• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jantung

2.1.1 Struktur Anatomi Jantung

Gambar 2.1 Anatomi Jantung (Shier et al., 2018)

Jantung memompa setidaknya 7.000 liter darah untuk dialirkan ke seluruh tubuh setiap harinya dan berkontraksi rata-rata sekitar 2,5 miliar kali seumur hidup. Otot jantung memompa darah melalui arteri yang terhubung ke pembuluh darah yang memiliki ukuran lebih kecil yang disebut dengan arteriol. Arteriol bercabang menjadi lebih kecil lagi, yakni kapiler, yang merupakan tempat pertukaran nutrisi, elektrolit, gas, dan limbah. Kapiler bergabung menjadi venula, dan akan menyatu menjadi vena yang akan mengembalikan darah ke jantung, yang melengkapi sistem sirkulasi darah tertutup. Seluruh struktur dan sistem peredaran darah yang terjadi di jantung disebut dengan sistem kardiovaskular (Shier et al., 2018).

Jantung memiliki selaput pelindung yang disebut dengan perikardium.

Lapisan terluar dari perikardium dinamakan perikardium fibrosa, yakni lapisan

yang menempelkan jantung pada struktur atau organ disekitarnya. Hal ini dapat

(2)

terjadi karena adanya serabut kolagen pada perikardium fibrosa. Serabut kolagen juga memberikan distensibilitas rendah pada perikardium fibrosa sehingga hal ini menyebabkan bentuk dan ukuran dari perikardium fibrosa tidak berubah jika terjadi peregangan. Lapisan setelah perikardium fibrosa, perikardium parietal, membungkus jantung seperti kantung, tetapi ketika telah mencapai pembuluh utama, perikardium parietal akan terlipat dan membentuk lapisan lain yang menempel pada jantung (Amerman, 2016).

Jantung memiliki tiga lapisan penyusun meliputi epikardium, miokardium, dan endokardium. Epikardium atau perikardium visceral merupakan lapisan terluar dari jantung dan terdapat jaringan adiposa yang dilalui saraf epikardial, arteri, vena dan jalur limfatik. Lapisan tengah jantung atau miokardium memiliki struktur yang tebal dan terdapat sel stroma serta miosit yang saling berhubungan dengan pembuluh darah. Sedangkan pada lapisan dalam jantung atau endokardium terdiri dari membran basal dan jaringan ikat fiber yang elastis (Lindberg and Lamps, 2018).

2.1.2 Fisiologi Jantung

Gambar 2. 2 Fisiologi Jantung (Shier et al., 2016)

(3)

Sistem peredaran darah membentuk siklus tertutup sehingga darah dipompa keluar dari jantung melalui pembuluh darah dan kembali lagi ke jantung melalui pembuluh darah yang berbeda. Terdapat dua jalur yang berasal dan berakhir di jantung yang terbagi atas dua ruang, yakni atrium dan ventrikel. Sirkulasi paru- paru diawali dengan darah yang dipompa dari ventrikel kanan menuju ke paru- paru dan kemudian menuju ke atrium kiri. Kemudian dilanjutkan dengan sirkulasi sistemik yakni darah dipompa dari ventrikel kiri menuju ke seluruh tubuh dan berakhir di atrium kanan. Pembuluh darah yang membawa darah dari jantung disebut dengan arteri dan yang membawa darah dari organ menuju jantung disebut dengan vena (Widmaier et al., 2019).

Sirkulasi sistemik diawali dengan atrium menerima darah dari paru-paru yang mengandung oksigen dan disalurkan menuju ventrikel kiri yang kemudian akan dipompa menuju aorta. Dari aorta, darah akan disalurkan menuju seluruh organ melewati pembuluh arteriol. Pada dinding arteri akan terjadi pertukaran nutrisi dan pertukaran antara oksigen dengan karbondioksida. Setelah menerima karbondioksida, darah akan dialirkan melalui pembuluh venula dan akan diarahkan menuju pembuluh vena yang lebih besar dan darah akan kembali ke jantung (atrium kanan) (Tortora and Derrickson, 2017).

Jantung juga memiliki sel otot yang dapat berkontraksi secara spontan (terus menerus) dan independen, bahkan jika semua koneksi saraf terputus. Meskipun otot jantung berdetak secara independen, sel otot pada jantung memiliki ritme yang berbeda-beda tergantung sel otot tersebut berada. Atrium berkontraksi sebelum kontraksi ventrikel dengan durasi sistol atrium sebesar 0,1 detik dan pada saat atrium mengendur durasi diastol atrium sebesar 0,7 detik. Bersamaan dengan mengendurnya atrium maka ventrikel mulai berkontraksi. Durasi sistol dari ventrikel berlangsung selama 0,3 detik dan durasi diastol ventrikel selama 0,5 detik. Perubahan waktu kontraksi dan relaksasi tersebut berulang secara siklis (Bian et al., 2020).

2.2 Infark Miokard Akut (IMA) 2.2.1 Definisi IMA

Infark Miokard Akut (IMA) atau Acute Myocardial Infarction (AMI)

merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infark Miokard

(4)

Akut (IMA) didefinisikan sebagai iskemia miokard yang terjadi karena oklusi total dari arteri koroner yang disebabkan karena pecahnya plak pada pembuluh darah. Setelah oklusi koroner terjadi, kematian jaringan miokard menyebar dari lapisan endokardial hingga ke lapisan epikardial seiring berjalannya waktu (Minatoguchi, 2019; Longo, 2019).

Gambar 2. 3 Infark Miokard Akut (Acharya et al., 2017)

Terjadinya gangguan pada aliran darah menyebabkan kurangnya suplai energi di dalam tubuh sehingga berakibat pada disfungsi dan kematian kardiomiosit atau sel otot jantung (Wu et al., 2019). Infark Miokard Akut (IMA) dapat disebabkan karena penyakit jantung iskemik atau penyakit arteri koroner.

Umumnya Infark Miokard Akut (IMA) akan terjadi apabila plak aterosklerosis pecah dan trombus yang terbentuk akan berkembang dan menyumbat pembuluh arteri koroner sehingga membatasi aliran darah menuju jantung (Suleyman et al., 2019).

2.2.2 Epidemiologi IMA

Pada tahun 2014, berdasarkan survei yang dilakukan di Inggris didapatkan

kejadian Infark Miokard Akut (IMA) sebanyak 915.000 orang dengan rincian

pada pria sebanyak 640.000 orang dan pada wanita sebanyak 275.000 orang. Data

lain juga menunjukkan bahwa Infark Miokard Akut (IMA) meningkat seiring

bertambahnya usia. Hal ini ditunjukkan dengan data usia kurang dari 45 tahun

(5)

yang memiliki prevalensi sebesar 0,06 % dan meningkat di usia ≥ 75 tahun menjadi 2,46 % (Jayaraj et al., 2018).

Gambar 2. 4 Epidemiologi Infark Miokard Akut (IMA) (Jayaraj et al., 2018) Menurut (Ibanez et al., 2018), pada tahun 2015 Swedia merupakan negara Eropa yang memiliki kejadian ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) cukup tinggi, yakni 58 dari 100.000 kasus per tahun jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, yakni berkisar antara 43 dari 100.000 kasus per tahun. Sebaliknya, di Amerika Serikat dilaporkan mengalami penurunan nilai prevalensi dari 133 per 100.000 orang pada tahun 1999 menjadi 50 per 100.000 orang pada tahun 2018, tetapi pada kejadian Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) tidak mengalami penurunan atau bahkan sedikit meningkat. Tingkat kematian pasien ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi usia, penundaan atau terlambatnya waktu pengobatan, diabetes melitus, dan masih banyak lagi.

Di Indonesia, Infark Miokard Akut (IMA) dilaporkan telah menjadi

penyebab utama dan pertama dari seluruh kasus kematian. Nilai prevalensi dari

kasus kematian yang disebabkan Infark Miokard Akut (IMA) sekitar 26,4 %, nilai

prevalensi tersebut empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan

oleh kanker. Dengan kata lain, Infark Miokard Akut (IMA) telah mengakibatkan

lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal akibat penyakit tidak

menular (PERKI, 2019).

(6)

2.2.3 Etiologi IMA

Penyebab umum dari penyakit kardiovaskular adalah aterosklerosis. Secara khusus aktivitas fisik, asupan makanan berkalori tinggi, lemak jenuh, dan konsumsi gula sering dikaitkan dengan perkembangan aterosklerosis dan gangguan metabolisme lainnya seperti sindrom metabolik, diabetes melitus, dan hipertensi. Studi cohort seperti Framingham Heart Study dan National Health and Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III) juga telah menemukan hubungan dan nilai prediksi yang kuat antara dislipidemia, tekanan darah tinggi, merokok, dan intoleransi glukosa dengan penyakit kardiovaskular (Olvera et al., 2020).

Gambar 2. 5 Penyempitan karena plak aterosklerosis (Widmaier et al., 2019) Aterosklerosis merupakan istilah umum yang menggambarkan sejumlah gangguan yang melibatkan pengerasan arteri dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan pembentukan ateroma. Secara klinis, aterosklerosis ditandai dengan adanya penumpukan plak yang progresif pada dinding arteri yang dapat menyebabkan aliran darah terhambat dan menyebabkan gejala klinis. Penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular telah menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia dan pada tahun 2030 telah diperkirakan angka kematian yang disebabkan karena aterosklerosis akan meningkat menjadi 22 juta per tahun (Haevrich and Boyle, 2019).

Penyebab utama dari aterosklerosis masih belum diketahui secara pasti.

Akan tetapi, ada beberapa faktor yang cukup berpengaruh dalam proses terjadinya

plak aterosklerosis. Faktor-faktor tersebut meliputi koagulasi, inflamasi,

(7)

metabolisme lemak, cedera pada tunika intima dan proliferasi dari otot polos (Ladich et al., 2019).

Menurut (Bergheanu et al., 2017), terdapat beberapa faktor resiko yang ditimbulkan penyakit aterosklerosis diantaranya meliputi dislipoproteinemia, diabetes, merokok, hipertensi, dan keturunan. Senyawa di dalam tubuh yang sangat berkaitan dengan timbulnya plak aterosklerosis adalah Low-Density Lipoprotein (LDL). Tingginya kandungan Low-Density Lipoprotein (LDL) dalam darah termasuk salah satu dari faktor resiko utama penyebab aterosklerosis (Karel et al., 2020).

2.2.4 Patofisiologi IMA

Infark Miokard Akut (IMA) terjadi karena perkembangan aterosklerosis yang sering dikaitkan dengan faktor lingkungan dan genetik. Aterosklerosis merupakan proses kronis yang ditandai dengan akumulasi lipid, elemen berserat (fibrous), dan molekul inflamasi di dinding arteri serta terbentuknya ateroma yakni plak yang berada di tunika intima dengan ukuran yang sedang hingga besar.

Terdapat tiga tahapan proses terbentuknya ateroma, yaitu inisiasi, progresi, dan komplikasi.

Gambar 2. 6 Gambaran kejadian aterosklerosis (Robinson et al., 2018) Aterosklerosis diawali dengan pengeluaran kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) ke ruang sub-endotel yang dapat diubah dan dioksidasi.

Partikel Low Density Lipoprotein (LDL) yang teroksidasi/termodifikasi

(8)

mendorong ekspresi molekul adhesi sel vaskular dan molekul adhesi antar sel pada permukaan endotel dan merangsang adhesi monosit yang akan bermigrasi ke ruang sub-endotel. Monosit berubah menjadi makrofag di media intima. Makrofag yang terbentuk akan mengikat Low Density Lipoprotein (LDL) yang teroksidasi menjadi sel busa (foam cell). Sel busa (foam cell) merupakan prekursor terbentuknya ateroma yang selanjutnya akan melepaskan sitokin pro inflamasi termasuk interleukin dan faktor nekrosis. Proses berlanjut dengan migrasi sel otot polos dari lapisan medial arteri ke intima mengikuti fatty streak menuju lesi yang lebih kompleks. Proses ini menghasilkan pembentukan lesi aterosklerotik kedua, yaitu plak fibrosa. Ekstrusi jenis plak fibrosa ke dalam lumen arteri menghasilkan pembatasan aliran (stenosis). Plak yang stenosis berkelanjutan akan menyebabkan oklusi pembuluh darah sehingga menyebabkan iskemia pada jaringan dan dinyatakan secara klinis sebagai angina stabil. (Themistocleous et al., 2017)

Dua jenis plak dapat didefinisikan sebagai plak stabil dan plak tidak stabil atau rentan berdasarkan keseimbangan antara pembentukan dan degradasi tutup berserat. Plak stabil memiliki tutup berserat utuh dan tebal yang disintesis dari sel otot polos dalam matriks yang kaya akan kolagen tipe I dan III. Plak yang akan kaya kolagen cenderung berkontraksi dan memperparah penyempitan luminal.

Sedangkan plak tidak stabil atau rentan terdiri dari tutup berserat tipis yang sebagian besar terbuat dari kolagen tipe I. Plak yang rentan cenderung pecah dan akan menyebabkan trombosis serta terjadinya oklusi lumen arteri yang mendadak sehingga menyebabkan sindrom koroner akut. Selain itu, perdarahan intraplaque juga merupakan faktor potensial untuk perkembangan aterosklerosis, yang terjadi ketika vasa vasorum menyerang lapisan intima dari lapisan adventitia (Gambar 2.7) (Falk and Fuster, 2017; Themistocleous et al., 2017; Al Qahtany et al., 2018;

Prameswari, 2019).

(9)

.

Gambar 2. 7 Patofisiologi Infark Miokard Akut.

2.2.5 Faktor Resiko IMA

Infark Miokard Akut (IMA) memiliki dua jenis faktor resiko yang mempengaruhi meliputi faktor resiko yang dapat dikontrol dan faktor resiko yang tidak dapat dikontrol. Faktor resiko yang dapat dikontrol dapat dilakukan dengan cara mengubah gaya hidup yang meliputi hipertensi, merokok, diabetes, obesitas,

Faktor resiko : diabetes, perokok, usia, jenis kelamin

Cedera endotel Endapan LDL di

tunika intima

Plak fibrosa Lesi

komplikata

Obstruksi arteri koroner

Perfusi jaringan perifer tidak efektif

Interaksi antara fibrin

& platelet proliferasi otot tunika media Invasi dan

akumulasi dari lipid

Aterosklerosis

Iskemia miokard

Suplai darah ke

miokard ↓ Kebutuhan O

2

tidak seimbang

Infark Miokard Akut Kontraktilitas

miokard ↓

Kelemahan miokard

Asam laktat ↑

Nyeri dada Vol. Akhir diastolik

ventrikel kiri ↑

Nyeri akut Metabolisme

anaerob ↑

Tekanan vena pulmonalis ↑

Hipertensi kapiler paru

Tekanan atrium kiri ↑

Oedem paru

Gangguan pertukaran gas

↓ curah jantung Suplai darah ke jaringan tak adekuat

Kelemahan fisik Intoleransi aktivitas

Komplikasi

(10)

kurangnya aktifitas fisik, diet yang tidak sehat, dan stress. Sedangkan faktor resiko yang tidak dapat dikontrol meliputi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan komorbid (penyakit ginjal, penyakit kelenjar tiroid, terapi hormonal, diabetes tipe I dan II, dan kondisi inflamasi kronik). (Kasprzyk et al., 2018; Shao et al., 2020).

2.2.5.1 Faktor Resiko yang Dapat Diubah (Modifable) 2.2.5.1.1 Hipertensi

Hipertensi merupakan kondisi persisten peningkatan non-fisiologis tekanan darah sistemik atau Blood Pressure (BP). Biasanya sering didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg atau lebih tinggi, atau tekanan darah diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih tinggi. Hipertensi telah menjadi penyakit yang sering dijumpai dikalangan orang dewasa dan pada saat ini juga sudah mulai ditemui di beberapa anak-anak. Hipertensi telah diidentifikasi sebagai faktor resiko utama penyebab penyakit kardiovaskular yang meliputi penyakit jantung, penyakit pembuluh darah perifer, stroke, dan penyakit ginjal (Lloyd-Jones, 2018).

Peniningkatan tekanan darah merupakan faktor resiko yang paling umum ditemukan di penyakit-penyakit kardiovaskular. Pasien dengan hipertensi memiliki resiko paling tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskular. Studi INTERHEART menunjukkan bahwa hipertensi menyumbangkan sekitar 18 % untuk kasus yang dikaitkan dengan infark miokard. Hipertensi dapat disebabkan karena penumpukan lipid pada arteri atau dapat juga disebabkan karena pengecilan dinding arteri (NHLBI, 2019; Shao et al., 2020).

Gambar 2. 8 Hipertensi pada penyakit kardiovaskular (NHLBI, 2019)

(11)

2.2.5.1.2 Hiperkolesterolemia

Dalam suatu studi ditemukan bahwa kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL) yang merupakan lipoprotein utama yang mengangkut kolesterol dalam darah memiliki peran terkait dengan munculnya penyakit kardiovaskular. Telah terbukti juga bahwa penurunan kadar kolesterol serum sebesar 10% akan menghasilkan penurunan resiko penyakit kardiovaskular sebesar 50% pada usia 40 tahun, 40% pada usia 50 tahun, 30% pada usia 60 tahun, dan 20% pada usia 70 tahun (Hajar, 2017)

2.2.5.1.3 Merokok

Merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.

Akan tetapi, peningkatan tersebut bervariasi menurut berbagai faktor. Resiko akan meningkat seiring dengan durasi penggunaan dan dengan banyaknya rokok yang dihisap setiap harinya. Selain itu, perokok pasif juga dapat meningkatkan resiko dari terjadinya penyakit kardiovaskular (Banks et al., 2019).

2.2.5.1.4 Diabetes

Beberapa studi menyebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko utama dari beberapa penyakit kardiovaskular termausk infark miokard.

Berdasarkan studi kohort framingham ditemukan bahwa diabetes dapat menyebabkan peningkatan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular sebesar dua hingga tiga kali lipat (Hajar, 2017).

2.2.5.1.5 Kurangnya Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik dapat diartikan dengan peningkatan pengeluaran energi.

Melakukan aktifitas terbukti dapat meningkakan kebugaran kardioresptor yang ditandai dengan ekuivalen metabolik atau pengambilan oksigen puncak yang dapat diukur dengan tes stress maksimum. Peningkatan curah jantung dengan latihan fisik akan meningkatkan perfusi otot rangka dan menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard (Winzer et al., 2018).

2.2.5.1.6 Obesitas

Obesitas merupakan faktor resiko independen untuk perkembangan penyakit

kardiovaskular. Lebih dari 80% pasien infark miokard memiliki berat badan

(12)

berlebih atau obesitas. Obesitas sering dianggap sebagai faktor resiko yang relatif kecil. Faktanya penurunan berat badan dapat sangat mempengaruhi sejumlah faktor resiko utama termasuk hipertensi, dislipidemia, dan resistensi insulin atau diabetes melitus tipe 2 (Ades and Savage, 2017).

2.2.5.2 Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah (Non – Modifable) 2.2.5.2.1 Usia

Resiko penyakit kardiovaskular pada pria akan meningkat pada usia 40 tahun dan pada wanita akan meningkat saat sebelum menopause. Peningkatan yang pesat akan terjadi pada wanita setelah menopause dan akan memiliki tingkat kejadian yang sama dengan pria pada usia 70 hingga 80 tahun (Wilson and O'Donnell, 2018).

2.2.5.2.2 Jenis Kelamin

Kejadian aterosklerosis dan infark miokard lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan terdapat perubahan yang terjadi selama kehamilan dan adanya perbedaan fisiologis dalam tingkat hormonal selama menopause pada wanita. Perubahan substansial dalam kadar hormon selama menopause, yakni penurunan kadar hormon esterogen, dapat menyebabkan perubahan pada tingkat kejadian resiko terkena penyakit kardiovaskular. Hormon esterogen yang mengontrol banyak jalur metabolisme seperti metabolisme lipid, penanda inflamasi serta sistem koagulasi di dalam tubuh (Gheisari et al., 2020).

2.2.5.2.3 Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dikaitkan dengan resiko sekitar 1,5 sampai dengan 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan resiko konvensional (Sefarova et al., 2016).

2.2.6 Manifestasi Klinis IMA

Sekitar setiap lima kasus kematian yang terjadi di seluruh dunia disebabkan

oleh Infark Miokard Akut (IMA) dengan tingkat kematian >30% terjadi pada

pasien dengan usia >70 tahun. Pada pasien lanjut usia sering ditemukan manifetasi

klinis berupa sakit pada bagian dada, dispnea (sesak), badan terasa lemas dan

(13)

lemah, mual, muntah, seringnya bersendawa dan cegukan. Pada studi lain dijelaskan bahwa, pada wanita lanjut usia manifestasi yang sering timbul berupa badan lemah dan seringnya bersendawa dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Sedangkan pada pria usia lanjut manifestasi yang sering dijumpai berupa gejala muntah jika dibandingkan dengan pria yang lebih muda (Taghipour et al., 2018).

2.2.7 Klasifikasi Klinis IMA

Infark Miokard Akut (IMA) diklasifikasikan menjadi dua yakni berdasarkan spektrum klinis dan dalam strategi pengobatannya. Pada klasifikasi berdasarkan spektrum klinis data Electrocardiogram (ECG) pasien dibagi menjadi 2 tipe diantaranya STEMI (ST-Segment Elevation Myocardial Infarction) dan NSTEMI (Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction)

Gambar 2. 9 Klasifikasi Infark Miokard Akut (IMA) (Fogoros, 2020) 2.2.7.1 ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan keadaan

darurat yang mengancam jiwa yang diakibatkan karena oklusi trombotik lengkap

dari arteri yang berhubungan dengan infark. Resiko kematian pada pasien ST-

Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) memiliki jangka yang cukup

pendek dengan persentase sekitar 30% dari seluruh pasien dengan STEMI dan

sisanya (70%) memiliki resiko kematian >5% (Kingma Jr, 2018).

(14)

2.2.7.2 Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)

Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) biasanya terjadi dengan mengembangkan oklusi parsial dari arteri koroner mayor atau oklusi lengkap arteri koroner minor yang sebelumnya terkena aterosklerosis. Pada Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), electrocardiogram (ECG) akan menunjukkan segmen ST yang tertekan atau penyisipan gelombang T.

Pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) wajib melakukan tes troponin jantung yang dikombinaskan dengan tes electrocardiogram (ECG). Tes troponin jantung perlu dilakukan untuk membedakan antara Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dengan Unstable Angina (UA). Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) memiliki pola yang spesifik pada nilai-nilai troponin jantung yang terdiri dari peningkatan akut dan diikuti oleh penurunan bertahap yang konsisten (Cohen and Visveswaran, 2020).

Gambar 2. 10 Gambaran EKG STEMI dan NSTEMI (Sharma, 2018) Klasifikasi Infark Miokard Akut (IMA) berdasarkan perbedaan patologis, klinis, dan prognostik serta perbedaan dalam strategi pengobatannya meliputi tipe 1, tipe 2, tipe 2 dan cedera miokardial, tipe 3, tipe 4a, tipe 4b, tipe 4c dan tipe 5.

2.2.7.3 Infark Miokard Akut Tipe 1

Infark Miokard Akut (IMA) ini disebabkan oleh aterotrombotik yang terjadi

karena penyakit arteri koroner dan biasanya dipicu oleh gangguan plak

aterosklerosis (ruptur atau erosi). Penyebab pecah atau erosinya plak

aterosklerosis cukup bervariasi. Kriteria infark miokard akut tipe 1 dapat dilihat

dari deteksi naik dan/atau turunnya kadar nilai cardiac spesific troponin (cTn)

dengan setidaknya satu nilai diatas Upper Reference Limit (URL) persentil ke-99

(15)

dan dengan beberapa aspek meliputi gejala iskemik akut, perubahan EKG iskemik baru, perkembangan gelombang Q patologis, dan identifikasi trombus koroner dengan angiografi termasuk gambaran intrakoroner atau dengan optopsi (Thygesen et al., 2018; Sambola et al., 2019).

Gambar 2. 11 Infark Miokard Akut Tipe 1 (Thygesen et al., 2018) 2.2.7.4 Infark Miokard Akut Tipe 2

Mekanisme patofisiologis yang menyebabkan cedera miokard iskemik dalam konteks ketidaksesuaian antara suplai dan kebutuhan oksigen diklasifikasikan sebagain infark miokard akut tipe 2. Penelitian telah menunjukkan kejadian variabel infark miokard akut tipe 2 tergantung pada kriteria yang digunakan untuk diagnosis. Sebagian penelitian menunjukkan bahwa infark miokard tipe 2 sering terjadi pada wanita. Angka kematian jangka pendek dan jangka panjang untuk pasien infark miokard akut tipe 2 umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pasien infark miokard tipe 1. Aterosklerosis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada pasien infark miokard tipe 2 (Thygesen et al., 2018).

Gambar 2. 12 Infark Miokard Akut Tipe 2 (Thygesen et al., 2018)

(16)

2.2.7.5 Infark Miokard Akut Tipe 2 dan Cedera Miokardial

Infark miokard akut tipe 2 dan cedera miokard sering ditemui dalam praktik klinik. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang diketahui atau diduga stabil, stresor akut seperti pendarahan gastrointestinal akut dengan penurunan hemoglobin yang cepat atau takiaritmia yang berkelanjutan dengan manifestasi klinis iskemia miokard dapat menyebabkan cedera miokard dan infark miokard tipe 2 (Chapman et al., 2016; Thygesen et al., 2018).

2.2.7.6 Infark Miokard Akut Tipe 3

Infark miokard akut tipe 3 dapat diklasifikasikan apabila terdapat kecurigaan untuk kejadian iskemik miokard akut tinggi atau pada saat biomarka jantung dari infark miokard akut kurang. Kategori ini memungkinkan pemisahan kejadi infark miokard akut yang fatal dari kelompok dengan kematian mendadak yang berasal dari jantung (noniskemik) atau nonkardiak (Thygesen et al., 2018).

2.2.7.7 Infark Miokard Akut Tipe 4a

Infark miokard akut tipe 4a dapat ditegakkan apabila peningkatan nilai cTn

>5 kali URL persentil ke-99 pada pasien dengan baseline normal atau pada pasien dengan peningkatan cTn praprosedur yang memiliki level cTn stabil (variasi ≤ 20%) atau menurun. Selain itu harus terdapat bukti bahwa iskemia miokard baru, baik dari perubahan EKG, bukti gambar, atau dari komplikasi terkait penurunan aliran darah koroner (Thygesen et al., 2018; Collet et al., 2020).

2.2.7.8 Infark Miokard Akut Tipe 4b

Infark Miokard terkait dengan PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dan stent atau scaffold trombosis yang terdeteksi oleh angiografi atau otopsi yang menggunakan metode seperti infark miokard akut tipe 1 (Thygesen et al., 2018;

Collet et al., 2020).

2.2.7.9 Infark Miokard Akut Tipe 4c

Terkadang pada pengecekan angiografi, restenosis in-stent atau restenosis

setelah angioplasti balon di wilayah infark tidak terjadi infark miokard. Hal inilah

yang dapat menjelaskan tentang infark miokard tipe 4. Peristiwa ini dapat terjadi

karena tidak terdapat lesi atau trombus penyebab yang dapat diidentifikasi.

(17)

Umumnya infark miokard tipe 4 didefinisikan sebagai re-stenosis fokal atau difus ataupun lesi kompleks yang terakait dengan naik dan/atau turunnya nilai cTn di atas penerapan URL persentil ke-99 (Thygesen et al., 2018; Sambola et al., 2019).

2.2.7.10 Infark Miokard Akut Tipe 5

Infark Miokard Akut Tipe 5 dapat diidentifikasi dengan menerapkan nilai dari cTn > 10 kali URL persentil ke-99 menjadi titik potong selama 48 jam pertama mengikuti CABG (Coronary Artery Bypass Grafting) dimulai dari nilai cTn normal (Thygesen et al., 2018; Sambola et al., 2019).

2.2.8 Komplikasi Klinis IMA 2.2.8.1 Gagal jantung

Pada fase akut dan subakut setelah IMA-EST (Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST) seringkali dijumpai terjadinya disfungsi miokardium. Gagal jantung dapat terjadi karena konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan. Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut didasari oleh beberapa gejala yang meliputi dispnea, tanda seperti takikardi, suara jantung ketiga atau ronchi pulmonal, serta beberapa bukti objektif mengenai disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi (PERKI, 2018).

2.2.8.1.1 Hipotensi

Hipotensi ditandai dengan tekanan darah sistolik yang berada di bawah 90 mmHg. Hipotensi dapat terjadi bukan hanya dikarenakan gagal jantung melainkan dapat disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis (PERKI, 2018).

2.2.8.1.2 Kongesti Paru

Kongesti paru ditandai dengan terjadinya dispnea dengan ronchi basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru, serta perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator (PERKI, 2018).

2.2.8.1.3 Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik terjadi pada 6-10% kasus IMA-EST serta merupakan penyebab kematian utama dengan laju mortalitas di rumah sakit mencapai 50%.

Meskipun syok kardiogenik sering terjadi pada fase awal infark miokard akut,

(18)

syok umumnya tidak didiagnosis pada saat pasien masuk rumah sakit. Pada studi lain menyebutkan bahwa 50% kasus syok kardiogenik terjadi dalam kurun waktu 6 jam dan pada 75% kasus terjadi dalam 24 jam (PERKI, 2018).

2.2.8.2 Aritmia dan Gangguan Konduksi dalam Fase Akut

Aritmia sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah kejadian infark miokard terjadi. Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) serta gangguan asam-basa (PERKI, 2018).

2.2.8.2.1 Aritmia Supraventrikular

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terjadinya fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut merupakan prediktor independen untuk semua penyebab kematian yang disebabkan karena infark miokard akut. Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari sekitar 6-28% kasus infark miokard dan umumnya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat serta gagal jantung.

Seringkali aritmia hanya diobati dengan obat antikoagulan (PERKI, 2018).

2.2.8.2.2 Aritmia Ventrikular

Aritmia ventrikular umumnya terjadi dalam hari pertama fase akut serta pada kejadian aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T. Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama idioventrikular yang terakselerasi. Irama tersebut dapat terjadi akibat reperfusi dimana laju ventrikel < 120 detak per menit dan umumnya tidak berbahaya.

Meskipun kemungkinan terjadinya iskemia miokard pada aritmia ventrikular sering tidak diperhatikan, namun faktanya revaskularisasi tidak dapat mencegah henti jantung berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel yang kiri abnormal yang berat atau bahkan apabila aritmia yang terjadi akibat iskemia transien (PERKI, 2018).

2.2.8.2.3 Sinus Bradikardi dan Blok Jantung

Sinus bradikardi umumnya terjadi dalam beberapa jam awal pada kasus

IMA-EST terutama pada kasus infark inferior. Dalam beberapa kasus, sinus

(19)

bradikardi disebabkan karena penggunaan opioid. Apabila sinus bradikardi disertai dengan hipotensi berat maka perlu dilakukan terapi menggunakan atropin (PERKI, 2018).

2.2.8.3 Perikarditis

Gejala perikarditis yang umum ditemukan pada kasus IMA-EST yakni nyeri dada berulang yang khas. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya dengan gejala ringan dan progresif. Perikardiosentesis jarang digunakan, namun prosedur ini perlu dilakukan apabila terdapat perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade (PERKI, 2018).

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang IMA 2.2.9.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus dari infark miokard akut. Selain itu, pemeriksaan ini juga mengidentifikasi terkait komplikasi, penyakit penyerta, serta menyingkirkan diagnosis banding dari infark miokard akut. Hal yang perlu dilihat dalam pemeriksaan fisik meliputi regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronchi basah halus, hipotensi, serta nyeri pleuritik disertai suara nafas yang tidak seimbang (PERKI, 2018).

2.2.9.2 Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)

Seluruh pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada infark miokard harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI (ST-Segment Elevation Myocardial Infarction) untuk pria dan wanita sebesar 0,1 mV. Nilai ambang elevasi segmen ST pada usia ≥ 40 tahun di sadapan V1-3 adalah ≥ 0,2 mV dan pada usia < 40 tahun sebesar ≥ 0,25 mV. Sedangkan pada wanita tanpa memandang usia, nilai elevasi segmen ST di lead V1-3 sebesar

≥ 0,15 mV. Pada pria dan wanita nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R sebesar ≥0,05 mV, kecuali pada pria dengan usia < 30 tahun memiliki nilai ambang sebesar ≥ 0,1 mV. Untuk nilai ambang pada sadapan V7-V9 sebesar

≥ 0,5 mV (PERKI, 2018).

(20)

Tabel II. 1 Nilai Ambang Diagnostik Elevasi Segmen ST (PERKI, 2018)

Tabel II. 2 Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG (PERKI, 2018)

Pemeriksaan EKG pada NSTEMI (Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction) dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI antara lain depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T dan dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (< 20 menit); gelombang Q yang menetap; non-diagnostik; dan normal.

2.2.9.3 Pemeriksaan Marka Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka yang

digunakan untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T memiliki sensitivitas dan

spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan CK-MB. Penyebab troponin I/T

meningkat dapat dikarenakan kelainan kardiak non-koroner seperti takiaritmia,

trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, serta

miokardtis/perikarditis. Selain itu, keadaan non-kardiak yang dapat meningkatkan

kadar troponin I/T adalah adanya sepsis, luka bakar, gagal nafas, penyakit

neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi

ginjal. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T

akan menunjukkan kadar normal dalam kurun waktu 4-6 jam setelah awitan

(21)

Sindrom Koroner Akut (SKA). Pemeriksaan CK-MB dan troponin I/T hendaknya diulang dalam kurun waktu 8-12 jam setelah awitan angina. Akan tetapi, apabila awitan SKA tidak dapat ditentukan maka pemeriksaan hendaknya diulang dalam kurun waktu 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama (PERKI, 2018).

LDH (Laktat Dihidrogenase) akan mengalami peningkatan apabila terjadi kerusakan pada hati, otot rangka, dan ginjal baik yang disebabkan karena anemia hemolitik megaloblastik ataupun karena imun. LDH terjadi pada tahap infark miokard akut yang terjadi setelah 24 jam dan akan mencapai puncak dalam kurun waktu 3-6 hari. LDH lebih spesifik jika dibandingkan dengan CK-MB tetapi tidak seakurat nilai troponin (Warburton and Beale, 2019).

Gambar 2. 13 Perbandingan kurva biomarka jantung (Parlakpinar et al., 2017) 2.2.9.4 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah laboratorium yang dibutuhkan untuk diagnosa infark

miokard akut meliputi tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,

koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid (PERKI, 2018).

(22)

2.2.10 Penatalaksanaan Terapi IMA

Gambar 2. 14 Algoritma Evaluasi dan Tata Laksana Sindrom Koroner Akut (Jneid et al., 2017)

Apabila pasien memiliki kecurigaan klinis sindrom koroner akut, termasuk

gejala iskemik atau infark maka pasien perlu dilakukan EMS (Emergency Medical

Service) dengan memonitor pernafasan dan sirkulasi darah pada pasien. Pada saat

yang bersaman perlu disiapkan CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dan

defibrillator. Selain itu, pasien juga perlu mengontrol kadar troponin serta

melakukan pemantauan segmen ST secara terus menerus. Terapi penunjang yang

(23)

dapat diberikan pada pasien sindrom koroner akut adalah pemberian Aspirin, Nitrogliserin, oksigen, Morfin, dan obat-obat golongan antihipertensi seperti beta bloker dan Calcium Channel Blocker (CCB) (Jneid et al., 2017; DiDomenico et al., 2020).

Pada pasien STEMI dengan onset gejala dibawah 12 jam maka perlu dilakukan terapi reperfusi berupa terapi Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dengan kurun waktu 90 menit. Apabila tidak tersedia PCI maka perlu diberikan terapi fibrinolitik dengan kurun waktu 30 menit. Sedangkan pada pasien dengan onset gejala lebih dari 12 jam maka perlu dilihat kadar troponin pasien dan dilakukan pemberian terapi vasodilator nitrat, antikoagulan, serta dipertimbangkan pemberian antihipertensi dan antiplatelet (Jneid et al., 2017;

DiDomenico et al., 2020).

2.2.10.1 Terapi Non Farmakologi

Revaskularisasi bedah berperan penting dalam pengobatan Stable Ischemic Heart Disease (SIHD). Prosedur revaskularisasi yang umum digunakan dalam prakteknya adalah operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dengan atau tanpa pemasangan stent (Dobesh et al., 2020).

2.2.10.1.1 Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Istilah PCI mencakup penggunaan angioplasti balon dengan pemasangan

stent serta prosedur intrakoroner lain yang jarang dilakukan seperti aterektomi

rotasi dan trombektomi aspirasi. Selama PCI, kateter diarahkan ke pembuluh

darah koroner baik melalui arteri femoralis atau radial. Selubung dipasang di

arteri femoralis atau radial untuk menjaga akses selama prosedur. Kateter

pemandu kemudian dimasukkan melalui selubung dan diteruskan ke ostium arteri

koroner. Kabel pemandu kemudian dimajukan melalui kateter pemandu dan

melintasi stenosis di pembuluh koroner. Balon yang telah dikempiskan tersebut

kemudian meluncur di sepanjang kabel pemandu dan menuju lokasi stenosis

koroner. Balon tersebut kemudian dipompa. Balon yang membengkak

memperluas lumen koroner dengan meregangkan dan merobek plak aterosklerotik.

(24)

Sebagian besar prosedur PCI elektif diselesaikan di 30 hingga 60 menit (Dobesh et al., 2020).

Penutupan pembuluh tiba-tiba merupakan komplikasi potensial dari angioplasti balon. Penutupan kapal yang tiba-tiba dipicu oleh gangguan fisik dari plak di dinding pembuluh selama prosedur. Komplikasi kedua dari PCI adalah re- stenosis yang dapat menyebabkan gejala berulang dan perlunya prosedur revaskularisasi lain pada sekitar 30% hingga 50% pasien dalam satu tahun. Saat ini komplikasi ini telah dikurangi secara dramatis dengan penggunaan terapi antitrombotik dan stent intracoronary (Ludman, 2018; Dobesh et al., 2020).

Kerusakan fisik yang terjadi pada plak aterosklerotik selama PCI dengan penempatan stent menginduksi perekrutan dan aktivasi platelet, yang mengarah ke potensi pembentukan trombus. Oleh karena itu, terapi antitrombotik dengan antiplatelet dan agen antikoagulan diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sukses. Terapi antiplatelet juga digunakan setelah prosedur untuk mengurangi risiko trombosis stent. Semua pasien tanpa kontraindikasi harus menerima aspirin sebelum PCI dan setelahnya dilanjutkan seumur hidup. Pasien yang sudah menjalani terapi aspirin kronis harus mengonsumsi 75 hingga 325 mg tambahan sebelum PCI. Pasien naif aspirin harus diberi dosis 325 mg setidaknya 2 jam tetapi sebaiknya 24 jam sebelum PCI. Pengobatan kronis dengan aspirin 81 mg setiap hari dianjurkan setelah PCI. Pasien yang menerima stent juga harus menerima inhibitor P2Y

12

(misalnya, clopidogrel) sebelum PCI. (Ludman, 2018;

Dobesh et al., 2020).

Gambar 2. 15 Percutaneous Coronary Intervention (PCI) (Alghairi et al., 2020)

(25)

2.2.10.1.2 Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Meskipun PCI adalah bentuk revaskularisasi yang paling umum, operasi CABG direkomendasikan untuk memperpanjang kelangsungan hidup atau meredakan gejala angina yang sulit disembuhkan pada pasien tertentu. Pada sebagian besar operasi CABG, sternotomi dan pembagian tulang dada dilakukan untuk memberikan akses langsung ke jantung bagi ahli bedah. Oleh karena itu, ini sering disebut sebagai operasi jantung terbuka. Setelah jantung terbuka, saluran pembuluh darah yang diambil dari area lain di tubuh digunakan untuk

"memotong" plak aterosklerotik. Saluran vaskular yang paling umum digunakan adalah saphenous vein grafts (SVG) atau cangkok vena safena dari kaki dan left internal mammary artery (LIMA) atau arteri mamaria internal kiri dari dinding dada. Arteri radial dan gastroepiploic juga kadang-kadang digunakan (Dobesh et al., 2020).

Sebelum operasi CABG, perhatian terhadap kebutuhan farmakoterapi penting dilakukan untuk meminimalkan komplikasi pasca operasi. Pasien harus menerima aspirin 100-325 mg setiap hari sebelum operasi untuk mengurangi risiko penutupan cangkok. Untuk mengurangi risiko perdarahan besar terkait CABG, penghambat P2Y

12

harus dihentikan jauh sebelum operasi CABG elektif (5 hari untuk clopidogrel dan ticagrelor; 7 hari untuk prasugrel) dan setidaknya 24 jam sebelum operasi CABG mendesak. Apabila terdapat kontraindikasi, maka beta blocker harus dimulai paling sedikit 24 jam sebelum operasi CABG untuk mengurangi risiko fibrilasi atrium pasca operasi. Farmakoterapi setelah operasi CABG termasuk aspirin, terapi penurun lipid, beta blocker, dan lanjutan penghambat ACE. Aspirin 100 hingga 325 mg setiap hari harus dilanjutkan atau dimulai dalam 6 jam setelah operasi CABG dan dilanjutkan tanpa batas waktu untuk mengurangi risiko penutupan cangkok selama tahun pertama setelah operasi.

Aspirin juga harus diresepkan untuk pencegahan primer atau sekunder dari infark

miokard akut. Apabila pasien alergi aspirin, maka clopidogrel merupakan

alternatif yang dapat diterima. Karena proses aterosklerotik yang dipercepat dalam

cangkok bypass, terapi statin intensitas tinggi harus dilanjutkan atau dimulai pada

semua pasien setelah operasi CABG.

(26)

Meskipun data dari uji klinis menunjukkan tidak ada manfaat, studi observasi besar penggunaan beta blocker perioperatif dan pasca operasi dikaitkan dengan penurunan kematian setelah operasi CABG. Oleh karena itu, beta blocker harus dimulai setelah operasi CABG dan dilanjutkan setelah keluar (Dobesh et al., 2020).

Gambar 2. 16 Coronary Artery Bypass Graft (CABG) (Kane, 2019) 2.2.10.2 Terapi Farmakologi

Gambar 2. 17 Terapi Infark Miokard Akut STEMI (Ibanez et al., 2018)

Terapi PCI (Percutaneous Coronary Intervention) primer merupakan terapi

reperfusi yang diterapkan pada pasien STEMI (ST-Elevation Myocardial

Infarction)yang dilakukan dalam kurun waktu 12 jam setelah onset dari gejala

(27)

infark miokard. Meskipun Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan terapi reperfusi yang umum digunakan, terdapat beberapa faktor seperti faktor pasien, fasilitas kesehatan, dan geografis yang dapat mempengaruhi standart penggunaan dari PCI. Terapi alternatif yang dapat dilakukan untuk menangani pasien yang tidak menjalani PCI adalah terapi fibrinolisis (Wong et al., 2019).

Pasien infark miokard dapat terdiagnosa STEMI pada saat pra-rumah sakit sewaktu EMS (Emergency Medical Service) atau pada saat di rumah sakit (dengan atau tanpa layanan PCI). Rumah sakit yang menyediakan layanan PCI diharuskan melakukan terapi PCI dalam waktu < 90 menit. Apabila rumah sakit tidak memiliki layanan PCI, tetapi pasien diperkirakan dapat dirujuk ke rumah sakit lain yang menyediakan layanan PCI dalam jangka waktu ≤ 120 menit, maka prosedur PCI harus dilakukan dalam waktu < 120 menit. Apabila pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain dengan jangka waktu >120 menit, maka pasien harus segera diberikan terapi fibrinolitik (Wong et al., 2019).

Gambar 2. 18 Terapi Infark Miokard Akut NSTEMI (Collet et al., 2020) Terapi antitrombotik merupakan terapi yang wajib diterima oleh pasien NSTEMI (Non ST- Elevation Myocardial Infarction) untuk mencegah penggumpalan pada darah. Aktivasi trombosit darah dan kaskade koagulasi menjadi poin utama dalam fase awal dan proses perubahan dari gejala NSTEMI.

Oleh karena itu, penghambatan antiplatelet yang cukup serta efek antikoagulasi

diperlukan pada pasien NSTEMI. Pada gambar 2.17 dijelaskan bahwa aspirin

(28)

menjadi dasar pengobatan untuk penghambatan pembentukan tromboksan A

2

. Tromboksan A

2

merupakan metabolit asam arakidonat yang dihasilkan oleh tiga enzim fosfolipase A

2

, yakni COX-1, COX-2, dan sintesis TxA

2

(Rucker and Dhamoon, 2020). ADP berfungsi dalam pembentukan sumbat hemostatik yang mengandung banyak trombosit serta dalam pembentukan trombus arteri patologis.

ADP yang dilepaskan dari gumpalan platelet dan sel yang terluka akan berikatan dengan reseptor P

2

Y

1

dan P2Y

12

. P

2

Y

1

merupakan reseptor yang memulai terjadinya agregasi platelet sedangkan reseptor P2Y

12

adalah reseptor yang memediasi aktivasi platelet. Obat antagonis P2Y

12

meliputi Clopidogrel, Prasugrel, Ticagrelor, dan Cangrelor. Kedua obat antiplatelet tersebut (Aspirin dan antagonis P2Y

12

) menurunkan kadar cAMP intraseluler sehingga mengurangi laju fosforilasi fosfoprotein sehingga tidak dapat memicu kerja dari reseptor GPIIb/IIIa dan tidak terjadi agregasi trombosit (Collet et al., 2020).

Terapi antikoagulan digunakan sebagai pengobatan peri-intervensi pada pasien NSTEMI untuk menghambat pembentukan trombin dan aktivasi trombin.

Obat golongan antagonis vitamin K bekerja dengan mengganggu interaksi antara

vitamin K dan faktor koagulasi II, VII, IX, dan X yang dapat mengganggu

kaskade koagulasi sehingga dapat menghambat proses koagulasi. Apixaban,

Edoxaban, dan Rivaroxaban merupakan obat-obat penghambat faktor Xa yang

termasuk dalam golongan obat Direct Oral Anticoagulants (DOACs) sama seperti

Dabigatran yang termasuk obat penghambat trombin. Akan tetapi, pada obat

golongan DOACs penghambat faktor Xa hanya bekerja pada faktor Xa untuk

menghambat pembentukan protrombin menjadi trombin. Obat golongan DOACs

penghambat faktor Xa memiliki mekanisme kerja yang serupa dengan Enoxaparin

dan Fondaparinux. Sedangkan pada obat golongan DOACs penghambat trombin,

obat akan bekerja langsung pada trombin sehingga menghambat pembentukan

fibrinogen menjadi fibrin. Obat golongan DOACs penghambat trombin memiliki

mekanisme yang sama dengan obat antikoagulan golongan UFH (Unfractioned

Heparin). Fibrin merupakan faktor utama dalam penggumpalan darah dan

pembentukan trombus (Collet et al., 2020).

(29)

2.2.10.2.1 Oksigen

Tujuan terapi anti-iskemik adalah untuk menurunkan kebutuhan oksigen miokard (dapat disebabkan karena penurunan denyut jantung, tekanan darah, pre- load, atau kontraktlitas miokard) atau untuk meningkatkan suplai oksigen miokard (dengan pemberian oksigen atau melalui vasodilator koroner). Apabila pasien telah diberikan terapi oksigen tetapi masih terdapat tanda atau gejala iskemik maka perlu dilakukan angiografi koroner terlepas dari EKG dan kadar troponin jantung (Roffi et al., 2016).

Pasien dengan kongesti paru dan hipoksia dengan saturasi oksigen arteri (SaO

2

) < 90% atau tekanan parsial oksigen (PaO

2

) < 60 mmHg (8,0 kPa) memerlukan terapi oksigen serta pemantauan kadar SaO

2

untuk memperbaiki hipoksemia dan umumnya diperlukan penilaian gas darah secara berkala (Ibanez et al., 2018).

Beberapa bukti telah ditunjukkan bahwa hiperoksia berbahaya pada pasien dengan infark miokard tanpa komplikasi yang dikarenakan peningkatan cedera miokard. Oleh karena itu, pemberian oksigen secara rutin tidak direkomendasikan kepada pasien apabila nilai SaO

2

sebesar 90% (Ibanez et al., 2018).

2.2.10.2.2 Nitrat

Obat golongan nitrat merupakan first-line therapy atau terapi utama pada pasien dengan angina (nyeri dada). Nitrat organik merupakan salah satu agen golongan nitrat yang memiliki fungsi untuk mencegah angina. Nitrat mendorong pelepasan oksida nitrat dari endotelium sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteri. Vasodilatasi yang terjadi menurunkan ketegangan pada dinding ventrikel serta mengurangi kebutuhan oksigen miokard (Katzung, 2018).

Semua agen yang aktif secara terapeutik dalam golongan nitrat memiliki

mekanisme kerja yang identik dan toksisitas yang serupa. Oleh karena itu, perlu

diatur untuk penggunaan obat golongan nitrat menurut farmakokinetik setiap agen

serta perlu diperhatikan juga terkait cara penggunan setiap agennya (Katzung,

2018).

(30)

2.2.10.2.2.1 Nitrogliserin

Nitrogliserin efektif untuk pengobatan anti – iskemik dan telah di rekomendasikan secara rutin untuk menjadi bagian dari manajemen terapi pasien sindrom koroner akut. Karena nitrogliserin efektif untuk meredakan gejala angina, seringkali Nitrogliserin juga digunakan untuk pasien sindrom koroner akut dengan angina berkelanjutan yang tidak hipotensi. Nitrogliserin diberikan setiap 5 menit sebanyak tiga dosis sesuai kebutuhan untuk angina. Nitrogliserin juga mampu melebarkan dinding arteri koroner sehingga dapat digunakan untuk mengobati sindrom koroner akut yang berhubungan dengan vasospasme (DiPiro et al., 2020).

2.2.10.2.2.2 Isosorbid Dinitrat (ISDN)

Isosorbid Dinitrat (ISDN) merupakan obat golongan nitrat yang memiliki efek long acting sehingga lebih stabil dan efektif apabila dibandingkan dengan golongan short acting seperti Nitrogliserin. Isosorbid Dinitrat sering digunakan untuk menangani gejala angina, tetapi kekurangan dari obat ini cepat di metabolisme di dalam hati (Neal , 2016).

2.2.10.2.3 Morfin

Morfin merupakan agen analgesik dan ansiolitik kuat yang menyebabkan venodilatasi dan meningkatkan tonus vagal sehingga dapat menurunkan denyut jantung. kombinasi antara efek analgesik dan ansiolitik dapat meningkatkan kenyamanan pasien sementara efek hemodinamik dapat mengurangi kebutuhan oksigen sehingga membuat morfin menjadi pilihan pengobatan pada pasien infark miokard akut (DiPiro et al., 2020).

2.2.10.2.4 Beta Blocker

Beta blocker digunakan sebagai pengobatan profilaksis pada angina.

Keuntungan dari penggunaan obat golongan beta blocker seperti bisoprolol dan

metropolol adalah terkait dengan efek hemodinamiknya yang dapat menurunkan

detak jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas yang mana dapat menurunkan

kebutuhan oksigen miokard pada saat beristirahat. Selain itu, beta blocker juga

berguna dalam mengobati silent ischemia. Karena kondisi ini tidak menimbulkan

rasa sakit, umumnya hanya dapat dideteksi apabila muncul tanda-tanda pada

elektrokardiografi (Neal , 2016; Katzung, 2018).

(31)

Tabel II. 3 Jenis dan dosis beta blocker untuk terapi Infark Miokard Akut (PERKI, 2018)

2.2.10.2.4.1 Bisoprolol

Bisoprolol merupakan antagonis beta 1-selektif dan telah diindikasikan untuk mengontrol gejala pada pasien angina. Pada saat reseptor beta 1 diaktifkan oleh neurotransmiter adrenergik maka tekanan darah dan detak jantung meningkat.

Hal ini akan menyebabkan kerja sistem kardiovaskular lebih besar sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen. Pada saat yang bersamaan Bisoprolol akan mengurangi beban kerja jantung dengan mengurangi kontraktilitas dan kebutuhan oksigen melalui penghambatan kompetitif reseptor beta 1-adrenergik (Tucker et al., 2020).

2.2.10.2.4.2 Metoprolol

Metoprolol diindikasikan untuk terapi angina, gagal jantung, infark miokard akut, dan fibrilsi atrium. Metoprolol merupakan penghambat reseptor beta 1- adrenergik yang dapat menurunkan curah jantung dengan menghasilkan efek kronotropik dan inotropik negatif tanpa menunjukkan aktifitas terhadap stabilisasi membran atau simpatomimetik intrinsik (Cižmáriková et al., 2019).

2.2.10.2.4.3 Propanolol

Propanolol diindikasikan untuk menangani hipertensi dan angina pektoris

yang disebabkan karena aterosklerosis koroner, fibrilasi atrium, dan infark

miokard akut. Propanolol merupakan antagonis reseptor beta-adrenergik non

selektif. Pemblokiran reseptor ini menyebabkan vasokonstriksi, penghambatan

(32)

faktor angiogenik seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan faktor pertumbuhan dasar fibroblas (bFGF), induksi apoptosis sel endotel, serta sebagai penurun regulasi sistem renin-angiotensi-aldosteron (Hagen et al., 2018).

2.2.10.2.4.4 Atenolol

Atenolol merupakan beta-bloker kardioselektif yang digunakan untuk berbagai kondisi kardiovaskular. Atenolol betindak sebagai antagonis terhadap syaraf simpatis dan mencegah peningkatan denyut jantung, konduktivitas listrik, dan kontraktilitas di jantung karena peningkatan pelepasan nor-epinefrin dari sistem saraf tepi (Cižmáriková et al., 2019).

2.2.10.2.4.5 Carvedilol

Carvedilol diindikasikan untuk mengobati gagal jantung ringan hingga berat, disfungsi ventrikel kiri setelah infark miokard dengan fraksi ejeksi ventrikel ≤ 40%, atau hipertensi. Carvedilol bekerja pada reseptor adrenergik alfa-1 dengan cara melemaskan otot polos dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan tekanan darah secara keseluruhan (Cižmáriková et al., 2019).

2.2.10.2.5 Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACE-I)

ACE-I (Angiotensin Converting Enzim Inhibitor) dianjurkan pada pasien yang mengalami Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF) ≤ 40% atau pada pasien yang pernah mengalami gagal jantung tahap pertama. Sistem renin- angiotensin-aldosteron merupakan faktor utama dalam mengatur tekanan darah arteri salah satu komponen tersebut adalah Angiotensin Converting Enzim (ACE).

ACE memiliki fungsi utama untuk mengatur tekanan darah arteri serta

keseimbangan elektrolit melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron (Ibanez et al.,

2018; Widiasari, 2018).

(33)

Tabel II. 4 Obat ACE Inhibitor (Herman et al., 2020)

2.2.10.2.6 Calcium Channel Blocker (CCB)

Calcium Channel Blocker (CCBs) memiliki efek anti iskemik yang bermanfaat dan direomendasikan untuk pasien dengan sindrom koroner akut.

CCB menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk vasodilatasi arteri koroner, penurunan resistensi perifer, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen miokard.

Semua CCB merupakan inotropik negatif, tetapi karena CCB dihidropiridin termasuk vasodilator perifer yang poten sehingga dapat menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis yang dimediasi baroreseptor yang meniadakan efek inotropik negatif. Sedangkan pada CCB non-dihidropiridin dapat menurunkan aktivitas simpul sinoatrial dan konduksi simpul atrioventrikular yang lambat sehingga menyebabkan penurunan denyut jantung (DiDomenico et al., 2020).

Meskipun CCB efektif untuk terapi anti iskemik, beberapa laporan

mengenai bahaya, kurangnya manfaat serta tidak kuatnya CCB untuk mendukung

beta blocker dalam terapi sindrom koroner akut. Akan tetapi, pada studi lainnya

didapatkan bahwa diltiazem dan verapamil dapat menurunkan resiko reinfarction

dan post-infarction angina. Berdasarkan studi tersebut beberapa pedoman

merekomendasikan penggunaan CCB non-dihidropiridin (seperti Diltiazem dan

Verapamil) untuk mengobati gejala angina pada pasien dengan sindrom koroner

akut yang memiliki kontraindikasi, intoleransi, serta refrakter terhadap beta

blocker tanpa adanya disfungsi ventrikel kiri (DiDomenico et al., 2020).

(34)

Tabel II. 5 Obat CCB (Godfraind, 2017)

2.2.10.2.7 Antidislipidemia

Hydroxymethylglutaryl-CoA ( HMG-CoA) reduktase inhibitor (statin) merupakan obat penurun lipid yang paling penting. Obat golongan statin sangat efektif dalam menurunkan nilai kolesterol total dan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) serta telah terbukti juga dalam mengurangi penyakit koroner (Neal , 2016). Statin, bersama dengan aspirin, merupakan landasan utama pengobatan dalam pencegahan sekunder pada penyakit arteri koroner yang stabil serta sindrom koroner akut (Harari and Eisen, 2018).

Tabel II . 6 Obat Golongan Statin (Chou et al., 2016)

(35)

2.2.10.2.8 Fibrinolitik / Trombolitik

Ketika PCI pada pasien STEMI tidak memungkinkan maka fibrinolisis merupakan sarana reperfusi untuk mencegah kematian dini setelah timbulnya gejala. Pada pedoman terbaru didapatkan bahwa terapi fibrinolitik harus diberikan ketika PCI tidak dapat dilakukan dalam kurun waktu 120 menit. Fibrinolitik mengacu pada proses pencernaan fibrin oleh protease spesifik fibrin yakni plasmin. Sistem fibrinolitik menyerupai sistem koagulasi dalam bentuk prekursor serine protease plasmin bersirkulasi dalam bentuk tidak aktif sebagai plasminogen.

Plasminogen dan plasmin memiliki protein khusus domain (kringles) yang mengikat lisin terbuka pada bekuan fibrin dan memberikan spesifitas bekuan pada proses fibrinolitik. Apabila sistem koagulasi dan fibrinolitik diaktifkan secara patologis maka sistem hemostatik akan lepas kendali dan menyebabkan pembekuan dan pendarahan intravaskular. Proses ini sering disebut dengan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau koagulasi intravaskular diseminata. DIC merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku serta menghentikan pendarahan. DIC sering terjadi setelah cedera jaringan masif, kanker stadium lanjut, keadaan darurat obstetrik, atau sepsis bakteri (Zehnder, 2018; DiDomenico et al., 2020).

Obat fibrinolitik sering digunakan pada infark miokard akut untuk melisiskan trombus yang menyumbat arteri koroner. Umumnya obat fibrinolitik diberikan melaui jalur infus intravena. Hal ini dapat dikarenakan terjadinya reperfusi arteri sekitar 50% apabila diberikan dalam rentang waktu 3 jam. Efek samping utama dari terapi trombolitik adalah terjadinya pendarahan, mual, muntah, dan dalam kasus streptokinase akan terjadi alergi. Peningkatan fibrinolitik sangat efektif untuk penyakit trombotik. Aktivator jaringan plasminogen, urokinase, dan streptokinase dapat mengaktifkan sistem fibrinolitik.

Sebaliknya penurunan fibrinolisis melindungi pembekuan dari lisis dan

mengurangi pendarahan akibat kegagalan hemostatik. Streptokinase bekerja

dengan mengikat plasminogen yang bersirkulasi untuk membentuk kompleks

aktivator yang mengubah plasminogen menjadi plasmin (Neal , 2016).

(36)

2.2.10.2.9 Antiplatelet

Umumnya terapi antiplatelet dapat berfungsi untuk mencegah Stent Trombosis (ST) dan infark miokard yang berulang pada pasien sindrom koroner akut yang telah menjalani PCI untuk penyakit arteri koroner yang stabil.

Antagonis P2Y

12

seperti Clopidogrel, Prasugrel, dan Ticagrelor umumnya digunakan dalam kombinasi dengan Aspirin pada kelompok pasien tersebut (Dadu and Kleiman, 2019).

Antagonis P2Y

12

bekerja dengan menghambat aktivasi Adenosine Diphosphonate (ADP). ADP dilepaskan setelah aktivasi platelet dan akan mengikat reseptor P2Y

12

di bagian yang berada di luar sel. Setelah ADP dan P2Y

12

berikatan dan membentuk ikatak disulfida, bagian resptor akan mengalami perubahan konformasi ke dalam. Reseptor P2Y

12

akan bergabung dengan GαI2 dan Gβγ. Aktvasi dari reseptor P2Y

12

akan mengaktivasi GαI2 yang bertanggung jawab untuk aktivasi dari fosfoinositida-3-kinase dan penghambatan adenylyl cyclase yang mengakibatkan penurunan kadar adenosin monofosfat siklik dalam trombosit. Beberapa aktivitas reseptor sebelumnya akan mendorong pelepasan alfa dan granul padat, aktivasi integrin (GPIIbIIa), amplifikasi agregasi platelet, dan stabilisasi agregat platelet. Ketiga obat antiplatelet yang tersedia secara komersial (Clopidogrel, Ticagrelor,dan Prasugrel) memiliki mekanisme kerja yang sama untuk mencegah ADP mengikat P2Y

12

dengan hasil akhir berupa penghambatan aktivasi trombosit (Dadu and Kleiman, 2019).

Tabel II. 7 Obat Antiplatelet (Dadu and Kleiman, 2019)

(37)

Sitokrom P4502C19 (CYP

2

C

19

) terdapat di retikulum endoplasma hepatoseluler dan merupakan bagian dari sistem oksidase fungsi campuran dari sitokrom P

450

dan dikodekan oleh gen CYP

2

C

19

yang terdapat di kromosom 10 lengan q24. Metabolit aktif dari Clopidogrel dan Prasugrel memiliki kekuatan yang sama, tetapi metabolit aktif yang dihasilkan Prasugrel lebih efisien dibandingkan dengan Clopidogrel. Selain itu, konsentrasi plasma setalah dosis terapeutik dari metabolit aktif Prasugrel memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Clopidogrel. Ticagrelor juga merupakan antagonis P2Y

12

reversibel yang tidak memerlukan modifikasi lebih lanjut untuk menjadi aktif.

Mula kerja setelah dosis pemuatan terjadi dalam kurun waktu 30 menit untuk Prasugrel dan Ticagrelor, sedangkan pada Clopidogel mula kerja terjadi antara 2 hingga 6 jam setelah pemberian tergantung pada dosis pemuatan. Dalam uji klinis acak telah dibuktikan bahwa Ticgrelor dan Prasugrel lebih unggul dibandingkan dengan Clopidogrel dalam mencegah kejadian penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, beberapa pedoman telah mendukung penggunaan Ticagrelor dan Prasugrel pada pasien dengan sindrom koroner akut yang diobati dengan PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dibandingkan dengan Clopidogrel. Akan tetapi, Clopidogrel lebih sering diresepkan karena memiliki resiko pendarahan yang relatif lebih rendah serta ketersediannya dalam formulasi generik (Dadu and Kleiman, 2019).

2.2.10.2.10 Antikoagulan

Selama kondisi homeostatis rutin, tubuh manusia mempertahankan keseimbangan yang konstan antara pembentukan dan penghancuran trombus.

Keseimbangan ini dipertahankan oleh interaksi kompleks antara trombosit dan endotel vaskular, kaskade koagulasi, dan sistem fibrinolitik. Kaskade koagulasi (gambar 2.18) melibatkan interaksi antara jalur aktivasi kontak (sebelumnya disebut sistem intrinsik), dan jalur faktor jaringan (sebelumnya sistem ekstrinsik).

Kedua jalur yang tampaknya independen ini mengarah pada konversi faktor X ke

faktor Xa, yang merupakan permulaan jalur umum. Jalur umum ini mengubah

protrombin menjadi trombin yang kemudian mengkatalisis pembentukan fibrin

dan akhirnya mengarah pada stabilisasi agregat platelet untuk membentuk

gumpalan yang stabil. Antikoagulan merupakan agen yang berfungsi dalam

(38)

pengobatan dan pencegahan penyakit tromboemboli yang bekerja dengan cara mengurangi aktivitas pembekuan darah atau dengan mengurangi konsentrasi dari faktor pembekuan yang meliputi faktor II, VII, IX, dan X. Antikoagulan yang tersedia saat ini dapat menghambat produksi trombin dengan menghambat faktor Xa, menghambat trombin, atau kombinasi dari keduanya (Bachmann, 2018;

DiDomenico et al, 2020).

Gambar 2. 19 Kaskade Koagulasi (Shantsila and Lip, 2016)

Obat antikoagulan didistribusikan melalui jalur oral dan parenteral.

Antkoagulan parenteral meliputi Unfractioned Heparin (UFH), Low Molecular

(39)

Weight Heparin (LMWH), dan Fondaparinux, sedangkan obat antikoagulan oral meliputi obat antikoagulan yang menghambat faktor Xa yakni golongan antagonis vitamin K (Bachmann, 2018).

Gambar 2. 20 Obat Antikoagulan (Bachmann, 2018) 2.2.10.2.10.1 Unfractioned Heparin (UFH)

UFH (Unfractioned Heparin) adalah obat antikoagulan yang dipilih ketika diperlukan efek antikoagulan yang cepat apabila diberikan secara intravena. UFH sangat umum digunakan dan memiliki efek terapeutik yang sempit sehingga diperlukan pemantauan yang intens dalam penggunaannya. UFH umumnya diindikasikan untuk sindrom koroner akut meliputi STEMI atau NSTEMI, intervensi koroner perkutan, terapi awal untuk Venous Thromboembolism (VTE), serta terapi penghubung apabila terjadi masalah pada terapi antikoagulan oral.

Efek samping utama dari penggunaan Heparin adalah terjadinya pendarahan.

Karena Heparin memiliki durasi kerja yang singkat (4-6 jam) maka pendarahan dapat dikontrol dengan menghentikan pemberian obat. Selain itu, efek samping Heparin dapat juga dinetralkan dengan injeksi Protamin (Neal , 2016; DeWald et al., 2018; Verheugt, 2019).

Heparin mengikat permukaan sel endotel dan berbagai protein plasma.

Aktivitas biologi dari heparin tergantung antitrombin (AT) antikoagulan endogen.

Antitrombin menghambat protease faktor pembekuan, terutama trombin (IIa), IXa,

dan Xa dengan membentuk kompleks stabil ekuimolar. Heparin akan

meningkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan trombin serta menghambat

aktivitas faktor IX dan faktor X. Proses tersebut akan menjadi lebih cepat apabila

menggunakan Heparin. Dalam molekul heparin terdapat sekitar sepertiga dari

Gambar

Gambar 2. 2 Fisiologi Jantung (Shier et al., 2016)
Gambar 2. 3 Infark Miokard Akut (Acharya et al., 2017)
Gambar 2. 6 Gambaran kejadian aterosklerosis (Robinson et al., 2018)  Aterosklerosis  diawali  dengan  pengeluaran  kolesterol  Low  Density  Lipoprotein  (LDL)  ke  ruang  sub-endotel  yang  dapat  diubah  dan  dioksidasi
Gambar 2. 7 Patofisiologi Infark Miokard Akut.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada kasus yang membutuhkan efek antitrombotik yang segera (seperti pada sindroma koroner akut atau stroke iskemik akut) maka dosis pembebanan adalah 160- 200 mg

Sepertiga pasien dengan infark pada dinding ventrikel kiri juga akan menimbulkan nekrosis pada bagian ventrikel kanan, karena memiliki arteri koroner yang sama yang

Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan ruptur plak yang

Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang timbul akibat penyumbatan sebagian atau total dari satu atau lebih arteri koroner dan atau cabang- cabangnya, sehingga

Menurut Garko (2012), penyakit jantung koroner atau penyakit arteri koroner adalah sebuah penyakit jantung di mana dinding endotel bagian dalam pada satu atau lebih arteri

Penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada pasien DM tipe 2 adalah penyakit jantung koroner (PJK). Menurut American Heart Association pada Mei 2012, 65% penderita

Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan yang intensif lebih lanjut.. Secara perkiraan dan perhitungan terapi

Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner koroner adalah penyakit jantung yang menyangkut gangguan dari pembuluh darah koroner yang dalam mengenal dan menanganinya membutuhkan