i
KRITERIA DAERAH DEDEKIND Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh: Widiatmo Kurniadi
NIM: 083114012
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
CRITERION OF DEDEKIND DOMAIN Thesis
Presented as Partial Fulfillment of the Requirements To Obtain SARJANA SAINS Degree
In Mathematics
By:
Widiatmo Kurniadi Student Number: 083114012
MATHEMATICS STUDY PROGRAM MATHEMATICS DEPARTMENT
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY
vii ABSTRAK
Dibuktikan lima kriteria yang saling ekivalen supaya daerah integral dengan
lapangan pecahan merupakan daerah Dedekind, yaitu setiap ideal sejati dari
adalah hasil kali tunggal dari sejumlah berhingga ideal prima dari (dengan
pengurutan kembali ideal prima tersebut) dan setiap ideal prima tersebut
mempunyai invers, setiap ideal fraksi dari mempunyai invers, setiap ideal
taknol dari mempunyai invers, himpunan setiap ideal fraksi dari membentuk
grup komutatif terhadap operasi perkalian, daerah integral adalah daerah
Noether, tertutup secara integral dan setiap ideal prima taknol dari adalah ideal
viii ABSTRACT
Five equivalence criterions for an integral domain with it’s field of quotient
to become Dedekind domain have been proved, namely every proper ideal is a
unique product of finite number of prime ideals (up to order of the factors) and
each is invertible, every fractional ideals of is invertible, every nonzero ideal of
is invertible, the set of all fractional ideals of forms a multiplicative
commutative group, integral domain is an integrally closed Noetherian domain
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul ”Kriteria Daerah Dedekind” ini dapat diselesaikan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak lepas dari dukungan, dorongan, kerjasama maupun bimbingan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ibu M.V. Any Herawati, S.Si, M.Si. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji skripsi yang telah membimbing dan memberi masukan sejak awal hingga selesainya skripsi ini.
2. Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si. selaku Ketua Program Studi Matematika yang telah memberikan nasehat dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi.
3. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, SJ dan Bapak Dr. rer. nat. Herry Pribawanto Suryawan, S.Si., M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan selama proses penyusunan skripsi ini.
4. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dan staf sekretariat yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan pembelajaran, serta administrasi bagi penulis selama masa perkuliahan.
5. Semua pihak yang telah membantu penulis, tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu.
Yogyakarta, 11 April 2014
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS ………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi
HALAMAN ABSTRAK ……… vii
HALAMAN ABSTRACT ……….. viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………. ix
KATA PENGANTAR ………... x
DAFTAR ISI ……….. xi
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ………... 2
C. Batasan Masalah ……….. 2
D. Tujuan Penelitian ………. 2
E. Metode Penelitian ………... 2
F. Manfaat Penelitian ……….. 2
xii
BAB II GRUP, GELANGGANG DAN MODUL ... 4
A. Pemetaan dan Grup... 4
B. Gelanggang ... 38
C. Konstruksi Lapangan Pecahan ... 68
D. Modul ... 77
BAB III DAERAH DEDEKIND ... 107
A. Daerah Dedekind ... 107
B. Kriteria Daerah Dedekind ... 126
BAB IV PENUTUP ... 139
A. Kesimpulan ... 139
B. Saran ... 139
DAFTAR PUSTAKA ... 140
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teorema Fermat yang terakhir, yaitu + = tidak punya solusi bilangan bulat
un-tuk > 2, ∈ ℕ.Ada yang mencoba membuktikan teorema ini, diantaranya Kummer (1858).
Kummer membuat sistem bilangan kompleks yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa
teorema tersebut benar untuk sejumlah tak berhingga eksponen yang habis dibagi
bilangan-bilangan prima beraturan. Sebagai hasilnya, Kummer berhasil membuktikan teorema fermat
un-tuk < 100. Usahanya untuk membuktikan teorema fermat secara umum gagal, sebab
faktorisasi tunggal dari bilangan bulat (setiap bilangan bulat ≥ 2, dapat dinyatakan secara
tunggal sebagai perkalian pangkat dari bilangan-bilangan prima tanpa memperhatikan urutan)
tidak bisa diperluas ke gelanggang lain termasuk himpunan bilangan kompleks. Kummer
be-rusaha untuk memperbaiki ketunggalan dari faktorisasi pada bilangan kompleks tersebut dengan
memperkenalkan istilah bilangan-bilangan ideal.
Berdasar ide Kummer tentang bilangan-bilangan ideal tersebut, Dedekind membuat
konsep yang berjudul teori bilangan yang bersifat aljabar secara umum dan dipublikasikan pada
tahun 1879. Kemudian Hilbert memperluas konsep tersebut yang kemudian dikembangkan oleh
Noether. Pada akhirnya konsep tersebut mengarah pada gagasan umum tentang ketunggalan
faktorisasi ideal menjadi pangkat-pangkat ideal prima, yang kemudian disebut daerah Dedekind.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi adalah bagaimana kriteria agar suatu daerah
inte-gral merupakan daerah Dedekind ?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah pada skripsi ini adalah tidak dibahas kriteria daerah Dedekind yang
menggunakan lokalisasi dan gelanggang valuasi diskret.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah memahami kriteria agar suatu daerah integral merupakan
daerah Dedekind dan pemenuhan tugas akhir dalam Program Studi Matematika Universitas
San-ata Dharma.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode studi pustaka dengan menggunakan buku-buku
aljabar abstrak.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini untuk memahami kriteria suatu daerah integral merupakan daerah Dedekind dan
sebagai pemenuhan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sains program studi matematika.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Batasan Masalah
E. Metode Penelitian
F. Manfaat penelitian
II. GRUP, GELANGGANG DAN MODUL
A. Pemetaan dan Grup
B. Gelanggang
C. Konstruksi Lapangan Pecahan
D. Modul
III.DAERAH DEDEKIND
A. Daerah Dedekind
B. Kriteria Daerah Dedekind
IV.PENUTUP
A. Kesimpulan
BAB II
GRUP, GELANGGANG DAN MODUL
A. Pemetaan dan Grup
Definisi 2.1.1
Suatu kelas bagian dari × disebut relasi pada × . Selanjutnya simbol ekivalen
dengan , ∈ untuk setiap ∈ dan ∈ dan jika = maka adalah relasi pada .
Contoh 2.1.1
Misal himpunan = 1,2,3 , = 2,4,6 dan adalah relasi dari ke dengan aturan = 2
untuk setiap ∈ , ∈ yaitu = 1,2 , 2,4 , 3,6 .
Definisi 2.1.2
Perkalian Cartesius dari himpunan , … , yaitu himpunan semua -tuple terurut , … , ,
dimana ∈ . Perkalian cartesius tersebut disimbolkan dengan = × … × .
Contoh 2.1.2
Misal = 1 , = 1,2 maka × = 1,1 , 1,2 .
Definisi 2.1.3
Misal adalah himpunan tak kosong dan adalah himpunan indeks. Suatu partisi dari adalah
1. Untuk setiap ∈ berlaku ≠ ∅.
2. Untuk setiap , ∈ jika ≠ maka ∩ = ∅.
3. Gabungan dari , , … sama dengan , dimana , + 1, … ∈ . Selanjutnya elemen dari
partisi tersebut disebut sel dari partisi A.
Contoh 2.1.3
Misal = 1,2,3,4,5,6 . Salah satu partisi dari yaitu 1,2,3,4 , 5,6 dengan sel dari partisi
yaitu = 1,2,3,4 , = 5,6 .
Definisi 2.1.4
Suatu relasi pada disebut relasi ekivalensi pada A jika dan hanya jika untuk setiap , , ∈
relasi bersifat
1. Refleksif yaitu ,
2. Simetris yaitu jika maka ,
3. Transitif, yaitu jika , maka .
Contoh 2.1.4
Akan dibuktikan relasi pada ℤ yang didefinisikan ! " jika dan hanya jika !" > 0 untuk
se-tiap !, " ∈ ℤ − 0 adalah suatu relasi ekivalensi pada ℤ. Jelas relasi bersifat refleksif. Sebab
untuk setiap ! ∈ ℤ − 0 berlaku ! > 0 sehingga ! !. Misal ! " sehingga !" > 0. Karena
perkalian di ℤ komutatif sehingga !" = "! > 0 maka " !. Jadi relasi bersifat simetris.
! < 0 dan " < 0, selain itu "& > 0 sehingga " > 0 dan & > 0 atau " < 0 dan & < 0. Jika
! > 0 dan " > 0 dan "& > 0 maka & > 0 sehingga !& > 0 maka ! &. Jika ! < 0 dan " < 0
dan "& > 0 maka & < 0 sehingga !& > 0 akibatnya ! &. Jika " > 0 dan & > 0 dan !" > 0
sehingga ! > 0 maka !& > 0 akibatnya ! &. Jika " < 0, & < 0 dan !" > 0 maka ! < 0
se-hingga !& > 0 akibatnya ! &. Karena setiap kemungkinan berlaku ! & maka adalah relasi
yang bersifat transitif. Karena adalah relasi yang simetris, refleksif dan transitif maka adalah
suatu relasi ekivalensi.
Definisi 2.1.5
Misal ( adalah himpunan dan adalah relasi ekivalensi. Setiap ), * ∈ ( disebut ekivalen jika
dan hanya jika ) *. Karena mempunyai sifat refleksif, maka jika diambil sebarang + ∈ (
ter-dapat elemen di ( yang ekivalen dengan +. Himpunan setiap elemen di ( yang ekivalen dengan +
disebut kelas ekivalensi dengan represntasi s dan disimbolkan dengan [+] = ∈ (.+ .
Him-punan setiap kelas ekivalensi dimana adalah relasi ekivalensi pada ( disimbolkan dengan
/ = [+].+ ∈ ( .
Contoh 2.1.5
Pada contoh 2.1.4, salah satu kelas ekivalensi dari ℤ yaitu [2] = ∈ ℤ − 0 . 2 .
Teorema 2.1.1
Misal adalah himpunan tak kosong dan 0 adalah relasi ekivalensi pada (. Jika ), * ∈ maka
1. Elemen * ∈ [)] jika dan hanya jika )0*.
3. Himpunan [)] ≠ ∅.
4. Irisan [)] dengan [*] tidak sama dengan ∅ jika dan hanya jika )0*.
5. Irisan [)] dengan [*] tidak sama dengan ∅ jika dan hanya jika [)] = [*]
Bukti:
1. Misal * ∈ [)] sehingga menurut definisi 2.1.5 * ∈ dan )0*. Sebaliknya jika )0* maka
menurut definisi 2.1.5, * ∈ [)].
2. Menurut definisi 2.1.4, 0 bersifat refleksif sehingga ) ∈ [)].
3. Karena 0 bersifat refleksif maka ) ∈ [)] sehingga )1 ≠ ∅.
4. Misal [)] ∩ [*] ≠ ∅ sehingga ada elemen 2 ∈ )1 dan 2 ∈ [*]. Karena 2 ∈ [)] dan 2 ∈ [*] maka
menurut definisi 2.1.5, 20) dan 20* maka menurut definisi 2.1.4, )02 sehingga diperoleh )0*.
Sebaliknya diketahui )0* sehingga ) ∈ [*]. Karena ) ∈ [)] maka [)] ∩ [*] ≠ ∅.
5. Misal [)] ∩ [*] ≠ ∅. Ambil sebarang 2 ∈ [)] maka menurut pernyataan pertama )02.
Menurut pernayaan keempat berlaku )0*. Karena 0 adalah relasi ekivalensi pada , dan )02
maka menurut definisi 2.1.4, 20). Diperoleh 20) dan )0* sehingga menurut definisi 2.1.4, 20*
sehingga menurut pernyataan pertama 2 ∈ [*]. Akibatnya [)] ⊆ [*]. Bukti untuk [*] ⊆ [)]
ana-log dengan pembuktian [)] ⊆ [*]. Akan dibuktikan pernyataan sebaliknya. Karena [)] = [*]
maka jelas [)] ∩ [*] ≠ ∅.
Teorema 2.1.2
Misal himpunan tak kosong dan ~ adalah relasi ekivalensi pada maka ~ menghasilkan
partisi, dimana 6 = ) ∈ .)~ adalah sel yang memuat untuk semua ∈ . Konversnya,
jika ~ adalah relasi pada yang menghasilkan partisi maka ~ adalah relasi ekivalensi.
Bukti:
Misal adalah himpunan tak kosong dan ~ adalah relasi ekivalensi pada . Akan ditunjukkan
relasi ekivalensi ~ pada menghasilkan partisi. Calon partisi dari relasi ekivalensi ~ pada
yai-tu ~7 = 6. ∈ dimana 6 = ) ∈ .)~ . Akan ditunjukkan setiap sel dari ~7 adalah
him-punan tak kosong, saling asing, dan setiap gabungan dari sel tersebut sama dengan . Misal 6
adalah sebarang sel dari ~7. Menurut pernyataan pertama teorema 2.1.1, ∈ 6 sehingga 6 ≠ ∅
maka terbukti setiap sel dari ~7 adalah himpunan tak kosong. Selanjutnya akan dibuktikan setiap
sel dari ~7 saling asing. Ambil sebarang ) ∈ 6 maka ) ∈ dan )~ . Karena ~ adalah relasi
ekivalensi sehingga menurut definisi 2.1.4 berlaku8 ~) sehingga )~). Jadi ) ∈ )1 maka 6 ⊆ )1.
Ambil sebarang ∈ )1 maka ~) sehingga menurut definisi 2.1.4, )~ maka ~ . Jadi menurut
teorema 2.1.1, ∈ 6 sehingga 6 = )1. Menurut teorema 2.1.1, 6 = )1 jika dan hanya jika
6 ∩ )1 ≠ ∅. Pernyataan tersebut ekivalen dengan 6 ≠ )1 jika dan hanya jika 6 ∩ )1 = ∅. Jadi
ter-bukti 6 ∩ )1 = ∅. Menurut teorema 2.1.1, setiap elemen dari terletak pada satu sel sehingga
gabungan dari sel tersebut sama dengan . Jadi terbukti ~7 adalah partisi dari . Selanjutnya
akan dibuktikan konversnya. Misal 9 adalah partisi dari dengan himpunan indeks .
Didefin-isikan 9 = . ∈ dan didefinisikan relasi ~ pada sebagai berikut, untuk setiap +, : ∈ ,
+~: jika dan hanya jika terdapat ∈ sedemikian sehingga + ∈ dan : ∈ . Akan ditunjukkan
sedemikian sehingga + ∈ dan + ∈ untuk setiap ) ∈ . Selain itu untuk setiap +, : ∈ jika
+~: maka terdapat ∈ sedemikian sehingga + ∈ dan : ∈ . Ekivalen dengan jika +~: maka
terdapat ∈ sedemikian sehingga : ∈ dan + ∈ . Akibatnya menurut relasi yang
didefinisi-kan, :~+ sehingga menurut definisi 2.1.4, relasi ~ bersifat simetris. Selanjutnya untuk setiap
∈ jika +~: dan :~ maka terdapat <, " ∈ sedemikian sehingga + ∈ = dan : ∈ = dan
: ∈ > dan ∈ >. Karena : ∈ = dan : ∈ > maka =∩ > ≠ ∅ sehingga menurut definisi
2.1.3, = = > maka +, :, adalah elemen =. Jadi + ∈ = dan ∈ = sehingga +~ maka
menurut definisi 2.1.4, ~ adalah relasi yang transitif. Menurut definisi 2.1.4, terbukti bahwa ~
adalah relasi ekivalensi.
∎
Definisi 2.1.6
Misal adalah relasi pada . Relasi disebut relasi teurut parsial pada A jika dan hanya jika
1. Relasi bersifat refleksif.
2. Relasi bersifat antisimetris yaitu untuk setiap , ∈ jika dan maka = .
3. Relasi bersifat transitif.
Himpunan tak kosong yang mempunyai relasi terurut parsial disebut himpunan terurut
par-sial. Selanjutnya himpunan terurut parsial akan disebut poset.
Contoh 2.1.6
Misal adalah relasi pada ℝ dengan aturan ) ≤ * untuk setiap ), * ∈ ℝ. Jelas bersifat
maka jelas ) = * sehingga adalah relasi yang antisimetris. Selain itu, untuk setiap ), *, 2 ∈ ℝ
jika ) ≤ *, * ≤ 2 maka jelas ) ≤ 2 sehingga adalah relasi yang transitif. Karena adalah
relasi yang refleksif, antisimetris dan transitif maka adalah relasi terurut parsial sehingga ℝ
adalah poset.
Definisi 2.1.7
Misal adalah poset dengan relasi teurut parsial (. Elemen , ∈ disebut sebanding jika dan
hanya jika atau .
Contoh 2.1.7
Pada contoh 2.1.6, ), * ∈ ℝ dengan relasi adalah sebanding.
Definisi 2.1.8
Misal adalah poset dengan relasi terurut parsial (. Elemen ∈ disebut elemen maksimal jika
dan hanya jika untuk setiap ∈ berlaku sebanding dengan , yaitu . Elemen A ∈
dise-but elemen minimal jika dan hanya jika A sebanding dengan yaitu A untuk setiap ∈ .
Contoh 2.1.8
Misal = 1,2,3,4,5,6 . Dibuat relasi pada dengan aturan untuk setiap ≤ untuk setiap
, ∈ maka = B1,1C, B1,2C, B1,3C, B1,4C, B1,5C, B1,6C,
B2,3C, B2,4C, B2,5C, B2,6C, B3,3C, B3,4C, B3,5C, B3,6C, B4,4C, B4,5C, B4,6C, B5,5C, B5,6C, B6,6C 8. Jelas
Definisi 2.1.9
Misal ( adalah himpunan dengan adalah relasi pada (. Relasi disebut relasi terurut secara
linear pada S jika dan hanya jika:
1. Untuk setiap , ∈ ( berlaku tepat satu kondisi ini yaitu atau = atau , dan
2. Relasi pada ( bersifat transitif.
Contoh 2.1.9
Misal = 1,2,3 . Dibuat relasi pada dengan aturan < untuk setiap , ∈ maka
= B1,2C, B1,3C, B2,3C sehingga adalah relasi yang terurut linear pada .
Definisi 2.1.10
Misal adalah himpunan terurut secara parsial dan D adalah himpunan bagian tak kosong dari
. Elemen A ∈ disebut batas atas dari D jika dan hanya jika A untuk setiap ∈ D. Suatu
himpunan bagian tak kosong D dari yang teurut secara linear disebut rantai pada A.
Contoh 2.1.10
Menurut contoh 2.1.8, 6 adalah batas atas dari .
Definisi 2.1.11
Misal adalah himpunan terurut secara parsial dan D adalah sebarang himpunan bagian dari
yang tak kosong. Himpunan disebut terurut dengan baik jika dan hanya jika setiap D
Contoh 2.1.11
Misal = 1,2,3 dan adalah relasi pada dengan sifat jika dan hanya jika ≤ untuk
setiap , ∈ maka = B1,1C, B1,2C, B1,3C, B2,2C, B2,3C, B3,3C . Karena memenuhi definisi
2.1.6, maka adalah poset. Himpunan bagian tak kosong dari adalah = 1 , =
2 , E = 3 , F = 1,2 , G = 1,3 , H = 2,3 , I = . Perhatikan bahwa setiap himpunan
tak kosong dari mempunyai elemen minimal sehingga adalah himpunan terurut dengan baik.
Teorema 2.1.3
Jika ≠ ∅ adalah himpunan terurut secara parsial sedemikian sehingga setiap rantai J ⊆
mempunyai batas atas di maka mempunyai elemen maksimal.
Bukti:
Andaikan tidak mempunyai elemen maksimal. Ambil sebarang )K ∈ dan dibuat rantai pada
yaitu )K ≤ ) ≤ ) ≤ ⋯ dimana ) ∈ untuk setiap . Menurut hipotesis, rantai tersebut
mempunyai batas atas di , misal *K. Dibuat rantai baru pada yaitu *K ≤ * ≤ * ≤ ⋯
se-hingga rantai yang baru tersebut mempunyai batas atas di . Perhatikan bahwa, jika rantai ini
diteruskan maka setiap rantai tersebut mempunyai batas atas dan juga mempunyai elemen
mini-mal di sehingga menurut definisi 2.1.11, adalah himpunan yang terurut dengan baik. Karena
tidak mempunyai elemen maksimal maka menurut definisi 2.1.8 berlaku untuk setiap 2 ∈
terdapat ) ∈ J dan ) ≮ 2 tapi J mempunyai batas atas sehingga ada 2K ∈ J dan ) ≤ 2K untuk
setiap ) ∈ J akibatnya kontradiksi dengan untuk setiap 2 ∈ terdapat ) ∈ J dan ) ≮ 2. Jadi
Definisi 2.1.12
Relasi dari × D disebut pemetaan jika dan hanya jika untuk setiap ) ∈ terdapat * ∈ D
sedemikian sehingga B), *C ∈ dan untuk setiap B) , * C, B) , * C ∈ jika ) = ) maka
* = * . Selanjutnya pemetaan akan disimbolkan dengan huruf non kapital, misal O dan
pemetaan dari × D akan disimbolkan O: → D atau pemetaan O dari ke D.
Contoh 2.1.12
Perhatikan relasi O dari ℤ ke ℝ yang didefinisikan OB)C = 2) − 1 untuk setiap ) ∈ ℤ. Akan
di-tunjukkan O adalah suatu pemetaan. Jelas untuk setiap ) ∈ ℤ terdapat * ∈ ℝ sedemikian
sehing-ga B), *C ∈ O. Selanjutnya ambil sebarang B) , * C, B) , * C ∈ O. Misal ) = ) sehingga
OB) C = 2) − 1 = 2) − 1 = OB) C. Jadi menurut definisi 2.1.12, O adalah suatu pemetaan
dari ℤ ke ℝ.
Definisi 2.1.13
Misal adalah himpunan. Pemetaan O: → disebut pemetaan identitas, disimbolkan dengan
17: → , jika dan hanya jika OB C = untuk setiap ∈ .
Definisi 2.1.14
Misal , D adalah himpunan dan O: → D. Himpunan
"8O = ∈ D. = OB C8untuk8suatu8 ∈ disebut peta dari pemetaan O. Jika O: → D
Contoh 2.1.14
Dibuat pemetaan O: ℝ → ℝ yang didefinisikan OB)C = sin ) untuk setiap ) ∈ ℝ. Menurut
defin-isi 2.1.14, "8O = −1 ≤ * ≤ 1.* = OB)C8untuk8setiap8) ∈ ℝ .
Definisi 2.1.15
Misal , D adalah himpunan. Pemetaan O: → D disebut injektif jika dan hanya jika untuk
se-tiap , ∈ jika OB C = OB C maka = . Pemetaan O: → D disebut surjektif jika dan
hanya jika untuk setiap ∈ D terdapat ∈ sedemikian sehingga OB C = . Selanjutnya
O: → D disebut bijektif jika dan hanya jika O adalah pemetaan yang injektif dan surjektif.
Contoh 2.1.15
Perhatikan himpunan ℝ = B , C. , ∈ ℝ dan ℂ = + ] , ∈ ℝ, = ^−1 , dan dibuat
pemetaan O: ℝ → ℂ yang didefinisikan O_B , C` = + untuk setiap B , C ∈ ℝ . Akan
dibuktikan O adalah pemetaan yang bijektif. Ambil sebarang B , C, B , C ∈ ℝ dan OB , C =
OB , C. Perhatikan bahwa + = + sehingga − + B − C = 0 + 0 maka
− = 0 dan − = 0 sehingga berlaku = dan = , akibatnya B , C = B , C.
Jadi O adalah pemetaan yang injektif. Selanjutnya akan dibuktikan O adalah pemetaan yang
sur-jektif. Ambil sebarang ) ∈ ℂ, misal ) = + A akan dicari * ∈ ℝ sehingga OB*C = + A .
Dipilih * = B , AC ∈ ℝ sehingga berlaku OB*C = O_B , AC` = + A . Jadi O adalah pemetaan
yang surjektif. Karena O adalah pemetaan yang surjektif dan injektif maka O adalah pemetaan
Definisi 2.1.16
Misal O: → D, a: D → J adalah suatu pemetaan. Pemetaan komposisi dari O dan a adalah
pemetaan dari ke J, disimbolkan dengan a ∘ O dan didefinisikan Ba ∘ OCB C = a_OB C` untuk
setiap ∈ .
Contoh 2.1.16
Diberikan O: ℝ → ℝ yang didefinisikan OB C = B , 0C dan a: ℝ → ℂ yang didefinisikan
a_B , C` = + . Pemetaan komposisi dari O dan a adalah pemetaan dari ℝ ke ℂ dengan
Ba ∘ OCB C = a_OB C` = a_B , 0C` = + 0 = .
Teorema 2.1.4
Jika O: → D maka BO ∘ 17CB C = OB C = B1c∘ OCB C untuk setiap ∈ .
Bukti:
Menurut definisi 2.1.13, 17B C = untuk setiap ∈ sehingga BO ∘ 17CB C = O_17B C` =
OB C dan 1cB C = untuk setiap ∈ D maka B1c∘ OCB C = 1c_OB C` = OB C. Jadi
BO ∘ 17CB C = O_17B C` = OB C = B1c∘ OCB C.
Teorema 2.1.5
Misal O adalah pemetaan dari ke D. Invers dari O yaitu OX adalah suatu pemetaan jika dan
Bukti:
1. B→C
Misal OX ada. Ambil sebarang , ∈ dan OB C = OB C. Menurut definisi 2.1.12 misal
OB C = dan OB C = untuk suatu , ∈ D atau = . Karena OX adalah suatu pemetaan
sehingga menurut definisi 2.1.12, OX B C = OX B C sehingga = . Jadi menurut definisi
2.1.15, O adalah pemetaan yang injektif. Selanjutnya ambil sebarang * ∈ D akan dicari ) ∈
sedemikian sehingga OB)C = *. Menurut definisi 2.1.12, untuk setiap * ∈ D terdapat ) ∈
sedemikian sehingga OX B*C = ) maka cukup dipilih ) = OX B*C sedemikian sehingga
O_OX B*C` = *. Jadi menurut definisi 2.1.15, O adalah pemetaan yang surjektif.
2. B←C
Misal O adalah pemetaan yang bijektif dan akan ditunjukkan OX adalah suatu pemetaan. Ambil
sebarang * ∈ D akan dicari ) ∈ sedemikian sehingga OX B* C = ) . Karena O surjektif
maka menurut definisi 2.1.15 OB) C = * . Diperoleh B) , * C ∈ O sehingga menurut definisi
2.1.14, B* , ) C ∈ OX . Terbukti terdapat ) ∈ sedemikian sehingga OX B* C = ) .
Selanjut-nya ambil sebarang B* , ) C, B*E, )EC ∈ OX dan * = *E. Karena B* , ) C, B*E, )EC ∈ OX maka
menurut definisi 2.1.14, B) , * C, B)E, *EC ∈ O sehingga menurut definisi 2.1.12, OB) C = * =
*E = OB)EC maka menurut definisi 2.1.15, ) = )E. Jadi menurut definisi 2.1.12, OX adalah
sua-tu pemetaan.
Teorema 2.1.6
Bukti:
Ambil sebarang ∈ sehingga menurut definisi 2.1.12 terdapat ∈ D sedemikian sehingga
[Bℎ ∘ aC ∘ O]B C = Bℎ ∘ aCB C selain itu terdapat ∈ J sehingga ℎ_aB C` = ℎB C = A untuk
suatu A ∈ f. Perhatikan bahwa [ℎ ∘ Ba ∘ OC]B C = ℎ ∘ ga_OB C`h = ℎ_aB C` = ℎB C = A. Jadi
terbukti Bℎ ∘ aC ∘ O = ℎ ∘ Ba ∘ OC.
Definisi 2.1.17
Himpunan tak kosong i disebut semigrup dengan operasi biner ∗ pada i yang asosiatif, yaitu
∗ B ∗ C = B ∗ C ∗ untuk setiap , , ∈ i selanjutnya sifat ini disebut sifat asosiatif.
Contoh 2.1.17
Himpunan bilangan bulat ℤ membentuk semigrup dengan operasi biner penjumlahan B+C.
Definisi 2.1.18
Suatu monoid adalah semigrup i yang memuat identitas dua sisi, yaitu k ∈ i sehingga ∗ k =
k ∗ = untuk setiap ∈ i.
Contoh 2.1.18
Himpunan ilB2, ℝC = mn
Ao p , , , A ∈ ℝ, A − ≠ 0q adalah suatu monoid dengan
operasi biner perkalian dan identitasnya yaitu matriks identitas.
Definisi 2.1.19
Grup ri,∗s adalah himpunan i dengan operasi biner * pada i, sedemikian sehingga memenuhi
1. Operasi biner * bersifat asosiatif yaitu untuk setiap , , ∈ i berlaku ∗ B ∗ C = B ∗ C ∗
.
2. Terdapat elemen identitas yaitu ada elemen k ∈ i, sehingga k ∗ ) = ) = ) ∗ k untuk setiap
) ∈ i.
3. Mempunyai elemen invers. Artinya untuk setiap ∈ i, ada t∈ i dengan sifat ∗ t= t∗
= k.
Akibat dari operasi biner pada i, i tertutup terhadap operasi *, yaitu ∀v,w∈xB ∗ C ∈ i.
Grupri,∗s disebut grup Abel atau bersifat komutatif jika dan hanya jika ∀v,w∈x8 ∗ = 8 ∗ .
Selanjutnya notasi ∗ secara umum akan ditulis dengan dan untuk elemen invers akan
di-tulis X yang berarti elemen invers dari . Sedangkan jika operasinya adalah penjumlahan maka
∗ akan ditulis dengan + dan untuk elemen invers akan ditulis − yang berarti elemen
invers dari .
Jadi grup adalah himpunan dengan operasi biner yang bersifat asosiatif, terdapat elemen
identi-tas, dan setiap elemen mempunyai invers, dan terdapat sifat tertutup yaitu misal i adalah grup
dan , adalah sebarang elemen di i berlaku ∈ i.
Misal i adalah grup dengan operasi perkalian dan adalah sebarang elemen di i
dengan k adalah elemen identitas. Untuk ! ∈ ℤ, didefinisikan:
1. Untuk ! = 0 berlaku y = k.
3. Untuk ! ≤ −1 berlaku Xy= X X … X sebanyak ! faktor.
Analog jika i adalah grup dengan operasi penjumlahan, maka penulisan ! = + + ⋯ +
sebanyak ! faktor dan 0 = 0 serta untuk bilangan bulat negatif " maka penulisan " = − −
− − ⋯ − sebanyak " faktor.
Contoh 2.1.19
Himpunan ℤ membentuk grup dengan operasi penjumlahan. Elemen identitas dari ℤ adalah 0
dan untuk setiap ∈ ℤ terdapat − ∈ ℤ sedemikian sehingga + B− C = 0 serta untuk setiap
, , ∈ ℤ berlaku + B + C = B + C + sehingga menurut definisi 2.1.19, ℤ adalah grup
terhadap operasi penjumlahan.
Definisi 2.1.20
Himpunan { disebut grup bagian dari i jika dan hanya jika { ≠ ∅ dan { ⊆ i dan {
memben-tuk grup dengan operasi di i.
Contoh 2.1.20
Perhatikan himpunan bilangan real ℝ dan himpunan bilangan bulat ℤ. Himpunan bilangan real ℝ
adalah grup dengan operasi penjumlahan dan ℤ ≠ ∅ dan ℤ ⊆ ℝ. Jadi menurut contoh 2.1.19, ℤ
adalah grup bagian dari ℝ.
Teorema 2.1.7
Misal i grup dan { ≠ ∅, { ⊆ i. Himpunan { adalah grup bagian dari i jika dan hanya jika
Bukti:
1. B←C
Karena { ⊆ i, maka jelas operasinya bersifat asosiatif. Akan ditunjukkan k ∈ {. Karena {
himpunan tak kosong, ambil suatu ) di { sehingga k = ))X ∈ {. Akan ditunjukkan )X ∈ {.
Karena ) ∈ { dan k ∈ { maka k)X = )X ∈ {. Akan dibuktikan bahwa { tertutup. Ambil
sebarang ), * ∈ {, akan ditunjukkan )* ∈ {. Telah ditunjukkan *X ∈ { jika * ∈ {. Misal
= ), = *X maka )* = )B*X CX = X ∈ {. Terbukti { adalah grup bagian i.
2. B→C
Misal { adalah grup bagian dari i. Menurut definisi 2.1.20, { ≠ ∅ dan { ⊆ i dan {
memben-tuk grup dengan operasi di i. Karena { adalah grup, maka menurut definisi 2.1.19, berlaku
X ∈ { untuk setiap , ∈ {
Definisi 2.1.21
Misal i grup dan { himpunan bagian dari i. Untuk sebarang ∈ i, himpunan ℎ|ℎ ∈ {}
dinyatakan dengan {, analog dengan { = {ℎ |ℎ ∈ {}. Himpunan { disebut koset kiri dari
{ di i yang memuat jika dan hanya jika { adalah grup bagian dari i sedangkan { disebut
Contoh 2.1.21
Misal { = 0,3,6 adalah grup bagian penjumlahan modulo sembilan dari
ℤ| = 0,1,2,3,4,5,6,7,8 . Koset kiri dari { di iadalah 0 + { = 3 + { = 6 + {, 1 + { = 4 +
{ = 7 + {, 2 + { = 5 + { = 8 + {.
Teorema 2.1.8
Jika { adalah subgrup dari i dan adalah sebarang elemen di i maka ∈ { dan ∈ { .
Bukti:
Menurut definisi 2.1.19, k ∈ { sehingga = k ∈ { dan = k ∈ { .
Teorema 2.1.9
Misal { adalah grup bagian dari grup idan , ∈ i. Himpunan { = { jika dan hanya jika
∈ {.
Bukti:
1. B→C
Karena { = {, maka ℎ = ℎ untuk suatu ℎ , ℎ ∈ { sehingga = ℎ ℎX ∈ {.
2. B←C
Misal ∈ {. Ambil sebarang ) ∈ {, misal ) = ℎ untuk suatu ℎ ∈ {. Karena , ℎ ∈ { dan {
tertutup, maka ) = ℎ ∈ {, jadi { ⊆ {. Sebaliknya, ambil sebarang * ∈ {, karena ∈ {,
Teorema 2.1.10
Jika , adalah sebarang elemen dari grup i maka B CX = X X .
Bukti:
Menurut definisi 2.1.19, B CB CX = k sehingga B X C B CX = B CX = X dan
X B CX = B CX = X X .
Teorema 2.1.11
Misal { adalah grup bagian dari grup idan , ∈ i. Himpunan { = { jika dan hanya jika
X ∈ {.
Bukti:
1. B→C
Misal { = { maka ℎ = ℎ untuk suatu ℎ , ℎ ∈ {. Perhatikan bahwa ℎ = X ℎ atau
ℎ ℎX = X ∈ {.
2. B←C
Ambil sebarang ) ∈ { maka ) = ℎ untuk suatu ℎ ∈ { dan X = ℎ)X . Karena X = ℎE
dan = ℎE untuk suatu ℎE ∈ { maka ℎ)X = ℎE atau )X = ℎX ℎE X sehingga menurut
teorema 2.1.10, ) = BℎX ℎECX = BℎEX ℎC = ℎF ∈ {. Jadi { ⊆ {. Ambil sebarang
* ∈ { maka * = ℎG untuk suatu ℎG ∈ { sehingga * = ℎEℎG = ℎH untuk suatu ℎH ∈ {. Jadi
Definisi 2.1.22
Misal grup bagian { dari grup i. Grup bagian { disebut grup bagian normal dari grup i jika
dan hanya jika { = { untuk setiap ∈ i. Disimbolkan dengan { ⊲ i.
Contoh 2.1.22
Perhatikan himpunan (lB2, ℝC = €• A ‚ ƒ A − = 1. , , , A ∈ ℝ„ dan ilB2, ℝC =
mn Ao p A − ≠ 0, , , , A ∈ ℝq. Himpunan ilB2, ℝC adalah grup dengan operasi
perkal-ian sebab memenuhi definisi 2.1.19, dan (lB2, ℝC adalah grup bagian dari ilB2, ℝC sebab
me-menuhi teorema 2.1.7. Himpunan (lB2, ℝC adalah grup bagian normal dari ilB2, ℝC. Misal
adalah sebarang elemen di ilB2, ℝC dan = n
Ao. Ambil sebarang … ∈ _(lB2, ℝC`,
… = n Ao • A ‚. Perhatikan bahwa
det … = detB n Ao • A ‚C = det n Ao det • A ‚ = gdet n Aoh 1 =
1 gdet n Aoh = det • A ‚ det n Ao8 sehingga … ∈ _(lB2, ℝC` maka _(lB2, ℝC` ⊆
_(lB2, ℝC` . Bukti untuk _(lB2, ℝC` ⊆ _(lB2, ℝC` analog dengan bukti _(lB2, ℝC` ⊆
_(lB2, ℝC` . Jadi menurut definisi 2.1.22, (lB2, ℝC adalah grup bagian normal dari ilB2, ℝC.
Berikut akan diberikan contoh grup bagian dari suatu grup yang bukan grup bagian normal.
Contoh 2.1.23
Misal { = mn0 Aop , ,A ∈ ℝ, A ≠ 0q. Jelas { adalah grup bagian dari ilB2, ℝC. Andaikan
{ = { maka { X = {. Padahal jika dipilih = n1 2
3 4o sehingga X = ‡
−2 1
E − ˆ dan
‰ = n1 20 3o ∈ { maka ‰ X = n10 −3
30 −9o ∉ {. Kontradiksi dengan { X = {. Jadi {
bukan grup bagian normal dari ilB2, ℝC.
Teorema 2.1.12
Misal i , … , iy adalah grup dan B , … , yC, B , … , yC ∈ Œ iy• . Himpunan Œ iy• = i ×
… × iy = B , … , yC. ∈ i , = 1,2,3, … , ! adalah grup dengan operasi
B , … , yCB , … , yC = B , … , y yC ∈ Œ iy• . Selanjutnya himpunan Œ iy• disebut
perkalian langsung dari grup i.
Bukti:
Jelas Œ iy• ≠ ∅ sebab menurut definisi 2.1.19, ada elemen identitas k dari i untuk setiap
sehingga Bk , … , kyC adalah elemen identitas dari Œ iy• . Karena B , … , yCB , … , yC =
B , … , y yC ∈ Œ iy• untuk setiap B , … , yC, B , … , yC ∈ Œ iy• maka operasi di
Œ iy
• tertutup. Selanjutnya akan dibuktikan sifat asosiatifnya. Perhatikan bahwa
B , … , yC[B , … , yCB , … , yC]
= B , … , yCB , … , y yC
= B , … , y y yC
= [B , … , yCB , … , yC]B , … , yC. Jadi terbukti sifat asosiatifnya. Selain itu karena i adalah
grup maka menurut definisi 2.1.19, X ∈ i untuk setiap ∈ i sehingga B X , … , yX C ∈
Œ iy
Selanjutnya Œ iy• akan disebut penjumlahan langsung dari grup i jika dan hanya jika i
ada-lah grup komutatif dengan operasi penjumada-lahan untuk setiap .
Teorema 2.1.13
Misal i adalah grup dan { adalah grup bagian normal dari grup i. Himpunan iŽ ={
{. ∈ i adalah grup dengan operasi B {CB {C = {.
Bukti:
Mula-mula akan ditunjukkan operasinya terdefinisi dengan baik. Misal { = t{ dan { =
t{ maka t= ℎ dan t= ℎ , untuk8suatu8ℎ , ℎ ∈ { sehingga menurut teorema 2.1.9 dan
definisi 2.1.22 t t{ = ℎ ℎ { = ℎ { = ℎ { = { = {. Jadi terbukti operasinya
terdefinisi dengan baik. Selanjutnya akan dibuktikan iŽ{ grup. Karena { ⊲ i, maka k ∈ {
se-hingga menurut teorema 2.1.9, k{ = { ∈ i {Ž . Akan ditunjukkan k{ = { adalah elemen
identi-tas di iŽ{. Ambil sebarang { ∈ i {Ž sehingga B {CBk{C = B kC{ = {. Jadi terbukti
k{ = { adalah elemen identitas di iŽ{. Menurut definisi 2.1.22, { = { sehingga
B {CB X {C = B{ CB X {C = ℎ B X ℎ
EC.ℎE, ℎ ∈ { = { sehingga menurut definisi
2.1.19,8 X { adalah invers dari {. Ambil sebarang , , ∈ i maka {B { {C =
{B {C = B C{ = B C { = B C{ { = B { {C {, sehingga terbukti perkaliannya
ber-sifat asosiatif. Jadi terbukti iŽ{ grup.
Definisi 2.1.23
Misal i dan i1 grup. Pemetaan O: i → i1 disebut homomorfisma grup jika dan hanya jika
OB C = OB COB C untuk setiap , ∈ i.
Contoh 2.1.24
Himpunan ilB2, ℝC = mn
Ao p , , , A ∈ ℝ, A − ≠ 0q membentuk grup dengan operasi
perkalian dan himpunan ℝ∗ = ).) ∈ ℝ, ) ≠ 0 . Didefinisikan pemetaan O: ilB2, ℝC → ℝ∗
yai-tu O gn
Aoh = A − . Perhatikan bahwa
O gn Aoh O •• A ‚•
= B A − CB A − C
= A A − A − A +
dan O •n
Ao • A ‚•
= O •• + A+ + AA ‚•+ A
= B + CB + AA C − B + A CB + A C
= + AA + + AA − − A − A − A A
= A A − A − A + = O gn Aoh O •• A ‚• sehingga menurut definisi
Teorema 2.1.14
Misal , , adalah sebarang elemen di grup i. Jika = maka = dan jika =
maka = .
Bukti:
Menurut definisi 2.1.19, X B C = X B C sehingga = dan B C X = B C X maka
= .
Teorema 2.1.15
Jika O adalah homomorfisma grup dari grup i ke i1 maka O memetakan elemen identitas dari i
ke elemen identitas i1.
Bukti:
Misal kx adalah elemen identitas dari i dan kx1 adalah elemen identitas dari i1 maka kx = kxkx
dan OBkxC = OBkxkxC = OBkxCOBkxC sehingga menurut teorema 2.1.14, kx1 = OBkxC. Jadi
ter-bukti O membawa elemen identitas dari i ke i1.
Teorema 2.1.16
Misal i, i , i 8adalah grup. Jika O adalah suatu homomorfisma grup dari i ke i 8dan a adalah
suatu homomorfisma grup dari i ke i maka a ∘ O adalah suatu homomorfisma grup dari i ke
Bukti:
Ambil sebarang , ∈ i, maka OB C = OB COB C ∈ i sehingga
Ba ∘ OCB C
= a_OB C`
= a_OB COB C`
= a_OB C`a_OB C` untuk setiap , ∈ i. Jadi terbukti a ∘ O adalah suatu homomorfisma
grup dari i ke i .
Definisi 2.1.24
Misal i, i1 adalah grup dan ‘ dari i ke i1 adalah suatu homomorfisma grup. Himpunan ker ‘ =
) ∈ i.‘B)C = k .
Contoh 2.1.25
Pada contoh 2.1.24, ker O = mn
Ao , , , , A ∈ ℝpO gn Aoh = A − = 1q.
Teorema 2.1.17
Misal O adalah homomorfisma grup dari i ke i1. Himpunan ker O adalah grup bagian normal
Bukti:
Menurut teorema 2.1.15, k ∈ ker O, sehingga ker O ≠ ∅. Ambil sebarang , ∈ ker O, maka
menurut teorema 2.1.15, OB X C = OB COB X C = OB C_OB C`X = kk = k, sehingga
X ∈ ker O. Jadi menurut teorema 2.1.7, ker O adalah grup bagian dari i. Selanjutnya akan
dibuktikan a ker O = Bker OCa untuk setiap a ∈ i. Ambil sebarang ℎ ∈ a ker O, misal ℎ =
aOB C untuk suatu ∈ ker O, maka ℎ = ak = ka = OB Ca ∈ Bker OCa, jadi a ker O ⊆
Bker OCa8. Ambil sebarang ℎ ∈ Bker OCa, misal ℎ = OB Ca untuk suatu ∈ ker O, maka
ℎ = ka = ak = aOB C ∈ a ker O jadi Bker OCa ⊆ a ker O. Jadi diperoleh a ker O ⊆ Bker OCa8
dan Bker OCa ⊆ a ker O sehingga a ker O = Bker OCa. Jadi menurut definisi 2.1.22, ker O adalah
grup bagian normal dari i.
Definisi 2.1.25
Misal i, i′ adalah grup. Pemetaan O: i → i′ disebut isomorfisma grup jika dan hanya jika O
adalah homomorfisma grup yang bijektif. Notasi i ≈ i′ berlaku jika dan hanya jika ada
iso-morfisma grup O dari i ke it.
Contoh 2.1.26
Misal i adalah himpunan semua bilangan real dengan operasi penjumlahan dan i1 adalah
him-punan semua bilangan real positif dengan operasi perkalian. Jelas i, i1 adalah grup. Akan
1. Dibuat pemetaan O: i → i1 yaitu OB)C = 2• untuk setiap ) ∈ i.
2. Akan ditunjukkan O adalah pemetaan yang injektif. Ambil sebarang ), ) ∈ i dan
OB)C = OB) C8↔
2• = 2•— ↔
log 2• = log 2•—8↔
) = ) . Jadi terbukti O adalah pemetaan yang injektif.
3. Akan dibuktikan O adalah pemetaan yang surjektif. Ambil sebarang * ∈ i1 akan dicari ∈ i
sehingga OB C = *, yaitu OB C = 2v = * atau = log * ∈ i. Jadi terbukti O adalah pemetaan
yang surjektif.
4. Akan dibuktikan O mengawetkan operasi. Ambil sebarang ) , )E ∈ i maka OB) COB)EC =
B2•›CB2•œC = 2•› •œ = OB) + )EC. Jadi terbukti O mengawetkan operasi untuk setiap elemen di
i. Jadi menurut definisi 2.1.25, i ≈ i1.
Definisi 2.1.26
Suatu aksi dari grup i pada himpunan ( adalah fungsi dari i × (8ke8( (biasanya disimbolkan
dengan Ba, +C → a+C sehingga untuk setiap ) ∈ ( dan a , a ∈ i berlaku k) = ) dan
Ba a C) = a Ba )C. Ketika suatu aksi diberikan, maka i beraksi pada himpunan (.
Contoh 2.1.27
Perhatikan ℤ, ℝ dan dibuat fungsi dari O: ℤ8 × ℝ → ℝ yang didefinisikan OB , C = + untuk
se-tiap a, a ∈ ℤ berlaku Ba+a C + ) = a + Ba + )C. Jadi menurut definisi 2.1.26, ℤ beraksi pada
ℝ.
Definisi 2.1.27
Misal i ≠ 0 adalah grup dan ∅ ≠ … ⊆ i. Grup i dikatakan dibangun oleh … atau ekivalen
dengan … membangun grup i jika dan hanya jika untuk setiap a ∈ i berlaku a = Œ )y• y•
dengan ) ∈ …, ! ∈ ℤ untuk setiap . Jika … berhingga dan … membangun grup i maka i
dikatakan dibangun secara berhingga oleh ….
Perhatikan pada definisi 2.1.27, himpunan i adalah grup dengan operasi perkalian yang
dibangun oleh …, sedangkan untuk grup terhadap operasi penjumlahan yang dibangun oleh
him-punan bagian dari grup tersebut didefinisikan sebagai berikut. Misal i adalah grup terhadap
operasi penjumlahan dan ∅ ≠ … ⊆ i. Himpunan … disebut membangun grup i jika dan hanya
jika untuk setiap a ∈ i berlaku a = ž ) !Ÿ• dengan ) ∈ …, ! ∈ ℤ. Selanjutnya grup i yang
dibangun secara berhingga oleh … akan disimbolkan dengan i = ) , ) , … , )y¡.
Contoh 2.1.28
Menurut contoh 2.1.19, ℤ adalah grup terhadap operasi penjumlahan sehingga menurut teorema
2.1.12, ℤ adalah grup terhadap operasi penjumlahan. Selanjutnya akan dibuktikan grup ℤ
dibangun secara berhingga oleh B1,0C, B0,1C . Ambil sebarang ) ∈ B1,0C, B0,1C¡ maka ) =
) B1,0C + ) B0,1C untuk suatu ) , ) ∈ ℤ sehingga ) = B) , ) C ∈ ℤ . Terbukti B1,0C, B0,1C¡ ⊆
ℤ . Selanjutnya ambil sebarang * ∈ ℤ maka * = B , C untuk suatu , ∈ ℤ, sehingga
* = B1,0C + B0,1C ∈ B1,0C, B0,1C¡. Terbukti ℤ ⊆ B1,0C, B0,1C¡. Jadi B1,0C, B0,1C¡ = ℤ
Teorema 2.1.18
Misal … adalah himpunan bagian dari grup i yang komutatif terhadap operasi penjumlahan dan
taknol. Pernyataan berikut ekivalen.
1. Setiap elemen taknol ∈ i dapat dinyatakan secara tunggal sebagai = ž !>• ) dengan
! ≠ 0 untuk suatu = 1,2, … , " dan ! ∈ ℤ untuk = 1,2, … , " dan untuk setiap ) , ) ∈ … dan
) ≠ ) jika ≠ untuk setiap , .
2. Himpunan … membangun i dan ž¢• ! ) = 0 untuk ! ∈ ℤ dengan ) , ) ∈ … dan ) ≠ )
jika dan hanya jika ! = 0 untuk = 1,2, … , £.
Selanjutnya himpunan bagian … dari i pada teorema 2.1.18 disebut + +8A £ 8a£¤¥8i.
Bukti:
B1 → 2C
Mula-mula akan dibuktikan 0 ∉ …. Andaikan 0 ∈ …, dan
= ž !>
• ) + ℎ0 =8ž !>• ) + ℎ 0 dimana ℎ tidak perlu sama dengan ℎ . Kontradiksi
dengan dapat dinyatakan secara tunggal sebagai = ž !>• ). Diketahui jika ∈ i dan
≠ 0 maka dapat dinyatakan secara tunggal sebagai = ž !>• ) dengan ! ≠ 0 untuk
sua-tu = 1,2, … , " dimana ! ∈ ℤ untuk = 1,2, … , " dan ) , ) ∈ … dan ) ≠ ) dimana ≠
un-tuk = 1,2, … , " dan = 1,2, … , " maka menurut definisi 2.1.19 berlaku … membangun i.
B←C
B→C
Sebaliknya diketahui ž¢• ! ) = 0 untuk ! ∈ ℤ dengan ) , ) ∈ … dan ) ≠ ) . Andaikan ada
¦ dan 1 ≤ ¦ ≤ £ dan !§ ≠ 0 maka ) + ž¢• ! ) = ) = B! + 1C) + ž¢• ! ) sehingga
terdapat dua cara penulisan ) . Kontradiksi dengan penulisan setiap elemen di i adalah tunggal.
B2 → 1C
Diketahui … membangun i maka menurut definisi 2.1.19, setiap a ∈ i dapat dinyatakan sebagai
ž ¦>
• ) dan ¦ ∈ ℤ untuk setiap . Andaikan ada ∈ i dan ≠ 0 dan = ž>• ) =
ž>
• ) dimana ≠ untuk setiap = 1,2, … , " maka ž>• ) − _ž>• ) ` =
ž _ − `>
• ) = 0 sehingga _ − ` = 0 untuk setiap maka = . Kontradiksi dengan
≠ . Jadi = ž>• ) dengan ≠ 0 untuk suatu = 1,2, … , " dimana ∈ ℤ untuk
= 1,2, … , " dan ) , ) ∈ … dan ) ≠ ) dimana ≠ untuk = 1,2, … , " dan = 1,2, … , ".
∎
Definisi 2.1.28
Grup komutatif i ≠ 0 terhadap operasi penjumlahan disebut bebas jika dan hanya jika i
mempunyai basis dari grup i.
Contoh 2.1.29
Menurut contoh 2.1.28, ℤ dibangun secara berhingga oleh B1,0C, B0,1C . Jelas ℤ adalah grup
komutatif sebab untuk setiap B , C, B , AC ∈ ℤ berlaku B , C + B , AC = B + , + AC =
B + , A + C = B , AC + B , C. Selanjutnya akan dibuktikan B1,0C, B0,1C adalah basis dari
= = 0. Karena B1,0C, B0,1C membangun grup ℤ secara berhingga dan jika B0,0C =
B1,0C + B0,1C maka = = 0 akibatnya menurut teorema 2.1.18, B1,0C, B0,1C adalah
basis dari grup ℤ sehingga ℤ adalah grup komutatif yang bebas.
Teorema 2.1.19
Jika i adalah grup komutatif taknol yang bersifat bebas dengan
… = ¤ , … , ¤¢ adalah basis8dari8grup8i yang mempunyai elemen sebanyak £ maka
Mula-mula akan dibuktikan O adalah suatu homomorfisma grup. Ambil
= O ¸¹ !
Selanjutnya akan dibuktikan O adalah pemetaan yang bijektif. Ambil
seba-rang B , … , ¢C ∈ ℤ × ℤ × … × ℤ pilih ž¢• ¤ ∈ i maka O_ž¢• ¤ ` = B , … , ¢C sehingga
menurut definisi 2.1.15, O adalah pemetaan yang surjektif. Berikutnya akan dibuktikan O adalah
pemetaan yang injektif. Ambil sebarang ), * ∈ i. Misal ) = ž¢• ) dan * = ž A¢• )
di-mana , A ∈ ℤ untuk = 1,2,3, … , £ dan OB)C = OB*C. Akibatnya menurut teorema 2.1.18
= A untuk = 1,2,3, … , £ maka ) = * sehingga menurut definisi 2.1.15, O adalah pemetaan
yang injektif.
Jadi O adalah homomorfisma yang bijektif sehingga menurut definisi
prinsip induksi matematika. Pernyataan 9y yaitu ‘BayC = _‘BaC`y untuk setiap bilangan bulat
!. Akan dibuktikan 9y benar untuk ! = 1, yaitu ‘Ba C = ‘BaC = _‘BaC` , sehingga 9y benar
untuk ! = 1. Diasumsikan 9y benar untuk ! = ¦, yaitu ‘Ba§C = _‘BaC`§, maka untuk
! = ¦ + 1 berlaku ‘Ba§ C = ‘Ba§C‘Ba C = _‘BaC`§_‘BaC` = _‘BaC`§ . Jadi terbukti 9y
benar untuk ! = ¦ + 1, sehingga 9y benar untuk ! ≥ 1. Selanjutnya akan dibuktikan ‘BayC =
_‘BaC`y untuk ! < 0, ! ∈ ℤ. Jika ! < 0 maka −! > 0. Menurut teorema 2.1.15 berlaku
kt= ‘BkC = ‘BayaXyC = ‘BayC‘BaXyC. Karena −! > 0 maka ‘BaXyC = _‘BaC`Xy sehingga
kt= ‘BayC_‘BaC`Xy. Kemudian kalikan kedua ruas dengan _‘BaC`y pada persamaan kt =
‘BayC_‘BaC`Xy sehingga diperoleh _‘BaC`y = ‘BayC. Jadi terbukti ‘BayC = _‘BaC`y untuk
! < 0, ! ∈ ℤ. Kesimpulannya ‘BayC = _‘BaC`y untuk setiap ! ∈ ℤ.
∎
Teorema 2.1.21
Jika » adalah grup bagian dari i dan O adalah isomorfisma grup dari i ke grup i1 maka
OB»C = OB¦C.¦ ∈ » adalah grup bagian dari i1.
Bukti:
Akan dibuktikan OB»C ≠ ∅. Menurut definisi 2.1.20, k ∈ » sehingga menurut teorema 2.1.15,
OBkC = kx1 ∈ OB»C maka OB»C ≠ ∅. Jelas OB»C ⊆ i1. Menurut teorema 2.1.7, untuk setiap
¦ , ¦ ∈ » maka ¦ ¦X ∈ » sehingga OB¦ ¦X C = OB¦ COB¦X C dan menurut teorema 2.1.20
berlaku OB¦X C = _OB¦ C`X maka OB¦ ¦X C = OB¦ COB¦X C = OB¦ C_OB¦ C`X ∈ OB»C.
¦ ¦X ∈ » sehinggaOB¦ C_OB¦ C`X ∈ OB»C maka menurut teorema 2.1.7, OB»C adalah grup
bagian dari i1. ∎
Teorema 2.1.22
Misal i adalah grup komutatif taknol yang bebas dengan elemen basis dari grup i sejumlah !.
Jika » adalah grup bagian dari i maka » adalah grup komutatif yang bebas dengan anggota
ba-sis dari grup » kurang dari atau sama dengan !.
Bukti:
Mula-mula akan dibuktikan » adalah grup komutatif yang bebas dan misal … = ) , ) , … , )y
adalah basis8dari8grup8i. Karena i adalah grup komutatif dan » adalah grup bagian dari i
se-hingga jika diambil sebarang ¦ , ¦ ∈ » maka menurut definisi 2.1.20 ¦ ¦ = ¦ ¦ ∈ »
se-hingga menurut definisi 2.1.19, » adalah grup komutatif. Ambil sebarang ¦ ∈ » maka menurut
punan +- tuple terurut dimana ∈ ℤ untuk setiap = 1,2, … , +. Misal O adalah isomorfisma
penjumlahan dan perkalian, sehingga untuk semua , , ∈ berlaku:
Dari definisi di atas terlihat bahwa gelanggang adalah grup komutatif terhadap operasi
pen-jumlahan dan perkaliannya bersifat asosiatif, dan sifat distributif terbagi menjadi dua yaitu
dis-tributif kanan dan disdis-tributif kiri.Perkalian dari gelanggang ini tidak perlu komutatif. Ketika ada
gelanggang yang perkaliannya bersifat komutatif maka gelanggang itu disebut gelanggang
komutatif. Elemen 0 dari aksioma 3 pada definisi 2.2.1 selanjutnya disebut elemen nol. Ketika
suatu gelanggang selain {0}, memiliki elemen identitas perkalian, maka gelanggang tersebut
dikatakan mempunyai elemen satuan dan ditulis dengan 1. Suatu elemen taknol dari ring
komu-tatif dengan elemen identitas tidak perlu memmempunyai invers perkalian. Ketika inversnya ada,
maka elemen tersebut disebut elemen yang mempunyai invers.
Contoh 2.2.1
Himpunan ℤ8adalah gelanggang sebab untuk semua ), *, 2 ∈ ℤ,memenuhi 6 sifat di atas.
Definisi 2.2.2
Diberikan gelanggang, dan ( ⊆ .8Himpunan (8disebut gelanggang bagian dari jika dan
hanya jika ( membentuk gelanggang dengan operasi di .
Teorema 2.2.1
Misal ( ⊆ , ( ≠ ∅, dan adalah gelanggang. Himpunan ( adalah gelanggang bagian dari
Bukti:
1. B→C
Jelas, sebab ( gelanggang bagian, maka ( adalah gelanggang, sehingga definisi 2.2.1 dipenuhi
oleh (, yang berarti 0 ∈ (, karena ( gelanggang bagian dari maka menurut definisi 2.2. 1, (
adalah grup terhadap operasi penjumalahan, sehingga − ∈ ( dan menurut definisi 2.2.1,
∈ ( untuk setiap , ∈ (.
2. B←C
Karena 0 ∈ ( dan − ∈ ( dan ( ≠ ∅ dan ( ⊆ maka menurut teorema 2.1.7, ( adalah grup
bagian penjumlahan dari . Karena ∈ ( maka ( tertutup terhadap operasi perkalian. Karena (
adalah grup bagian terhadap operasi penjumlahan, maka sifat asosiatif terhadap penjumlahan
ju-ga berlaku di (. Karena ( tertutup terhadap operasi perkalian, maka sifat asosiatif terhadap
perkalian juga tertutup di (. Karena penjumlahan dan perkalian tertutup di ( maka sifat 6 pada
definisi 2.2.1 juga berlaku di (, sehingga menurut definisi 2.2.2, ( membentuk gelanggang
dengan operasi di . Jadi terbukti ( adalah gelanggang bagian dari .
Contoh 2.2.2
Himpunan ℤ adalah gelanggang bagian dari ℝ.
Definisi 2.2.3
Misal gelanggang komutatif. Elemen ≠ 0 disebut pembagi nol jika dan hanya jika ada
Contoh 2.2.3
Himpunan ℤH = 0,1,2,3,4,5 adalah gelanggang komutatif dengan penjumlahan dan perkalian
modulo 6. Elemen 2 dan 3 adalah pembagi nol di ℤH, sebab 2.3 = 08"&A86.
Definisi 2.2.4
Gelanggang disebut daerah integral jika dan hanya jika adalah gelanggang komutatif
dengan elemen satuan di dan tidak memiliki pembagi nol.
Contoh 2.2.4
Himpunan ℤ adalah daerah integral.
Definisi 2.2.5
Misal adalah suatu daerah integral. Himpunan » ⊆ , » ≠ ∅ disebut daerah integral bagian
dari jika dan hanya jika » adalah daerah integral dengan operasi di . Selanjutnya daerah
inte-gral bagian dalam skripsi ini akan disebut derah bagian.
Contoh 2.2.5
Himpunan ℤ adalah daerah bagian dari ℝ.
Teorema 2.2.2
Bukti:
Misal = , ≠ 0, maka − = B − C = 0. Karena ≠ 0 maka menurut definisi
2.2.4, − = 0sehingga = .
Definisi 2.2.6
Suatu gelanggang komutatif dengan elemen satuan disebut lapangan jika dan hanya jika setiap
elemen taknolnya mempunyai invers perkalian.
Contoh 2.2.6
Himpunan ℚ adalah lapangan. Sebab ℚ adalah gelanggang komutatif dengan elemen satuan dan
untuk setiap ∈ ℚ dan ≠ 0 terdapat X sedemikian sehingga X = 1. Jadi ℚ memenuhi
definisi 2.2.6.
Teorema 2.2.3
Jika { lapangan maka { adalah daerah integral.
Bukti:
Cukup dibuktikan { tidak mempunyai pembagi nol. Ambil sebarang , ∈ {, = 0 dan
≠ 0. Karena ≠ 0, maka X ∈ {, sehingga B X C = 1 = = 0. Jadi terbukti { tidak
Definisi 2.2.7
Suatu gelanggang bagian A disebut ideal dari gelanggang R jika dan hanya jika ∀¢∈À∀v∈78£ ∈
, £ ∈ .
Contoh 2.2.7
Akan dibuktikan 2ℤ = 2¦.¦ ∈ ℤ adalah ideal dari ℤ. Menurut contoh 2.2.4, ℤ adalah daerah
itegral. Elemen 0 = 2B0C ∈ 2ℤ sehingga 2ℤ ≠ ∅ dan jika diambil sebarang 2¦ , 2¦ ∈ 2ℤ untuk
suatu ¦ , ¦ ∈ ℤ berlaku 2¦ − 2¦ = 2B¦ − ¦ C = 2¦E ∈ 2ℤ untuk suatu ¦E ∈ ℤ serta
B2¦ CB2¦ C = 2B2¦ ¦ C = 2¦F ∈ 2ℤ untuk suatu ¦F ∈ ℤ, selain itu 2¦ ∈ ℤ. Jadi menurut
te-orema 2.2.182ℤ adalah gelanggang bagian dari ℤ. Ambil sebarang ∈ ℤ, sehingga B2¦ C =
B2¦ C = 2¦H ∈ 2ℤ. Jadi menurut definisi 2.2.7, 2ℤ adalah ideal dari ℤ.
Definisi 2.2.8
Misal adalah ideal dari gelanggang komutatif dengan elemen satuan, . Himpunan disebut
dibangun berhingga jika dan hanya jika ada , , … , > ∈ sedemikian sehingga
= r , , … , >s = £ + ⋯ + £> >.£ ∈ . Himpunan D disebut ideal utama dari jika
dan hanya jika ada ∈ sehingga D = r s = £ .£ ∈ .
Contoh 2.2.8
Perhatikan menurut contoh 2.2.7, 2ℤ = r2s.
Teorema 2.2.4
Bukti:
Misal menurut contoh 2.2.4, himpunan ℤ adalah daerah integral, maka A = A untuk setiap
, A ∈ ℤ. Ambil sebarang £ ∈ ℤ dan ∈ !ℤ, misal = !¦, ¦ ∈ ℤ, maka £ = £B!¦C = !£¦ =
!¦ ∈ !ℤ. Karena ℤ adalah daerah integral maka £ = £ ∈ !ℤ, jadi terbukti menurut definisi
2.2.7, !ℤ adalah ideal dari ℤ.
Perhatikan bahwa menurut definisi 2.2.8, r!s = !¦.¦ ∈ ℤ adalah ideal yang dibangun
berhing-ga denberhing-gan ℤ sebagai gelanggangnya dan menurut teorema 2.2.4, !ℤ = !¦.¦ ∈ ℤ sehingga
!ℤ = r!s.
Teorema 2.2.5
Jika adalah ideal dari ℤ maka = r!s untuk suatu ! ∈ ℤ.
Bukti:
Karena 0 = r0s dan ℤ = r1s maka diasumsikan adalah ideal taknol dari ℤ dan ≠ ℤ. Jika
∈ dan adalah ideal dari ℤ maka menurut definisi 2.2.7, B−1C = − ∈ sehingga elemen
taknol dari adalah kelipatan 8atau − . Misal ! adalah bilangan bulat positif terkecil di ,
se-hingga menurut definisi 2.2.7, !¦ ∈ untuk setiap ¦ ∈ ℤ maka r!s ⊆ . Andaikan ⊈ r!s misal
ada " ∈ dan " ∉ r!s dan " = Â! + £ dengan 0 ≤ £ < !. Karena " ∈ dan Â! ∈ dan
adalah gelanggang bagian dari ℤ maka menurut teorema 2.2.1, " − Â! = £ ∈ dan £ < !.
Definisi 2.2.9
Misal adalah gelanggang, dan himpunan , D adalah ideal-ideal dari . Perkalian D dari , D
didefinisikan dengan D = žy• .8 ∈ , ∈ D .
Contoh 2.2.9
Misal ℤ adalah gelanggang dan semua elemennya adalah himpunan bilangan bulat. Menurut
te-orema 2.2.4, himpunan r2s, r3s adalah ideal-ideal dari ℤ. Perkalian r2s, r3s didefinisikan dengan
Jika ¦ < ! maka ) − ) = ž§• − Bž>•§ > >+ žyÕ§ à ÃC = − žÃ•§y à Ã.88Karena
dan D adalah ideal dari , maka menurut definisi 2.2.7 dan D adalah gelanggang bagian dari
sehingga − à ∈ dan − à ∈ D untuk : = ¦ + 1, … , !. Jadi ) − ) = − žyÕ§ à Ã.∈ D.
Ambil sebarang )E = žŸÄ• Ä Ä ∈ D dan )F = žÅ•Æ Å Å jelas )E)F ∈ D. Jadi D adalah
gelanggang bagian dari menurut teorema 2.2.1. Ambil sebarang £ ∈ sehingga £) =
£Bž§ C
• = B£ C + ⋯ + B£ yC y. Karena adalah ideal dari maka menurut definisi
2.2.7, £ ∈ untuk = 1,2, … , ! sehingga B£ C ∈ D dan ) £ = _ž§• `£ = B £C +
⋯ + §B §£C ∈ D. Jadi menurut definisi 2.2.7, D adalah ideal dari .
Teorema 2.2.7
Misal adalah gelanggang. Jika , D adalah ideal dari maka D ⊆ ∩ D.
Bukti:
Ambil sebarang ) ∈ D, maka ) = žy• , untuk8suatu8 ∈ , ∈ D untuk setiap .
na8 ⊆ dan D ⊆ maka ∈ dan ∈ D untuk setiap . Jadi ) ∈ ∩ D.
Teorema 2.2.8
Misal adalah gelanggang dan , D adalah ideal dari maka himpunan
+ D = + . ∈ , ∈ D adalah ideal dari .
Bukti:
Jelas + D ≠ ∅ sebab jika ∈ dan ∈ D maka + ∈ + D. Ambil sebarang ) ∈ + D
seba-rang ) , )E ∈ + D misal ) = + dan )E = E+ E untuk suatu , E ∈ dan , E ∈ D
sehingga ) − )E = + − B E+ EC = − E+ − E = F+ F = )F ∈ + D untuk
suatu F ∈ dan F ∈ D. Kemudian ) )E = B + CB E+ EC = E+ E+ E+
E ∈ + D. Jadi menurut teorema 2.2.1, + D adalah gelanggang bagian dari . Ambil
seba-rang + ∈ maka +) = +B + C = + + + karena , D adalah ideal dari maka menurut
definisi 2.2.7 + ∈ dan + ∈ D jadi +) ∈ + D. Jadi menurut definisi 2.2.7 + D adalah
ideal dari .
Teorema 2.2.9
Jika adalah suatu ideal dari gelanggang dan 1 ∈ , maka = .
Bukti:
Jelas ⊆ sebab ideal dari . Ambil sebarang £ ∈ , karena 1 ∈ , maka menurut definisi
2.2.7 £ = £1 ∈ , jadi ⊆ . Jadi terbukti = .
Teorema 2.2.10
Misal adalah gelanggang dan adalah gelanggang bagian . Himpunan koset Ç =
£ + .£ ∈ adalah gelanggang dengan operasi B+ + C + B£ + C = + + £ + dan
Bukti:
1. B←C
Menurut teorema 2.1.13, himpunan koset membentuk grup dengan operasi penjumlahan,
sehing-ga akan dibuktikan bahwa perkaliannya asosiatif dan distributif pada operasi penjumlahan.
Mula-mula akan dibuktikan bahwa perkaliannya terdefinisi dengan baik jika dan hanya jika adalah
ideal dari . Misal + + = +t+ dan : + = :t+ sehingga + = +t+ dan
: = :t+ , , ∈ . Jadi +: + = +t:t+ :t+ +t + + = +t:t+ . Terbukti bahwa
operasinya terdefinisi dengan baik. Akan dibuktikan perkaliannya bersifat asosiatif. Misal
£ + , £ + , £E+ ∈ £ + .£ ∈ , maka B£ + C_B£ + CB£E+ C`
= B£ + CB£ £E+ C
= B£ £ £E+ C
= _B£ + CB£ + C`B£E+ C, hal ini berlaku sebab £ , £ , £E ∈ .
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa perkaliannya bersifat distributif kiri terhadap operasi
pen-jumlahan.
B£ + CB£ + + £E+ C
= B£ + CB£ + £E+ C
=B£ B£ + £EC + C
= B£ £ + £ £E+ C. Jadi terbukti perkaliannya bersifat distributif kiri terhadap operasi
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa operasi perkaliannya bersifat distributif kanan terhadap
operasi penjumlahan.
B£ + + £E+ CB£ + C
=B£ + £E + CB£ + C
=_B£ + £EC£ + `
=B£ £ + £E£ + C
Jadi terbukti operasi perkaliannya bersifat distributif kanan terhadap operasi penjumlahan.
Jadi terbukti menurut definisi 2.2.1, £ + .£ ∈ adalah gelanggang.
2. B→C
Misal £ + .£ ∈ adalah gelanggang, andaikan bukan ideal dari , maka ada ∈ dan
£ ∈ sehingga £ ∉ atau £ ∉ . Pada elemen + = 0 + dan £ + , B + CB£ + C =
£ + = B0 + CB£ + C = 0£ + = . Kontradiksi dengan teorema 2.1.9.
Selanjutnya himpunan Ç pada teorema 2.2.10 disebut gelanggang faktor dari .
Definisi 2.2.10
Misal f adalah daerah integral dan , ∈ f. Elemen disebut membagi ekivalen dengan
faktor dari jika dan hanya jika terdapat ∈ f sedemikian sehingga = . Selanjutnya
membagi akan disimbolkan dengan | dan tidak membagi akan disimbolkan dengan
Contoh 2.2.10
Menurut contoh 2.2.4, ℤ adalah daerah integral. Bilangan 2|8 sebab 8 = 2.4 dan 4 ∈ ℤ.
Definisi 2.2.11
Bilangan bulat positif ¥ disebut bilangan prima jika dan hanya jika jika ¥ = maka ¥ = atau
¥ = untuk setiap , ∈ ℤ.
Contoh 2.2.11
Akan dibuktikan 3 ∈ ℤ adalah suatu bilangan prima. Misal 3 = dan ≠ 3 untuk setiap
, ∈ ℤ. Karena |38dan8 ∈ ℤ maka = 3. Jadi menurut definisi 2.2.11, 3 adalah bilangan
prima di ℤ.
Teorema 2.2.11
Misal , , ¥ ∈ ℤ. Jika ¥ adalah bilangan prima dan ¥| maka ¥| atau ¥| .
Bukti:
Misal ¥ ∤ dan ¥ ∤ sehingga menurut definisi 2.2.10, ≠ ¥¦ dan ≠ ¥¦ untuk setiap
¦, ¦ ∈ ℤ. Perhatikan bahwa ≠ B¥¦CB¥¦ C = ¥B¥¦¦ C atau ≠ ¥B¥¦¦ C sehingga menurut
Definisi 2.2.12
Misal adalah gelanggang dan 9 adalah ideal sejati dari . Himpunan 9 disebut ideal prima
dari jika dan hanya jika untuk sebarang ideal , D dari dan D ⊆ 9 berlaku ⊆ 9 atau
D ⊆ 9.
Contoh 2.2.12
Akan dibuktikan r3s adalah ideal prima dari ℤ. Menurut teorema 2.2.4, r"s, r!s adalah ideal dari
ℤ untuk suatu ", ! ∈ ℤ. Misal r"sr!s ⊆ r3s dan menurut teorema 2.2.6,
r"sr!s
= ¹
Ÿ
•
|8 ∈ r"s, ∈ r!s, = 1,2,3, … , + ∈ ℕ}
= {B"!C ž ¦Ÿ
• : |¦ , : 8untuk8 = 1,2, … , +} = r"!s sehingga r"sr!s = r"!s ⊆ r3s.
Per-hatikan bahwa "! ∈ r"!s sehingga "! ∈ r3s berlaku "! = 3 untuk suatu ∈ ℤ. Menurut
contoh 2.2.11, 3 adalah bilangan prima sehingga menurut teorema 2.2.11, 3|" atau 3|!. Jika
3|" maka " = 3 untuk suatu ∈ ℤ sehingga jika diambil sebarang ) ∈ r"s sehingga ) = "¦ = 3B ¦ C ∈ r3s akibatnya r"s ⊆ r3s. Pembuktian untuk r!s ⊆ r3s analog dengan
pembuktian r"s ⊆ r3s. Diperoleh r"s ⊆ r3s atau r!s ⊆ r3s. Jadi menurut definisi 2.2.12, r3s
adalah ideal prima dari ℤ.
Definisi 2.2.13
Suatu ideal dari 8dan8 ≠ disebut ideal maximal jika dan hanya jika, jika D ideal dari
Teorema 2.2.12
Misal adalah gelanggang komutatif dengan elemen satuan dan Ê adalah suatu ideal dari
, Ê ≠ . Gelanggang faktor ŽÊ adalah suatu daerah integral jika dan hanya jika Ê adalah
ide-al prima dari .
Bukti:
1. B→C
Karena ŽÊ adalah suatu daerah integral dan ∈ Ê, maka B + ÊCB + ÊC = + Ê = Ê.
Jadi + Ê = Ê atau + Ê = Ê, sehingga menurut teorema 2.1.11, ∈ Ê atau ∈ Ê. Jadi
ter-bukti Ê adalah ideal prima.
2. B←C
Misal Ê adalah ideal prima. Menurut teorema 2.2.10 himpunan ŽÊ adalah gelanggang faktor
dari , sehingga tinggal dibuktikan ŽÊ tidak mempunyai pembagi nol. Akan dibuktikan untuk
sebarang , ∈ , B + ÊCB + ÊC = Ê maka + Ê = Ê8atau + Ê = Ê. Karena Ê ideal
pri-ma, maka jelas menurut definisi 2.2.12 jika B + ÊCB + ÊC = Ê maka + Ê = Ê8atau
+ Ê = Ê. Jadi terbukti ŽÊ tidak mempunyai pembagi nol.
Teorema 2.2.13
Misal gelanggang komutatif dengan elemen satuan dan Ê suatu ideal dari dan Ê ≠ .