• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PROGRAM PANGAN DAN GIZI MASALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MANAJEMEN PROGRAM PANGAN DAN GIZI MASALA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

i

MANAJEMEN PROGRAM PANGAN DAN GIZI “MASALAH STUNTING PADA BALITA”

Oleh:

Erni Rukmana I151140221

Dosen Mata Kuliah: Dr. Ir. Drajat Martianto

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2 PENDAHULUAN

Kondisi ketahanan pangan dengan status gizi masyarakat sangat terkait satu sama lain.

Keterkaitan tersebut dilihat dari indikator MDGs yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang

pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan.

Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang sangat kompleks dan penyebab

dari masalah tersebut multifaktor dan multidimensi, seperti keterkaitan gizi terhadap hasil

produksi pangan, ketersediaan, harga, dan ekspor-impor pangan, rawan pangan, kemiskinan,

(UNICEFF, 1998). Oleh karena itu, langkah penanggulangannya juga harus dirumuskan dan

di identifikasi dari tiap masalah seperti produksi pangan, ketersediaan, harga, dan

ekspor-impor pangan, rawan pangan, kemiskinan, serta status gizi. Kriteria atau standar identifikasi

masalah dari produksi pangan, ketersediaan, harga, dan ekspor-impor pangan, rawan pangan,

kemiskinan, serta status gizi adalah dengan cara menganalisis data yang disajikan dan

menurut standar permasalahan pangan dan gizi (WHO, RISKESDAS, WNPG, MDG’s) serta

tinjauan pustaka dari berbagai penelitian.

Masalah utama yang diidentifikasi adalah masalah status gizi bayi bawah lima tahun

(Balita). Status gizi balita merupakan indikator yang sensitif sebagai penentu status gizi

masyarakat dan juga dapat mengidentifikasi kerawanan pangan rumah tangga. Stunting

merupakan status gizi yang disebabkan malgizi kronik, sehingga stunting balita bisa menjadi

indikator kunci dari kesehatan ibu dan anak (WHO, 2012) dan ketersediaan pangan

masyarakat. Penyebab masalah dari stunting balita, dan program gizi serta kegiatan untuk

menurunkan angka kejadian stunting dibuat dalam bentuk causal model dan HIPP OPOC

table.

KONDISI MASALAH PANGAN DAN GIZI DI INDONESIA

1. Penurunan rata-rata pertumbuhan produksi dan produktifitas padi

Perkembangan produksi dan produktifitas padi disajikan dalam Gambar 1. Beras

merupakan pangan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Ketersediaan beras

ditentukan oleh luas panen, produksi dan produktifitas padi. Luas panen, produksi dan

produktifitas padi meningkat setiap tahunnya, akan tetapi untuk rata-rata pertumbuhan luas

panen, produksi dan produktifitas padi pertumbuhannya fluktuatif.

Rata-rata pertumbuhan luas panen tidak disertai dengan rata-rata produksi dan

produktifitas padi. Kondisi idealnya adalah meningkatnya rata-rata pertumbuhan luas panen

(3)

3

Gambar 1. Produksi dan produktifitas padi

Jadi, kesimpulannya adalah produksi dan produktifitas padi di Indonesia masih sebuah

masalah pangan yang harus di selesaikan.

2. Penurunan Produksi dan Produktifitas Kedelai

Berdasarkan gambar dibawah ini, terlihat bahwa luas lahan, produksi dan produktifitas dari

kedelai tidak selalu meningkat.

Gambar 2. Produksi dan produktivitas kedelai tahun 1969-2013

Luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai pada tahun 1969-1998 terjadi

peningkatan, namun setelah terjadi penurunan pada tahun 1998. Rata-rata pertumbuhan luas

panen, produksi, dan produktivitas kedelai pada periode 2005-2013 lebih tinggi dibandingkan

periode 1998-2004 tapi lebih rendah dari periode 1969-1997. Kesimpulannya adalah produksi

(4)

4

3. Konsumsi energi belum mencapai 100% dan mengalami penurunan

Berdasarkan gambar di bawah, perkembangan ketersediaan dan konsumsi pangan

(Energi) periode 2010-2014. Ketersediaan energi pada tahun 2005-2014 telah melebihi

rekomendasi WNPG (2200 kkal/kap/hari), sedangkan untuk konsumsi energi periode

2010-1014 belum memenuhi rekomendasi WNPG.

Gambar 3. Perkembangan ketersediaan dan konsumsi pangan

Hanya pada tahun 2011, konsumsi energi telah memenuhi rekomendasi WNPG.

Kondisi idealnya adalah jika ketersediaan energi mengalami peningkatan maka konsumsi

energinya juga mengalami peningkatan. Permasalahannya adalah konsumsi energi belum

mencapai 100% dan mengalami penurunan. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan

kurangnya akses terhadap pangan.

4. Skor PPH belum memenuhi skor target (konsumsi pangan belum beragam) Berdasarkan gambar 4, skor PPH masih belum memenuhi target PPH.

(5)

5

Rata-rata skor PPH periode 2010-2014 mengalami peningkatan, walaupun mengalami

peningkatan, namun skor PPH tersebut belum memenuhi skor sasaran tahun 2013, yaitu 91.5.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pangan yang dikonsumsi belum beragam.

5. Impor pangan yang tinggi

Impor yang dilakukan pada kelompok komoditi utama (tanaman pangan, hortikultura,

dan peternakan) lebih besar daripada ekspor. Impor yang dilakukan sepanjang periode

2003-2012 mempunyai peningkatan. Peningkatan impor pangan adalah untuk menyediakan pangan

untuk masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.

6. Kenaikan harga pangan pokok di Indonesia

Peningkatan harga pangan setiap tahunnaya akan mempengaruhi daya beli masyarakat.

Kenaikan harga pangan pokok kemungkinan mempengaruhi kualitas pangan yang

dikonsumsi, yaitu dialihkan pada pangan pokok berkualitas rendah yang harganya murah.

7. Penurunan angka kemiskinan masih jauh dari target MDG’s

Salah satu goal MDG’s adalah menurunkan angka kemiskinan. Pada tahun 1990

kemiskinan di Indonesia 15.1%, tahun 2013, proporsi penduduk miskin di Indonesia masih

sekitar 11.47%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan masih jauh

dari target MDG’s.

8. Peningkatan penduduk rawan pangan setiap tahun

Ketidak mampuan rumah tangga atau individu dalam memenuhi kebutuhan pangan di

sebut rawan pangan. Rawan pangan masyarakat karena salah satu penyebabnya adalah

kemiskinan.

9. Prevalensi stunting pada balita sangat tinggi

Stunting merupakan masalah yang masih berat di Indonesia. Perbedaan prevalensi stunting

(6)

6

Gambar 5. Masalah kurang gizi

Dari seluruh provinsi di Indonesia, hanya 11 propinsi saja yang telah mencapai target

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010–2014 untuk mengurangi stunting

(pendek) menjadi 32 persen. Sementara itu, 7 provinsi memiliki prevalensi di atas 40 persen.

Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi

peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Masalah kesehatan

masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39 persen dan serius bila

prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010).

10. Prevalensi underweight dan wasting pada balita meningkat

Prevalensi wasting pada balita pada tahun 2013 (12,1%) tergolong masalah yang

serius (10-14%) walaupun tahun 2013 sudah menujukkan penurunan dari tahun 2010 (13,3%).

Berbeda dengan masalah wasting, prevalensi underweight pada balita mengalami

peningkatan pada tahun 2013 dan jika dibandingkan dengan cut off WHO maka prevalensi

underweight pada balita pada tahun 2013 tergolong tinggi (20-29%). Status gizi balita masih

merupakan masalah serius yang harus ditangani bersama.

11. KEK pada wanita remaja dan WUS cukup tinggi

Berdasarkan gambar di bawah ini dapat diketahui bahwa proporsi wanita remaja dan wanita

(7)

7

Gambar 6. Proporsi wanita remaja dan WUS yang mengalami KEK

Kekurangan energi yang cukup lama berdampak KEK pada saat hamil. Dilihat dari

gambar di atas proporsi KEK pada saat hamil lebih banyak daripada saat tidak hamil.

Kekurangan energi akan berdampak pada berat bayi lahir rendah (BBLR) dan dapat

berdampak stunting pada anak.

12. Prevalensi anemia tergolong masih cukup tinggi

Berdasarkan Gambar 7, dapat diketahui bahwa prevalensi anemia gizi di Indonesia

>20%. Masalah anemia gizi cukup tinggi, salah satu dampak dari anemia gizi menurunnya

produktifitas kerja.

Gambar 7. Masalah anemia gizi

Prevalensi anemia di Indonesia tergolong moderate public health problem

(20.0-39.9%) (WHO 2008; 2010), Anemia dapat terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensi

(8)

8

Anemia gizi pada balita bisa disebabkan beberapa faktor seperti gizi ibu pada sebelum dan

saat hamil, berat bayi lahir rendah dan pemberiaan ASI tidak mencapai 6 bulan.

DATA YANG DIPERLUKAN UNTUK IDENTIFIKASI MASALAH

Data yang diperlukan untuk identifikasi masalah stunting adalah

1. Indikator cut off dari WHO untuk identifikasi masalah stunting balita

2. Dampak yang di timbulkan dari stunting balita

3. Faktor yang berkaitan dan penyebab stunting balita

STUNTING PADA BALITA SEBAGAI MASALAH GIZI DI INDONESIA

Menurut bagan UNICEFF 1998, status gizi merupakan masalah utama yang harus

diselesaikan. Status gizi balita khususnya balita stunting merupakan indikator sensitif untuk

melihat kesehatan ibu dan anak (WHO 2010) dan ketersediaan pangan. Stunting juga

dikaitkan dengan fungsi kognitif (Casale et al. 2014), motorik, dan pengembangan sosio

emosional (McGregor et.al 2007), dan peningkatan mortaliti (Ong et al. 2013). Stunting sejak

balita biasanya tidak bisa mencapai potensi pertumbuhan pada saat remaja dan dewasa.

Stunting di masa dewasa, akan menurunkan kapasitas kerja dan pada wanita akan

meningkatkan risiko kematian pada saat melahirkan bayi (Victora et al. 2008).

Stunting merupakan pertumbuhan linear yang lambat, dimana panjang badan atau

pertumbuhan panjang badan yang tidak sesuai dengan usia. Defisit pertumbuhan linear pada

balita stunting adalah hasil dari akumulasi dalam 1000 hari pertama (Victora et al. 2010).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 diketahui bahwa prevalensi balita

stunting di Indonesia mencapai 37,2%. Angka prevalensi tersebut meningkat dibandingkan

pada tahun 2010 yang mencapai 35,6%. Angka prevalensi stunting juga lebih tinggi

dibandingkan angka prevalensi underweight (19,6%), wasting pada balita (12,1%). Kejadian

prevalensi stunting yang tinggi pada anak berusia 12-23 bulan pada laki-laki (41,2%) dan

(36,1%) pada perempuan. Penelitian di Jawa tengah dan Jawa Timur daerah miskin oleh

Rosha et al. (2012) pada anak 0-23 bulan menunjukkan bahwa usia anak, jenis kelamin,

wilayah tempat tinggal dan pendidikan ibu merupakan faktor resiko dari stunting. Menurut

penelitian oleh Sujendran et al. (2015) pada anak-anak usia 6-36 bulan di Sri Lanka

menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi terjadinya stunting pada balita antara

(9)

9

ASI kurang dari 6 bulan, praktek MP-ASI kurang, kunjungan klinik tidak teratur, dan tidak

mendapatkan saran dari tenaga kesehatan.

Stunting disebabkan karena kurangnya gizi dan infeksi sebelum dan sesudah lahir

(Grantham et al. 2007). Ibu yang mengalami kekurangan energi kronis, anemia atau sering

mengalami penyakit infeksi seperti malaria pada saat hamil akan mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan janin, sehingga berdampak pada bayi dengan berat badan

rendah (BBLR) pada saat ibu melahirkan (Keefe et al. 2008). Menurut penelitian di Nepal

oleh Win et al. (2013), ibu yang hamil usia muda akan berpotensi melahirkan anak stunting.

Asupan makan anak saat balita masih bergantung pada pemilihan ibu. Pemilihan

makan dan praktek pemberian makanan mempengaruhi kejadian stunting. Frekuensi

pemberian makan dan kualitas gizi makanan rendah yang diberikan, tidak memberikan

makanan secara lengkap serta cara pemberian makanan yang kurang tepat akan

mempengaruhi pertumbuhan balita. Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa

perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak

dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak.

Ketersediaan pangan, sosial ekonomi dan harga pangan saling terkait satu sama lain

dan merupakan faktor resiko stunting. Ketersedian pangan merupakan kemampuan keluarga

untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup baik segi kuantitas dan kualitas dan

keamanannya. Tidak tersedianya pangan dalam keluarga secara terus-menerus akan

menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi pada anggota keluarga.

Sosial ekonomi akan mempengaruhi daya beli terhadap pangan. Menurut penelitian di

Indonesia oleh Ardiani (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara peningkatan sosial

ekonomi dan penurunan prevalensi stunting. Penelitian Semba et al. (2008) di Indonesia,

pendidikan formal ibu dan ayah tinggi akan menurunkan resiko stunting.

Harga pangan akan mempengaruhi kualitas pangan yang di konsumsi. Penelitian oleh

Sari et al. (2010) di Indonesia, rumah tangga yang menghabiskan sebagian besar pada

makanan non-grain, khususnya makanan sumber hewani memiliki prevalensi anak stunting

yang lebih rendah penelitian tersebut berdasarkan implikasi harga pangan yang meningkat.

Hal ini menunjukkan peningkatan risiko potensi malnutrisi terkait dengan pengurangan

pengeluaran rumah tangga.

Kejadian infeksi merupakan faktor lain yang berhubungan dengan stunting. Penyakit

infeksi yang mempengaruhi pertumbuhan linier adalah penyakit pernafasan, diare dan

(10)

10

cacingan lebih berisiko terkena stunting daripada anak normal yang tidak mengalami

cacingan. Kontaminasi lingkungan, kondisi sanitasi dan ketersediaan air yang buruk dan

terbatas menyebabkan anak terinfeksi bakteri patogen sehingga mempengaruhi kebutuhan,

utilisasi zat gizi, dan mempunyai dampak langsung pada metabolisme skeletal (Branca et al.

2002).

Salah satu faktor lain yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian stunting

adalah genetik. Faktor Genetik bukan merupakan pengaruh yang kuat, lingkungan sangat

mendukung terjadinya stunting pada anak. Penelitian oleh Rahayu (2011) menunjukkan

bahwa status stunting pada anak usia 6 – 12 bulan dan usia 3 – 4 tahun berhubungan dengan

tinggi badan orang tua,terutama tinggi badan ibu. Berdasarkan deskripsi penyebab stunting

baik langsung maupun tidak langsung dapat digambarkan sebagai causal model sebagai

(11)

11

CAUSAL MODEL STUNTING BALITA

Stunting Balita

Genetik BBLR Asupan makan

Kualitas dan kuantitas rendah

Infeksi

·KEK ibu hamil ·Anemia ibu

hamil

Infeksi ibu

hamil Ketersediaan pangan rendah Praktek pemberian makan rendah Pelayanan kesehatan

Asupan ibu saat hamil

Daya beli rendah rendah

Pengetahuan gizi ibu rendah

Kebersihan dan sanitasi

Pendidikan orang tua rendah Harga pangan

(12)

12

TUJUAN JANGKA PANJANG (GOAL), JANGKA PENDEK, DAN SASARAN SPESIFIK, MEASURABLE, ACHIEVABLE, REALISTIC, TIME (SMART)

Tujuan penanggulangan masalah seharusnya berdasarkan pada penyebab utama

masalah. Berdasarkan causal model stunting yang telah dibuat dan dianalisis, problem tree

(penyebab masalah) tersebut dapat dibuat objective tree yang merupakan nantinya menjadi

tujuan program yang akan dibuat. Penyebab utama masalah dari stunting balita adalah,

antara lain:

1. Genetik dari tinggi badan ibu (tidak bisa di modified)

2. Berat bayi lahir rendah (BBLR)

3. Asupan makanan pada balita baik dari segi kualitas maupan kuantitas belum baik

4. Infeksi pada balita

Langkah berikutnya adalah melakukan analisis tujuan penanganan penyebab utama stunting

(objective analysis). Tujuan jangka panjang dan pendek harus bersifat spesifik, measurable,

achievable, realistic, time (SMART) dan tepat sasaran.

Penurunan angka kejadian stunting balita merupakan target utama tujuan jangka

panjang, sehingga tujuan jangka panjang dari program yang akan dibuat adalah menurunkan

angka kejadian stunting pada balita di Indonesia tahun 2025 menjadi 15 persen.

Tujuan jangka panjang tersebut sudah bersifat spesific, dimana masalah yang harus di

selesaikan adalah stunting pada balita di Indonesia. Bersifat measurable , stunting dapat

diukur dengan melihat tinggi badan menurut umur. Bersifat achievable, penanganan stunting

balita bisa tercapai dengan cara menyelesaikan penyebab masalah.Bersifat realistic dan time,

dimana tujuan mempunyai target pada tahun 2025 menurunkan angka stunting menjadi 15

persen. Sasarannya adalah bayi dan balita.

Tujuan jangka panjang juga mengarah pada intervensi sensitif, dimana penyelesaian

dari akar masalah penyebab stunting. Intervensi sensitif dari stunting pada balita yaitu

program pengentasan kemiskinan, perdagangan dan peran usaha lain, dan kebijakan ekonomi

terhadap pangan.

Tujuan jangka pendek dapat digunakan dalam penganganan penyebab utama stunting

dan dirumuskan untuk menjadi sebuah program. Tujuan jangka pendek berdasarkan

penanganan penyebab utama stunting, yaitu:

1. Kejadian berat badan lahir rendah tinggi

Tujuan jangka pendeknya menurunkan proporsi bayi berat badan lahir rendah 30% dengan

(13)

13

2. Asupan makanan pada balita baik dari segi kualitas maupan kuantitas belum baik

Tujuannya adalah peningkatan kualitas dan kuantitas asupan makan yang baik pada balita

menjadi 90 persen. Sasarannya adalah ibu balita.

3. Kejadian angka infeksi pada balita tinggi

Tujuannya adalah menurunkan angka kejadian infeksi pada balita menjadi 15 persen.

Sasarannya adalah ibu balita dan balita.

Tujuan jangka pendek berkaitan dengan intervensi spesifik yang akan dilakukan

dalam menurunkan angka kejadian stunting. Penyebab masalah stunting secara langsung atau

pun tidak langsung akan dilakukan dengan cara intervensi spesik, yaitu penanganan balita

gizi buruk, suplementasi dan fortifikasi mikronutrient, serta imunisasi.

ALTERNATIF PROGRAM/KEGIATAN PENANGGULANGAN MASALAH STUNTING

Menentukan alternatif program dari penanggulangan masalah stunting harus bersifat

relevan, tidak bertentangan sosial budaya, secara teknis dapat dilakukan, dan layak secara

ekonomi (finansial). Alternatif program harus berdasarkan analisis tujuan penanganan

masalah.

Penyebab stunting pada balita salah satunya adalah berat bayi lahir (BBLR), dimana

BBLR ditentukan oleh kondisi anemia dan KEK pada ibu hamil. Sebelumnya, kemungkinan

kondisi ibu sebelum hamil juga mengalami kekurangan gizi. Sehingga program yang akan

dilakukan berhubungan dengan peningkatan status gizi, fokus pada penanganan anemia dan

KEK pada ibu hamil dan sebelum hamil. Program ini bertujuan untuk mencegah BBLR dan

menurunkan proporsi bayi berat badan lahir rendah 30% dengan cara menurunkan angka

anemia, KEK, dan infeksi pada ibu hamil, antara lain:

1. Pemberian tablet Fe-Folat atau multivitamin untuk ibu hamil

2. Pemberian konsultasi dan edukasi mengenai gizi seimbang ibu hamil dan manfaat

mengonsumsi tablet Fe-Folat

3. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil selama 90 hari

4. Pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil

5. Kebun gizi di rumah dan diversifikasi pangan

6. Fortifikasi besi pada tepung terigu

7. Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga bumil KEK

(14)

14

9. Pemberian sembako untuk keluarga bumil

10.Intervensi PHBS

Asupan makan balita dari segi kualitas dan kuantitas yang baik harus disesuaikan

dengan usia balita. Praktek pemberian makan sesuai usia masih merupakan salah satu

masalah yang menyebabkan asupan makan balita rendah. Air Susu Ibu (ASI) saja tanpa

tambahan apa pun dikonsumi bayi usia 0-6 bulan sedangkan bayi usia 6-11 bulan

mengonsumsi MP-ASI sebagai pelengkap ASI. Balita (12-59 bulan) dengan usia tersebut

sudah mengonsumsi makanan keluarganya, sehingga pilihan makan anak, ketersediaan

pangan keluarga dan besar keluarga dapat mempengaruhi asupan makan balita.

Program-program yang sesuai dengan tujuan peningkatan asupan makan balita asupan makan balita

dari segi kualitas dan kuantitas, adalah:

1. Pemberian makanan tambahan pada balita

2. Penyuluhan gizi tentang ASI Eksklusif dan MP-ASI

3. Pemberian konseling ASI dan MP ASI

4. Penyuluhan gizi tentang pemilihan makanan dengan tepat sesuai dengan usia balita.

5. Memberikan motivator ibu balita dengan perantara kader

6. Kebun gizi di rumah dan diversifikasi pangan

7. Penyediaan tenaga/petugas lapangan seperti penyuluh

8. Peningkatan pendidikan perempuan

Program gizi dengan tujuan penurunan angka infeksi pada balita dapat dilakukan dengan cara

peningkatan pelayanan kesehatan dan higiene sanitas, kegiatannya meliputi:

1. Pengadaan sanitasi air bersih

2. Kegiatan, Informasi, dan Edukasi (KIE) sanitasi dan cuci tangan pakai sabun

3. KIE tentang pembasmian nyamuk

4. Pemberian Jamkesmas dan Jampersal

5. Peningkatan pelayan kesehatan seperti peningkatan jumlah Puskesmas dan Rumah

sakit

6. Suplementasi Zn untuk manajemen diare

7. Suplementasi vitamin A pada balita

(15)

15 PENTENTUAN PRIORITAS PROGRAM

Penilaian secara ekonomi terkait biaya dan keefektifan program. Penilaian secara

budaya dan sosial terkait dengan keberlanjutan (sustainability) program sedangkan penilaian

secara teknis terkait sumber daya dan teknologi yang dibutuhkan saat menjalankan program.

Program yang dipilih adalah program yang memiliki kelayakan tertinggi.

Kajian kelayakan dilakukan dengan memberikan penilaian atau skor terhadap

berbagai aspek terkait program tersebut. Skor tertinggi menunjukkan program yang memiliki

kelayakan tertinggi. Skor penilaian untuk analisis alternatif program. Skor tertinggi yang

diberikan maka semakin layak program tersebut dijalankan. Kriteria penilaian meliputi segi

ekonomi (cost-effectively), budaya (tidak bertentangan dengan budaya setempat), segi sosial

(dapat diterima masyarakat dan sustainable), dan secara teknis (time dan sumber daya).

Masing-masing kriteria diberi bobot berdasarkan pentingnya kriteria tersebut dalam

penanganan sebuah program. Bobot berkisar antara 1-5, dengan keterangan 1) Tidak penting,

2) Kurang penting, 3) Cukup penting, 4) Penting, dan 5) Sangat penting. Setelah diberikaan

bobot pada tiap kriteria, langkah selanjutnya adalah memberikan skor pada

masing-masing-masing kriteria. Skor berkisar antara 1-10. semakin tinggi skor yang diberikan maka semakin

bisa di tempuh program tersebut.

Tabel 1. Penentuan prioritas program

Kriteria Bobot (B) = 1-5

Mampu/tidak mampu

BBLR Asupan rendah Infeksi Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa program penanganan asupan makan

balita asupan makan balita dari segi kualitas dan kuantitas rendah mendapatkan nilai tertinggi.

(16)

16

dibutuhkan, dan dapat diterima masyarakat. Program penyululahan perbaikan gizi

membutuhkan biaya yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan penanganan untuk BBLR

dan Infeksi. Program tersebut dinilai tidak membutuhkan waktu yang lama dan dapat

diterima masyarakat.

TABEL HIPPOPOC

Desain kegiatan dijelaskan oleh input, proses, output dan outcome yang disajikan

dalam tabel HIPPOPOC. HIPPOPOC harus memperhatikan variabel pengganggu

(confounder) keberhasilan program, cara mengatasinya, dan asumsi-asumsi yang digunakan

yang dapat menjamin bahwa output dan outcome akan tercapai.

Tabel tersebut juga memfasilitasi pembentukan gambaran yang luas dan

mempromosikan tujuan proyek yang jelas. Informasi rinci dalam tabel HIPPOPOC termasuk

input yang diperlukan untuk pelaksanaan intervensi; process yang merupakan daftar tindakan

atau intervensi yang akan dilaksanakan; output yang merupakan hasil langsung dari tindakan

atau intervensi yang akan dilaksanakan; dan outcome, yaitu perubahan yang disebabkan oleh

kegiatan yang dilakukan.

Hasil yang diharapkan dari program dan kegiatan yang akan dilakukan adalah

perubahan sosial dan perilaku dalam hal peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek

pemberian makan bayi dan balita sehingga tercapai asupan yang berkualitas dan berkuantitas

sesuai umur balita.

Variabel pengganggu dari keberhasilan program yang dilakukan adalah partisipasi

masyarakat yang kurang dan dana kegiatan yang akan dilakukan. Peningkatan partisipasi

masyarakat dengan cara pendekatan terhadap tokoh masyarakat/stakeholder dan memotivasi

agar memahami bahwa gizi semibang pada bayi dan balita itu penting. Dana kegiatan juga

bisa menjadi penghambat keberhasilan program, untuk menyelesaikannya adalah pembuatan

proposal kegiatan dan diajukan pada LSM atau perusahaan yang akan membantu kegiatan.

Asumsi-asumsi yang digunakan dapat menjamin bahwa output dan outcome akan

tercapai yaitu: 1) Dana kegiatan yang cukup untuk melaksanakan program , 2) Partisipasi

masyarakat terhadap kegiatan tinggi, 3) Ada dukungan dari stakeholder, 4) Adanya

kerjasama antar lintas sektoral (bidang pertanian, kesehatan, dan agama), 5) Kesaradaran

(17)

17 Tabel 2. Tabel HIPPOPOC

Input Proses Output Outcome Asumsi

· Dana kegiatan

· Fasilitas kesehatan atau tempat pelaksanaa seperti Puskesmas dan Posyandu

· Survey baseline lokasi penyuluhan sektoral (pertanian dan agama) dan LSM

· Transportasi

· Komputer

· Peserta Penyuluhan

· Dukungan pemerintah daerah dan lingkungan sekitar

· Insentif untuk penyuluhan kesehatan dan panitia pelaksanan

· Standar operasioal program

· Skema evaluasi

· Proposal kegiatan

· Studi baseline pengetahuan, sikap, dan praktek ibu pada bayi dan balita tentang ASI-MPASI dan penyediaan layanan kesehatan

· Pembuatan proposal kegiatan

· Seminar dan penyuluhan gizi pada stakeholder dan ibu bayi dan balita.

· Pemberian PMT untuk balita dan penyuluhan PMT yang

· Dilakukannya seminar dan penyuluhan gizi pada ibu bayi dan balita

(18)

18

DAFTAR PUSTAKA

Ardiyani . 2014. Effects of social economics changes on children health status in Indonesia (IFLS 1993 – 2007). BMC Public Health, 14(Suppl 1):P3

Branca F, Ferrari F. 2002. Impact of micronutrient deficiencies on growth: the stunting syndrome. Annals of Nutrition and Metabolism.46(suppl 1):8–17.

[BALITBANGKES] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2013. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta; 2013.

Casale D, Desmond C, Richter L. 2014. The association between stunting and psychosocial development among preschool children: a study using the South African Birth to Twenty cohort data.

Grantham-McGregor S, Cheung YB, Cueto S, et al. Developmental potential in the fi rst 5 years for children in developing countries. Lancet 2007; 369: 60–70.

Keefe CJL, Couch SC, Philipson EH. 2008. Handbook of Nutrition And Pregnancy. USA: Humana Press. p: 27 -28.

Lancet. 371:340–57.

Ogunba BO. 2006. Maternal behavioral feeding practices and under-five nutrition: implication for child development and care. Journal of Applied Sciences Research. 2(12): 1132-1136.

Ong KK, Hardy R, Shah I, Kuh K. 2013. Childhood Stunting and Mortality Between 36 and 64 Years: The British 1946 Birth Cohort Study. 2013; 98(5):2070–2077

Rahayu LS. 2011. Associated of height of parents with changes of stunting status from 6-12 months to 3-4 years (thesis). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Rosha BC, Hardinsyah, Baliwati YF. 2012. Analisis Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur. Penel Gizi Makan. 35(1): 34-41

Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS.2008. Maternal and Child Undernutrition Study Group. Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.

Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blossner M, Shrimpton R. 2010. Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics 125, e473–e480. Win KM, Van der MP, Vajanapoom N, Amnatsatsue K. 2013. Early Pregnancy and Maternal Malnutrition as Precursors of Stunting in Children under Two Years of Age among Bhutanese Refugees, in Nepal Maternal Precursors in Stunting of Children. Thammasat International Journal of Science and Technology. Vol. 18, No. 1, January-March 2013.

[WHO] World Health Organization. 2010. Nutrition Landscape Information System: Country Profile Indicator, Interpretation Guide. Geneva: World Health Organization.

Gambar

Gambar 1. Produksi dan produktifitas padi
Gambar 3. Perkembangan ketersediaan dan konsumsi pangan
Gambar 6. Proporsi wanita remaja dan WUS yang mengalami KEK
Tabel 1. Penentuan prioritas program

Referensi

Dokumen terkait

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA

Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa difusi inovasi yang pada dasarnya sebagai penyebarluasan dari gagasan inovasi tersebut melalui suatu proses komunikasi yang

Dari hasil penelitian menunjukkan peran pengeluaran sektor kesehatan belum mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Papua di karenakan anggaran

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini diberikan judul: ”PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PD BPR BANK KLATEN DENGAN KOMITMEN

Dengan demikian, strategi yang dapat dilakukan adalah strategi bertahan yaitu strategi yang harus dilaksanakan untuk mempertahankan keberlanjutan usaha berupa kebijakan

Program peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kalimantan Selatan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura difokuskan pada kegiatan peningkatan

Mutu, dan Ketersediaan Pangan Masyarakat Pemanfaatan Diversifikasi Bahan Pangan Optimalisasi Kelembagaan Ketahanan Pangan Program Peningkatan.