• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kenaikan Harga Tiket Kereta Ekonomi Pers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kenaikan Harga Tiket Kereta Ekonomi Pers"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

http://metro.kompasiana.com/2011/04/13/kenaikan-harga-tiket-ka-ekonomi-perspektif-konsumen-355298.html

Kenaikan Harga Tiket KA Ekonomi:

Perspektif Konsumen

Dibaca: 631 Komentar: 0 0

Sofian Munawar Asgart

Pendahuluan

(2)

Rencana kenaikan tersebut akan diberlakukan secara bertahap dalam empat semester. Setiap semester, tarif diusulkan naik sebesar 12,5 persen dan dimulai pada Juli 2010 hingga Januari 2012. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut:

No Bulan Tahun % Kenaikan bertahap, namun kebijakan itu tetap merupakan pilihan dilematis. Para pihak yang terlibat dan berkepentingan –pemerintah sebagai regulator, PT.KAI sebagai operator dan masyarakat umumnya sebagai konsumen– tentu memiliki sudut pandang berlainan dengan argumentasi masing-masing. Tulisan singkat ini ingin mencoba melihat rencana kenaikan harga tarif KA ekonomi tersebut dari perspektif masyarakat sebagai konsumen KA ekonomi.

Kenaikan Tarif KA Ekonomi: Tuntutan yang Ironis

Pasal 151 UU No.23 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pedoman penetapan tarif angkutan KA didasarkan atas perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan, dan keuntungan.[3] Dengan begitu, persoalan tarif bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun berkorelasi dengan aspek-aspek lainnya. Karena itu, pernyataan Dirut PT. KAI mengenai kenaikan dana PSO atau kenaikan tarif sebagai ”hanya” dua pilihan yang tersedia untuk meningkatkan pelayanan KA ekonomi, agaknya terlalu menyederhanakan persoalan sekaligus menggeneralisir persoalan.

(3)

Demikian halnya mengenai peningkatan dana PSO yang juga tidak pernah terbukti berpengaruh pada meningkatknya kualitas layanan PT. KAI. Totok Siswantara (2007) bahkan menyebutkan bahwa ada indikasi dana PSO yang diterima PT.KAI digunakan secara menyimpang, yakni lebih banyak digunakan untuk menutupi defisit ketenagakerjaan PT.KAI ketimbang sebagai subsidi transportasi rakyat.[5] Meskipun dana PSO yang diberikan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlahnya[6], tetapi kualitas layanan KA –terutama kelas ekonomi– malah semakin tidak sehat.

Menurut Taufik Hidayat (2006) ada empat kriteria yang dapat menjadi petunjuk sehat atau tidaknya kondisi perkeretaapian, yaitu (1) Hubungan antara perkeretaapiaan dan perspektif sosial kemasyarakatan. Banyaknya pelemparan batu terhadap KA, misalnya, menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak harmonis. (2) Hubungan antara perkeretaapian dan perspektif pasar. Ketidakseimbangan antara kebutuhan akan pelayanan dengan kesiapannya melayani tuntutan pasar yang begitu besar menunjukkan bahwa PT.KAI kurang responsif. (3) Efisiensi internal perkeretaapian. Pengelolaan perkeretaapian Indonesia yang masih tradisional dan monopolistik sangat sulit untuk terhindar dari inefisiensi dalam operasi dan pemeliharaan. (4) Tingkat keselamatan penumpang. Sering terjadinya kecelakaan KA merupakan indikasi lemahnya penanganan terhadap aspek keselamatan penumpang. Dari keempat kriteria tersebut, perkeretaapian Indonesia dapat dikatakan bernilai merah[7] Karena itu, tuntutan untuk menaikkan tarif KA ekonomi di tengah mis-manajeman dan masih bobroknya kualitas pelayanan PT.KAI merupakan ironi.

Merekomendasikan Citizen Charter

William N. Dunn (1999) menyebutkan bahwa kebijakan publik sebagai suatu rangkaian panjang pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan-badan atau kantor-kantor pemerintah atau negara, yang dirumuskan dalam bidang isu tertentu.[8] Sementara Thomas R. Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “… is whatever governments choose to do or not to do …”.[9] Dalam bahasa yang hampir sama, George C. Edward dan Ira Sharansky menyebutkan kebijakan publik sebagai “… is what governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of government programs …”.[10]Pendekatan ini menempatkan negara dalam posisi sentral dan monolitik dalam pembuatan kebijakan.

(4)

kebijakan secara umum dibuat oleh para pejabat publik yang menjalankannya secara independen dari organisasi-organisasi seperti kelompok kepentingan atau partai politik yang menyalurkan tuntutan dan kepentingan sosietal. Kelompok state-structural menggunakan perangkat analisis yang menekankan adanya dampak struktur dan tindakan negara pada kebijakan, serta menganggap aktor di luar negara seperti kelompok kepentingan, partai politik dan aktor-aktor lain memainkan peranan penting, namun lebih pada alasan bahwa struktur dan tindakan-tindakan negara mempengaruhi kekuatan kepentingan yang diartikulasikan oleh aktor non-negara.[11]

Dalam konteks kenaikan harga tiket KA, PT.KAI sebagai operator tentu tidak punya hak untuk mengatur harga tiket. Sebagai operator, PT.KAI hanya bisa mengajukan permohonan kepada pemerintah sebagai regulator.[12] Pemerintah sebagai regulator pun sejatinya tidak bisa melakukannya secara semena-mena. Ia harus meminta persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Demikian halnya DPR sebagai aspirator rakyat, ia harus mampu menangkap “suasana batin” masyarakat dalam mengambil berbagai keputusan yang bersifat publik. Karena itu, dalam konteks rencana kenaikan harga tiket KA ekonomi yang kini mengemuka, proses pengambilan keputusan idealnya harus mengakomodasi partisipasi masyarakat melalui konsultasi publik. Secara illustratif hal ini dapat divisualisasikan sebagai berikut.

(5)

oleh pemerintah. Melalui community center, warga yang mempunyai keluhan yang sama terhadap pelayanan PT.KAI, misalnya, melakukan komplain secara bersama sehingga mempunyai kekuatan dan daya desak yang kuat. Menurut Aris Purnomo (2007) community center akan memiliki arti penting menjadi wadah akumulasi dan saluran komplain atau pengaduan warga. Selain itu, community center juga diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih berperan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.[13]

Dalam konteks perkeretaapian, keberadaan community center ini menjadi urgen karena dalam kenyataannya, masyarakat sebagai pengguna jasa KA –terutama konsumen KA kelas ekonomi— seolah tidak punya pilihan lain sehingga sama sekali tidak punya bargaining position ketika harus berhadapan dengan PT.KAI dengan segala birokrasi dan ortodoksinya, misalnya dalam hal kenaikan tarif. Melaluicommunity center, masyarakat bukan hanya dapat menolak kenaikan tarif, namun dapat pula menegosiasikan hal lainnya yang lebih urgen dalam rangka membangunwin-win solution. Misalnya, masyarakat bisa saja memahami dan menerima kenaikan tarif sesuai usulan PT.KAI. Namun demikian, dalam waktu bersamaan community center juga dapat memaksa PT.KAI untuk menandatangani kesepakatan dengan warga (citizen charter) mengenai standar pelayanan minimal dan peningkatan kinerja yang harus dilakukan PT.KAI. Secara illustratif hal ini dapat divisualisasikan sebagai berikut.

(6)

Daftar Bacaan

Dunn, William N. (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dye, Thomas R. (1978). Understanding Public Policy, Prentice-Hall,Englewood Cliffs, New Jersey.

Edward, George C. (1978). The Policy Predicament, Freemand and Co., San Francisco.

Hall, Peter A (1990). Policy Paradigms, Social Learning and The State: The Case of Economic Policy-Making In Britain, Estudio Working Paper.

Hidayat, Taufik (2006). Perkeretaapian Indonesia di Persimpangan Jalan. YLKI-Indonesian Railway Watch-Ford Foundation, Jakarta.

Pinem, Dessy Eresina (2003), “Dampak Kenaikan Tarif Terhadap Pendapatan KRD Patas Dilihat dari Kesediaan dan Kemampuan Membayar Penumpang”, Tesis, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung.

Purnomo, Aris, Agus Wibowo, dan Suhud Darmawan (2007). Handbook Mekanisme Komplain dalam Pelayanan Publik agar Pelayanan Publik Pro Masyarakat Miskin, Pattiro-Access, Jakarta.

Siswantara, Totok, “Budaya Perkeretaapiaan,” dalam Pikiran Rakyat, Bandung: Edisi 1 Februari 2007.

Bisnis Indonesia, Jakarta: Edisi 22 Januari 2009

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/usulan-kenaikan-tarif-ekonomi-dikaji/

Kompas.com, Jakarta: Edisi 22 Januari 2009

Pikiran Rakyat, Bandung: Edisi 22 Januari 2009

TEMPO Interaktif, Jakarta: Edisi 22 Januari 2009

Undang-undang No.23 Tahun 2003 tentang Perkeretaapiaan

Peraturan Pemerintah No.56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapiaan.

[1] Informasi seputar itu antara lain dapat disimak dalam: “Tarif Kereta Ekonomi Diusulkan Naik 50%: Kenaikan Bertahap Mulai Juni 2010,” (Bisnis Indonesia, Jakarta: 22 Januari 2009), “Tidak Masuk Akal, PT.KAI Ingin Tarif Ekonomi Naik 50%,” (Pikiran Rakyat, Bandung: 22 Januari 2009), “PT.KA Minta Naik 50 Persen,” Kompas.com, Jakarta: 22 Januari 2009), “PT KA Usul Kenaikan Tarif Ekonomi 50%,” TEMPO Interaktif, 22 Januari 2009).

[2]http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/usulan-kenaikan-tarif-ekonomi-dikaji/

[3] Lebih rinci, simak Undang-undang No.23 Tahun 2003 tentang Perkeretaapiaan danPeraturan Pemerintah No.56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapiaan.

[4] Dessy Eresina Pinem (2003), “Dampak Kenaikan Tarif Terhadap Pendapatan KRD Patas Dilihat dari Kesediaan dan Kemampuan Membayar Penumpang”, Tesis, Departemen Teknik Planologi ITB, Bandung.

(7)

[6] Data Direktoral Perkeretaapiaan (2008) menyebutkan bahwa tahun 2005 jumlah PSO yang dicairkan sebesar 270 miliar, tahun 2006 meningkat menjadi 350 miliar, dan kemudian tahun 2007 meningkat lagi menjadi 425 miliar.

[7] Taufik Hidayat (2006). Perkeretaapian Indonesia di Persimpangan Jalan. YLKI-Indonesian Railway Watch-Ford Foundation, Jakarta.

[8] William N. Dunn (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

[9] Dye, Thomas R (1978). Understanding Public Policy, Prentice-Hall,Englewood Cliffs, New Jersey.

[10] Edward, George C. (1978). The Policy Predicament, Freemand and Co., San Francisco.

[11] Hall, Peter A (1990). Policy Paradigms, Social Learning and The State: The Case of Economic Policy-Making In Britain, Estudio Working Paper.

[12] Pasal 151 Undang-Undang No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menyebutkan bahwa tarif angkutan KA ditetapkan oleh pemerintah.

[13] Aris Purnomo, Agus Wibowo, dan Suhud Darmawan (2007). Handbook Mekanisme Komplain dalam Pelayanan Publik agar Pelayanan Publik Pro Masyarakat Miskin, Pattiro-Access, Jakarta.

[14] Untuk tahun 2003 saja, misalnya, PT.KAI mencatat dari total penumpang sejumlah 175. 919.930, 117.417.465 diantaranya (71,28%) adalah konsumen pemakai jasa KA ekonomi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada skor dasar siswa yang tuntas sebanyak 16 orang dengan rata-rata 68,1, setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II terjadi peningkatan yaitu

Dari grafik 13 tersebut diatas dapat disampaikan bahwa persentase partisipasi Pria dalam program Keluarga Berencana di Jawa Tengah pada bulan Nopember 2010 terdapat 15

Pada PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Area Pengatur Distribusi (APD) Bandung didalam melaksanakan gaji dan tunjangan tentunya sangat diperlukan ketelitian

Berdasarkan pada pengalaman kami dan informasi yang ada, diharapkan tidak ada efek yang membahayakan jika ditangani sesuai dengan rekomendasi dan tindakan pencegahan yang sesuai

Aspek produksi, pada aspek ini yang dilakukan adalah: (1) melakukan inventarisasi permasalahan yang terjadi selama proses produksi terutama terkait dengan masalah

Hasil kajian awal diketahui bahwa (1) sekitar 90% santri yang memiliki masalah masih ditangani secara tradisional dengan metode nasihat yang bersifat instruktif,

Melalui gejala klinis tersebut akan dilakukan perhitungan menggunakan metode Naive Bayes untuk mendiagnosis penyakit yang diderita oleh kambing tersebut dan metode

Pada hasil evaluasi menunjukkan data yang diklasifikasikan secara benar (correct classified instances) sesuai dengan pengelompokkan pilihan lulus pilihan pertama, Pilihan