• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diare - Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diare - Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Diare

Penyakit diare berasal dari kata diarrois (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus, yaitu suatu keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu sering/lebih dari biasanya. Penyakit diare merupakan gejala penyakit yang sering terjadi karena adanya penyimpangan/gangguan pada sistem pencernaan. Gejala yang sering tampak yaitu buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari dengan konsistensi tinja lebih encer, bahkan dapat berupa cairan saja dengan atau tanpa disertai lendir dan darah (Hery, 2005).

(2)

laktosa akibat belum sempurnanya sistem saluran cerna bayi. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang 14 hari.

2.1.1 Jenis-Jenis Diare

Menurut Bhan, Mahalanabis, Pierce, Rollins, Sack, dan Santosham (2005), diare terdiri dari beberapa jenis yang dibagi secara klinis, yaitu :

1. Diare cair akut (termasuk kolera), berlangsung selama beberapa jam atau hari, mempunyai bahaya utama yaitu dehidrasi dan penurunan berat badan juga dapat terjadi jika pemberian makan tidak dilanjutkan.

2. Diare akut berdarah, disebut disentri, mempunyai bahaya utama yaitu kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk, mempunyai komplikasi seperti dehidrasi. 3. Diare persisten, diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih, bahaya

utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non-usus serius dan dehidrasi.

4. Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor) mempunyai bahaya utama infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal jantung, dan kekurangan vitamin dan mineral.

(3)

Diare menyebabkan terjadinya kerusakan morphologi usus yang mengakibatkan zat gizi terutama protein hilang secara langsung. Penderita penyakit diare kronis akan mengalami kekurangan enzim pencernaan dan kerusakan mukosa usus halus yang mengakibatkan terjadinya intoleransi terhadap karbohidrat dan enteropati karena sensitive terhadap protein makanan. Disamping itu villus usus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dengan baik. Selanjutnya cairan dan makanan yang tidak diserap akan meningkatkan tekanan usus sehingga terjadi hiperperistaltik usus yang menyebabkan kotoran keluar melalui anus (Juffrie, 2010). Penderita akan mengalami kegagalan pertumbuhan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan dan sosial yang kompleks dan dapat mengakibatkan kematian.

2.1.2 Etiologi Diare

Faktor Penyebab penyakit diare secara umum bermacam-macam diantaranya adanya infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi, intoksikasi dan lain-lain. Menurut Pickering dan Snyder (2004) berdasarkan etiologinya diare dapat dibagi beberapa faktor, yaitu:

(4)

2. Faktor non infeksi, beberapa faktor non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak faktor tersebut adalah

a. Faktor makanan

Makanan merupakan penyebab non infeksi yang paling sering, antara lain berupa makanan busuk atau mengandung racun, perubahan susunan makanan yang mendadak, atau susunan makanan yang tidak sesuai dengan umur bayi yang berupa osmolaritas tinggi atau terlalu banyak serat.

b. Faktor kesulitan makan akibat adanya defek anatomis

Adanya ketidak sempurnaan pada saluran cerna seperti malrotasi, penyakit Hircsprung, Short Bowel Syndrom, atrofi mikrovilli, dan stricture dapat menyebabkan terjadinya diare.

c. Faktor konstitusi

Faktor konstitusi yaitu kondisi saluran cerna yang dijumpai pada keadaan intoleransi laktosa, malabsorbsi lemak, dan intoleransi protein.

d. Faktor adanya tumor dan kelainan sistem endokrin

Adanya tumor seperti Neuroblastoma dan gangguan sistem endokrin seperti Thyrotoksikosis dapat menimbulkan diare pada anak.

2.1.3 Gejala dan Tanda Diare

(5)

karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006).

Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit yaitu setiap kehilangan berat badan yang melampaui satu persen dalam sehari yang merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15 persen (Soegijanto, 2002).

2.1.4 Cara Penularan dan Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Diare

Cara penularan diare yang paling umum adalah melalui fekal-oral yaitu melalui makanan ataupun minuman yang tercemar oleh enteropatogen, melalui kontak langsung dengan tangan maupun barang-barang yang tercemar dengan tinja penderita, ataupun secara tidak langsung melalui perantaraan lalat (Suparto, 2003).

(6)

yang tidak bersih, dan cara penyapihan yang tidak baik. Disamping itu keadaan penderita seperti gizi buruk, imunodefisiensi (kurangnya kekebalan tubuh terhadap penyakit), berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, dan menderita campak dalam empat minggu terakhir dapat meningkatkan kecendrungan untuk dijangkiti diare.

Menurut Kuswoyo (2007) faktor risiko diare terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor lingkungan (eksternal) dan faktor pejamu (internal). Dari faktor lingkungan utamanya bisa berupa sarana air bersih yang tidak memadai/tercemar, sarana sanitasi yang kurang baik, kebersihan perorangan/personal higienis dan pemukiman/tempat tinggal yang kurang baik, tingkat pendidikan orang tua, penyiapan dan penyimpanan makanan yang kurang baik serta cara penyapihan yang kurang baik, sedangkan faktor pejamu adalah faktor yang ada pada diri manusia (anak) yaitu terdiri dari malnutrisi/gizi salah khusunya kurang gizi, kurangnya kekebalan tubuh terhadap penyakit akibat tidak melakukan imunisasi tambahan semasa bayi, usia balita, penurunan asam lambung, penurunan kerja usus dan faktor genetik atau faktor keturunan.

(7)

Hasil penelitian Wijaya (2012), faktor risiko terjadinya diare pada balita adalah tingkat pengetahuan ibu, riwayat pemberian ASI, kebiasaan ibu mencuci tangan, jenis jamban, dan kepadatan lalat. Berdasarkan hasil penelitian Sinthamurniwaty (2006) faktor-faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita umur 0 – 24 bulan adalah status gizi yang rendah, tingkat pendidikan pengasuh yang rendah, dan tidak memanfaatkan sumber air bersih.

2.1.5 Komplikasi Diare

Kebanyakan penderita diare sembuh tanpa mengalami komplikasi, tetapi sebagian kecil mengalami komplikasi, berikut komplikasi pada diare (Yongki, 2012) 1. Dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit

2. Renjatan hipovolemik akibat menurunnya volume darah

3. Hipokalemia dengan gejala yang muncul adalah meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan pada pemeriksaan Electrocardiography (EKG) 4. Hipoglikemia

5. Intoleransi laktosa sekunder sebagai akibat defisiensi enzim lactose 6. Kejang

(8)

2.1.6 Penatalaksanaan

Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare pada anak balita baik yang dirawat di rumah sakit maupun dirawat di rumah, yaitu:

1. Pemberian cairan atau rehidrasi

Pada penderita diare yang harus diperhatikan adalah terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pemberian cairan, pada balita biasanya diberikan cairan oralit, air matang, kuah sayur atau air tajin (Kemenkes RI, 2011)

2. Pemberian Zinc

Zinc diberikan untuk mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan balita. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan proses regenerasi sel, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan pathogen dari usus. Zinc mempunyai efek protektif terhadap diare dan menurunkan kekambuhan diare 15 persen (Depkes RI, 2011).

3. Pengobatan dietetik dan pemberian ASI

(9)

4. Pengobatan kausal, pengobatan ini dilakukan setelah diketahui penyebab pasti diare dengan menggunakan antibiotik selektif. Antibiotik dapat diberikan pada diare berdarah (disentri) dan kolera.

5. Memberikan nasihat pada ibu/keluarga tentang cara pemberian oralit, zinc, ASI/makanan, dan tanda-tanda untuk segera membawa ke petugas kesehatan jika anak mengalami BAB cair lebih sering, muntah berulang-ulang, adanya rasa haus yang nyata pada anak, anak makan/minum sedikit, demam, BAB berdarah, serta diare tidak membaik dalam waktu tiga hari (Depkes RI, 2011).

2.1.7 Makanan untuk Anak Penderita Penyakit Diare

Penderita penyakit diare tentu banyak terjadi kehilangan cairan dan zat-zat gizi yang penting bagi tubuh selama episode berlangsungnya penyakit diare. Hal yang pertama diberikan adalah memberikan penggantian cairan yang hilang. Pemberian obat diberikan berdasarkan petunjuk dokter. Pemberian cairan dapat berupa larutan oralit, larutan gula garam, air tajin, air teh dan bagi bayi tetap diberikan air susu ibu (ASI).

(10)

penyembuhan (Susirah, 1997). Dalam pemberian makanan dan minuman untuk penderita penyakit diare harus diperhatikan higiene sanitasi makanan. Menurut Sudigbia (1992), pengelolaan terapi nutrisi (gizi) pada penderita penyakit diare perlu diperhatikan:

1. Faktor masukan makanan sebagai akseptabilitas makanan serta pengadaan makanan yang berasal dari bahan lokal dan mudah didapat.

2. Faktor intoleransi laktosa dan malabsorbsi

3. Masalah kehilangan gizi terutama protein dan cairan 4. Katabolisme.

Memperhatikan faktor-faktor diatas, maka proses pembuatan makanan untuk penderita penyakit diare selain perlu dipikirkan zat gizinya (protein dan kalori) juga perlu diperhatikan pula makanan yang mudah diserap oleh villi usus. Bahan makanan yang digunakan harus mudah dicerna karena penderita juga mengalami kekurangan enzim pencernaan (Mien, 1987). Adapun aspek-aspek pemberian makanan yang membutuhkan perhatian diantaranya mulai dari pemilihan bahan makanan, penyiapan makanan, jumlah yang diberikan setiap makan, dan frekuensinya (Sunoto,1990 & Astawan, 2004).

(11)

Menurut Sudigbia (1994), tujuan utama dari terapi nutrisi adalah pemberian nutrien dengan jumlah dan komposisi yang tepat, sehingga dapat mencukupi metabolisme rumatan yaitu gabungan dari jumlah mekanisme fisiologis dan biokemik yang mampu untuk merawat kondisi tubuh dalam keadaan sehat/segar serta mampu untuk menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan optimal balita. Penatalaksanaan terapi nutrisi baik pada diare akut maupun pada diare kronik sangat ditentukan oleh keterbatasan fungsi digesti usus kecil yang disebabkan oleh kerusakan mukosa usus akibat diare. Berdasarkan aspek-aspek di atas maka pemberian terapi nutrisi dapat ditentukan dengan (1) Mengukur kebutuhan nutrisi anak, (2) Mengukur jumlah kehilangan energi dan nutrien selama diare dengan mengukur jumlah volume tinja.

2.2 Status Gizi

(12)

yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan.

2.2.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Gibson (1998), penilaian status gizi adalah upaya untuk menginterpretasikan semua informasi yang dipeloreh melalui penilaian dalam antropometri, konsumsi makan, biokimia, dan klinik. Sedangkan menurut Jelilife (1989) penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung.

1. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan melalui empat cara penilaian yaitu pemeriksaan antropometri, klinis, biokimia, dan pemeriksaan biofisik.

2. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan melalui tiga penilaian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.

(13)

Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti apabila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti satu tahun; dua tahun; tiga tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah bahwa satu tahun adalah 12 bulan, satu bulan adalah 30 hari (Depkes, 2004).

Anggraeni (2012) mengatakan, berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa tubuh, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini harus selalu dipantau agar dapat memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi sedini mungkin guna mengatasi kecendrungan perubahan berat badan yang tidak dikehendaki.

(14)

membutuhkan satu pengukuran, namun ketepatan pengukuran sangat tergantung pada ketepatan umur.

Tinggi badan merupakan parameter antropometri yang terpenting kedua. Tinggi badan dapat menggambarkan pertumbuhan tulang yang sejalan dengan pertambahan umur, keadaan yang telah lalu, dan keadaan sekarang. Berbeda dengan BB, tinggi badan tidak banyak terpengaruh oleh keadaan yang mendadak. Jika umur tidak diketahui dengan tepat, dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan. Rahmah (2010) menyatakan bahwa tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U (Tinggi Badan menurut Umur). Indikator TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lalu juga erat kaitannya dengan status sosial ekonomi yang dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat (Diana, 2004).

(15)

meneliti dan memantau pertumbuhan balita dapat digunakan dengan menentukan status gizi balita berdasarkan rujukan WHO-2005.

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan WHO-2005

Indeks Status Gizi Ambang Batas

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Gizi kurang, kematian, kecacatan fisik maupun rendahnya kecerdasan pada anak dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung (Hadi, 2012). Dua faktor langsung pada model tersebut adalah kurangnya konsumsi makanan dan kondisi kesehatan seperti adanya diare akibat terjadinya infeksi, sedangkan faktor tidak langsung adalah ketahanan pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak dan akses kepada sarana kesehatan serta kondisi lingkungan dimana anak tinggal.

(16)

Konsumsi makanan, dalam hal ini menyangkut kualitas hidangan makanan tergantung kepada keadaan keseimbangan gizi yaitu terpenuhinya kebutuhan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan seseorang. Bila susunan hidangan kebutuhan tubuh baik dari segi kuantitasnya, maka tubuh akan memperoleh kesehatan gizi yang baik. Sebaliknya apabila konsumsi hidangan yang kurang baik dalam kualitas dan kuantitas akan berdampak tidak baik bagi kesehatan pangan dan gizi dan pada akhirnya akan memengaruhi status gizi orang tersebut. Kebutuhan gizi balita adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan balita. Kebutuhan gizi pada balita ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) (Marimbi, 2010).

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X tahun 2012, angka kecukupan gizi (AKG) kebutuhan energi usia 0-6 bulan dengan BB 6 kilogram dan TB 61 centimeter sebesar 550 kkal/ hari, usia 7-11 bulan dengan BB 9 kilogram dan TB 71 centimeter sebesar 725 kkal/ hari, usia 1-3 tahun dengan BB 13 kilogram dan TB 91 centimeter adalah berkisar 1125 kkal/ hari, dan untuk usia 4-6 tahun dengan BB 19 kilogram dan TB 112 centimeter sebesar 1600 kkal/hari. Kebutuhan protein untuk anak usia 0-6 bulan adalah 12 gram/hari, usia 7-11 bulan 18 gram/hari, usia 1-3 tahun 26 gram/hari, dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 35 gram/hari.

(17)

bahan makanan melalui muntah-muntah dan BAB yang encer. Disamping itu pada saat infeksi seperti diare terjadi penurunan nafsu makan (Arisman, 2004). Sebagaimana diketahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (Virus, bakteri, dan parasit) dengan terjadinya malnutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat Supariasa (2002), bahwa adanya interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan terjadinya penyakit infeksi, demikian juga sebaliknya bahwa adanya infeksi akan memengaruhi status gizi serta mempercepat timbulnya malnutrisi. Berdasarkan Depkes RI (1999), Kekurangan Energi Protein (KEP) seberapa ringan pun berpengaruh terhadap daya tahan tubuh anak terhadap terjadinya infeksi, dan sebaliknya infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi anak.

2.2.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Diare

(18)

adalah 2,54 kali lebih besar dibanding pada anak yang memiliki status gizi cukup (Sinthamurniwaty, 2006). Hasil penelitian Haryuni (2005), dengan desain case

control di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan

Kabupaten Deli Serdang menunjukkan hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan kejadian diare.

2.3 Pola Makan

Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu untuk mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2009; Adriani, 2012). Apabila pola makan baik maka diasumsikan konsumsi makan akan baik pula sehingga akan menimbulkan status gizi yang baik. Menurut Santosa (2004), Pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh sesorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat lain tentang pola makan dapat diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh–pengaruh faktor fisiologi, psikologi, budaya, dan sosial (Sulistyoningsih, 2010). Menurut Berg (1985), pola makan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari memengaruhi status gizi.

(19)

merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit serta merupakan kelompok umur yang paling banyak mengalami gangguan akibat gizi. Hal ini dikarenakan balita berada dalam masa transisi perubahan pola makan yaitu dari makanan bayi ke makanan orang dewasa. Disamping itu, pada balita juga sering terjadi penurunan nafsu makan yang disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan dan sebagian anak sudah mengembangkan jenis makanan yang disukai dan tidak disukai. Anak cenderung menyukai makanan jajanan yang rendah energi dan tidak bergizi, oleh karena itu perhatian terhadap makanan dan kesehatan pada balita sangat perlu (Hardinsyah dan Martianto, 1992; Hurlock, 1982).

Menurut Mansjoer (2000), pemberian makanan pada anak balita harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur.

2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, kebiasaan makan, dan selera anak terhadap makanan

3. Bentuk dan porsi disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan faal anak. 4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

(20)

Menurut Kemenkes RI (2011), pola makan yang baik bagi bayi dan balita adalah sebagai berikut :

A.Usia 0-6 bulan

Usia 0-6 bulan pertama kehidupan bayi merupakan usia dimana bayi hanya diberikan ASI saja. Yang harus diperhatikan oleh ibu adalah :

1. Memberikan ASI yang pertama keluar yaitu ASI yang berwarna kekuningan (kolostrum).

2. Berikan hanya ASI (ASI eksklusif).

3. Tidak memberikan makanan maupun minuman lain selain ASI 4. Menyusui bayi sesering mungkin.

5. Memberikan ASI sekehendak keinginan bayi, minimal delapan kali sehari.

6. Apabila bayi tidur lebih dari tiga jam, membangunkannya untuk kemudian menyusukannya.

7. Menyusui dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian.

8. Menyusui sampai payudara terasa kosong, baru kemudian pindah ke payudara sisi yang lainnya.

B. Usia 6-8 bulan

Pada usia 6-8 bulan, bayi sudah dapat diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Yang harus diperhatikan ibu adalah :

(21)

2. Mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) seperti bubur susu dan makanan lumat (bubur lumat, sayuran, daging, dan buah yang dilumatkan, biskuit, dan lain-lain) sebanyak 2-3 kali sehari.

3. Memberikan MP-ASI secara bertahap sesuai umur anak, pada tahap awal 2-3 sendok makan kemudian secara bertahap ditambah hingga mencapai setengah gelas atau 125 cc setiap kali makan.

4. Memberikan ASI terlebih dahulu kemudian MP-ASI.

5. Memberikan makanan selingan seperti jus buah dan biskuit 1-2 kali dalam sehari 6. Memberikan tambahan 1-2 gelas susu perhari pada bayi yang tidak mendapat ASI

karena alasan medis. C. Usia 9-11 bulan

Hal-hal yang harus diperhatikan ibu dalam memberi makan anak usia 9-11 bulan adalah:

1. Tetap meneruskan pemberian ASI.

2. Memberikan MP-ASI dalam bentuk makanan lembik seperti nasi tim atau makanan yang dicincang kecil sehingga mudah ditelan anak dengan frekuensi pemberian 3-4 kali sehari.

3. Memberikan makanan dengan porsi setengah gelas/mangkuk atau sebanyak 125 cc perkali makan.

(22)

5. Memberikan tambahan 1-2 gelas susu perhari pada bayi yang tidak mendapat ASI karena alasan medis.

D. Usia 1-2 tahun (12-24 bulan)

1. Mulai memperkenalkan anak dengan makanan keluarga yang terdiri dari ¾ gelas nasi (200 cc), 1 potong kecil ikan/daging/ayam/telur, 1 potong kecil tempe/tahu atau 1 sdm kacang-kacangan, ¼ gelas sayur, dan 1 potong buah dengan frekuensi 3-4 kali sehari.

2. Memberikan makanan selingan seperti bubur dan kue dua kali sehari. 3. Meneruskan pemberian ASI apabila memungkinkan.

E. Usia 2-5 tahun (24-60 bulan)

1. Memberikan anak makanan orang dewasa dengan frekuensi tiga kali sehari.

2. Memberikan anak ½ porsi makanan orang orang dewasa yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur, dan buah.

3. Memberikan makanan selingan seperti bubur kacang hijau, biskuit, dan kue dua kali sehari di antara waktu makan.

4. Tidak memberikan makanan manis dekat dengan waktu makan, karena dapat mengurangi nafsu makan anak.

(23)

dalam memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari, (3) Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi pada balita. Berdasarkan hal tersebut diperlukan adanya prilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuh dalam keluarga untuk senantiasa memberikan makanan bergizi yang seimbang kepada balita.

2.3.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Makan

Menurut Adriani (2012), Pola makan yang terbentuk erat kaitannya dengan kebiasaan makan seseorang, dimana pola makan tersebut dibentuk sejak masa kanak-kanak yang akan terbawa hingga dewasa. Banyak faktor yang memengaruhi terbentuknya pola makan antara lain sebagai berikut:

1. Ekonomi

Variabel ekonomi yang paling dominan dalam memengaruhi kosumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Meningkatnya jumlah pendapatan akan meningkatkan peluang dan kemampuan dalam membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas.

2. Budaya

(24)

3. Agama dan Kepercayaan

Pantangan yang didasari agama, khususnya Islam disebut haram dan individu yang melanggar hukumnya berdosa. Konsep halal dan haram sangat memengaruhi pemilihan bahan makanan yang akan dikosumsi. Agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari, dan beberapa aliran agama (Protestan) melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi, atau alkohol.

4. Personal Preference

Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Misalnya, ayah tidak suka makan ikan, begitu pula dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka makan kerang, begitu pula dengan anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak yang suka mengunjungi neneknya akan menyukai ayam karena sering dihidangkan ayam. Lain lagi dengan anak yang suka dimarahi bibinya, akan tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya. 5. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang

(25)

6. Kesehatan

Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau sakit gigi sering membuat orang memilih makanan yang lembut dan tidak jarang pula orang memilih untuk tidak makan karena mengalami kesulitan menelan.

Pedoman pola makan yang sehat untuk masyarakat secara umum yang digunakan saat ini adalah 13 pesan dasar gizi seimbang.

2.3.2 Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Diare

Tindakan ibu dalam pemberian makan balita dipengaruhi oleh faktor kebiasaan makanan yang disukai balita terhadap jenis makanan tertentu, sehingga dalam memilih jenis makanan yang akan dikonsumsi oleh anak, ibu hanya memilih bahan makanan yang disukai oleh anak tanpa memperhatikan aspek terpenting kebutuhan anak. Padahal, kesehatan anak berhubungan dengan pola makan yang diberikan ibu, jika ibu tidak memperhatikan pola makan anak, maka anak tersebut akan mengalami masalah kesehatan yaitu berupa masalah gizi yang tidak baik, sehingga beresiko lebih besar untuk menderita penyakit infeksi seperti diare (Suharjo, 1992; Kardjati, 1985). Dari hasil penelitian Umijati (1992), diperoleh bahwa ada hubungan antara pola konsumsi makanan bayi yang meliputi pola pemberian makanan tambahan dan pola menyusui terhadap gangguan pencernaan dan ketidak cukupan konsumsi.

(26)

mengandung immunoglobulin yang bersifat sebagai antibodi melawan mikroorganisme, mengandung leukosit dalam jumlah yang sangat besar meliputi macrophaage yang dapat menghasilkan interferon, complement, dan Lysozyme selain itu ASI juga mengandung lactoferrin (Iron binding proteins) yang mengikat besi sehingga menghambat perkembangan bakteri serta mendorong kolonisasi usus oleh Lactobacillus bifidus yang menghasilkan asam sehingga menyebabkan PH usus

rendah yang menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Berdasarkan penelitian Rasmi (2002), pemberian ASI dapat melindungi bayi dari infeksi usus, sehingga dapat mengurangi risiko terkena diare. Menurut Suraji (2003), untuk memperoleh gizi yang baik pada bayi yang baru lahir maka ibu harus menyusui bayinya sesegera mungkin karena ASI memberikan peranan penting dalam menjaga kesehatan dan mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Oleh karena itu pemberian ASI eksklusif pada bayi sangat dianjurkan. Hasil penelitian Kamalia (2005) tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 1-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I yang menggunakan desain cross sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare.

(27)

penanganan makanan (Martorell & Habichth, 1986). Adapun syarat-syarat pemberian MP-ASI yang baik adalah (1) Cukup zat gizi, (2) Mudah dicerna, (3) Tidak bulky (volume makanan menjadi besar), (4) Tidak menimbulkan alergi, (5) Memperhatikan perilaku makanan bayi (kemampuan bayi untuk menerimanya).

2.4 Higiene dan Sanitasi Makanan

Higiene dan sanitasi makanan adalah upaya mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin menimbulkan gangguan kesehatan atau keracunan makanan (Depkes RI, 2006). Ada lima prinsip higiene dan sanitasi makanan yang perlu diperhatikan yaitu pemilihan bahan, penyimpanan bahan, pengolahan, penyimpanan makanan, pengangkutan dan penyajian makanan. 1. Pemilihan Bahan makanan

a. Bahan makanan mentah (segar) yaitu makanan yang perlu pengolahan sebelum dihidangkan, contoh: beras, daging, telur, sayuran, dan sebagainya. b. Makanan terolah (pabrikan) yaitu makanan yang sudah dapat langsung

dimakan tetapi digunakan untuk proses pengolahan lebih lanjut seperti makanan kemasan antara lain bubur instan, kecap, ikan kaleng, kornet, tahu, tempe dan sebagainya.

(28)

2. Penyimpanan Bahan Makanan

Makanan yang baik adalah makanan bergizi yang dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup termasuk manusia. Zat gizi selain diperlukan oleh manusia juga dibutuhkan oleh bakteri. Oleh karena itu makanan yang tercemar oleh bakteri mudah menjadi rusak. Kerusakan bahan makanan dapat terjadi karena:

a. Tercemar bakteri karena alam atau akibat perlakuan manusia.

b. Adanya enzim dalam makanan yang diperlukan untuk proses pematangan seperti pada buah-buahan.

c. Kerusakan mekanis, seperti gesekan, tekanan, benturan dan lain-lain 3. Pengolahan Makanan

Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan yang siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti kaidah-kaidah dari prinsip-prinsip higiene sanitasi. Dalam istilah asing dikenal dengan sebutan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) antara lain: a. Persiapan Tempat Pengolahan

(29)

b. Peralatan Masak dan Makan

Keutuhan peralatan tidak boleh patah, sompel, penyok, tergores atau retak karena akan menjadi sarang kotoran/bakteri. Peralatan yang tidak utuh tidak mungkin dapat dicuci sempurna sehingga dapat menjadi sumber kontaminasi. Peralatan makan dan minum yang bersih harus disimpan dalam rak penyimpanan yang terlindung dari serangga dan tikus dan dikeluarkan apabila diperlukan.

c. Peralatan untuk Mencuci

Mampu membersihkan bahan makanan dan mencuci peralatan yang berasal dari air mengalir langsung dari keran air, tersedia tempat cuci tangan yang berbeda dengan tempat pencucian lainnya, dan tidak menggunakan tempat cuci tangan untuk mencuci bahan makanan.

4. Penyimpanan Makanan Masak

Setiap makanan masak masing-masing ditempatkan pada wadah yang terpisah. Pemisahan didasarkan pada saat makanan mulai diolah dan jenis makanan. Setiap wadah mempunyai tutup, tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air. Makanan berkuah dipisah antara lauk dengan saus atau kuahnya.

5. Pengangkutan dan Penyajian Makanan

(30)

2.4.1 Prinsip-Prinsip Dasar dalam Penyiapan Makanan yang Aman Bagi Bayi dan Balita

Menurut Gibney, Margetts, Kearney, dan Arab, (2009), prinsip-prinsip dasar dalam penyiapan makanan yang aman bagi bayi dan balita harus sesuai dengan praktik higiene yang baik yaitu:

1. Masak makanan sampai benar-benar matang

Bahan makanan mentah, khususnya unggas, susu mentah dan sayuran, sangat sering terkontaminasi organisme penyebab penyakit. Pemasakan sampai benar-benar matang mampu membunuh mikroorganisme. Semua bahan makanan harus dimasak mencapai suhu minimum 70ºC.

2. Menyajikan makanan segera setelah dimasak

Upayakan selalu membuat makanan yang baru bagi bayi dan anak-anak, dan berikan begitu selesai dimasak saat makanan sudah cukup dingin. Jangan menyimpan makanan untuk bayi dan balita. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan, makanan hanya boleh disimpan sampai waktu makan berikutnya, tetapi makanan harus disimpan pada suhu dingin (suhu dibawah 10ºC) atau panas (suhu diatas 60ºC). Makanan yang disimpan harus dipanasi kembali dengan baik pada suhu minimal 70ºC.

3. Menghindari kontak antara bahan pangan yang mentah dengan makanan yang sudah matang.

(31)

mentah bersentuhan dengan makanan matang. Kontaminasi silang secara tidak langsung dan tidak jelas misanya: melalui tangan, lalat, peralatan masak atau permukaan barang yang kotor. Dengan demikian tangan harus segera dicuci sesudah menangani bahan makanan yang berisiko tinggi, misalnya daging unggas. Perabot yang digunakan untuk menyimpan makanan mentah harus terlebih dahulu dicuci sampai bersih sebelum digunakan kembali untuk makanan matang. Penambahan setiap unsur yang baru ke dalam makanan yang sudah matang dapat memasukkan kembali organisme pathogen, oleh karena itu makanan harus dimasak lagi dengan baik.

4. Mencuci semua buah dan sayuran dengan air yang bersih

Buah dan sayuran yang akan diberikan pada bayi harus dicuci terlebih dahulu sampai bersih dengan air yang aman dan sebaiknya buah dikupas terlebih dahulu sebelum diberikan.

5. Menggunakan air yang aman

Air yang aman sama pentingnya untuk pengolahan makanan bagi bayi dan anak kecil seperti halnya air minum. Air yang digunakan untuk mengolah makanan harus direbus kecuali jika makanan yang ditambahi air itu kemudian dimasak sampai matang (misalnya; nasi, kentang). Pemberian es yang dibuat dari air yang tidak aman (air mentah) tidak aman untuk dikonsumsi.

6. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan makan

(32)

khususnya jika mengganti popok bayi, dari toilet, atau menyentuh hewan. Hewan peliharaan di rumah kerap kali menyimpan kuman yang dapat berpindah dari tangan ke mulut. Demikian juga halnya pada saat akan makan, tangan anak dan pengasuh harus dicuci dengan bersih terlebih dahulu.

7. Menggunakan cangkir dan alat-alat makan yang bersih dan hindari pemberian makan dengan menggunakan botol

Gunakan sendok dan cangkir untuk memberikan minuman dan makanan cair pada bayi dan anak kecil dan hindari pemberian dengan botol, karena biasanya lebih sulit untuk mencuci botol susu dan dot sampai benar- benar bersih. Sendok, cangkir, piring, dan perabot yang dipakai untuk mengolah dan menyajikan makanan harus segera dicuci setelah digunakan. Cara ini akan mempermudah pencuciannya sampai benar-benar bersih. Jika botol susu dan dot harus digunakan, perlengkapan itu harus dicuci sampai bersih benar dan direbus terlebih dahulu sebelum dipakai.

8. Lindungi makanan terhadap serangga, tikus dan hewan lainnya

Hewan terutama lalat, kecoa, dan tikus biasanya membawa organisme pathogen dan merupakan sumber yang potensial untuk kontaminasi makanan.

9. Menyimpan makanan yang tidak habis di tempat yang aman

(33)

10.Jaga semua alat untuk pengolahan makanan tetap bersih.

Permukaan alat yang digunakan untuk menyiapkan makanan harus dijaga agar selalu bersih untuk menghindari kontaminasi makanan. Sisa-sisa dan remah makanan merupakan sumber kuman yang potensial dan dapat menarik serangga serta hewan. Sampah dikumpulkan di tempat yang aman, tertutup dan harus segera dibuang maksimum dalam 3x24 jam.

11.Mempertimbangkan jenis-jenis makanan yang diasamkan dan diterima secara budaya karena jenis-jenis makanan ini memiliki pertumbuhan bakteri yang rendah.

2.5 Pencegahan

Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Kemenkes RI (2011) adalah sebagai berikut:

1.Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.

(34)

penyebab diare. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula beresiko tinggi menyebabkan diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

2.Memperbaiki Cara Mempersiapkan Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana cara makanan pendamping ASI diberikan. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian.

Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik yaitu :

(35)

b. Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.

c. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta menyuapi anak dengan menggunakan sendok yang bersih

d. Memasak makanan dengan benar, serta menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak

3.Menggunakan Air Bersih yang Cukup

Sebagian besar penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral, yaitu ditularkan dengan cara kuman masuk kedalam mulut melalui makanan, minuman atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan sarana air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai pada saat penyimpanan di rumah.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah : a. Ambil air dari sumber air yang bersih

(36)

c. Menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-anak d. Minum air yang sudah dimasak sampai mendidih

e. Mencuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih dan cukup

4.Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak, dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam menurunkan angka kejadian diare sebesar 47 persen. 5. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga :

a. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga.

b. Bersihkan jamban secara teratur

(37)

6. Membuang Tinja Bayi dengan Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anggota keluarga yang lain seperti anak-anak dan orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar, berikut hal-hal yang harus diperhatikan:

a. Kumpulkan segera tinja anak atau bayi dan buang segera di jamban.

b. Bantu anak untuk buang air besar di tempat yang bersih dan mudah dijangkau oleh anak.

c. Bersihkan dengan benar anak setelah buang air besar dan mencuci tangannya dengan menggunakan sabun.

d. Apabila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti di dalam lubang atau di kebun dan ditimbun segera.

7. Pemberian Imunisasi Campak

(38)

penyakit diptheri, pertusis dan tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam pencegahan penyakit polio.

2.6 Landasan Teori

(39)

Mekanisme terjadinya diare bukan hanya dipengaruhi oleh higiene sanitasi saja tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan satu dengan lainnya seperti keadaan gizi, keadaan sanitasi lingkungan, dan keadaan sosial ekonomi (Depkes, 2007). Menurut Irwanto (2002), penyebab utama diare adalah:

1. Gizi

Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Ada hubungan yang sinergis antara status gizi dengan terjadinya diare. Balita yang mengalami dehidrasi dan gangguan nafsu makan rentan mengalami masalah gizi, dan sebaliknya balita dengan status gizi kurang menjadi lebih rentan mengalami penyakit infeksi termasuk diare karena tidak tercukupinya kebutuhan balita terhadap makanan sehingga menyebabkan kekebalan tubuh anak menjadi rendah. Dehidrasi dan malnutrisi sumber masalah kesehatan anak terjadi jika asupan tidak seimbang, terutama jika hanya beberapa jenis zat gizi yang dikonsumsi anak. Kecukupan gizi akan mendukung pertumbuhan bayi secara optimal. Diare menyebabkan gizi kurang, oleh karena itu pengobatan dengan makanan yang baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut

2. Perilaku

Perilaku terhadap kesehatan lingkungan (environmental health behavior) adalah kebiasaan seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku ini meliputi :

(40)

b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan, teknik, dan penggunaannya.

c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair termasuk didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat, serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik.

d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai, atap, dan sebagainya.

e. Perilaku sehubungan dengan kebersihan lingkungan sekitar termasuk pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor) dan sebagainya.

3. Lingkungan

Lingkungan memengaruhi kejadian diare meliputi lingkungan keluarga, lingkungan fisik, yaitu lingkungan dimana seseorang itu tinggal (misalnya di pedesaan atau perkotaan), lingkungan sosial budaya, yaitu lingkungan masyarakat yang mengatur perilaku individu dalam kelompok agar sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku

4. Keadaan sosial dan perilaku masyarakat a. Praktik penyapihan yang buruk

(41)

b. Faktor individu 1) Kurang gizi

2) Buruk atau berkurangnya mekanisme pertahanan alami tubuh (immunodefisiensi). Misalnya, diare lebih lazim terjadi pada anak-anak yang sedang mengidap atau mengalami penyakit campak.

3) Produksi asam lambung berkurang

4) Berkurangnya gerakan usus yang memengaruhi proses aliran makanan yang normal

5) Penggunaan obat-obatan tertentu yang tidak dapat diterima oleh jaringan tubuh akan menyebabkan penyakit sampingan berupa diare.

6) Infeksi dalam perut yang disebabkan virus, cacing, atau bakteri

7) Terlalu banyak makan makanan yang mengandung serat seperti buah mentah dan makanan yang sudah lama dapat menyebabkan keracunan makanan.

(42)
(43)

Penyebab

Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor Penyebab Kurang Energi Protein (KEP) Sumber : Unicef, 1999 dalam Gibney 2009

(44)

Status Gizi

Higiene Sanitasi Makanan - Sanitasi Makanan

- Kebersihan Pribadi 2.7 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel yang dianalisis dalam kerangka konsep meliputi variabel pola makan yang dilihat dari cara atau tindakan ibu/pengasuh dalam memberi dan memilih makanan untuk balita termasuk didalamnya cara pemberian ASI dan cara pemberian MP-ASI. Variabel status gizi dengan melihat indeks antropometri balita berdasarkan BB menurut umur, serta variabel higiene dan sanitasi yang meliputi sanitasi makanan dan kebersihan pribadi, dalam hal ini higiene dan sanitasi makanan berhubungan dengan penggunaan sarana air bersih, dan penggunaan jamban yang sehat. Variabel pola makan, status gizi, higiene dan sanitasi makanan berpengaruh terhadap variabel

Pola Makan - Pemberian Makanan

(Termasuk ASI & MP-ASI) Variabel Independen

Variabel Dependen

(45)

Gambar

Tabel 2.1  Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan WHO-2005
Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor Penyebab Kurang Energi Protein (KEP)
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “GAMBARAN HIGIENE SANITASI PENGOLAHAN MAKANAN DAN KEJADIAN DIARE SERTA STATUS GIZI NARAPIDANA LAKI-LAKI USIA 18-20

Pemberian makanan pendamping ASI diberikan pada bayi secara bertahap. Dimulai dengan membiasakan dengan memberikan makanan orang dewasa yang dihaluskan. Pada masa tersebut