A. Pengertian Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata : Perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau
lebih lainnya. Pada dasarnya konsep perjanjian terdiri atas 5 konsep yaitu:
1. Subyek Perjanjian
Subyek perjanjian yaitu para pihak yang melakukan perjanjian tersebut,
sekurang-kurangnya ada dua pihak. Subyek perjanjian dapat berupa manusia
pribadi maupun badan hukum. Subyek perjanjian harus wewenang dalam
melakukan perbuatan hukum seperti yang diatur didalam undang-undang10.
2. Persetujuan Tetap
Persetujuan tetap, yaitu antara pihak-pihak sudah tercapai kata
kesepakatan yang final, sebagai hasil akhir yang dicapai dalam negosiasi.
Negosiasi adalah suatu perbuatan pendahuluan sebagai proses menuju pada
persetujuan atau persepakatan final. Persetujuan itu dinyatakan dengan
penerimaan atas suatu tawaran. Persetujuan final tersebut berisi hak dan
kewajiban yang mengikat masing-masing pihak yang wajib dipenuhi dengan
itikad baik, dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak11.
10 Abdulkadir Muhammad, 2011, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm 291
3. Objek Perjanjian
Objek perjanjian, yaitu berupa prestasi yang wajib dipenuhi oleh kedua
belah pihak12. Objek perjanjian harus benda yang tidak dilarang untuk
diperjanjikan didalam undang-undang. Jadi objek perjanjian harus halal, jelas
objeknya dan dapat diserahkan berdasarkan pada perjanjian yang diadakan oleh
kedua belah pihak.
4. Tujuan Perjanjian.
Tujuan perjanjian yaitu, hasil akhir yang diperoleh oleh para pihak
berupa pemanfaatan, penikmatan dan pemilikan benda atau hak kebendaan
sebagai pemenuhak kebutuhan para pihak. Pemenuhak kebutuhan tersebut tidak
akan tercapai bila tidak ada dilakukan dengan mengadakan perjanjian antara para
pihak. Tujuan perjanjian tersebut dapat dicapai bila sifatnya halal. Yang artinya
tidak dilarang oleh undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan didalam masyarakat13.
5. Bentuk Perjanjian.
Bentuk perjanjian perlu dilakukan karena ada ketentuan undang-undang
bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan
mengikat dan memilliki kekuatan bukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta
yang dibuat dihadapan notaris maupun akta dibawah tangan yang dibuat oleh para
pihak itu sendiri. Bentuk tertulis sangat diperlukan jika perjanjian tersebut
berisikan hak dan kewajiban yang sulit diingat. Jika perjanjian dibuat tertulis
makakepastian hukumnya tinggi.
Perjanjian dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas
maksud dan tujuannya akan udah diingat dan dipahami oleh pihak-pihak, itu
sudah cukup. Walaupun perjanjian lisan biasanya didukung oleh dokumen,
misalnya tiket penumpang, faktur penjualan, dan kwitansi14.
Menurut Subekti tentang pengertian Pasal 1313 KUHPerdata adalah
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji pada oranglain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan menurut KRMT Tirtodiningrat
memberikan defenisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.
Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas penting yang menjadi dasar
para pihak untuk mencapai tujuan masing-masiang. Beberapa asas tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Asas Kebebasan Berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas sentral dalam hukum
perjanjian. Pada asas ini terdapat dalam pasa 1313 KUHPerdata yang
berbunyi “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam asas ini semua
orang bebas melakukan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur oleh
undang-undang maupun yang belum15. Asas ini memberi keleluasan
kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk mengatur sendiri pola
hubungan hukum mereka. Akan tetapi asas kebebasan berkontrak ini
dibatasi oleh Pasal 1339 KUHPerdata, agar tidak terjadinya
kesewenang-wenangan dalam membuat suatu perjanjian. Dalam Pasal 1339
KUHPerdata disebutkan “ suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga segala sesuatu
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang “. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak dibatasi
oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan16.
b) Asas Konsensualisme.
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai
kata sepakat (konsensus) antara para pihak-pihak mengenai pokok
perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat
hukum. Berdasar pada asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat itu cukup secara lisan saja, sebagai penjelmaan asas “manusia itu
dapat dipegang mulutnya”, artinya dapat percaya dengan kata-kata yang
diucapkannya. Akan tetapi, ada perjanjian tertentu yang dibuat secara
tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hibah dan pertanggungan
(asuransi). Tujuannya adalah untuk bukti lengkap mengenai apa yang
mereka perjanjikan. Perjanjian dengan formalitas tertentu ini disebut
perjanjia formal17.
c) Asas Itikad Baik.
Sebagaimana diketahui dalam pasaal 1338 (3) yang menyatakan bahwa
“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang
maksudnya persetujuan harus didasarkan dengan itikad baik. Maksudnya
perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan18. Pengertian itikad
baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas. Dalam Pasal 1963 KUHPerdata adalah
kemauan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai
barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk
mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi. Itikad baik
semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat
untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan statis.
Sementara itu, pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata
yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah bersifat
dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus
berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat
bahwa sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak
17 Abdulkadir Muhammad, ibid.hlm 296.
lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua
belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu
memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak
lain untuk menguntungkan diri pribadi19.
Menurut Arthur S. Hartkamp,20 terdapat dua model pengujian tentang ada atau tidaknya itikad
baik dalam kontrak, yaitu pengujian objektif dan pengujian subjektif. Pengujian objektif pada umumnya
dikaitkan dengan kepatutan, artinya salah satu pihak tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia
telah bertindak jujur manakala ternyata ia tidak bertindak secara sepatutnya. Sementara itu pengujian subjektif
terdapat kewajiban itikad baik dikaitkan dengan keadaan karena ketidaktahuan.
Memang diketahui untuk dapat memahami itikad baik bukanlah hal yang mudah. Pada kenyataanya itikad
baik acap kali tumpang-tindih dengan kewajaran dan kepatutan. Dalam itikad baik terkandung kepatutan,
demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Oleh karena itu dalam pengadilan, itikad baik
dan kepatutan dipahami sebagai asas atau prinsip yang saling melengkapi.21
d) Asas Obligator.
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak
dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian
yang bersifat kebendaan, yaitu melalui penyerahan. Hukum perdata Prancis mengenal perjanjian
obligator. Perjanjian yang dibuat itu sekaligus bersifat Zakelijk, yaitu
memindahkan hak milik. Hukum perdata prancis tidak mengenal lembaga
penyerahan (levering).
19
Agus Yudha Hernoko, op.cit., hlm. 139.
20 Periksa Y. Sogar Simamora, Perinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan
Jasa oleh Pemerintah, (ringkasan Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005, hlm. 39 (selanjutnya disingkat Y. Sogar Simamora-II).
B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian.
Perjanjian sah dan mengikat apabila perjanjian tersebut memenuhi
unsur-unsur dan syarat-syaratnya yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian
yang sah dan mengikat diakui dam memiliki akibat hukum (legally conclued
contract). Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, setiap perjanjian selalu memiliki
empat unsur dan pada setiap unsur melekat syarat-syarat yang ditentukan
undang-undang.22 Sebagaimana bunyi Pasal 1320 KUHPerdata “untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Dan suatu sebab yang halal”.23
a.1. Kesepakatan.
Pada Pasal 1320 KUHPerdata syarat pertama mensyaratkan adanya
kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan suatu kontrak. Kesepakatan
mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak
masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu cocok
atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain. Pernyataan kehendak tidak selalu
harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal yang
22 Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 299
mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.24 Persetujuan kehendak adalah
persepakatan seia sekata antara para pihak mengenai pokok (esensi) perjanjian. Apa yang dikehendaki para pihak yang satu
juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya final, tidak lagi dalam tawar-menawar.
Untuk itu sebelum adanya suatu perjanjian, para pihak biasanya mengadakan negosiasi, masing-masing pihak
mengajukan penawaran kepada pihak yang lain mengenai syarat-syaratnya. Dan pihak yang lainnya menyatakan kehendak
sehingga tercapilah persetujuan yang final. Persetujuan kehendak adalah bebas, tidak ada paksaan maupun tekanan dari
pihak mana pun, dan murni atas kemauan para pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada
kekhilafan atau penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah
ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan menakut-nakuti (Pasal 1324 KUHPerdata).
Diaktakan tidak ada kekhilafan atau kekliruan atau kesesatan jika salah satu pihak tidak khilaf atau tidak
keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan
perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 1322 KUHPerdata, apabila ada kekeliruan atau kehilafan dalam suatu perjanjian
maka perjanjian tersebut batal demi hukum, kecuali kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakikat benda yang
menjadi pokok perjanjian atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Menurut Pasal 376 KUHPidana, penipuan adalah sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan
keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk lawanya supaya menyetujui objek yang ditawarkan. Menurut Pasal
1328 KUHPerdata jika tipu muslihat digunakan oleh salah satu pihak sedemikian rupa sehingga terang dan nyata membuat
para pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Jika tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lain tidak akan membuat
perjanjian. Penipuan ini merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian.25
a. 2. Kewenangan (Kecakapan).
Yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat nomor 2 adalah
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan
hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.26
Pihak-pihak yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu
sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh; walaupun belum 21 tahun
penuh, tetapi sudah pernah kawin; sehat akal (tidak gila); tidak di bawah
pengampuan, dan memiliki surat kuasa apabila mewakili pihak lain.
Pada umumnya orang dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan
hukum apabila dia sudah dewasa. Artinya, sudah mencapai usia 21 tahun atau
sudah pernah kawin walaupun belum berumur 21 tahun penuh. Menurut hukum
perdata nasional kini, wanita bersuami sudah dinyatakancakap melakukan
perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suami. Perbuatan hukum yang
dilakukan oleh istri adalah sah dan mengikat menurut hukum dan tidak dapat
dimintakan pembatalan kepada pengadilan.27
Akibat hukum tidak wewenang membuat perjanjian, maka perjanjian
yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan. Jika
pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap
berlaku bagi para pihak.28
a. 3. Objek Tertentu (Suatu Hal Tertentu).
Adapun yang dimaksud dalam Pasal 1320 syarat ke 3 adalah prestasi yang
menjadi kewajiban pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan
sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak29. Suatu
objek tertentu atau prestasi tertentu merupakan objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi tertentu hatus
ditentukan mengenai kejelasan objek perjanjian untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika
objek perjanjian atau prestasi tersebut kabur, tidak jelas, sulit, bahkan tidak mungkin dilaksanakan, perjanjian itu batal.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, objek perjanjian atau asuransi yang wajib dipenuhi pihak-pihak itu dapat
berupa memberikan benda tertentu, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud.
Disamping melakukan perbuatan tertentu, boleh juga tidak melakukan
perbuatan tertentu, misalnya tidak membuat tembok tinggi yang menghalangi
pemandangan tetangganya. Jika perbuatan ini tetap dilakukan berarti ini
merupakan pelanggaran hukum.30
a. 4. Kausa Yang Diperbolehkan
Ajaran tentang kausa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320
KUHPerdata syarat ke 4, sampai saat ini sebenarnya masih tidak terlalu jelas.
KUHPerdata sendiri mengadopsi dari BW dari Belanda sedangkan BW Belanda
mengadopsi syarat kuasa dari Code Civil Prancis yang bersumber dari pandangan
Domat dan Pothier. Apa saja yang menjadi dasar keterikatan para pihak pada
prestasi masing-masing, karena menerima perikatan berarti para pihak menerima
kewajiban-kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut.31
Tujuan perjanjian yang akan dicapai oleh para pihak sifatnya harus halal. Artinya, tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dalam masyarakat.
Kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukan sebab mendorong orang membuat suatu perjanjian, melainkan
isi perjanjian itu sendiri menjadi tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang
menjadi sebab para pihak mengadakan suatu perjanjian, akan tetapi tetap diawasi oleh
undang-undang adalah isi perjanjian tersebut sebagai tujuan yang hendak dicapai
oleh para pihak. Akibat hukum perjanjian yang isi atau tujuannya tidak halal
adalah “batal”. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan
prestasi dimuka pengadilan. Demikian jika perjanjian yang dibuat tanpa kausa,
dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata)32.
C. Akibat Hukum Perjanjian Bagi Para Pihak.
Akibat hukum perjanjian yang sah termuat dalam Pasal 1338
KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah dan mengikat berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya, dan tidak dapat dibatalkan
tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
1. Berlaku Sebagai Undang-Undang.
Yang artinya adalah perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
serta memberi kepastian hukum kepada para pihak yang membuatnya. Para
pihak wajib mentaati perjanjian tersebut sama dengan mentaati
undang-
undang. Apabila ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, dia
dianggap sama dengan melanggar undang-undang sehingga diberi akibat
hukum tertentu, yaitu sanksi hukuman. Jadi siapa yang melanggar perjanjian,
dia dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam
undang-undang (perjanjian)33.
2. Tidak Dapat Dibatalkan Sepihak.
Karena perjanjian adalah persetujuan kedua belah pihak, jika akan dibatalkan
harus dengan persetujuan kedua belah pihak juga. Akan tetapi jika ada alasan
yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat dibatalkan secara
sepihak. Alasan-alasan ditetapkan undang-undang itu adalah sebagai berikut :
a) Perjanjian yang bersifat terus menerus, berlakunya dapat dihentikan
secara sepihak. Misalnya tentang sewa menyewa yang dibuat secara
tidak tertulis dapat dihentikan dengan pemberitahuan kepada penyewa.
b) Perjanjian sewa rumah, setelah berakhir waktu sewa seperti ditentukan
dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah tersebut
tanpa ada teguran dari pemilik yang menyewakan, maka penyewa
dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar
sewa-menyewa dengan syarat-syarat yang sama untuk waktu yang ditentukan
menurut kebiasaan setempat. Jika pemilik ingin menghentikan
sewa-menyewa tersebut, dia harus memberitahukan kepada penyewa menurut
kebiasaan setempat.
c) Perjanjian pemberian kuasa, pemberi kuasa dapat menarik kembali
kuasanya apabila dia mengkehendakinya.
d) Perjanjian pemberian kuasa, penerima kuasa dapat membebaskan diri
dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan kepada pemberi
kuasa.
3. Pelaksanaan Itikad Baik.
Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata adalah
ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan
perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta
apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan diatas jalan yang benar.
Apa yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu undang-undang
tidak ada memberikan rumusannya. Akan tetapi, jika dilihat dari katanya,
kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, dan kecocokan;
sedangkan kesusilaan artinya kesopanan dan keadaban. Berdasarkan pada
arti kata-kata tersebut dapat dirumuskan kiranya kepatutan dan kesusilaan
itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, dan
beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak
yang berjanji. Jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan dengan
itikad baik, pengadilan diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap
norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Ini berarti bahwa pengadilan
apabila pelaksanaan menurut kata-kata itu akan bertentangan dengan itikad
baik, yaitu norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan yang sesuai
dengan norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil.
Sebagaimana tujuan hukum adalah menciptakan keadilan34. Dalam doktrin
yang dikemukakan oleh para ahli hukum pelaksanaan persetujuan dengan
itikad baik sebenarnya sama dengan penafsiran perrsetujuan berdasarkan
kepatutan dan keadilan seperti yang termuat dalam Pasal 1339 KUHPerdata
: “Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang telah ditegaskan
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau oleh
undang-undang”.
D. Jenis-Jenis Perjanjian dan Berakhirnya Perjanjian.
Dalam buku Mariam Darus Badrulzaman yang berjudul Kompilasi
Hukum Perikatan membagi jenis-jenis perjanjian yaitu:
a) Perjanjian Timbal Balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak, seperti perjanjian jual beli.
b) Perjanjian Cuma-Cuma.
Berdasarkan Pasal 1314 KUHPerdata menyebutkan, suatu persetujuan yang
dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa
menerima manfaat bagi dirinya sendiri, misalnya seperti perjanjian hibah.
c) Perjanjian Atas Beban.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terhadap kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.
d) Perjanjian Bernama (Banoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri,
maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi
nama oleh pembentuk undang-undang. Berdasarkan tipe yang paling banyak
terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam bab V sampai bab
XVIII KUHPerdata.
e) Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst).
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur didalam
KUHPerdata, tetapi keberadaannya berada didalam masyarakat. Jumlah
perjanjian ini tidaj terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan
kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.
f) Perjanjian Obligatoir.
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menciptakan hak dan
mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli
wajib membayar harga benda, penjual berhak atas pembayaran harga
sedangkan pembeli berhak atas barang yang dibeli.
g) Perjanian Kebendaan.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorangn
menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada
pihak lain.
h) Perjanjian Konsensual.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak
telah tercapai persetujuan kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut
KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tujuan perjanjian tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
i) Perjanjian Real.
Perjanjian real adalah suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan
realisasi tujuan perjanjian, yaitu peminndahan atau pengalihan hak.
j) Perjanjian Liberatoir.
Perjanjian liberatoir adalah suatu perjanjian dimana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUHPerdata).
Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan
pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
l) Perjanjian Untung-untungan.
Berdasarkan Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian
untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung
ruginya baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung
pada suatu kejadian yang belum tentu.
m)Perjanjian Publik.
Perjanjian publik adalah suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik. Karena salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah, dan baik lainnya swasta. Diantara kedua belah pihak terdapat
hubungan atasan dengan bawahan.
n) Perjanjian Campuran.
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai
unsur perjanjian didalamnya35.
Kemudian mengenai berakhirnya suatu perjanjian, berdasarkan Pasal
1381 KUHPerdata. Dalam Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan ada sepuluh
cara hapusnya perjanjian. Kesepuluh cara tersebut diuraikan satu demi satu
sebagai berikut :
1. Pembayaran.
Adapun dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi
penyerahan sejumlah uang saja, melainkan juga penyerahan benda yang
diperjanjikan. Dengan kata lain, perikatan berakhir karena pembayaran dan
penyerahan benda. Jadi dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang, maka
perikatan tersebut berakhir apabila adanya pembayaran uang. Dan dalam hal objek
perjanjian benda, maka perjanjian tersebut berakhir apabila telah menyerahkan
benda yang diperjanjikan. Lalu dalam hal objek perjanjian adalah pembayaran
uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perjanjian tersebut berakhir
setelah pembayaran uang dan penyerahan benda. Pada dasarnya pembayaran
hanya dapat dilakukan oleh pihak yang bersangkutan, dalam hal ini pihak yang
melakukan perjanjian. Namun berdasarkan Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan
bahwa pembayaran dapat dilakukan pihak lain yang merasa berkepentingan dalam
perjanjian tersebut. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa
yang membayar akan tetapi yang paling penting adalah yang namanya hutang
harus tetap dibayar36.
2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan.
Jika debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara
notaris atau juru sita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, berdasarkan
atas penolakan kreditur itu debitur menitipkan pembayaran itu kepada panitera
pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus
(Pasal 1404KUHPredata)37. Supaya penawaran pembayaran itu sah, perlu
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya.
b. Dilakukan oleh drbitur yang wewenang membayar.
c. Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan.
d. Waktu yang ditetapkan telah tiba.
e. Syarat dimana hutang dibuat telah terpenuhi.
f. Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau
ditempat yang telah disetujui.
g. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaris atau juru sita disertai
oleh dua orang saksi.
3. Pembaruan Hutang.
Pembaruan hutang terjadi dengan cara mengganti hutang lama dengan
hutang baru, debitur lama dengan debitur baru, kreditur lama dengan kreditur
baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru, terjadilah penggantian
objek perikatan, yang biasa disebut “novasi objektif”, disini hutang lenyap. Dalam
hal penggantian orangnya (subjektif), maka jika debiturnya diganti, maka
pembaruan ini disebut dengan “novasi subjektif pasif”. Lalu jika krediturnya
diganti maka pembaruaan disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini hutang
lenyap. Dengan kata lain pembaruan hutang adalah suatu peristiwa hukum dalam
suatu perjanjian yang diganti dengan perjanjian lain. Dalam hal ini para pihak
mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan
membuat perjanjian yang baru.
4. Perjumpaan Hutang.
Dikatakan perjumpaan hutang apabila antara debitur dan kreditur
memiliki hutang secara timbal balik sehingga dilakukan perhitungan. Dalam
perhitungan tersebut hutang lama lenyap. Lalu supaya hutang tersebut dapat
dijumpakan perlu dipenuhi beberapa syarat antara lain :
a) Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis
dan kualitas yang sama.
b) Hutang tersebut harus dapat ditagih.
c) Hutang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya .
5. Pencampuran Hutang.
Berdasarkan Pasal 1436 KUHPerdata, pencampuran hutang itu terjadi
apabila antara kedudukan debitur dan kreditur menjadi satu. Artinya, berada
dalam satu tangan, pencampuran hutang terjadi demi hukum. Karena
pencampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap.
6. Pembebasan Hutang.
Pembebasah hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas
menyatakan tidak lagi mengkehendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan
haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dan debitur menerima
pernyataan tersebut maka dengan pembebasan ini perjanjian menjadi lenyap atau
Menurut Pasal 1438KUHPerdata, pembebasan suatu hutang dalam
perjanjian tidak boleh didasarkan pada persangkaan saja melainkan harus
dibuktikan .
7. Musnahnya Benda Yang Terhutang.
Menurut Pasal 1444 KUHPerdata, apabila benda tertentu yang menjadi
objek pejanjian itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang bukan
karena kesalahan debitur, dan sebelum dia lalai menyerahkannya pada waktu yang
telah ditentukan, maka perjanjia tersebut hapus. Akan tetapi, bagi mereka yang
memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya karena pencurian maka
musnahnya atau hilangnya benda tersebut tidak membebaskan debitur, dan
menggantinya. Jadi dalam hal ini apabila sidebitur telah berusaha dengan segala
upayanya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti semula, ini
disebut dengan resiko.
8. Karena Pembatalan.
Menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, apabila suatu
perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya salah satu pihak belum
dewasa atau tidak wewenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, maka
perikatan itu tidak batal, melainkan dibatalkan. Perikatan yang tidak memenuhi
syarat subjrktif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri
melalui dua macam cara, yaitu :
Yaitu dengan cara menuntut pembatalan melalui pengadilan dengan
cara mengajukan guguatan.
b. Dengan cara pembelaan.
Yaitu dengan cara menunggu sampai digugat di muka pengadilan
negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan-alasan
yang mendukung tentang kekurangan dalam perjanjian itu.
Untuk itu pembatalan seccara aktif, undang-undang memberikan
pembatasan waktu, yaitu lima tahun (Pasal 1445 KUHPerdata),
seangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak ada batasan
waktu.
9. Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud di sini adalah suatu ketentuan isi perikatan
yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi
mengakibatkan perjanjian itu batal sehingga perjanjian tersebut hapus. Syarat
batal pada asasnya selalu berlaku surut semenjak perjanjia tersebut dibuat.
Perjanjian tersebut dipulihkan seolah-olah tidak ada pernah terjadi perjanjian.
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si
berpihutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang
dikamsud terjadi.
10. Lampau Waktu (Daluwarsa).
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUHPerdata, lampau waktu adalah alat
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang. Atas daasar ketentuan tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau
waktu yaitu :
a. Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda
disebut acqulsitieve varjaring.
b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau
dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.
Berdasarkan Pasal 1963 KUHPerdata untuk memperoleh hak milik atas
suatu benda berdasarkan daluwarsanya harus dipenuhi unsur-unsur adanya ititkad
baik, ada alas hak yang sah, menguasai benda itu terus-menerus selama 20 tahun
tanpa ada yang menggugat, atau jika jika tanpa alas hak menguasai benda itu
terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang menggugat.
Lalu pada Pasal 1967 KUHPerdata menentukan bahwa segala tuntutan,
baik yang bersifat kebendaan meupun yang bersifat perorangan hapus karena
daluwarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunjukkan
daluwarsa itu tidak sah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan
terhadapnya tangkisan yang berdasar pada itikad buruk.
Terhadap benda bergerak yang bukan bunga atau piutang yang bukan
atas tunjuk, siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun
demikian, jika ada oarang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam
jangka waktu tiga tahu terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu,
dari tangan siapapun yang memilikinya. Pemegang benda terkahir dapat menuntut
kepada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti
kerugian (Pasal 1977 KUHPerdata).
Dengan demikian daluwarsa adalah suatu upaya untu memperoleh
sesuatu atu dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu
dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal 1946
KUHPerdata).
Jika dalam suatu perjanjian tersebut telah dipenuhi salah satu unsur dari
hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan diatas, maka perjanjian tersebut
berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian tersebut para pihak terbatas dari