• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data, menunjukan bahwa biarawati dewasa awal yang menghayati kaul ketaatan mengalami masalah dan dampak baik fisik maupun psikis. Hal ini membuat biarwati mengatasi masalah tersebut dengan strategi Coping yakni problem focused coping dan emotion focused coping. Pada bagian ini peneliti menyajikan pembahasan terkait dengan biarawati yang mengalami masalah dalam mengahayati kaul ketaatan serta pentingnya dalam menggunakan strategi coping sebagai bentuk dalam mengatasi masalah yang dialami.

Penelitian ini melibatkan tiga informan yaitu E yang berusia 27 tahun, B berusia 35 tahun dan C berusia 31 tahun dengan kriteria biarawati dewasa awal kongregasi SSpS Flores Timur yang telah melaksanakan kaul ketaaatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga informan ini mengalami masalah dan dampak dalam menghayati kaul ketaatan yaitu masalah terkait tugas studi yang tidak sesuai dengan keinginan, tugas yang diberikan dan diperintahkan melebihi kemampuan, persoalan terkait aturan, persoalan terkait tugas komunitas yang diberikan pemimpin, dan pemimpin yang dirasa kurang mendukung. Hasil temuan tersebut mendukung pernyataan Eze, Lindegger dan Rokoczy (2016) mengenai

pemimpin yang mengatakan bahwa perlakuan atasan terhadap bawahan yang dirasa tidak sesuai menimbulkan pergumulan dan perlawanan di dalam diri.

Selain itu, dampak yang dialami informan ketika mengalami masalah dalam menghayati kaul ketaatan yaitu secara fisik ialah wajah pucat, murung, sakit perut, sakit kepala, dan sakit gigi. Sedangkan dampak yang dialami secara psikis ialah mengalami penolakan terhadap apa yang diperintakan atau ditugaskan, marasa berat untuk dijalani, mengalami kecemasan, ketakutan, kesedihan, kecewaan, merasa marah, sedih dan tidak merasa bahagia. Penemuan ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Timah dan Muti‟ah (2014) bahwa kemampuan menyelarasakan hidup dalam kaul kebiaraan bukanlah sesuatu yang mudah. Para biarawati mengalami perasaan-perasaan sakit hati, kecewa dan merasa tidak berarti. Pergumulan batin yang demikian sering menimbulkan rasa putus asa dan mandek.

Berdasarkan hasil data, masalah yang dialami terkait tugas studi yang tidak sesuai dengan yang diinginkan membuat dua informan mengalami pergolakan dan penolakan yang menyebabkan ketakutan, kemarahan, kekecewaaan dan kesedihan. Pergolakan yang dialami informan tersebut selaras dengan yang dikatakan Charlis dan kurniwati (2015) bahwa biarawati yang mengalami pergolakan dalam kehidupan biara ketika individu melihat adanya ketidaksesuaian antara keinginan dan praktek hidup yang dijalani, hal ini didukung dengan pernyataan Patnani (2013) yang mengatakan bahwa hal yang menjadi masalah dalam ketaatan adalah ketika apa yang diinginkan individu tidak tercapai atau mengalami hambatan maka seorang dikatakan sedang bermasalah

Berkaitan hasi temuan mengenai tugas yang diperintakan atau diberikan melampaui kemampuan: Eze, Lindegger dan Rokoczy (2016) mengatakan bahwa beban kerja yang diterima dari pemimpin yang banyak membuat anggota mengalami stres dan menurut Raftery (2013) jika hal itu dibiarkan maka bisa berdampak pada panggilan yakni meninggalkan biara. Berdasarkan hasil data informan merasa beban karena tugas yang diberikan oleh pemimpin komunitas terlalu banyak sehingga membuat informan merasa beban, tidak mampu serta mengalami kelelahan.

Temuan lain menunjukan bahwa masalah yang dialami informan ialah terkait aturan yang dirasa kaku, rumit dan terkesan sangat birokratif membuat informan merasa tidak bebas dan tidak nyaman dalam melayani. Selain itu, informan merasa bahwa meskipun mengalami kecapaian namun tetap menjalankan aturan. Penemuan ini selaras dengan penelitian dikemukan oleh Raftery (2013) bahwa apabila motivasi masuk biara tidak dimurnikan seturut semangat kongregasi, maka seringkali orang tidak terlalu mengikuti aturan yang ada di biara. Hal ini menjadi tantangan besar yang berakibat pada memunculkan resistensi yag menyebabkan seorang biarawati mengambil keputusan untuk meninggalkan biara karena tidak menerima semua aturan atau perilaku yang ada di biara. Sehingga dianjurkan agar dapat mengolah dan mengatasi setiap peristiwa dengan baik.

Temuan lain yang dirasa informan C yang merupakan tantangan terbesar dalam menghayati kaul ketaatan adalah ketaatan dengan seorang pemimpin. Hal dikatakan oleh Charlis dan Kurniawati (2011) bahwa faktor yang mempengaruhi

ialah otoritas yang adalah pemimpin, senioritas dan kehendak bebas. Seorang biarawati mengalami pergolakan ketika tidak adanya kesesuaian antara teori dan praktek hidup yang dijalankan. Berdasarkan penemuan ini, Hadjon (2003) juga mengatakan bahwa sikap pemimpin yang kurang cerdas, otoriter dan menganggap rendah bawahan dapat mengaburkan penghayatan kaul ketaatan. Hal ini ditemukan dalam hasil penelitaian bahwa informan mengharapkan bahwa seorang pemimpin haruslah mengerti, memahami, membangun komunikasi dan bijaksana akan tetapi hal itu tidak ditemukan sehingga C merasa kecewa ketika merasa bahwa pemimpin komunitas menganggap C tidak bertanggung jawab dengan tugas yang diberikan dan menuliskan perilakunya dalam votase yang merupakan lembar penilain diri tanpa terlebih dahulu melakukan dialog secara pribadi.hal ini menimbulkan kekecewaaan dan sakit hati..

Masalah dan dampak yang dialami memunculkan strategi coping yang dilakukan ketiga informan dalam mengatasi masalah dalam menghayati kaul ketaatan yakni problem focused coping dan emotion focused coping.

Masalah dan dampak yang dialami informan dalam melaksanakan kaul ketaatan tersebut membuat para informan melakukan strategi coping untuk mengatasi tekanan yang dialami. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) ada dua bentuk strategi coping yakni PFC dan EFC.

Salah satu jenis coping yang dilakukan informan yaitu Informan melakukan dua bentuk problem focus coping. Startegi ini berfokus pada sumber masalah dan upaya pemecahan masalah (Lazarus & Folkman,1984; Carver et al.,1989). Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga informan melakukan tiga

bentuk coping yaitu planful problem solving, confrontative, dan seeking social support for instumental reasons.

Hasil penelitian menunjukan bahwa informan melakukan planful problem solving yaitu melakukan usaha-usaha tertentu dengan tujuan mengubah keadaan dengan pendekataan analitis. Informan melakukan coping ini dengan berusaha membangun sebuah komunikasi yang baik dengan pemimpin ketika mengalami kekecewaan an dan sakit hati berkaitan dengan pimpnan yang dirasa kurang mendukung. Informan berniat berusaha meminta waktu yang pas untuk bisa mengkomunikasikan masalah yang dialami dengan pemimpin atau orang yang berwenang. Hal ini didukung dengan pernyataan Tima dan Mati‟ah (2014) yang mengatakan bahwa orang yang dapat dan berani mengatasi masalah adalah orang yang memiliki kecerdasan emotional yang baik.

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa seorang informan melakukan Confrontative coping yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan mengambil suatu resiko yang akan dijalankan (Lazarus &

Folkman, 1984). Salah satu informan berusaha untuk memberanikan diri menglarifikasikan masalah yang dialami dengan pemimpin dan berusaha membangun dialog yang baik untuk mengatasi situasi yang menekan. Hal ini dikatakan Maryam (2017) bahwa coping dilakukan individu untuk mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi maupun dari luar diri sehingga dapat mengalami kehidupan yang harmonis.

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa dua orang informan melakukan coping seeking social support for instrumental reasons yaitu salah satu cara untuk

mengelola dan mengatasi tekanan yang dialami dengan mencari dukungan berupa nasihat, bantuan dan informasi (Carver et al.,1989). Dua orang informan mencari bantuan melalui pemimpin, pendamping dan teman angkatan untuk mendapatkan bantuan berupa nasihat dan mencari jalan keluar dari masalah yang dialami.

Informan dua meminta bantuan dari biarwati berupa tenaga dan kealhlian serta ide untuk mengatsi masalah yang dilami mislanya mengoperasikan komputer. Dengan bantuan nyata yang dialami informan tiga membuat membuat dirinya merasa bersyukur. Hal ini juga selaras dengan apa yang dikatakan Chaplin ( 2001) yang mengatakan bahwa coping dilakukan individu terhadap lingkungan dengan tujuan menyelesaikan tugas dan masalah yang dihadapi. Ditegaskan juga bahwa secara implisit pencarian dukungan sosial seperti hal yang menyadarkan kembali bahwa seseorang adalah bagian dari jalinan sosial yang berkewajiban untuk saling memberikan bantuan. Penerimaan dan dukungan yang tersedia saat diperlukan membantu individu dapat melalui tekanan dengan lebih efektif, serta akan mengalami kesejahteraan dan kesehatan yang lebih baik (Taylor, Welch, Kim, &

Sherman, 2007).

Jenis strategi coping lain yang digunakan oleh informan yaitu emotion focus coping. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukan bahwa informan melakukan beberapa bentuk coping yaitu self control, seeking social support for emotion reasons, escape, accepting responsibility, positive reapprasial dan turning to religion.

Tiga informan melakukan bentuk coping self control yaitu usaha untuk mengendalikan dan mengatur perasaan ketika mengalami situasi tertekan terdiri

dari kontrol perilaku, kontrol kongnitif dan kontrol dalam pengambilan keputusan (Chaplin 2011; Lazarus & Folkman, 1984;). Informan berusaha menghadapi masalah dengan tenang, mengambil waktu untuk merenung dan merefleksikan masalah yang dialami kemudian mengambil keputusan yang sesuai untuk dilaksanakan.

Temuan dalam penelitian ini ialah, tiga informan melakukan seeking social support for emotion reasons yaitu usaha individu mencari dukungan sosial berupa dukungan moral dan simpati dari lingkungan sekitar (Carver, et al,.1989).

Ketiga informan mencari dan mendapat dukungan dari pemimpin, teman sebaya dan pendamping mengenai masalah yang dihadapi dengan menceritakan apa yang dialami. Hal ini membuat informan mengalami kebebasan batin dan merasa legah. Selaras dengan yang diungkapkan Sarafino dan Smith (2011) bahwa pentingnya mencari dukungan sosial karena dukungan sosial dapat mengurangi stres yang dialami oleh individu.

Terdapat juga temuan lain dalam penelitian ini yaitu salah satu informan melakukan bentuk coping escape yaitu usaha untuk menghindari diri dari masalah dan sekiranya memiliki persoalan berusaha berperilaku seolah-olah tidak memiliki masalah serta tetap berpandangan dan berpikir secara positif (Lazarus & Folkman, 1984). Seorang informan pernah mencoba menghindar dari masalah karena menurut informan menghindar dari masalah itu baik.

Temuan lain dalam penelitian menunjukan bahwa coping yang paling banyak dilakukan oleh informan yaitu accepting responsibility. Accepting responsibility adalah suatu upaya untuk menerima situasi yang menekan dan

memperlihatkan sikap dan rasa tanggung jawab diri dihapan sebuah persoalan (Lazarus & Folkman,1984). Tiga informan berusaha menerima kenyataan mengenai masalah atau kesulitan yang dialami. Menerima membuat informan merasa bahagia, senang dan bebas. Selain itu, ketika informan menerima masalah atau tantangan yang menimpah dirinya membuat dapat mengurangi beban yang dialami sehingga dampak secara fisik seperti sakit kepala menjadi sembuh. Hal ini diungkapkan juga oleh Carver, et al., (1989) bahwa dengan menerima realitas yang dialami dapat mengurangi tekanan yang terjadi di dalam diri.

Temuan lain dalam penelitian yaitu possitive reapprasial yaitu usaha memberi penilaian secara positif dengan mencari makna positif dari setiap masalah yang dialami dengan tetap berfokus pada pengemabnagan diri (Lazarus

& Folkman, 1984). Ketiga informan memaknai suatu masalah secara positif dengan berpikir positif dan melihat bahwa masalah atau tantangan yag dialami adalah kehendak Tuhan atas diri informan yang membuat informan belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hagang (2015) yang mengatakan bahwa biarawati hendaknya menemukan makna hidup dari setiap peristiwa yang dialami dengan segala konsekuensi yang dijalani dalam kehidupan membiara yang dapat membuat biarawati merasa bahagia.

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa dua dari tiga informan melakukan turning to religion yaitu usaha mengatasi masalah dengan mencari bantuan dan kekuatan Tuhan untuk menemukan jalan keluar dan kenyamanan (Carver et al.,1989). Informan mengalami kekuatan dalam mengahadapi masalah

dengan lebih banyak berdoa kepada Tuhan. Informan mengalami kedamaian dan kekuatan sehingga dapat menerima melaksakan kaul ketaatan dengan gembira dan kebebasan batin sehingga dapat mensyukuri peristiwa yang dialami sebagi bentuk kehendak Tuhan atas diri informan. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh McCullogh & Wiloughby (2009) bahwa salah satu hal penting dalam coping religius dan spiritualitas adalah berdoa. Berdoa didefinisikan sebagai pikiran, sikap dan tindakan yang diarahkan untuk mengekspresikan atau mengalami koneksi dengan sesuatu yang sacral. Berdoa merupakan suatu kendaraan berkomunikasi dengan Tuhan. Berdoa memiliki beberapa fungsi yakni (1) mencari jawaban dari Tuhan, nasihat, bimbingan dan rasa nyaman; (2) memperoleh kekuatan untuk bertahan dalam situasi; (3) mendapatkan dukungan emosi, berupa kesabaran, harapan dan kedamaian; (4) berbagi rasa dengan Tuhan;

(5) mendapatkan kendali dan mencari kehendakNya; (6) bersyukur.

Masing-masing informan memiliki bentuk emotion focused coping yang berbeda-beda. Hal ini juga dipengaruhi oleh masing-masing individu memiliki masalah yang berbeda pula. Pernyataan ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Evan dan Kim dalam Maryam, 2017) yang mengatakan bahwa pada dasarnya coping yang digunakan oleh setiap orang berbeda - beda tergantung pada jenis stress atau tekanan yang dialami.

Temuan unik lain yang dialami oleh tiga informan bahwa ketiga informan tersebut dapat menerima dan mengatasi setiap masalah yang dialami dalam kaul ketaatan (accepting responsibility) karena para informan mencari dan mendapat dukungan sosial dari anggota biarwati yang lain baik bersifat instumental maupun

bersifat emosional. Selain itu, hal yang mebuat para biarawati menerima juga ialah karena memaknai setiap peristiwa yang dialami sebagai kehendak Tuhan atas dirinya (positive reappraisal strategy) dan berdoa memohon kekuatan Tuhan untuk mengalami kedamaian ditenga peristiwa yang dialami sehinga merasa ada kelegaan dan kebahagian serta rasa syukur Turning to religion). Hal ini didukung dengan pernyataan Utami (2012) yang mengatakan bahwa bahwa ada pengaruh positif agama pada konsekuensi kehidupan yang negatif seperti tekanan psikologis dan stres secara umum. Selanjutnya agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres, agama dapat memberikan individu pengarahan atau bimbingan, dukungan, dan harapan, seperti halnya pada dukungan emosi (pargament dalam Utami, 2012). Hal yang menjadi titik tolak disini ialah pentingnya individu melakukan coping religius karena coping religius diartikan sebagai suatu harapan atas keyakinan spiritual untuk beradaptasi terhadap stres. Coping ini meliputi usaha mencari dukungan dan koneksi spiritual, menggunakan cara-cara religi untuk membantu meredakan rasa terluka, marah atau takut terkait suatu peristiwa, mencari kendali didasarkan kepada relasi dengan Tuhan, mencari pengampunan secara spiritual dan mendefinisikan kembali suatu stresor sebagai sesuatu yang berarti (Pargament et al., 1990; Pargament, 2007).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa semua informan mengalami masalah atau tantangan dalam melaksanakan kaul ketaatan yaitu tugas studi yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, tugas yang diberikan atau diperintahkan melampaui kemampuan, persoalan terkait aturan, persoalan terkait tugas komunitas yang diberikan pemimpin dan terkait pemimpin yang dirasa kurang mendukung. Masalah yang dalami ini menyebabkan informan mengalami dampak baik fisik maupun psikis. Secara fisik, informan mengalami sakit perut, sakit kepala, wajah murung dan sakit gigi. Sedangkan secara psikis ketiga informan mengalami kecemasan, ketakutan, merasa kecewa, sedih dan sakit hati. Selain itu, informan juga merasa marah dengan situasi yang dialami. Hal tersebut membuat informan melakukan strategi coping yaitu untuk mengatasi masalah atau tekanan yang dialami. Informan melakukan kolaborasi antara dua strategi coping yakni problem focused coping dan emotion focused coping.

Bentuk problem focused coping yang paling banyak dilakukan informan adalah dan planful problem solving dan seeking social support for instrumental reasons. Contoh bentuk planful problem solving yang dilakukan informan antara lain meminta waktu untuk berdialog dengan pimpinan, membangun komunikasi yang baik dan memutuskan tugas mana yang terpenting yang akan dilaksanakan.

Selain itu ada bentuk coping yang dilakukan oleh satu informan yakni

confrontative. Contoh bentuk confrontative coping yang dilakukan seorang informan yakni memberanikan diri membangun dialog untuk mengklarifikasikan masalah yang dihadapinya. Selain itu, bentuk seeking social support for instrumental reasons yang digunakan saat mengalami masalah dalam menjalankan tugas ialah renda hati meminta bantuan dari biarawati lain untuk mengatasi kesulitan dalam menjalankan tugas.

Bentuk emotion focused coping yang dilakukan tiga informan tersebut ada yang memiliki kesamaan tetapi adapulah yang berbeda. Bentuk coping yang dilakukan antara lain: self control, seeking social support for emotion reasons, distancing, accepting responsibility, positive reapprasial dan turning to religion.

Sedangkan coping yang paling banyak dilakukan yaitu self control, seeking social support for emotion reasons dan accepting responsibilility. Contoh self control yang digunakan ialah menghadapi persoalan dengan tenang, memilih diam, merenung dan merefleksikan masalah yang dialami serta mengambil keputusan mengenai tugas yang harus dijalankan. Contoh seeking social support for emotion reasons yang digunakan antara lain, mendapat dukungan ketika curhat kepada pemimpin, pendamping maupun teman angkatan mengenai masalah yang dialami dengan memberikan peneguhan kepada informan agar tidak stres, mendengarkan, mengerti dan memahami informan. Hal ini membuat informan merasa lega dan gembira.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa strategi coping yang dikemukanoleh Lazarus and Folkman (1984) dapat membantu individu mengatasi masalah yang dialami. Hasil penelitian menunjukan bahwa E, B dan C mengatasi

masalah yang dilami dalam menghayati kaul ketaatan ialah berusaha membangun relasi yang baik dengan pemimpin dengan melakukan dialog, mencari bantuan dari anggota biarawati untuk mengatasi masalah yang dialami, terbuka mensharingkan pengalaman yang dirasa menekan sehingga dapat mengurangi beban yang dialami serta memaknai setiap peristiwa yang dilami dengan refleksi diri dan discernment. Selain itu, ketiga informan juga melakukan coping untuk menemukan kekuatan Tuhan dalam doa agar dapat menerima masalah yang dialami sebagai konsekuensi dalam menjalani kaul ketaatan.

B. Saran

1. Bagi biarawati dewasa awal kongregasi SSpS Flores Timur

Para biarawati dewasa awal dalam melaksanakan kaul ketaatan tidak terlepas dari masalah yang dialami sehingga untuk mengatasi masalah tersebut para biarawati hendaknya melakukan strategi coping. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa strategi coping yang bisa dilakukan membangun relasi yang baik dengan pemimpin dengan melakukan dialog, mencari bantuan dari anggota biarawati untuk mengatasi masalah yang dialami, terbuka mensharingkan pengalaman yang dirasa menekan sehingga dapat mengurangi beban yang dialami serta memaknai setiap peristiwa yang dilami dengan refleksi diri dan discernment.

Selain itu, para biarawati dewasa awal juga diharapkan untuk menemukan kekuatan Tuhan dalam doa agar dapat menerima masalah yang dialami sebagai konsekuensi dalam menjalani kaul ketaatan. Hal yang terpenting lainnya ialah diharapkan meningkatkan dukungan sosial antara satu sama lain dalam kehidupan berkomunitas. Para biarawati disarankan untuk dapat melaksanakan kaul ketaatan

dengan bahagia dengan menggunakan strategi yang dapat membantu dalam menjalankan panggilan sebagai seorang biarwati.

2. Bagi pimpinan kongregasi SSpS Flores Timur

Berdasarkan penelitian yang ditemukan, pemimpin diharapkan untuk mempersiakan anggota untuk tugas studi sesuai dengan bakat dan minatnya agar anggota tidak mengalami stress yang berlebihan. Perlu adanya persiapan anggota untuk melaksanakan studi sesui dengan minat dan kebutuhan kongregasi. Selain itu, dalam memberikan tugas kepada anggota hendaknya pemimpin melakukan dialog dan melihat kemampuan yang ada dalam diri setiap anggota. Hal ini agar anggota tidak mengalami stress karena beban kerja yang berlebihan. Penelitian juga menemukan bahwa hendaknya pemimpin diharapkan lebih bersikap bijaksana dan menghargai anggota serta memberikan dukungan kepada anggota mengenai tugas yang dipercayakan.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini mengalami kekurangan yaitu jumlah informan yang terbatas. Keterbatasan jumlah informan disebabkan oleh kurangnya kesediaan informan yang sesuai dengan kriteria penelitian. Penelitian berikut diharapkan menambah jumlah informan untuk memperkaya data.

Penelitian ini juga terbatas dalam hal latar belakang informan penelitian yang sama dalam satu kongregasi. Penelitian berikutnya diharapkan bisa menambahkan lebih dari satu kongregasi untuk meneliti mengenai masalah yang dialami dalam kaul ketaatan dalam perspektif yang berbeda..

DAFTAR PUSTAKA

Brandthill, S. L., Duczeminski, J. E., Surak, E. A., Erdly, A. M., Bayer, S. J., &

Holm, M. B. (2001). Coping strategies that elicit psychological well-being and happiness among older catholic nuns with physical impairments and disabilities. Physical & Occupational Therapy in Geriatrics, 19(2), 87-98.

Bryant, S. (1998). Correlates of stress among African Amercan nuns. Affilia Winter,13(4), 454-473.

Carver, C.S., Scheier, M.F., & Weintraub, J.K. (1989). Assessing coping strategies: a theoretically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56 (2), 267-283.

Chaplin. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Charlis, C., & Kurniawati, N. M. T (2011) Makna hidup pada biarawan. Ilmiah Psikologi, 1(1),33-39

Creswell, J.W (2014). Penelitian kualitatif dan desain riset: memilih diantara lima pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darminta, J. (1981). Persembahan cintaku. Yogyakarta: Kanisius.

Eze, C., Lindegger, G.C., & Rakoczy, S. (2014). Catholic religiou‟s sister‟s;

identity dilemmas as commited and subjugated workers: A Narrative Approach. Spinger, 4(5)-, doi: 10.1007/s13644-041-0202-1

Eze, C., Lindegger, G.C., & Rakoczy, S. (2016). Power relantion influencing chatolic religious sister‟s identity countruction: A studi of intersubjective

exchange in religious community living. International journal of social Science Studies, 4(5)-. Doi:10.11114ijsss. V4i5.1526.

Folkman, S., & Lazarus, R.S. (1984). Stress, appraisal and Coping. McGraw.Hill General SSpS Secretary (2017). World Mission SSpS. Roma: AJS.

Goleman, D (2002). Kecerdasan emosional untuk mencapai puncak prestasi.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Hagang, D. A. F (2015). Kebermaknaan hidup pada biarawati di kalimantan timur. EJournal Psikologi, 4(1), 107-119.

Herdiansyah, H. (2015). Metode penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi.

Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, E.B. (1980).Psikologi perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.(Kelima:D.R.M Sijabat,ed.). Jakarta: Erlangga.

Jacobs, T. (1987). Hidup membiara: Makna & tantangannya. Yogyakarta:

Kanisius.

Kanisius.