• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI COPING DALAM MENGHAYATI KAUL KETAATAN PADA BIARAWATI DEWASA AWAL KONGREGASI SSpS FLORES TIMUR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRATEGI COPING DALAM MENGHAYATI KAUL KETAATAN PADA BIARAWATI DEWASA AWAL KONGREGASI SSpS FLORES TIMUR SKRIPSI"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI COPING DALAM MENGHAYATI KAUL KETAATAN PADA BIARAWATI DEWASA AWAL

KONGREGASI SSpS FLORES TIMUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Agnes Nona Bukan 159114008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu.

(2 Tawarikh 15;7)

Tuhan akan menyelesaikan bagiku (Mazmur 138:8)

Tuhan hadir nyata dalam setiap pribadi yang berbuat baik (ANB)

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan kepada:

Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus yang telah mengutus untuk mengembangkan diri di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

Serta

Para Suster Misionaris Abdi Roh Kudus yang telah terbuka mensharingkan pengalamannya dan yang telah mendukung dan setia

mendoakanku.

(6)
(7)

vii

STRATEGI COPING DALAM MENGHAYATI KAUL KETAATAN PADA BIARAWATI DEWASA AWAL KONGREGASI SSpS

FLORES TIMUR

Agnes Nona Bukan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

ABSTRAK

Biarawati dewasa awal adalah perempuan yang telah menjalani tiga kaul kebiaraan dalam hidup membiara, salah satu diantaranya adalah kaul ketaatan. Kaul ketaatan adalah menaati aturan biara dan perintah dari pemimpin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai strategi coping dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal Kongregasi SSpS Flores Timur. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain penelitian berupa analisis isi terarah dengan pendekatan deduktif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dengan tiga orang informan penelitian. Kredibilitas penelitian ini ditunjukan dengan melakukan member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biarawati dewasa awal yang melaksanakan kaul ketaatan mengalami masalah tugas studi yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, tugas yang berikan atau diperintahkan melampaui kemampuan, persoalan terkait aturan, persoalan terkait tugas komunitas yang diberikan pemimpin dan terkait pemimpin yang dirasa kurang mendukung. Masalah yang dalami ini menyebabkan informan mengalami dampak baik fisik maupun psikis. Secara fisik, informan mengalami sakit perut, sakit kepala, wajah murung dan sakit gigi. Sedangkan secara psikis ketiga informan mengalami kecemasan, ketakutan, merasa kecewa, sedih dan sakit hati. Selain itu, informan juga merasa marah dengan situasi yang dialami. Kondisi tersebut membuat ketiga informan melakukan strategi coping. Ada dua jenis strategi coping yang digunakan ketiga informan tersebut yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Masing-masing informan mengkombinasikan dua strategi coping dalam mengatasi situasi yang menekan dirinya. Tiga informan melakukan beberapa bentuk coping yakni membangun relasi yang baik dengan pemimpin dengan melakukan dialog, mencari bantuan dari anggota biarawati untuk mengatasi masalah, terbuka mensharingkan pengalaman yang dirasa menekan sehingga dapat mengurangi beban yang dialami serta memaknai setiap peristiwa yang dilami dengan refleksi diri dan diserment. Selain itu, ketiga informan juga melakukan coping untuk menemukan kekuatan Tuhan dalam doa agar dapat menerima masalah yang dialami sebagai konsekuensi dalam menjalani kaul ketaatan.

Kata kunci : Biarawati dewasa awal, kaul ketaatan, strategi coping

(8)

viii

COPING STRATEGIES IN LIVING THE VOW OF OBIDIENCE IN EARLY ADULT NUNS OF THE SSpS EAST FLORES

CONGREGATIONS

Agnes Nona Bukan Faculty of Psychology Sanata Dharma University

ABSTRACT

Early adult nuns are women who undergo three vows in religious life. One of these vows is the vow of obedience. This vow is to obey the rules of the monastery and the leader or the superior. This study aims to find a description of coping strategies in living the vow of obedience in early adult nuns of the SSpS Congregation. This research is a qualitative study with a research design in the form of directed content analysis with a deductive approach. For the collection of data, it used a semi-structured interviews with three research informants. The credibility of this research is demonstrated through member-checking. The results showed that early adult nuns who have been undergoing the vow of obedience experienced problems of further studies assignments that they did not want, tasks given or ordered were beyond their ability, problems of rules, issues in relation to community assignments given by leaders whereas the leaders themselves were seen less supportive. These deep problems cause the informants to experience both physical and psychological negative impacts. Physically, the informants experienced abdominal pain, headache, gloomy face and toothache. Psychologically, the three informants experienced anxiety, fear, feeling disappointed, sad and hurt. In addition, the informants also felt upset with these situations. These conditions encouraged the three informants to look for coping strategies in their daily living. There are two types of coping strategies used by the three informants, namely : problem-focused coping and emotion-focused coping. Each informant combines two coping strategies to overcome these stressful situations. Three informants took several forms of coping, namely building good relationships with leaders through dialogue, asking for help of the other nuns to overcome the problems, sharing openly the stressful experiences in order to reduce the burden and interpreting any painful events through self-reflection and discerment. In addition, the three informants also coped to find God's strength through prayer in order to accept the problems experienced as consequences of living the vow of obedience.

Keywords: Early adult nuns, the vow of obedience, coping strategy

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kesetiaan-Nya menyertai peneliti dalam menjalani perkuliahan dan proses penulisan skripsi sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Peneliti menyadari bahwa rahmat dan kasih Tuhan itu hadir dalam diri sesama yang mendukung dan membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi. Oleh karena itu dengan rendah hati peneliti mengucapkan limpah terimakasih kepada:

1. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku Dekan Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Monica E. Madyaningrum, M.App., M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Dr. M. Laksmi Anantasari, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia menerima dan membimbing peneliti dalam proses penulisan skripsi. Terimakasih Mbak Ai atas cinta, perhatian, pengertian dan kesabaran dalam menghadapi peneliti yang kesulitan dalam menulis skripsi dan sungguh memahami situasi peneliti sebagai mahasiswa dan religius. Senyum dan sapaan yang hangat selalu menguatkan dan memberikan semangat bagi peneliti untuk menulis skripsi.

(11)

xi

4. Dr. A. Priyono Marwan, S.J. yang pernah menjadi Dosen yang mengajar peneliti. Terima kasih atas segala masukan dan semangat yang Romo berikan selama proses perkuliahan berlangsung.

5. Bapak Cornelius Siswa, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti saat ini. Terima kasih atas segala tuntunan dan nasehat yang Bapak berikan kepada peneliti.

6. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu peneliti dalam menjalani segala proses perkuliahan serta telah memberikan banyak pelajaran, ilmu dan pengalaman hidup selama masa studi peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Ketiga informan penelitianku yang telah terbuka mensharingkan pengalaman dalam kehidupan membiara sebagai biarawati yang berkaul.

8. Segenap anggota Komunitas Roh Suci Yogyakarta dan seluruh anggota Kongregasi SSpS yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil dan tak henti-hentinya mendukung berdoa demi terselesaikan skripsi ini.

9. Tim Pimpinan Suster Misi Abdi Roh Kudus yang telah memberikan dukungan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(12)

xii

10. Para dosen dan segenap karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang turut mendukung peneliti selama perkuliahan dan penulisan skripsi.

11. Teman-teman angkatan mulai dari aspiran, postulat, novisiat dan yunior yang selalu kompak dan memberikan dukungan yang tulus bagi peneliti. Semoga kita semua selalu setia dalam panggilan suci ini.

12. Anak sehat kelas A 2015 yang sudah menjadi satu keluarga kandung di Fakultas Psikologi Sanata Dharma. Teman-teman luar biasa. Saya berterimakasih untuk kebersamaan kita baik suka maupun duka serta dukungan yang selalu membuat peneliti merasa bahwa ada cinta dari setiap kata dan tindakan sederhana.

13. Untuk saudariku Enu Ita, Hansen, Diandri, Ros, Ludo, Grace, Ovan, Mega, Anggit, Frila, Lia, Gabyy, Tamara, Fidel, Rosalia, Mirna dan Ankara dan semua teman bimbingan yang sangat memahami dinamika psikologis peneliti serta keterbukaan dan kesetiaan berdiskusi dan saling mendengarkan.

14. Tim Pimpinan SSpS Flores Bagian Timur dan Tim Pimpinan SSpS Provinsi Jawa yang turut mendukung panggilan dan perutusan studi di Komunitas Roh Suci Yogyakarta. Peneguhan dan doa membuat peneliti merasa dikuatkan.

15. Sahabat kenalan dimana saja berada yang telah turut mendukung peneliti dan memberikan waktu untuk saling berdiskusi.

(13)

xiii

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat membawa berkat dan berkontribusi bagi perkembangan ilmu psikologi, serta bisa menjadi motivasi untuk setiap orang yang membacanya. Peneliti menyadari skripsi ini memiliki banyak keterbatasan, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang dapat membuat skripsi ini menjadi karya yang lebih baik.

Yogyakarta, 20 November 2019

Peneliti

Agnes Nona Bukan

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...11

C. Tujuan Penelitian ...11

D. Manfaat Penelitian ...13

1. Manfaat teoretis ...13

2. Manfaat praktis ...13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...14

A. Biarawati Dewasa Awal ... 14

1. Definisi biarawati...14

2. Perkembangan dewasa awal ...16

3. Biarawati dewasa awal ...18

B. Kehidupan Membiara ... 20

1. Definisi hidup membiara... 20

2. Tahap-tahap hidup membiara...22

3. Definisi kaul ...24

(15)

xv

4. Bentuk-bentuk kaul ...26

5. Kesulitan atau masalah dalam menghayati kaul ketaatan...28

C. Strategi Coping ... 32

1. Definisi strategi coping...32

2. Macam-macam strategi coping ...34

D. Dinamika Penelitian ...38

E. Kerangka Konseptual Penelitian...40

F. Pertanyaan Penelitian...41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Fokus Penelitian... 42

C. Informan Penelitian ...44

D. Metode Pengumpulan Data... 47

E. Prosedur Penelitian... 48

F. Metode Analisis Data ... 48

G. Dependabilitas dan Kredibilitas ...48

1. Dependabilitas ...49

2. Kredibilitas ...50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 52

1. Persiapan dan perizinan penelitian ...50

2. Pelaksanaan penelitian ...54

3. Member cheking ...54

B. Informan Penelitian... 55

1. Data informan ... ...55

2. Latar belakang informan ...56

C. Hasil Analisis Data ...59

1. Analisis data informan 1 (E)...59

2. Analisis data informan 2 (B) ...66

3. Analisis data informan 3 (C) ...71

4. Integrasi hasil analisis data tiga informan ...76

(16)

xvi

D. Pembahasan ...87

BAB V PENUTUP ...97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ...99

1. Bagi Biarawati dewasa awal kongregasi SSpS...99

2. Bagi pimpinan kongregasi SSpS...100

3. Bagi peneliti selanjutnya ...100

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN ...

(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Skema Kerangka Konseptual Penelitian ...41

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman Wawancara...47 Tabel 2. Waktu dan Tempat Pelaksanan Penelitian...54 Tabel 3. Data Informan...55

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Informan E ...107

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Informan B...108

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Informan C...109

Lampiran 4. Data Biarawati tahun 2009- 2019...110

Lampiran 5. Tabel Analisis Informan E...112

Lampiran 6. Tabel Analisis Informan B ...128

Lampiran 7. Tabel Analisis Informan C ...136

(20)
(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap makhluk hidup termasuk manusia mengalami tahap-tahap perkembangan, dimulai dari prenatal hingga dewasa sepanjang masa kehidupannya. Setiap tahapan perkembangan memiliki gejolak krisis yang berbeda sejalan dengan bertambahnya usia kehidupan. Proses perkembangan itu berlangsung secara alamiah. Menurut Erikson (dalam Papalia, 2009) tahap perkembangan dewasa awal ialah dua puluh sampai empat puluh tahun ditandai dengan intimacy vs isolasition. Pada tahap ini seorang wanita akan membangun relasi yang intim dengan lawan jenis, dengan tujuan menikah dan memiliki keturunan. Hal senada juga dikatakan oleh Sumanto (2013) bahwa tugas perkembangan dewasa awal salah satunya adalah memilih pasangan hidup.

Dalam ajaran dan praktek hidup Gereja katolik, ada juga pilihan jalan hidup lain, yakni tidak menikah demi suatu kepentingan rohani yaitu mengabdikan diri seutuhnya untuk Tuhan. Gereja Katolik menyebutnya sebagai cara hidup membiara. Seorang wanita yang menjalani pilihan hidup membiara disebut biarawati. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan istilah biarawati sebagai perempuan yang hidup di dalam biara. Sedangkan biara adalah rumah tinggal bagi para biarawati. Para biarawati itu hidup dalam semangat persekutuan persaudaraan untuk melaksanakan ajaran agama dibawah pimpinan seorang kepala menurut konstitusi biara. Ada bermacam-macam biara atau

(22)

kongregasi di dalam Gereja Katolik. Salah satunya adalah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus, dalam bahasa Latin Servarum Spritus Sancti yang biasa disingkat dengan SSpS. Kongregasi ini didirikan oleh Santo Arnoldus Jansen seorang imam diosesan, di Steyl pada tanggal 8 September 1988. Sekarang ini Kongregasi SSpS telah tersebar di 5 benua dan 50 negara (General Secretary, 2017).

Kongregasi SSpS, seperti kongregasi-kongregasi lainnya memiliki tuntutan menghayati hidup berkaul bagi semua anggota biaranya. Menurut Jacobs (1987) kaul adalah janji yang diikrarkan seorang pribadi pada Tuhan dalam sebuah tarekat. Ada tiga kaul kebiaraan yang harus diikrarkan dan dihayati oleh seorang biarawati, yakni: kaul kemurnian, kaul kemiskinan dan kaul ketaatan.

Kaul kemurnian adalah penyerahan seluruh hidup kepada Tuhan dan pengabdian tanpa pamrih kepada sesama sehingga tidak memilih untuk hidup berkeluarga.

Kaul kemiskinan adalah penyerahan diri serta seluruh milik demi pelayanan kepada Tuhan dan Gereja. Dengan kaul kemiskinan seorang biarawati menerima pembatasan atas hak untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan barang- barang duniawi. Sedangkan kaul ketaatan adalah dasar bagi setiap kehidupan dan pelayanan kristiani. Kaul ketaatan merupakan inti dari kehidupan religius.

Seorang biarawati menghayati kaul ketaatan dalam semangat saling percaya, saling pengertian dan bekerja sama dalam persekutuan persaudaraan. Meskipun demikian ketegangan yang terjadi antara pimpinan biara dan anggota biara tidak selalu dapat dihindarkan (Konstitusi SSpS, 1984).

Louise (1989) mengatakan bahwa kaul-kaul kebiarawan merupakan pedoman atau “guia” hidup bagi seorang berkaul. Dengan kaul-kaul kebiaraan

(23)

tersebut, seorang biarawati dibimbing dan dituntun untuk mencapai kesempurnaan diri di hadapan Allah. Oleh sebab itu, kaul-kaul kebiaraan yang ditetapkan bukan sekedar untuk dipelajari dan dipahami, tetapi lebih dari pada itu adalah sarana untuk membantu seorang biarawati agar dapat hidup selaras dengan tuntutan kongregasi dan nasihat-nasihat injil. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa menghayati kaul-kaul kebiaraan, khususnya kaul ketaatan tidaklah mudah.

karena sering terjadi ketegangan antara pemimpin biara dengan para anggotanya (Raftery, 2013). Tendensi inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam karya tulis ini.

Pada dasarnya seorang individu yang memilih hidup membiara dapat menghayati kaul ketaatan dengan bahagia dan bebas dengan menaati aturan biara.

Tetapi kenyataan bahwa banyak individu mengalami tantangan dalam menghayati kaul ketaatan. Hal ini dibuktikan dengan data dan beberapa kasus yang disampaikan oleh pemimpin melalui wawancara.

Berdasarkan data, jumlah biarawati SSpS Flores Timur tahun 2009 sampai 2019 terdapat seratus dua puluh enam biarawati. Biarawati yang meninggalkan biara berjumlah dua belas diantaranya empat biarawati dikeluarkan karena kaul ketaatan. Hasil wawancara juga dilakukan dengan seorang pemimpin bernama AR pada tanggal 29 April 2019, ditemukan beberapa kasus yang berkaitan dengan kaul ketaatan. Seorang pemimpin kongregasi SSpS mengatakan bahwa kaul yang paling sulit untuk dijalani ialah kaul ketaatan. Karena dengan kaul ketaatan seorang biarawati dituntut untuk melepaskan keinginan dan kehendak pribadinya dan menjalani kehendak Tuhan dan kongregasi melalui kebijakan dan keputusan

(24)

pimpinan biara. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak orang menjalani kaul kataatan dengan penuh pergulatan sebagai konsekuensi dari sebuah panggilan hidup. Maka iman dan kepasrahan dirilah yang memampukan seorang biarawati menghayati kaul ketaatan dalam kebebasan demi Kerajaan Allah. Ada kasus lain dimana tim pimpinan membuat suatu kebijakan yang menurut anggota biara adalah sebuah kekeliruan karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Akan tetapi karena harus tunduk terhadap tuntutan kaul ketaatan maka semua anggota biara wajib menjalaninya sehingga berdampak pada kehidupan mendatang yang tidak mengasilkan sesuatu yang bisa diharapkan .

Selain itu, hasil wawancara yang diperoleh dari seorang pimpinan kongregasi SSpS lain yang bernama AR yang terjadi pada tanggal, 7 Mei 2019 yang berpendapat bahwa semua kaul yang dijalani memiliki konsekuensi yang sama. Kaul-kaul itu saling berkaitan satu terhadap yang lain; bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Baginya, kaul ketaatan pada prinsipnya adalah mencontohi ketaatan Yesus Kristus. Maka ketaatan yang dijalani itu harus berakar dalam cinta kepada Tuhan melalui kongregasi. Sehingga dengan demikian kaul ketaatan memiliki dasar iman, yakni melepaskan kehendak pribadi dan mengikuti kehendak Tuhan dalam diri pemimpin. Juga ditegaskan bahwa di zaman sekarang ini seorang pemimpin perlu mengahargai pilihan kebebasan pribadi seseorang sejauh hal itu tidak keluar dari aturan konstitusi. Tetapi apa bila seorang biarawati tidak taat secara konstitutip maka ia patut dikeluarkan dari kongregasi.

Berdasarkan konstitusi, seorang biarawati yang menjalani kaul ketaatan atas dasar iman dan penyerahan diri kepada Tuhan akan menemukan nilai kebahagiaan.

(25)

Maka kebahagiaan seorang biarawati dalam menghayati kaul ketaatan sangatlah bergantung pada sikap imannya, yakni pasrah kepada kehendak Tuhan.

Kenyataan menunjukkan bahwa di zaman ini tidak ada lagi ketaatan buta, yang ada hanyalah ketaatan dialogis. Setiap setiap pribadi dapat mengajukan keberatannya atas sebuah tuntutan ketaatan. Akan tetapi jika keberatan-keberatan itu tidak sesuai dengan prinsip ketaatan konstitusi maka seorang pribadi tidak layak untuk menjalani kehidupan membiara. Persoalan mendasar adalah ketika seorang biarawati menjalani kaul ketaatan karena rasa takut. Ada kasus dimana ada kebijakan dari pimpinan yang menurut akal sehat bertentangan dengan nilai kemanusiaan tetapi karena takut dianggap melanggar prinsip ketaatan maka diterima dan dijalani saja. Inilah yang menjadi persoalan mendasar, yakni ketakutan akan menghalangi seorang biarawati dalam menghayati kaul ketaatan.

Berkaitan dengan pendapat AR tentang ketakutan sebagai halangan bagi seorang biarawati dalam menghayati kaul ketaatan dapat terlihat dalam tiga kasus yang dipaparkan berikut ini. Pertama, ada seorang biarawati bernama KLH berusia 25 tahun, secara sembunyi-sembunyi menggunakan handphone (HP) yang tidak dibolehkan bagi seorang biarawati yunior. Setelah ketahuan pimpinan, beberapa kali ia ditegur dan diingatkan agar tidak boleh lagi menggunakan HP.

Tetapi KLH tetap saja secara sembunyi-sembunyi menggunakan HP. Akhirnya KLH dikeluarkan karena menurut pendapat pemimpin, KLH telah melanggar pimpinan dan aturan biara. Kedua, ada juga seorang biarawati yunior lain bernama LBH berusia 28 tahun, yang tidak dapat mengatur hidup pribadinya sesuai dengan tuntutan disiplin hidup membiara. LBH hampir selalu tidak mengikuti ibadat

(26)

bersama di komunitas. Juga sering tidak hadir dan terlibat dalam pertemuan dan perbagai kegiatan komunitas. Biarawati tersebut pun telah dinasihati oleh pimpinan agar dapat mengatur hidupnya seturut aturan biara. Namun LBH tetap saja tidak berubah, malahan semakin parah. Akhirnya LBH pun dikeluarkan dari biara karena menurut pemimpin tidak taat terhadap pimpinan dan peraturan hidup membiara. Ketiga, ada seorang biarawati lain bernama DV yang sudah berkaul kekal berusia 40 tahun. Kepadanya dipercayakan kongregasi menjadi sekretaris misi di sebuah lembaga di sebuah kota besar di Indonesia. Tanpa mendapat restu dari pimpinan kongregasi, secara diam-diam DV mengambil program studi lanjut di bidang yang diminatinya pada sebuah Perguruan Tinggi. Pada suatu saat pemimpin mengetahui DV melanjutkan studi tanpa izinan. Hal ini membuat pimpinan mengambil keputusan untuk memanggil secara paksa DV untuk menghentikan studi yang sedang dijalankan. Akan tetapi DV tidak mengikuti apa yang disampaikan pimpinan dan terus melanjutkan studi sampai selesai dan memutuskan untuk meninggalkan biara. Kasus-kasus ini menegaskan pandangan AR bahwa ketakutan dapat menjadi halangan bagi seorang biarawati dalam menghayati kaul ketaatan.

Patnani (2013) melihat lebih jauh persoalan menyangkut kaul ketaatan.

Hal yang menjadi masalah dalam ketaatan adalah ketika apa yang diinginkan individu tidak tercapai atau mengalami hambatan dalam pencapaian, maka seseorang dikatakan sedang menghadapi masalah. Pada dasarnya seorang biarawati seharusnya mampu mentaati aturan yang ada di biara. Hal yang menjadi masalah ialah ketika seorang biarawati tidak dapat menyesuaikan diri

(27)

dengan aturan yang berlaku di biara. Jika biarwati tidak mampu maka menimbulkan masalah. Masalah tersebut selain berdampak terhadap diri sendiri tetapi juga terhadap kehidupan komunitas yakni gangguan relasi yang kurang baik antar pribadi para biarawati. Namun Silverius (1993) mengatakan bahwa suatu masalah membutuhkan penyelesaian. Berhubungan dengan persoalan penghayatan kaul ketaatan dalam kongregasi SSpS secara khusus pada biarawati dewasa awal, strategi Problem Focused Coping selanjutnya disebut PFC dan Emotion Focus Coping, selanjutnya disebut EFC yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman dianggap sangat relevan. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa sebuah masalah harus diatasi dengan sebuah strategi yakni coping strategy. Coping adalah strategi untuk mengatasi masalah yang terdiri dari PFC dan EFC. PFC adalah strategi yang berfokus pada masalah yakni pemecahan masalah yang dengan cara mengubah situasi. Setiap individu akan cenderung menggunakan perilaku tersebut jika dirinya menilai kondisi, situasi, dan peristiwa yang dihadapi masih dapat dikendalikan. Ada tiga cara PFC yaitu, pertama: planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu untuk mengubah keadaan. Kedua confrontative coping yaitu reaksi yang mengubah perasaan dengan mengubah keadaan yang menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Ketiga seeking social support for instrumental reasons yaitu mencari dukungan dari pihak luar baik berupa informasi, bantuan nyata ataupun dukungan. EFC adalah coping yang befokus pada emosi yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung.

(28)

Ada lima cara yang termasuk dalam Coping ini yakni: self control yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika mengalami situasi tertekan, distancing yaitu usaha untuk mengambil jarak dan tidak terlibat dalam permasalahan; escape yaitu usaha untuk menghindari masalah dan berperilaku seolah-olah tidak adanya masalah serta menciptakan pandangan atau pemikiran positif; accepting responsibility yaitu usaha untuk mencari tanggung jawab diri dan permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk menerimanya dan membuatnya lebih baik;

positive reappraisal yaitu usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya bersifat religius; kemudian Carvel, et al (1989) menambahkan beberapa cara coping, dua diantaranya yakni seeking social support for emotion reasons yaitu usaha individu mencari dukungan sosial berupa dukungan moral, simpati dan permohonan dari lingkungan sekitar sedangkan turning to religion, yaitu usaha untuk mengatasi persoalan dengan mencari pertolongan pada Tuhan lewat doa.

Berdasarkan hasil penelitian tentang makna hidup seorang biarawati yang dilakukan oleh Charlis dan Kurniawati (2011) menunjukan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kaul ketaatan adalah faktor otoritas, senioritas dan kehendak bebas. Seorang biarawati mengalami pergolakkan dalam hidup membiara ketika individu melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dan praktek atau kehidupan yang dijalani (Charlis & Kurniati, 2011). Hal ini ditemukan juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Eze, Lindegger dan Rokoczy (2016) mengenai hubungan kekuasaan yang memengaruhi struktur identitas religius biarawati katolik yang menunjukan adanya perbedaan perlakuan antara atasan dan bawahan

(29)

yang menimbulkan suatu perlawanan. Selain itu, ada penelitian yang dilakukan oleh Tima dan Muti‟ah (2014) mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dan resiliensi pada para suster yunior di Yogyakarta ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional, semakin tinggi pula resiliensi. Para biarawati yang mengalami kecerdasan emosional rendah bila mengalami kesulitan dalam hidup bersama, maupun dalam menghayati kaul-kaul kerapkali menjadi sangat terpuruk, sulit bangkit dalam menata hidup dan memulai masa depan. Hal ini ditegaskan lagi oleh Goleman (2001) bahwa individu yang tidak mampu beradaptasi dalam pengalaman sulit dapat mengalami depresi atau kehilangan orientasi hidup.

Ada penelitian lain tentang biarawati yang dilakukan oleh Sari dan Setyawan (2017) mengenai pengalaman menjadi biarawati katolik menghasilkan tiga tema induk utama yaitu pertama adalah proses awal pengenalan dan pengambilan keputusan hidup membiara. Kedua adalah dinamika dalam kehidupan membiara dan ketiga adalah penghayatan dan menjalani kehidupan membiara. Pengambilan keputusan untuk menjadi biarawati berarti meninggalkan keduniawian demi mengabdi secara total kepada Tuhan. Hidup lajang merupakan konsekuensi atas pilihan hidup membiara dan hal ini disadari penuh oleh para biarawati. Dinamika kehidupan membiara setiap setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Karena setiap pribadi secara khas memaknai kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan yang diucapkan saat dilantik hingga penghayatan menjadi biarawati seumur hidupnya.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Hagang (2015) mengenai kebermaknaan hidup pada biarawati di Kalimantan Timur dengan melihat

(30)

bagaimana biarawati menemukan makna hidup mereka di dalam biara. Dengan menemukan makna hidup membiara, seseorang berani memilih hidup sebagai biarawati dengan segalah konsekuensi yang ada di dalamnya dan tetap menjadi biarawati walaupun mengalami banyak konflik sebagai konsekuensi yang harus dijalani. Terhadap problema hidup membiara seperti ini, Brandthill (2001) dari hasil penelitian tentang strategi coping yang digunakan oleh biarawati katolik yang mengalami sakit fisik menemukan bahwa ada kebahagian setelah melakukan coping adaptif terhadap sakit yang dialami. Sedangkan Bryant (1998) membuat penelitian mengenai stress yang dialami biarawati Amerika dan Afrika berkaitan dengan umat yang dilayani bukan mengenai kaul yang dilajani atau relasi yang kurang yang baik dengan pimpinan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan di atas dari segi topik, peneliti tidak menemukan secara khusus topik mengenai kaul ketaatan pada biarawari dewasa awal yang pernah diteliti. Dari segi metode yang digunakan cukup bervariasi yakni kuatitatif dan kualitatif. Selain itu, dari segi subyek pun belum ada penelitian yang meneliti secara khusus biarawati dewasa awal dalam kongregasi SSpS yang bertempat di Yogyakarta. Hal inilah yang menjadi kebaruan dalam topik penelitian yang akan dijalankan. Juga berdasarkan hasil- hasil penelitian yang dipaparankan di atas, peneliti belum menemukan konteks penelitian mengenai pemecahahan masalah pada biarawati dewasa awal yang mengalami kesulitan dalam menghayati kaul ketaatan.

Kaul ketaatan menjadi sorotan utama. Hal ini karena kaul ketaatan dianggap sebagai yang utama dan paling penting jika dibandingkan dengan kaul

(31)

kemurnian dan kaul kemiskinan. Suparno (2015) menegaskan bahwa kaul ketaatan menjadi dasar utama yang memengaruhi kaul kemurnian dan kemiskinan. Kekuatan dalam kaul ketaatan juga akan memengaruhi kemajuan dalam menghayati kaul kemurnian dan kaul kemiskinan. Sebaliknya kekurangan kaul ketaatan akan memengaruhi kelemahan dalam penghayatan kaul kemurnian dan kaul kemiskinan. Santo Thomas Aquinas (dalam Kleden, 2002) mengatakan bahwa kaul ketaatan merupakan ibu dan penuntun bagi kedua kaul yang lain. Kaul ketaatan lebih menekankan kehendak Allah dan berjuang mencari kehendak Allah daripada kehendak pribadi atau keinginan diri sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa ketaatan adalah kaul yang paling penting untuk memengaruhi kaul-kaul yang lainnya.

Perbagai temuan terhadap kasus-kasus kegagalan dalam penghayatan kaul ketaatan mendorong peneliti untuk menggali lebih dalam akar permasalahan dan mengambil strategi tepat-guna untuk mengatasi masalah penghayatan kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal Kongregasi SSpS yang bertempat tinggal di Yogyakarta. Peneliti menggunakan teori Strategi Coping sebagai strategi pemecahan masalah yang diperkenalkan oleh Lazarus & Folkman (1984). Strategi coping dirasa sangat penting bagi biarawati yang menghayati kaul ketaatan karena berdasarkan pengetahuan strategi coping memiliki beberapa metode untuk mengatasi menyelesaikan masalah sesuai dengan karakter kasus. Hal ini juga selaras dengan apa yang dikatakan Chaplin (2001) yang mengatakan bahwa coping dilakukan individu terhadap lingkungan dengan tujuan menyelesaikan tugas dan masalah yang dihadapi serta mengatasi situasi yang menekan dalam

(32)

hidupnya. Hal ini juga dikatakan oleh Taylor (2009). Menurutnya, coping memiliki empat tujuan yaitu mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan gambaran diri yang positif, mengurangi tekanan lingkungan dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.

Strategi Coping menurut Lazarus & Folkman (1984) adalah usaha untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang dan membebani melebihi sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian yang paling penting disini ialah agar para biarawati dapat mengetahui strategi pemecahan masalah yang lebih efektik dan efisien, baik yang sudah dijalankan maupun yang belum dijalankan sebagai solusi terbaik untuk membantu mereka mengahayati kaul ketaatan secara bahagia sesuai semangat konstitusi kongregasi. Biarawati yang mengalami kesulitan dalam menghayati kaul ketaatan memerlukan strategi coping untuk mengelola tekanan yang dialami.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan penjelasan tentang latar belakang di atas, peneliti membuat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana gambaran mengenai masalah dalam menghayati kaul ketaatan dan bagaimana strategi mengatasi masalah dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal dalam Kongregasi SSpS Flores Timur.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai strategi coping dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal Kongregasi SSpS Flores Timur.

(33)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan bidang Psikologi secara khusus bidang klinis dan perkembangan serta bidang keagamaan mengenai strategi pemecahan masalah dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal kongregasi SSpS Flores Timur.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Gereja

Manfaat bagi Gereja ialah untuk memberikan informasi mengenai kehidupan biarawati dalam menghayati kaul ketaatan dan strategi pemecahan masalah yang dihadapinya.

b. Bagi Kongregasi Misionaris Abdi Roh Kudus (SSpS)

Bagi para biarawati yang mengalami kesulitan dalam kongregasi ini dapat membantunya keluar dari kesulitan. Juga bagi para pemimpin tarekat agar dapat mengetahui strategi yang bisa membantu komunitas dan tarekatnya untuk menghatati kaul ketaatan secara lebih efektif.

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berbicara tentang tinjauan pustaka berarti berbicara tentang titik acuan dalam pengkajian suatu masalah atau penelitian. Karena itu, pada bab kedua ini peneliti akan memusatkan perhatian dan pembahasan pada konsep-konsep dasar dari teori strategi penanggulangan (coping strategy) yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman. Teori ini dijabarkan di sini karena cocok untuk dipakai dalam memecahkan persoalan yang ditemukan dalam kehidupan manusia. Hal lain yang akan dikemukakan pada bab ini adalah tentang kehidupan membiara dan dinamikanya. Karena itu, untuk mempermudah peneliti membedah dan mengulas penulisan ini, skema berikut akan digunakan: definisi coping dan strategi coping menurut Lazarus, sekilas pandang tentang kehidupan membiara secara khusus Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS), dinamika kehidupan penghayatan kaul ketaatan dalam kehidupan membiara secara khusus dalam Kongregasi Misi Abdi Roh dan kesimpulan.

A. Biarawati Dewasa Awal 1. Definisi Biarawati

Peneliti menguraikan dengan bertolak dari kata biara. Biara dalam bahasa Sansekerta sebagaimana yang dikemukan Heuken (1991) diartikan sebagai

“vihara”. Dalam arti luas dan popular, biara itu dapat diartikan sebagai rumah tempat tingga sebuah komunitas selibat yang mana anggota komunitasnya

(35)

menghayati dan menjalankan hidup bakti menurut nasihat-nasihat Injil. Sebuah biara didirikan dengan sah, dihuni oleh anggota komunitas yang dikepalai oleh seorang pemimpin yang diangkat (dan dipilih) menurut tata aturan gerejani yang berlaku. Dalam arti sempit biara adalah klausura (claustrum Latin). Dikatakan demikian karena ia merupakan sebuah komunitas tertutup; tempat kediaman biarawan atau biarawati yang tidak terbuka bagi umum. Selain itu biara dapat disebut juga sebagai pertapaan (latin-monasterium).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan biara sebagai tempat tinggal biarawan-biarawati yang mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan ajaran agama dibawah pimpinan seorang ketua menurut aturan aliran. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa biara adalah komunitas tempat tinggal para biarawan atau biarawati yang mau menyerahkan hidupnya secara sukarela kepada Tuhan dengan menghayati tri kaul kebiaraaan.

Menurut pandangan Hagang (2015) biarawati adalah seorang perempuan yang memilih hidup di biara (tempat tinggal biarawati) secara sukarela. Dikatakan sukarela karena masuk dan memilih jalan hidup demikian tanpa desakan dari pihak lain. Seorang biarawati berdiam di dalam komunitas (biara) dengan tujuan agar ia dapat mengfokuskan diri dan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu tempat ibadah.

Mardani dan Yulisa (dalam Sary & Setyawan, 2017) mengemukakan bahwa biarawati berasal dari bahasa latin yang disebut dengan nonna. Biarawati adalah mereka yang hidup membiara dan mengikrarkan tiga kaul (kemurnian,

(36)

kemiskinan dan ketaatan). Syarat utama menjadi seorang barawati adalah dengan mengirarkan tiga kaul tersebut.

Sementara yang dimaksudkan dengan anggota lembaga religius yaitu suatu komunitas persekutuan yang mana anggota-anggota yang berdiam di dalamnya terdiri dari yang sudah mengikrarkan kaul kekal dan atau yang masih menghayati kaul-kaul sementara. Perbedaan dari keduanya adalah bahwa biarawati berkaul kekal yaitu mereka yang sudah diterima secara resmi dan sah oleh pembesarnya atas nama Gereja dan mereka secara bersama-sama berusaha untuk menghayati hidup dalam kasih persaudaraan. Biarawati yang telah mengikrarkan kaul kebiaraan untuk kekal berusaha untuk mengikat diri secara utuh pada kongregasi dan keputusan-keputusannya. Sebaliknya, biarawati yang sedang menghayati kaul-kaul sementara dibimbing dan diarahkan untuk kelak dapat mengambil keputusan secara tegas dan bebas: maju atau meninggalkan tarekat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa biarawati adalah seorang perempuan yang memilih untuk tidak menikah dan menghayati tri kaul suci yakni: kaul kemurnian, kaul kemiskinan dan kaul ketaatan dalam sebuah lembaga religius atau kongregasi.

2. Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2009) tahap perkembangan dewasa awal ialah 20 sampai 40 tahun ditandai dengan intimacy vs isolasition. Dalam hal ini seorang wanita akan membangun relasi yang intim dengan lawan jenis dengan tujuan menikah dan memiliki keturunan.

(37)

Hal senada juga dikatakan oleh Sumanto (2013) bahwa tugas perkembangan dewasa awal salah satunya adalah memilih pasangan hidup. Walaupun ada dewasa awal yang tetap melajang karena mereka belum menemukan pasangan yang tepat dan yang lain melajang karena memilih untuk hidup lajang atau tidak menikah (Papalia, Olds & Feldman, 2008).

Selain itu, Hurlock (1980) juga menegaskan bahwa pada usia dewasa awal ini, hal yang paling luas dan umum diakui dan digumuli oleh seseorang adalah pada pencarian dan perolehan pekerjaan. Mendapatkan pekerjaan tetap dan stabil merupakan sebuah tanda bahwa seseorang sudah mulai memasuki dan menginjak masa (usia) dewasa.

Menurut Hurlock (dalam Timah dan Muti‟ah, 2014) mengutarakan bahwa pada masa dewasa awal ini merupakan masa yang penuh dengan ketegangan emosi. Karena masa ini penuh dengan masalah-masalah yang timbul baik dalam diri maupun dari luar diri. Sehingga diharapkan dewasa awal berusaha untuk lebih matang dalam emosi karena hal yang menjadi ciri khas orang dewasa awal salah satunya ialah mulai terbentuknya kematangan emosi. Kematangan dalam emosi dapat membantu individu untuk dapat menjalin relasi dengan baik, dan lebih bertanggung jawab dengan tugas atau pekerjaan yang di embani.

Santrock (2002) mengatakan bahwa usia dewasa awal juga ditandai dengan kematangan dalam membuat dan mengambil keputusan. Seseorang dapat dikatakan matang secara emosional dan umur apabila ia dapat membuat keputusan dan menjatuhkan pilihan yang tepat dan berguna teristimewa

(38)

berhubungan dengan karir, nilai-nilai, menikah dan membangun hubungan keluarga (relasi).

3. Biarawati Dewasa Awal

Menurut Hurlock (dalam Timah dan Muti‟ah, 2014) mengungkapkan bahwa masa dewasa awal adalah masa yang bermasalah dan saat-saat penuh dengan ketegangan emosional. Timah dan Muti‟ah (2014) mengatakan bahwa biarawati dewasa awal yang memasuki masa yuniorat akan mengalami hal yang sama dengan wanita pada umumnya ketika memasuki dewasa awal.

Permasalahan yang timbul pada masa dewasa ini merupakan akibat dari penyesuaian diri dengan orang lain, maupun dengan keadaan atau situasi baru.

Lebih lanjut Hurlock (1980) menegaskan bahwa penyesuaian diri terhadap masalah pada masa dewasa awal sangat kesulitan itu, lebih dipengaruhi oleh ketidaksiapan individu dalam menghadapi masalah dan pemecahannya.

Lingkungan dan orang-orang disekitar individu menganggap bahwa orang yang memasuki dewasa awal sudah mampuh memecahkan masalah dan jarang memberikan bantuan.

Biarawati adalah seorang pribadi yang juga mengalami tahap pertumbuhan dan perkembangan diri. Usia dewasa awal merupakan suatu tahap dimana seorang manusia (termasuk biarawati) lebih berpusat pada kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat dan mengambil keputusan. Para biarawati dewasa awal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biarawati yang sudah mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan baik kaul sementara maupun kaul kekal. Artinya bahwa setelah melewati proses formasi yang berlangsung

(39)

kurang lebih enam sampai sembilan tahun, mereka mengambil keputusan secara bebas dan bertanggung jawab untuk menyerahkan diri kepada pelayanan misi Allah dan Gereja-Nya dalam dan melalui penghayatan kaul-kaul. Secara umum ada tiga kaul kebiaraan yang diikrarkannya yakni Kaul Kemurnian, Kaul Kemiskinan dan Kaul Ketaatan. Apa itu kaul-kaul kebiaraan? Penjelasan akan arti kaul-kaul akan diuraikan pada bagian berikut.

Berdasarkan usia, para biarawati dewasa awal pada umum berkisar di antara usia 20 sampai 40 tahun. Rentan usia ini juga dikemukakan oleh Erikson bahwa usia dewasa awal ialah 20 sampai 40 tahun (dalam Papalia, 2009). Pada tahap ini, ada bermacam-macam tugas perkembangan yang mesti perlu dijalani. Menurut Hurlock (1980) ada lima tugas perkembangan individu dewasa awal yang perlu dilalui. Kelima tugas tersebut adalah sebagai berikut:

mulai bekerja, memilih pasangan hidup, mulai membina keluarga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial.

Pertama adalah mulai bekerja. Yang dimaksudkan dengan mulai berkerja itu artinya bahwa seseorang yang memasuki masa dewasa awal mulai bekerja sesuai dengan keahlihan yang dimilikinya. Kedua, adalah memilih pasangan. Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa seseorang yang memasuki masa dewasa awal mulai memilih pasangan atau pendamping hidupnya. Ketiga, mulai membina keluarga. Sesorang yang mulai masuk pada masa usia dewasa awal memiliki satu panggilan dasar yakni membina keluarga, mengasuh anak, serta mengelolah rumah tangga. Keempat, adalah mengambil tanggung jawab sebagai warga negara. Sikap tanggung jawab

(40)

seorang warga negara terhadap negaranya adalah satu satunya melalui kewajiban membayar pajak. Kelima, adalah mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

Walaupun tugas perkembangan salah satunya menurut Hurlock (1980) bahwa dewasa awal mulai membina keluarga dan memilih pasangan hidup akan tetapi ada dewasa awal yang tetap melajang karena mereka belum menemukan pasangannya yang tetap dan yang lain melajang karena memilih (Papalia, Olds & Feldam, 2009). Pilihan hidup melajang ini dihidupi oleh biarawati dalam agama katolik untuk melayani Tuhan melalui karya kerasulan.

Berdasarkan paparan mengenai perkembangan biarawati dewasa awal peneliti menyimpulkan bahwa biarawati dewasa awal adalah biarwati yang sudah dan sedang menjalani ketiga kaul kebiaraan salah satu diantaranya adalah kaul ketaatan. Usia biarawati berkisar duapuluh hingga empat puluh tahun ditandai dengan kematangan membuat keputusan terhadap pilihan hidup dengan tugas perkembangannya salah satu ialah pilihan hidup untuk tidak menikah.

B. Kehidupan Membiara 1. Definisi hidup membiara

Hidup membiara atau hidup berkaul atau dikenal dengan hidup selibat, menurut Suparno (2016) merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan gereja. Paus Fransiskus dalam Suparno (2016) menyatakan bahwa gereja tanpa kaum birawan-biarawati akan kurang hidup, karena tidak ada hatinya. Paus menilai kaum membiara adalah hati dari gereja. Gereja baru

(41)

menjadi lengkap ada para imam, jemaat, dan kaum religius atau kaum membiara.

Secara sederhana inti hidup membiara, hidup berkaul adalah seseorang ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang telah memanggil kita untuk terlibat dalam karya keselamatan Tuhan bagi umat manusia. Penyerahan diri penuh itu secara gerejani formal diwujudkan dalam tiga kaul yakni kaul keperawanan, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan. Kehidupan membiara merupakan satu pilihan hidup. Sebagaimana halnya dengan kehidupan berkeluarga (menikah), kehidupan membiara juga memiliki dinamika suka duka, susah senangnya. Dari seorang biarawati dibutuhkan sebuah komitmen dan keputusan tegas (Suparno, 2016: Jacobs, 1987). Selain itu, ada orang masuk biara karena benar-benar ia merasakan sebuah panggilan.

Adapun orang masuk biara karena tertarik dengan keagamaan, mencari tempat tinggal yang aman, kebebasan ekonomi, tidak ingin menikah dan ingin menjelajahi dunia dengan menjadi seorang misionaris. Akan tetapi semuanya itu diatur dalam sebuah peraturan sesuai dengan spritualitas kongregasi.

Apabila motivasi masuk biara tidak dimurnikan seturut semangat konstitusi kangregasi, maka sebagai akibat lanjut sering kali orag tidak terlalu mengikuti aturan yang ada di biara. Hal ini menjadi tantangan besar yang berakibat pada memunculkan resistensi yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk meninggalkan biara karena tidak menerima semua aturan atau perilakuan yang ada di biara. Sehingga dianjurkan agar seorang pribadi seharusnya dapat mengolah dan mengatasi setiap peristiwa dengan baik. Apabila ia tidak dapat

(42)

mengolah dan mengatasi setiap perilakuan yang ada di biara maka bisa berdampak pada panggilan yakni meninggalkan biara (Raftery, 2013).

2. Tahap-tahap hidup membiara

Kongregasi SSpS seperti kebanyakan kongregasi religius misioner lainnya, mempunyai tahapan formasinya. Menurut Konstitusi dan Direktorium SSpS (1984), Kongregasi ini mengikuti tahapan formasi sebagai berikut: Aspiran, Postulat, Novisiat, Yuniorat dan Kaul Kekal.

a. Tahap Aspiran, yang dimaksudkan dengan aspiran yaitu suatu tahap pengenalan dimana para calon didampingi dan diperkenalkan tentang kehidupan membiara dan spiritualitasnya. Tahap ini secara umum berlangsung selama enam bulan hingga satu tahun.

b. Tahap Postulat, postulat biasa disebut (dikenal) juga dengan nama tahap pra novisiat, yaitu suatu masa persiapan untuk masuk novisiat. Pada tahap ini, para calon dibimbing untuk dapat mengenal secara jelas motivisinya apakah mereka sungguh merasa dipanggil oleh Allah untuk menjadi abdi-Nya dan dapat menyesuaikan diri dengan regula kongregasi ini. Melalui latihan rohani, studi dan hidup berkomunitas, mereka dibimbingan oleh para formator dengan tujuan supaya mereka mencapai kematangan manusiawi dan religius sehingga dengan itu dapat menjawab panggilan Tuhan dengan dan secara bebas. Masa Pra novisiat berlangsung antara sembilan bulan sampai dua tahun.

c. Tahap Novisiat, novisiat adalah masa perkenalan untuk mengikuti Kristus dalam jalan nasihat-nasihat injil secara radikal sesuai spiritualitas dan cara

(43)

hidup kongregasi. Dalam latihan menghayati hidup religius, para novis dipersiapkan untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah dengan mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan. Para novis dibimbing untuk belajar hidup sesuai dengan nasihat-nasihat Injil dan Konstitusi Serikat dan semakin berkembang pengertian mereka tentang hidup religius. Pada waktu yang sama mereka tumbuh dalam semangat Kongregasi dan mengenal tradisi-tradisinya.

Hal-hal yang membantu dalam formasi para novis adalah doa, meditasi, ekaristi, studi, lectio divina (pendalaman firman Allah dalam Kitab Suci), demikian juga kehidupan harian dan tanggung jawab bersama dalam komunitas.

d. Tahap Yuniorat, yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal.

Selama waktu itu, para biarawati mengambil bagian dalam hidup dan perutusan kongregasi. Pada masa ini mereka harus mencapai tingkat kematangan manusiawi dan religius, yang memampukan biarawati mengambil keputusan untuk penyerahan terakhir pada Kristus dalam kaul kekal. Pemimpin yunior yang memiliki latar belakang sebagai psikolog, konselor atau berlatar belakang psikospiritual hendaknya membimbing para biarawati yunior dan membantu mereka dalam menyelaraskan studi dan karya kerasulan dengan hidup rohani mereka. Hendaklah pemimpin terbuka dari pernyataan dan masalah-masalah biarawati yunior dan membangkitkan dalam diri mereka rasa penghargaan terhadap panggilan serta rasa tanggung jawab terhadap Gereja dan Kongregasi. Masa yuniorat ini berlangsung antara enam sampai sembilan tahun.

(44)

e. Kaul Kekal, setelah menjalani masa yuniores, para biarawati mengikrarkan kaul kekal atau sumpah abadi untuk mengikuti Yesus menurut nasihat injil.

Pada tahap ini seorang biarawati menjadi anggota sah tarekat atau kongregasi.

Timah dan Muti‟ah (2014) mengemukakan bahwa tahapan pembinaan biarawati dalam kongregasi meliputi tahap aspiran seorang calon biarawati mulai belajar mengenal tarekat atau kongregasi suatu biara. Setelah masa aspiran seorang calon birawati memilih dan dipilih untuk melanjutkan pembinaan di tahap novisiat selama kurang lebih dua tahun. Pada tahap ini, kongregasi berusaha mengenal calon secara utuh dan menanamkan latihan-latihan spiritualitas dan kemampuan hidup bersama. Setelah melewati tahap novisiat, para novis (sebutan dan sapaan untuk tahap novisiat) melanjutkan ketahap yuniorat dengan mengikrarkan kaul sementara. Pada tahap ini biarawati mulai dilibatkan dalam karya-karya kongregasi. dalam arti mulai ditugaskan untuk bekerja dan menyandang studi sesuai kebutuhan kongregasi. Tahap yunior diakhiri dengan mengikrarkan kaul kekal dimana seorang biarawati menjadi anggota sah dalam kongregasi maupun kepausan.

Berdasarkan pernyataan tahap-tahap hidup membiara di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah kongregasi seorang biarawati mesti melalui pembinaan hidup rohani maupun psikologis mulai dari tahap aspiran, postulat, novisiat, yuniorat dan kaul kekal.

3. Definisi kaul

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa dalam kehidupan membiara, para biarawati menghayati kaul-kaul kebiaraan. Ada tiga kaul yang

(45)

diikrarkan. Namun sebelum membahas tentang arti dari tri kaul tersebut, terdahulunya kita harus mengetahui pengertian tentang kaul. Peneliti akan mengemukan secara gamblang tentang apa itu kaul-kaul kebiaraan.

Kaul kebiaraan secara singkat dan umum dipahami sebagai sebuah janji yang diucapkan atau diikrarkan secara teguh oleh seorang anggota religius (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Hal ini disampaikan oleh Darminta (1981) bahwa pengucapan kaul merupakan pengakuan iman secara spesifik dan khas, yaitu mengucapkan kesediaan untuk mengikuti Yesus dalam sebuah kongregasi atau tarekat. Ciri utama mengucapkan kaul ialah penuh kegembiraan, karena menemukan arti dan kepenuhan hidup dalam Kristus. Ciri yang lain pengucapan kaul adalah penuh kebahgiaan karena menemukan kebebasan yang hakiki dalam hidup, yang mampu memperkembangkan cinta pada Tuhan dan sesama (Tillart dalam Darminta, 1981).

Pada umumnya kaul-kaul itu diucapkan setelah seorang calon biarawati atau formandi telah melewati dan menyelesaikan masa formasi novisiat. Itu artinya kaul-kaul hanya diikrarkan oleh formandi yang dianggap layak dan diterima untuk bergabung dalam kehidupan tarekat. Akan tetapi, mengingat bahwa penerimaan secara definitif seorang formandi untuk bergabung dalam tarekat tidak begitu mudah, maka para formandi melewati suatu formasi yang panjang dan ketat. Atas pertimbangan tersebut maka dalam kehidupan membiara dikenal dua bentuk kaul: kaul sementara dan kaul kekal.

Kaul-kaul yang diikrarkan baik untuk yang beranggota sementara atau yang beranggota tetap adalah sama yaitu kaul kemurnian/keperawanan,

(46)

kemiskinan dan ketaatan. Hal yang membedakan keduanya adalah waktu.

formandi mengikrarkan kaul sementara dan hal itu berlangsung selama setahun.

Apabila seorang formandi dianggap pantas untuk melanjutkan formasinya maka ia dapat membaharui kembali kaul-kaulnya setiap tahun. Sebaliknya bagi para anggota tarekat tetap, mereka tidak mengikrarkan kaul-kaulnya lagi. Mereka hanya membaharui janji-janji selibatnya.

Apa perbedaan ketiga kaul tersebut. Pertanyaan ini akan dibahas secara detail pada bagian ini, definisi tri kaul suci.

4. Bentuk-bentuk kaul

Bentuk kaul dalam kehidupan membiara terdiri dari tiga yang meliputi:

kaul kemurnian/keperawanan, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan.

Pertama adalah kaul kemurnian/keperawanan. Secara harafiah Leteng (2003) mendefisinikan kaul keperawanan sebagai sebuah status hidup tidak kawin atau suatu pertakaran yang tetap dari perkawinan karena alasan religius. Dalam arti ini, kemurnian atau selibat merupakan “pantang sempurna dan seumur hidup (dari perkawinan) demi Kerajaan surga (Allah). Apa yang dikemukan oleh Leteng terlihat memiliki titik kemiripan dengan apa yang direfleksikan oleh Kleden.

Kleden (2002) menandaskan bahwa kaul kemurnian itu dapat dimengerti sebagai sebuah jalan hidup yang dilewati untuk menuju surga. Kata “menuju surga”

memiliki asentuasi penuh dan bermakna sebab hal itu ingin mengarahkan dan menekankan aspek eskatologis, hidup setelah kematian. Dengan itu, perlu diingat dan dipahami bahwa kaul kemurnian, pertama-tama menunjukan aspek

(47)

kekosongan, kesendirian manusia. Untuk itu, kehidupan membiara merupakan sebuah pengorbanan.

Kedua adalah kaul kemiskinan. Berlandaskan pada refleksi yang dikemukakan oleh Kleden (2002), maka kaul kemiskinan yang dihayati oleh seorang yang berkaul dapat dimengerti sebagai sebuah nasihat Injili. Dikatakan sebagai penghayatan nasihat Injili sebab panggilan hidup miskin itu sendiri datang dari Kristus sendiri. Karena itu, tentang hidup miskin bagi seorang berkaul mesti dihayati dalam kenyataan dan dalam semangat, dan mesti dihayati tanpa kenal lelah dalam kesederhanaan dan jauh dari kekayaan duniawi. Hidup miskin berarti harus membatasi diri dalam menggunakan barang duniawi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Ketiga adalah kaul ketaatan. Kaul ketaatan dengan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Kleden dimengerti sebagai keutamaan Injili. Hal ini mengacu kepada sikap penyerahan diri secara radikal tanpa perhitungan kepada Allah yang membebaskan. Bertopang pada gagasan santo Thomas Aquinas (dalam Kleden, 2002) menemukan bahwa kaul ketaatan merupakan ibu dan penuntun bagi kedua kaul lainnya. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan kaul ketaatan lebih menekankan kehendak Allah, dan berjuang mencari kehendak Allah daripada kehendak pribadi atau keinginan sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa ketaatan adalah kaul yang paling penting untuk memengaruhi kaul yang lainnya.

Kemurnian adalah berserah kepada Allah dengan tak terbagikan, mencerminkan cintakasih tiada batasnya yang menyatukan tiga pribadi Ilahi dan

(48)

kediaman misteri hidup Tritunggal, bahkan bahan cinta total yang relah menyerahkan diri scara penuh. Kemiskinan adalah menyatakan bahwa Allah itu satu-satunya harta kekayaan mausia sejati. Ketaatan menampilkan keindahan yang membebaskan, ketergantungan sebagai anak, yang bercirikan kesadaran bertanggung jawab yang mendalam, dijiwai kepercayaan timbal balik penuh kasih (Suparno, 2016)

Bertolak dari uraian tentang definisi kaul-kaul di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kaul-kaul dalam kehidupan seorang berkaul memiliki peran sangat penting untuk mengarahkan dirinya kepada pencarian dan pendekatan diri kepada Allah yang memanggilnya. Kaul ketaatan adalah dasar utama yang memengaruhi kaul lainnya. Kaul-kaul kebiaraan bukan semata instrumen manusia belaka tetapi lebih dari pada itu adalah sarana yang menghantar seorang berkaul kepada kesejatian diri dan kekudusan. Dengan itu kaul-kaul kebiaraan bukanlah hal yang menekan kebebasan pribadi seseorang, melainkan merupakan rambu-rambu yang menghantarnya kepada kebebasan dan kemerdekaan sebagai anak-anak Allah.

5. Kesulitan penghayatan kaul ketaatan dalam kehidupan

Hidup manusia tidak terlepas dari kesulitan atau persoalan. Dalam menghayati hidup membiara seorang biarawati tentu tidak terlepas dari persoalan hidup. Persoalan atau kesulitan yang dialami oleh seorang biarawati pada umumnya berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal berasal dari dalam diri indivisu itu sendiri, sedangkan faktor ekternal diantaranya berasal dari lingkungan masyarakat sekitar, komunitas biara,

(49)

keluaraga, pimpinan (Rafteri, 2013), dan sesama anggota biara. Secara global faktor yang mempengaruhi kaul ketaaan sangat beragam. Menurut Hadjon (2003) kesulitan-kesulitan dalam menghayati kaul ketaataan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, serta tuntutan situasinya, perkembangan psikologi individu (biarawati), sikap dan penilaian pimpinan, serta sikap dan cara hidup dari sesama anggota biara.

Pertama, perkembangan teknologi: dewasa ini perkembagan teknologi atau perkembangan zaman dan peradabannya sangat berpengaruh terhadap perkembangan hidup seseorang. Perkembangan zaman ini juga memengaruhi sikap hidup seorang biarawati dalam menghayati kaul-kaul kebiaraannya.

Pemahaman dan penghayatan akan makna kaul seorang biarawati dewasa ini juga dipengaruhi oleh cara pandang seorang biarawati terhadap perkembangan zaman.

Konsep ketaatan dalam membiara juga dapat dipahami selaras zaman. Ketaatan tidak lagi menjadi pilihan wajib tetapi bisa saja dimanipulasi oleh pamahaman manusia. Pergeseran makna ketaatan ini telah menjadi persoalan tersendiri.

Penghayatan biarawati tentang ketaatan dalam kaul kebiaraan telah dibenturkan dihadapkan pada dua sisi yakni ketaatan pada kehendak Allah dan ketaatan pada manusia yang telah dirasionalisasikan pada ruang zaman. Ketaatan budak yang dahulu dijunjung tinggi sebagai pilihan tunggal, dewasa ini telah dicela dan diganti dengan ketaatan yang bersifat kolegial, dialogal dan demokratis. Karena itu unsur-unsur seperti keterbukaan, serta saling pengertian menjadi amat penting.

Di sini ketaatan dalam hidup membiara mengalami perubahan konsep seiring perubahan zaman yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.

(50)

Kedua, perkembangan psikologi seorang biarawati, perkembangan psikologi yang dimaksudkan adalah perkembangan kepribadian menuju kedewasaan seseorang dalam menghayati hidup membiara terkhusus hidup taat menurut injili. Perkembangan psikologi seorang individu memengaruhi pola pikir atau cara pandang dan sikap hidup seseorang biarawati akan hidup berkaul.

Pengalaman masa lalu seorang biarawati turut berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya. Pengalaman terluka atau dicintai sangat berdampak pada perkembangan kepribadian seorang biarawati. Pengalaman negatif seperti terluka dan ditolak, dapat menciptakan kepribadian yang terpecah, sedangkan pengalam positif seperti dikasihi, dimengerti dan dihargai dapat membentuk kepribadian yang utuh pada seorang individu.

Keterpecahan diri dapat menghalangi seorang biarawati dalam menghayati kaul-kaul kebiaraannya. Pengalaman negatif seperti ditolak dan dikhianati yang tidak direfleksikan atau disembuhkan dapat menjadikan pribadi seorang biarawati yang mudah tersinggung dan pemarah serta sikap-sikap negatif lainnya.

Ketiga, sikap dan penilaian pimpinan (formator), pimpinan adalah formator. Seorang formator berperan penting dalam membentuk para formandi dalam sebuah formasi. Di sini pimpinan biara harus dibekali dengan pengetahuan yang menunjang perkembangan hidup seorang formandi.

Pemimpin yang mengalami persoalan hidup sangat berpengaruh terhadap keputusan dan sikap penilaian terhadap formandi. Seorang pemimpin bisa saja mempunyai sifat dan watak yang merugikan bawahannya. Sikap pimpinan yang

(51)

kurang cerdas mengaburkan penghayatan akan kaul ketaatan seorang biarawati.

Sikap feodal, otoriter, menganggap remeh bawahan, egois, pilih kasih dan rigor serta tidak selaras zaman dari seorang formandi sangat berpengaruh terhadap penghayatan hidup seorang formandi akan kaul-kaul kebiaraannya. Sikap pemimpin yang keras dan kaku bisa menghasilkan pribadi yang munafik.

Keempat, Sikap dan cara hidup dari sesama anggota biara: komunitas memiliki pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anggota. Dalam hidup bersama sikap seseorang turut mempengaruhi perkembagan hidup sesamannya.

Ada banyak sikap negatif yang mempengaruhi penghayatan hidup seorang biarawati, yakni:

a.

Orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Dirinya menjadi norma bagi segalanya sehingga ketaatan baginya merupakan rintangan dan hambatan.

b.

Orang yang suka menuntut. Orang yang suka menuntut dari atasannya cenderung enggan untuk taat terhadap keputusan atasan, yang mungkin tidak sesuai dengan keinginannya pribadinya.

c.

Sikap infantil. Orang yang secara fisik sudah dewasa, tetapi dalam hal mental, emosional dan afeksi kelihatannya kekanak-kanakan. Akibatnya dia menjalankan ketaatan hanya supaya dilihat, supaya dipuji atau karena takut kepada atasannya.

d.

Sikap indiferen. Orang yang bersikap acuh tak acuh serta masa bodoh terhadap peraturan-peraturan serta nasihat-nasihat atasan.

Berdasarkan paparan mengenai kesulitan dalam menghayati kaul ketaatan dapat disimpulkan bahwa ada fakror yang mempengaruhi dalam mengahayati

(52)

kaul ketaatan yakni pemimpin, sesama anggota komunitas biara dan perkembangan psikologis seorang individu .

C. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping

Kata coping sesungguhnya merupakan sebuah term yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang secara harafiah diartikan sebagai “penanggulangan”

(Reber & Reber, 2010). Menurut Wardani (dalam Hapsari dkk., 2002) coping didefinisikan sebagai reaksi terhadap suatu masalah degan tujuan mengurangi tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Coping adalah konsep untuk memecahkan masalah. Kata coping berasal dari kata cope yang diartikan sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi, meskipun demikian hingga saat ini belum ditemukan istilah yang lebih tepat untuk mewakili kata coping tersebut. Pengertian coping memang bisa disamakan dengan kata penyesuaian. Akan tetapi, kata

“penyesuaian” ini masih tetap memiliki perbedaan besar, sebab ia mengandung pengertian yang lebih luas yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sementara, Wardani (dalam Rustiana, 2003) berpendapat bahwa kata coping lebih dikhususkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana seseorang mengatasi situasi yang menekan dalam hidupnya.

Definisi lain tentang kata coping juga diuraikan oleh Taylor (2009).

Menurutnya, coping memiliki empat tujuan yaitu mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan gambaran diri yang positif, mengurangi tekanan lingkungan dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.

(53)

Sebaliknya, menurut Reber dan Reber (2010), coping merupakan sebuah cara yang disadari dan rasional untuk menghadapi dan mengatasi kecemasan hidup.

Sedangkan Chaplin (2001) mendefinisikan coping sebagai tingkah laku dimana seorang individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Baginya, jika seorang individu dapat melakukan perilaku coping dengan baik, maka ia dapat melakukan perilaku penyesuaian sosial dengan baik pula.

Maryam (dalam Yani, 1997) menandaskan bahwa coping merupakan perilaku yang tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan ketegangan psikologis dalam kondisi stres. Sedangkan, Sarafino (2002) mendefinisikan kata coping sebagai usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Gagasan yang dikemukakan oleh Sarafino ini diamini juga oleh Herber dan Runyan (dalam Maryam, 2017). Mereka memahami kata coping sebagai semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif dan positif) yang dapat mengurangi kondisi yang menekan individu agar tidak menimbulkan stres.

Senada dengan itu, Maryam menambahkan bahwa coping merupakan respon perilaku dan pikiran terhadap stres, penggunaan sumber daya yang ada pada diri individu dan sekitarnya yang mana pelaksanaannya dilakukan secara nyata oleh individu dengan tujuan untuk mengurangi dan mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan dari luar dirinya sehingga ia dapat mengalami kehidupan yang lebih harmonis. Perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan oleh seorang individu untuk mengatasi berbagai tuntutan

Gambar

Tabel 1. Pedoman Wawancara............................................................47  Tabel 2
Gambar 1 Skema kerangka konseptual penelitian
Tabel dua berikut ini merupakan waktu dan tempat pelaksanaan wawancara sesuai  dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama antara peneliti dan informan

Referensi

Dokumen terkait