas ekonomi, melestarikan budaya warisan leluhur dan juga meninjau ulang posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Penguatan kapasitas ekonomi perempuan, merupakan salah satu masalah yang seringkali diangkat oleh organisasi sosial maupun pemerintah. Solusi peningkatan kapasitas ekonomi, salah satunya dilaksanakan oleh PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Pedesaan yang cikal bakalnya dulu berasal dari P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). Gagasan PNPM membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM) ekonomi di pedesaan , selama ini terbukti gagal dalam menjaga keberlanjutan aksi kolektif yang ada. Pembentukan KSM di berbagai wilayah pedesaan semata-mata dimaksudkan untuk menampung dana yang digelontorkan. Setelah dana turun, maka kelompok yang ada pun menjadi

6 “Pilkades Brabowan dan Gaplokan dimenangi Perempuan” dalam Cepuraya.com http://cepuraya.com/pilkades-brabowan-gaplokan-blora-dimenangi-perempuan.html/ diakses 12-11-11; Lihat “ Tiga Calon Kades Bersaing di Pilkades Karanganyar” dalam http://malang-post.com/index.php? option=com_content&view=article&id=31802%3Atiga-calon-kades-bersaing-di-pilkades-karanganyar&Itemid=102/ diakses 12-11-11; Lihat pula “ Suku Tengger

Miliki Kades Wanita Pertama” dalam

(15)

bubar. Hal ini merupakan bentuk kegagalan dari sebuah kegiatan peningkatan kapasitas ekonomi yang tidak dibarengi dengan adanya kebutuhan dan kesadaran kolektif dari masyarakat dampingan.7

Kondisi tersebut berbeda dengan tumbuh kembangnya aksi kolektif untuk memperbaiki kualitas kehidupan yang ditemukan di Dasun, sebuah dusun yang terletak di kawasan pegunungan Wilis, Kediri, Jawa Timur. Aksi kolektif kaum perempuan di Dasun telah berkembang pesat sejak tahun 2003. Berbagai permasalahan berbasis komunitas yang dihadapi kaum perempuan telah diatasi. Bahkan aksi-aksi kolektif yang ada di Dasun dapat menginspirasi dusun lain untuk melakukan hal yang sama. Replikasi kegiatan kolektif maupun hasilnya saat ini telah berkembang tidak saja di wilayah desa Joho, tapi juga merambah ke wilayah di sekitarnya.

Kemunculan aksi kolektif di Dasun, yang letak geografisnya di wilayah dusun terluar yang berbatasan langsung dengan kawasan Perhutani, tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakatnya. Beberapa hal mendasar yang dapat dikemukakan di antaranya adalah, pertama, ditinjau dari kondisi perekonomiannya, mata pencaharian masyarakat Dasun bergantung pada sektor pertanian yang masih dikelola secara sederhana dan bersifat subsisten, sehingga pendapatannya pun rendah. Keterbatasan pendapatan dan infrastruktur inilah yang menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bank plethet (rentenir) dan pengijon8 atau tengkulak.

7 Berbagai hasil penelitian yang mengevaluasi kegagalan PNPM Mandiri ataupun P2KP telah banyak dilaksanakan, di antaranya dalam

repository.ipb.ac.id/bitstream/pemberdayaan perempuan melalui PNPM-P2KP (kasus KSM Srogol)/diakses 15 Juni 2012; Anis Farida (ed). 2007. Laporan Internal Konsolidasi Studi Kualitatif Evaluasi P2KP di Wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Malang : LSPK-Kementerian PU-Bank Dunia.

(16)

Kedua, ditinjau dari situasi dan kondisi politik Dasun yang bernaung di bawah desa Joho yang membawahi sembilan dusun9. Letaknya yang terpencil membuat Dasun sebagai kawasan yang kurang tersentuh oleh program pembangunan desa, yang cenderung bergerak di pusat kekuasaan. Bahkan sejak berdirinya desa Joho, jabatan kepala desa, maupun perangkat desa lainnya belum pernah sekalipun dipegang warga yang berasal dari Dasun. Ketiga, kondisi sosial budaya, kehidupan warga dilandasi dengan modal sosial yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kebiasaan gotong royong mulai mendirikan rumah, penyelenggaraan hajatan, peristiwa kematian, serta mengelola hasil panen nutu/menumbuk padi pada sebuah lesung.10

Tumpang tindihnya beban kehidupan kaum perempuan Dasun telah membelenggu dan menutup harapan tentang adanya sebuah perbaikan kualitas kehidupan. Di tengah kondisi kehidupan yang demikian berat, perempuan seringkali berhadapan dengan struktur sosial yang menempatkannya pada posisi yang timpang, baik dalam relasi dalam rumah tangga maupun di ruang publik. Kaum perempuan Dasun sebenarnya sudah lama berkiprah dalam ruang publik melalui berbagai aksi kolektif yang telah ada. Namun aksi kolektif seperti arisan, pengajian, rewang saat hajatan maupun lainnya belum dilandasi dengan kesadaran kolektif untuk menciptakan adanya perbaikan kualitas kehidupan perempuan.

9 Desa Joho terdiri dari Sembilan dusun, yaitu Dusun Igir-Igir, Dusun Dasar, Dusun Genengan, Dusun Joho, Dusun Dasun, Dusun Glemboh, Dusun Nongkopait, Dusun Karangnongko dan Dusun Gowok Menco.

(17)

Terlepas dari belum adanya kesadaran yang melandasi, aksi kolektif seperti ini menjadi modal dasar bagi kaum perempuan, tidak hanya di dusun Dasun, melainkan juga pada desa/dusun secara umum yang terdapat di pedesaan maupun perkotaan di Jawa. Aksi kolektif ini telah menjadi cikal bakal lahirnya kesadaran mereka untuk merespon persoalan sosial yang berlangsung di dusunnya. Aksi kolektif yang mempunyai tujuan tertentu ini baru berkembang setelah ada interaksi dari luar, yakni seiring dengan kehadiran mahasiswa KKN STAIN di lingkungan Dasun pada tahun 2003. Interaksi mahasiswa dengan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan yang ada, telah memberikan inspirasi kepada kaum perempuan Dasun untuk melakukan hal yang sama, yaitu menyelesaikan masalah yang ada secara bersama-sama melalui suatu aksi kolektif.

Setelah kepulangan mahasiswa, kegiatan pendidikan non formal untuk anak-anak tetap dilanjutkan. Adanya bantuan berupa pelatihan guru dan sepasang kambing bantuan dari STAIN disikapi dengan pengelolaan secara mandiri di tangan kaum perempuan. Permasalahan ketiadaan dana untuk membantu para perempuan yang tiba-tiba sakit, mendapatkan masalah dalam kehamilan ataupun melahirkan, terpecahkan dengan adanya kegiatan arisan beras yang mampu menyisihkan sebagaian hasil bethokan untuk dana caangan sosial dan kas kegiatan.

(18)

bersama-sama sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Tumbuh kembangnya aksi kolektif yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan perempuan di Dasun tersebut telah memberikan harapan tentang adanya sebuah perubahan. Harapan ini menumbuhkan semangat untuk berkumpul dan berorganisasi yang kemudian diintegrasikan dalam satu payung yaitu Paguyuban Perempuan Sido Rukun.

Aksi kolektif yang dilakukan oleh perempuan Dasun dalam menggalang kebersamaan untuk melakukan perubahan menarik untuk dicermati. Mengingat dewasa ini banyak sekali aksi-aksi kolektif yang dibentuk sebagai bagian dari proyek pemberdayaan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun LSM. Di tengah ketatnya persaingan LSM dalam memberdayakan masyarakat, fenomena penguatan kapasitas perempuan melalui aksi kolektif sebagaimana yang terjadi di Dasun menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti.

(19)

aksi kolektif perempuan di tingkat nasional dan global yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari kalangan menengah.

Berpijak pada uraian latar belakang masalah yang dikemukakan, diperlukan kecermatan untuk memaknai ragam aksi kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan pedesaan di Dasun. Terutama terkait dengan hal spesifik apa yang membedakan aksi kolektif di Dasun dengan aksi kolektif di tempat lainnya. Apabila ragam aksi kolektif di Dasun dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial, maka terkait dengan isu yang diusungnya, aksi kolektif di Dasun ini terkategori bentuk gerakan sosial seperti apa? Apakah bentuk gerakan sosial lama, baru atau hal yang berbeda dari keduanya ? Kemudian bagaimana hal tersebut dapat dijelaskan jika ditinjau dari sisi pelaku dan setting peristiwanya.

Oleh karena itu, studi ini selanjutnya mencoba menjawab pertanyaan penelitian yang diperinci sebagai berikut : pertama, bagaimana aksi kolektif terbentuk dan berkembang? Aksi kolektif seperti apa yang dapat dimaknai sebagai gerakan sosial, dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan?; Kedua, sejauhmana pencapaian aksi kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan Dasun berimplikasi pada kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat?

(20)

mengidentifikasi berbagai bentuk aksi kolektif yang dapat dimaknai sebagai gerakan sosial, khususnya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan; kedua, untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang sistematis dan mendalam, dalam memaknai implikasi pencapaian aksi kolektif perempuan Dasun dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat;

KERANGKA TEORI

Konflik di masyarakat tidak selalu berkembang pada aksi kolektif, dengan pengandaian yang sama, maka tidak semua aksi kolektif membutuhkan adanya konflik terlebih dahulu.11 Tema kontemporer aksi kolektif (collective action) telah menjadi inti dari tradisi studi tentang "perilaku kolektif” (collective behavior) dalam ilmu sosial.12 Aksi kolektif dimaknai sebagai kapasitas masyarakat manusia untuk mengembangkan orientasi yang sesuai dengan norma dan nilai yang mereka miliki13. Berbeda dengan gerakan sosial eksistensinya seringkali dikaitkan dengan aksi organisasi atau kelompok civil society dalam mendukung atau menentang perubahan sosial14. Namun hal yang perlu dicari penjelasannya adalah kapan dan bagaimana suatu aksi kolektif dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial atau bukan. Untuk dapat mengidentifikasi aksi kolektif yang terdapat dalam suatu masyarakat sebagai gerakan sosial atau bukan, terlebih dahulu diperlukan alat bantu yaitu pemetaan teori gerakan sosial beserta indikatornya. Sesuai dengan tema yang diangkat dalam disertasi ini, maka teori gerakan sosial menjadi alat utama analisis.

11 Rajendra Singh. Op.Cit. h : 30.

12 Rajendra Singh. Ibid. h : 31; Blumer, 1957; Turner dan Killian, 1957; Smelser, 1962.

13 Rajendra Singh.Ibid. h : 31.

(21)

Karena kekhususan dari fenomena aksi kolektif yang diangkat, maka diperlukan kecermatan dalam memilih teori gerakan sosial yang dapat dipakai sebagai kerangka yang mampu menjadi bingkai atas permasalahan yang hendak dijawab. Kekhususan tersebut di antaranya bahwa gerakan sosial ini dilakukan oleh para perempuan pedesaan, miskin, tidak berpendidikan tinggi, hidup di lereng pegunungan yang terpencil, di mana akses informasi maupun transportasinya terbatas, namun aksi kolektif yang mereka lakukan mampu meretas sebuah jalan demi terwujudnya perubahan sosial.

Pemetaan Teori Gerakan Sosial

Pada bagian ini akan dikemukakan teorisasi gerakan sosial yang dirangkum oleh Singh di satu sisi dan di sisi lain oleh della Porta dan Diani. Berdasarkan pendapat kedua kubu ini dapat dilihat peta gerakan sosial yang pernah berkembang dari masa ke masa serta isu yang diperjuangkan oleh masing-masing gerakan. Kemudian kerangka teoritis ini akan diarahkan secara spesifik terkait dengan adanya perubahan nilai-nilai yang merupakan karakteristik gerakan sosial baru (kultural) dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Pemetaan teorisasi gerakan sosial diperlukan mengingat begitu banyaknya ahli dari berbagai aliran dan dalam rentang waktu yang berbeda.

Rajendra Singh

Ragam pendapat yang dilahirkan oleh para ahli tentang gerakan sosial pada dasarnya dapat dipilah dalam klasifikasi tradisi teoritik dari studi tentang gerakan sosial, yang meliputi15:

(22)

a) Klasik, meliputi studi perilaku kolektif dari kerumunan (crowd), kerusuhan (riot), dan pemberontakan (rebel) yang banyak dilakukan oleh teoritisi barat yang berorientasi pada ajaran psikologi sosial klasik dan sejarawan sebelum era tahun 1950-an. Beberapa contoh karya aliran ini di antaranya G. Tarde’s Laws of Imitation (1903), Gustave Le Bon’s The Crowd (1909), William McDougall’s The Group Mind (1920) dan E.D. Martin’s The Behaviour of Crowd (1929) yang didasarkan pada studi tentang perilaku kolektif.

b) Neo Klasik, aliran ini dihubungkan dengan tradisi utama dalam studi gerakan sosial lama, yangn biasa dipublikasikan setelah tahun 1950-an. Tradisi ini dibagi dalam dua model studi gerakan sosial lama yang berbeda, yaitu fungsionalis dan model dialektika Marxis. c) Kontemporer atau gerakan sosial baru (GSB) , tidak sebagaimana

gerakan sosial lama (klasik dan neo klasik). Orientasi GSB tidak meliputi diskursus ideologi yang mempertanyakan antikapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan kelas. Pada dasarnya GSB tidak tertarik untuk mempertanyakan ide revolusi. Paradigma ideologi dan orientasi GSB adalah sesuatu yang baru. GSB lebih menonjolkan pluralitas, yang ditunjukkan secara beragam melalui isu anti rasis, anti nuklir, pelucutan senjata, feminism, lingkungan, regionalisme dan etnisitas, kemerdekaan sipil, kebebasan individu dan perdamaian.16

Perubahan dari masyarakat modern menuju masyarakat post modern juga merefleksikan perubahan yang senada pada adanya perubahan bentuk gerakan sosial, yaitu dari gerakan klasik dan neo klasik yang biasa disebut gerakan sosial lama, menuju kepada gerakan sosial baru.17 Gerakan sosial lama selama ini berhubungan dengan “representasi” dari kapitalisme dan indutrialisme, yang merupakan ekspansi dan dominasi dari peradaban barat terhadap peradaban non barat. Di lain pihak GSB mengekspresikan kejenuhan terhadap representasi modernis, dengan cara menolak ide-ide materialistik dan lebih mengutamakan perbaikan kualitas kehidupan manusia seutuhnya18. Berdasarkan pada kasus aksi kolektif yang ada di

(23)

Dasun, studi disertasi ini lebih memfokuskan pada penjelasan teoritik yang dikemukakan oleh gerakan sosial baru (GSB).

Adapun beberapa karakteristik GSB, sebagaimana dikemukakan oleh Singh, pada dasarnya meliputi empat karaketeristik. 19 Pertama terkait dengan asumsi bahwa ruang sosial civil society semakin berkurang (keberdayaannya) karena kuatnya kontrol Negara dan ekspansi pasar, yang berakibat pada berkembangnya isu self defence dalam komunitas untuk menentang hal tersebut. 20 Kedua, mengubah paradigma Marxis tentang

konflik kelas dan kelas. Selama ini Marxisme melihat semua bentuk perjuangan adalah perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokan manusia juga disebut sebagai pengelompokan kelas. Padahal saat ini banyak perjuangan kontemporer yang tidak berbasis pada kelas dan menekankan pada isu non materialistik, yang melampaui Marxist dalam hal penjelasan istilah kelas dan pembentukan kelas. 21 Ketiga, GSB umumnya

mengembangkan politik akar rumput, aksi-aksi dari akar rumput, gerakan mikro dari kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan dasar kelembagaan yang terbatas. Menurut Cohen, GSB pada umumnya menanggapi masalah yang berakar dari civil society, yang bertujuan menata kembali hubungan antara negara, masyarakat dan ekonomi, serta menciptakan ruang publik untuk mengembangkan wacana demokratis tentang otonomi dan kebebasan individu dan kolektif.22 Keempat, struktur GSB ditentukan oleh pluralitas pencarian tujuan, sasaran dan orientasi yang berbasis pada heterogenitas sosial. Pada masa kini, transformasi diri dan konstruksi diri berkembang secara tak terbatas. Konsekuensinya,

(24)

bentuk aksi sosial dan gerakan adalah plural, mengikuti berbagai jejak, mengejar tujuan yang berbeda dan menyuarakan kepentingan yang beragam.23

Singh selanjutnya berpendapat bahwa perspektif GSB pada dasarnya meliputi teori mobilisasi sumber daya dan teori yang berorientasi identitas.24 Teori mobilisasi sumber daya merujuk pada pendapat Cohen, dimulai dengan tesis yang menolak penekanan peranan perasaan dan keluhan, serta menolak karakteristik gerakan yang diturunkan dari pendekatan perilaku kolektif. Teoritisi penganut aliran ini mempertanyakan asumsi konvensional yang menyatakan bahwa secara umum aktor dari mobilisasi aksi kolektif adalah orang-orang yang mengalami keterasingan dan ketegangan sosial. Asumsi dasar dari teori mobilisasi sumber daya menyatakan bahwa gerakan kontemporer membutuhkan bentuk komunikasi dan organisasi yang canggih, daripada sekedar terompet dan drum sebagaimana yang biasa dilakukan oleh gerakan sosial lama. Gerakan sosial baru merupakan sistem mobilisasi yang terorganisir secara rasional.25

Adapun teori berorientasi identitas, yang lebih banyak berkembang di Eropa, berkebalikan dari teori mobilisasi sumber daya (yang lebih banyak berkembang di Amerika), di mana ia secara umum bersifat non materialistik. Teori berorientasi identitas mengajukan pertanyaan tentang integrasi dan solidaritas dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi kolektif. Teori ini menolak upaya teori mobilisasi sumber daya yang memaksakan model rasional voluntaristik dan neo utilitarian untuk menjelaskan gerakan sosial dan aksi kolektif. Sebuah gerakan tidak selalu

(25)

mengekspresikan strategi kalkulasi untung atau rugi. Meskipun teori berorientasi identitas ini mempertanyakan tentang solidaritas dan integrasi, namun tidak mengadopsi pendapat Durkheimian tentang anomi dan turunannya sebagaimana disebutkan oleh Smelser seperti konsep ketegangan, keyakinan umum, dan sebagainya, yang biasanya relevan untuk menjelaskan perilaku kolektif.26

Pada akhirnya ditegaskan, bahwa meskipun komponen penyokong teori ini menerima beberapa elemen teoritik Marxist seperti perjuangan, mobilisasi, kesadaran dan solidaritas, namun menolak tesis reduksionisme dan determinisme materialistik sebagai basis pembentukan masyarakat. Para partisipan dalam aksi kolektif menurut perspektif ini menegaskan bahwa aksi yang mereka lakukan bukanlah dalam konteks sekedar memperjuangkan labour values, namun memperjuangkan keberadaan mereka sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian muncul kesepakatan umum bahwa gerakan yang berorientasi identitas menegaskan bahwa aksi kolektif merupakan ekspresi dari manusia untuk mencari identitas, otonomi dan pengakuan.27

Menilik kedua perspektif teoritik yang dikutip Singh dari Cohen dan Pizzorno tersebut terdapat persamaan bahwa keduanya menyatakan bahwa aktor yang berpartisipasi dalam mobilisasi kolektif adalah dilandasi kesadaran, rasional, berintegrasi dalam derajat tertentu, dan merupakan anggota masyarakat yang terorganisir. Namun di antara persamaan tersebut juga terdapat perbedaan yaitu, teori mobilisasi sumber daya lebih menekankan tesis tentang peran reason (kemampuan berpikir) dalam aksi kolektif; sementara teori yang berorientasi identitas menekankan peran

(26)

reflexion (gagasan) daripada reason dalam sebuah aksi kolektif dan gerakan sosial.

Donatella della Porta dan Mario Diani

Sementara itu della Porta dan Diani di sisi lain menyatakan bahwa teori gerakan sosial yang muncul sejak tahun 1930-an sampai 1970-an berhadap1970-an deng1970-an dua prinsip model teoritik yaitu model Marxist d1970-an model struktural fungsional (Smelser).28 Di Amerika, kritik terhadap struktural fungsional muncul dalam tiga perspektif utama, yaitu collective behaviour, resource mobilization, dan political process29. Berpijak dari sudut

pandang yang berbeda, masing-masing model pendekatan tersebut berusaha mengeksplorasi mekanisme yang menerjemahkan berbagai tipe ketegangan struktural ke dalam aksi kolektif (the ‘how’ of collective action)30. Sementara di Eropa, ketidakpuasan para intelektual terhadap Marxism melahirkan pengembangan perspektif ‘new social movements’ (gerakan sosial baru), yang fokus dengan transformasi struktur dasar konflik (the “why’ of action)31. Hal inilah yang membentuk adanya dua pendekatan dalam studi gerakan sosial, yang lazimnya disebut sebagai pendekatan Amerika dan pendekatan Eropa.32

Awal mula berkembangnya pendekatan ini tidak hanya didasarkan pada perbedaan antara tradisi intelektual Amerika dengan Eropa. Faktor

28Porta & Diani. Op.Cit. h : 2. 29 Porta & Diani. Ibid. h : 2

30 Porta & Diani. Ibid. h : 2; Alberto Melucci . 1982. L’Invenzione de Presente, Movimenti, Identita, Bisogni Individuali. Bologna : il Mulino.

31 Porta & Diani . Ibid . h : 2

(27)

lainnya adalah keragaman obyek studi33. Meskipun pendekatan tersebut lahir dalam latar sejarah yang sama pada akhir tahun 1960-an, namun terdapat perbedaan. Di Amerika Serikat, organisasi gerakan sosial lahir selama gelombang protes yang secara cepat menjadi pragmatis dan terstruktur, di mana sebagian besar menjelma sebagai kelompok kepentingan34. Sebaliknya, gerakan yang antagonistik terhadap sistem mempunyai karakter countercultural yang kuat dan dalam banyak kasus tampak jelas bersifat religius35. Di Eropa, kemunculan gerakan sosial banyak meminjam karakteristik dari gerakan buruh, termasuk penekanannya pada ideologi36.

Berikut ini dipaparkan empat perspektif dominan menurut della “The Trend of Social Movements in America: Professionalization and Resource Mobilization, dalam M.N. Zald & D. Mc Carthy, Social Movements in

Organizational Society, New Brunswick : Transaction, 1987 : 337-91 (originally published as The Trend of Social Movements In America. Morristown : General LearningPress, 1973; Joyce Gelb. 1989. Feminishm and Politics. A Comparative Perspective. Berkeley : University of California Press.

35 Porta & Diani . Ibid. h : 3; Luther Gerlach & Virginia Hine. 1970. People Power and Change. Indianapolis : The Bobbs-Merrill Company; Theodor Roszak. 1976.La Nascita di una Contracultura,Milan : Feltrinelli; E Burke Rochford. 1985. Hare Krishna in America. New Brunswick, NJ : Rutgers University Press; J. Milton Yinger. 1982. Contercultures. New York : Free Press.

(28)
(29)
(30)

olah perubahan kultural bisa dipisahkan dari isu-isu politik konvensional, seperti hukum dan keadilan distributif Sumber : Eyerman & Jamison (1991), Jenkish dan Klandermans (1995); Klandermans (1997); Canel (1997: Tarrow (1998); della Porta dan Diani (1999); Singh (2001) via Manalu (2009).

Keempat perspektif utama yang terdapat dalam kajian gerakan sosial tersebut, dinilai masih kurang dapat secara tepat untuk menjadi alat analisis terhadap fenomena yang diteliti dalam disertasi ini. Apabila dicermati maka terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan sekaligus kelebihan dari masing-masing perspektif dominan tersebut dalam menganalisis fenomena aksi kolektif perempuan pedesaan di Dasun.

(31)

Namun apabila kita cermati pendapat teoritisi GSB, pelaku GSB ini biasanya berasal dari kelas menengah atau profesional yang berpendidikan tinggi dan hidup dalam setting masyarakat post industri. Jika merujuk pada pendapat teoritisi GSB tersebut (terkait dengan pelaku dan setting) maka tentunya akan terdapat ketidaksesuaian yang mendasar dengan apa yang terjadi di Dasun. Pelaku GSB di Dasun adalah para perempuan pedesaan agraris, miskin, tinggal di lereng gunung yang terpencil, dengan sarana infrastruktur terbatas dan tidak mengenyam pendidikan tinggi. Oleh karena itu teori GSB maupun teori GSL yang ada dalam hal ini hanyalah acuan untuk memulai analisis terhadap fenomena aksi kolektif di Dasun. Besar kemungkinan teori-teori gerakan sosial yang telah ada selama ini tidak mampu menjadi dasar untuk menjelaskan fenomena di Dasun. Hal tersebut akan berimplikasi pada lahirnya sebuah teori gerakan sosial yang khas, yang mencerminkan lokalitas, dan bisa menjadi acuan bagi studi-studi lain yang dilakukan di Negara dunia ketiga dengan setting masyarakat yang mempunyai kemiripan dengan Dasun.

Adapun untuk melihat sejauhmana pencapaian aksi kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan di Dasun, dapat ditinjau dengan pendapat William Gamson (1975) via della Porta dan Mario Diani (1999). Menurut Gamson keberhasilan gerakan sosial dapat dilihat dari dua sisi, yakni pertama, adanya capaian-capaian baru (new gains) dan kedua, tingkat penerimaan (levels of acceptance)37. Pertama, capaian – capaian baru tersebut mengacu pada adanya perubahan nyata yang terkait dengan kebijakan publik yang menyangkut tuntutan masyarakat. Sedangkan yang kedua, bagaimana sebuah gerakan membawa hasil nyata dalam sistem

(32)

perwakilan kepentingan. Gamson menggabungkan dua variabel keberhasilan suatu gerakan sosial tersebut ke dalam suatu tipologi38 :

1. Full Response, Keberhasilan penuh yaitu baik dari sisi capaian baru maupun tingkat penerimaan, keduanya terpenuhi semua.

2. Co-optation, ada pengakuan tanpa dibarengi dengan pencapaian 3. Preemption, pencapaian tanpa pengakuan

4. Collapse, gagal total, tidak ada pengakuan dan pencapaian.39 Berdasarkan penjelasan teoritis yang dikemukakan Singh maupun della Porta dan Diani, menunjukkan bahwa hampir semua teori gerakan sosial berciri dominannya agen dalam mendorong gerakan sosial. Ini sulit digunakan sebagai penjelasan perubahan Dasun, sebab aksi kolektif Dasun justru merupakan antithesis dari perspektif teoritis tersebut diatas, yakni agen atau pemimpin merupakan produk kesadaran aksi kolektif. Sementara tolok ukur sebuah keberhasilan gerakan sosial sebagaimana yang ditawarkan Gamson masih perlu dipertentangkan dengan temuan di lapangan.

METODE

Disertasi tentang Gerakan Sosial Lokal Perempuan ini merupakan suatu penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian etnografi masa kini bermetode jamak yang meliputi observasi, partisipasi, analisis arsip, dan wawancara, jadi menggabungkan kelebihan dan menutupi kekurangan masing-masing teknik yang digunakan40. Sherry Ortner (1995) mensyaratkan dua hal yang harus dipenuhi dalam etnografi, pertama adanya

38 Donatella Della Porta dan Mario Diani. Ibid. h : 228 39 Donatella Della Porta dan Mario Diani. Ibid. h : 228

(33)

upaya peneliti untuk memahami kehidupan lain di luar dirinya. Di sini peneliti dituntut untuk dapat mendeskripsikan secara ketat dan secara sistematis menganalisis hubungan antara berbagai sendi kehidupan seperti agama, ekonomi dan kekerabatan. Tradisi dan tujuan etnografi sebelumnya, secara temporer tersingkirkan demi memperoleh “deskripsi yang padat”41 yang memungkinkan dilakukannya “interpretasi yang padat” -menggabungkan etnografi dengan biografi sekaligus pengalaman nyata.42 Kedua, peneliti memperoleh pengetahuan dengan mendayagunakan dirinya semaksimal mungkin.43

Penelitian untuk disertasi ini mengambil lokasi penelitian di Dasun, desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, yang terletak di lereng gunung Wilis. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa para perempuan yang bertempat tinggal di Dasun tersebut sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang (tahun 2012) sedang giat melakukan aktivitas kolektif yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari demi terwujudnya perbaikan kualitas kehidupan. Penelitian disertasi ini secara intesif telah dilakukan mulai pertengahan tahun 2008, kemudian dilanjutkan pada pertengahan tahun 2010 dan 2011 serta awal 2012, meskipun dengan durasi waktu yang berbeda-beda dalam tiap-tiap sesinya.

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan dapat dipetakan tiga kelompok subyek penelitian yang dibagi berdasarkan kebutuhan untuk menggali data dari pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan. Subyek

41 Geertz, C. 1973. “Thick Description : Toward an Interpretive Theory of Culture”dalam C. Geertz. The Interpretation of Culture : Selected Essays, New York : Basic Books, h : 6-9

42 Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research (edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, h : 54.

(34)

penelitian kelompok pertama ini terdiri dari beberapa perempuan yang aktif dalam menggagas dan menggerakkan aksi kolektif di Dasun. Mereka ini merupakan kunci yang dapat memberikan pengetahuan dan pemaknaan tentang apakah aksi kolektif di Dasun dapat dimaknai sebagai suatu gerakan sosial ataukah tidak. Dari mereka inilah cerita sejarah tentang mula pertama terbentuknya aksi kolektif sampai dengan perkembangannya pada saat terkini dapat diperoleh. Jadi ide dasar terbentuknya aksi kolektif, proses terbentuknya dan dinamika yang terbangun di dalamnya pada akhirnya dapat tergali secara utuh dari kelompok pertama ini.

Sedangkan subyek penelitian kelompok kedua adalah para perempuan yang tidak terakomodir dalam kegiatan yang dilakukan oleh para perempuan di Dasun, mereka adalah kelompok masyarakat termiskin dalam tatanan sosial di Dasun. Dalam hal ini peneliti memilih Rukanti untuk menyuarakan ketidakterwakilan perempuan yang sangat miskin untuk terlibat dalam kegiatan aksi kolektif. Adapun subyek penelitian kelompok ketiga, adalah warga masyarakat baik lelaki maupun perempuan yang mengetahui rangkaian kegiatan para perempuan tersebut sejak awal mula hingga salah satu aktivisnya dapat menduduki jabatan sebagai kepala desa. Dari kelompok ketiga ini diharapkan dapat diperoleh pengetahuan dan pemahaman secara mendalam mengenai sejarah terbentuknya serta dinamika gerakan perempuan tersebut, dalam hal ini Mulyono dan Zaini, serta beberapa tokoh masyarakat di desa Joho dinilai cukup mengetahui perkembangan berbagai kegiatan aksi kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan di Dasun.

(35)

dokumen baik yang ada dalam bentuk tulisan, foto maupun video, diperiksa kelengkapannya, kemudian dilakukan koding dan kategorisasi agar selanjutnya dapat dilakukan analisis. Karena studi ini bukan sekedar mendiskripsikan fenomena namun juga berupaya untuk dapat menjelaskan makna dibalik fenomena tersebut, maka dalam tiap – tiap kegiatan pengkategorian maupun interpretasi data selalu didialogkan dengan kerangka besar teori gerakan sosial.

GERAKAN SOSIAL LOKAL KAUM PEREMPUAN

Sulastri sebagai Produk Gerakan dan Penggerak Kaum Perempuan

(36)

menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah yang diselesaikan tidak sebatas pada masalah praktis ekonomis, namun lebih pada perbaikan dan peningkatan harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Berbagai tujuan aksi kolektif yang ada dapat dilihat dalam table berikut.

Tabel 3 : Tujuan Aktivitas Kolektif

No Jenis Aktivitas Tujuan

1. Arisan Beras Raskin Ketahanan pangan, cadangan dana sosial

2. Sistem Pemeliharaan

Kambing Bergulir

Membayar gaji guru mengaji di TPQ/TPA

3. Pendirian Koperasi Menambah alternatif tempat

meminjam uang, mengurangi ketergantungan pada bank plethet,

5. Penghijauan Menyelamatkan lahan dari bencana

tanah longsor dan banjir, mendapatkan hasil dari tanaman yang ditanam

6. Deklarasi Paguyuban Menetapkan arah dan tujuan bersama perjuangan; menunjukkan eksistensi kaum perempuan Dasun melalui 8. Pendirian PAUD Membekali pendidikan pada

anak-anak usia dini

(37)

Keberhasilan kaum perempuan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada tersebut menguatkan mereka untuk melangkah lebih jauh dengan mendeklarasikan eksistensi paguyuban perempuan Sido Rukun. Deklarasi paguyuban ini menentukan arah perubahan yang hendak diwujudkan oleh kaum perempuan Dasun. Insiden penghinaan yang dilakukan Kasun Sutejo terhadap perwakilan kaum perempuan paguyuban sebelum acara pembacaan deklarasi, dapat dimaknai sebagai bentuk resistensi kekuasaan desa terhadap peneguhan eksistensi aksi kolektif kaum perempuan di Dasun.

Sementara kaum laki-laki Dasun justru memberikan dukungan penuh kepada kaum perempuan, peneguhan eksistensi aksi kolektif kaum perempuan melalui deklarasi, tidak dimaknai sebagai ancaman eksistensi laki-laki. Aksi kolektif yang dilakukan kaum perempuan Dasun bukanlah ditujukan untuk menggeser eksistensi kekuasaan lelaki. Aksi kolektif kaum perempuan ditujukan untuk melakukan perbaikan kualitas kehidupan sebagai manusia seutuhnya yang tidak lagi berbasis pada perbedaan gender. Artinya perjuangan yang dilakukan kaum perempuan melalui aksi kolektif, tidak melulu untuk kemajuan kaum perempuan, tapi juga untuk laki-laki. Kaum perempuan Dasun tidak menempatkan kaum lelaki sebagai lawan yang harus dikalahkan, namun justru kaum perempuan menempatkan diri sebagai penyokong laki-laki.

Boks 1 : Kami Membantu Suami

(38)

ngga perlu ke plethet.Peristiwa terpilihnya saya menjadi Lurah, justru membuat bapak-bapak di sini sadar bahwa perempuan itu juga mampu lho, ndak kalah sama laki-laki. Sejak itu para istri di Dasun mulai diajak rundingan suami untuk ambil keputusan. Pengelolaan uangpun juga mulai ditangani perempuan. Jadi sekarang bapak yang minta uang sama ibu-ibu.(Sulastri)

Tujuan aksi kolektif semacam ini dapat dijelaskan dengan meminjam salah satu karakteristik GSB yang dikemukakan oleh Singh yang bersumber pada pemikiran Touraine. GSB tidak sebagaimana gerakan sosial klasik, didefinisikan oleh pluralitas pencarian, tujuan, sasaran, orientasi serta heterogenitas basis sosial partisipan. Pada masa kini transformasi diri dan konstruksi diri tak terbatas, konsekuensinya bentuk-bentuk aksi kolektif dan gerakan menjadi plural dan mengikuti berbagai jejak, mengejar tujuan yang berbeda dan menyuarakan kepentingan yang beragam.

(39)

dikonstruksi untuk menempati ruang domestik dan laki-laki di ruang publik, saat ini telah terjadi redefinisi posisi dan peran perempuan, dan batas-batas ruang domestik dan publik pun menjadi kabur.

Kekaburan identitas dengan peran gender inilah yang membentuk aliansi kekuatan antara kaum perempuan Dasun dengan kaum lelaki Dasun yang tidak memiliki kekuasaan di tingkat desa berhadapan dengan penguasa desa. Aliansi ini berhasil menumbangkan resistensi kekuatan desa dan memperkuat eksistensi aksi kolektif perempuan yang ada melalui peristiwa Deklarasi Paguyuban. Kontestasi kepentingan tidak lagi antara kaum perempuan berhadapan dengan lelaki, namun antara mereka yang didominasi berhadapan dengan yang mendominasi kekuasaan. Kontestasi kepentingan semacam ini dapat dilihat jelas dalam proses kemenangan Sulastri dalam pencalonannya sebagai Kepala Desa.

(40)

Padahal aksi kolektif tersebut sejak awal tidak lepas dari gagasan yang dikemukakan oleh Nurpi’ah, yang mendapatkan dukungan penuh Sulastri. Kondisi pemerataan porsi kepengurusan yang sekaligus memunculkan orang-orang untuk memimpin kegiatan ini menunjukkan bahwa tiap aksi kolektif yang ada sanggup melahirkan pemimpin.

Sebelum terpilihnya Sulastri sebagai ketua paguyuban perempuan, sempat muncul nama Sarti dan Patemi, yang di awal kegiatan kurang terlihat peranannya. Secara guyonan mereka pada mulanya memilih Sarti, pertimbangannya usianya cukup senior dibandingkan ibu-ibu yang lain, kepribadiannya yang terbuka, luwes dan dapat mencairkan suasana, dianggap tepat untuk memimpin paguyuban. Namun, pilihan tersebut dibatalkan, karena Sarti sama sekali tidak bisa membaca dan menulis. Keterbatasan kemampuan Sarti dikhawatirkan akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Kemudian mereka berembug lagi, hingga sampai pada keputusan untuk memilih Patemi. Pilihan ini didasarkan atas senioritas dan selama ini Patemi dapat dijadikan panutan oleh ibu-ibu yang lain. Tapi keputusan inipun belum final, karena ketika berhadapan dengan Kasun Sutejo, mental Patemi hancur akibat adanya ucapan yang bernada merendahkan dari Kasun. Kemunduran Patemi tersebut sempat menggoyahkan harapan kaum perempuan Dasun untuk menyelenggarakan deklarasi paguyuban.

(41)

kekuasaan nyata yang utuh, belum dirasakan kebutuhannya karena ruang lingkupnya masih internal kaum perempuan Dasun. Mereka masih dapat melakukan semuan kegiatan secara bersama-sama, meskipun secara formal telah ada struktur kepengurusan. Kebutuhan akan adanya pemimpin besar tersebut mulai dirasakan ketika mereka berencana mendeklarasikan keberadaan paguyuban perempuan Sido Rukun yang menaungi seluruh kegiatan kaum perempuan Dasun.

Boks 2 : Sulastri Sang Ketua Paguyuban

(42)

Keunikan atau hal spesifik yang membedakan aksi kolektif di Dasun dengan aksi kolektif di tempat lainnya, adalah kemampuannya dalam memproduksi pemimpin. Pada umumnya sebuah aksi kolektif ataupun gerakan sosial dapat berjalan manakala terdapat seorang pemimpin yang menggerakkannya. Namun dalam kasus Dasun, pemimpin justru dilahirkan melalui sebuah proses kolektivitas yang dinamis. Keberadaan pemimpin di dalam aksi kolektif di Dasun tidak terlebih dulu ada dibandingkan gerakan itu sendiri. Dalam tiap-tiap kemunculan aksi kolektif yang merespon masalah yang ada, selalu diinisiasi oleh sekelompok perempuan, dan tidak pernah muncul individu secara tunggal. Oleh karena itu dengan proses terpilihnya Sulastri seperti itu, tidak berlebihan kiranya bila dinyatakan bahwa gerakan sosial yang dilakukan kaum perempuan Dasun telah berhasil memproduksi pemimpin. Pemimpin yang semula belum ada, lahir karena sebuah proses aksi kolektif, dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru di tempat lain yang berada di sekitar dusun Dasun.

(43)

tingkat dasa wisma, dan memasuki ruang-ruang aksi kolektif kaum perempuan yang tersebar di desa Joho.

Unjuk kekuatan pada lawan – lawan politiknya, ditunjukkan Sulastri dengan cara memobilisasi hampir seluruh kaum perempuan dan sebagian laki-laki dari Dasun dan bahkan juga dari dusun sekitarnya untuk pergi ke pantai Popoh Tulung Agung. Dalam upaya mobilisasi ini, seluruh komponen pendukungnya memfasilitasinya dengan sumber daya yang mereka miliki. Untuk sarana transportasi, disediakan beberapa mobil truk dan belasan Chevrolet yang telah dilengkapi bahan bakar dan pengemudinya. Masalah konsumsi terselesaikan dengan sumbangan berbagai bahan makanan, yang kemudian dimasak oleh anggota paguyuban menjadi ratusan nasi bungkus.

Fenomena semacam ini tentunya tidak dapat dijelaskan dengan teori mobilisasi sumber daya yang juga termasuk dalam perspektif GSB sebagaimana yang dikemukakan oleh Singh maupun della Porta dan Diani. Bagaimana mungkin orang miskin mau mengeluarkan barang ataupun tenaga yang dimilikinya untuk sebuah kepentingan, yang belum tentu menguntungkan dirinya. Tesis utama teori mobilisasi sumber daya dalam melihat aksi kolektif terlalu menekankan pada faktor reason dan selalu menilai sebuah aksi kolektif dari perhitungan cost dan benefit. Pandangan semacam ini tidak terlepas dari akar teori mobilisasi sumber daya yang bersumber pada pemikiran Mancur Olson, yang seorang ekonom dalam karyanya The Logic of Collective Action.

(44)

pada reflexion, menempatkan aksi kolektif para partisipannya bukanlah dalam konteks sekedar memperjuangkan labour values, namun dalam upaya memperjuangkan keberadaan mereka sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian apa yang dikeluarkan kaum perempuan Dasun baik berupa tenaga maupun barang tidak dihitung berdasarkan perhitungan ekonomi yang menekankan untung ruginya, namun lebih ditujukan untuk menegaskan eksistensi aksi kolektif mereka sebagai bentuk ekspresi diri manusia untuk mencari identitas, otonomi dan pengakuan.

Kemenangan Sulastri menjadi Kepala Desa selanjutnya dapat dimaknai sebagai pintu masuk keterwakilan perempuan Dasun dalam wilayah pusat kekuasaan desa. Sulastri dapat melakukan berbagai perubahan sistem dan struktur masyarakat yang telah berjalan terkait dengan cara pandang, sikap dan perilaku para penentu dan pengambil kebijakan yang semula tidak memberi ruang bagi perempuan untuk merepresentasikan suaranya. Representasi perempuan melalui kebijakan Sulastri yang menetapkan kuota 30 %kehadiran perempuan dalam tiap-tiap rapat mulai dari tingkat RT sampai dengan desa, telah mereposisi peran perempuan dalam struktur sosial masyarakat Dasun.

Implikasi Pencapaian Gerakan Sosial Perempuan Pedesaan

(45)

Bidang Sosial Budaya

Prestasi yang diraih Sulastri dalam Lomba Potensi Produk Olahan Tanaman Pangan dan Holtikultura di tingkat kecamatan, kabupaten hingga propinsi, menempatkan Sulastri dalam jajaran elit desa. Eksistensi paguyuban perempuan semakin mengedepan dengan terpilihnya paguyuban untuk mengikuti lomba kader pelopor tingkat propinsi. Di tingkat propinsi ini Sulastri terpilih sebagai juara III. Prestasi paguyuban perempuan Sido Rukun dan keberhasilan kaum perempuannya dalam mengatasi masalah-masalah nyata dalam kehidupan, telah menginspirasi dusun dan desa-desa lainnya.

Salah satu dusun yang tergerak mengikuti jejak perempuan Dasun, adalah dusun Nongkopait yang juga terletak di desa Joho. Tersebut Suparmi salah satu warga perempuan Nongkopait yang selama ini telah menjadi anggota luar biasa Paguyuban perempuan Sido Rukun di Dasun tergerak untuk mengikutinya. Suparmi bersama Widyaningsih membuat pertemuan yang dihadiri oleh sebagian besar warga dusun Nongkopait dan beberapa dusun lain. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk membuat arisan beras sebagaimana yang telah dilakukan oleh paguyuban perempuan Sido Rukun. Kegiatan arisan beras inipun akhirnya juga berkembang dengan didirikannya usaha koperasi.

(46)

Bidang Politik

Keterlibatan paguyuban perempuan dalam aktifitas sosial politik dilakukan dengan cara mengusung Sulastri untuk maju menjadi Kepala Desa menunjukkan kesiapan kaum perempuan maju dalam persaingan politik. Keberhasilan Sulastri menjadi Kepala Desa membuktikan bahwa semangat perubahan tersebut ada dalam diri perempuan. Kaum perempuan Dasun yang semula hanya terlibat dalam aktivitas yang memang dikhususkan untuk perempuan, mulai memasuki ruang publik yang lebih luas. Perempuan mulai diperhitungkan kehadirannya dalam tiap-tiap kegiatan pengambilan keputusan. Adanya ketentuan harus dipenuhinya kuota 30 % kehadiran perempuan dalam tiap-tiap pertemuan kemasyarakatan, menjadi bukti peningkatan kapasitas dan peran perempuan di tengah kehidupan bermasyarakat. Kewajiban kehadiran perempuan ini diterapkan mulai dari lingkungan terkecil di RT, dusun sampai dengan di tingkat desa.

Bidang Ekonomi

(47)

Bidang Lingkungan

Usaha keras Sulastri bersama kaum perempuan untuk menyelamatkan lingkungan dengan melakukan penanaman hutan kembali dan penghijauan di berbagai kawasan di Dasun didasari oleh kekhawatiran terjadinya banjir dan longsor yang pernah terjadi di tahun 1982. Bencana tersebut mengakibatkan ratusan penduduk kehilangan tempat tinggal. Bahkan longsor besar tersebut memakan korban jiwa hingga 49 orang penduduk Dasun. Akibat dari bencana tersebut, pemerintah telah berencana menutup wilayah dusun Dasun dan meminta warganya tinggal di tempat lain. Tekat kuat Sulastri untuk menyelamatkan dusunnya, menuntunnya untuk menggerakan kaum perempuan melakukan penanaman secara besar-besaran di hingga mencapai 46 hektar di tahun 2003. Usahanya mendapat respon dari pemerintah kabupaten Kediri, dengan diadakannya penanaman 38 ribu batang aneka tanaman di Desa Joho juga di kawasan sumber air Bolu-Bolu, Sumber Podang, Sumber Lodho, di turus-turus jalan dan di lahan kosong milik warga masyarakat. Gerakan ini dilakukan oleh 800 orang perempuan dari berbagai organisasi perempuan pada tahun 2007, yang dipimpin langsung oleh istri Bupati masa itu.44 Pemberian bantuan berupa bibit pohon tersebut terus berkelanjutan sepanjang tahun. Pada tahun 2011 kemarin Kelompok Tani Wilis Subur mendapat 26 ribu bibit pohon tanaman keras yang dibagikan kepada penduduk Dasun. Untuk bibit pohon durian dan cengkeh dibagi secara merata tiap KK mendapatkan 2-5 bibit pohon durian dan cengkeh, untuk bibit tanaman lainnya boleh mengambil sesuka hati.

Merujuk pada pencapaian gerakan sosial yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum

44 http://kedirikab.go.id/index.php?

(48)

perempuan pedesaan di Dasun membuahkan kesuksesan. Kesuksesan sebuah gerakan jika mengacu pada pendapat Gamson via della Porta dan Diani (2004) dapat dilihat dari dua sisi, yakni pertama, adanya capaian-capaian baru (new gains) dan kedua, tingkat penerimaan (levels of acceptance)45.

Pertama, terkait capaian-capaian baru ini mengacu pada adanya perubahan nyata yang terkait dengan kebijakan publik yang merupakan tuntutan masyarakat. Salah satu contoh perubahan nyata adalah adanya kebijakan yang berhasil diterapkan Lurah Sulastri terkait dengan kuota kehadiran perempuan sebesar 30% di tiap-tiap kegiatan rapat. Kehadiran perempuan sebanyak 30% ini bukan hanya formalitas semata, sebagaimana yang terjadi dalam proyek-proyek pemberdayaan yang dilakukan pemerintah. Para perempuan ini hadir secara nyata dalam rapat dan berani menyuarakan pendapatnya. Keberanian menyuarakan pendapat ini tidak lepas dari pengalaman mereka dalam berbagai aktivitas kolektif yang bernaung di bawah paguyuban perempuan Sido Rukun. Keterlibatan perempuan dalam tiap-tiap pengambilan keputusan inilah yang menjadi pintu masuk terakomodirnya kebutuhan perempuan dalam pembangunan desa. Sedangkan yang kedua, terkait dengan keberhasilan gerakan membawa hasil nyata dalam sistem perwakilan kepentingan. Keberhasilan paguyuban Sido Rukun mengantarkan Sulastri sebagai Kepala Desa merupakan bukti nyata bahwa kepentingan kaum perempuan dapat terwakili. Selain itu juga ada anggota paguyuban yang masuk dalam jajaran BPD. Kenyataan ini jelas menunjukkan keberhasilan gerakan dalam menyuarakan kepentingan para perempuan yang diwakilinya.

(49)

Berdasarkan temuan tersebut maka dua variable keberhasilan suatu gerakan sosial yang dikemukakan oleh Gamson dapat terpenuhi. Dengan demikian mengacu pada Gamson, keberhasilan gerakan sosial di Dasun masuk dalam tipologi full response, yaitu keberhasilan dalam dua aspek secara penuh baik dari sisi capaian maupun tingkat penerimaan.

KESIMPULAN

(50)

biasanya sudah pada tahap post industri, dan pelakunya pun berasal dari kelas menengah.

2. Implikasi pencapaian gerakan sosial di Dasun dipilah dalam ranah rumah tangga dan kehidupan masyarakat. Dalam ranah rumah tangga terlihat adanya perubahan relasi gender khususnya dalam pengelolaan keuangan (kontrol keuangan mulai bergeser kepada perempuan) dan pengambilan keputusan (suami melibatkan perempuan). Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat ditunjukkan dengan adanya berbagai capaian yang diperinci dalam bidang sosial budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan. Merujuk pada pencapaian gerakan sosial yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum perempuan pedesaan di Dasun telah berhasil sepenuhnya. Keberhasilan sebuah gerakan jika mengacu pada pendapat Gamson via della Porta dan Diani dapat dilihat dari dua sisi, yakni pertama, adanya capaian-capaian baru (new gains) dan kedua, tingkat penerimaan (levels of acceptance)46. Pertama, terkait capaian-capaian baru ini mengacu pada adanya perubahan nyata yang terkait dengan kebijakan publik yang merupakan tuntutan masyarakat, ditunjukkan dengan adanya kebijakan mengakomodir suara perempuan (30%) dalam tiap pengambilan keputusan mulai dari tingkat RT sampai desa. Kedua, terkait dengan keberhasilan gerakan membawa hasil nyata dalam sistem perwakilan kepentingan, yaitu terpilihnya Sulastri sebagai Kades, dan terakomodirnya warga Dasun dalam lingkaran kekuasaan desa baik di bidang eksekutif maupun legislatif.

Dari kedua kesimpulan tersebut, setidaknya ada beberapa proposisi yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu :

(51)

1) Pemimpin gerakan di Dasun merupakan produk dari gerakan sosial itu sendiri, pemimpin lahir karena sebuah proses kolektivitas, dan keberadaanya tidak terlebih dulu ada dibandingkan gerakan itu sendiri. 2) Gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum perempuan Dasun mampu

mendorong munculnya replikasi aksi kolektif yang dapat memproduksi pemimpin gerakan di wilayah sekitarnya.

3) Aksi kolektif Di Dasun dapat berkembang karena dilandasi oleh adanya kesadaran kolektif dan solidaritas. Aksi kolektif yang ada dapat disebut sebagai gerakan sosial karena telah terpenuhinya unsur kolektivitas atau kebersamaan, tujuan bersama yang ditetapkan, pengorganisasian yang longgar, pemimpin, spontanitas dan bergerak diluar jalur kekuasaan formal.

4) Kekaburan identitas dengan peran gendernya telah membentuk aliansi kekuatan antara kaum perempuan Dasun dengan kaum lelaki Dasun yang tidak memiliki kekuasaan di tingkat desa berhadapan dengan penguasa desa.

5) Aliansi kekuatan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki di Dasun berhasil menumbangkan resistensi kekuatan desa dan memperkuat eksistensi aksi kolektif perempuan yang ada melalui peristiwa Deklarasi Paguyuban.

6) Kontestasi kepentingan antara yang didominasi melawan yang mendominasi kekuasaan melahirkan kekuasaan baru dengan beralihnya kekuasaan kepada yang didominasi.

7) Gerakan sosial lokal perempuan terbentuk oleh dorongan kesadaran kolektif dan solidaritas untuk meraih kemanusiaan yang utuh.

(52)

mampu menggerakan berkembangnya suatu gerakan sosial pada masyarakat miskin.

9) Gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum perempuan berimplikasi pada adanya reposisi dan redefinisi peran perempuan dalam tataran rumah tangga dan masyarakat.

10) Gerakan sosial merupakan ide dasar dari sebuah pemberdayaan yang sesungguhnya.

IMPLIKASI TEORITIK

Beberapa implikasi teoritik yang dihasilkan oleh studi ini meliputi beberapa hal, yaitu :

Pertama, temuan disertasi ini membantah pendapat James C. Scott, Moore Jr, Mc Adam, Tarrow dan Tilly yang pada intinya menyatakan bahwa sebuah gerakan sosial mustahil ada, tanpa keberadaan seorang pemimpin. Pentingnya faktor kepemimpinan, menurut McAdam, Tarrow dan Tilly terletak pada peranannya dalam membangun suatu frame untuk memobilisasi suatu gerakan perlawanan. Sementara Scott, mengasumsikan bahwa gerakan perlawanan yang dilakukan petani tidak akan terjadi bila tidak ada pemimpin yang menggerakkannya. Asumsi Scott ini juga diyakini oleh B. Moore Jr, yang menyatakan bahwa gerakan petani bisa menjadi kekuatan yang besar karena ada pemimpinnya yakni elit desa.

Gambar

Tabel 3 : Tujuan Aktivitas Kolektif

Referensi

Dokumen terkait

(ρ) = 0,005 < 0,05, dan r = -0,501, sehingga ditetapkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara gaya kepemimpinan otoriter dengan motivasi berprestasi atlet

Faktor lain yaitu adanya peluang penciptaan karya dimana belum pernah ada yang mengangkat cerita legenda Roro Kembang Sore ke dalam wujud tokoh wayang sehingga menjadi

Karena itu, tulisan ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi kebijakan fiskal pemerintah dan pengalokasian anggaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

1) Hasil preparat yang dibuat oleh mahasiswa dalam praktikum Zoologi Invertebrata dengan topik Arthropoda yaitu membuat preparat larva nyamuk, sebanyak 12,5%

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada sampel tanah aluvial pada tingkat pancang dan pohon, serta sampel tanah gambut tergenang pada

Teori ketergantungan ini muncul dengan asumsi bahwa tidak ada daerah atau negara yang otonom di dunia ini, semua turut serta dalam ekonomi

Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh judul Tugas Akhir yang layak dan bermanfaat, serta dapat mendukung proses perencanaan dan perancangan desain Wisata Peternakan

Kebijakan Sebagai acuan untuk pemasangan Implan Referensi Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi 2011 Prosedur ALAT: 1) Meja periksa untuk berbaring klien 2) Alat penyangga lengan