BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Homoseksual
Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang:
heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).
Istilah ¡§homoseksual¡¨ paling sering digunakan untuk menggambarkan perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah gay dan lesbian
dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi kelompok sosial yang memiliki label sama.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk
pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:
1. Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang
lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.
2. Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli
3. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu
kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia,
2007).
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan
ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
homoseksual.
2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual
Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara
faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin ¡V Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal
homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke
orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).
Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme
berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa
yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,
dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual
secara lahiriah (Carroll, 2005).
Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang terbentuknya perilaku homoseksual.
2.2.1 Pendekatan Biologis
Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang mengatakan
bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon, atau sifat (trait) fisik sederhana.
1.Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan
melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturuan ibu,
menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam
Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga
2.Hormon
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki
tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner, 1988), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut (Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama
kehamilan (yang biasa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal
mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).
Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah pada
homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988).
Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat
testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan tingkat estrogen
yang lebih rendah) (Dancey, 1990). 3.Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak
penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu
pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil)
dengan pria heteroseksual. Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000) menemukan bahwa
lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis – mendukung ide bahwa lesbian
mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal kehidupannya.
2.2.2 Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal homoseksual. Pendekatan Sosiologis melihat perkembangan perilaku
homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir pada orang tertentu (Carroll, 2005).
1. Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik
pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.
Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan
Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang
normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak
terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi
identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya – pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan
dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh
yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak
biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian
menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi,
beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu
intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber
Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari 100
lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau
dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita lainnya (Carroll, 2005).
2. Ketidaknyamanan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminism daripada
pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995; Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi
tidak memiliki hubungan sebab akibat.
Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau ”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka,
menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi
homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki
lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990).
Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak perempuan yang tidak nyaman dengan gendernya, menjadi ”tomboy,” tidak berkorelasi
gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.
3. Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh
lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar
15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki
juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria biasa muncul lebih cepat daripada wanita.
4. Teori Behavioris
Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku
homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh,
seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang
menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).
5. Bahasa dalam Sub Kultur Kaum Homoseksual
Orang-orang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda lazimnya berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini boleh jadi
menyangkut dialek, intonasi maupun kosakata yang digunakan untuk berbicara. Bahasa adalah istitusi sosial yang dirancang, dimodifikasikan dan dikombinasi
untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karena bahasa dari budaya satu berbeda dari budaya lain dan sama pentingnya bahasa dari suatu subkultur berbeda dari bahasa dari subkultur yang lain (Montgomery,
1986) dalam Devito (1958; 157).
Terdapat dua pengelompokan bahasa. Yaitu bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal bisa berupa penggunaan kata yang dsampaikan secara langsung.
Sedangkan bahasa non verbal itu berupa isyarat-isyarat kata yang dikeluarkan dari reaksi wajah, gerakan tubuh serta simbolsimbol yang dihasilkan dari panca indera
kita sendiri. Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Keduanya dapat berlangsung spontan bahkan serentak.
Dalam pembahasan ini yang dimaksud subkultur adalah
kelompok-kelompok dalam sebuah kultur yang besar. Ini didasarkan atas wilayah geografis, pekerjaan, orientasi afeksi, guru, seniman, heteroseksual, homoseksual. Semuanya dapat dipandang sebagai subkultur tergantung pada konteksnya.
subkultur tertentu yang didalam kulturnya lebih dominan. Ada beberapa jenis
subbahasa yang banyak dikenal adalah argot, cost, jargon dan slang (Sihabudin,
2011:77). Begitu juga dalam komunikasi antar budaya terdapat beberapa subkultur. Salah satunya antara lain bahasa “Argot”. Permasalahannya bahasa
yang digunakan sehari-hari oleh kaum homoseksual dalam berinteraksi sesama komunitasnya termasuk dalam bagian bahasa “Argot”.
Argot adalah kosakata khusus yang berkembang di kalangan dunia hitam.
Misalnya pencopet, pembunuh, germo dan pelacur. Sebuah subkultur yang dapat dikatakan menyimpang. Dalam bentuknya yang murni argot tidak dimengerti oleh orang luar, tetapi karena sering diucapkan di film atau televisi, bahasa
tersembunyi itu bisa dikenal. Contohnya mami (germo wanita), pentongan istilah waria untuk menyatakan alat kelamin laki-laki dan masih banyak argot lain yang berkembang di kalangan masyarakat seperti observasi penelitian (Sihabudin,
2011:81).
Bahasa gaul kaum homoseksual berdasarkan penelitian yang peneliti
lakukan menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya duta (duit/uang), maharani (mahal) sapose (siapa), kemandro chint (kamu mau kemana), lekong (laki-laki), nek/mak/chint/cun (panggilan akrab untuk
homoseksual), kelinci (kecil), gedong (besar), inang (iya), rexona (rokok), tinta
mawar (tidak mau), cucox (cakep/keren) sekong (gay),lesbong (lesbi).
Sebagian besar penggunaan bahasa gaul kaum homoseksual hampir sama dengan penggunaan bahasa gaul kaum waria. Sehingga bahasa gaul yang
menarik perhatian komunitas mereka di kota Serang lebih mengutamakan
permainan mata. Walaupun di berbagai daerah memiliki tanda/symbol tersendiri
bagi kaum homoseksual untuk berkenalan dengan orang lain. Namun bagi homoseksual yang ada dikota Serang lebih menekankan permainan bahasa tubuh mereka.
Homoseksualitas juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin yang sama
(Oetomo, 2001:6). Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia homoseksualitas dimasukan dalam kategori gangguan psikoseksual, dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau
preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu berharap yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari cara untuk mengubahnya”,
artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak
tenang dengan orientasi seksual dan bermaksud mengubahnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1998:115).
Teori yang digunakan dalam penelitian yaitu berhubungan dengan Komunikasi Interaksi Simbolik yang berawal dari kedekatan rasional dan seterusnya kedekatan yang terjadi melalui proses bertahap pengungkapan diri
dengan menggunakan simbol-simbol yang telah di akui kebersamaan anata
anggota komunitas dalam pengungkapan diri. Akhirnya mencapai proses tahap dangkal sampai tahap intim. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner
(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna
yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta
menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,
selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik (Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2007), antara lain:
1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. 2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu
dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat,
secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik
tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara
bersama.
2. Pentingnya konsep mengenai diri
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep
diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan
pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan
pada interaksi sosial dengan orang lainnya. 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa
norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatannya. Penelitian ini mengacu pada teori pendukung pertukaran social (social
exchange) yaitu model yang digunakan untuk menganalisis hubungan
Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial
adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi
kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami
adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam
hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya”.
2.2.3. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial
menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir
budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).
Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang – orang
secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup
2.2.4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi
Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon,
dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminnya
atau tidak.
Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis. Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”
dan menarik.
2.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual
Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai
tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.
Tahapan 1: Identitiy confusion.
Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay
atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala kebiasaan dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa
identitasnya (seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun tidak percaya bahwa dia adalah gay ”yang sebenarnya”).
Tahapan 2: Identity comparison.
Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin
merasa berbeda dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang
heteroseksual.
Tahapan 3: Identity tolerance.
Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya
mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu
masih tidak membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap menjalankan gaya hidup ganda.
Tahapan 4: Identity acceptance.
Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada
teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya
sendiri dalam budaya homoseksual. Tahapan 5: Identity pride
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan
dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok
dengan gaya hidupnya.
Tahapan 6: Identity synthesis
Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari ketidak benaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay
dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya
hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah
selesai.
Menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam
kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat
mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.
2.4. Pengertian Homoseksual (Gay)
Colin Spencer mengemukakan bahwa homoseksual merupakan sebuah
rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis atau tidak, di mana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin
yang dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk
melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel,1998: 489).
Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis
kelamin yang sama (Kendall ,1998: 375).
Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 41), juga mendefinisikan homoseksual
sebagai suatu kecenderungan yang kuat akan daya tarik erotis seseorang terhadap orang lain dengan jenis kelamin yang sama. Istilah homoseksual dapat digunakan baik untuk pria , yang lebih dikenal dengan istilah gay, ataupun wanita lebih
dikenal dengan istilah lesbian.
Michael (Kendall, 1998: 144), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam menentukan seseorang itu homoseksual (gay), yakni sebagai berikut:
1. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan dirinya
2. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan jenis kelamin dengan dirinya
3. Mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa gay adalah
laki-laki yang mempunyai ketertarikan seksual pada sesama jenis dan mempunyai kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial dengan sesama jenis. Dalam menentukan bahwa seseorang itu adalah gay ada beberapa kriteria yaitu
dengan dirinya, keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki
kesamaan jenis kelamin dengan dirinya, mengidentifikasi diri sebagai gay.
2.5. Jenis – jenis Homoseksual (Gay)
Homoseksual atau gay menurut Kartini Kartono (1989: 73), dapat digolongkan dalam tiga bagian yaitu:
1. Homoseksual yang aktif, yaitu gay yang bertindak sebagai pria yang agresif.
2. Homoseksual yang pasif, yang bertingkah laku lebih dominan sebagai wanita dan memiliki kecenderungan feminim
3. Homoseksual yang bergantian peranan, kadang – kadang memerankan laki – laki dan dilain waktu memerankan wanita.
Pendapat lain diungkapkan oleh Coleman (A. Supratiknya,1995: 95), yang menggolongkan gay atau homoseksual berdasarkan kualitasnya dalam beberapa
jenis yaitu:
1.Homoseksual tulen, homoseksual jenis ini memenuhi gambaran stereotip tentang laki–laki yang cenderung lebih keperempuan-perempuanan, yaitu
suka berperilaku dan mengenakan pakaian perempuan
2.Homoseksual malu – malu, yaitu laki – laki yang memiliki hasrat
homoseksual akan tetapi tidak berani menjalin hubungan personal yang
intim dengan orang lain untuk kegiatan homoseksual.
3.Homoseksual tersembunyi, biasanya berasal dari golongan menengah keatas dan memiliki status sosial yang tinggi, sehingga biasanya hanya diketahui
4.Homoseksual situasional, homoseksual jenis ini terjadi pada situasi yang
mendesak di mana tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hubungan
dengan lawan jenis, diantaranya dapat ditemui pada situasi khusus seperti perang dan di penjara. Sehingga tinggkah laku homoseksual timbul sebagai usaha untuk menyalurkan dorongan seksualnya.
5.Biseksual, homoseksual jenis ini mempraktekan kegiatan homoseksual dan heteroseksual secara sekaligus, homoseksual jenis ini bisa mendapatkan
kepuasan seksual dari lawan jenis dan sesama jenis.
6.Homoseksual mapan, homoseksual jenis ini dapat menerima homoseksualitas mereka, memenuhi peran kemasyarakatan secara
bertanggung jawab dan mengikatkan diri pada suatu komunitas.
Pendapat lain tentang penggolongan homoseksual atau gay adalah berdasarkan PPDGJ II Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1983 yang
disusun oleh psikolog dan psikiater Indonesia mengelompokan homoseksual dalam dua jenis, yaitu;
1. Homoseks ego sentonik, merupakan homoseksual yang merasa tidak terganggu oleh orientasi seksualnya.
2. Homoseks ego distonik, merupakan homoseksual yang merasa
selalu terganggu olek orientasi seksualnya dan mengakibat
timbulnya konflik psikis, konflik psikis internal individu ini akan menimbulkan perasaan bersalah, malu, bahkan depresi.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa homoseksual
dapat dikelompokkan berdasarkan kualitasnya menjadi homoseksual
tulen,homoseksual tersembunyi, homoseksual malu-malu, homoseksual
situasional, homoseksual mapan, dan biseksual. Sedangkan berdasarkan penerimaan pada individu homoseksual dapat dikelompokan menjadi homoseksual ego sentonik dan homoseksual ego distonik. Untuk mempersempit
dan mempermudah penelitian, peneliti memfokuskan pengelompokan homoseksual atau gay berdasarkan penerimaan pada individu homoseksual yaitu
ego sentonik dan homoseksual ego distonik.
2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay
Mengenai hubungan seks pada gay pada umumnya mengambil bentuk
imitasi dari hubungan herteroseksual. Dimana ada yang berperan sebagai laki-laki dan ada yang berperan sebagai perempuan. Jika dalam hubungan homoseksual yang seperti itu maka hal itu akan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Kartini
Kartono (1989: 249), menjelaskan tentang perilaku seksual homoseksual atau gay terpola dalam 3 bentuk hubungan seksual, yaitu:
1.Oral Eratism
Oral (segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut), stimulan oral pada penis disebut Fellatio (fallare : mengisap). Fellatio yaitu mendapatkan
kenikmatan seksual dengan cara mengisap alat kelamin partnernya yang
dimasukkan ke dalam mulut. Fellatio umumnya dilakukan homoseks remaja dan dewasa. Fellatio dapat dilakukan dengan cara tunggal atau ganda. Fellatio tunggal bila hanya dilakukan salah seorang partner, sedangkan fellatio ganda atau dikenal
2.Body Contact
Body contact mengambil bentuk onani atau menggesekgesekkan tubuh
atau dengan cara senggama sela paha.salah satu partnernya memanipulasi pahanya sedemikian sehingga alat kelamin pasangannya dapat masuk di sela pahanya.
3.Anal Seks
Anal seks (seks yang berhubungan dengan anus) dalam dunia homoseksual
terkenal dengan sebutan sodomi. Sodomi mengacu pada hubungan seks dengan
cara memasukan alat kelamin ke dalam anus partnernya. Dalam hubungan sodomi tersebut salah satu partnernya bertindak aktif sedang yang lain bertindak pasif menerima.
Homoseksual tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Istilah dalam homoseksual dikenal top dan bottom. Homoseksual top adalah homoseksual yang dioral dan menganal sedangkan bottom yaitu yang mengoral dan dianal. Selain
kedua istilah tersebut juga ada gay fire style yaitu gay yang mampu memposisikan sebagai top maupun bottom (Urin Laila Sa’adah, 2008:1).
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa bentuk hubungan pada gay mengambil imitasi dari bentuk hubungan heteroseksual. Bentuk hubungan tersebut antara lain : oral eratism, body contact dan anal sex. Istilah
laki-laki dan perempuan dalam homoseksual atau gay lebih dikenal dengan top
dan bottom, serta gay fire style yang bisa memposisikan sebagai top atau bottom. 2.7. Kajian tentang Motif
i. Pengertian Motif
suatu respon dengan keadaan dorongan tertentu. Apabila dorongan dasar itu
bersifat bawaan, maka motif itu hasil proses belajar. Gerungan (2004: 151),
berpendapat bahwa motif itu merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sedangkan Atkinson (Abu Ahmadi, 2002: 191),
motif sebagai sesuatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi ataupun kekuasaan.
Definisi yang lain dari Lindzey, Hall dan Thompson (Abu Ahmadi, 2002: 191), motif adalah sesuatu yang menimbulkan tingkah laku. Motif timbul karena adanya kebutuhan/need (Abu Ahmadi, 2002: 193), kebutuhan-kebutuhan dapat
diartikan sebagai:
1. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia dan musnah bila kekurangan itu tidak tercukupi.
2. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia yang dapat membantu dan membawa kebahagiaan pada manusia bila kekurangan itu
terpenuhi, walaupun hal itu tidaklah esensiil terhadap kelangsungan hidup manusia.
3. Sebuah kekurangan yang dapat dipenuhi secara wajar dengan berbagai
benda lainnya apabila ada benda khusus yang diingini tidak dapat
diperoleh.
2. Sifat taraf kebutuhan.
Kebutuhan (need) dapat dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu,
dorongan alasan, yang menyebabkan seseorang bertindak untuk memenuhi
kebutuhan. Dari bentuk-bentuk perbuatan kita dapat simpulkan adanya kebutuhan
dan motif dari perbuatan itu. Selain pengamatan terhadap tingkah laku individu ada jalan lain untuk mengetahui atau meyakini adanya kebutuhan dan motif ialah dengan mengetahui pengalaman pribadi. Maslow menyatakan bahwa manusia
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kebutuhan tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan yang digambarkan dalam piramida hirarki
kebutuhan. Adapun kebutuhan tersebut adalah (Sarlito W. Sarwono, 2002: 174): 1. Kebutuhan Fisiologis
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat
fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, seksual dan sebagainya) yang ditandai oleh kekurangan sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak
dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) bisa manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh
kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman
(safety needs).
2. Kebutuhan akan Rasa Aman
Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan,
kepercayaan, membuat sistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya
dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak
terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa terpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.
3. Kebutuhan Dicintai dan Disayangi
Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai. Setiap orang ingin mempunyai hubungan
yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan dicintai. Setiap orang ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Setiap orang pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya "akar" dalam
masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu marga, dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja
merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.
4. Kebutuhan Harga Diri
Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka timbul kebutuhan akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan
harga diri. Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan,
kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang
untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self
actualization).
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri adalah ketepatan seseorang didalam menempatkan dirinya sesuai dengan kemampuan yang ada dalam dirinya
(id.wikipedia.org/wiki/aktualisasi_diri. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014, jam 20.15 WIB). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat berbagai
kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan
diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa motif adalah dorongan yang menyebabkan individu melakukan perilku tertentu. Semua tingkah
laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif. Tingkah laku juga disebut tingkah laku secara refleks dan berlangsung secara otomatis dan mempunyai
maksud-maksud tertentu walaupun maksud itu tidak senantiasa sadar bagi manusia. Motif-motif manusia dapat bekerja secara sadar, dan juga secara tidak sadar bagi diri manusia. Kegiatan kegiatan yang biasa kita lakukan sehari-hari
juga mempunyai motif-motifnya tersendiri. Kita menyetel weker (jam) kita
pagi-pagi dengan motif untuk melakukan sesuatu pekerjaan sebelum kita berangkat kuliah.
3. Macam-macam Motif
1. Motif yang tergantung pada keadaan dalam jasmani.
Motif ini merupakan kebutuhan organik. Misalnya makan dan minum.
2. Motif yang tergantung hubungan individu dengan lingkungan. Motif ini dibedakan menjadi:
a. Emergency motive / motif darurat.
Motif yang membutuhkan tindakan segera karena keadaan sekitarnya menuntut demikian. Misalnya: motif untuk melepaskan diri dari bahaya,
melindungi matanya dan sebagainya. b. Objektif motive / motif objektif
Motif yang berhubungan langsung dengan lingkungan baik berupa
individu maupun benda. Misalnya: penghargaan, memiliki mobil, memiliki rumah bagus dan sebagainya.
Teevan dan Smith (Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, 2006: 162),
menggolongkan motif atas dasar perkembangannya, yaitu: 1. Motif Primer
Adalah motif yang timbulnya berdasarkan proses kimiawi fisiologik dan diperoleh dengan tidak dipelajari. Contohnya: haus dan lapar.
2. Motif Sekunder
Adalah motif yang timbulnya tidak secara langsung berdasarkan proses
kimiawi psikologik dan umumnya diperoleh dari proses belajar baik melalui pengalaman maupun lingkungan. McClelland mengemukakan bahwa motif sekunder disebut juga dengan motif social yang terdiri dari motif berprestasi,
Menurut Gerungan (2004: 155-156), motif dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu:
1. Motif Tunggal / Motif Bergabung
Motif melakukan kegiatan-kegiatan merupakan motif tunggal atau motif bergabung. Misalnya, apabila seseorang menjadi anggota suatu perkumpulan,
maka motifnya biasanya bergabung. Memahami susunan motif yang mendorong seseorang berbuat sesuatu yang tidak kita mengerti seringkali tidak mudah, perlu
dipahami lebih mendalam riwayat dan struktur kepribadiannya, perbuatan itu sendiri, kondisi-kondisi di lingkungannya dimana perbuatan itu dilakukan, dan saling berhubungan antara ketiga golongan faktor tersebut.
2. Motif Biogenetis
Motif-motif biogenetis merupakan motif-motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan seseorang demi kelanjutan kehidupannya secara biologis.
Motif biogenetis ini bercorak universal dan kurang terikat dengan lingkungan kebudayaannya tempat individu tersebut berada dan berkembang. Motif
biogenetis ini adalah asli di dalam diri orang dan berkembang dengan sendirinya. 3. Motif Sosiogenetis
Motif-motif sosiogenetis adalah motif-motif yang dipelajari orang dan
berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang itu berada dan berkembang.
Motif sosiogenetis tidak berkembang dengan sendirinya tetapi berdasarkan interaksi sosial dengan orang-orang atau hasil kebudayaan orang.
4. Motif Teogenetis
sehari-hari dimana individu tersebut berusaha merealisasikan norma-norma