• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I TINJAUAN TEORI Komunikasi Partisipatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I TINJAUAN TEORI Komunikasi Partisipatif"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

TINJAUAN TEORI

Komunikasi Partisipatif

Komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah (Bordenave 1972 diacu dalam White 1995).

Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Tufte (2009) mengungkapkan bahwa fokus dari komunikasi partisipasi adalah dialog, suara, media didik, aksi-refleksi. Dialog merupakan suatu prinsip komunikasi partisipasi, dalam dialog dimana peserta akan mengungkapkan usulan dengan prinsip aksi-refleksi-aksi dan komunikasi horizontal. Dalam dialog proses yang terjadi diawali dengan definisi program dimana terjadi kesenjangan informasi. Tipe masalah yang terjadi dapat berupa sosial dan ekonomi masyarakat atau isu kemiskinan dan ketidakadilan. Strategi komunikasi yang dikembangkan adalah merangkum isu yang general sehingga memperoleh gambaran yang terjadi dan dapat merangkum solusi yang ada.

Suara yang sifatnya central bagi komunikasi dialogis adalah kesadaran yang terdapat dalam setiap hubungan manusia. Perhatian Freire adalah pergeseran dalam kekuasaan, menyuarakan kelompok marjinal, waktu dan ruang untuk mengartikulasikan keprihatinan mereka, mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, dan bertindak. Peran media dalam proses komunikasi patisipatif memiliki kepedulian yang sama. Mendukung dan memperkuat media masyarakat dapat memastikan kelompok yang paling terpinggirkan memiliki panggung untuk

(2)

menyuarakan keprihatinan mereka, terlibat dalam debat publik dan memecahkan masalah.

Media merupakan akses penting membuka ruang komunikasi dan dialog, media ini membuka akses sebagai langkah dalam penilaian komunikasi partisipatif, namun yang sering tidak dibuat eksplisit dalam pendekatan komunikasi partisipatif adalah peran penting dari akses media, peliputan dan pemakaian di seluruh dunia, jadi komunikasi partisipatif juga menyangkut suara dalam lingkup publik yang dimediasi. Strategi yang lebih partisipatif menekankan media yang memungkinkan lebih banyak dialog, seperti media berbasis masyarakat, dimana media sebagai saluran komunikasi.

Aksi refleksi dan aksi merupakan suatu penegasan yang dilakukan oleh masyarakat setelah melakukan dialog dan menghasilkan konsensus bersama. Sehingga dilakukanlah proses pemberdayaan yang didasarkan pada masalah yang ada. Dari aksi-aksi tersebut menjawab rumusan masalah yang terjadi pada masyarakat. Hal pokok dari komunikasi partisipasi adalah kesadaran mengungkapkan masalah serta komitmen dalam melaksanakannya, sehingga timbul suatu perasaan bersama terhadap masalah yang ada dan pemecahan yang sama. Isu kepemimpinan menjadi perhatian dalam menghubungkan masyarakat, sehingga fungsi kepemimpinan adalah menyamakan masalah yang dirasakan, dimana masalah yang diangkat adalah masalah bersama yang menjadi perhatian. Beltran (1979) menyebut ini adalah komunikasi horizontal dimana fokus dari komunikasi partisipasi membawa kepada suara yang sama dimana berbeda dengan model komunikasi yang berorientasi pada difusi dan efek.

Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan inti dari manajemen, karena kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi manusia dan alat-alat lainnya dalam suatu organisasi (Siagian 1980). Karyadi (1978) menjelaskan kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu sarana, instrumen, atau alat untuk membuat orang-orang mau bekerja dan berupaya mencapai tujuan bersama dalam sebuah organisasi. Slamet (1978) mengemukakan, bahwa kepemimpinan adalah fungsi yang harus dilaksanakan dalam suatu organisasi, sebab kepemimpinan itulah yang setiap kali mengambil keputusan tentang hal-hal yang harus dilakukan.

(3)

Slamet (1978) menjelaskan bahwa kebutuhan pokok akan kepemimpinan itu bersumber dari motivasi dan pengarahan perilaku orang-orang dalam organisasinya, sehingga organisasi itu benar-benar dapat mempunyai tujuan bersama yang dapat memuaskan anggota-anggotanya yang benar-benar dapat mempunyai tujuan. Kartono (2001) melalui teori kepemimpinannya, adalah sifat-sifat yang diperlukan oleh seorang pemimpin yaitu pemimpin tersebut mengetahui tugas-tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi yang diperlukan untuk memimpin kelompoknya.

Mangunharjana (1976) mengemukakan bahwa kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kepribadiannya, dengan menyesuaikan kepada situasi yang dihadapi. Situasi ini terbagi atas tiga lapisan, yaitu (1) tugas, pekerjaan atau masalah yang harus dihadapi, (2) orang yang dipimpin, (3) keadaan yang mempengaruhi pekerjaan serta orang-orang yang harus melaksanakannya. Lapisan tersbut menjelaskan bahwa pemimpin harus mengenal dirinya, kelompok orang-orang yang dipimpinnya, serta sifat pekerjaan yang harus diselesaikan, hal ini berarti bahwa seorang pemimpin yang harus berperan sebagai pembinan kelompok yang ia pimpin, dapat menciptakan cara-cara untuk membangkitkan semangat kerja atau dapat membantu orang-orang yang dipimpinnya untuk memahami apa yang harus dikerjakan dan dicapai.

Seseorang akan diakui dan dinilai sebagai pemimpin dari masyarakatnya apabila lebih maju dibandingkan dengan anggota lainnya, apabila dapat merumuskan perasaan, pemikiran, kecemasan dan harapan masyarakat atau kelompok yang dipimpin. Pemimpin harus mampu mengkomunikasikan dan menterjemahkan pesan-pesan pembangunan yang harus dipahami oleh masyarakat atau kelompok yang dipimpin sehingga komunikasi berjalan efektif.

Perilaku Komunikasi

Gold dan Kolb (1964) menjelaskan perilaku komunikasi merupakan tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, seperti berpikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut oleh seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan meyebarkan informasi.

(4)

Perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber serta untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan (Gold dan Kolb 1964 diacu dalam Ichwanudin 1998). Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.

Rogers (1993) menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima dan mencari informasi yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen perubahan, keterdedahan dengan media, keaktifan dalam mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal yang baru dalam inovasi.

Peran Fungsional dalam komunikasi kelompok

Menurut Benne dan Sheat (1947) diacu dalam Goldberg dan Larson (2006) menganalisis keikutsertaan anggota kelompok yang mencakup peran-peran fungsional yang ditampilkan oleh anggota kelompok selama melangsungkan diskusi kelompok, tujuan ini untuk menitikberatkan perhatian pada ciri- ciri pembawaan dan kualitas yang dianggap selalu ada pada pimpinan formal atau yang diangkat. Sistem pengamatan ini adalah suatu sistem yang intelektif. Pengamatan terhadap partisipasi anggota menghasilkan suatu daftar peran yang disusun dalam tiga kategori yaitu 1) peran tugas kelompok.

Peran ini berhubungan dengan tugas kelompok yang sedang dikerjakan oleh kelompok, dimana didalamnya terdapat variabel-variabel yang menjadi dasar sebagai peran tugas kelompok yaitu:

a. Pencetus-penyumbang, mengusulkan ide-ide baru pada kelompok, dimana hal-hal baru yang diusulkan berbentuk saran-saran tentang tujuan kelompok, saran untuk pemecahan masalah yang dihadapi kelompok, dapat berupa prosedur – prosedur baru.

b. Pencari informasi ialah kegiatan menanyakan kejelasan dari saran-saran yang diajukan (khususnya kebenaran mengenai fakta), serta menanyakan fakta-fakta yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi kelompok.

(5)

c. Pencari pendapat ialah kegiatan yang tidak semata-semata menanyakan fakta dari suatu masalah, tapi menanyakan juga penjelasan dari nilai-nilai yang berhubungan dengan apa yang sedang dikerjakan kelompok.

d. Pemberi informasi ialah kegiatan yang memberikan fakta-fakta yang dapat dipercaya atau menghubungkan pengalaman pribadinya secara tepat pada masalah yang sedang dihadapi.

e. Pemberi pendapat ialah kegiatan, menanyakan keyakinan atau pendapatnya secara tepat tentang sebuah saran yang diberikan. Penekanannya pada usulan mengenai apa yang seharusnya menjadi pandangan kelompok tentang nilai yang tepat.

f. Pengulas ialah kegiatan yang menguraikan saran-saran yang telah di alami, yang menyajikan suatu pemikiran tentang saran-saran yang pernah diajukan sebelumnya dan mencoba mendiskusikan bagaimana suatu idea atau saran akan terwujud bila dianut kelompok.

g. Koordinator ialah kegiatan menjelaskan atau menunjukan hubungan antara pendapat dan saran-saran, atau mencoba mengkoordinir kegiatan anggota kelompok.

h. Pengarah ialah kegiatan menjelaskan posisi kelompok berdasarkan tujuannya dengan cara merangkum apa yang telah dilakukan menunjukan titik penyimpangan dari arah atau tujuan yang semula telah disetujui oleh kelompok.

i. Pengkritik dan penilai ialah kegiatan yang mengingatkan bahwa tercapainya tujan kelompok harus didasarkan dengan standart tertentu, oleh sebab itu bisa menanyakan tentang masalah kepraktisan, dari suatau saran kelompok.

j. Penggerak ialah kegiatan yang menggerakan kelompok untuk bertindak atau mengambil keputusan yang berusaha merangsang atau memberi semangat kepada kelompok.

Peranan pembentukan dan pemeliharaan kelompok, merupakan sejumlah tingkah laku yang mempengaruhi cara kerja kelompok dan yang membentuk dan memelihara suatu sikap dalam kelompok,variabel-variabel dalam peran ini yaitu:

(6)

a. Pendorong ialah kegiatan yang menyetujui dan menerima sumbangan orang lain. Sikapnya terhadap anggota lain dia menunjukan kehangatan dan solidaritas, menunjukan mengerti dan menerima pendapat serta saran kelompok.

b. Pencipta keserasian, bergurau atau memberi lelucon-lelucon.

c. Pengkompromi ialah kegiatan yang menunjukan kompromi dengan mengakui kesalahannya karena bersikap teguh ingin tetap memelihara keharmonisan atau mencoba menyesuaikan diri dengan kelompok.

d. Penjaga gawang ialah kegiatan yang mencoba agar saluran komunikasi tetap terbuka dengan cara mengajak atau mendukung partisipasi orang lain.

Penetap standar ialah kegiatan yang menetapkan standart bagi kelompok dalam usaha mencapai apa yang dikerjakan atau menerapkan pedoman-pedoman

kelompok.

Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan

Melkote (2002) membagi komunikasi menjadi dua yaitu, paradigm dominan dan paradigm alternative (Pemberdayaan). Paradigma alternative atau pemberdayaan melihat perlunya memasukan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dala konsep pembanguan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian, pendidikan dan psikologi komunitas. Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengontrol dampak dari keputusan tersebut.

Melkote dan Steves (2001) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah konsep inti dari pengorganisasian, dimana pemberdayaan adalah suatu proses individu atau organisasi memperoleh konterol dan menguasainya melalui kondisi ekonomi dan sosial.

Karateristik Individu

Muhajir (1983) melalui pendekatan ciri-ciri pribadi atau karakteristik individu, orang berasumsi bahwa keberhasilan seorang pemimpin berhubungan erat dengan dimiliki atau tidaknya pribadi tertentu seperti, intelegensia, sifat dominan, percaya diri dan sebagainya. Gibson et al (1982) berpendapat, bahwa

(7)

ciri kepribadian cenderung berhubungan erat dengan efektivitas pemimpin. Menurut Gibson et al (1982), mendefinisikan ciri-ciri pribadi sebagai kecenderungan yang dapat diduga, mengarahkan perilaku individu dengan cara yang konsisten dan khas, selanjutnya mengemukakan bahwa kepribadian adalah serangkaian ciri yang relatif mantab, kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan faktor-faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan menentukan persamaan dan perbedaan dalam perilaku.

Bettinghaus (1973) menjelaskan, dalam hubungan dengan perilaku komunikasi, ada beberapa variabel karakteristik sosial ekonomi yang berhubungan dengan perilaku komunikasi antara lain karakteristik demografi seperti: umur, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan pendapatan.

Crow dan Crow (1984) menjelaskan kepribadian adalah kesatuan organisasi, seluruh isi sifat-sifat dari seseorang individu yang dinyatakan dalam bentuk yang berbeda dengan yang lain. Gibson et al (1982), berkesimpulan bahwa terdapat hubungan ciri-ciri fisik dengan perilaku pemimpin dan terdapat pendapat yang saling bertentangan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa terdapat dua faktor pokok yang menentukan pembentukan kepribadian atau ciri-ciri pribadi seseorang, yaitu faktor keturunan dan faktor lingkungan, berupa lingkungan sosial, kebudayaan, keluarga, pendidikan dan sebagainya.

Penelitian Terdahulu tentang Karakteristik dan Perilaku Komunikasi Tokoh Masyarakat

Penelitian Khaerun (2005) yang melihat pengaruh karakteristik tokoh masyarakat terhadap perilaku komunikasi dalam penataan lembaga adat di Aceh, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hubungan antara karakteristik dengan perilaku komunikasi Tokoh Masyarakat

Perilaku Karakter Vertikal ke atas(Y1) Vertikal ke bawah (Y2) Horizontal(Y3) Kontak media(Y4) Partisipasi sosial(Y5)

Usia (X1) Nyata (-) Tidak nyata

Tidak nyata Tidak nyata

Tidak nyata Pendidikan(X2) Nyata Nyata Tidak nyata Tidak

Nyata

Tidak nyata

(8)

Luas garapan (X3)

Tidak nyata

Nyata Nyata Tidak

Nyata Tidak Nyata Pengalaman (X4) Tidak nyata

Nyata Nyata Tidak

nyata Tidak Nyata Pendapatan (X5) Tidak Nyata Tidak nyata Nyata Tidak Nyata Nyata Pengetahuan (X6) Tidak Nyata

Nyata Nyata Tidak

nyata

Nyata Sumber : Khaerun (2005)

Pada Tabel 1 dapat dilihat usia berhubungan negatif dengan perilaku komunikasi vertikal ke atas, hubungan ini mengindikasikan bahwa tokoh masyarakat pada usia kurang produktif justru memiliki kecenderungan aktivitas komunikasi vertikal ke atas yang semakin tinggi. Tokoh masyarakat yang kurang produktif lebih aktif berkomunikasi vertikal ke atas dengan harapan mendapatkan intensif dari pemerintah daerah setempat sebagai salah satu bentuk penataan lembaga adat, sedangkan tokoh masyarakat yang berusia produktif justru memiliki aktivitas komunikasi vertikal ke atas yang lebih rendah, hal ini disebabkan pada musim tanam mereka lebih banyak beraktivitas mengolah lahan yang dimiliki. Usia tidak berhubungan dengan perilaku komunikasi horizontal, kontak media dan partisipasi dikarenakan tokoh masyarakat yang berada pada usia tua lebih mementingkan mendapatkan pendapatan sehingga mempengaruhi tokoh masyarakat tersebut hanya untuk melakukan komunikasi vertikal ke atas.

Pendidikan berhubungan nyata dengan perilaku komunikasi vertikal ke atas, hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh tokoh masyarakat maka semakin aktif komunikasi vertikal ke atas yang dilakukan. Pendidikan juga berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi vertikal ke bawah, hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh tokoh maka semakin tinggi aktivitas komunikasi vertikal ke bawah, dalam hal ini dengan masyarakat petani karena tokoh dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki loyalitas yang lebih tinggi kepada masyarakat dalam hal membagi pengetahuan yang dimilikinya. Pendidikan tidak berhubungan terhadap perilaku komunikasi horizontal, karena seluruh tokoh masyarakat memiliki pendidikan dan pengalaman yang sama sehingga jarang untuk melakukan kegiatan komunikasi horizontal sesama tokoh masyarakat.

(9)

Luas garapan berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi vertikal ke bawah. Seorang tokoh dengan lahan yang lebih luas akan cenderung lebih banyak berkomunikasi secara vertikal ke bawah dengan masyarakat petani daripada tokoh dengan lahan yang sempit, hal ini dikarenakan dengan semakin luas lahan yang dimiliki, seorang tokoh cenderung memerlukan bantuan dari masyarakat petani dalam mengolah lahan yang dimilikinya. Luas lahan garapan juga berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi horizontal, semakin luasnya lahan yang dimiliki seorang tokoh maka intensitas sesama tokoh maka intensitas komunikasi sesama tokoh juga semakin tinggi, karena dengan semakin luas lahan yang dimiliki memerlukan koordinasi dengan sesama tokoh masyarakat mengenai pembagian dan pelaksanaan kegiatan penataan adat, sehingga secara tidak langsung luas lahan garapan tidak berhubungan terhadap komunikasi vertikal keatas maupun kontak media.

Pengalaman yang berkaitan dengan penataan lembaga adat berhubungan dengan perilaku komunikasi vertikal ke bawah, hal ini berarti semakin banyak pengetahuan yang berkaitan dengan penataan lembaga adat yang dimiliki seorang tokoh, maka semakin tinggi pula aktivitas komunikasi dengan masyarakat petani. Keadaan ini mengindikasikan adanya kebutuhan saling berbagi pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh masyarakat mengenai penataan lembaga adat kepada masyarakat petani dan sebaliknya. Pengalaman juga berhubungan dengan perilaku komunikasi secara horizontal, hal ini berarti semakin banyak pengetahuan yang berkaitan dengan penataan lembaga adat akan meningkatkan intensitas komunikasi secara horizontal dengan sesama tokoh masyarakat karena adanya keinginan untuk berbagi pengetahuan dan informasi dengan sesama tokoh masyarakat terutama yang berkenaan dengan pertanian dan pengairan.

Pendapatan berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi horizontal. Semakin tinggi pendapatan seorang tokoh maka semakin tinggi pula intensitas komunikasi dengan sesama tokoh masyarakat, hal ini dikarenakan seorang tokoh masyarakat akan saling berusaha berbagi informasi dan berdiskusi dengan sesama tokoh terutama dalam hal pembagian waktu pengolahan lahan pada aktivitas penataan lembaga adat. Tingginya tingkat pendapatan dari seorang tokoh maka akan meningkatkan keinginan untuk memperluas lahan sawah yang dimilikinya

(10)

dengan membeli lahan persawahan yang baru, dimana dalam pembelian lahan yang baru harus mendapatkan ijin dari tokoh masyarakat lainya, hal ini yang memunculkan intensitas komunikasi horizontal antara sesama tokoh masyarakat. Pendapatan juga berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi partisipasi sosial, semakin tinggi pendapatan tokoh maka akan semakin tinggi pula partisipasi sosial yang dilakukan kepada masyarakat, hal ini berhubungan dengan sumber daya yang dimilikinya. Seorang tokoh masyarakat yang memiliki sumber pendapatan tinggi akan cenderung memiliki sumber daya yang lebih untuk membantu terlaksananya kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan sumber dana.

Pengetahuan berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi vertikal ke bawah karena seorang tokoh dengan pengetahuan lebih tentang penataan lembaga adat cenderung memiliki loyalitas yang lebih tinggi kepada masyarakat terutama dalam membagi pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan juga berhubungan nyata dengan partisipasi sosial, semakin banyak pengetahuan yang berkaitan dengan penataan lembaga adat yang dimiliki seorang tokoh maka akan semakin tinggi pula partisipasinya di dalam masyarakat, hal ini berhubungan keinginan untuk berbagi pengetahuan dan informasi yang dimiliki untuk ikut serta menyukseskan kegiatan bersama, terutama yang berhubungan dengan kegiatan di bidang pertanian.

Seluruh karakteristik tokoh meliputi usia, pendidikan, pendapatan, luas lahan garapan, pengetahuan yang berhubungan dengan penataan lembaga adat tidak berhubungan nyata terhadap perilaku komunikasi kontak dengan media, hal ini disebabkan oleh masih kurangnya akses tokoh masyarakat terhadap media masa maupun elektronik, dimana proses penataan lembaga adat belum dipublikasikan melalui media.

Hasil penelitian Sandjaja (1990) yang bertujuan melihat hubungan karakterisitk dan gaya kepemimpinan ketua KUD dalam aktivitas komunikasi organisasi

Tabel 2 . Hubungan antara karakteristik dengan gaya komunikasi pemimpin. Aktivitas komunikasi & gaya

Karakter

Ke atas Ke bawah

Demokratis / Otoriter Demokratis / Otoriter

Umur Tidak nyata Tidak nyata

(11)

Pendidikan non formal Nyata Tidak nyata

Pekerjaan utama Nyata Nyata

Pendapatan Tidak Nyata Tidak nyata

Sifat pemimpin Tidak Nyata Tidak nyata Pengalaman memimpin Tidak Nyata Tidak nyata Sumber : Sandjaja (1990)

Pada Tabel 2 terlihat, umur dengan gaya kepemimpinan responden dalam aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan tidak menunjukan hubungan nyata. Pada umumnya umur seorang pemimpin tidak mempengaruhi gaya kepemimpinannya karena cenderung otoriter atau demokratis dapat saja dianut pemimpin berumur muda atau tua.

Pendidikan formal memperlihatkan adanya hubungan nyata antara peubah pendidikan formal dan gaya kepemimpinan ketua KUD dengan aktivitas komunikasi ke atasan, hal ini menunjukan ada pengaruh pendidikan formal pada gaya kepemimpinan seorang, semakin tinggi pendidikan seorang tambah terbuka kesempatan untuk komunikasi ke atasan, hal ini disebabkan mereka lebih sadar hak demokrasi banyak dibahas dalam ilmu pengetahuan yang mereka telah pelajari, tetapi sebaliknya pendidikan formal dan gaya kepemimpinan tidak berhubungan nyata terhadap aktivitas komunikasi ke bawahan, hal ini disebabkan sifat pemimpin yang walaupun berpendidikan formal tinggi dan demokratis tetapi bertindak sebagai pemimpin yang otoriter, sehingga dia tidak menyadari bahwa walaupun dia menghendaki kerjasama dengan bawahan, tetapi selalu mengeluarkan instruksi dan perintah satu arah.

Pendidikan non formal dan gaya kepemimpinan menunjukan hubungan nyata dengan aktivitas komunikasi ke bawahan mapun ke atasan, karena pendidikan non formal yang semuanya berhubungan dengan koperasi terutama KUD, mempengaruhi ketua KUD sehingga cenderung dengan gaya kepemimpinan yang demokratis, hal ini dimungkinkan karena adanya pendidikan non formal berupa manajemen dan administrasi perkoperasian yang banyak menekankan demokrasi dalam organisasi.

Pekerjaan utama memperlihatkan adanya hubungan nyata antara peubah pekerjaan utama dan gaya kepemimpinan dengan aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan. Kecenderungan ketua KUD yang bekerja di bidang pertanian lebih demokratis, karena situasi daerah setempat umumnya ketua KUD

(12)

di daerah tersebut bisa bekerja sama serta sering bermusyawarah dalam memecahkan bermacam-macam persoalan, hal ini lebih mendorong gaya kepemimpinan yang demokratis. Ketua KUD yang bukan petani umumnya kurang bermusyawarah, lebih banyak memutuskan sendiri permasalahan yang cenderung mendorong gaya pemimpin yang otoriter.

Pendapatan dan gaya kepemimpinan tidak berhubungan nyata terhadap aktivitas komunikasi keatasan maupun ke bawahan. Pendapatan memang bisa mempengaruhi seorang untuk dipilih menjadi pemimpin di desa, tetapi belum tentu bisa merubah gaya pemimpin dari cenderung demokratis menjadi otoriter atau sebaliknya dengan aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan.

Sifat kepemimpinan dan gaya kepemimpinan ketua KUD tidak berhubungan nyata terhadap aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan. Hubungan yang tidak nyata ini disebabkan karena gaya kepemimpinan seorang tidak terpengaruh baik memimpin satu organisasi atau lebih. Kecenderungan otoriter atau demokratis dalam aktivitas komunikasi tidak terpengaruh terhadap sifat kepemimpinan, kecuali situasi lain yang mengehendaki.

Pengalaman dan gaya kepemimpinan tidak menunjukan hubungan yang nyata terhadap aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan. Hubungan yang tidak nyata ini diduga karena pengalaman ketua KUD walaupun lama, tetapi selama masa kepemimpinan mereka tidak bertambah pendidikan formal maupun informal sehingga yang tadinya seorang ketua KUD dengan kecenderungan demokratis tetap saja cenderung demokratis dalam aktivitas komunikasinya.

Penelitian Khaerun (2005) karakteristik usia hanya berhubungan dengan aktivitas komunikasi ke atas, karena dengan melakukan aktivitas komunikasi ke atas dengan harapan mendapatkan intensif dari pemerintah daerah setempat dalam penataan lembaga adat. Hasil penelitian Sandjaja (1990) menjelaskan karakteristik usia dan gaya kepemimpinan tidak mempengaruhi perilaku komunikasi ke atasan maupun kebawahan dengan gaya kepemimpinan otoriter maupun demokratis, karena sifat otoriter maupun demokratis bisa saja di anut oleh seorang yang berumur tua dan muda. Dalam penelitian ini, peneliti juga tidak menempatkan usia sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, karena usia yang tua belum tentu bisa menciptakan perilaku

(13)

komunikasi partisipatif dimana didalamnya memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam mencari informasi dan menyebarkan informasi untuk menyelesaikan sebuah masalah dalam kelompok, begitupun sebaliknya dengan umur muda, karena dengan bertambahnya umur seorang belum tentu memiliki pengalaman dalam memimpin yang mengedepankan partisipasi kelompok untuk menggapai tujuan bersama.

Penelitian khaerun (2005) menjelaskan pendidikan mempunyai hubungan nyata dengan aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan, begitu juga dengan hasil penelitian Sandjaja (1990) menjelaskan bahwa karakteristik pendidikan dan gaya kepemimpinan berhubungan nyata dengan aktivitas komunikasi ke atas, hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin terbuka kesempatan melakukan aktivitas komunikasi ke atas dan semakin tinggi pendidikan juga akan semakin memiliki loyalitas membagi pengetahuan ke bawahan. Hasil penelitian Khaerun (2005) dan Sandjaja (1990) mengemukakan bahwa pendidikan memiliki hubungan nyata, dikarenakan respondennya memiliki tingkat pendidikan yang beragam mulai dari SLTP sampai Perguruan tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menempatkan karateristik pendidikan sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, karena reponden yang menjadi fasilitator memiliki pendidikan yang seragam yaitu fasilitator yang lulus dari perguruan tinggi strata 1, peneliti beralasan bahwa dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi seseorang sudah pernah belajar dan menyadari arti sebuah hak demokrasi dalam sebuah interaksi komunikasi.

Dalam penelitian Khaerun (2005) karakteristik pengalaman seorang tokoh memiliki hubungan nyata dengan aktivitas komunikasi ke bawah, artinya semakin banyak pengalaman seorang tokoh yang berkaitan dengan penataan lembaga adat maka akan semakin tinggi untuk melakukan komunikasi dengan petani. Pengalaman juga berhubungan dengan aktivitas komunikasi horizontal, artinya semakin banyak pengalaman maka semakin tinggi interaksi sesama tokoh masyarakat untuk berbagi pengetahuan dan informasi. Sandjaja (1990) mengemukakan karakteristik pengalaman dan gaya kepemimpinan tidak berhubungan dengan aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan, dikarenakan walaupun semakin tinggi pengalaman seorang tetapi tidak pernah

(14)

bertambah pendidikan formal maupun non formal yang berkaitan dengan perkoperasian maka yang tadinya cenderung demokratis akan terus demokratis atau sebaliknya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel karakteristik pengalaman fasilitator yang diduga akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, karena peneliti menduga, pengalaman yang dimiliki fasilitator sebelumnya dalam memimpin kelompok untuk menciptakan partisipasi, memberikan hak, dan kebebasan yang sama dalam memberi serta menyebarkan informasi dan pengalaman memimpin kelompok yang mengedepankan partisipasi akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator dalam kelompok binaan khususnya dalam program PNPM Mandiri.

Pengalaman

Pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu tertentu. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia dan perilaku ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi dikarenakan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat 2001). Pengalaman juga bisa dikatakan sebagai guru yang tidak berwujud, tokoh masyarakat atau pemimpin dalam sebuah kelompok pertanian akan lebih profesional dalam mengelola kelompoknya karena memiliki pengalaman, hal ini sejalan dengan penelitian Sulastini (1990) yang menyatakan karakteristik individu pemimpin penggerak kelompok kesejahteraan keluarga khususnya pengalaman berpengaruh nyata dalam perilaku komunikasi dalam hal memeilihara intensitas komunikasi anggota kelompok.

Hasil penelitian Khaerun (2005) karateristik pendapatan hanya mempengaruhi aktivitas komuniksi horizontal, dalam penelitian tersebut mempunyai alasan semakin tinggi pendapatan seorang akan semakin tinggi keinginan memiliki atau membeli lahan baru, dimana prosesnya melalui sesama tokoh masyarakat lain untuk bertransaksi. Hasil penelitian Sandjaja (1990) juga tidak mempunyai hubungan nyata terhadap aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan. Dalam penelitian ini, juga tidak menggunakan variabel pendapatan sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas komunikasi partisipatif, karena pendapatan bagi seluruh responden fasilitator seragam, walaupun pendapatan tinggi atau rendah yang dimiliki fasilitator tersebut tetapi tidak

(15)

mempunyai pengalaman dan pengetahuan dibidang memimpin dengan menciptakan komunikasi partisipasi dalam kelompok maka tidak akan mempengaruhi aktivitas komunikasi partisipatif dalam kelompok yang dibinanya.

Hasil penelitian Khaerun (2005) karateristik pengetahuan mempunyai hubungan nyata terhadap aktivitas komunikasi vertikal ke bawah dan horizontal, karena seseorang dengan memiliki pengetahuan lebih tentang penataan adat akan cenderung loyalitas untuk membagi pengetahuannya terhadap kelompoknya untuk mensukseskan kegiatan bersama. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel pengetahuan fasilitator yang dapat mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif, hal ini peneliti menduga bahwa seorang fasilitator yang memiliki pengetahuan sebelumnya tentang tugas dan peran serta aktivitas komunikasi dengan menciptakan partisipasi untuk mensukseskan kegiatan bersama kelompok binaan akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator dalam memimpin kelompoknya.

Hasil penelitian Sandjaja (1990) karakterisitk pendidikan non formal dan gaya kepemimpinan berhubungan nyata dengan aktivitas komunikasi ke atasan maupun ke bawahan, hal ini dikarenakan seorang pemimpin yang pernah mengikuti pelatihan mengenai manajemen koperasi akan mempengaruhi aktivitas komunikasi untuk membagi menerapkan pengalamannya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan variabel pendidikan non formal sebagai variabel yang diduga dapat mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, alasan peneliti adalah karena responden fasilitator beragam dalam hal pernah mendapatkan pelatihan-pelatihan tentang tugas-tugas fasilitator, bagaimana menciptakan partisipasi aktif bersama kelompok binaan dalam rangka mensukseskan kegiatan bersama, maka semakin banyak pelatihan yang pernah diikuti sebelumnya oleh fasilitator tentang bagaimana tugas dan peran fasilitator dalam menciptakan partisipasi kelompok binaan, maka akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipasif fasilitator dalam kelompok binaan PNPM mandiri.

(16)

Fasilitator

Prinsip dasar dari kegiatan pendampingan adalah egaliter atau kesederajatan kedudukan, dengan demikian hubungan yang terjalin antara fasilitator sebagai pemimpin dalam komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pendampingan komunitas adalah proses saling hubungan dalam bentuk ikatan pertemanan atau perkawanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan secara bersama-sama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas yang meminggirkan dan melakukan aksi untuk merombaknya.

Fasilitator sebagai komunikator dan pemimpin dalam kelompok binaannya, harus memiliki kemampuan yang baik, mampu mengkomunikasikan dan menterjemahkan pesan-pesan pembangunan yang menjadi target utama serta mengetahui peran dan tugasnya dalam memimpin kelompoknya. Fasilitator dituntut untuk dapat merumuskan perasaan, pemikiran, kecemasan dan harapan kelompoknya.

Ife (1995) menjelaskan seorang fasilitator sebagi seorang pemimpin dalam pengembangan kelompok masyarakat memiliki peran, salah satunya yaitu:

1. Peran Fasilitatif

Dalam proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat, dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi dan motivasi sehingga mampu bertindak, (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar dan mampu bernegosiasi, (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas, (d) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas

Pengertian Partisipasi

Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka berkontribusi kepada tujuan dan berbagi tanggung jawab bagi pencapaian tujuan itu (Davis et all 1989).

(17)

Menurut Bryant dan White (Ndraha 1990:102) membagi partisipasi atas dua macam yaitu: (1) partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, dinamakan partisipasi horizontal, (2) partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dan atasan, antara klien dan patron atau antara masyarakat dengan pemerintah, diberi nama partisipasi vertikal. Pada sisi lain, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik seperti pemberian suara dalam pemilihan, kampanye dan sebagainya, dikenal sebagai partisipasi dalam proses politik. Keterlibatan dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, disebut partisipasi dalam proses administratif.

Menurut Asngari (2003) makna partisipasi terdiri dari enam tipe yaitu: (1) partisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) partisipasi dalam pengawasan, (3) partisipasi mendapatkan manfaat dan penghargaan, (4) partisipasi sebagai proses pemberdayaan (empowerment), (5) partisipasi bermakna kerja kemitraan (partnership).

Menurut Asngari (2008), berdasarkan area-area pembangunan maka partisipasi dapat dikelompokkan dalam dua pilahan yaitu: (1) partisipasi sebagai suatu alat, dimaksudkan untuk menciptakan teknik atau metoda untuk mengiplemantasikan partisipasi dalam praktek pembangunan, (2) partisipasi sebagai tujuan, dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat sesuai kemampuan mereka, untuk secara bersama mengambil bagian atas pembangunan mereka sendiri.

Partisipasi masyarakat sering diberi makna sebagai keterlibatan seorang secara sukarela tanpa tekanan yang jauh dari pemerintah. Terdapat faktor yang mendorong kerelaan seorang untuk terlibat, yaitu bisa karena kepentingan bersama karena mempunyai tujuan yang sama dan karena ingin melakukan perubahan bersama walaupun tujuan berbeda. Syarat berpartisipasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu adanya kesempatan, adanya kemampuan, dan kemauan untuk berpartisipasi (Slamet 2003).

Uphoff (1979) menjelaskan partisipasi dibagi menjadi empat jenis, yaitu dimulai dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan keputusan, partisipasi dalam pencapaian hasil serta partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam mengambil keputusan adalah partisipasi dengan memberikan

(18)

kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya untuk menilai sesuatu perencanaan kegiatan, dimana masyarakat diberi kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil. Partisipasi dalam penerapan keputusan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan perencanaan yang telah disepakati bersama. Partisipasi dalam pencapaian hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Partsipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi kegiatan pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dalam memelihara hasil pembangunan.

PNPM-Mandiri Perkotaan

PNPM Mandiri pada hekekatnya adalah gerakan dan program nasional yang dituangkan dalam kerangka kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bertujuan menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, untuk menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan yang dihadapinya dengan baik dan benar. PNPM Mandiri membutuhkan harmonisasi kebijakan yang berbasis pemberdayaan masyarakat melalui perbaikan pemilihan sasaran baik wilayah maupun masyarakat penerima manfaat, prinsip dasar, strategi, pendekatan, indikator, serta berbagai mekanisme dan prosedur yang diperlukan untuk mengefektifkan penanggulangan kemiskinan dan mempercepat tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mulai tahun 2007 pemerintah mencanangkan PNPM mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri perdesaan (PNPM MPd), PNPM Mandiri perkotaan (PNPM MPk), serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal.

Program penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini sangat stratergis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa lembaga kepimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal sosial masyarakat

(19)

di masa mendatang. Lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representatif dan dipercaya tersebut (secara generik disebut badan keswadayaan masyarakat atau disingkat BKM) dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal sosial.

Tiap BKM bersama masyarakat telah menyusun perencanaan jangka menengah program penaggulangan kemiskinan (yang kemudian lebih dikenal sebagai PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menaggulangi kemiskinan kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitasi pemerintah dan prakarsa masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjamin kemitraan dengan berbagi instansi pemerintah dan kelompok. Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksaan P2KP- 3 saat ini telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota / kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat.

Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, oleh sebab itu mulai tahun tersebut PNPM Mandiri P2KP diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapian sasaran Millenium Development Goal (MDGs) sehingga tercapai pengurangan penduduk miskin sebesar 50 % di tahun 2015. Tahun 2008 secara penuh P2KP menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri perkotaan (PNPM Mandiri perkotaan).

Sasaran PNPM Mandiri Perkotaan

Sasaran PNPM Mandiri perkotaan ialah (1) terbangunnya lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang dipercaya, aspiratif, representatif dan akuntible untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat, (2) tersedianya perencanaan jangka menengah (PJM) Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan sesuainya dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam rangka pengembangan lingkungan pemukiman

(20)

yang sehat, serasi berjati diri dan berkelanjutan, (3) terbangun forum LKM tingkat kecamatan dan kota / kabupaten.(4) terwujudnya kontribusi pendanaan dari pemerintah kota / kabupaten dalam PNPM Mandiri perkotaan sesuai dengan kapasitas fiscal daerah.

Strategi Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan

Secara umum PNPM Mandiri Perkotaan mengadopsi strategi dasar dan strategi operasional yang telah ditetapkan dalam pedoman umum PNPM Mandiri. Sedangkan strategi khusus yang digunakan ialah.

1. Mengembangkan lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representative dan dipercaya di mana anggotanya dipilih secara langsung, bebas dan rahasia, tanpa kampanye dan pencalonan oleh penduduk dewasa. Lembaga kepemimpinan ini berfungsi sebagai majelis amanah yang akan memimpin masyarakat dalam melakukan tindakan kolektif penaggulangan kemiskinan yang disebut LKM.

2. Mengembangkan program pembangunan jangka menengah dan rencana tahunan dalam rangka penaggulangan kemiskinan sebagai media dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak yang peduli dengan penanggulangan kemiskinan.

3. Aktif berpartisipasi dalam musrenbang kelurahan dan kecamatan untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis ke dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)

4. Peningkatan kapasitas pemerintah untuk mampu bersinergi dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan setempat dalam penaggulangan kemiskinan.

Organisasi Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan

Di tingkat Kota/Kabupaten dikoordinasikan langsung oleh Walikota/Bupati setempat melalui Bapeda Kota/Kabupaten dengan menunjuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PNPM (TKPP). Pemkot/Kab dibantu oleh Satker Kota / Kabupaten yang diangkat Menteri PU atas usulan Bupati / Walokota. TKPKD kota / kabupaten dalam PNPM Mandiri Perkotaan berperan mengkoordinasikan TKPP dari berbagai program penanggulangan kemiskinan.Dalam Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan ditingkat Kota / Kabupaten akan dilakukan oleh

(21)

Koordinator kota (Korkot), yang dibantu beberapa asisiten Korkot di bidang manajemen keuangan, teknik/infrastruktur, management data dan penataan ruang.

(22)

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Kerangka Pemikiran

Perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh sesuatu informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan kepada pihak manapun yang memerlukannya (Gould dan kolb 1964). Roger (1993) perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau sekelompok di dalam menerima dan menyampaikan informasi yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, dan keaktifan mencari informasi.

Komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah bersama (Bordenave 1972 diacu dalam White 1995). Bordenave (1972) memberikan konsep dialog yang merupakan sebuah interaksi yang saling menghargai dan menghormati. Tufte (2009) menyatakan salah satu konsep dari komunikasi partisipatif ialah dialog didalam kelompok atau sesama partisipan komunikasi, yang di dalamnya saling mengungkapkan pesan-pesan dengan prinsip refleksi – aksi. Refleksi aksi dalam penelitian ini, ialah yang dimunculkan dalam interaksi bersama untuk mengenal kondisi sosial dan lingkungannya, serta dapat mengidentifikasi faktor – faktor penyebab kemiskinan.

Berdasarksn teori perilaku komunikasi dan komunikasi partisipatif, membangun sebuah sintesa dalam kerangka pemikiran tentang perilaku komunikasi partisipatif. Pengertian perilaku komunikasi partisipatif ialah sebuah perilaku interaksi komunikasi yang memberikan akses dan hak yang sama kepada kelompok interaksi dengan menciptakan rasa saling menghargai, menghormati serta berdasarkan prinsip refleksi – aksi untuk memberikan pandangan, perasaan, keinginan menyebarkan dan mencari informasi dalam menyelesaikan sebuah masalah bersama dalam bentuk dialog.

Fasilitator dalam kelompok binaan berperan menciptakan hubungan interaksi di dalam dialog yang setara dengan kelompok untuk mensukseskan tujuan bersama. Fasilitator sebagai pemimpin juga harus mampu merumuskan pemikiran, perasaan, dan harapan yang sama terhadap kelompok binaannya sebagai dasar mensukseskan tujuan bersama kelompok. Rasa saling menghargai

(23)

dan menghormati tercipta jika di dalam dialog tersebut terdapat peran fungsional yang dijalankan untuk memelihara dan membina kelompok (Benne dan Sheat 1947 diacu dalam Goldberg dan Larson 1996). Peran tersebut yaitu : (1) pendorong, 2) pencipta kerasian, (3) pengkompromi.

Dialog juga bertujuan menyelesaikan permasalahan besama, yaitu menitikberatkan kepada tugas – tugas kelompok, hal ini dapat terlihat dari peran fungsional tugas kelompok. Peran tersebut berupa (1) penyumbang, (2) pencari informasi, (3) pencari pendapat, (4) pemberi informasi, (5) pemberi pendapat, (6) pengarah, (7) penilai, (8) penggerak ( Goldberg dan larson,1996).

Dengan mengetahui apa arti perilaku komunikasi, komunikasi partisipatif, pemimpin dalam hal ini fasilitator serta peran fasilitator dalam meningkatkan dan menciptakan partisipasi aktif kelompok binaan, maka dibatasi variabel perilaku komunikasi partisipatif fasilitator yaitu : a) pemberian akses kepada kelompok masyarakat miskin, b) dialog pemeliharaan kelompok c) dialog penyelesaian tugas kelompok, d) refleksi aksi. Hal ini dikarenakan fasilitator merupakan komunikator sebagai saluran komunikasi yang dimiliki pemerintah sebagai penghubung dan pemimpin terhadap masyarakat atau kelompok binaan.

Peranan kepemimpinan sangat penting dalam usaha mencapai tujuan suatu organisasinya atau terhadap yang dipimpinnya. Kartono (2001) menjelaskan dalam teori kepemimpinan yaitu, seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat untuk mengetahui tugas-tugas pokok dan fungsi, serta etika profesi yang diperlukan di kelompoknya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ife (1995) berpendapat, bahwa fasilitator sebagai pemimpin dalam kelompok binaannya harus memiliki peran sebagai fasilitatif.

Menurut Gibson et al (1982) mendefinisikan cirri-ciri pribadi sebagai kecenderungan yang dapat diduga, mengarahkan perilaku individu, dalam hal ini ialah fasilitator dengan cara yang konsisten, selanjutnya mengemukakan bahwa kepribadian adalah serangkaian ciri yang relatif mantap, kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan faktor – faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan menentukan persamaan dan perbedaan dalam perilaku. Bettinghaus (1973) mengatakan dalam hubungan dengan perilaku komunikasi, ada beberapa variabel karakteristik sosial ekonomi yang berhubungan

(24)

dengan perilaku komunikasi antara lain karakteristik sosial ekonomi yang berhubungan dengan perilaku komunikasi antara lain karakterisitk demographi seperti : umur, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan pendapatan.

Penelitian ini, hanya membatasi variabel karakterisitik fasilitator dengan (a) pengetahuan teknis dan nonteknis fasilitator, (b) pengalaman menjadi fasilitator, (c) pendidikan nonformal. Variabel pengetahuan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif dibangun berdasarkan asumsi, yaitu seorang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang tugas dan peran, serta aktivitas komunikasi binaan akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif fasilitator dalam memimpin kelompoknya. Artinya dalam tindakan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator yang menciptakan hak demokrasi dan memberikan kebebasan, hak serta akses yang sama dengan kelompok untuk menyelesaikan sebuah masalah bersama, dipengaruhi seberapa tinggi pengetahuan yang dimiliki fasilitator, maka mereka akan mengerti dan terbuka untuk memberikan hak demokrasi dan memberikan hak serta akses yang sama dalam menyelesaikan sebuah masalah kelompoknya.

Variabel pengalaman mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif. Hal ini berdasarkan teori, yaitu pengalaman merupakan salah satu kepemilikan pengetahuan yang dialami dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Rakhmat (2001) menjelaskan secara psikologi seluruh pemikiran manusia dan perilaku ditentukan oleh pengalaman indera.

Dalam penelitian ini, pengalaman sebagai seorang fasilitator atau memimpin dalam melakukan kegiatan komunikasi menciptakan partisipasi sebagai wujud demokrasi dengan memberikan hak, kebebasan yang sama sebelumnya berpengaruh terhadap perilaku komunikasi partisipatif. Hal ini karena semakin banyak pengalaman dan semakin lama seorang menjabat sebagai pemimpin, maka semakin banyak pemahaman dan modal dasar melakukan kegiatan komunikasi dalam menciptakan hak, kebebasan dan akses yang sama dengan kelompok binaan untuk menyelesaikan masalah pada program PNPM selanjutnya.

Pendidikan nonformal melalui pelatihan yang pernah diikuti fasilitator, variabel ini digunakan dengan asumsi yaitu semakin banyak pelatihan yang

(25)

pernah diikuti sebelumnya oleh fasilitator tentang bagaimana tugas dan fungsi fasilitator dalam menciptakan partisipasi kelompok binaan, maka akan mempengaruhi perilaku komunikasi partisipatif dalam kelompok binaan PNPM Perkotaan.

Oleh karena itu, dapat dikemukakan kerangka konseptual penelitian seperti di gambar 1, berikut :

Peubah Bebas

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator

Karakteristik Fasilitator (X1) 1.Pengalaman (X1.1) 2.Pengetahuan Non Teknis faskel(X 1.2) 3.Pengetahuan teknis faskel (X1.3) 4. Pendidikan non formal / pendidikan das ar (X 1.3) 5. Pendidikan non formal / pendidikan Perilaku Komunikasi partisipatif Fasilitator (Y1) 1 Pemberian akses (Y 1.1) 2 Dialog (Y 1.2) 3.Refleksi – aksi (Y 1.3) Peran fasilitator binaan (X2) 1.Peran fasilitif Variabel Bebas Variabel Terikat

(26)

Hipotesis

Hipotesis yang mungkin dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Hipotesis pertama

H

:

1: Terdapat hubungan antara karakteristik fasilitator dengan perilaku komunikasi

partisipatif fasilitator Hipotesis Kedua H

:

2: Terdapat hubungan antara peran fasilitator dengan perilaku komunikasi

Gambar

Tabel 1.  Hubungan antara karakteristik dengan perilaku komunikasi Tokoh Masyarakat
Tabel 2 .  Hubungan antara karakteristik dengan gaya komunikasi pemimpin.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian,Faktor-faktor Yang Mempengaruhi  Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum, penelitian ini memperlihatkan proses komunikasi partisipatif melalui media fotografi dokumenter dijalankan oleh masyarakat yang juga berperan dalam kegiatan

Perbedaan : Komunikasi Antar pribadi dalam penelitian peneliti hanya di gunakan untuk membantu dalam memaparkan tujuan peneliti, berbeda dengan penelitian terdahulu

dari data penelitian terdahulu yang peneliti kumpulkan tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel laten dapat mempengaruhi variabel lainnya menjadi positif dan

Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah variabel bebas yaitu pelayanan prima, komunikasi, dan pengetahuan produk bank syariah mempengaruhi variabel terikat yaitu kinerja

Dari fenomena diatas, maka peneliti bermaksud untuk mengadakan penelitian dilapangan untuk menguji variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja.Berdasarkan

Dalam penelitian ini untuk mengetahui yang mempengaruhi konsumen dalam mengkonsumsi produk maka peneliti menggunakan variabel kesadaran halal, Islamic branding, dan

Dalam komunikasi organisasi terdapat komunikasi internal dan eksternal. Dalam batasan penelitian ini, peneliti menggunakan komunikasi internal. Komunikasi Internal

Jadi disini ada variabel independent variabel yang mempengaruhi dan dependent variabel yang dipengaruhi, artinya peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh kepemimpinan,