• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2452 K/PID.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISA YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2452 K/PID."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FREDI PRANATA TARIGAN NIM: 140200343

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Analisa Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terorisme Menurut UU NO. 15 Tahun 2003 (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2452 K/PID.SUS/2011)” ini sesuai dengan harapan.

Latar belakang pelitian ini tidak semata-mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu mendesak yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan tragedi-tragedi terorisme yang rutin terjadi. Dimana hal ini tentunya juga menjadi perhatian penting bagi pemerintah Indonesia untuk terus membuat terobosan hukum terkhusus hukum yang mengatur tentang terorisme, dikarenakan tindak pidana terorisme sangat berpotensi menghancurkan keutuhan Negara Republik Indonesia.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan penelitian ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi terhadap pengaturan terorisme itu sendiri. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan penelitian ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.

(4)

1. Bapak Prof. Dr. H. Runtung Sitepu,S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU;

3. Bapak Prof. Dr. Saidin,S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H.,M.Hum., selakuWakil Dekan II Fakultas Hukum USU;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;

7. Ibu Liza Erwina,S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU;

8. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan penelitian ini;

(5)

penelitian ini serta selama penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum USU;

10. Seluruh dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;

11. Seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU ;

12. Terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga Penulis, terkhusus kepada Orang Tua Penulis, Ayahanda Erik Tarigan dan Ibunda Enita Br Sembiring yang senantiasa memberikan do’a yang tulus kepada penulis, curahan keringat dan air mata yg ikhlas diberikan kepada Penulis, serta segala dorongan dan semangat yang tidak pernah henti-hentinya diberikan;

13. Adik-adik penulis, Lery Geovany Tarigan, Sindy Sahfitri Br Tarigan dan Silvia Agita Br Tarigan tersayang, untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;

14. Saudara-saudara Penulis di “SAUDARA JAUH” yang telah banyak menyumbangkan perubahan didalam hidup Penulis, serta telah setia menjadi rumah yang damai bagi Penulis di perantauan;

15. Seluruh Kakanda dan Adinda serta saudara-saudara seperjuangan Penulis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum

(6)

Hukum USU, terutama Immanuel Sembiring, S.H selaku ketua IMKA Fakultas Hukum USU periode 2017-2018 untuk dukungan yang tiada hentinya diberikan kepada penulis setiap saat;

17. Teman-teman Stambuk 2014 Fakultas Hukum USU serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis dalam penulisan skripsi ini telah memberikan yang terbaik dalam penyelesaiannya, dan mungkin nantinya akan banyak ditemui kesalahan yang tertuang dalam skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan kepada seluruh pihak agar membantu penulis dalam menyempurnakan isi skripsi ini. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat memberi manfaat bagi bangsa dan negara, serta kepada kita semua.

Terima kasih.

Medan, 15 Agustus 2018 Hormat Penulis,

FREDI PRANATA TARIGAN NIM: 140200343

(7)

Abstraksi ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 11

C. TUJUAN PENULISAN ... 11

D. MANFAAT PENULISAN... 11

E. KEASLIAN PENULISAN ... 12

F. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

G. METODE PENULISAN ... 31

H. SISTEMATIKA PENULISAN ... 36

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA. ... 38

A. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 38

B. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 47

BAB III PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA TERORISME BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2452 K/PID.SUS/2011 ... ... 50

(8)

D. Amar Putusan ... 76

E. Analisa Putusan ... 80

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. KESIMPULAN ... 85

B. SARAN... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(9)

*) Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H, M.S

**) Alwan, S.H.,M.Hum

***) Fredi Pranata Tarigan ABSTRAKSI

Terorisme merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena telah menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana terorisme ini merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan faktor penyebab dilakukannya tindak pidana ini sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Aksi-aksi terorisme tersebut dapat dilatar belakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif : perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu. Terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa ini membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka penegakan hukum terhadap terorisme yang menyimpang dari KUHAP adalah dikenalnya proses pemeriksaan di persidangan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Persidangan secara in absentia adalah merupakan pengecualian terhadap kondisi-kondisi tertentu. Pengecualian tersebut adalah dalam hal terdakwa tidak hadir padahal sudah dipanggil menurut cara-cara yang sah dan patut, namun terdakwa sengaja untuk tidak menghadiri persidangan. Tentunya hal tersebut merupakan upaya terakhir dari para penegak hukum apabila mengalami kesulitan untuk menghadirkanm terdakwa ke dalam persidangan.

Kemudian, hal berikutnya yang dilakukan pemerintah dalam rangka penegakan hukum terhadap terorisme yang menyimpang dari KUHAP adalah dibebaskannya saksi untuk memberikan kesaksiannya melalui teleconference atau dengan kata lain tanpa harus hadir di dalam persidangan.

Tujuan dari pemerintah, menyimpang dari ketentuan dalam KUHAP adalah tidak lain untuk menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme serta menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Kata Kunci : Terorisme, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peradilan in absentia, teleconference

*) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II

***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(10)

Teror saat ini telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok,sebagai virus ganas dan ancaman yang menakutkan yang sewaktu-waktu dapat menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”,termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan,pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi manusia (HAM).HAM telah kehilangan jati dirinya serta tercerabut kesucian atau fitrahnya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan ketakutan,ancaman atau kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial,politik,budaya dan ekonomi.

Teror sejatinya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satuancaman yang teramat sangat serius akan kedaulatan setiap negara,karena terorisme merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan,perdamaian dunia dan melenyapkan kesejahteraan masyarakat banyak sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungu dan dijunjung tinggi.1

Kehadiran kejahatan terorisme telah menyeruak dengan realita telah menjelma dalam berbagai wujud serta cara yang demikian akrab dengan kehidupan manusia dan telah mengisi banyak agenda kebiadaban dalam sejarah manusia. Memang faktanya teror bukanlah sesuatu hal yang aneh dan asing lagi.

1 Muzakkir Samidan Prang, Terorisme Dalam Perspektif Hukum Pidana, (Medan:

Pustaka Bangsa Press,2011), hal. 1.

(11)

Teror telah terjadi dimana-mana dan kapan saja. Teror telah melekat dan teramat akrab bersanding didalam bangunan kehidupan bernegara. Misalnya,penegak hukum yang merupakan representasi rakyat dalam melindungi dan menegakkan hak asasi manusia dewasa ini telah dibuat sibuk mencermati,melacak,dan menangani berbagai kasus teror dan kekerasan kolektif yang sepertinya sangat sulit mencapai titik minimalisasi,apalagi titik akhir.

Aksi teror tersebut jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan martabat bangsa,dan norma-norma agama. Teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas hak asasi manusia. Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkan telah banyak menyentuh multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia,harkat sebagai bangsa beradab dan cita-cita dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam misi mulia “kedamaian universal”mudah dan masih dapat dikalahkan oleh aksi teror. Karena demikian akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai pilihan manusia,akhirnya teror bergeser dengan sendirinya menjadi “Terorisme”. Artinya terorisme ikut mengambil peran dalam kehidupan manusia ini untuk menunjukkan potret lain dari sebuah kejahatan,khusunya kejahatan kekerasan,kejahatan terorganisir,serta kejahatan yang tergolong luar biasa ( extra ordinary crime)2.

Berbicara sejarah terorisme akan mengingatkan kita akan peristiwa pengeboman gedung kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon di New York Amerika Serikat pada 11 September 2001.Peristiwa tersebut merupakan pukulan telak terhadap supremasi AS sebagai negara adidaya,dan AS

2https://beritasepuluh.com/2018/05/16/sejarah-terorisme-di-dunia/

(12)

meresponnya dengan slogan “war against terrorism”. Peristiwa pengeboman WTC dan Pentagon,serta respon AS tersebut menjadi titik awal politik dunia yang menjadikan terorisme sebagai ancaman keamanan yang sangat serius,sekaligus mengukuhkan hegemoni AS sebagai satu-satunya negara super power (the only superpower). Hegemoni AS nampak pada respon AS terhadap terorisme secara umum,dan khusunya invasi ke Afganistan dan Irak. AS cenderung bersifat represif terhadap segala tindakan yang dianggap mengancam keamanan negaranya,bahkan cenderung mengabaikan HAM yang menjadi agenda politik dunia sebelumnya.3

Terorisme,sebenarnya telah lama ada dan bahayanya telah disadari negera- negara didunia jauh sebelum peristiwa pengeboman WTC dan Pentagon. Namun pada saat itu,terorisme masih terbatas dalam sekat negara atau regional dan belium mengglobal sebagaimana yang terjadi disaat sekarang ini. Kesadaran masyarakat dunia akan bahaya terorisme telah ditunjukkan dengan melahirkan berbagai konvensi internasional tentang terorisme seperti International Convention of Terorisme (1937),International Convention for the Suppression of Financing of Terrorism (1999). Disamping itu PBB juga telah mengeluarkan Declaration on Measures to Eliminate International Terrorism (1994) dan Declaration to Supplement the 1994 Declaration on Measures to Eliminate International Terrorism (1996). Indonesia juga menunjukkan keseriusannya dalam menghadapi terorisme dengan meratifikasi International Convension for the Suppresion of Terorist Bombing dengan UU Nomor 5 Tahun 2006, dan

3 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme,Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal. 1.

(13)

Internatioanl Conventionm for the Suppresion of Financing of Terrorism dengan UU Nomor 6 Tahun 2006.4

Di Indonesia,istilah terorisme beberapa tahun belakangan ini bukanlah lagi hanya dapat didengar atau disaksikan melalui media massa,melainkan telah menjadi suatu kenyataan yang mengerikan bagi masyarakt. Kejahatan terorisme yang dilakukan dengan pengeboman terhadap sasaran yang telah direncanakan secara sistematis dapat terjadi setiap waktu di setiap tempat dan dapat menimpa siapa saja tanpa pandang bulu.

Berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia seperti peristiwa bom Natal,bom Atrium,pemboman di depan Kedubes Philipina,bom Marriot, bom di Sari Club dan Peddy’s Club (bom Bali I) sampai pemboman di depan Kedubes Australia (bom Kuningan). Dampak peristiwa terorisme tersebut tentunya bukan hanya meresahkan dan menakuti masyarakat,tetapi juga menurunkan kredibilitas negara di mata dunia internasional. Mungkin ada benarnya pernyataan Perdana Menteri Singapura Mr. Lee Kuan Yu yang pernah mengatakan dan memeberikan gelar kepada Indonesia sebagai “Negara Sarang Terorisme di Asia Tenggara”5,pada prinsipnya penulis tidak sependapat dengan pernyataan tersebut,karena setiap Negara mempunya potensi menjadi sarang teroris6.

Peristiwa bom di Sari Club dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali 12 Oktober 2002,sangatlah teramat layak dikategorikan sebagai kejahatan terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang ada. Tragedi itu adalah sebuah bukti nyata

4Ibid.

5 Soal Tuduhan Terorisme Indonesia : Deplu Diinstruksikan Tanya Singapura, Harian Kompas, tanggal 20 Februari 2002, hal. 1.

6https://nasional.sindonews.com/read/1218270/18/pencegahan-dan-penanggulangan- terorisme-di-indonesia-1499276811

(14)

bahwa teror adalah aksi yang sangat keji yang tidak memandang, tidak memperhitungkan, tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia yang tidak tahu menahu akan maksud,misi atau tujuan pembuat teror telah menjadi korban yang tak berdosa (Innoncent Victim).

Rakyat tidak berdosa hanya menjadi ongkos kebiadaban manusia yang dimenangkan dan disupremasikan aksi teror yang terjadi di Legian Bali itu mengingatkan publik pada kejadian Black Tuesday ( Selasa Kelabu ) yaitu peristiwa pengeboman yang telah menghancurkan simbol kapitalisme Negara Adikuasa Amerika Serikat berupa menara WTC dan simbol pertahan Pentagon.

Publik global menarik benang merah bahwa tragedi Bali dan kasus WTC Amerika Serikat adalah produk gerakan kelompok terorisme yang bermaksud merusak perdamaian dunia, menghancurkan nilai-nilai peradaban, dan mendegradasi hak- hak asasi manusia (HAM).

Kasus Ledakan Bom di JW Marriot ( 5 Agustus 2003) yang menewaskan belasan orang dan puluhan orang luka-luka juga makin membenarkan bahwa disamping persoalan teror itu tergolong sebagai ancaman serius bangsa dan dunia, juga disisi lain dampaknya sangat terasa bagimkehidupan masyarakat. Masyarakat akhirnya dicekam ketakutan. Siapa tidak takut dan terusik kedamaiannya kalau sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang dan tubuh hancur berantakan di tangan pelaku terorisme. Kondisi masyarakat yang dicekam ketakutan ini sama dengan ternodai hak asasinya, yang idealnya kehidupan bebas dan damainya dari ancaman dan perilaku yang bermodus merugikannya dapat dinikmati.

(15)

Fenomenanya, kata terorisme dewasa ini benar-benar merupakan bagian dari momok besar bagi bangsa Indonesia, disamping dunia atau masyarakat Internasional. Kata ini (Teror) sempat membuat gentar rakyat kecil karena kejadian yang mereka alami telah mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan dan dikorbankan. Terorisme merupakan suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi internasional,berbagai kalangan dan negara. Ketika kekuatan imperialisme, rasisme dan zionisme mulai mempropagandakan dan memasukkan terminologi terorisme kedalam perbincangan politik dan berbagai bidang lainnya, maka kaum tersebut telah mencampuradukkan dengan sengaja dua fenomena yang berbeda secara substansial, yaitu kriminalitas terorisme dan perjuanagn suatu bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri.7 Hal ini telah menimbulkan bias dalam metode penanganan masalah terorisme. Termasuk definisi terorisme itu sendiri, makna, organisasi-organisasi, bentuk-bentuk operasi, sebab-sebab yang berada dibalik munculnya suatu aksi tertentu dan perencanaan penanganan terorisme ini.

Indonesia sendiri telah menyadari betapa bahayanya tindakan dari terorisme itu. Karena itulah, maka pemerintah berupaya membuat Undang- Undang (UU) khusus yang mengatur terorisme. Akibat dari serangkaian tindakan teror yang terjadi di Indonesia,membuat Indonesia sebagai negara yang dianggap rawan dan terkesan menakutkan bagi siapa pun yang ingin berkunjung.8

7 Haitsam,2001 , hal.15.a

8 Surat Presiden RI Nomor: R.13/PU/XI/2002 kepda DPR RI, Tertanggal 7 November 2002, Perihal Penyampaian Empar Rancangan Undang-Undang di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

(16)

Indonesia sendiri baru memiliki Perpu yang mengatur tentang terorisme pada tahun 2002,yaitu melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini kemudian disetujui oleh DPR dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.9

Berdasarkan UUD 1945, Perpu merupakan hak Presiden yang dapat dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dengan dikeluarkan Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berarti Presiden menganggap bahwa telah terjai kondisi kegentingan yang memaksa, yaitu disebabkan belum adanya UU khusus yang mengatur terorisme di Indonesia, sehingga belum ada instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku Bom Bali I yang mendapat kecaman dari masyarakat internasional karena menewaskan ratusan orang didalamnya termasuk warga negara asing. Bahkan Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara mendukung Resolusi 1438 yang isinya menyebutkan bahwa peristiwa Bom Bali I mengancam perdamaian serta keamanan internasional.10

Dengan melihat penjelasan diatas, tidak bisa dipungkiri bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan UU yang dikeluarkan dalam keadaan darurat sebagai reaksi terhadap peristiwa Bom Bali I. Setelah disahkan,

9 Keputusan DPR RI Nomor: 23/DPR RI/III/2003-2003 tentang Pembentukan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Mengenai Rancangan Undang-Undang Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

10 Rancangan Mekanisme Kerja Pansus Empat RUU Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

(17)

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diberlakukan surut (retroaktif) untuk kasus Bom Bali I dengan terpidana antara lain Amrozi bin H. Nur Hasyim, Abdul Aziz alias Imam Samudra, Ali Ghufron alias Mukhlas dan Ali Imron bin H Nur Hasyim alias Alik. Berdasarkan pasal 46, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat diberlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya UU ini, yang penerapannya ditetapkan dengan UU atau Perpu Nomor 1 Tahun 2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.

UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan kebijakan formulatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana terorisme.

Kebijakan formulatif sendiri merupakan bagian dari politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana diawali melalui kriminalisasi, yaitu penerapan suatu perbuatan yang awalnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam perbuatan tersebut dengan sanksi pidana.11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah Melakukan kriminalisasi terhadap terorisme yang diancam dengan sanksi pidana tertentu. Selain tindak pidana dan sanksi pidana, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menetapkan beberapa aturan mengenai mekanisme prosedural penegakan hukum (hukum acara) terhadap tindak pidana terorisme.

11Arief Mudatsir Madnan, “Pendapat Akhir Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI atas Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002”, Disampaikan pada Sidang Paripurna DPR RI, 6 Maret 2003.

(18)

Karena dibuat dalam kondisi darurat dan tidak melalui serangkaian pembahasan yang panjang di DPR, maka UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai banyak mengandung kelemahan. Oleh karena itu banyak pihak yang mendesak untuk dilakukan revisi. Beberapa ketentuan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang masih perlu dikaji kembalki antara lain Pasal 3 yang mengakui yurisdiksi negara lain.12 Dalam impelemntasinya,penerapan pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, misalnya dalam kasus Omal Al-Faruq yang diserahkan kepada AS dan hingga saat ini tidak jelas nasibnya. Ketidakpastian proses hukum Omar Al-Faruq menimbulkan spekulasi bahwa Omar Al-Faruq merupakan agen AS.

Beberapa istilah dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga masih memiliki makna yang multitafsir,misalnya istilah “bahan peledak” pada Pasal 1 angka 12 yang didefenisikan sebagai “semua bahan yang dapat meledak,semua jenis mesiu,bom,bom pembakar,ranjau,granat tangan,atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan”. Definisi ini dipandang masih terlalu luas,terutama terlihat dari kalimat “bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan”13.

Dari aspek sistem pemidanaan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini juga terlihat sangat represif, karena selain menerapkan sistem pidana minimum khusus pada tindak pidana tertentu, beberapa sanksi pidana juga banyak yang dirumuskan menggunakan sistem tunggal atau imperatif, padahal sistem perumusan ini sudah banyak ditinggalkan karena membatasi kebebasan

12Ibid.

13https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2018/05/27/143179/pakar- hukum-uu-terorisme-baru-potensi-melahirkan-kesewenang-wenangan-makin-terbuka.html

(19)

hakim untuk memilih jenis sanksi pidana yang lebih dianggap sesuai14. Dalam penentuan bobot pidana,terdapat pengaturan yang menyimpang dari KUHP, yaitu percobaan dan pemufakatan jahat dipidana sama dengan tindak pidana yang selesai. Kemudian pembantuan dipidana dengan sanksi pidana pokok.

Berdasarkan paparan diatas,penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terkait dengan tindak pidana terorisme beserta tindak pidana pendanaan teroris dalam skripsi dengan judul Analisa Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (STUDI PUTUSAN NO.2452 K/PID.SUS/2011).Oleh karena itu,Penulis tidak bermaksud mengomentari ataupun mengkritik putusan tersebut,namun penulis hanya berkeinginan menggali ilmu mengenai Tindak Pidana Terorisme melalui putusan tersebut.

14http://www.beritasatu.com/nasional/494437-ini-kelebihan-dan-kekurangan-uu- antiterorisme.html

(20)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah antara lain :

1. Bagaimanakah Pengaturan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Indonesia ?

2. Bagaimanakah Penerapan Sanksi Tindak Pidana Terorisme Dalam Putusan Mahkamah Agung No.2452 K/PID.SUS/2011 ?

C. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah

a. Untuk mengetahui pengaturan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pendanaan terorisme.

b. Untuk mengetahui penerapan dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pendanaan terorisme.

D. Manfaat Penulisan

Adapun Manfaat penulisan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

a. Secara Akademis

Diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangsi pemikiran dalam membangun penegakan hukum di Indonesia terutama masalah yang menyangkut tindak pidana pendanaan teroris.

b. Secara Praktis

(21)

Dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam penegakan hukum di Indonesia serta dalam upaya menyelesaikan permasalahan tindak pidana terorisme khususnya dalam hal tindak pidana pendanaan teroris.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Penelitian Tentang “Analisa Yuridis Terhadap Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (STUDI PUTUSAN NO.2452 K/PID.SUS/2011)”,belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini,maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

(22)

F. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana Terorisme

Defenisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ketiadaan defenisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai terorisme tidak serta merta meniadakan defenisi hukum terorisme itu. Masing-masing negara mendefenisikan menurut hukum nasionalnya untuk mnegatur, mencegah dan menanggulangi terorisme.15

Kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin “terrere” yangn kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan, kata teror juga bisa menimbulkan kengerian akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada defenisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil yang tidak berdosa.16

Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang. Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti gemetaran, dan ”detererre” yang berarti takut.17 Istilah terorisme pada awalnya

15 Indriyanto Seno Adji, Terorisme dan HAM dalam Terorisme : Tragedi Umat Manusia.

(Jakarta : O.C. Kaligis & Associates, 2001). Hal 17

16 Ibid , Hal 18-19

17 Bambang Abimanyu, 2005, Teror Bom di Indonesia, Grafindo, Jakarta, hal 62.

(23)

digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik.

Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai pada non komformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka.

Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu dikaji terlebih dahulu terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa pakar ahli, yaitu :

a. Terorisme Act 2000, UK., Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan, dengan ciri-ciri :

1) Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu system elektronik;

2) Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik;

(24)

3) Penggunaan atau ancaman yang dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideology;

4) Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.

b. Menurut Konvensi PBB, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

c. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti dan menakutkan terutama untuk tujuan politik/

d. Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sitematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.

e. Menurut Syed Hussein Alatas, teroris (pengganas) adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan

(25)

dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.18

f. T. P. Thornton, terorisme didefenisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra moral, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.19

Dalam bahasa Arab, terorisme dikenal dengan istilah Al-Irhab. Kata al- irhab (teror) berarti menimbulkan rasa takut. Irhabi atau teroris artinya orang yang membuat orang lain ketakutan, orang yang menakut-nakuti orang lain.

Dari berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian yang berkaitan dengan terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu :

a. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik;

b. Ditujukan kepada Negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu;

18 Dikutip dari Abdul Wahid, 2004 , Kejahatan Terorisme..., Hal 29-30.

19 Mahrus Ali, Hukum Pidana Terorirsme Teori dan Politik, (Jakarta : Gramata Publishing, 2012), hal. 2

(26)

c. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga;

d. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.20

Menurut Kacuang Marijan21 kata teror disebutkan dengan istilah system, regime de terreur yang kali pertama muncul pada tahun 1789 di dalam Te Dictionnaire of Te Academic Francaise. Konteks revolusi Prancis lekat di dalam penggunaan istilah itu. Karena itu, istilah terorisme pada waktu itu memiliki konotasi positif, yakni aksi-aksi yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang lalim dan aksi-aksi itu berhasil dilakukan. Namun, praktif-praktik terorisme sudah lama terjadi sejak sekitar 66-67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrem Yahudi melakukan aksi teror, termasuk didalamnya pembunuhan terhadap bangsa Romawi yang melakukan pendudukan di wilayahnya (kira-kira di wilayah yg di persengketakan oleh Israel dan Palestina sekarang).

Sejak saat itu, aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia, istilah teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan awal 2000-an sebagai bentuk kekerasan agama. Meskipun terorisme, sesungguhnya bukanlah sebuah istilah baru. Tindakan teror telah muncul sepanjang sejarah umat manusia. Bagaimana putra Adam, Qabil meneror Habil, karena dinilai menjadi penghambat keinginan Qabil.

Beberapa bentuk teror telah menjadi cara umum untuk mengintimidasi lawan. Orang yang percayavahwa dengan kekerasan dapat mengintimidasi musuh

20 Moch. Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung : Mandar Maju,2005), Hal.1

21 Zulf Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia : Kajian Aspek Teologi, Ideologi dan Gerakan, Jurnal Studi Masyarakat Islam Volume 15 Nomor 2 Desember 2012, Pascasarjana UMM, hal 241.

(27)

atau lawan agar takut. Sebagai sebuah label untuk tindakan kekerasan, istilah ini mencerminkan makna negatif bagi mereka yang dijuluki teroris. Dalam pengertian ini teror disamaka dengan istilah menyakitkan lainnya dalam khazanah bahasa politik, seperti rasis, fasis atau imperialis.

Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakan istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya natara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima daripada yang dilakukan oleh “teroris” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan.

Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang.

Terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga sepatutmya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal. Pada umumnya orang sipil merupakan sasaran utama terorisme, dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme.

Gerakan terorisme mempunyai tujuan-tujuan yaitu menciptakan ketakutan dan kecemasan yang berkepanjangan sebagai cara untuk menekan target sasaran

(28)

agar bertindak atau mengambil kebijakan sesuai dengan keinginan teroris, seperti halnya teror-teror yang telah terjadi di Indonesia beberapa tahun silam. Gerakan terorisme ini dilakukan berdasarkan keinginan secara radikal guna terpenuhinya kepentingan para teroris ini. Kepentingan-kepentingan ini dapat bersumber pada penafsiran ajaran agama, ideologi, serta ketidakpuasan atau sosial-ekonomi.

Menurut FX Adji Sameko yang mengutip pendapat James H. Wolfe, menyebutkan beberapa karakteristik terorisme, antara lain sebagai berikut:

a. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun non politis;

b. Sasaran yang menjadi objek kasi terorisme bisa sasaran sipil maupun sasaran non sipil;

c. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah negara;

d. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional. Serangan yang dilakukan dengan sengaja untuk membinasakan penduduk sipil seperti yang terjadi pada Bom Bali beberapa waktu lalu adalah pelanggaran hukum internasional.

e. Aktivitas teroris menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan gangguan psikologis untuk masyarakat;

f. Persiapan atau perencanaan aksi teror bisa bersifat multinasional.

Maksudnya, pelaku terorisme dapat dilakukan oleh warga negara itu sendiri maupun oleh warga negara asing atau gabungan dari keduanya;

(29)

g. Tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah menarik perhatian media massa dan perhatian publik;

h. Aktivitas terorisme mempunyai nilai mengagetkan (shock value) yang bagi teroris berguna untuk mendapatkan perhatian. Untuk itulah dampak aktivitas terorisme selalu terkesan kejam, sadis dan tanpa menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Abdul Latif mengemukakan bahwa karakteristik terorisme antara lain : a) Membenarkan penggunaan kekerasan;

b) Penolakan terhadap adanya moralitas;

c) Penolakan terhadap berlakunya proses poitik;

d) Meningkatnya totaliterisme;

e) Menyepelekan kemauan masyarakat beradab untul mempertahankan diri.22

Mengenai karakteristik terorisme ini, Paul Wikinson juga memberikan pendapatnya yaitu dalam aksi teror yang sistematik, rapi, dan dilakukan oleh teroris politis memiliki karakteristik sebagai berikut :

a) Merupakan intimidasi yang memaksa;

b) Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu;

c) Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yaitu membunuh satu untuk menakuti seribu orang;

22 Mahrus Ali, Hukum Pidana Terorisme., Hal.6

(30)

d) Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi tujuannya adalah publisitas;

e) Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal;

f) Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya berjuang demi agama dan rasa kemanusiaan.23

Adapun dalam menggencarkan serangan-serangan teror ini,para teroris mempunyai beberapa motivasi yang melatar belakangi tindakan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut :

a. Dorongan atau motivasi dari keinginan serta pemikiran yang rasional (Rational Motivation). Motivasi yang rasional membuat para teroris bepikir mengenai tujuan dan tindakan yang mereka lakukan dapat menghasilkan keuntungan. Untuk menghindari resiko, teroris melemahkan kemampuan bertahan dari para korban/target sehingga teroris dapat melakukan serangan dengan lacar.

b. Motivasi dari keadaan psikologis (Psycological Motivation). Motivasi ini berasal dari pada teroris yang mengalami gangguan terhadap kejiwaan dalam kehidupan.biasanya mereka membenarkan tindakan mereka sebagai bentuk dari amarah/emosi. Pada umumnya para teroris dengan tipe seperti ini mereka mengalami sautu kejadian yang tidak mengenakkan dalam kehidupan mereka sehingga mereka

23 Ibid, Hal.8-9

(31)

melampiaskannya dalam bentuk tindakan yang dapat menimbulkan rasa takut serta korban jiwa (balas dendam).

c. Motivasi yang berasal dari kebudayaan (Cultural Motivation). Teroris dari tipe ini biasanya memiliki karakteristik kebudayaan yang keras serta mengarah ke terorisme. Pada kehidupan sosial dimana orang-orang mengidentifikasikan diri mereka kedalam suatu klen, suku dan kebudayaan, dan terdapat suatu pengharapan/keinginan untuk bertahan hidup di dalam lingkungan yang keras dan memaksa seseorang atau lebih untuk melakukan hal-hal diluar keinginan mereka, hal-hal tersebut dapat menciptakan suatu image yang nantinya dapat menjadi karakter dari perbuatan mereka.

Selain karakteristik dan motivasi terorisme, kita juga perlu mengetahui tipologi terorisme. Tipologi ini berfungsi untuk mengetahui penyebab, strategi dan tujuan yang hendak dicapai dalam aksi teroris tersebut.

Menurut Paul Wikinson ada beberapa macam tipologi terorisme,antara lain : a. Terorisme epifenomenal (teror dari bawah) dengan ciri-ciri tak terencana

rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit;

b. Terorisme revolusioner (teror dari bawah) yang bertujuan revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu merupakan fenomena kelompok, struktur kepemimpinan, program dieologi, kosnpirasi, elemen para militer;

c. Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) yang bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang

(32)

politis dengan kelompok ricval, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau criminal;

d. Terorisme represif (teror dari bawah atau terorisme negara) yang bermotifkan menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tidak dikehendaki oelh penindas (rezim otoriter atau totaliter) dengan cara likuidasi dengan ciri-ciri berkembang menjadi teror masa, ada aparat teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan di kalangan rakyat, wahana untuk paranoid pemimpin.

Selanjutnya dikutip dari National Advisory Commitee dalam the Report of the Tasks Force on Disoredenand Terrorism menggolongkan tipologi terorisme menjadi lima macam. Tipologi tersebut antara lain :

a. Terorisme politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan dengan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam masyarakat dengan tujuan politik.

b. Terorisme non-politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk kepentingan pribadi termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi.

c. Quasi terorisme adalah gambaran aktivitas yang bersifat isidental untuk melakukan kekerasan yang menyerupai terorisme, tapi tidak mengandung unsur esensialnya.

(33)

d. Terorisme politik terbatas menunjuk pada perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan politis tetapi tidak untuk menguasai pengendalian negara.

e. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism) adalah terorisme yang terjadi di suatu bangsa yang tatananya didasarkan atas penindasan.24

Berdasarkan macam-macam tipologi terorisme tersebut dapat membantu menganalisa cara-cara yang umum digunakan dalam tindakan terorisme, diantaranya adalah pengeboman/teror bom, pembajakan, serangan militer dan pembunuhan, perampokan, penculikan dan penyanderaan, dan dengan cara serangan bersenjata.

Motif dari tindak pidana terorisme tersebut bersifat kompleks, karena tidak hanya dari faktor psikologis, namun juga faktor politik, agama, sosiologis, sosial budaya dan faktor lain yang bersumber daripada tujuan yang ingin dicapai.

2. Pengaturan Sanksi Tindak Pidana Terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Dalam hal upaya mencegah terjadinya serangan terorisme dalam berbagai tragedi yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT).

24 Mahrus Ali, Hukum Pidana Terorisme..., hal.9

(34)

Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.25

Pemerintah Indonesia menyadari terhadap bahaya aksi terorisme yang telah menjadi isu internasional dan negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat begitu fokus dalam upaya memerangi terorisme,26 oleh karena itu perlunya akan pemahaman mengenai terorisme menurut UUPTPT.

Sanksi hukum mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) kepada mereka yang melakukan pelanggaran peraturan/norma.

Sanksi mempunyai tugas agar peraturan yang sudah ditetapkan itu ditaati dan dilaksanakan. Dan sanksi merupakan alat pemaksa agar seseorang menaati peraturan-peraturan yang berlaku.27 Adapun sanksi terhadap pelanggar aturan hukum pidana ialah pelanggar akan mendapatkan hukuman pidana sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan.28

Dalam hal ini, sanksi hukum tindak pidana terorisme disebutkan dalam beberapa pasal di dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, antara lain :

25 Penjelasan umum UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

26http://www.inilah.com/read/detail/416972/bahaya-terorisme-masih-menjadi-ancaman, diakses pada tanggal 19 Desember 2015

27 Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm.

48.

28 Sugandhi, KUHP Dengan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 12

(35)

Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 8

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:

a) menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

b) menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;

c) dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;

(36)

d) karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;

e) dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

f) dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;

g) karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak;

h) dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;

i) dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;

j) dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan

(37)

perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;

k) melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;

l) dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;

m) dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;

n) dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;

o) melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih

(38)

dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;

p) memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;

q) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;

r) di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.

Pasal 9

Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 14

Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7,

(39)

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Pasal 15

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.

Pasal 16

Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Pasal 19

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.97

(40)

G. METODE PENULISAN

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut29 :

1. Jenis Pendekatan

Dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian hukum, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder yang berasal dari hukum positif tertulis (kepustakaan atau dokumen) maupun tidak tertulis.30

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena hendak mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Karena dalam penulisan ini yang akan diteliti dan dianalisa adalah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap kasus tindak pidana pendanaan terorisme yang dilakukan oleh Abu Bakar bin Abud Baasyir als. Abu Bakar Baasyir.

1. Data Penelitian

29https://www.scribd.com/doc/316040511/METODE-PENULISAN-pdf

30 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10

(41)

Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder, yakni berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu :31

a. Bahan Hukum Primer (primary resource atau authoritative records), yaitu :

Merupakan data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu organisasi secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan yang dapat berupa interview, observasi.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authotitative records), yaitu :

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum sekunder. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana terorisme, berbagai literatur tentang tindak pidana terorisme, hasil-hasil penelitian, jurnal ilmiah dan laporan-laporan terkait dengan tindak pidana pendanaan terorisme, dan lain-lain. Adapun peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini antara lain seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Undang-Undang

31 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Kedua, (Jakarta : Penerbit Rajawali, 1986), hal. 15

(42)

Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang, Putusan Nomor 2452 K/PID.SUS/2011

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu :

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus hukum, kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik penumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder.Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari kepustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

(43)

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

3. Analsis Data

Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dengan mengutamakan kalimat-kalimat dan bukan angka sebagaimana dalam pendekatan kauntitatif. Selain itu, pendekatan kualitatif lebih mengutamakan dalamnya data dibanding banyaknya data. Oleh karena itu, penelitian ini akan memfokuskan pada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan hukum tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisa dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:32

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data- data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.

b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu

32 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar,(Jakarta: Penerbit PT.Raja Grafindo Persada,2003), hal.10-11

(44)

diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

(45)

2. SISTEMATIKA PENULISAN

Demi kemudahan dalam memahami setiap pembahasan dalam penelitian ini, dibagi 5 (lima) bab yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya.

Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Didalam bab ini berisi Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan yang terakhir sistematika pembahasan penelitian ini.

Bab II Di dalam bab ini, tindak pidana terorisme beserta tindak pidana pendanaan terorisme dibahas secara komprehensif dan mendalam.

Bab ini memaparkan seluruh definisi beserta kaitan-kaitannya serta klasifikasi perbuatan tindak pidana pendanaan terorisme beserta sanksi yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bab III Membahas dan menganalisa secara mendalam tentang pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pendanaan terorisme yang diterapkan didalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2452 K/PID.SUS/2011.

Bab IV Berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan yang ada pada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan terhadap permasalahan yang dibahas pada penelitian ini

(46)

berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.

(47)

A. MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Dalam sejarahnya, terorisme adalah sebuah kejahatan yang hanya dilakukan oleh sekelompok orang terhadap suatu kegiatan yang bersifat untuk memperoleh keuntungan. Misalnya dalam hal ini adalah sekelompok orang yang membajak pesawat terbang atau kapal laut untuk merampas harta para penumpang ataupun dengan mempunyai tujuan sendiri dalam melakukan hal tersebut.

Kemudian dalam perkembangannya gerakan terorisme berkembang tidak hanya mempunyai unsur mencari keuntungan melainkan dilakukan oleh oknum yang mempunyai kepentingan politis baik itu dari golongan bawah ataupun golongan atas melalui perantara sebuah gerakan anarkis.

Seperti halnya peraturan hukum lain, terorisme juga diatur dalam KUHP, namun didalam KUHP tidak dirinci sebagai tindak pidana terorisme, melainkan hanya diatur sebagai kejahatan yang mengancam keamanan negara. Dalam hal ini diatur dalam Buku Kedua Bab I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Bab V Kejahatan Tentang Ketertiban Umum, Bab VII Kejahatan Yang Mendatangkan Bahaya bagi Keamanan Umum Manusia atau Barang. Jadi sebenarnya sebelum sebuah tindak pidana terorisme terjadi pada tahun 1968, pembuat UU di Indonesia

(48)

yang masih mengadopsi dari peninggalan Belanda telah memikirkan kejahatan yang bersifat terorisme.

Memang didalam beberapa bab yang telah diuraikan diatas masih sangat jauh enyimpang dengan terorisme yang marak terjadi pada sekarang ini, namun pada dasarnya beberapa kejahatan yang diatur dalam beberapa bab diatas ada yang sebagian merupakan unsur-unsur dari terorisme. Sehingga dapat dikategorikan bahwa tindak pidana yang diatur dalam bab-bab tersebut merupakan tindak pidana terorisme.

Dapat diambil contoh misalnya, Pasal 108 ayat (1) yang berbunyi :

“Barangsiapa bersalah karena memberontak dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun,yaitu:

1. Barangsiapa yang melawan Pemerintah Indonseia dengan senjata.

2. Barangsiapa yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersamasama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.”

Jika dikaitkan dengan pengertian terorisme sendiri yang terdiri dari 3 unsur yaitu, motif politik, rencana atau niat, dan penggunaan kekerasan, maka telah cocok dengan pasal diatas. Jadi pada intinya gerakan separatis yang selama ini ada di Indonesia misalnya GAM,RMS dan sebagainya merupakan gerakan terorisme yang terdapat di dalam Negara Indonesia yang tujuannya untuk melawan kekuasaan dalam Indonesia.

(49)

Menurut Martin Griffith dan Terry O Callaghan33, ada empat macam terorisme, yaitu:

1. Transnational Organized Crime, kelompok kriminal yang beroperasi di lintas batas negara menggunakan kekerasan untuk melindungi kepentingannya. Contoh: jaringan perdagangan narkotika.

2. State Sponsored Terrorism, negara yang memberikan dukungan logistik, menyediakan persenjataan dan membiayai operasi kelompok teroris untuk menciptakan instabilitas di negara lain.

3. Nationalistic, merupakan gerakan-gerakan didalam negara yang mengacaukan ketertiban masyarakat dan menciptkana gangguan keamanan, seperti gerakan separatis.

4. Ideological, kelompok teroris yang mendasarkan aksinya berdasarkan prinsip ideologis.

Sebuah gerakan yang didasarkan untuk mengacaukan stabilitas negara termasuk gerakan yang Nationalistic, jadi sebuah gerakan terorisme yang ada didalam bagian sebuah negara.

Selain dalam pasal 108, terdapat beberapa pasal-pasal khusus didalam KUHP yang mengatur tentang adanya kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi pemerintahan yang sah, kemanan umum manusia atau barang. Berikut beberapa pasal didalam KUHP yang mengatur hal-hal yang dapat juga dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, yakni :

33Rusli Effendy, 1989, Asas Asas Hukum Pidana, Ujung Pandang, Leppen UMI, hal 80

(50)

1. Pasal 104 KUHP, yang berbunyi :

“Makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

2. Pasal 106 KUHP, yang berbunyi :

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memiasahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

3. Pasal 107 ayat (1),(2) KUHP, yang berbunyi :

(1) “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

(2) “Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1) diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

4. Pasal 107 b,yang bebunyi :

“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau

(51)

menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

5. Pasal 107 f, yang berbunyi :

“Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun:

a. Barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan, atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau

b. Barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.”

6. Pasal 110, yang berbunyi :

“(1) Pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104,106,107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104,106,107 dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

a. berusaha menggerakkan orang lainuntuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pula halnya dengan mayoritas penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur, dimana sekitar 71% penduduknya berada di daerah pedesaan, dengan sektor pertanian

atau dikomparasi dengan model algoritma lain. b) Pada riset selanjutnya dapat digunakan metode seleksi atribut yang lain seperti Chi-Square untuk ketepatan

One of the responsibilities that teachers should take is to ensure that the learners can acquire different aspects of vocabulary knowledge through textbooks. In

SOFI HANS HAMDAN : Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan, yang

Refleksi pada siklus I bertujuan untuk mengetahui kekurangan saat proses pembelajaran yang dilakukan guru pada siklus I, untuk dilakukan perbaikan pada siklus II

Uji gain dilakukan dalam peneltian ini yaitu agar dapat mengetahui perbedaan yang signifikan kemampuan menyimak cerpen antara sebelum dan sesudah menggunakan model

Berdasarkan hasil penelitian dan bahasan dapat disimppulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara infeksi virus hepatitis C kronik dengan kualitas hidup pasien PGK

Pubertas prekok ; tanda sex sekunder sebelum usia 9 tahun pada pria dan 8 tahun pada wanita Oligomenorea ; siklus haid lebih panjang (35 hari), >3 bulan - namenorea.