• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONVENSI TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYARIAH LANGSA No. 81/Pdt.G/2005/ MSY-LGS) JURNAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "REKONVENSI TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYARIAH LANGSA No. 81/Pdt.G/2005/ MSY-LGS) JURNAL"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

REKONVENSI TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYARIAH LANGSA No. 81/Pdt.G/2005/

MSY-LGS)

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat – Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatra Utara

Oleh : ETRA ARBAS

140200311

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

2018

(2)

ABSTRACT Etra Arbas*

Tan Kamello**

Syamsul Rizal***

Reconvention is a counter-claim set forth in Article 157 RBg / 132 a HiR which aims to be examined efficiently both in terms of cost and time so as to obtain legal certainty and avoid conflicting decisions. Decision No. 81 / Pdt.G / 2005 / MSY-LGS on one side rejected the husband's reconvention lawsuit regarding the cancellation of marriage on the grounds that his wife was not a virgin, pregnant child of another person, and not in accordance with the sound of marriage certificate (Article 72 KHI) part of the demands from the consequences of the cancellation of the marriage is the return of the entire dowry from the wife to her husband, on the other hand to grant the divorce from the wife by reason of continuous bickering (Article 19 of PP 1975 jo Article 116 letter (f) KHI) at convention with talak bain sughra.

This research is seen from the objectives including the type of normative legal research is descriptive by using qualitative methods. Source of data comes from secondary data source that is literature, legislation, and archive of court decision. After the data obtained then conducted a qualitative data analysis with non-statistical analysis.

Langsa Shariah Court refuses to annul the marriage on reconvention based on Article 72 paragraph 3 KHI which in essence states the filing of marriage cancellation filed by the husband in reconvention already past 6 months so that his right to file the cancellation of marriage to fall, although in legal consideration between husband and wife have otherwise proved to have never had a husband and wife relationship (qobla al dukhul) and stayed together for only 1 week so the dowry was declared returned entirely. Langsa Shariah Court granted a divorce suit on the convention pursuant to Article 19 letter (f) PP. 9 of 1975 jo Article 116 letter (f) KHI by reason of continuous quarrel with talaq bain sughra decision. The supposed return of the dowry required from the cancellation of the marriage was also rejected as a consequence of the rejection of the marriage annulment filed by the husband as the Plaintiff for the reconvention of the divorce by his wife at the convention. As for the verdict which is decided by the bravel sughra ruling due to qobla al dukhul, the dowry should be returned only half not all (Article 149 c KHI).

Keywords : Lawsuit, Reconvention, Divorce

* Student of Faculty of Law University of Sumatra Utara

** Lecturer at Faculty of Law, University of Sumatra Utara, Adviser I

*** Lecturer at the Faculty of Law, University of Sumatra Utara, Adviser II

(3)

ABSTRAK Etra Arbas*

Tan Kamello**

Syamsul Rizal***

Rekonvensi merupakan gugat balas diatur dalam Pasal 157 RBg/132 a HiR yang bertujuan agar perkara diperiksa secara efisien baik dari segi biaya dan waktu sehingga mendapat kepastian hukum serta terhindar dari putusan yang saling bertentangan. Putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS disatu sisi menolak gugatan rekonvensi dari suami tentang pembatalan perkawinan dengan alasan istrinya sudah tidak perawan, hamil anak orang lain, dan tidak sesuai dengan bunyi buku kutipan akta nikah (Pasal 72 KHI), namun mengabulkan sebagian tuntutan dari akibat pembatalan perkawinan tersebut yaitu pengembalian seluruh mahar kawin dari istri kepada suaminya, disisi lain mengabulkan gugatan perceraian dari istri dengan alasan cekcok terus menerus (Pasal 19 PP tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) KHI) pada konvensi dengan talak bain sughra.

Penelitian ini dilihat dari tujuannya termasuk jenis penelitian hukum normatif bersifat deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. Sumber data berasal dari sumber data sekunder yaitu literature, peraturan perundang – undangan, dan arsip dari putusan pengadilan. Setelah data diperoleh lalu dilakukan analisis data kualitatif dengan analisis non statistik.

Mahkamah Syariah Langsa menolak pembatalan perkawinan pada rekonvensi berdasarkan Pasal 72 ayat 3 KHI yang pada pokoknya menyatakan pengajuan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh suami dalam rekonvensi sudah lewat waktu 6 bulan sehingga haknya untuk mengajukan pembatalan perkawinan menjadi gugur, walaupun dalam pertimbangan hukumnya antara suami istri tersebut telah dinyatakan terbukti tidak pernah melakukan hubungan suami istri (qobla al dukhul) dan tinggal bersama hanya 1 minggu saja sehingga mahar kawin dinyatakan dikembalikan seluruhnya. Mahkamah Syariah Langsa mengabulkan gugatan perceraian pada konvensi berdasarkan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) KHI dengan alasan cekcok terus menerus dengan putusan talaq bain sughra. Seharusnya pengembalian mahar kawin yang dituntut dari akibat pembatalan perkawinan tersebut juga ditolak sebagai konsekuensi ditolaknya pembatalan perkawinan yang diajukan oleh suami sebagai Penggugat rekonvensi terhadap gugatan cerai oleh istrinya pada konvensi. Adapun putusan yang diputus dengan putusan talak bain sughra akibat qobla al dukhul, seharusnya mahar kawinnya dikembalikan setengahnya saja bukan seluruhnya (Pasal 149 c KHI).

Kata Kunci : Gugatan, Rekonvensi, Perceraian

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Dosen Pembimbing I

*** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Dosen Pembimbing II

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rekonvensi adalah “gugatan balasan” berdasarkan Pasal 157 RBg / 132 a ayat 1 HiR. Rekonvensi pada hakikatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur, dan menghindarkan putusan – putusan yang bertentangan satu sama lain , jadi mempunyai alasan praktis untuk menetralisir tuntutan rekonvensi.1 Gugatan balasan sangat berfaedah bagi kedua belah pihak yang bersengketa karena menghambat ongkos perkara, mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian sengketa, dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan.2 Untuk mengetahui rekonvensi di Mahkamah Syariah Langsa, dengan ini melakukan studi putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS tanggal 26 Agusutus 2005. Dalam perkara tersebut gugatan rekonvensi diajukan oleh Tergugat sebagai suami pada pokoknya memohon pembatalan perkawinan dengan segala akibat hukumnya, atas gugatan cerai oleh Penggugat sebagai istri. Putusan No.

81/Pdt.G/2005/MSY-LGS tanggal 26 Agustus 2005 antara lain pada pokoknya berbunyi :

Dalam Konvensi :

1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 91

2 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, 1983, halaman 45

(5)

“Menyatakan putus ikatan pernikahan Penggugat (Rini Chandra, SE. binti M. Rani) dengan Tergugat (Edwin Latifurrahman Syahputra, SH. Bin Drs.

H. Abdul Latif) dengan talak bain sughra.”

Dalam Rekonvensi :

“Menyatakan anak yang telah dilahirkan Tergugat rekonvensi bukan anak Penggugat rekonvensi.”

“Menghukum Tergugat rekonvesi untuk mengembalikan mahar sebanyak 10 mayam emas kepada Pengguat konvensi.”

Terhadap putusan tersebut para pihak tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya dimana putusan tersebut dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap.

Apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Syariah Langsa memberikan putusan tersebut, sudah sesuaikah dengan aturan hukum yang berlaku, dan bagaiamana akibat hukumnya bagi para pihak yang berpekara.

B. Permasalahan

1. Bagaimana aturan hukum pada gugatan rekonvensi dalam putusan No.

81/Pdt.G/2005/MSY-LGS ?

2. Bagaimana penerapan hukum pada putusnya perkawinan akibat perceraian dan pembatalan perkawinan pada pertimbangan hukum dalam putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS ?

3. Bagaiamana akibat hukum pada putusan tentang rekonvensi terhadap gugatan perceraian dalam putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS ? C. Metode Penelitian

Metode penelitian adakalanya juga disebut “metodologi penelitian”

(sebenarnya kurang tepat tetapi banyak digunakan), dalarn makna yang lebih luas

(6)

bisa berarti “desain” atau rancangan penelitian. Rancangan ini berisi rumusan tentang objek atau subjek yang akan diteliti, teknik-teknik pengumpulan data, prosedur pengumpulan dan analisis data berkenaan dengan fokus masalah tertentu.3

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas – asas hukum, sistematikan hukum, serta sinkronisasi vertikal atas dokumen yang diteliti terhadap peraturan perundang – undangan yang berlaku

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif.

Penelitian deskriptif (descriptive research) ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena – fenomena apa adanya.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu Putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS dan hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang sebelumnya, bahan perpustakaan seperti buku – buku, literature maupun arsip – arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas yakni berupa undang – undang negara maupun peraturan pemerintah penulis juga memperoleh data dari buku – buku referensi.

3 Sudaryono, Metodologi Penelitian, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, halaman 54

(7)

BAB II

TINJAUAN UMUM GUGATAN REKONVENSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA

A. Pengertian Gugatan Rekonvensi

Rekonvensi berasal dari Bahasa belanda yaitu Reconventie - gugatan balasan, Reconvention (ing), - gugatan balasan. Dalam halnya seseorang mendapat gugatan diapun berhak memasukan atau mengajukan gugatan balasan atau gugatan melawan gugatan asli yang telah diajukan ke pengadilan kepada pihak yang mungkin akan mengajukan gugatan balasan itu yang dinamakan conventie. RI.B Pasal 132 a.”4

Rekonvensi adalah “gugatan balasan” berdasarkan Pasal 157 RBg / 132 a ayat 1 HiR. Mengenai istilah hukum gugat rekonvensi belum menemukan suatu penggunaan standar, Wirjono memakai istilah “gugat ginugat” sedangkan pada Retnowulan selain menyebut istilah gugat ginugat, juga mengemukakan sebutan lain seperti “gugat balik”, “gugat balasan” atau “gugat dalam rekonvensi”. Akan tetapi pada masa belakangan ini, baik praktek hukum dan yurispudensi lebih sering menggunakan isitilah aslinya yakni gugat rekonvensi. Sehubungan dengan itu dalam tulisan ini, istilah yang dipakai adalah “rekonvensi” karena dianggap

4 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Indonesia, Inggris, CV Aneka Ilmu, Semarang, 1977, halaman 715

(8)

lebih umum pneggunaannya dikalangan praktisi hukum dan dirasakan sudah menjadi khasanah pembaharuan hukum nasional.5

B. Syarat – Syarat Sah Gugatan Rekonvensi 1. Syarat Formil

Rekonvensi harus diajukan bersamaan dengan jawaban pertama.

dikemukakan R. Supomo dan R. Subekti yang ditafsirkan dari bunyi Pasal 158 Rbg / 132 b ayat 1 HiR.

Pendapat ini sangat formalistik kurang sejalan dengan jiwa dan semangat asas peradilan sederhana yang dipancangkan pasal 4 ayat 2 UU No. 14 tahun 1970.6

Pendapat yang lebih luwes, pengajuan rekonvensi sampai pada tahap memasuki pemeriksaan pembuktian. Ini dikemukakan oleh Wirjono, diujung kalimat Pasal 132 b ayat 1 HiR / 158 RBg tidak tegas rekonvensi mesti diajukan “bersamaan dengan jawaban”.

Dari segi pemenuhan kebutuhan hukum, pendapat inilah yang lebih layak. Dengan demikian gugatan rekonvensi yang diajukannya benar – benar telah terolah secara matang dan bukan hanya sekedar iseng dan main – main saja.7

2. Syarat Materil

Undang – undang sendiri tidak menentukan syarat materil gugat rekonvensi. Pasal 157 RBg / 132 a HiR. Akan tetapi dalam praktek,

5 M. Yahya Harahap, Perlawanan terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, halaman 148

6 Harahap, Op.Cit, halaman 156

7 H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, halaman 116

(9)

rekonvensi sah dan dapat diterima untuk diakumulasi menjadi satu kedalam gugat konvensi maka harus dipenuhi syarat materil berupa : a. Adanya faktor pertautan hubungan kejadian antara gugat konvensi

dengan gugat rekonvensi

b. Hubungan pertautan kejadian antara keduanya sangat erat sekali atau innelijke somenhangen.8

C. Tata Cara Gugatan Rekonvensi Bentuk dan isi gugatan rekonvensi

Menurut Pasal 158 RBg / 132 b ayat 1 HiR bentuk gugat rekonvesi adalah “berbentuk bebas” atau “verij vorm” tidak terikat pada bentuk tertentu yaitu bisa berbentuk tertulis dan bisa juga berbentuk lisan. Segala unsur yang berlaku terhadap gugat biasa berlaku sepenuhnya terhadap gugat rekonvensi. Tidak dibenarkan mengkonstruksi seolah – olah ada gugatan rekonvensi, jika hal itu tidak tegas dinyatakann dalam jawaban.

Apalagi mengkonstruksi gugat rekonvensi yang sama sekali tidak lengkap unsurnya, tidak dibenarkan.9

Agar gugat rekonvesi secara lisan mempunyai landasan yang jelas, mesti dituangkan secara lengkap dalam berita acara. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 197 RBg / 186 ayat 1 HiR. 10

Sehubungan dengan hukum acara perdata yang berlaku di Indoenesia sekarang adalah sistem RBg/HiR yang Pneggugat bisa bebas merumuskan surat gugatannya selama surat gugatan tersebut mencakup

8 Harahap, Op Cit, halaman 153

9 Harahap, Ibid, halaman 159

10 Harahap, Ibid, halaman 160

(10)

segala hal yang berhubungan dengan kejadian materil yang menjadi dasar gugatannya.11

D. Akibat Hukum Gugatan Rekonvensi

Dalam gugat rekonvensi norma prinsip yang dikemukakan dilanggar : 1. Terjadinya kumulasi gugat konvensi dan rekonvensi

2. Terjadinya penggabungan nomor register dua perkara 3. Terjadi penggabungan biaya perkara

Rekonvensi merupakan hak istimewa diberikan undang – undang kepada Tergugat. Manfaat yang dapat diambil terpenting diantaranya :

1. Menegakkan asas peradilan sederhana

2. Terhindar dari putusan yang saling bertentangan

Manfaat lain secara teoretis sangat kecil kemungkinan terjadi saling bertentangan antara putusan konvensi dan rekonvensi.12

“Sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dengan asas – asas lainnya yang terdapat dalam UU No. 14 1970.

Yang dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak terbelit – belit. Kata cepat menunjuk kepada jalannya peradilan. Terlalu banyak formlitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Ditentukan biaya ringan, agar terpikul oleh rakyat. Biaya berperkara yang tinggi kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan.13

11 Sudaryat, Cara Mudah Membuat Gugatan Perdata, Suka Buku, Jakarta, 2010, halaman 45

12 Harahap, Op Cit, halaman 151

13 Mertokusumo, Op Cit, halaman 24

(11)

BAB III

TINJAUAN UMUM PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERCERAIAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM UNDANG – UNDANG

PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan, Perceraian, dan Pembatalan Perkawinan Undang – Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 berbunyi : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perceraian berasal dari kata cerai yang berarti pisah adalah 1. perpisahan, 2. perihal bercerai (antara laki bini); perpecahan; perceraian; perbuatan (hal dan sebagainya) menceraikan.14

Pembatalan berasal dari kata – kata yaitu tidak sah lagi; tidak berlaku;

tidak sia – sia. Pembatalan yaitu pernyataan batal urung, tak jadi. Perkawinan berasal dari kata kawin artinya perjodohan laki – laki dan perempuan menjadi suami istri.15

B. Syarat - Syarat Sah Perkawinan, Alasan – Alasan Perceraian dan Pembatalan Perkawinan

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaan itu

2. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku

14 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Khusus Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1983, halaman 200

15 Poerwadarminta, Ibid, halaman 95

(12)

Ketentuan ini dimuat didalam Pasal 2 UU 1 Tahun 1974. Di dalam Pasal 2 ayat (2) undang – undang ini menitik beratkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci diatur bahwa :

a. Ketentuan tentang pencatatan perkawinan b. Ketentuan diatas diatur didalam Pasal 2.16

Pasal 6 Undang – Undang Perkawinan dimana ayat 1 dalam pasal ini memerlukan penjelasan yaitu : oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangusngkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.17

Penyebab putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 dan 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.

Alasan – alasan perceraian diatur pada PP No. 9 tahun 1975 pasal 19.

Alasan – alasan pembatalan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 diatur dalam pasal 22 berbunyi :

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan.

C. Tata Cara Mengajukan Perkawinan, Perceraian dan Pembatalan Perkawinan

16 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta, Jakarta, 2005, halaman 18

17 Sudarsono, Ibid, halaman 40

(13)

Tata cara perkawinan diatur dalam UU No, 1 tahun 1974 pasal 12 yang berbunyi tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam Peraturan Perundang – Undangan tersendiri yaitu PP No. 9 tahun 1975 Pasal 10 dan 11

Tata cara perceraian diatur dalam UU No, 1 tahun 1974 Pasal 39 ayat 1 dan 39 ayat 3 yang berbunyi :

Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Tata cara pembatalan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 23, 25 yaitu Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Tata cara pembatalan perkawinan, didalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang – Undang Perkawinan, Pasal 38 ayat (2) berbunyi sebagai berikut “Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

Hal – hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.18

D. Akibat Hukum Perkawinan, Perceraian, dan Pembatalan Perkawinan

18 Sudarsono, Ibid, halaman 109

(14)

Dengan adanya perkawinan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban terhadap suami istri yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dari Pasal 30, 31 dan 33 yang berbunyi :

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari sususan masyarakat.

Dengan adanya suatu perkawinan, maka seorang laki – laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak suami dalam keluarga itu. Begitupun seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi isteri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai hak pula.19

Akibat Hukum Perceraian dalam Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 tahun 1974 yang berbunyi “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”. Akibat Hukum Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 berbunyi “Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh akhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.”

BAB IV

19 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, halaman 73

(15)

REKONVENSI TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH SYARIAH LANGSA No. 81/Pdt.G/2005/MSY-

LGS)

A. Aturan Hukum pada Gugatan Rekonvensi dalam Putusan No.

81/Pdt.G/2005/MSY-LGS

Menyangkut Mahkamah Syariah adalah Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dan Qanun No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syarat Islam bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam. 20

Hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum, kecuali hal – hal yang telah disebut secara khusus dalam Undang – Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut.21

Kalau dalam Hukum Acara Perdata versi HIR/RBG larangan mengajukan gugatan rekonvensi itu hanya terbatas pada empat alasan seperti telah dikemukakan, maka dengan diundangkannya UU No. 7 / 1989 alasan tersebut bertambah satu lagi, sehingga ia menjadi lima, yakni permohonan cerai talak tidak dapat direkonvensi dengan gugatan cerai dan begitu juga sebaliknya, gugat cerai tidak dapat direkonpensi dengan permohonan cerai talak, walaupun untuk alasan ini hanya berlaku khusus untuk Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.22

Gugatan Rekonvensi pada Pokoknya

20 H.A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2006, halaman 172

21 Djalil, Ibid, halaman 153

22 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2008, halaman 127

(16)

Gugatan rekonvensi oleh Tergugat konvensi selaku suami mengenai pembatalan perkawinan beserta akibat hukumnya terhadap gugatan cerai dari Penggugat konvensi selaku istri bersamaan waktunya dengan jawaban pada konvensi, oleh karenanya telah memenuhi ketentuan Pasal 158 RBg / 132 b ayat (1) HiR dan telah memenuhi ketentuan dari syarat – syarat formil dan syarat – syarat materil dalam gugatan rekonvensi.

Pembatalan perkawinan diajukan dengan alasan istri telah berbohong / menipu sudah tidak perawan hamil anak orang lain tidak sesuai dengan kutipan buku akta nikah dengan dasar hukum Pasal 72 KHI sedangkan gugat cerai diajukan dengan dalil cekcok terus menerus dengan dasar hukum Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) KHI.

B. Penerapan Hukum pada Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian dan Pembatalan Perkawinan pada Pertimbangan Hukum dalam Putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS

Hukum Materil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fikih, yang sudah barang tentu rentan terhadap perbedaan.23

Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal 19 Juni 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dan untuk melaksanakan Instruksi Presiden tersebut Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusannya No. 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 yang pada pokoknya mengajak jajaran Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan sekaligus menggunkan Kompilasi Hukum Islam, yang berisi hukum Perkawinan,

23 Djalil, Op Cit, halaman 147

(17)

Kewarisan, dan Perwakafan sebagai pedoman dan menyesuaikan masalah – masalah hukum Islam yang terjadi.24

KHI pada Pasal 2 dan 3 perihal perkawinan berbunyi sebagai berikut : Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pertimbangan – pertimbangan hukum pada putusan No.

81/Pdt.G/2005/MSY-LGS berdasarkan ketentuan – ketentuan sebagai berikut ; Dalam konvensi

Oleh karena dalil gugatan Penggugat berdasarkan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal 19 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka harus didengar keterangan saksi keluarga kedua belah pihak (Vide Pasal 76 (1) Undang – Undang No. 8 tahun 1989).

Berdasarkan pengakuan kedua belah pihak telah terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat belum pernah melakukan hubungan suami istri (Qobla al Dukhul) setelah pernikahan dan terbukti pula bahwa anak yang dilahirkan dalam masa perkawinan mereka bukanlah anak / benih dari Tergugat.

Dalam Rekonvensi

Terhadap permohonan pembatalan perkawinan, sesuai dengan ketentuan Pasal 72 (3) Kompilasi Hukum Islam, maka hak Penggugat Rekonvensi untuk mengajukan pembatalan perkawinan sudah gugur, kepada Tergugat Rekonvensi

24 Djalil, Ibid, halaman 151

(18)

diperintahkan untuk mengembalikan mahar yang diterimanya dulu pada waktu akad nikah yaitu sebanyak 10 mayam emas.

Karena sebelum menikah dengan Penggugat Rekonvensi, Tergugat Rekonvensi telah hamil anak orang lain dan mengakui belum berhubungan badan dengan Penggugat Rekonvensi maka dapat ditetapkan bahwa anak tersebut bukan anak Penggugat Rekonvensi.

C. Akibat Hukum pada Putusan tentang Rekonvensi terhadap Gugatan Perceraian dalam Putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS

Putusan hakim adalah suatu pernyataaan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan, dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim dalam persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vovlis).25

Akibat putusnya perkawinan terdapat pada Pasal 149 – 156 dan 36 ayat (1) KHI. Akibat pembatalan perkawinan terdapat pada Pasal 74 ayat (2), 75, dan 76 KHI yang berbunyi batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

25 Mertokusumo, Op Cit, halaman 91

(19)

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Putusan No. 81/Pdt.G/2005/MSY-LGS amarnya berbunyi sebagai berikut : MENGADILI

Dalam Konvensi

Menyatakan putus ikatan pemikahan Penggugat (Riny Chandra, SE binti M. Rani) dengan Tergugat (Edwin Latifurrahman Syahputra, SH bin Drs.

H. Abdul Latif ) dengan talak bain sughra Dalam Rekonvensi

Menyatakan anak yang telah dilahirkan Tergugat Rekonvensi bukan anak Penggugat Rekonvensi. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk mengembalikan mahar sebanyak 10 mayam emas kepada Penggugat Rekonvensi.

Terhadap amar putusan tersebut berakibat hukum sebagai berikut ;

1. Tergugat dari rekonvensi dengan status jandanya tersebut ada masa iddah. Jika Penggugat dan Tergugat mau kembali bersama harus melasungkan pernikahan ulang

2. Pengembalian mahar kawin dari Tergugat rekonvensi pada Penggugat rekonvensi, menghilangkan salah satu syarat perkawinan.

3. Anak yang dilahirkan Penggugat hanya mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat dan keluarga Penggugat saja

BAB V PENUTUP

(20)

A. Kesimpulan

1. Gugatan rekonvensi adalah gugat balas terhadap gugatan. Pasal 157 RBg / 132 huruf (a) HIR. Putusan No. 81/Pdt.G /2005/MSY-LGS gugatan rekonvensi berupa pembatalan perkawinan dari suami terhadap gugatan cerai oleh istrinya. Dengan dalil istrinya sewaktu dinikahi sudah tidak perawan, hamil anak orang lain tidak sesuai dengan kutipan buku akta nikah (Pasal 72 KHI) gugatan cerai atas dalil cekcok terus menerus (Pasal 19 huruf f PP No 9 tahun 1975 jo Pasal 116 huruf f KHI).

2. Putusan No. 81 / Pdt.G / 2005 / MSY-LGS memberi pertimbangan hukum pada konvensi; menyatakan cekcok terus menrus yang didalilkan Tergugat rekonvensi terbukti dapat dikabulkan dengan talak bain sughra qobla dukhul sedangkan dalam rekonvensi memberikan pertimbangan hukum Pasal 72 ayat (3) KHI, telah lewat waktu 6 (enam) bulan sehingga gugatan pembatalan perkawinan dalam rekonvensi ditolak.

3. Putusan No. 81/Pdt.G /2005/MSY-LGS berakibat hukum sebagai berikut ;

a. Tergugat rekonvensi dengan status jandanya tidak ada masa iddah b. Pengembalian mahar kawin menghilangkan salah satu syarat

perkawinan.

c. Anak yang dilahirkan Penggugat hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

(21)

Arto, H.A. Mukti. 2000. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama.

Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Djalil, H.A. Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Kencana Pranada Media Group. Jakarta.

Harahap, Yahya M. 1993. Perlawanan terhadap Eksekusi Grose Akta serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi. Citra Aditya

Bakti. Bandung.

Manaf, Abdul. 2008. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama. Mandar Maju. Bandung

Mertokusumo, Sudikno. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.

Yogyakarta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.

Jakarta.

Puspa, Yan Pramadya. 1977. Kamus Hukum. Aneka Ilmu. Semarang.

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Reneka Cipta. Jakarta.

Sudaryono. 2017. Metodologi Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta.

Sudaryat. 2010. Cara Mudah Membuat Gugatan Perdata. Suka Buku. Jakarta.

Sutantio, Retnowulan dan Winata, Iskandar Oeripkarta. 1983. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Alumni. Bandung.

Thalib, Sayuti. 2007. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Universitas Indoensia.

Jakarta.

2. Peraturan Perundang – Undangan R.B.G (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)

(22)

H.I.R (Herziene Indonesische Reglement)

Undang – Undang tentang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974

Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang – Undang Perkawinan Nomor 9 tahun 1975

Kompilasi Hukum Islam atas Inpres No. 1 tahun 1991

Referensi

Dokumen terkait