• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI BIDANG PERENCANAAN PADA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI BIDANG PERENCANAAN PADA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI BIDANG PERENCANAAN

PADA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) Administrasi Publik

Oleh:

Radita Paradila NIM : 160903038

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Kebijakan Pengarusutamaan Gender atau disingkat PUG merupakan strategi yang dilakukan pemerintah secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang perencanaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta bagaimana PUG menjadi strategi pencapaian Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dan pencatatan dokumen terkait dengan pelaksanaan kebijakan PUG di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara khususnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sumatera Utara dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dispppa) Provinsi Sumatera Utara. Data yang didapat kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan yang didukung oleh hasil wawancara dengan pendekatan model Edward III yang mengaitkan bahwa keberhasilan suatu program dapat dilihat dari variabel komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Berdasarkan penelitian ini, dapat diketahui bahwa, Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah di Bidang Perencanaan belum berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan beberapa pegawai di suatu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait dengan variabel sumber daya yaitu sumber daya manusia di suatu OPD yang belum sepenuhnya mengerti dengan tugasnya terkait dengan kebijakan PUG ini.

Di variabel komunikasi, disposisi, dan struktur birokrasi dalam implementasi pengarusutamaan gender (PUG) telah dijalankan sesuai peraturan dan sebagaimana mestinya.

Kata Kunci : Implementasi, Kebijakan, Pengarusutamaan Gender, Perencanaan

(6)

ii ABSTRACT

Gender Mainstreaming Policy or abbreviated as PUG is a strategy carried out by the government rationally and systematically to achieve and realize gender equality and justice in a number of aspects of human life, including in the field of planning. This study aims to analyze the implementation of the Gender Mainstreaming (PUG) policy and how gender mainstreaming becomes a strategy for achieving Gender Justice and Equality (KKG) in the North Sumatra Provincial Government.

The research method used is descriptive research method with a qualitative approach. Data collection techniques were carried out by interviewing, observing, and recording documents related to the implementation of PUG policies in the North Sumatra Provincial Government, especially in the Regional Development Planning Agency (Bappeda) of North Sumatra Province and the Office of Women's Empowerment and Child Protection (Dispppa) of North Sumatra Province. The data obtained were then analyzed qualitatively by examining all the data that had been collected which was supported by the results of interviews with the Edward III model approach which linked that the success of a program could be seen from the variables of communication, resources, disposition, and bureaucratic structure.

Based on this research, it can be seen that the implementation of Gender Mainstreaming (PUG) Policies in Regional Development in the Planning Sector has not been running optimally. This can be seen from the responses of several employees in a Regional Apparatus Organization (OPD) related to resource variables, namely human resources in an OPD who do not fully understand their duties related to this PUG policy. In the communication, disposition, and bureaucratic structure variables in the implementation of gender mainstreaming (PUG) it has been carried out according to regulations and as it should be.

Keyword : Implementation, Policy, Gender Mainstreaming, Planning

(7)

iii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. Karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah di Bidang Perencanaan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara”.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Sebagai suatu karya ilmiah, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan- kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

Selama proses penulisan, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muriyanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Umatera Utara.

3. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., M.SP, selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(8)

iv 4. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dra. Asima Yanty S Siahaan, M.A., Ph.D., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Muhammad Arifin Nasution, S.Sos, M.SP., selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah membimbing, arahan, dan memberikan masukan dengan sabar kepada penulis dalam melakukan penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir.

7. Ibu Arlina, M. Hum, selaku dosen pembimbing PKL (Praktik Kerja Lapangan) yang sangat membantu saya dan kelompok saya dalam mengerjakan penelitian dan pengabdian. Semoga ibu selalu diberikan kesehatan dan keselamatan bersama keluarga dan terus menjadi dosen jurusan Ilmu Administrasi Publik yang menginspirasi.

8. Seluruh dosen pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu-ilmu yang relevan selama masa perkuliahan.

9. Staff Administrasi pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah membantu pengurusan administrasi penulis selama masa perkuliahan.

10. Kepada seluruh pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terima kasih telah

(9)

v membantu banyak hal dalam penelitian ini, terutama Ibu Puji Kasih Dachi, Ibu Yuni Elvina, dan Kak Yanti.

11. Kepada seluruh pegawai Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dispppa) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terima kasih telah membantu banyak hal dalam penelitian ini.

12. Untuk keluarga Dinas Perhubungan Kabupaten Samosir yang sangat membantu dalam proses jalannya Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang telah menganggap saya dan teman sekelompok saya seperti keluarga sendiri.

13. Teruntuk orang tua tercinta, Ayahanda Alm. Jaya Silan dan Ibunda Persadanta Br. Bangun, terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua doa, kasih sayang, dukungan, dan nasihat, baik secara moral maupun materil yang telah diberikan kepada Dita dari awal masa perkuliahan sampai dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini Dita persembahkan untuk kalian, doa Dita yang tiada hentinya untuk Ayah, Ibu, dan Kakak.

14. Untuk saudara dan saudari saya yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan kasih sayang, terima kasih sedalam-dalamnya untuk semangat dan dukungan yang diberikan hingga saat ini.

15. Untuk sahabat serta teman-teman Seperjuangan terkhusus untuk Fadilla Salwa, Chika Anita Vera, Anggi Pratiwi, Shania Fahira Rusdi, Anggi F.

Saufi Lubis, Avni Rahmi Putri, Dinda Ainayah, Annisa Fatin, Fakhri Khalid, M. Farhan Rizki, M. Iqbal, Shella Miranda, Dicky Febrianto, Mutiah Ramadhani yang telah mengisi hari-hari penulis dan memberi motivasi serta dukungan kepada penulis.

(10)

vi 16. Kepada seluruh teman-teman AP 2016 yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, terima kasih banyak atas dukungan dan bantuan yang diberikan dari awal perkuliahan hingga saat ini. AP 1 AP JAYA!

Medan, 25 Januari 2021

Penulis

Radita Paradila

(11)

vii DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Kebijakan Publik... 13

2.2 Implementasi Kebijakan Publik ... 14

2.3 Model-Model Implementasi Kebijakan ... 15

2.3.1. Model Implementasi Edward III ... 15

2.3.2. Model Implementasi Van Meter Van Horn ... 18

2.3.3. Model Implementasi Merilee S. Grindle ... 21

2.3.4. Model Implementasi Mazmanian Sabatier ... 22

2.4 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan ... 23

2.4.1. Pengertian Pembangunan ... 23

2.4.2. Tujuan Pembangunan ... 25

2.4.3. Perencanaan ... 27

2.4.4. Pengarusutamaan Gender ... 27

2.5 Definisi Konsep ... 32

2.6 Hipotesis Kerja ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Bentuk Penelitian ... 34

3.2 Lokasi Penelitian ... 34

3.3 Informan Penelitian ... 35

3.4 Teknik Pengumpulan Data/Informasi ... 38

3.5 Teknik Analisis Data ... 40

3.6 Keabsahan Data ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 43

4.1.Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 43

4.1.1. Letak Geografis Sumatera Utara ... 43

4.1.2. Penduduk Provinsi Sumatera Utara ... 44

4.1.3. Visi Misi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ... 45

4.2.Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara .... 48

(12)

viii 4.3.Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi

Sumatera Utara ... 52

4.4.Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah di Bidang Perencanaan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ... 58

4.4.1. Komunikasi ... 59

4.4.2. Sumber Daya ... 64

4.4.3. Disposisi... 69

4.4.4. Struktur Birokrasi ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.1.1. Komunikasi ... 75

5.1.2. Sumber Daya ... 76

5.1.3. Disposisi ... 76

5.1.4. Struktur Birokrasi ... 77

5.2 Saran ... 77

5.2.1. Komunikasi ... 78

5.2.2. Sumber Daya ... 78

5.2.3. Disposisi ... 78

5.2.4. Struktur Birokrasi ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(13)

ix DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019 Terkait Pengarusutamaan Gender (PUG) ... 9 Tabel 3.1. Matriks Informan Penelitian ... 37 Tabel 4.1. Sumber Daya ASN Dispppa Provinsi Sumatera Utara... 56

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Logo Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ... 47 Gambar 4.2. Struktur Organisasi Bappeda Provinsi Sumatera Utara ... 51 Gambar 4.3. Struktur Organisasi Dispppa Provinsi Sumatera Utara ... 57 Gambar 4.4.Komunikasi Pegawai Bappeda Provsu yang Dilaksanakan Menggunakan Zoom Meeting ... 63 Gambar 4.5. Kondisi Ruang Kantor di Bappeda Provsu yang Kosong ... 64 Gambar 4.6. Surat Keputusan Kepala Bappeda Provsu Terkait Focal Point Di Bappeda Provsu ... 66 Gambar 4.7. Ruang Rapat Pengarusutamaan Gender Di Bappeda Provinsi Sumatera Utara ... 68 Gambar 4.8. Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 43 Tahun 2018 ... 73

(14)

x DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... 1

Lampiran 2. Pedoman Observasi ... 6

Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi ... 7

Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 8

Lampiran 5. Transkrip Observasi ... 84

Lampiran 6. Lampiran Dokumentasi ... 86

Lampiran 7. Surat Keterangan Pengajuan Judul Skripsi... 97

Lampiran 8. Lembar Persetujuan Seminar Proposal ... 98

Lampiran 9. Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sumatera Utara ... 99

Lampiran 11. Surat Keterangan Pengambilan Data di Bappeda Provsu ... 101

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Persoalan gender dewasa ini menjadi wacana publik yang selalu hangat diperbincangkan. Salah satunya menyangkut kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang sepanjang sejarah manusia dikontruksikan oleh adat, budaya, dan agama semakin tajam dituntut untuk lebih disetarakan.

“Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.” (Fakih, 2004 : 8)

Perbedaan gender (gender differences) mampu melahirkan ketidakadilan gender. Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan, termanifestasi dalam posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki. Seperti dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun dalam aturan birokrasi dimana kaum perempuan diletakkan dalam posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki.

Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotipe terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka.

Menurut Fakih (2004 : 12-13) , ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem itu. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni Marginalisasi yaitu proses peminggiran/pemiskinan ekonomi, Subordinasi merupakan anggapan tidak penting dalam keputusan politik, Pembentukan Stereotipe (pelabelan) melalui pelabelan negatif, Kekerasan (Violance) artinya

(16)

2 suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, Beban Kerja Ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Bagi perempuan yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Salah satu contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan terhadap perempuan adalah kasus di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada Mei 2020. Disebutkan bahwa korban kekerasan adalah istri dari seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Korban yang berusia 26 tahun ini dibunuh dan dimutilasi oleh suami sendiri yang dibantu oleh selingkuhannya. Pembunuhan terhadap korban AL ternyata telah direncanakan oleh suaminya Praka MP. Belum diketahui apa sebab dari pembunuhan tersebut, namun pembunuhan tersebut bisa dikatakan sadis karena anggota Detasemen Polisi Militer (Depom) mengatakan AL ditemukan dalam kondisi hanya tersisa tulang belulang dan tengkoraknya saja.

Hal ini merupakan salah satu diantara ribuan kasus kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia.

(https://wartakota.tribunnews.com/2020/05/28/heboh-istri-anggota-tni-diduga- dibunuh-suami-dibantu-selingkuhan-saat-ditemukan-tinggal-tulang Diakses pada 20 Juni 2020 Pukul 14.20)

Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat, karena masalah gender adalah masalah yang sangat intens, di mana masing-masing terlibat secara emosional. Pemecahan masalah perlu dilakukan secara serempak. Perlu upaya-

(17)

3 upaya bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan masalah-masalah praktis ketidakadilan tersebut. Usaha jangka panjang juga perlu dilakukan untuk memikirkan bagaimana menemukan cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga dengan demikian antara perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Dalam pembangunan bangsa, kesetaraan dan keadilan gender juga menjadi salah satu fokus dari delapan poin penting dalam rencana pembangunan MDGs (Millenium Development Goals) 2015 yaitu (1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstem, (2) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) Menurunkan angka kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) Memastikan kelestarian lingkungan, dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi MDGs, Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan program pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah, dan panjang.

(https://www.kompasiana.com/azman0210/5cacb29acc5283589f6781a2/masa-

(18)

4 depan-dunia-yang-lebih-baik-dengan-sdgs-sustainable-development-goals

Diakses pada 20 Juni 2020 Pukul 14.25)

“Target MDGs terkait kesetaraan gender yakni mencapai pendidikan dasar bagi semua dengan tujuan bahwa pada tahun 2015 semua anak baik laki-laki maupun perempuan dapat mengenyam pendidikan dasar, mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2015. Hal tersebut diperkuat dalam Konferensi Beijing tahun 1995 dengan lahirnya platform action strategy gender mainstreaming.”

(Nugroho, 2008 : 141)

MDGs kemudian diganti dengan Sustainble Development Goals (SDGs) karena MDGs hanya menargetkan pengurangan ‘setengah’, sedangkan SDGs menargetkan untuk menuntaskan seluruh indikator. (Darajati, 2016 : 3). SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. SDGs diberlakukan dengan prinsip- prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan. (https://www.sdg2030indonesia.org/ Diakses pada 23 Maret 2020 Pukul 11.06)

Kesetaraan gender adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka, yang bersifat kodrati. Kesetaraan gender juga memberdayakan semua perempuan dan anak merupakan salah satu target yang terdapat dalam SDGs diantaranya mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan, mengeliminasi segala bentuk kekerasan, menghapus segala praktek yang membahayakan, memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh

(19)

5 dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik. Konsep SDGs melanjutkan konsep pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) di mana konsep itu sudah berakhir pada tahun 2015. Jadi, kerangka pembangunan yang berkaitan dengan perubahan situasi dunia yang semula menggunakan konsep MGDs sekarang diganti SDGs.

Pengarusutamaan Gender muncul sebagai strategi penyempurnaan dari strategi perjuangan kesetaraan gender. Gender mainstreaming menjadi agenda perjuangan yang mutakhir dari mereka yang mencita-citakan percepatan terciptanya suatu keadilan gender di masyarakat luas. Gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender merupakan sebuah strategi dan rencana untuk meningkatkan kepedulian akan aspirasi, kepentingan dan peranan perempuan dan laki-laki tanpa mengesampingkan harkat, kodrat, dan martabat perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. (Martiany, 2011 : 123)

“Menyelaraskan peran antara laki-laki dan perempuan serta mewujudkan kesetaraan gender sebagai upaya kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah ialah 1) meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, 2) meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga masyarakat.” (Muawanah, 2009 : 45).

Di Indonesia, keseriusan Pengarusutamaan Gender (PUG) dituangkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 lebih sederhana dimaksudkan bahwa PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Tujuan PUG diantaranya

(20)

6 adalah memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang mengalami marginalisasi sebagai dampak dari bias gender, memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses, partisipasi dan kontrol yang sama terhadap pembangunan, dan meningkatkan sensitivitas gender berbagai pihak.

(Inpres No.9 Tahun 2000 tentang PUG).

Sebagai peraturan pelaksana dari Inpres, dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah yang menyatakan untuk memberikan pedoman kepada Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat yang berperspektif gender. Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang merupakan tata cara perencanaan pembangunan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang membagi urusan pemerintahan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak juga sebagai peraturan pelaksana dari Inpres.

Di Sumatera Utara terdapat aturan pemerintah daerah mengenai PUG yaitu Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah yang merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Dengan adanya Pergub No. 43 Tahun 2018 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

(21)

7 pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat responsif gender. Pergub ini juga diharapkan dapat menjadi acuan bagi aparatur Pemerintah Daerah dalam menyusun strategi gender, mampu mewujudkan perencanaan responsif gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan laki-laki dan perempuan, mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara, mampu meningkatkan kesetaraan dan keadilan dalam kedudukan, peranan, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta mampu meningkatkan peran dan kemandirian lembaga yang menangani pemberdayaan perempuan.

Dalam UU No 43 Tahun 2018 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah pada pasal 1 disebutkan bahwa Perencanaan yang Responsif Gender adalah perencanaan yang disusun dengan mempertimbangkan empat aspek yaitu akses/kesempatan, partisipasi/peran, kontrol/penguasaan, dan manfaat yang dilakukan secara setara antara perempuan dan laki-laki, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kegiatan. Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) dilaksanakan terlebih dahulu perlu melakukan analisis kebutuhan gender/analisis gender. Dalam melakukan analisis gender dapat menggunakan metode Alur Kerja Analisis Gender (Gender Analisys Pathway).

“Perundang-undangan adalah kebijakan publik berkenaan dengan usaha-usaha pembangunan nasional, baik berkenaan dengan negara (state) maupun masyarakat atau rakyat (society). Karena berkenaan dengan pembangunan, maka perundang- undangan lazimnya bersifat menggerakkan, maka wajarnya ia bersifat mendinamiskan, mengantisipasi, dan memberi ruang bagi inovasi.” (Nugroho, 2018:125).

“Hukum merupakan bagian dari kebijakan publik, dimana setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai dokumen formal dan berlaku mengikat kehidupan

(22)

8 bersama, maka pada saat itu pula kebijakan publik menjadi hukum dalam konteks sebagai legal (products). Dengan demikian, secara proses hukum merupakan salah satu bentuk atau wujud dari kebijakan publik, yaitu sebagai bentuk final atau formal-legal dari kebijakan publik.” (Nugroho, 2018:149)

Pada penelitian sebelumnya, dalam jurnal yang berjudul Implementasi Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) di Pemerintah Kota Palembang disebutkan bahwa wujud nyata telah berkomitmen untuk melaksanakan PUG melalui PPRG tersebut belum sepenuhnya ada laporan pelaksanaan PPRG tertulis.

“Dilihat dari kriteria partisipasi pelaksanaan PUG melalui PPRG di Pemerintah Kota Palembang terlihat rata-rata pada kondisi cukup aktif. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: 1) masih ada anggapan dari penentu kebijakan, perencana program, atau pihak lain yang berkompeten membuat program jika permasalahan gender dianggap urusan perempuan, 2) masih kurangnya SDM yang mengerti dan paham tentang PUG melalui PPRG, 3) belum ada keseriusan melaksanakan PUG melalui PPRG, 4) masih menganggap program yang berkaitan dengan kesetaraan gender adalah program yang ‘tidak seksi’, 5) belum ada reward bagi pihak yang melaksanakan PUG melalui PPRG dan tidak ada punishment bagi pihak yang tidak melaksanakannya. Senyatanya kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Palembang dikatakan sebagian besar program berbasis asas manfaat kinerja, namun belum berbasis PUG melalui PPRG.”

(Antasari dan Hadi, 2017 : 144-145)

Dalam penelitian sebelumnya, yang berjudul Implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) Sebagai Strategi Pencapaian Kesetaraan Gender (Studi di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Tengah), disebutkan bahwa analisis gender belum dilaksanakan di Provinsi Sumut, sehingga belum memenuhi ketentuan Inpres tersebut. Belum dilakukannya analisis gender, merupakan hambatan yang cukup serius dalam implementasi PUG di daerah, karena tahap perencanaan merupakan kunci utama untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan. (Martiany, 2011 : 129). Berikut adalah salah satu program perencanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 2019- 2023 yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender (PUG):

(23)

10 Tabel 1.1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Utara Tahun 2019 Terkait

Pengarusutamaan Gender (PUG)

NO. MISI TUJUAN/SASARAN INDIKATOR

TUJUAN /SASARAN

PROGRAM PRIORITAS

INDIKATOR KINERJA PROGRAM

SATUAN

TARGET CAPAIAN SASARAN

2019

Target Rp

1.

Mewujudkan Sumatera Utara yang bermartabat dalam pergaulan karena bebas dari judi, narkoba, prostitusi dan penyelundupan, sehingga menjadi teladan di Asia Tenggara dan Dunia.

Terwujudnya masyarakat Sumatera Utara yang bermartabat dalam pergaulan

Indeks

Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat

1. Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan Dan Kualitas Keluarga

Meningkatnya Kesetaraan Gender

% 76 1.093.253.600

1.1. Meningkatnya implementasi Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan

Indeks Pembangunan Gender

2. program peningkatan perlindungan hak perempuan dan perlindungan khusus anak

Meningkatnya kualitas perlindungan hak perempuan dan perlindungan khusus anak

% 77 2.889.143.810

Sumber:Bappeda Provinsi Sumatera Utara

(24)

11 Berdasarkan paparan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah di Bidang Perencanaan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah

“Bagaimana Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah di Bidang Perencanaan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara?”.

1.3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang diajukan mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian. Suatu riset khusus dalam pengetahuan empiris pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana implementasi kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan daerah di bidang perencanaan pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

(25)

12 a. Manfaat Teoritis, menambah pengetahuan, diharapkan mampu mengembangkan dan menambah keilmuan dalam bidang Administrasi Publik khususnya yang berkaitan dengan implementasi kebijakan.

b. Manfaat Praktis, penulis berguna sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan metodologi serta memiliki kemampuan dalam mengatasi setiap gejala dari permasalahan di lapangan. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan gambaran secara objektif kepada instansi yang bersangkutan mengenai implementasi kebijakan pengarusutamaan gender (pug) dalam pembangunan daerah di bidang perencanaan pada pemerintah provinsi sumatera utara.

c. Secara Akademik, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan secara akademik dan menjadi referensi tambahan dalam kajian keilmuan khususnya dalam bidang Administrasi Publik.

(26)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

Pengertian kebijakan publik dewasa ini begitu beragam, namun demikian tetap saja pengertian kebijakan publik berada dalam wilayah tentang apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan. Untuk mempermudah memahami makna kebijakan publik, penulis menggabungkan beberapa pendapat para ahli diantaranya

“Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan”.

(Mustopadidjaya, 2002:17).

Carl Friedrich (1969) (dalam Agustino 2008:7) yang mengatakan bahwa:

“Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan- kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”.

James Anderson. 1084 (dalam Agustino, 2008:8) memberikan pengertian atas definisi kebijakan publik, sebagai berikut :

“Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan”.

Kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari Negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa

(27)

14 transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan (Nugroho, 2018:207).

Kebijakan publik dapat disimpulkan kebijakan publik adalah suatu instrumen yang dibuat oleh pemerintah yang berbentuk aturan-aturan umum dan atau khusus baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang berisi pilihan-pilihan tindakan yang merupakan keharusan, larangan dan atau kebolehan yang dilakukan untuk mengatur seluruh warga masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dengan tujuan tertentu.

2.2. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi merupakan bagian dari kegiatan dalam proses kebijakan publik. Implementasi merupakan bagian terpenting karena menjalankan ide yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai analisis dari sebuah kebijakan. Pemerintah mempunyai kemampuan melaksanakan kebijakan bagi kehidupan masyarakat.

Kemampuan dari pemerintah dapat dilihat berdasarkan seberapa banyak kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah itu sendiri.

Menurut Cleaves (dalam Wahab, 2008:187) yang secara tegas menyebutkan bahwa implementasi itu mencakup proses bergerak menuju tujuan kebijakan dengan cara langkah administratif dan politik. Keberhasilan atau kegagalan implementasi sebagai demikian dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan atau mengoperasikan program- program yang telah dirancang sebelumnya.

Carl Friedrich (dalam Indiahono, 2009:17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan.

Implementasi akan berguna jika dalam proses kebijakan tidak hanya sampai pada formulasi saja. Dengan adanya implementasi, masyarakat bisa

(28)

15 merasakan apa yang dilakukan pemerintah bagi pemenuhan kebutuhan mereka.

Implementasi dapat dirasakan dan bisa menjadi tolak ukur bagaimana program- program yang telah direncanakan itu telah menjadi sebuah kebijakan yang nyata.

2.3. Model – Model Implementasi Kebijakan Publik

Ada banyak model implementasi yang dapat dipilih untuk digunakan dalam melaksanakan suatu kebijakan. Menurut Nugroho (2008:167) pada prinsipnya terdapat dua pemilihan jenis model implementasi kebijakan publik yaitu implementasi kebijakan publik yang berpola dari atas ke bawah (top-down) dan dari bawah keatas (bottom-up), serta pemilihan implementasi kebijakan publik yang berpila paksa (command-and-control) dan pola pasar (economic incentive).

Adapun beberapa model implementasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu:

2.3.1 Model Implementasi Edward III

Dalam pandangan Edwards III dalam (Tangkilisan, 2003:12-14) implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu :

1. Komunikasi

Agar implementasi menjadi efektif, maka mereka yang tanggung jawabnya adalah untuk mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang seharusnya mereka kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan kebijakan mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat, dan kebijakan ini mesti jelas, akurat, dan konsisten. Jika para pembuat keputusan kebijakan ini berkehendak untuk melihat uang diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana

(29)

16 rinciannya, maka kemungkinan akan timbul kesalahpahaman diantara pembuat kebijakan dan implementasinya. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu (a) Transmisi; (b) Kejelasan;

(c) Konsistensi.

2. Sumber Daya

Tidak menjadi soal betapa jelas dan konsistensi komando implementasi ini dan tidak menjadi soal betapa akuratnya komando ini ditransmisikan, jika personalia yang bertanggungjawab dalam melaksanakan semua kebijakan kurang sumber daya untuk melakukan sebuah pekerjaan efektif, implemntasi tidak akan efektif pula. Sumber daya yang penting meliputi:

a. Staf ukuran yang tepat dengan keahlian yang diperlukan

b. Informasi yang relavan dan cukup tentang cara untuk mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat didalam implementasi

c. Kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini dilakukan semuanya sebagaimana dimaksudkan

d. Berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanah, dan persediaan) didalamnya atau dengannya harus memberikan pelayanan

3. Disposisi

Disposisi atau sikap dari implementor adalah faktor kritis ketiga didalam pendekatan terhadap studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi adalah untuk melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para impelementor tahu

(30)

17 apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk suatu kebijakan. Para implementor kebanyakan bisa melakukan seleksi yang layak didalam implementasi kebijakan.

4. Struktur Birokrasi

Bahkan jika sumber daya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakan dan ingin mengerjakannya, implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam struktur birokrasi. Fragmentasi organisasioanal mungkin merintangi koordinasi yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses sebuah kebijakan kompleks yang mensyaratkan kerja sama banyak orang, dan mungkin juga memboroskan sumber daya langka, merintangi perubahan, menciptakan kekacauan, mengarah kepada kebijakan bekerja dalam lintas tujuan, dan menghasilkan fungsi-fungsi penting yang terabaikan.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya yang kompleks dan tersebar luas. Yang kedua berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit- unit birokrasi.

(31)

18 2.3.2 Model Implementasi Van Meter Van Horn

Model implementasi kebijakan dari Donald S.Van Meter dan Carl E.Va Horn (dalam Subarsono, 2005:95) menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan. Beberapa variabel tersebut diantaranya sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan atau ukuran dan tujuan kebijakan

Van Meter dan Van Horn mengemukakan bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya akan menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat pencapaian standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari sebuah standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials) tidak sepenuhnya menyadari standar dan tujuan kebijakan.

2. Sumber daya

Keberhasilan implementasi kegiatan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumbedaya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang disyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi.

(32)

19 Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan.

3. Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian suat kebijakan.

Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat ditentukan oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan disiplin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selain itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.

4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksana

Komunikasi dalam rangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa yang menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam dari berbagai sumber informasi. Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang sebenarnya dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, komunikasi merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain sering mengalami gangguan baik yang disengaja atau tidak. Prospek

(33)

20 implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency).

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan.

5. Disposisi atau sikap pelaksana

Menurut pendapat Van Meter dan Van Horn, sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka sarankan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tidak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

(34)

21 2.3.3 Model Implementasi Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam Mulyadi, 2016:66) dipengaruhi oleh isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan kebijakan (content of implementation).

Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:

1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan

2. Jenis manfaat yang dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan

4. Kedudukan pembuatan kebijakan

5. Siapa pelaksana program

6. Sumber daya yang dikerahkan

Sedangkan Lingkungan Kebijakan (context of implemention) mencakup:

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

(35)

22 2.3.4 Model Implementasi Mazmanian Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (dalam Mulyadi, 2016:70) menjelaskan tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni:

1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems), indikatornya:

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan

b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi

d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan

2. Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure

implementation), indikatornya:

a. Kejelasan isi kebijakan

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis

c. Besarnya alokasi sumberdaya financial terhadap kebijakan tersebut

d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana

f. Tingkat kotmitmen aparat terhadap tujuan kebijakan

g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan

(36)

23 3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation), indikatornya:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi

b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan

c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups)

d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

2.4. Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan

2.4.1. Pengertian Pembangunan

Menurut pengertian ilmu ekonomi yang ketat, istilah pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama (Todaro, 2008:12). Pembangunan dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan dan meningkatkan produktivitas. Untuk itu sebelum berbicara pembangunan, beberapa para ahli memberikan gagasannya mengenai pembangunan.

“Merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional demi mencapai kehidupan yang lebih baik.” (Todaro, 2008:14)

“Pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).” (Siagian 1994: 27)

(37)

24 Pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi , transformasi dalam struktur sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat. (Tikson, 2005:12)

Pembangunan biasanya didefenisikan sebagai “rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan pembangunan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa / nation- building. Dari defenisi diatas akan mucul tujuh ide pokok:

1. Pembangunan merupakan suatu proses, pembangunan dilakukan secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap-tahap yang bersifat tanpa akhir.

2. Pembangunan merupakan upaya yang secara sadar ditetapkan sebagai sesuatu untuk dilaksanakan

3. Pembangunan dilakukan secara terencana, baik jangka waktu pendek, jangka sedang, dan jangka panjang, yang dimana dilakukan untuk jangka waktu tertentu.

4. Rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan dan pembangunan

5. Pembangunan mengarah modernitas yang diartikan sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik dari sebelumnya.

6. Modernitas yang ingin dicapai bersifat multidimensional.

7. Pembangunan ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa sehingga semakin kukuh fondasinya dan menjadi negara yang sejajar dengan bangsa lain. (Siagian, 2001:18)

Dari berbagai macam pengertian dari pembangunan maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu upaya yang melibatkan masyarakat untuk melakukan proses perubahan dan sebuah transformasi yang dilakukan dalam rangka menunjang kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun

(38)

25 sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan tanpa merusak lingkungan atau kehidupan sosial dan memiliki kehidupan yang layak.

2.4.2. Tujuan Pembangunan

Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang dilakukan secara berkelanjutan. Artinya melanjutkan apa yang telah dibangun, membangun yang belum dibangun dan menambah bagian-bagian baru sesuai kebutuhan nyata masyarakat. Prinsip pembangunan seperti ini yang perlu dilaksanakan dalam sebuah kepemimpinan di daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai dalam aktivitas pemerintahan dan pembangunan pada periode lima tahun sebelumnya, maka untuk memelihara serta melanjutkan aktivitas pemerintahan dan pembangunan dimaksud demi mencapai masyarakat daerah yang maju, mandiri, damai dan sejahtera, perlu ditetapkan visi-misi Pembangunan yang hendak dilaksanakan dalam periode lima tahun kepemimpinan pasangan yang terpilih sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjalankan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dalam kurun waktu tersebut. Visi-Misi yang ditetapkan hendaknya jelas sasaran yang hendak dibangun, sasaran yang dibangun itu dikehendaki menjadi apa setelah lima tahun baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya berazaskan nilai-nilai Pancasila.

Tujuan utama pembangunan bukan lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP (Gross National Product) yang setingi-tingginya, melainkan penghapusan dan pengurangan kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.

(39)

26 Tiga tujuan inti pembangunan adalah:

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan,

2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan,

3. Perluasan rentang pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu dan bangsa, yakni membebaskan mereka dari ketergantungan (Todaro:2005)

Selain itu ada kaitan antara tujuan pembangunan ekonomi dan tujuan pembangunan nasional dengan dimensi jangka waktu pendek dan panjang yaitu:

1. Tujuan pembangunan ekonomi jangka pendek yang berhubungan dengan tujuan pembangunan nasional adalah untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, kesejahteraan masyarakat yang semakin adil dan merata serta meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan berikutnya.

2. Tujuan pembangunan ekonomi jangka panjang adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.

Pada tahap awal pembangunan dititikberatkan pada bidang ekonomi dengan harapan akan berpengaruh pada bidang lain.

(40)

27 2.4.3. Perencanaan

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Rencana Pembangunan Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJM Nasional yang memuat strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Rencana Strategis Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun. Rencana Kerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan dokumen perencanaan organisasi perangkat daerah untuk periode 1 tahun. (UU RI No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional)

2.4.4. Pengarusutamaan Gender (PUG)

Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) merupakan sebuah upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (marginalisasi, stereotipe, subordinasi, kekerasan dan beban ganda). Sesuai dengan Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional, pengertian Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyususnan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.

(41)

28 Menurut Ihromi dalam Hak Azasi Perempuan (2005:31), tujuan pengarusutamaan gender adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional.

Pengarusutamaan gender berfungsi untuk menciptakan mekanisme- mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan di semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

Peranan wanita dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan wanita dalam pembangunan sesuai dengan konsep gender atau peran gender, mencakup produktif, peran reproduktif, dan peran sosial yang dinamis. Dinamis dalam arti, dapat berubah atau diubah sesuai dengan perkembangan keadaan, dapat ditukarkan antara pria dan wanita dan bisa berbeda lintas budaya.

Mengupayakan peranan perempuan dalam pembangunan, dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender tersebut, perlu didukung oleh perilaku saling menghargai dan saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu, saling peduli, dan saling pengertian antara pria dan wanita. Dengan demikian tidak ada pihak (pria dan wanita) merasa dirugikan dan pembangunan akan menjadi lebih sukses.

WID (Women in Development) atau perempuan dalam pembangunan merupakan Pendekatan kebijakan yang digunakan untuk memadukan perempuan

(42)

29 ke dalam kegiatan pembangunan yang dimulai pada awal 1970-an, dan selama 40 tahun terakhir berevolusi berdasarkan pengalaman, peninjauan, dan reformulasi strategi serta tujuan melalui beberapa tahap pendekatan berorientasi kesejahteraan, kesejajaran, perang melawan kemiskinan, dan pendekatan aliran-utama.

“Sekitar tahun 1980an, WID telah diterima dan diterapkan secara internasional sebagai penekanan strategis dengan sasaran mencapai integrasi perempuan dalam semua aspek proses pembangunan dan kemudian negara-negara dunia ketiga pun beramai-ramai memasukan agenda WID ke dalam program pembangunan di negaranya masing-masing.” (Asian Development Bank, 1998:18)

WID yang merupakan bagian diskursus pembangunan, dan merupakan pendekatan dominan bagi pemecahan persoalan dunia ke Tiga dan merupakan strategi arus utama developmentalism tentang bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program pembangunan. Agenda utama program WID adalah bagaimana melibatkan kaum perempuan dalam kegiatan pembangunan.

Asumsinya, penyebab dari keterbelakangan perempuan adalah karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Disini WID menginginkan bagaimana kaum perempuan bisa memiliki derajat yang sama atau sejajar dengan kaum laki- laki atau tidak lagi ada kesenjangan antara kaum perempuan dengan kaum laki- laki dalam berbagai bidang pembangunan.

Namun dalam perkembangannya WID ini mengalami banyak kendala atau kelemahan-kelemahan serta kritik-kritik dalam pengimplementasiannya. Hasil tinjauan unit-unit masalah perempuan pemerintah yang seringkali dengan sumber daya dibawah rata-rata dan sangat marjinal menunjukkan, bahwa mereka telah tidak dapat secara efektif mempengaruhi kebijakan nasional atau membawa kesejajaran gender yang tadinya dibayangkan dalam pikiran pada waktu pendiriannya. Sehingga membuat pendekatan seperti ini tidak dapat menurunkan

(43)

30 kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Proyek-proyek hanya untuk perempuan seringkali dipikirkan dan didanai secara kurang, bahkan kadang- kadang dibebankan ke pundak kaum perempuan yang telah terbebani dengan beban-kerja yang berat, hanya dengan imbalan yang kurang pula.

“Sehingga dengan adanya keadaan seperti itu, diperlukan suatu Transformasi sosial, yang dimana tujuan dari Tranformasi sosial itu tidak hanya memperbaiki status perempuan namun juga memperjuangkan martabat dan kekuatan perempuan. Sehingga muncul suatu pendekatan GAD (Gender and Development), yang dimana pendekatan itu lebih mencakup kepada hak-hak perempuan, peranan perempuan sebagai peserta aktif, dan pelaku pembangunan dan peranan mereka sebagai aktor dengan suatu agenda khusus dalam pembangunan.” (Asian Development Bank, 1998 : 19)

GAD melihat negara adalah sebagai aktor penting yang akan mempromosikan emansipasi perempuan. Strategi yang ditempuh adalah institusionalisasi gender dalam kebijakan negara dan perubahan sosial. Pada titik ini, GAD akan banyak berbicara lebih jauh tentang persoalan struktur sosial, politik, ekonomi yang melingkupinya. Tujuan daripada GAD adalah untuk melakukan transformasi sosial atas struktur gender yang tidak adil sekarang ini. Pendekatan GAD ini menggunakan analisis gender dalam menguraikan problem perempuan dalam pembangunan. Pendekatan ini melihat bahwa perempuan bukanlah kelompok otonom melainkan mereka terbagi ke dalam kelas, ras, dan keyakinan. Peranan perempuan dalam masyarakat juga tidak dapat dilihat sebagai otonom melainkan sudah terbentuk melalui internalisasi gender. Pendekatan GAD meletakkan persoalannya bukan pada perempuannya, melainkan pada ideologi atau keyakinan yang dianut oleh laki-laki dan perempuan tersebut yang kemudian pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada kebijakan dan pelaksanaan pembangunan.

(44)

31

“Akibat kebijakan-kebijakan pembangunan yang buta gender mengakibatkan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Analisis gender memusatkan perhatiannya pada ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat, seperti tradisi masyarakat, keyakinan agama, serta kebijakan dan perencanaan pembangunan.”

(Laily, 2008:324)

Tujuan akhir pendekatan GAD adalah terjadinya pergeseran hubungan kekuasaan yang akan memberikan otonomi lebih besar terhadap kaum perempuan.

Kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum perempuan. Oleh sebab itu pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang perlu adanya strategi yang tepat sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bagi pendekatan GAD, letak persoalannya bukanlah pada kaum perempuan sebagaimana diasumsikan semula, akan tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur gender.

Perbedaan antara WID dan GAD, pada dasarnya, berdasarkan atas pendekatan penilaian dan penanganan posisi yang tidak sama dari perempuan dalam masyarakat. GAD tidak menyisihkan perempuan sebagai subyek sentral. Namun kiranya lebih, sementara pendekatan WID difokuskan secara eksklusif pada perempuan untuk meningkatkan posisi ketidaksejajaran perempuan, maka pendekatan GAD mengakui, bahwa peningkatan status perempuan memerlukan analisis mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun menyamakan pendapat dan kerjasama laki-laki. Jadi dapat dijelaskan bahwa pendekatan GAD ini tidak hanya terpaku pada perempuan saja dalam usahanya melakukan kesetaraan serta berperan aktif dalam pembangunan yang tanpa menghiraukan laki-laki namun dalam pengimplementasiannya

(45)

32 pendekatan ini memerlukan kaum laki-laki dalam memperjuangkan kesetaraannya. (Ihromi, 1995:176)

2.5. Definisi Konsep

Konsep adalah sejumlah teori yang berkaitan dengan suatu objek. Konsep diciptakan dengan menggolongkan dan mengelompokkan objek – objek tertentu yang mempunyai ciri – ciri yang sama (Umar 2004:51). Adapun defenisi konsep dari penelitian ini adalah :

1. Implementasi Kebijakan. Implementasi Kebijakan merupakan bagian dari kegiatan dalam proses kebijakan publik. Implementasi merupakan bagian terpenting karena menjalankan ide yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai analisis dari sebuah kebijakan. Pemerintah mempunyai kemampuan melaksanakan kebijakan bagi kehidupan masyarakat.

Kemampuan dari pemerintah dapat dilihat berdasarkan seberapa banyak kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah itu sendiri. Dalam penelitian ini akan dilihat implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah di bidang perencanaan sesuai dengan Pergubsu No.

43 Tahun 2018.

2. Pengarusutamaan Gender. Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) merupakan sebuah upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menyebabkan tidak tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (marginalisasi, stereotipe, subordinasi, kekerasan dan beban ganda).

(46)

33 3. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

2.6. Hipotesis Kerja

Sejalan dengan konsep-konsep implementasi yang telah penulis kemukakan, maka penulis merumuskan hipotesis kerja dalam penelitian ini yaitu Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Pembangunan Daerah Di Bidang Perencanaan Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait dengan teori Edward III meliputi: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

(47)

34 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Bentuk Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini menggunakan metode ilmiah untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai masalah yang diteliti, mengidentifikasi dan menjelaskan data yang ada secara sistematis. Metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2006:43). Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dengan menggunakan empat indikator dari Edward III yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berkaitan dengan aktivitas-aktivitas serta masalah-masalah yang terkait dengan judul penelitian Penelitian ini dilakukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang beralamatkan Jl. Pangeran Diponegoro No.21 A, Madras Hulu, Kec.

Medan Polonia, Kota Medan, Sumatera Utara 20152, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Provinsi Sumatera Utara, yang beralamatkan Jl. Iskandar Muda No.272, Petisah Tengah, Kec. Medan Petisah,

(48)

35 Kota Medan, Sumatera Utara 20112 sebagai implementor kebijakan pengarusutamaan gender.

3.3. Informan Penelitian

Untuk mendapatkan data – data dan informasi yang dibutuhkan dalam suatu penelitian, dapat diperoleh melalui informan penelitian. Dalam penelitian kualitatif subjek inilah yang menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang akan diperlukan selama proses penelitian (Suyanto 2005:108).

Dalam menentukan informan penelitian dalam penelitian ini peneliti menggunakan model purposive sampling, yaitu “pemilihan sekelompok subjek penelitian didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Subjek tersebut merupakan kelompok kunci dari kelompok yang ada dalam populasi” (Sutrisno Hadi, dalam Hamidi 2010:92).

Penentuan informan selanjutnya menggunakan teknik snowball sampling.

Menurut Ford Julienne (dalam Hamidi 2010:94) snowball sampling adalah pengumpulan data oleh peneliti baik melalui wawancara yang pasti akan bergulir dari satu informan pada informan lainnya maupun dengan observasi pasti dari satu social setting ke social setting yang lain. Penelitian kualitatif tidak dapat berhenti hanya dengan menggunakan purposive sampling karena hanya akan diperoleh informan yang memenuhi kriteria bukan informan-penelitian. Pengumpulan data dengan intensive-interview harus dilakukan melalui wawancara mendalam dari satu informan bergulir pada informan lainnya yang memenuhi kriteria sampai mengalami titik jenuh.

Gambar

Gambar 4.7. Ruang Rapat Pengarusutamaan Gender di Provinsi  Sumatera Utara
Gambar 6.1. Bappeda Provsu
Gambar 6.3. Struktur Organisasi Bappeda Provsu

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata persentase penetasan telur ikan lele sangkuriang tertinggi diperoleh pada perlakuan persentase teh 6 gr/L yaitu 76.67%, Pada perlakuan lainnya menunjukkan hasil

Nilai perusahaan merupakan tujuan utama manajemen perusahaan yang dilakukan dengan menggabungkan fungsi manajemen keuangan melalui keputusan investasi, keputusan

Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa produk body mist memiliki kualitas produk yang baik sehingga dapat memberikan kepuasan terhadap pelanggan, serta pembelian ulang

Peningkatan sebanyak 30 siswa yang lulus atau 87% dari jumlah keseluruhan siswa menunjukkan terjadinya Kemajuan siswa dalam mengikuti pembelajaran tendangan samping

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai re- tensi protein dan retensi lemak ikan yang diberi pakan dengan penambahan crude enzim (pakan B, C, dan D) lebih tinggi

Melihat kondisi masyarakat lembah Code yang sangat padat dan mayoritas penduduknya miskin yang sangat membutuhkan air telah melakukan usaha mandiri dalam memanfaatkan sumber air

Dari proses respirasi inilah dapat dihasilkan energi. Jadi, mitokondria berfungsi untuk tempat respirasi sel atau sebagai pembangkit energi.Mitokondria mempunyai enzim

instrumen analisis gender dengan kesulitan terbesar dalam hal penentuan isu gender, keterbatasan data pembuka wawasan, dan membedakannya dengan data dasar/baseline,