Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari Dalam
Konteks Sosial Budaya Masyarakat Karo
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
BRATA ANDREAS SIMAMORA
NIM: 040707008
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari Dalam Konteks
Sosial Budaya Masyarakat Karo
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
BRATA ANDREAS SIMAMORA
NIM: 040707008
Pembimbing I Pembimbing II
Drs.Perikuten Tarigan, M.Si Dr.Bebas Sembiring, M.Si NIP: 195804021987031003 NIP: 195703131991031001
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,
PENGESAHAN Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Sastra USU Medan
Pada Tanggal : Hari :
DEKAN FAKULTAS SASTRA USU
Nama : Dr. Syahron Lubis, M.A NIP : 1951 101 3197 1001 Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1 Dra. Frida Deliana, M.Si (………)
2 Dra.Heristina Dewi, M.Pd (………)
3 Drs. Perikuten Tarigan, M.Si (………)
4 Drs. Bebas Sembiring, M.Si (………)
KATA PENGANTAR
Segala pujian dan ucapan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa dan
putra-Nya terkasih Yesus Kristus serta Bunda Maria Yang Suci atas kesehatan, kesabaran,
kekuatan dan bantuan yang terus mengalir khususnya untuk membantu penulis dalam
perjalanan penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Skripsi yang berjudul “DESKRIPSI TEMA LAGU CIPTAAN DJAGA
DEPARI DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO.” ini
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Departemen
Etnomusikologi Fakultas Sastra, USU Medan.
Dalam proses penyelesaian studi dan skripsi ini, tentunya banyak orang-orang
yang secara bersama membantu dan memberi semangat. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Teristimewa kedua orang tua tercinta, Ayahanda Marista Siamamora dan
almarhum Ibunda Dameria Magdalena Samosir, atas segala cinta, doa dan
pengorbanan kalian, juga buat abangku Kalnius T.P. Simamora, Amd. beserta
istri Merry Novena br. Depari, S.S ; kakakku Martha Sari Dewi br. Simamora,
S.S beserta suami H. Marbun, S.S ; abang-abangku Lekanius T.J. Simamora dan
Guspanol F. Simamora yang memberi dorongan, semangat dan doa. Tidak lupa
br. Simamora, Cecilia Margaretha br. Simamora, Yosephine br. Simamora dan
Valentina Margaretha br. Marbun, cepat besar ya keponakan-keponakanku.
2. Bapak Drs.Perikuten Tarigan, M.Si dan bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si
selaku pembimbing yang telah memberi bantuan, samangat dan membimbing
dengan baik dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana M.Si dan Ibu Dra.
Heristina Dewi M.Pd. selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah
memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta registrasi
perkuliahan selama masa kuliah dan penyelesaikan tugas akhir penulis.
4. Seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi, atas segala bantuan, saran
dan arahannya. terkhusus bapak Drs. Irwansyah, M.A, selaku pembimbing
akademik.
5. Teman-temanku stambuk ’04 : Jeremia Ginting, terimakasih atas bantuan dan
segala informasinya, Feri Erikson J. Panggabean, J. Welly Simbolon, yang telah
memberi bantuan dalam transkipsi lagu Djaga Depari, Saidul Irfan, Rofina
Fitrian a.k.a Pipin, Masrina Purnama Sari a.k.a Riri, Markus Sirait, Frans Eda
Sitepu, Amran Situmorang, Try Syahputra Sitepu, Diah Tei Tupa Sipayung, Fera
Mariani Sitompul, Briando Silitonga, terimakasih atas masukan dan
semangatnya.
6. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi.(IME), teman-teman stambuk
memajukan pendidikan dan juga organisasi IME, menjaga persatuan kita dan
berkarya jauh melebihi apa yang telah kami lakukan.
7. Bapak R. Ginting selaku informan kunci serta Robert Perangin-angin, beri Pana
Sitepu, Benson A. Kaban sebagai informan pendukung yang telah bersedia
membantu dan memberi penulis informasi yang dibutuhkan selama melakukan
penelitian.
8. Saudara-saudaraku Obie, Gaza, Oek, Andre, Mario V. Hutabarat S.Sos, Yundi,
Qonie serta saudara-sadura kandungku namun tak sedarah Lights To Follow :
Rendy, Anton, Topo, Bang Endank dan Ivan, terima kasih atas semangat dan
pengertian kalian yang tidak ada habis-habisnya.
9. Terlebih kepada Nyla Dian Marshalia Chaniago, atas pengorbanan waktu dan
pemikiran serta motivasi penulis sehingga selesai skripsi ini.
10.Semua Pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.
Semoga Allah Bapa Yang Maha Kuasa membalas kebaikan-kebaikan yang telah
diberikan dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya pada kita semua Amin.
Medan, Agustus 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pokok Permasalahan ... 6
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 7
1.3.1 Tujuan ... 7
1.3.2 Manfaat ... 7
1.4 Kerangka Konsep Dan Teori ... 8
1.4.1 Kerangka konsep ... 8
1.4.2 Teori ... 10
1.5 Metode Kerja Lapangan ... 11
1.5.1 Metode penelitian ... 12
1.5.2 Kerja laboratorium ... 13
1.5.3 Studi kepustakaan ... 14
1.5.4 Pemilihan informan ... 15
BAB II GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO ... 16
2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Karo ... 16
2.2 Lokasi dan Batas Geografis ... 17
2.3 Penduduk dan Bahasa… ... 18
2.3.1 Penduduk ... 18
2.3.2 Bahasa ... 19
2.3.2.1 Tingkatan bahasa... 20
2.3.2.2 Tata cara penggunaan bahasa ... 20
2.4 Sistem Kekerabatan... 22
2.5.1 Kalimbubu ... 23
2.5.2 Anak Beru ... 25
2.5.3 Senina/Sembuyak ... 26
2.5 Kesenian ... 28
2.5.1 Seni suara (vokal)... 28
2.5.2 Seni drama... 29
2.5.3 Seni musik ... 30
2.5.3.1 Gendang Lima Sendalanen ... 30
2.5.3.2 Gendang Telu Sendalanen ... 31
2.5.3.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel ... 31
2.6 Sistem Pengetahuan ... 32
2.6.1 Penanggalan Karo ... 32
BAB III PENGARUH SITUASI EKONOMI, POLITIK DAN SOSIAL BUDAYA
TERHADAP PEMIKIRAN DEPARI ... 34
3.1 Biografi Djaga Depari ... 34
3.1.1 Lahir ... 34
3.1.2 Masa Sekolah ... 35
3.1.3 Masa Dewasa ... 38
3.2 Proses Kreatifitas Djaga Depari ... 42
3.2.1 Masa penciptaan karya ... 42
3.2.2 Masa penjajahan Belanda ... 44
3.2.3 Masa penjajahan Jepang ... 45
3.3 Situasi Ekonomi, Politik, Sosial Budaya tahun 1920-1963 (Masa hidup Djaga Depari) dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Djaga Depari .... 46
3.3.1Situasi ekonomi ... 46
3.3.2Situasi politik ... 47
3.3.3Situasi sosial budaya ... 47
BAB IV ANALISA KUMPULAN LAGU KARYA DJAGA DEPARI... 49
4.1 Kumpulan Lagu-lagu Karya Djaga Depari ... 49
4.2 Gambaran Umum dan Khusus Makna Teks ... 50
4.1.1 Gambaran umum ... 51
4.1.2 Gambaran khusus ... 53
4.3.1 Tema perjuangan atau politik ... 55
4.3.2 Tema nasehat... 57
4.3.3 Tema percintaan atau romantisme ... 58
4.3.4 Tema kesedihan... 59
4.3.5 Tema hubungan sosial ... 60
4.3.6 Tema keindahan alam ... 61
4.4 Pengaruh Lagu Karya Djaga Depari dalam Kehidupan Masyarakat Karo ... 62
BAB V PENUTUP ... 67
5.1 Rangkuman ... 67
5.2 Kesimpulan ... 68
5.3 Saran... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 71
DAFTAR INFORMAN ... 74
LAMPIRAN ... 76
A. Kumpulan Teks dan Terjemahan Lagu-lagu Karya Djaga Depari ... 76
1. Bulan Purnama ... 76
2. Bunga Pariama ... 76
3. Dalin Ku Rumah... 77
5. Io-io Beringen ... 79
6. Lampas Tayang ... 81
7. Make Ajar ... 81
8. Mari Kena ... 82
9. Pernantin ... 83
10. Piso Surit ... 84
11. Purpur Sage ... 85
12. Rudang-rudang ... 86
13. Rumba Karo ... 87
14. Seni Karo... 88
15. Si Mulih Karaben ... 89
16. Sora Mido ... 90
17 Sue sue... 91
18.Tanah Karo Simalem ... 92
19. Terang Bulan... 93
20. Tiga Sibolangit ... 94
21. USDEK ... 95
B. Transkripsi Lagu Karya Djaga Depari ... 97
1. Erkata Bedil ... 97
2. Tanah Karo Simalem ... 98
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seni adalah satu bentuk ungkapan yang indah dari isi kehidupan. Isi kehidupan
diungkap, diangkat, diterjemahkan dan dituangkan dalam aneka bentuk yang indah
sebagai seni sastra, seni lukis, seni drama, seni musik/suara, dan sebagainya. Seni juga
satu bentuk kecakapan yang tinggi dalam membawa satu ide di atas jalan yang rumit dan
merealisasi secara tepat sampai pada tujuannya.
Kesenian tidak pernah berdiri sendiri dan lepas dari kondisi sosial budaya
masyarakatnya. Sebagai salah satu unsur budaya yang penting, kesenian merupakan
ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga
kebudayaan dan kesenian selalu dapat menciptakan, memberi peluang untuk bergerak,
memelihara, menularkan dan mengembangkannya untuk kemudian menciptakan
kebudayaan baru. Akan tetapi, masyarakat adalah suatu perserikatan manusia yang mana
kreatifitas masyarakat berasal dari manusia-manusia yang mendukungnya (Umar
Kayam, 1981 : 38-39).
Manusia tidak pernah lepas dari kebudayaan karena masyarakat turut mengambil
andil dalam kebudayaan tersebut dengan cara menjadi bagian dari setiap fase-fase
kehidupannya. Seni yang merupakan bagian dari kebudayaan, di dalamnya terdiri dari
pekerja seni yang pernah mengabdikan hidupnya sebagai penghasil karya seni, ada yang
begitu menonjol dikenal oleh karena karya yang mereka hasilkan.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat tema-tema dari lagu karya Djaga
Depari. Djaga Depari adalah seorang komponis nasional yang berasal dari Tanah Karo.
Djaga Depari lahir pada 5 Mei 1922 di Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah,
Kabupaten Karo. Ayah Djaga Depari bernama Ngembar Sembiring Depari seorang
mandor besar Wer bas elkawe (Pekerjaan Umum) Deli Hulu pada masa penjajahan
Belanda. Ibu Djaga Depari bernama Siras Br1 Karo Sekali. Djaga Depari merupakan
anak kedua dari enam bersaudara. Berikut adalah nama-nama saudara-saudari Djaga
Depari2 :
1. Tempat Br Depari,
2. Djalim Depari,
3. Nengeni Br Depari,
4. Ngasali Br Depari, dan
5. Senter Br Depari.
Djaga Depari menikah pada tahun 1943 di usia 21 tahun. Beliau menikahi
impal3nya yang bernama Djendam Br Pandia, anak kedua dari lima bersaudara dari
keturunan pamannya yang bernama Dokan Pandia yang bekerja sebagai petani pada saat
itu. Dari pernikahan ini Djaga Depari dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak (empat
1 Di kalangan masyarakat Karo termasuk juga Tapanuli, khususnya untuk para wanita, pada namanya ditambahkan kata Beru (bahasa Karo, di masyarakat Tapanuli disebut Boru) di depan marganya dan biasanya disingkat menjadi Br.
laki-laki dan tiga perempuan). Berikut adalah nama-nama dari putra-putri Djaga Depari4
:
1. Sadarman Depari, lahir pada tanggal 11 Desember 1944 di Desa Seberaya
2. Sutrisno Depari, lahir pada tanggal 24 November 1946 di Desa Seberaya
3. Maya Rita Br Depari, lahir pada tanggal 4 Mei 1953 di Desa Seberaya
4. Agustina Br Depari, lahir pada tanggal 17 Agustus 1959 di Desa Seberaya
5. Junita Br Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1960 di Kabanjahe
6. Waktu Depari, lahir pada tanggal 10 Juni 1962 di Kabanjahe
7. Ngapuli Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1963 di Kabanjahe
Pada tahun 1935 Djaga Depari mengawali pendidikannya di sekolah dasar. Pada
saat itu Djaga Depari dimasukkan ke sekolah Belanda yang bernama Christelijk
Hollandsch Inlandche School (Christelijk HIS)5, salah satu sekolah unggulan di
Kabanjahe. Setelah menamatkan sekolah di Christelijk HIS ini, Djaga Depari
melanjutkan jenjang pendidikan ke sekolah HIS lanjutan di kota Medan. Ketika duduk di
bangku HIS lanjutan inilah Djaga Depari dan beberapa kawan sekolahnya membentuk
sebuah kelompok musik. Di kelompok musik ini Djaga Depari memegang alat musik
biola. Djaga Depari tidak mempunyai pendidikan khusus di bidang musik tapi sangat
piawai dalam menggesek dawai biola. Dia mengandalkan biola dalam membentuk
komposisi not-not lagu karyanya. Lagu-lagu yang dibawakan Djaga Depari di kelompok
musik ini adalah lagu-lagu populer pada saat itu yang bukan berbahasa Indonesia yaitu
lagu barat (Perancis, Spanyol, Italia). Pada periode inilah Djaga Depari mulai mencoba
mengarang beberapa buah lagu. Djaga depari menamatkan sekolah di HIS lanjutan ini
pada tahun 1939.
Walaupun Djaga Depari gemar memainkan lagu-lagu barat, lagu-lagu yang
beliau ciptakan kebanyakan berbahasa Karo. Banyak sekali lagu-lagu berbahasa Karo
yang kita kenal sekarang merupakan karya dari Djaga Depari. Lagu-lagu karya Djaga
Depari ini diciptakan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan Indonesia.
Dari data yang didapat pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942 Djaga
Depari mencipta sejumlah lagu di antaranya Tanah Ersuki, Ranting Jabi-jabi, Anak
U-we, Naki-naki, Kanam-kanam, Regi-regi, Jolah jemole, Perbaju Joe, Berngi Singongo,
Persentabin, Sada Kata, Pergawah dan Angin Si Lumang6.
Sedangkan pada masa kemerdekaan, Djaga Depari juga mencipta sejumlah lagu.
Beberapa diantaranya adalah Famili Taksi, Padang Sambo, Sora Mido, Tanah karo
Simalem, Rudang Mejile, Roti Manis, Tiga Sibolangit, Lasam-lasam, Make Ajar,
Pecat-pecat Seberaya, Didong-didong Padang Sambo, Io-io Beringin, Andiko Alena, Sue-sue
dan Rudang-rudang7.
Sampai saat ini, masyarakat Karo masih banyak yang menggunakan lagu-lagu
Karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan lagu tersebut mencakup
banyak hal seperti sebagai lagu pengiring dalam upacara adat, sebagai koleksi pribadi,
sebagai media hiburan dan lain-lain. Hal itu berhubungan dengan tema-tema yang
tersirat dalam lagu-lagu karya Djaga Depari tersebut.
Djaga Depari tidak hanya menulis lagu-lagu romantika kehidupan masyarakat
Karo tapi beliau juga menuliskan lagu-lagu tentang perjuangan masyarakat Karo
menentang penjajahan bangsa asing. Apabila semangat patriotisme Djaga Depari
tergugah, maka lagu yang diciptakannya menjadi sangat berbeda. Kesan kesenduan
lagu-lagu Karo berubah menjadi hentakan yang bersemangat ingin membebaskan diri
dari belenggu ketertindasan. Salah satu lagunya adalah “Erkata Bedil (Dentuman
Senjata)“. Lagu Erkata Bedil ini menggambarkan semangat perjuangan yang beliau
embankan kepada para pemuda Karo untuk ikut mengangkat senjata melawan penjajah
di tanah Karo walaupun para pemuda itu sedang dilanda asmara. Lagu ini kemudian
menjadi lagu nasional perjuangan rakyat Indonesia. Selain itu pada lagu
“Kemerdekaanta” karya Djaga Depari juga tersirat makna-makna perjuangan rakyat.
Dalam lirik lagu ini dilukiskan bahwa seorang pemuda berkata kepada kekasihnya “bila
kelak kita telah mendapat kemerdekaan, maka kita akan bersatu dalam pelaminan”.
Karya-karya Djaga Depari yang bertemakan perjuangan masyarakat Karo ini
kemudian membuat pemerintah Indonesia memberikan gelar kepadanya sebagai
Komponis Nasional. Untuk mengabadikan pengabdiannya, pemerintah propinsi
Sumatera Utara diprakarsai oleh Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo (LPKK)
Sumatera Utara mendirikan sebuah monumen Djaga Depari di kota Medan yang
terletak di persimpangan jalan Iskandar Muda Medan.
Djaga Depari telah mempersembahkan yang terbaik yang ada di dirinya untuk
sangat konsisten dalam karya-karyanya. Konsistensi8 pemikiran Djaga Depari ini juga
akan diangkat dalam tulisan ini. Pembahasannya akan berlanjut pada pengaruh situasi
ekonomi, politik, sosial budaya pada masa hidup Djaga Depari terhadap pemikiran
Djaga Depari dalam karya-karyanya. Maksudnya disini adalah apakah situasi ekonomi,
politik dan sosial budaya mempengaruhi pemikiran Djaga Depari dalam penciptaan
karya. Hal ini juga nantinya akan berkaitan dengan tema yang muncul dalam lagu-lagu
karya Djaga Depari.
Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam semua lagu yang diciptakan Djaga
Depari memiliki tema-tema tertentu. Tema-tema tersebut muncul dari
pengalaman-pengalaman Djaga Depari semasa hidupnya yaitu pada masa penjajahan dan
kemerdekaan. Kemudian dari tema-tema yang ada, bagaimana sebenarnya masyarakat
Karo menggunakan lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari. Apakah
lagu-lagu karya Djaga Depari digunakan sesuai dengan tema. Hal ini yang membuat
penulis tertarik untuk meneliti, mengkaji, serta menuliskannya dalam sebuah tulisan
ilmiah dengan judul: “Deskripsi Tema Lagu Ciptaan Djaga Depari dalam Konteks Sosial Budaya Masyarakat Karo.”
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal pokok
yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, yaitu :
1. Apa tema-tema dari lagu karya Djaga Depari
2. Bagaimana pengaruh situasi ekonomi, politik, sosial budaya pada tahun
1920-1963 (masa hidup Djaga Depari) terhadap pemikiran Djaga Depari dalam
karya-karyanya
3. Bagaimana penggunaan dan fungsi dari lagu-lagu Djaga Depari bagi masyarakat
Karo
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka tujuan utama
dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan tema dari lagu-lagu karya Djaga Depari yang muncul
dari pengalaman-pengalaman Djaga Depari semasa hidupnya
2. Mengetahui pengaruh situasi pada masa hidup Djaga Depari yaitu situasi
ekonomi, politik dan sosial budaya terhadap pemikiran Djaga Depari dalam
hal penciptaan karya
3. Untuk menganalisa penggunaan dan fungsi lagu Djaga Depari dalam
kehidupan masyarakat Karo
1.3.2 Manfaat
Penelitian ini akan berguna sebagai sebuah naskah kajian ilmiah akademisi yang
fungsi lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan masyarakat Karo dan mengetahui
pengaruh dari situasi ekonomi, politik dan sosial budaya terhadap pemikiran Djaga
Depari dalam hal penciptaan karya.
Hasil penelitian ini Juga bermanfaat bagi disiplin Ilmu Etnomusikologi USU
khususnya memperdalam kajian tentang deskripsi karya seni, mengingat lulusan
Ethnomusikologi adalah bagian dari studi yang melahirkan sarjana-sarjana seni, agar
memahami lebih jauh tentang deskripsi karya seni, khususnya lagu-lagu karya Djaga
Depari yang menjadi salah satu pemersatu semangat perjuangan masyarakat Karo.
1.4 Kerangka Konsep dan Teori 1.4.1 Kerangka konsep
Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian
konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2005:456).
Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk
menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang
menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari
batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian.
Deskripsi adalah upaya pengolahan data menjadi sesuatu yang dapat diutarakan
yang tidak langsung mengalaminya sendiri9. Berangkat dari pengertian ini, penulis akan
menguraikan dengan kata-kata hal yang menjadi bahan penelitian dalam tulisan ini.
Dalam hal ini yang menjadi bahan penelitian adalah lagu-lagu karya Djaga Depari
adalah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 983) tema adalah pokok pikiran
ataupun dasar cerita (yg dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah
sajak). Di setiap karya seni (dalam hal ini lagu ciptaan) pastilah mempunyai sebuah
tema, karena dalam karya tersebut dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan
dibuat. Tema juga hal yang paling utama dilihat oleh para penikmat sebuah karya. Tema
yang dimaksud adalah pesan-pesan yang terkandung di dalam lagu-lagu karya Djaga
Depari. Salah satu contohnya adalah tema perjuangan.
Menurut wikipedia bahasa Indonesia lagu merupakan gubahan seni nada atau
suara dalam urutan, kombinasi dan hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat
musik) untuk menghasilkan gubahan musik yang mempunyai kesatuan dan
kesinambungan (mengandung irama). Lagu yang penulis maksud di sini adalah
lagu-lagu karya Djaga Depari.
Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna; situasi yg ada hubungannya dengan suatu kejadian (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2005: 465). Konteks di sini berkatian dengan ruang lingkup
atau situasi tertentu. Dalam hal ini konteksnya adalah masyarakat karo.
Dalam mendefenisikan masyarakat, penulis mengacu pada pendapat
Koentjaraningrat (1986:146-147) yaitu masyarakat adalah sebagai kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
berkelanjutan dan terikat oleh suatu rasa identitas. Karo adalah salah satu suku bangsa
yang ada di propinsi Sumatera Utara. Jadi masyarakat karo adalah kesatuan hidup
manusia yang saling beriteraksi menurut sistem adat istiadat karo.
Berdasarkan konsep-konsep di atas, maka dalam tulisan ini penulis
mendeskripsikan tema-tema lagu karya Djaga Depari dalam konteks masyarakat karo,
termasuk juga penulis menganalisa penggunaan dan fungsi lagu-lagu karya Djaga
Depari dalam kehidupan masyarakat Karo.
1.4.2 Teori
Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang diambil dari fakta-fakta, mungkin
juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Sebelum melakukan
penelitian, seorang peneliti harus menyusun sebuah kerangka teori untuk sebuah
kejelasan. Titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Maka untuk
itu perlu disusun kerangka teori. Kerangka teori itu disusun sebagai landasan berpikir
yang menunjukkan dari sudut mana peneliti mengamati masalah yang akan diteliti.
Dengan adanya kerangka teori ini maka peneliti akan lebih terbantu dalam mencari
Dalam penelitian ini teori-teori yang dianggap berkaitan adalah fungsi dan
penggunaan yang ditawarkan Merriam (1964: 209-227) menjelaskan adanya 10 fungsi
musik, yaitu: (1) Sebagai pengungkapan emosional; (2) Sebagai hiburan; (3) Sebagai
penghayatan estetis; (4) Sebagai komunikasi; (5) Sebagai reaksi jasmani; (6) Sebagai
perlambangan; (7) Sebagai suatu yang berkaitan dengan norma-norma sosial ; (8)
Sebagai perlambangan pengesahan lembaga sosial dan upacara kagamaan; (9) Sebagai
kesinambungan budaya; (10) Sebagai pengintegrasian masyarakat.
Dari kesepuluh (10) fungsi musik tersebut, penulis akan membahas bagaimana
penggunaan dan fungsi lagu-lagu karya Djaga Depari dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Karo. Tetapi di dalam ini fungsi tersebut berkaitan dengan tema lagu-lagu
karya Djaga Depari. Misalnya dalam lagu Sora Mido tema yang terkandung adalah tema
perjuangan. Tema perjuangan di sini mempunyai fungsi membangkitkan semangat
berjuang yang disertai dengan keberanian dan ketegaran berjuang.
Makna adalah suatu yang terlihat di balik bentuk dan aspek isi suatu kata atau
teks yang kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna
denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang mengandung arti tambahan,
sedangkan makna denotatif adalah makna yang tidak mengandung arti tambahan atau
disebut dengan makna sebenarnya (Keraf 1991 : 25).
Berhubungan dengan hal di atas, untuk menjelaskan makna dari kata-kata dalam
lagu karya Djaga Depari maka penulis menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh
Kempson (1977: 11) :
(1) menjelaskan makna kata secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi.” Selanjutnya Kempson berpendapat untuk menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi : (1) kata; (2) kalimat; dan (3) apa yang dibutuhkan pembicara untuk berkomunikasi.”
1.5 Metode Kerja Lapangan
Penulis menggunakan beberapa cara untuk mencari dan mengumpulkan data.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengumpulkan data di lapangan. Dalam
penulisan ini diperoleh dari sumber yang berhubungan dengan objek yang menjadi
informasi bagi tulisan ini. Menurut Nettl (1964: 62-64), dalam pengumpulan data dapat
dilakukan dengan dua cara kerja yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium
(desk work).
Kerja lapangan merupakan langkah awal yang penulis lakukan untuk
mendapatkan data dan informasi di lapangan. Hal ini bertujuan agar penulis dapat
terlibat langsung dengan objek yang diteliti dan data yang diperoleh pun dapat dijamin
kebenarannya.
Kerja laboratorium yaitu pencarian data yang dilakukan penulis melalui referensi
buku-buku, artikel, majalah ataupun tulisan lain yang berhubungan dengan objek
tersebut. Selain itu, penulis juga melakukan penganalisisan data-data yang sudah
didapatkan di lapangan.
Untuk memperoleh data di lapangan, penulis melakukan kerja lapangan dengan
menggunakan metode lapangan. Metode yang penulis lakukan adalah metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi dari
suatu gejala-gejala lain dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1990: hal 29). Penelitian
yang bersifat kualitatif berwujud data yang bersifat konsep atau pengertian abstrak
dalam penelitian fakta-fakta sosial.
Dalam penelitian lapangan ini, penulis membaginya dalam dua cara yaitu
1. Wawancara
2. Observasi
Wawancara merupakan metode yang dilakukan penulis dalam berhubungan
dengan informan, di lapangan penulis mengajukan sejumlah pertanyaan yang
berhubungan dengan objek penelitian. Sebelum mencari data lebih dalam, penulis
terlebih dahulu mencari orang yang bisa dijadikan sebagai informan pangkal.
Wawancara yang penulis lakukan tidak terfokus pada informan kunci saja, tetapi
juga pada beberapa informan yang ada di lapangan guna menambah informasi.
Pemilihan informan dilakukan penulis karena dibutuhkannya informasi yang dapat
dipercaya dari sumber yang tepat.
Data-data yang didapat di lapangan, direkam dan kemudian penulis mencatat
segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian di lapangan, serta dari jawaban
cocok atas pertanyaan yang penulis ajukan, penulis melakukan penyelesian agar
informasi lebih akurat dan tepat, sedangkan jawaban yang kurang cocok dijadikan data
masukan untuk diperjelas selanjutnya. Untuk referensi pertanyaan selanjutnya, penulis
mengambil dari jawaban yang berkembang berdasarkan hasil pengamatan penulis.
Selain itu, penulis juga menganalisa lagu-lagu karya Djaga Depari yang sudah
pernah direkam kemudian menuliskannya ke atas kertas.
Observasi (pengamatan), yaitu penulis mengamati semua kejadian secara
langsung, yang bertujuan untuk memperoleh data-data yang tidak didapatkan melalui
wawancara. Observasi yang dilakukan bukan hanya tentang objek penelitian, tetapi juga
lokasi penelitian. Namun demikian cara observasi ini tidak hanya berambisi
mengumpulkan data dari sisi kuantitasnya, tetapi juga berusaha memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam.
1.5.2 Kerja laboratorium
Untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dalam pengumpulan data, penulis
juga melakukan kerja laboratorium yang merupakan proses pengklarifikasian dari data
yang diperoleh di lapangan dan studi kepustakaan. Ini bertujuan untuk
mengorganisasikan data-data yang diperoleh dan sekaligus mengkoreksi data-data yang
belum dapat atau yang belum diketahui penulis.
Di sini penulis berusaha menyeleksi segala data yang berhubungan dengan objek
yang diteliti dan menyesuaikannya dengan jawaban-jawaban dari informan, kemudian
menjadikannya satu tulisan. Namun bila ada data yang tidak berhubungan, maka penulis
dengarkan dan tulis kembali kemudian diteliti dan disatukan dengan jawaban yang
ditulis.
Dalam kerja laboratorium ini, data yang terkumpul dianalisis setiap waktu secara
induktif selama penelitian berlangsung dengan mengolah bahan empirik (synthesizing),
supaya dapat disederhanakan kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami dan
diinterpretasikan dalam sebuah tulisan.
1.5.3 Studi kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu penulis membaca beberapa literatur yang bisa
mendukung tulisan ini, dan bisa dipergunakan untuk membuat pertanyan yang akan
dipertanyakan di lapangan, berupa buku-buku, majalah-majalah, informasi dari internet
dan tulisan yang berhubungan dengan lagu-lagu karya Djaga Depari. Studi ini bertujuan
untuk mencari informasi awal mengenai objek penelitian, yang nantinya bisa digunakan
untuk membantu memperoleh konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas
pokok masalah penelitian ini.
1.5.4 Pemilihan informan
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu menentukan informan
pangkal yang mengetahui siapa yang dapat memberikan informasi untuk keperluan
penelitian tersebut. Setelah mendapat informan pangkal, penulis menentukan informan
R. Ginting (50 tahun). Beliau mempunyai informasi yang luas tentang kehidupan Djaga
Depari dan kolektor lagu-lagu Djaga Depari.
1.6 Lokasi Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis tidak menetapkan lokasi penelitian di
suatu tempat tertentu. Hal ini dikarenakan oleh penulis umumnya melakukan wawancara
pada berbagai narasumber di berbagai daerah yang berlainan sehinga tidak terfokus pada
satu tempat saja, seperti di Desa Seberaya, Brastagi, Kampus Etnomusikologi USU,
Sanggar-sanggar kebudayaan Karo di Medan. Sebelum mencari data penulis membuat
kesepakatan terlebih dahulu mengenai tempat pertemuan dengan narasumber. Hal ini
juga didasari karena minimnya referensi data yang ada, baik berupa buku maupun data
BAB II
GAMBARAN UMUM SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO
2.1 Sejarah Keberadaan Masyarakat Karo
Menurut mitos yang masih hidup sampai sekarang, terutama di kalangan
masyarakat Batak Toba, leluhur pertama dari seluruh orang Batak bernama Si Raja
Batak. Leluhur ini tinggal di kaki gunung Pusuk Buhit, yang terletak di sebelah barat
Danau Toba. Keturunan Si Raja Batak ini mendiami pulau Samosir yang terletak di
tengah danau itu. Sebagian di antaranya menyeberang ke daratan dan tinggal terpencar
di wilayah sekitar danau. Pada mulanya suku bangsa ini terbagi atas dua cabang, yakni
cabang Toba dan cabang Pakpak-Dairi. Cabang Toba terbagi lagi atas beberapa ranting,
yaitu ranting Toba, Angkola, Mandailing dan Simalungun. Cabang Pakpak-Dairi terbagi
atas ranting Dairi dan Karo.
Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli
Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan
Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah
satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini
memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku
Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak karena mereka merasa berbeda. Suku Karo
mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.
Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo berasal
14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru
ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada
jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai
sungai Siak di Riau. Keberadaan Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa
desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh
sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta
Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar
yang dalam logat Aceh disebut Karee.
Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam
bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli
Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak
mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh
Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan
Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman"
mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
2.2 Lokasi dan Batas Geografis
Suku Karo merupakan subsuku bangsa Batak yang mendiami daerah antara
Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak di Propinsi Sumatera Utara, terutama di dataran
tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian Dairi.
Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa
yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku “Lentera Kehidupan Orang Karo
“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan di sebelah Utara wilayah itu meluas sampai ke dataran rendah Deli dan Serdang.”
Dari gambaran di atas tampak bahwa terdapat masyarakat Karo yang bertempat
tinggal di daerah pesisir dan bertetangga dengan suku-suku yang telah menempatinya
terlebih dahulu. Suku-suku tersebut yaitu Melayu Sumatera Timur di sebelah utara, Alas
di sebelah barat, Simalungun di sebelah timur dan Pakpak di sebelah selatan.
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Karo tahun 2007, batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah sebagai
berikut :
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten
Simalungun
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi NAD)
2.3 Penduduk dan Bahasa 2.3.1 Penduduk
Menurut sensus penduduk tahun 2006 jumlah penduduk Karo adalah sebanyak
sedangkan 5% lagi adalah suku lainnya yaitu suku batak toba, jawa, simalungun dan
lain-lain10.
Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo pada tanggal 3 Desember
1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga di masyarakat Karo
didasarkan pada Merga Silima, yaitu : Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring
dan Tarigan
2.3.2 Bahasa
Sejak berabad-abad suku-suku bangsa penghuni kepulauan Nusantara
mempergunakan bahasanya masing-masing dalam pergaulan hidup antar keluarga dalam
suku itu. Bahasa-bahasa itu dinamakan ”bahasa daerah” yang sering disebut sesuai
dengan nama suku bangsa tersebut, misalnya bahasa karo digunakan oleh suku Karo.
Identifikasi seseorang dengan suatu suku bangsa lebih bersifat pribadi, artinya
tergantung kepada dirinya sendiri merasa sebagai anggota suku bangsa apa. Biasanya
orang lebih suka atau lebih mudah mengidentifikasikan dirinya dengan suku bangsa
dalam masyarakat dimana dia hidup daripada dengan kemurnian keturunan atau
darahnya
Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo
menggunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari,
penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan
yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa
dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.
Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan
adat, bernyanyi dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling
sesuai. Salah satu jenis pemilihan kosa kata dalam masyarakat karo cakap lumat (bahasa
halus). Cakap lumat adalah dialog yang dipadu dengan pepatah, perumpamaan atau
pantun.. Cakap lumat ini sering digunakan dalam upacara adat seperti upacara
perkawinan, memasuki rumah baru dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan
percintaan).
Berkaitan dengan hal di atas, Djaga Depari juga menggunakan cakap lumat
dalam mencipta lirik-lirik lagu. Sehingga sering muncul makna-makna kiasan dalam
lirik-lirik lagu yang beliau ciptakan.
2.3.2.1 Tingkatan bahasa
Dari berbagai sumber yang didapat, ada 3 dialek utama dalam pengucapan dan
tulisan masyarakat Karo menurut letak geografisnya :
a. Dialek Gunung-gunung “cakap Karo
gunung-gunung”, yaitu di daerah Kecamatan Munte, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh dan
Mardinding.
b. Dialek Kabanjahe “Cakap orang julu“ di daerah
Kecamatan Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpang Empat dan Payung.
c. Dialek Jahe-jahe “Cakap kalah Karo Jahe“ dipakai
oleh penduduk di kecamatan Pancurbatu, Biru-biru, Sibolangit, Limabekeri dan
Namo rante (semua termasuk kabupaten Deli Ladang) dan di daerah Kabupaten
2.3.2.2 Tata cara penggunaan bahasa
Adapun tata cara penggunaan bahasa pada masyarakat karo dibedakan dalam
hal-hal berikut :
a. Tabas atau mantra adalah
untuk para “guru si baso” (dukun) dan masyarakat awam jarang mengetahuinya.
Umumnya tabas ini digunakan untuk mengobati orang sakit, upacara
pemanggilan roh dan sebagainya.
b. Pantun dikenal dengan 2
jenis berupa pantun biasa dan pantun berkias. Biasanya digunakan untuk
golongan muda-mudi yang sedang pacaran, orang tua yang ingin menyampaikan
petuah dan nasehat atau bisa juga dinyanyikan oleh para biduan di dalam acara
pertunjukan kesenian tradisional.
c. Perumpamaan atau tamsil,
perumpamaan Karo ada yang memakai keterangan dan ada pula yang tidak.
Keterangan itu dapat disebut lebih dahulu dan di belakang. Seperti juga halnya
perumpamaan Melayu yang di dalamnya terdapat kata-kata seperti, sebagai,
ibarat, bak.
d. Turi-turin atau cerita adalah
berbentuk prosa mengenai berbagai hal seperti kesedihan, kesaktian, asal-usul
kampung, hewan, legenda.
e. Cakep lumat merupakan
digunakan untuk sepasang kekasih untuk saling menggoda. Misalnya dahulu
seorang pemuda bercintaan dengan seorang gadis di ture (teras rumah adat) maka
untuk menarik perhatian gadis tersebut dia menggunakan cakep lumat.
f. Bilang-bilang adalah
kata-kata yang dilagukan atau didendangkan berupa ratapan peleh orang (biasanya
kaum wanita) yang sedang mengalami kemalangan.
g. Ndung-ndungen adalah
sejenis puisi tradisional yang hampir sama dengan pantun dalam sastra Melayu,
terdiri dari empat baris, di mana dua baris pertama adalah sampiran dan dua baris
terakhir merupakan isi.
h. Ermangmang adalah bila
seorang “guru si baso” atau orang lain mengucapkan pidato tanpa teks di
hadapan kaum kerabat yang menghadiri suatu upacara misalnya memanggil
arwah leluhur.
2.4 Sistem Kekerabatan
Dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat karo, baik berdasarkan pertalian
darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat dibagi menjadi tiga jenis
kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak dan anak beru, yang biasanya
disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu11.
Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur, sedangkan si telu
adalah tiga). Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat,
menyusupi aspek-aspek kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan
kewajiban di berbagai kegiatan dalam masyarakat, seperti di dalam upacara-upacara dan
hokum adat.
Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut
Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang
tiga (Daliken : batu tungku, Si : yang, Telu : tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan
bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang
namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang
tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun
ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup)12.
Unsur Daliken Sitelu ini adalah Kalimbubu, Sembuyak/Senina dan Anak Beru.
Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu,
senina/sembuyak dan anak beru, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.
2.4.1 Kalimbubu
Dalam banyak literatur tentang masyarakat Karo, Kalimbubu ini didefinisikan
adalah kelompok pemberi dara atau gadis (Prints, 1986: 66; Bangun, 1981: 109).
Adapun peranan dan fungsi para Kalimbubu ini dalam struktur daliken si telu adalah
sebagai supremasi keadilan dan kehormatan. Menurut Darwan Prints kalimbubu
diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang (Prints, 1986: 67). Oleh
Roberto Bangun, kalimbubu sebagai dewan pertimbangan agung, pemberi saran kalau
12
disadur dari makalah berjudul “Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo :
Kajian Sistem Pengendalian Sosial” oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas
diminta (Bangun, 1989: 12). Dan sarannya, berpedoman kepada obyektif konstruktif
dalam kaitan keutuhan keluarga.
Masyarakat Karo meyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga
kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap
menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan
makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anak beru (kelompok
pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu
memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani
menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati
dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu
dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal
dilaksanakan atau tidak masalah lain.
Kalimbubu dapat dibagi atas dua yaitu Kalimbubu berdasarkan tutur dan
Kalimbubu bedasar kekerabatan (perkawinan).
Kalimbubu berdasar tutur dapat dibagi lagi menjadi :
• Kalimbubu Bena-Bena (kalimbubu tua) adalah kelompok keluarga pemberi istri
kepada keluarga tertentu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok
ini telah berfungsi sebagai pemberi istri sekurang-kurangnya tiga generasi.
• Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan
kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun.
Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu
Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan) dapat dibagi lagi menjadi :
• Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi istri terhadap generasi
ayah, atau pihak semarga dari ibu kandung.
• Kalimbubu I Perdemui (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari
mertua. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina
dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi istri ini tidak tergolong
kepada tipe Kalimbubu Bena-Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.
• Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak submarga
pemberi anak istri terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak sub
marga dari istri saudara laki-laki istri.
• Kalimbubu Senina, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur
semarga dari kalimbubu. Dalam pesta adat, kedudukannya berada pada golongan
kalimbubu, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok sub marga
kalimbubu.
• Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon, golongan kalimbubu ini berhubungan erat
dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon
pemilik pesta.
2.4.2 Anak beru
Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk
diperistri (Prints, 1986:64; Bangun, 1981:109). Oleh Darwan Prints, anakberu ini
hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam
keluarga kalimbubunya, tugasnya mendamaikan perselisihan tersebut.
Sama seperti kalimbubu, Anakberu dapat dibagi menjadi dua yaitu Anakberu
bedasarkan tutur dan Anakberu berdasarkan kekerabatan.
Anakberu berdasarkan tutur dapat dibagi lagi menjadi :
• Anakberu Tua adalah pihak penerima istri dalam tingkatan nenek moyang yang
secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.
• Anakberu Taneh adalah penerima istri pertama, ketika sebuah kampung selesai
didirikan.
Anakberu berdasarkan kekerabatan dapat dibagi lagi menjadi :
• Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya
orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya.
Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung
saudara perempuan ayah.
• Anakberu Iangkip, adalah penerima istri yang menciptakan jalinan keluarga yang
pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari
pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu
langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga
tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau
masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan
mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh
• Anakberu Menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga
penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika
acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada
kalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.
• Anakberu Singikuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi
saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga
yang diperlukan.
2.4.3 Senina/sembuyak
Senina adalah pertalian saudara senenek atau semerga. Hal umum yang
menyebabkan terbentuknya hubungan senina/sembuyak adalah pertalian darah,
sesubklen (semerga/seberu), sepemeren (ibu bersaudara), separibanen (istri bersaudara),
mempunyai istri dari beru yang sama, mempunyai suami yang bersaudara (kandung,
gamet, atau semarga). Menurut Darwan Prints senina ini diumpamakan sebagai
eksekutif, kekuasaan pemerintahan (Prints, 1986: 67). Hal ini nampak dalam berbagai
upacara adat karo di mana Senina dalam musyawarah adat bertugas sebagai
penyambung lidah dan juga sebagai dan penengah.
Senina ini dapat dibagi dua yaitu senina berdasarkan tutur yaitu senina semarga
dan senina berdasarkan kekerabatan.
Senina bedasarkan kekerabatan dapat dibagi menjadi :
• Senina sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara,
sehingga mereka mempunyai bebere (beru atau ibu) yang sama.
• Senina sepengalon (sendalanen) persaudaraan karena pemberi istri yang berbeda
merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara
karena satu submarga (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan
jauh dekatnya hubungan mereka dengan marga istri. Dalam musyawarah adat,
mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.
• Senina secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka
sesubmarga (bersembuyak).
Sembuyak adalah mereka yang satu submarga atau orang-orang yang satu
keturunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga
kadung, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih
jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari
satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak adalah
bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam
maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara
yang satu marga. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan saudara
kandung.
Sembuyak dapat dibagi dua bagian yaitu sembuyak berdasarkan tutur dan
menjadi Sembuyak Kakek (kakek yang bersaudara kandung), Sembuyak Bapa (bapak
yang bersaudara kandung), Sembuyak Nande (ibu yang bersaudara kandung).
2.5 Kesenian
2.5.1 Seni suara (vokal)
Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun
biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika
seorang perende-ende juga pandai menari (landek) dan sudah biasa bernyanyi sekaligus
menari dalam suatu pesta Gendang guro-guro aron, maka sebutan untuknya telah
berubah menjadi Perkolong-kolong13.
Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu
Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan
lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau
liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu
pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus
dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai
dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.
Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya karo mengenal beberapa
jenis seni vokal diantara:
• Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan),
• Didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat),
• Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa),
• Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah),
• Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita),
• Ende-enden (nyanyian muda-mudi).
2.5.2 Seni drama
Dari hasil wawancara dengan Beri Pana Sitepu, seni drama dalam masyarakat
karo tergolong langka. Biasanya seni drama dalam masyarakat karo berhubungan
dengan tarian seperti Tari Mondong-mondong yang berhubungan dengan drama
Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala
(drama tari topeng Karo).
Djaga Depari pada masa penjajahan juga pernah berperan dalam seni drama.
Salah satu kelompok drama yang pernah diikuti oleh Djaga Depari adalah “Perhimpunan
Teater Rakyat” yang dipimpin oleh Datuk H. Wan Umaruddin. Di kelompok ini Djaga
Depari bertugas sebagai pemusik yaitu pemain biola.14
2.5.3 Seni musik
Istilah musik dalam masyarakat karo disebut dengan istilah gendang. Masyarakat
karo memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian
tradisionalnya15. Ada jenis musik yang diiringi oleh alat musik yang dimainkan secara
bersama-sama (ensambel). Ensambel ini terbagi dua yaitu: gendang lima sendalanen dan
gendang telu sendalanen. Selain berbentuk ensambel, ada pula jenis musik yang diiringi
oleh alat musik yang dimainkan tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa
genre musik vokal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat
musik.
2.5.3.1 Gendang lima sendalanen
Gendang Lima Sendalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) alat musik
karo, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak
dan (5) gung.
Istilah gendang pada Gendang Lima Sendalanen ini berarti “alat musik”, lima
berarti “lima buah”, dan sendalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian Gendang Lima
Sendalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau
secara bersama-sama”. Kadang-kadang Gendang Lima Sendalanen disebut dengan
istilah Gendang Sarune16. Adanya dua istilah atau penyebutan satu ensambel musik
tradisional Karo yang sama ini (Gendang Lima Sendalanen dan Gendang Sarune) terjadi
karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya.
15
Hasil wawancara dengan Benson A. Kaban
Masing-masing alat musik dalam ensambel Gendang Lima Sendalanen
dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat musik penganak dan gung yang dapat
dimainkan oleh seorang pemain.
2.5.3.2 Gendang telu sendalanen
Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau
dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen).
Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng dan (3)
mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa
melodi yaitu Kulcapi atau balobat. Pemakaian Kulcapi atau balobat sebagai pembawa
melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Sedangkan
Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola
ritem yang bersifat konstan dan repetitif.
Jika Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta mangkok
sebagai alat musik pengiringnya , maka istilah Gendang telu sendalanen sering disebut
Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi, dan jika balobat sebagai pembawa melodi,
maka istilahnya tersebut menjadi gendang balobat. Masing-masing alat musik
dimainkan oleh seorang pemain.
2.5.3.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel
Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan
di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara
Alat musik solo tersebut adalah Kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi,
murbab, genggong dan tambur.
2.6 Sistem Pengetahuan 2.6.1 Penanggalan karo
Masyarakat Karo mengenal penanggalan hari dan bulan serta pembagian waktu
siang dan malam hari. Satu bulan dibagi dalam 30 hari dan satu tahun dibagi dalam 12
bulan dan masing-masing ada namanya. Adapun nama-nama hari dalam satu bulan
adalah Aditia, Suma Pultak, Nggara, Budaha, Beraspati pultak, Cukera enem berugi,
Belah naik, Aditia baik, Sumana siwah, Nggara sepuluh, Budaha ngadep, Beras pati
tangkep, Cukera dudu, Belah Purnama, Tula, Suma cepik, Nggara enggo tula, Budaha
Gok, Beras pati sepuluh Siwah, Cukera dua puluh, Belah turun, Aditia turun, Suma,
Nggara simbelin, Budaha medem, Beras pati medem, Cukera mate, Mate bulan, Dalan
bulan, Samis.
Adapun jumlah bulan untuk satu tahun tetap dihitung dua belas bulan dengan
penamaan yang dilambangkan dengan nama hewan atau benda-benda sebagai berikut:
Sipaka sada (kambing), Sipaka dua (lampu), Sipaka telu (cacing), Sipaka empat (
kodok), Sipaka lima (arimo atau harimau), Sipaka enem (kuliki atau elang), Sipaka pitu
(kayu), Sipaka waluh (tambak atau kolam), Sipaka siwah (kepiting), Sipaka sepuluh
(baluat), Sipaka sepuluh sada (batu), Sipaka sepuluh dua (nurung atau ikan)
Dari informasi yang didapat, masyarakat karo juga mempercayai adanya hari
baik dan hari buruk. Namun informasi tentang penentuan hari baik dan hari buruk
lagu atau karya seni lainnya, masyarakat karo juga menghubungkannya dengan hari baik
dan hari buruk tersebut. Masyarakat karo mempercayai aktifitas penciptaan karya
tersebut sebaiknya dilakukan pada hari baik.
2.6.2 Aksara karo
Pada umumnya tulisan atau aksara Karo jaman dulu digunakan untuk menuliskan
ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini diukir di kulit kayu atau bambu
yang dibentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini
diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai
(dihitamkan) dengan bahan baku tertentu. Umumnya tulisan itu dibuat pada kulit kayu,
bambu dan tulang hewan. Selain itu fungsi dari tulisan karo ini adalah sebagai alat
komunikasi dalam bentuk surat menyurat sesame masyrakat karo.
Sejauh ini penulis tidak menemukan data tentang tulisan karo ini dalam hal
penciptaan lagu. Sehingga dapa dipastikan bahwa aksara karo ini hanya berfungsi
sebagai tulisan mantra dan alat komunikasi saja.
Huruf (aksara) karo terdiri atas 21 huruf induk utama ditambah sisipan
“Ketelengan“ dan lain-lain.
Berikut adalah bentuk dari huruf-huruf karo tersebut :
BAB III
PENGARUH SITUASI EKONOMI, POLITIK DAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP PEMIKIRAN DEPARI
3.1 Biografi Djaga Depari
Dalam bab ini, penulis mendapatkan informasi tentang masa hidup Djaga Depari
dari wawancara dengan Bapak R. Ginting dan salah seorang penulis yang pernah
menulis tentang Djaga Depari yaitu Robert Perangin-angin. Karena keterbatasan waktu,
tempat dan dana maka wawancara dengan Robert Perangin-angin dilakukan melalui
media internet yaitu dengan media e-mail17. Selain itu penulis juga banyak mendapat
tambahan informasi dari buku yang ditulis oleh Robert Perangin-angin yang berjudul
Djaga Depari “Komponis dari Tanah Karo” dan buku-buku lainnya yang berhubungan
dengan masa hidup Djaga Depari.
3.1.1 Lahir
Djaga Depari dilahirkan di Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten
Karo pada tanggal 5 Mei 1922. Ayah Djaga Depari adalah Ngembar Sembiring Depari.
Ayahnya bekerja sebagai seorang mandor besar Wer bas elkawe (Perusahaan Pekerjaan
Umum) Deli Hulu pada masa penjajahan Belanda. Ibu Djaga Depari adalah Siras br
Karo Sekali. Djaga depari mempunyai empat saudara perempan dan satu saudara
laki-laki. Djaga Depari merupakan anak kedua.
Berikut adalah nama-nama saudara-saudari Djaga Depari : Tempat Br Depari,
Djalim Depari, Nengeni Br Depari, Ngasali Br Depari dan Senter Br Depari18.
Sejak usia dini, walaupun Djaga Depari seorang anak mandor, namun dalam
pergaulan beliau tidak tinggi hati, melainkan menyatu dan membaur dengan anak-anak
sebaya. Sebagai anak yang masih kecil, seperti kebiasaan masyarakat di desanya,
pekerjaan sehari-hari di samping sekolah hanyalah bermain-main dan bersenang-senang
saja, tidak pernah memikirkan segala sesuatunya yang diperlukan. Sebab, meskipun
sesuatunya sangat sederhana, namun karena didikan kedua orang tuanya, semuanya
diterima apa adanya. Djaga Depari di lingkungan keluarga, kerabat, teman dekat sering
dipanggil Djaga atau Depari saja. Sebagian besar teman satu permainannya adalah
anak-anak yang berasal dari kalangan rakyat biasa.
3.1.2 Masa sekolah
Umumnya pada jaman penjajahan, tidak sembarangan orang yang dapat
bersekolah. Hal itu disebabkan mahalnya biaya sekolah pada saat itu. Karena Djaga
Depari anak seorang mandor, beliau dapat langsung dimasukkan ke sekolah Belanda.
Pendidikan dasar Djaga Depari dimulai pada tahun 1935. Saat itu beliau disekolahkan di
salah satu sekolah Belanda yaitu di Christelijk Hollandsch Inlandche School (Christelijk
HIS)19.
Djaga Depari merupakan siswa yang cerdas di sekolahnya. Selain itu Djaga
Depari juga dikenal ramah, disiplin dan santun terhadap sesama siswa dan guru. Djaga
Depari juga pandai menyanyikan beberapa lagu berbahasa Belanda dengan suara merdu,
diantaranya lagu kun je nog zingen, zing dan mee20. Sehingga sering kali guru-guru dan
teman-temannya menyuruhnya menyanyi di depan kelas.
Setelah menamatkan sekolah di Christelijk HIS ini, Djaga Depari melanjutkan
jenjang pendidikan ke sekolah HIS lanjutan di Medan. Di masa penjajahan Belanda
dulu, anak-anak Indonesia yang bisa belajar di HIS dapat dihitung dengan jari. Hal itu
bukan pengaruh kecerdasan, namun karena mahalnya biaya sekolah pada saat itu. Pada
masa itu umumnya masyarakat Indonesia berpenghasilan sangat rendah.
Di antara pemuda pelajar Karo yang bisa duduk di berbagai sekolah lanjutan HIS
yang ada di kota Medan saat itu adalah : Amin Adab Sebayang, Asan Sini Suka, Bena
Pande Besi Sitepu, Bom Ginting, Djamin Ginting, Jaga Bukit, Kerani Bukit, Keras
Surbakti, Kontan Bangun, Koran Karo-karo, Lahi Raja Munte, Manis Manik, Mbaba
Bangun, Nelang Sembiring, Netap Bukit, Ngerajai Meliala, Payung Bangun, Metehsa
Tarigan, R.I. Manang Perangin-angin, R.N. Maha, Rakutta Sembiring, Raja Sungkunen
Ginting Suka, Roga Ginting, Rumani Barus, Selamat Ginting dan Teramuli Gintings21.
Ketika duduk di bangku HIS lanjutan inilah Djaga Depari dan beberapa kawan
sekolahnya membentuk sebuah kelompok musik. Di kelompok musik ini Djaga Depari
memegang alat musik biola. Djaga Depari tidak mempunyai pendidikan khusus di
bidang musik tapi beliau sangat piawai dalam menggesek dawai biola. Dia
mengandalkan biola dalam meramu not-not lagu karyanya. Lagu-lagu yang dibawakan
Djaga Depari di kelompok musik ini adalah lagu-lagu populer pada saat itu yang bukan
20 Beberapa lagu-lagu Belanda yang terkenal saat itu
berbahasa Indonesia yaitu lagu barat (Perancis, Spanyol, Italia). Pada periode inilah
Djaga Depari mulai mencoba mengarang beberapa buah lagu. Walaupun Djaga Depari
gemar memainkan lagu-lagu barat, lagu-lagu yang beliau ciptakan kebanyakan
berbahasa Karo. Banyak sekali lagu-lagu berbahasa Karo yang kita kenal sekarang
merupakan karya dari Djaga Depari. Lagu-lagu karya Djaga Depari ini diciptakan pada
masa penjajahan dan setelah kemerdekaan Indonesia.
Djaga depari menamatkan sekolah di HIS lanjutan pada tahun 1939. Pada masa
ini Djaga Depari dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Pilihan tersebut adalah
tetap melanjutkan sekolah atau menekuni dunia musik. Kedua pilihan tersebut
sama-sama penting bagi Djaga Depari. Namun Djaga Depari harus tetap memilih salah satu di
antaranya. Pada akhirnya setelah mempertimbangkan dengan cukup matang segala
konsekuensinya, Djaga Depari memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Djaga
Depari dapat meluluhkan hati ayahnya, Ngembar Depari yang menginginkan Djaga
Depari tetap melanjutkan sekolah. Namun, supaya tidak terlalu mengcewakan hati
Ngembar Depari, maka Djaga Depari mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus mengetik
dan kursus di bidang administrasi. Di sela-sela kesibukan kursus ini, Djaga Depari
bersama teman-temannya membentuk suatu grup musik yang diberi nama “Orkes Melati
Putih”. Di grup ini Djaga Depari memegang jabatan sebagai pemain biola. Grup ini
langsung popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah di Medan saat itu.
Grup ini sering diundang untuk mengisi acara pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain.
Pada tahun 1942, dengan berbekal ijasah yang didapat Djaga Depari dari kursus
bahasa Inggris dan bahasa Belanda, Kesultanan Deli Serdang mengajak Djaga Depari
untuk bekerja di kantor Wakil Kesultanan Deli Serdang di desa Bangun Purba22. Djaga
Depari bekerja sebagai pegawai atau pada saat itu disebut valunteer dengan gaji bersih
sebesar 15 gulden setiap bulan. Gaji ini merupakan gaji yang di atas rata-rata bagi
seorang yang minim pengalaman kerja pada saat itu.
Djaga Depari menikah pada tahun 1943 di usia 21 tahun. Beliau menikahi
impalnya23 yang bernama Djendam Br Pandia, anak kedua dari lima bersaudara dari
keturunan pamannya yang bernama Dokan Pandia yang bekerja sebagai petani pada saat
itu. Dari pernikahan ini Djaga Depari dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak (empat
laki-laki dan tiga perempuan). Berikut adalah nama-nama dari putra-putri Djaga
Depari24 :
1. Sadarman Depari, lahir pada tanggal 11 Desember 1944 di
Seberaya
2. Sutrisno Depari, lahir pada tanggal 24 November 1946 di
Seberaya
3. Maya Rita Br Depari, lahir pada tanggal 4 Mei 1953 di
Seberaya
4. Agustina Br Depari, lahir pada tanggal 17 Agustus 1959 di
Seberaya
22
Impal : Salah satu desa di bawah pemerintahan Kecamatan Tiga Panah 23 Anak perempuan dari paman, saudara laki-laki dari ibu
5. Junita Br Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1960 di
Kabanjahe
6. Waktu Depari, lahir pada tanggal 10 Juni 1962 di
Kabanjahe
7. Ngapuli Depari, lahir pada tanggal 17 Juni 1963 di
Kabanjahe
Ketujuh anak Djaga Depari tersebut telah berkeluarga. Dari hasil perkawinan
anak-anaknya ini, Djaga Depari memiliki menantu dan 18 orang cucu. Berikut adalah
keterangan mengenai menantu dan cucu-cucu Djaga Depari tersebut25 :
1. Anak pertama, Sadarman Depari menikah dengan Kartini br. Lubis, seorang
gadis yang berasal dari Kota Pinang, Labuhan Batu. Dari pasangan ini, Djaga
Depari memperoleh empat orang cucu yaitu : Prima Depari, Rospita br. Depari,
Irma br. Depari dan Juli br. Depari.
2. Anak kedua, Sutirisno Depari menikah dengan Mulianna br. Kaban, seorang
gadis yang berasal dari Desa Pernantin Kecamatan Juhar. Dari pasangan ini,
Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu : Juliaman Depari dan Fitrianai
br. Depari.
3. Anak ketiga, Maya Rita br. Depari menikah dengan Sopan Sinuhaji, seorang
pemuda yang berasal dari Desa Aji Jahe. Dari pasangan ini, Djaga Depari