• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU, KELUARGA, DAN LINGKUNGAN DENGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA REMAJA YANG BERSEKOLAH DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU, KELUARGA, DAN LINGKUNGAN DENGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA REMAJA YANG BERSEKOLAH DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2011"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU, KELUARGA, DAN LINGKUNGAN

DENGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA PADA REMAJA YANG

BERSEKOLAH DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2011

Nabilla Sophiarany, Helda

Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia

Email: bella.sophiarany@live.com

Abstrak

Penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2012 sehingga menimbulkan berbagai masalah kesehatan, kriminalitas, maupun sosial. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara faktor individu, keluarga, dan lingkungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja yang bersekolah di tiga provinsi di Indonesia pada tahun 2011. Penelitian menggunakan desain studi

cross sectional dengan data sekunder Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkoba pada Kelompok Pelajar/Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011. Sampel berjumlah 5999 responden, yang merupakan remaja yang bersekolah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara yang berusia 10-24 tahun. Hasil penelitian ini adalah ditemukannya faktor individu yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja, yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, status merokok, status minum alkohol, dan usia pertama minum alkohol; faktor keluarga, yaitu pekerjaan ayah, ayah melakukan penyalah guna NAPZA, dan saudara kandung penyalah guna NAPZA; faktor lingkungan lokal, yaitu teman sebaya penyalah guna NAPZA dan ketersediaan NAPZA.

Kata kunci: individu; keluarga; lingkungan; NAPZA; narkoba; Penyalahgunaan; remaja

THE RELATIONSHIP BETWEEN INDIVIDUAL, FAMILY, AND

ENVIRONMENT FACTORS WITH DRUG ABUSE AMONG SCHOOL

ADOLESCENTS IN THREE PROVINCES OF INDONESIA IN 2011

Abstract

The increase of drug abuse among adolescents keeps getting higher from 2010 to 2011, thus creating many health, crime, and social issues. This research aims to see the relationship between individual, family, and environment factors with the drug abuse behaviors among school adolescents in three provinces of Indonesia in the year 2011. This research uses cross-sectional design with secondary data from Survei Nasional

Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar/Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011. The sample amounts to 5999 respondents with the status of school adolescents in DKI

Jakarta, East Java, and North Sumatra, ranging from 10-24 years of age. The result of this research is to find individual factors that associate with the drug abuse behaviors among adolescents, which are age, gender, education, cigarettes consumptions, alcohol consumptions, and the first age of alcohol consumptions; family factors, which are occupation of father, father’s drug abuse, and siblings’s drug abuse; local environment factors, which is peers’s drug abuse and the availability of drugs.

(2)

Pendahuluan

Penyalahgunaan NAPZA menduduki urutan ke-20 dunia sebagai penyebab angka kematian dan menduduki urutan ke-10 di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (BNN, 2013). Data dunia memperkirakan 153-300 juta jiwa atau sebesar 3,4%-6,6% penyalah guna narkoba berusia 15-64 tahun pernah mengonsumsi narkoba sekali dalam setahun (BNN, 2013). Perkembangan penggunan NAPZA di Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan yang cukup serius. BNN mencatat pada tahun 2008 jumlah penyalah guna NAPZA mencapai 3,2 juta jiwa atau 2% dari total populasi dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 3,8 juta jiwa atau 2,21% (BNN, 2013).

Berdasarkan data BNN, pada tahun 2010 Jawa Timur menempati urutan pertama untuk jumlah kasus NAPZA terbesar secara nasional, yaitu sejumlah 5.637 jiwa (21%) diikuti oleh DKI Jakarta sejumlah 5.315 jiwa (20%). Untuk wilayah pulau Sumatera, Sumatera Utara adalah provinsi dengan jumlah kasus NAPZA terbesar pada tahun 2010, yaitu sebesar 2.766 jiwa (10,4%). Provinsi Sumatera Utara juga menduduki urutan kasus narkoba terbesar keempat secara nasional pada tahun yang sama (BNN, 2013).

Kondisi yang sangat memprihatinkan dari semakin tingginya penyalahgunaan NAPZA di Indonesia yakni dari total penyalah guna narkotika dan obat-obatan terlarang sebagian di antaranya adalah kaum muda dengan usia 20-34 di mana lebih 900.000 di antaranya merupakan pelajar dan mahasiswa (Firmanzah, 2011). Berdasarkan data BNN (2013), jumlah penyalah guna NAPZA pada kelompok umur remaja (<25 tahun) di Indonesia terus mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2010, jumlah penyalah guna NAPZA kelompok remaja sebesar 994 jiwa (3,8%), tahun 2011 dan 2012 meningkat menjadi 1.439 jiwa (5,4%) dan 3.684 jiwa (13,9%).

Remaja merupakan kelompok umur yang sangat rentan untuk melakukan penyalahgunaan NAPZA dibuktikan dengan Penelitian Guo et al. (2002) yang menunjukkan bahwa 7,3% perokok pada remaja termasuk dalam kategori experimenters (coba-coba). Penelitian lain dari Fryar et al. (2009) menunjukkan bahwa 13% remaja berusia 12-17 tahun mencoba-coba ganja pada usia 15 tahun, dan 21% dari remaja yang mencoba-coba ganja melakukannya sebelum usia 13 tahun dan 63% sebelum usia 15 tahun. Selain itu, sebagian besar penyalah guna NAPZA suntik di dunia melaporkan bahwa mereka memulai penggunaan NAPZA suntik juga pada masa remaja (Barret, Hunt, dan Stoicescu, 2013).

(3)

Spooner, Hall, dan Lynskey (2001) menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja, yaitu 1) faktor individu, seperti kepercayaan diri yang rendah; 2) faktor keluarga, seperti orang tua penyalahguna NAPZA; 3) faktor lingkungan lokal, seperti teman sebaya dan lingkungan sekolah; 4) faktor lingkungan makro, seperti hukum dan norma yang lunak tentang penggunaan alkohol dan NAPZA. Dengan demikian, masa remaja adalah periode yang sangat penting dan merupakan awal mula terjadinya ketergantungan pada NAPZA sehingga perlu adanya kewaspadaan terhadap kemungkinan bertambahnya remaja yang mengalami adiksi terhadap NAPZA di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hubungan faktor individu, keluarga, dan lingkungan lokal dengan penyalahgunaan NAPZA pada remaja yang bersekolah di tiga provinsi di Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, di mana terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas, dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif (Rohan dan Siyoto, 2013). Menurut WHO (2013), remaja (adolescent) adalah seseorang yang berusia 10 sampai 19 tahun. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Kusmiran (2012), kaum muda (youth) merupakan mereka yang berusia 15-24 tahun. Definisi ini kemudian di satukan dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun (Kusmiran, 2012).

Narkoba adalah singkatan dari narkotika, psikotroika, dan bahan adiktif lainnya. Narkoba adalah istilah yang digunakan oleh penegak hukum dan sudah disosialisasikan pada masyarakat. NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, bahan adiktif lainnya. NAPZA adalah istilah yang biasa digunakan dalam kedokteran atau kesehatan. Dalam hal ini yang ditekankan adalah pengaruh ketergantungannya (BNN, 2007).

NAPZA adalah obat, bahan, atau zat dan bukan tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan, berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat), dan sering menyebabkan ketergantungan. Akibatnya kerja otak berubah (meningkat atau menurun); demikian pula fungsi vital organ tubuh lain (jantung, peredaran darah, pernafasan, dan lain-lain) (BNN, 2007).

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan obat atau zat-zat berbahaya di luar tujuan medis dan tanpa pengawasan dokter, digunakan secara berkala atau terus menerus, serta digunakan tanpa mengikuti dosis atau aturan yang benar (Kusmiran, 2012).

(4)

Penyalahgunaan NAPZA menurut Kemensos (2012) adalah pemakaian narkotika psikotropika, dan zat adiktif lainnyadengan maksud bukan untuk pengobatan dan/atau penelitian serta digunakan tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (UU nomor 35 tahun 2009). Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (UU nomor 35 tahun 2009).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyalahgunaan NAPZA pada remaja yang telah dirangkum dari beberapa penelitian (Spooner, Hall, dan Lynskey, 2001), yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor lingkungan lokal/sekolah, dan faktor lingkungan makro. Faktor individu adalah faktor yang berhubungan dan memberikan efek hanya kepada individu. Faktor keluarga merupakan faktor yang melibatkan dan memengaruhi saudara kandung maupun keluarga lainnya. Faktor lingkungan lokal merupakan faktor yang melibatkan dan memengaruhi orang lain pada komunitas lokal. Faktor lingkungan makro merupakan faktor yang melibatkan dan memengaruhi komunitas yang lebih besar.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis data sekunder dari Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar/Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011. Metode pengambilan sampel pada Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar/Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011 menggunakan teknik multistage sampling. Penarikan sampel dilakukan secara bertahap: 1) penentuan 16 provinsi dari 33 provinsi menurut sebaran keterwakilan area gegrafis; 2) menentukan lokasi survei di setiap provinsi, yaitu ibu kota provinsi untuk mewakili wilayah urban dan satu kabupaten untuk mewakili daerah rural); 3) memilih secara acak sejumah sekolah dan PT di lokasi yang terpilih; 4) mengikutkan semua pelajar/mahasiswa di kelas terpilih sebagai responden.

Desain studi ini menggunakan pendekatan studi cross sectional. Studi cross sectional adalah studi di mana variabel independen dan variabel dependen ditemukan dan diukur dalam waktu bersamaan. Variabel dependen pada penelitian ini adalah perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja di tiga provinsi tersebut, di mana perilaku penyalahgunaan adalah penggunaan minimal salah satu jenis NAPZA pada waktu sebulan terakhir dari waktu survei.

(5)

Vaariabel independen pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status merokok, usia pertama merokok, status minum alkohol, usia pertama minum alkohol, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, status pernikahan orang tua, ayah penyalah guna NAPZA, ibu penyalah guna NAPZA, saudara kandung penyalah guna NAPZA, teman sebaya penyalah guna NAPZA, kegiatan ekstrakurikuler, dan ketersediaan NAPZA.

Tingkat pendidikan dibagi menjadi SMP, SMA, dan PT. Status merokok adalah kegiatan merokok dalam waktu sebulan terakhir, terbagi menjadi “ya” dan “tidak”. Usia pertama merokok dikelompokkan menjadi dua berdasarkan mean, yaitu 7-13 tahun dan 14-22 tahun. Status minum alkohol adalah kegiatan mengonsumsi miras atau minumal beralkohol yang pernah dilakukan oleh responden, dan dikategorikan menjadi “ya” dan “tidak”. Usia pertama minum alkohol dikelompokkan berdasarkan mean, yaitu 10-15 tahun dan 16-25 tahun. Variabel ayah, ibu, saudara kandung, dan teman sebaya penyalah guna NAPZA dikelompokkan berdasarkan pengakuan remaja yang mengetahui ada tidaknya penyalahgunaan NAPZA pada ayah, ibu, saudara kandung, dan teman sebaya mereka. Kegiatan ekstrakurikuler dibagi menjadi ada apabila remaja memiliki minimal satu kegiatan ekstrakurikuler dan tidak ada apabila tidak punya sama sekali. Tingkat pendidikan ayah dan ibu dikelompokkan menjadi tingkat pendidikan rendah, yaitu tidak sekolah, SD, SMP, dan SMA, serta tingkat pendidikan tinggi, yaitu PT. Pekerjaan ayah dan ibu dikelompokkan menjadi bekerja dan tidak bekerja. Variabel ketersediaan NAPZA dikelompokkan berdasarkan pengakuan remaja tentang peredaran NAPZA di lingkungan tempat tinggal mereka, menjadi ya tersedia dan tidak tersedia.

Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh pelajar SMP, SMA, dan PT di Provinsi Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara pada tahun 2011 dengan total 7323 responden. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh remaja yang bersekolah di SMP, SMA, dan PT di provinsi Sumatera Utara (Medan dan kabupaten Labuhan Batu), DKI Jakarta (Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan), dan Jawa Timur (Surabaya dan Kabupaten Kediri) yang sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pelajar/mahasiswa yang berumur 10-24 tahun dan ber sekolah di SMP, SMA, atau PT di tiga provinsi tersebut pada saat survei ini dilakukan. Jumlah responden yang masuk ke dalam kriteria inklusi sebesar 7265 orang. Kriteria ekslusi dari penelitian ini adalah responden yang tidak menjawab pertanyaan nomor 44 tentang penyalahgunaan NAPZA selama sebulan terakhir. Jumlah responden setelah melewati kriteria ekslusi adalah 6887 responden. Jumlah responden yang menjawab lengkap

(6)

pada variabel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 5999 responden. Sampel pada penelitian ini berjumlah 5999 responden. Besar sampel minimal yang dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis dua proporsi adalah 1394 responden, sehingga jumlah sampel pada penelitian ini melebih jumlah sampel minimal.

Pengolahan data dilakukan setelah mendapatkan data. Pengolahan data mencakup tahapan:

1. Mempelajari variabel yang telah dipilih melalui kuisioner, lalu mengeksplorasi data sesuai tujuan penelitian.

2. Melakukan cleaning data terhadap data yang missing.

3. Me-recode ulang pada variabel-variabel terpilih sesuai dengan definisi operasional. 4. Melakukan komposit data dari beberapa variabel agar sesuai dengan definisi

operasional yang diharapkan.

5. Melakukan analisis berdasarkan tujuan penelitian.

Analisis data dilakukan menggunakan software statistik. Analisis univariat bertujuan untuk menghasilkan distribusi dan frekuensi sehingga dapat mengetahui proporsi dari masing-masing variabel, baik variabel independen maupun dependen. Analisis bivariat menggunakan

chi square dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel independen dan

dependen. Melalui analisis bivariat juga dapat dihasilkan risiko kasar dari setiap faktor yang dianalisis terhadap variabel dependen. Analisis yang dilakukan adalah analisis tanpa pembobotan

Hasil

Hasil analisis mengenai karateristik penyalah guna NAPZA pada remaja (Tabel 1), diketahui terdapat sebesar 3,7% (224 orang) responden yang menyalahgunakan NAPZA. Dari 224 responden yang menyalahunakan NAPZA, diketahui bahwa proporsi terbesar berasal dari provinsi DKI Jakarta, yaitu 55,4% (124 orang) dan berasal dari wilayah urban, yaitu 70,5% (158 orang).

(7)

Tabel 1 Gambaran Karakteristik Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja di Tiga Provinsi di Indonesia

Berdasarkan tabel 2, diketahui karateristik pola penyalahgunaan NAPZA berdasarkan kelompok umur, dimana pada kelompok umur 8-12 tahun, paling banyak responden menggunakan napza jenis inhalan 34,2% dan paling sedikit menggunakan napza jenis benzodiazepin sebesar 2,6%. Berbeda pada kelompok umur 13-15 tahun, napza jenis ganja paling banyak digunakan sebesar 52,4% dan napza jenis ekstasi yang paling sedikit digunakan, yaitu sebesar 5,8%. Pola yang sama ditunjukkan pada kelompok umur 16-18 tahun. Napza jenis ganja paling banyak digunakan, yaitu sebesar 70,7% dan napza jenis dekstromethorpan yang menjadi pilihan paling sedikit yaitu 4,0%. Sedangkan pada kelompok umur 19-23 tahun napza yang paling banyak digunakan yaitu ganja sebesar 54,2% dan napza jenis inhalan yang menjadi pilihan paling sedikit yaitu sebesar 2,1 %.

Tabel 1 Gambaran NAPZA yang Pertama Kali di Salahgunakan Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur Ganja (%) Benzodiazepine (%) Inhalan (%) Dekstromethorpan (%) Ekstasi (%) 8-12 tahun 12 (31,6) 1 (2,6) 13 (34,2) 10 (26,3) 2 (5,3) 13-15 tahun 54 (52,4) 22 (21,4) 8 (7,8) 13 (12,6) 6 (5,8) 16-18 tahun 53 (70,7) 7 (9,3) 5 (6,7) 3 (4,0) 7 (9,3) 19-23 tahun 26 (54,2) 11 (22,9) 1 (2,1) 3 (6,3) 7 (14,6)

Variabel Frekuensi Persentase

Penyalah guna NAPZA pada Remaja Ya Tidak 224 5.775 3,7 96,3 Asal Provinsi DKI Jakarta Jawa Timur Sumatera Utara 124 53 47 55,4 23,7 21,0 Asal Wilayah Urban Rural 158 66 70,5 29,5

(8)

Gambar 1 Gambaran Cara Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja di Tiga Provinsi di Indonesia Tahun 2011

Dari gambar 1 terlihat dari 224 responden yang menyalahgunakan NAPZA, diketahui bahwa proporsi terbesar menggunakan NAPZA dengan cara menghisap seperti rokok, yaitu sebesar 77,7% (174 orang). Sedangkan paling sedikit mereka menggunakan cara memasukkan NAPZA dengan disuntikkan yaitu sekitar 4,5% (10 orang).

77,7 27,7 8,5 6,3 41,5 19,6 4,5 14,3

Dihisap Dihirup Ditempel  di

langit  mulut GoresanLuka Ditelan Dimakan  dgmakanan Disuntikkan Lainnya

Gambaran  Cara  Penggunaan  NAPZA  pada  Remaja  di  3  

Provinsi  di  Indonesia  Tahun  2011

Persentase

(9)

Tabel 3 Hubungan Faktor Individu dengan Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja Faktor Individu Penyalahgunaan NAPZA PR (95%CI) P-Value

Ya % Tidak % Usia 17-24 tahun 12-16 tahun 105 119 4,5 3,3 2.248 3.527 95,5 96,7 1.4 (1,1-1,8) 1 0,02 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 156 68 5,8 2,1 2.528 3.247 94,2 97,9 2,8 (2,14-3,75) 1 0,0001 Pendidikan SMP SMA PT 89 87 48 3,5 3,4 5,6 2.488 2.472 815 96,5 96,6 94,4 0,6 (0,4-0,9) 0,6 (0,4-0,9) 1 0,009 Status Merokok Ya Tidak 149 75 15,4 1,5 816 4.959 84,6 98,5 10,4 (7,9-13,6) 1 0,0001

Usia Pertama Merokok 7-13 tahun 14-22 tahun 101 73 10,5 8,9 863 747 89,5 91,1 1,2 (0,9-1,6) 1 0,300

Status Minum Alkohol Ya Tidak 148 76 19,0 1,5 632 5.143 81,0 98,5 13 (10-17) 1 0,0001 Usia Pertama Minum

Alkohol 10-15 tahun 16-25 tahun 96 50 21,5 15,4 350 275 78,5 84,6 1,4 (1,02-1,9) 1 0,04

Dari tabel di atas (tabel 3), terlihat bahwa faktor individu yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah usia (p= 0,02) dengan PR 1,4 (95% CI:

1,1-1,8) pada remaja berumur 17-24 tahun; jenis kelamin (p= 0,0001) dengan PR 2,8 (95% CI: 2,14-3,75) pada remaja laki-laki; tingkat pendidikan (p= 0,009) dengan PR 0,6 (95% CI: 0,4-0,9) pada tingkat pendidikan SMP dan SMA; status merokok (p= 0,0001) dengan PR 10,4 (95% CI: 7,9-13,6) pada remaja yan berstatus perokok; status minum alkohol (p= 0,0001) dengan PR 13 (95% CI: 10-17) pada remaja yang mengonsumsi alkohol; dan usia pertama minum alkohol (p= 0,04) dengan PR 1,4 (CI 95%: 1,02-1,9) pada remaja yang minum alkohol pertama kali pada usia 10-15 tahun.

(10)

Tabel 4 Hubungan Faktor Keluarga dengan Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja

Faktor Keluarga Penyalahgunaan NAPZA PR (95%CI) P-Value

Ya % Tidak %

Tingkat Pendidikan Ayah Rendah Tinggi 160 56 3,7 4,0 4111 1352 96,3 96,0 0,9 (0,7-1,3) 1 0,754

Tingkat Pendidikan Ibu Rendah Tinggi 171 47 3,7 4,1 4391 1102 96,3 95,9 0,9 (0,7-1,3) 1 0,649 Pekerjaan Ayah Tidak Bekerja Bekerja 10 209 9,5 3,6 95 5.519 90,5 96,4 2,6 (1,4-4,7) 1 0,006 Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak Bekerja 108 113 3,9 3,6 2.681 3.040 96,1 96,4 1,1 (0,8-1,4) 1 0,605

Status Pernikahan Orang Tua Cerai Menikah 20 204 4,8 3,7 394 5.356 95,2 96,3 1,33 (0,8-2,1) 1 0,286

Ayah Penyalah guna NAPZA Ya Tidak 4 192 16,0 3,5 21 5.273 84,0 96,5 4,6 (1,8-11,3) 1 0,010 Ibu Penyalah guna NAPZA

Ya Tidak 2 196 11,8 3,6 15 5.307 88,2 96,4 3,3 (0,9-12,2) 1 0,120

Saudara Kandung Penyalah guna NAPZA Ya Tidak 17 174 27,4 3,2 45 5.191 72,6 96,8 8,5 (5,5-13,0) 1 0,0001

Dari tabel di atas (tabel 4) terlihat bahwa faktor keluarga yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah pekerjaan ayah (p= 0,006) dengan PR 2,6 (95% CI: 1,4-4,7) pada remaja yang memiliki ayah tidak bekerja; ayah penyalah guna NAPZA (p= 0,01) dengan PR 4,6 (95% CI: 1,8-11,3) pada remaja yang memiliki ayah yang menyalahgunakan NAPZA; saudara kandung penyalah guna NAPZA (p= 0,0001) dengan PR 8,5 (95% CI: 5,5-13,0) pada remaja yang memiliki saudara kandung yang menyalahgunakan NAPZA.

(11)

Tabel 52 Hubungan Faktor Lingkungan Lokal dengan Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja Faktor Lingkungan

Lokal

Penyalahgunaan NAPZA PR (95%CI)

P-Value

Ya % Tidak %

Teman Sebaya Penyalah guna NAPZA Iya Tidak 56 77 10,0 3,0 506 2.516 90,0 97,0 3,4 (2,4-4,7) 1 0,0001 Kegiatan Ekstrakurikuler Tidak ada Ada 39 180 4,6 3,5 807 4.921 95,4 96,5 1,3 (0,9-1,8) 1 0,345 Ketersediaan NAPZA Ya Tidak 35 114 12,4 3,0 248 3.659 87,6 97,0 4,1 (2,9-5,9) 1 0,0001

Dari tabel di atas (tabel 5) diketahui bahwa faktor lingkungan lokal yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA adalah teman sebaya penyalah guna NAPZA (p= 0,0001) dengan PR 3,4 (95% CI: 2,4-4,7) pada remaja yang memiliki teman sebaya yang menyalahunakan NAPZA; dan ketersediaan NAPZA (p= 0,0001) dengan PR 4,1 (95% CI: 2,9-5,9) pada remaja yang mengakui di lingkungan tempat tinggalnya tersedia NAPZA.

Pembahasan

Pada penelitian ini, perilaku penyalahgunaan NAPZA di kalangan remaja di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara menunjukkan angka prevalensi 3,7%. Prevalensi ini melebihi prevalensi penyalah guna NAPZA di Indonesia yang dilaporkan oleh BNN berdasarkan hasil Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia oleh BNN dengan UI 2011, yaitu sebesar 2,2% (BNN, 2013).

Jenis zat yang paling banyak digunakan pertama kali pada kelompok umur 13-15 tahun, 16-18 tahun, dan 19-23 tahun adalah ganja. Penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa penggunaan ganja meningkat dari masa remaja ke masa dewasa, yaitu 29% di usia 14 tahun, 33% di usia 16 tahun, dan 54% di usia 22 tahun (Brook et al. dalam Korhonen et al., 2008). Pola yang sama tentang ganja juga ditunjukkan oleh penelitian

(12)

Perkonigg et al. (dalam Haase, 2010); Sutherland dan Willner (1998). Cara pemakaian NAPZA yang paling banyak dilakukan adalah dengan cara dihisap seperti rokok. Hal ini sesuai dengan teori tentang cara penyalahgunaan ganja yang paling umum adalah ganja dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau dijadikan rokok lalu dibakar dan dihisap (BNN, 2008). Oleh karena itu, dari kedua gambaran ini dapat ditarik informasi bahwa sebagian besar remaja kelompok umur 13-23 tahun menyalahgunakan ganja dengan cara dihisap seperti rokok.

Penelitian ini menemukan dari 224 responden yang menyalahgunakan NAPZA, diketahui hampir setengahnya (55,4%) berasal dari Provinsi DKI Jakarta. Selain itu diketahui dari 224 responden yang menyalahgunakan NAPZA, 70,5% berasal dari wilayah urban. Wilayah perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah pedesaan, di mana di daerah perkotaan tingkat kriminalitasnya lebih tinggi serta pusat dari berbagai macam informasi yang dapat diakses dengan mudah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di pusat barat Ohio yang mengindikasikan pelajar lelaki yang tinggal di daerah pedesaan dilaporkan menyalahgunakan NAPZA dan penggunaan alkohol lebih rendah dibandingkan pelajar lelaki dari daerah urban. Penelitian ini mengindikasikan bahwa kehidupan di pedesaan dapat memproteksi seseorang dari NAPZA (Johnson et al., 2008).

Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yang sebagian besar wilayahnya adalah kota. Hanya satu wilayah yang merupakan kabupaten/rural yaitu Kabupaten Kepulauan Seribu. Kehidupan di DKI Jakarta memiliki karateristik tingkat kriminalitas yang tinggi, informasi yang dapat diakses dengan mudah, serta tingkat kompetisi yang tinggi sehingga membuat seseorang menjadi stress dan tertekan. Spooner, Hall, Lynskey (2003) mengatakan stress menjadi salah satu alasan yang membuat remaja melarikan diri ke penyalahgunaan NAPZA.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa pada kelompok umur 17-24 tahun terlihat risiko untuk menyalahgunakan NAPZA 1,5 kali lebih tinggi (95% CI: 1,1-1,8) dibandingkan mereka yang berusia 12-16 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kabir et al. (2013) ; Malta et al. (2014); Jaji (2009). Hal ini membuktikan kelompok umur remaja yang lebih muda tidak menjamin mereka terhindar dari penyalahgunaan NAPZA.

Untuk variabel jenis kelamin, hasil peneltian ini menunjukkan mereka yang berjenis kelamin lelaki berisiko 3 kali (95% CI: 2,14-3,75) lebih besar untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ferentzy, Skinner, dan Matheson (2013); Rutter, Caspi, dan Moffit dalam Spooner dan Hetherington (2004). Hasil ini dapat disebabkan oleh karakteristik remaja lelaki yang lebih suka mengambil risiko, agresif, melarikan diri dari masalah dengan menggunakan NAPZA, serta berkumpul dengan

(13)

peer group untuk pesta alkohol maupun NAPZA. Hal ini sesuai dengan penelitian Haase

(2010) dan Korhonen et al. (2009) bahwa perilaku agresif biasanya ditemukan pada jenis kelamin lelaki.

Hasil penelitian ini menunjukkan remaja yang memiliki status pendidikan SMP dan SMA memiliki risiko 0,6 (95% CI: 0,4-0,9) kali lebih rendah untuk menggunakan NAPZA dibandingkan mereka yang berpendidikan PT. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan formal yang ditempuh oleh remaja tidak menjamin mereka terhindar dari bahaya NAPZA. Hasil penelitian ini kontras dengan penelitian Sigariaki et al. (2008) dan Grant et al. (2013) yang mengindikasikan pendidikan yang lebih tinggi biasanya diikuti oleh pengetahuan yang lebih tentang NAPZA. Namun, hasil penelitian ini sesuai dengan Kinyanjui dan Atwoli (2013).

Variabel status merokok menunjukkan remaja yang merokok dalam sebulan ini memiliki risiko 10,4 (95% CI: 79-13,6) kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak merokok. Hasil pada penelitian ini dapat disebabkan oleh perilaku merokok yang biasanya diikuti oleh perilaku mencoba-coba NAPZA, dengan kata lain merokok merupakan pintu gerbang penyalahgunaan NAPZA sejalan dengan penelitian Kabir et al. (2013) dan Haase (2010).

Variabel usia pertama merokok pada penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p= 0,300) dan tidak ditemukan perbedaan risiko antara kelompok umur 7-13 tahun dan 14-22 tahun (PR= 1,2; 95% CI: 0,9-1,6). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Korhonen et al. (2009) yang mengindikasikan semakin dini remaja merokok semakin besar risiko mereka untuk melakukan penyalahgunaan NAPZA. Hasil ini dapat disebabkan remaja yang merokok pada usia dini di tiga provinsi tersebut telah berhenti merokok dan tidak terpapar lebih jauh terhadap NAPZA. Alasan lain juga dapat disebabkan oleh remaja tersebut pernah mencoba NAPZA setelah mencoba rokok dengan alasan ingin tahu, namun pengalaman tersebut cukup sampai di sana dan biasanya tidak dilanjutkan lagi ke tahap selanjutnya (Jaji, 2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan mereka yang pernah minum alkohol dalam sebulan ini memiliki risiko 13 (95% CI: 10-17) kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak pernah minum alkohol. Alkohol sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan NAPZA. Remaja menggunakan alkohol biasanya saat berkumpul maupun berpesta dengan teman-temannya. Kegiatan ini biasanya dilanjutkan dengan mencoba-coba NAPZA. Hasil studi ini sejalan dengan penelitian Odek-Ogunde (dalam Kassa et.al, 2014); Kassa et.al. (2014); Menares (1997). Penelitian ini juga menemukan mengonsumsi alkohol pada kelompok umur

(14)

10-15 tahun berisiko 1,5 kali (95% CI: 1,02-1,9) lebih besar untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan kelompok umur 16-25 tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh alkohol biasanya dikonsumsi bersamaan dengan minuman beralkohol. Hal ini sejalan dengan penelitian Kristianti dkk (dalam Lestari dan Sugiharti, 2011); Steinberg, Warr, dan Berndt (dalam Berten et al., 2012); Swahn dan Bossarte (2007).

Variabel tingkat pendidikan ayah dan ibu tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap penyalahgunaan NAPZA dan tidak ditemukan perbedaan risiko (PR= 0,9; 95% CI: 0,7-1,3) antara ayah dan ibu dengan pendidikan tinggi maupun rendah. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Chau et al. (2013); Kumpfer dan Adler (dalam Spooner, Hall, dan Lynskey, 2001). Hasil pada penelitian ini dapat disebabkan karena tingkat pendidikan orang tua tidak sejalan tingkat pengetahuan mereka terkait NAPZA dan bahayanya sehingga mereka tidak dapat melindungi anak-anak mereka dari bahaya NAPZA.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang ayahnya tidak bekerja berisiko 2,6 kali (95% CI: 1,4-4,7) untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan yang ayahnya bekerja. Hasil ini dapat disebabkan oleh pekerjaan ayah menentukan tingkat sosial ekonomi remaja dan berdampak pada kepercayaan diri rendah, motivasi untuk masa depan yang rendah, dan lingkungan tempat tinggal yang dekat dengan kemiskinan dan kriminalitas. Hal ini sejalan dengan penelitian Spooner dan Hetherington (2004).

Berbeda dengan pekerjaan ayah, pekerjaan ibu tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p= 0,605) dengan penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Selain itu, tidak ditemukan perbedaan risiko antara remaja yang ibunya bekerja dan tidak bekerja (PR= 1,1; 95% CI: 0,8-1,4). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Poikolainen et al. (dalam Korhonen et al. 2009) dan Yatim (dalam Rustyawati, 2005). Hasil pada penelitian ini dapat disebabkan oleh baik ibu yang bekerja maupun tidak bekerja memberikan perhatian, mengawasi, dan membangun komunikasi yang baik kepada anaknya.

Remaja yang memiliki orang tua yang bercerai berisiko 1,5 kali lebih tinggi untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan remaja yang orang tuanya masih berstatus menikah sejalan dengan penelitian Merinkangas et al. (dalam Mitchell et al., 2001) dan Spooner dan Hetherington (2004. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi stress pada remaja yang melihat perceraian orang tuanya juga.

Remaja yang memiliki ayah pengguna NAPZA berisiko 4,6 kali (95% CI: 1,8-11,3) lebih besar untuk menggunakan NAPZA dibandingkan mereka yang ayahnya tidak menggunakan NAPZA.. Hal ini dapat disebabkan dengan tanpa sadar seorang ayah memberikan contoh kepada remaja untuk menyalahgunakan NAPZA. Kemudian remaja

(15)

tersebut meniru perilaku ayahnya dan merasa perilaku tersebut bukan perilaku yang buruk karena ayahnya melakukan hal tersebutkan berdampak remaja tersebut lebih percaya kepada teman sebayanya yang menyalahgunakan NAPZA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Haase (2010).

Remaja yang memiliki ibu penyalah guna NAPZA pada penelitian ini memberikan risiko 3,3 kali (95% CI: 0,9-12,2) lebih besar kepada remaja untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan remaja yang memiliki ibu yang tidak menggunakan NAPZA. sejalan dengan penelitian Rustyawati (2005). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan (p= 0,120) antara variabel ibu penyalah guna NAPZA dengan penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Hal ini dapat disebabkan oleh remaja remaja memiliki orangtua penyalah guna NAPZA menjadi lebih berorientasi pada tujuan, menggunakan pendidikan untuk keluar dari orangtua yang menyalahgunakan NAPZA dan dilaporkan memiliki kontrol dan kapabilitas untuk membuat hidup mereka bebas dari dampak berbahaya (Wolfe dan Mash dalam Alberta Health Services, 2009).

Remaja yang memiliki saudara kandung penyalah guna NAPZA pada penelitian ini memberikan risiko 8,5 (5,5-13) kali lebih besar kepada remaja untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan remaja yang tidak memiliki saudara kandung yang menyalahgunakan NAPZA. Hasil peneliian ini sejalan dengan penelitian Haase (2010) yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki orang tua atau saudara kandung yang menyalahgunakan NAPZA akan memberikan risiko yang lebih tinggi kepada remaja tersebut untuk menyalahgunakan NAPZA. Saudara yang umurnya berdekatan biasanya menyalahgunakan NAPZA secara bersama-sama. Selain itu saudara yang lebih tua diidentifikasi menjadi sumber NAPZA bagi adiknya yang lebih muda.

Remaja yang memiliki teman sebaya yang menyalahgunakan NAPZA berisiko 3,4 (95% CI: 2,4-4,7) kali lebih besar untuk menggunakan NAPZA daripada mereka yang tidak. Biasanya remaja beradaptasi dengan perilaku teman-temannya (dalam hal penyalahgunaan NAPZA) serta meniru pilihan teman-teman mereka untuk menjadi pilihannya sendiri (Haase, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rustyawati (2005); Agrawal et al. (dalam Korhonen et al., 2009); Korhonen et al. (2009).

Remaja yang tidak memiliki setidaknya satu ekstrakurikuler di sekolah maupun di luar sekolah berisiko 1,5 kali lebih tinggi untuk menyalahgunakan NAPZA dibandingkan remaja yang punya. Hal ini sejalan dengan penelitian Haase (2010) dan Rustyawati (2005) yang mengindikasikan penggunaan waktu luang yang positif dapat membuat remaja terhindar dari

(16)

penyalahgunaan NAPZA. Namun, tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada penelitian ini antara penyalahgunaan NAPZA dengan kegiatan ekstrakurikuler di tiga provinsi tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan remaja yang mengakui di lingkungannya tersedia NAPZA berisiko 4 kali (95% CI: 2,9-5,9) lebih besar dibandingkan remaja yang mengakui di lingkungan tempat tinggalnya tidak tersedia NAPZA. Hal ini sejalan dengan penelitian Haase (2010); Mitchell et al.(2001); Jonhston et al. (dalam Osilla et al., 2014). Selain itu Petraitis et al. (1995) juga menyatakan bahwa beberapa remaja mulai menyalahgunakan NAPZA karena tahu di mana mendapatkannya dan cara menggunakannya.

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dapat menjelaskan hubungan kausal antara variabel independen dan dependen karena baik eksposur dan outcome diambil pada waktu yang bersamaan. Selain itu, beberapa pertanyaan memerlukan recall sehingga bias recall pada penelitian ini dapat terjadi. Pertanyaan mengenai penyalahgunaa NAPZA adalah pertanyaan yang sensitif sehingga remaja bisa jadi tidak menjawab dengan jujur yang akan menyebabkan data menjadi underreporting. Selain itu, penelitian ini hanya dapat digeneralisasi pada remaja yang bersekolah saja karena sumber data adalah survei yang dilakukan hanya pada remaja yang bersekolah.

Kesimpulan

1. Prevalensi penyalahgunaan NAPZA pada kalangan remaja di provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara pada tahun 2011 mencapai 3,7% melebihi prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia sebesar 2,1%. Proporsi penyalahgunaan NAPZA pada kalangan remaja tertinggi berada di provinsi DKI Jakarta dan berada di wilayah urban. NAPZA paling banyak disalahgunakan pertama kali adalah ganja, dan cara penggunaan terbesar dengan dihisap seperti rokok.

2. Faktor individu yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status merokok, status minum alkohol, dan usia pertama minum alkohol.

3. Faktor keluarga yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA adalah pekerjaan ayah, ayah penyalah guna NAPZA, dan saudara kandung penyalah guna NAPZA.

4. Faktor lingkungan lokal yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan NAPZA adalah teman sebaya penyalah guna NAPZA dan ketersediaan NAPZA.

(17)

Saran

1. Menghindari substansi yang biasanya menjadi pintu gerbang untuk menginisiasi penyalahgunaan NAPZA, seperti rokok dan minuman beralkohol dari usia sedini mungkin.

2. Selektif dalam memilih teman sebaya dalam pergaulan sehari-hari yang dapat menjerumuskan remaja ke dalam perilaku penyalahgunaan NAPZA.

3. Orang tua perlu memantau pergaulan anak-anak mereka sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang salah.

4. Pembelian rokok maupun alkohol harus disertai dengan menunjukkan KTP agar remaja yang belum cukup umur dapat terhindar dari merokok dan konsumsi alkohol pada usia dini.

5. Meningkatkan frekuensi razia NAPZA oleh petugas penegak hukum di lingkungan di mana NAPZA dapat dengan mudah ditemukan oleh kalangan remaja.

6. Memberikan sosialisasi mengenai tindakan yang harus dilakukan serta alur pelaporan apabila seseorang mengetahui adanya peredaran NAPZA di lingkungannya ke sekolah-sekolah maupun ke lingkungan tempat tinggal.

7. Memberikan penyuluhan dengan sasaran orang tua remaja dengan materi faktor-faktor yang berisiko terhadap penyalahgunaan NAPZA pada usia remaja sehingga orang tua paham dan mengerti cara-cara memonitor anak mereka agar terhindar dari NAPZA.

8. Materi terkait NAPZA pada jenjang pendidikan SMP dan SMA tidak hanya pada mata ajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, namun juga dimasukkan pada mata ajaran Bimbingan dan Konseling sehingga remaja mendapatkan porsi pengetahuan terkait NAPZA yang lebih besar. Selain itu, mulailah menginisiasi mata kuliah terkait NAPZA dan bahayanya di setiap fakultas di perguruan tinggi.

9. Institusi pendidikan yang telah mengetahui adanya pelajar/mahasiswa yang menyalahgunakan NAPZA, segera membentuk suatu tim rehabilitasi di lingkungan institusi pendidikan untuk memberikan pertolongan pada penyalah guna tersebut dengan bantuan atau supervisi dari lembaga atau institusi pemerintah yang bertanggung jawab terkait penyalahgunaan NAPZA

(18)

Daftar Pustaka

Alberta Health Services—Alberta Alcohol and Drug Abuse Commission. (2009). An

Overview of Risk Factors for Adolescent Substance Use and Gambling Activity: A Review of The Literature for The Alberta Youth Experience Survey 2008. Edmonton,

Alberta, Canada: Author. Page 10.

Badan Narkotika Nasional. (2007). Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Usia Dini. Jakarta: Badan Narkotika Nasional RI

Badan Narkotika Nasional. (2008). Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan

Penyalahgunaan Narkoba Bagi Masyarakat. Jakarta: Badan Narkotika Nasional RI

Badan Narkotika Nasional. (2013). Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2012 Edisi Tahun 2013. Jakarta: Badan Narkotika Nasional RI.

Barret, D., Hunt, N., dan Stoicesco, C. (2013). Injecting Drug Use Among Under 18s: A

Sanpshot Available Data. London: Harm Reduction International.

Berten et. al. (2012). Alcohol and Cannabis Use Among Adolescent in Flemish Secondary

School in Brussels: Effect of Type Education. BMC Public Health 12. Page 215.

Firmanzah et al. (2011). Mengatasi Narkoba dengan Welas Asih. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fryar CD, Merino MC, Hirsch R, Porter KS. Smoking, alcohol use, and illicit drug use

reported by adolescents aged 12–17 years: United States, 1991–2004. National Health

Statistics Reports; no 15. Hyattsville, MD: National Center for Health Statistics. 2009. Guo et. al. (2002). Developmental Relationship Between Adolescent Substance Use and Risky

Sexual Behaviour in Young Adulthood. Journal of Adolescent Health 31. Page: 354-362.

Haase, T. (2010). Risk and Protection Factors For Substance Use Among Young People: A

Comparative Study of Early School-Leavers and School-Attending Students. Dublin:

National Advisory Committee on Drugs.

Menares, J. et al. (1997). Factors Related to The Potential Risk of Trying an Illicit Drug

among High School Student in Paris. European Jurnal of Epidemiology. Page: 13.

Jaji. (2009). Hubungan Faktor Sosial dan Spiritual dengan Risiko Penyalahgunaan NAPZA

pada Remaja SMP dan SMA di Kota Palembang. Depok: Universitas Indonesia.

Kabir, MA., Goh, K-L., Khamal, SMM., Khan, MMH. (2013). Tobacco Smoking and Its

Association with Illicit Drug Use Among Men Ages 15-24 Years Living in Urban Slums of Bangladesh. Plos ONE 8(7): e68728. doi:10.1371/journal.pone.0068728

Kementerian Sosial RI. (2012). Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA. Jakarta: Kementerian Sosial RI.

Korhonen, T., Huizink, A. C., Dick, D. M., Pulkkinen, L., Rose, R. J., & Kaprio, J. (2008).

(19)

A longitudinal analysis among Finnish adolescent twins. Drug and Alcohol

Dependence, 97(1-2). Page: 33–43. doi:10.1016/j.drugalcdep.2008.03.015

Kusmiran. (2012). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika. Lestari, Heny dan Sugiharti. (2011). Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia menurut Survey

Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) Tahun 2007. Jakarta: Pusat

Teknologi Intervensi Masyarakat. Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI.

Mitchell et. al. (2001). The Role of Families in The Development, Identification, Prevention

and Treatment of Illicit Drug Problems. Canberra: National Health and Medical

Research Council.

Osilla et. al. (2014). The effect of Purchasing Alcohol and Marijuana Among Adolescent At

Risk For Future Substance Use. Substance Abuse Treatment, Prevention, and Policy http://www.substanceabusepolicy.com/content/9/1/38

Petraitis, J., Flay, BR., dan Miller, TQ. (1995). Reviewing Theory of Adolescent Substance

Use: Organizing Pieces in The Puzzle. Psychological Bulletin 117. Page: 67-86.

Pagliaro AM. dan Pagliaro, LA. (1996). Substance Use among Children and AdolescentsL Its

Nature, Extent, and Effects from Conception to Adulthood. New York: John Wiley&

Sons, Inc.

Rohan, HH. dan Siyoto, S. (2013). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rustyawati. (2005). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan Narkoba

pada Penderita yang Dirawat di Panti Rehabilitasi. Semarang: Universitas Diponegoro

eprints.undip.ac.id/4607/

Spooner C, Hall W & Lynskey M. Structural determinants of youth drug use (ANCD Research Paper No. 2). (2001). Canberra: Australian National Council on Drugs.

Spooner, Catherine., & Hetherington, Kate. (2004). Social Determinants of Drug Use. 2004. Sydney: National Drug and Alcohol Research Centre, University of New South Wales. Sutherland, I., dan Willner, P. (1998). Pattern of Alcohol, Cigarette, and Illicit Drug Use in

English Adolescent. Proquest page 1199.

Swahn, MH. dan Bassarte, RM. (2007). Gender, Early Alcohol Use, and Suicide Ideation and

Attempts: Finding From the 2005 Youth Risk Behaviour Survey. Journal of Adolescent

Health 41 page 175-181.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009.

WHO. (2013). Adolescent Development.

http://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/adolescence/dev/en/ diunduh tanggal 9 Oktober 2014 pukul 13.30

Gambar

Tabel 1 Gambaran NAPZA yang Pertama Kali di Salahgunakan Berdasarkan Kelompok Umur  Kelompok  Umur  Ganja  (%)  Benzodiazepine (%)  Inhalan (%)  Dekstromethorpan (%)  Ekstasi (%)  8-12 tahun  12 (31,6)  1 (2,6)  13 (34,2)  10 (26,3)  2 (5,3)  13-15 tahun
Gambar 1 Gambaran Cara Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja di Tiga Provinsi di Indonesia Tahun  2011
Tabel 3 Hubungan Faktor Individu  dengan Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja
Tabel 4 Hubungan Faktor Keluarga dengan Penyalahgunaan NAPZA pada Remaja
+2

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor

Dari perspektif praktis, hubungan antara kompetensi fleksibilitas manufaktur, kapabilitas fleksibilitas manufaktur, kompetensi fleksibilitas jangkauan, kapabilitas

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengamalan nilai-nilai pendidikan agama Islam pada siswa di SDN 056003 Paya Kasih, bagaimana usaha

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai literasi keuangan dan pengelolaan keuangan untuk masyarakat yang berada di wilayah kota

Juliani, Silfi Eka. “Efektivitas Permainan im Dreierpack Untuk Meningkatkan Penguasaan Kosakata Bahasa Jerman ”. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman.

Ditemukan bahwa berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, data dalam penelitian ini berdistribusi normal pada setiap dimensi karena memiliki nilai signifikansi p &gt; 0,05

Fungsi tujuan pada penelitian ini disusun berdasarkan model GSTAR Termofikasi yang telah diperoleh, sedangkan kendala yang berpengaruh adalah curah hujan optimal

Hal ini disebabkan karena semakin besar ukuran mesh partikel, maka semakin kecil ukuran diameter adsorben, sehingga polutan yang teradsorpsi semakin banyak, karena