• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

G. Dependabilitas dan Kredibilitas

2. Kredibilitas

Supratiknya (2015) menjelaskan bahwa validitas merupakan pemeriksaan keakuratan penelitian yang telah dilakukan dengan menerapkan sejumlah prosedur tertentu. Menurut Creswell (dalam Supratiknya, 2015) terdapat beberapa macam strategi yang dapat digunakan peneliti untuk menguji validitas hasil penelitiannya.

Salah satu strategi yang digunakan oleh peneliti untuk menguji kebenaran informasi yang diberikan oleh informan penelitian dengan metode member checking. Metode ini digunakan sebagai cara untuk memastikan keakuratan data berupa tema-tema dengan menunjukkan kepada informan untuk mengetahui keakuratan rumusan tema-tema yang telah dibuat. Setelah informan menyetujui tema-tema-tema-tema yang telah dibuat, peneliti akan mulai menuliskannya sebagai laporan akhir.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan pelaksanaan penelitian 1. Persiapan dan perizinan penelitian

Informan dalam penelitian ini merupakan tiga orang biarawati yang sudah melaksanakan kaul-kaul hidup membiara dalam kongregasi SSpS yakni kaul ketaatan, kaul kemiskinan dan kaul kemurnian. Peneliti memilih informan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu peneliti memilih informan penelitian berdasarkan pada ciri-ciri yang dimiliki oleh informan, karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Peneliti mencari informan penelitian dengan cara bertanya dan membangun rapport secara pribadi.

Setelah peneliti mendapatkan informan yang sesuai dengan kriteria penelitian, peneliti segera menghubungi informan untuk meminta kesediaan informan berpartisipasi dalam penelitian ini.

Peneliti membuat jadwal pertemuan dengan informan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menjelaskan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan, prosedur penelitian, dan meminta informan menandatangani informed consent. Peneliti juga meminta izin informan untuk menggunakan alat perekam selama melakukan wawancara.

Setelah informan bersedia menandatangani informed consent, peneliti akan membuat jadwal wawancara dengan informan penelitian.

Peneliti menjelaskan bahwa akan memeriksa hasil wawancara dan akan menghubungi kembali informan untuk wawancara tambahan jika dibutuhkan probing. Apabila data yang dibutuhkan sudah cukup maka peneliti tidak akan melakukan probing. Peneliti juga membangun relasi dengan informan agar merasa nyaman sehingga mampu memberikan jawaban dan mensharingkan pengalamannya secara terbuka dan jujur.

2. Pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan wawancara penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan september 2019. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali pada semua informan penelitian. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan wawancara pada setiap informan beragam, yakni antara satu jam hingga dua jam. Proses wawancara yang telah dilakukan bersama ketiga informan penelitian berlangsung cukup lancar dan tidak ada kendala yang berarti.

Pertemuan pertama dengan informan E pada tanggal 28 Agustus 2019. Pada pertemuan pertama peneliti memulai dengan perkenalan, menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan. Peneliti langsung melakukan wawancara setelah melakukan perkenalan dan memberikan informed consent.

Peneliti mengetahui E karena satu kongregasi. Pada saat proses wawancara E terlihat sangat bersemangat dan kooperatif dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.

Pertemuan pertama dengan B dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2019.

Peneliti melakukan perkenalan, menjelaskan maksud serta tujuan penelitian, dan meminta B untuk mengisi kuesioner. Peneliti melakukan wawancara setelah B

menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian yang akan dilakukan dengan menandatangani informed consent. Peneliti mengetahui B sebagai satu kongregasi. Pada saat melakukan wawancara, terlihat bersemangat dan sangat terbuka untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Hal tersebut terlihat dari cara informan yang menyampaikan pengalamannya dengan sangat detail. B sempat menangis menceritakan pengalaman yang dilami.

Pada tanggal 16 September 2019 peneliti melakukan wawancara dengan informan C. Peneliti mengetahui C sebagai satu kongregasi. Peneliti memberikan penjelasan serta maksud dan tujuan mengenai penelitian yang akan dilakukan, kemudian peneliti meminta C untuk mengisi kuesioner, dan menandatangani informed consent terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara. Proses wawancara dilakukan dua minggu setelah pemberian informed consent. Pada saat proses wawancara, C terlihat sangat bersemangat dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. C mampu menceritakan pengalamannya dengan jelas dan lengkap.

Tahap konfirmasi kepada ketiga informan penelitian dilakukan pada tanggal 4, 10 dan 20 September 2019. Tahap konfirmasi dilakukan dengan cara mengulas kembali hasil wawancara serta menanyakan kembali kesesuaian isi yang telah dipahami peneliti kepada informan penelitian setelah memberikan tema pada pernyataan informan yang sesuai dengan tema yang ingin digali oleh peneliti.

Tabel dua berikut ini merupakan waktu dan tempat pelaksanaan wawancara sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama antara peneliti dan informan.

Tabel 2.

Waktu dan tempat pelaksanaan wawancara Informan Tanggal

Peneliti telah melakukan member checking dengan ketiga informan penelitian sesuai dengan perjanjian tanggal, hari, dan tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Peneliti melakukan member checking dengan informan E pada hari Jumat, 20 September 2019 di Komunitas SSpS Maguwo. Member checking dengan informan B dilakukan pada hari Jumat, 1 November 2019 di Komunitas SSpS Maguwo. Pada informan C member checking dilakukan pada hari Jumat, 15 November 2019 di Komunitas SSpS Maguwo.

Ketiga informan penelitian telah menyepakati dan menyatakan bahwa tema-tema spesifikasi dari hasil wawancara yang telah diolah oleh peneliti sudah sesuai

dengan apa yang dimaksudkan oleh seluruh informan penelitian ketika memberikan jawaban wawancara.

B. Informan penelitian 1. Data informan

Tabel 3.

Data informan

No Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3

1 Inisial E B C

2 Jenis kelamin Perempuan Perempuan Perempuan

3 Usia saat ini 27 tahun 35 tahun 31 tahun

4 Agama Katolik Katolik Katolik

5 Tahun masuk biara 2010 2004 2010

6 Melaksanakan Kaul

4 tahun 6 tahun 10 tahun

7

Pekerjaan saat ini Status

Mahasiswi Biarawati

Mahasiswi Biarawati

Mahasiswi Biarawati

8 Asal Lembata Flores Lembata

9 Tempat tinggal Komunitas Roh Suci Yogyakarta

Komunitas Roh Suci Yogyakarta

Komunitas Roh Suci Yogyakarta

Berdasarkan data ketiga informan dalam tabel di atas diketahui bahwa ketiganya memiliki usia dewasa awal yakni E yang berusia duapuluh tuju tahun, B berusia tiga puluh lima tahun dan C berusia 31 tahun. Ketiganya adalah biarwati dewasa awal yang sudah melaksanakan kaul yakni empat tahun, enam tahun dan sepuluh tahun.

2. Latar belakang informan a. Informan 1 (E)

E adalah seorang biarawati berusia 27 tahun. E dilahirkan di Lembata-NTT pada tanggal 25 Mei 1992. Saat ini E bergabung dalam kongregasi Misionaris Abdi Roh Kudus sejak tahun 2010. E telah melalui tahap-tahap pembinaan dalam hidup membiara mulai dari aspirant selama satu tahun, postulat dua tahun, novisiat dua tahun hingga junior dan sudah empat tahun berkaul dan melaksanakan kaul ketaatan. E tertarik dan memilih hidup membiara sejak SD. Motivasi awal E memilih hidup membiara ialah pertama, E ingin berdiri di depan umum dan membagi komuni artinya simbol tubuh Kristus dalam ajaran iman katolik. Motivasi kedua, E ingin pergi ke luar negeri.

E memilih masuk dan bergabung dengan SSpS karena ada seorang biarawati SSpS yang promosi panggilan di sekolahnya. E kemudian menulis surat lamaran dan memilih masuk dan bergabung dalam kongregasi SSpS. E merasa bahagia karena SSpS adalah kongregasi misionaris yang melayani di lima benua. Saat ini E menempuh studi di salah satu universitas negeri Yogyakarta dan tinggal di Komunitas SSpS Maguwoharjo.

b. Informan 2 (B)

B adalah seorang biarawati berusia 35 tahun. B memilih masuk biara sejak tahun 2004 dan melaksanakan atau mengikrarkan kaul kaul pertama pada tahun 2008. B dilahirkan di Ende Flores pada tangal 1985. B anak pertama dari tiga bersaudara. Pada awalnya B memasuki biara SSpS, B

mengatakan bahwa hal itu adalah rencana Tuhan. Selain itu, kebetulan rumah B berdekatan dengan biara sehingga membuat B merasa tertarik untuk mengikuti cara hidup bruderan tersebut. Ketika B menyelesaikan sekolah SMA, meskipun banyak tawaran dari keluarga, namun B tetap mempertahankan keinginan untuk memilih hidup membiara sehingga B meminta bantuan seorang bruder SVD untuk menulis surat lamaran ke kongregasi SSpS.

B diterima masuk di Biara SSpS pada tahun 2004 dan menjalani tahap-tahap pendidikan mulai dari jenjang aspirant dengan rentan waktu satu tahun, postulan dua tahun, novisiat tiga tahun dan dan mengikrarkan atau melaksanakan kaul pertama pada tahun 2008. Pada tahun 2012 B melaksanakan sumpah abadi dengan mengikrarkan kaul kekal. B telah melaksanakan kaul kebiraan sudah sebelas tahun. Saat ini B melaksanakan studi di salah satu universitas swasta dan tinggal di komunitas SSpS Yogyakarta. Sebelumnya B pernah melaksanakan studi filsafat di salah satu perguruan tinggi katolik di Flores, kemudian pimpinan mengutus B untuk melanjutkan lagi di luar negeri. Belum selesai masa studi B diminta pimpinan untuk kembali ke Indonesia. Setelah selang beberapa tahun, B diutus untuk studi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

c. Informan 3 (C)

C adalah seorang biarawati yang saat ini berusia 31 tahun. C dilahirkan di Lembata pada tanngal 22 November 1987. C telah mengikrarkan kaul atau melaksanakan kaul ketaatan. C memutuskan untuk masuk biara pada tanggal

23 Agustus 2010 dan telah melalui tahap-tahap hidup membiara sejak aspirant satu tahun, postulan satu tahun, novisiat dua tahun, dan yunior lima tahun.

Saat ini C adalah anggota kongregasi Misionaris Abdi Roh Kudus yang tinggal di Yogyakarta dan melaksanakan kuliah di salah satu Universiatas Swasta Di Yogyakarta.

Motivasi awal saat C tertarik untuk memilih hidup membiara adalah ketika C melihat para imam dan biarawati yang datang promosi panggilan di kampung halamannya. Selain itu, ketertarikan tersebut juga berawal dari masa kecil yang selalu bermain peran sebagai seorang biarawati disaat bermain dengan teman sebaya maupun saudara. Namun hal yang membuat C benar-benar memutuskan untuk masuk biara ketika teman sebaya sekaligus teman akrab C yang telah menjadi seorang biarwati yang datang berlibur. Hal tersebut mendorong C untuk melulis surat lamaran dan bergabung dengan kongregasi misionaris Abdi Roh Kudus.

Menurut C pada awalnya C masuk hidup membiara ibunya tidak menyutujui. C mensharingkan bahwa ketika ia memutuskan untuk menjalani hidup membiara kakak C dan saudara-saudaranya, bahkan ibu kandung C sendiri tidak menyetujui C untuk hidup membiara. Hal ini terbukti dari sikap ibu C yang tidak berkenan menandatangani surat persetujuan dari orang tua.

Akhirnya didesak terus menerus oleh ayah dan C akhirnya ibu C menandatangani surat lamaran. Alasan Ibu C dan saudara-saudaranya bahwa C adalah anak manja sehingga tidak cocok menjalani kehidupan membiara yang sangat disiplin dengan segala tuntutan yang sangat berat.

C tetap yakin pada pilihannya untuk hidup membiara. Setelah menyelesaikan masa aspirant dan baru saja memasuki masa postulat C mendapat tantangan berat yakni kematian ayahnya. Hal ini membuat C merasa sedih yang mendalam karena ayahnya adalah satu-satunya orang di dalam keluarga yang mendukung C masuk biara. Peristiwa kematian ayah ini sangat mengguncang C hingga berniat untuk mengundurkan diri dan keluar biara.

Namun setelah dipertimbangkan secara matang C akhirnya mengurung niatnya itu dan memilih untuk memperpanjang masa postulat sebagai proses untuk menerima kepergian ayah dengan hati yang lapang.

Saat ini C merasa bersyukur karena bisa melewati semua tantangan berat yang dihadapinya. C percaya bahwa Tuhan membuat segala sesuatu menjadi indah pada waktunya.

C. Hasil Analisis Data 1. Analisis data informan 1 (E)

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa E mengalami masalah dalam menghayati kaul ketaatan. E juga melakukan strategi coping dalam mengahayati kaul ketaatan. Secara gamblang E memaparkan masalah yang berkaitan dengan persoalan studi dan kehidupan komunitas. E merasakan bahwa tugas yang diberikan kepadanya melebihi kesanggupan dirinya. Tetapi karena kaul ketaatan E harus menerima dan menjalankannya. Bagi E melaksanakan kual ketaaan itu berat. Hal ini semakin diperp

arah dengan kurang adanya dukungan dari komunitas.

a . Masalah dalam melaksanakan kaul ketaatan 1) Persoalan studi dan komunitas

Menurut E, apa yang diinginkan dan dirindukan kadang bertolak belakang dengan apa yang harus dilaksanakan. E merasa dirinya tidak cocok dengan tugas perutusan studi pada bidang yang diberikan kepadanya. Hal ini terbukti dari sharing E. E menginginkan mengambil bidang studi bimbingan konseling tetapi pimpinan menugaskan untuk mengambil bidang studi PGSD.

Sehingga E merasa kecewa, marah, cemas dan takut menjalankan studi yang dirasa kurang cocok dengan minatnya. Semua perasaan itu berdampak pada keluhan sakit kepala dan lemas yang secara tetap dialaminya. E pun menjadi pribadi yang minder, murung dan selalu tidak fokus tugas dan pekerjaan.

Perasaan kontradiktif antara keinginan diri dan keinginan orang lain dirasakan pula oleh E dalam pengalaman tugas perutusan di komunitas Ndora. E merasakan bahwa apa yang diinginkan bertentangan dengan keinginan pemimpin. Dalam sharingnya, E menceriterakan keinginannya untuk berbaur dengan umat, khususnya melaksanakan kegiatan rohani dengan OMK (Orang Muda Katolik). Akan tetapi keinginannya ini tidak didukung dan bahkan dilarang oleh pimpinan dan anggota komunitas lain. Menurut E, komunitas Ndora adalah komunitas pastoral yang seharusnya harus membaur dengan kehidupan umat melaui pelayanan dan pendekatan pastoral. E merasa sangat kecewa dan marah karena kerinduan dan keinginannya berseberangan dengan keinginan dan keputusan pimpinan komunitas. Idealisme pendekatan pastoral mengumat yang didambakannya seakan dikebiri oleh kebijakan dan

keputusan pimpinan yang kurang bijaksana. Inilah dua kasus yang di alami E dalam persoalan studi dan komunitas yang langsung berkaitan dengan masalah kaul ketaatan.

2) Tugas yang diberikan melebihi kemampuan

E merasa bahwa tugas yang diberikan terkadang melebihi kemampuannya. Hal ini dikatakan E dalam sharingnya saat masih tinggal di komunitas pastoral. E merasa beban tugas yang terlalu banyak diberikan kepadanya oleh pimpinan komunitas; antara lain: pergi ke dokter untuk urusan dan kepentingan komunitas soal BPJS, ke Kantor Dinas PPO untuk sekolah TK, kerja sawah dan pelbagai tugas-tugas harian di komunitas. Beban-beban tugas yang terlalu banyak ini membuat E merasa tidak nyaman dan tidak mampu. E merasakan idealisme pelayanan yang dipercayakan kongregasi yang begitu indah, yakni berkerja profesional dan tuntas sungguh berbeda dengan kenyataan. E merasakan lebih sebagai kuda beban daripada seorang pekerja dan pelayan religius. Meskipun demikian E tetap melaksanakan tugas-tugasnya dalam diam sebagai bentuk tunduk dan ketaatan terhadap pimpinan.

Tanpa banyak bicara, apa lagi protes terhadap kebijakan pimpinan, E berjuang untuk melaksanakan tugas-tugas itu sebagai bentuk ketaatan kepada kehendak Allah. Inilah situasi paradoksal pergumulan religius. Perasaan ingin memberontak terhadap situasi dan kondisi yang tidak memberikan kepuasan kerja dan hidup dan pada saat yang sama diajak untuk selalu bersikap tunduk dan taat seperti seorang hamba.

3) Persoalan terkait aturan yang kaku.

E merasa bahwa terkadang aturan komunitas yang kaku, rumit, tidak jelas dan terkesan sangat birokratif membuatnya tidak bebas dan tidak nyaman dalam karya pelayanan pastoral. Pengalaman E ketika hendak melaksanakan tugas pastoral pendampingan kelompok anak-anak SEKAMI (serikat kepausan anak misioner) sesuai tugas, peran dan fungsinya, tidak diizinkan oleh pimpinan. Tetapi E tetap bersikeras manjalankan kegiatan pendampingan kelompok anak-anak SEKAMI. Atas dukungan anggota komunitas lain, E berani mendobrak aturan yang kaku demi sebuah pendekatan pelayanan pastoral.

Bagi E pelayanan pastoral umat yang integratif parsipatif adalah roh dari misi kongregasi yang tidak boleh terabaikan hanya demi menegakkan aturan. Pelayanan untuk keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum tertinggi. Aturan dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk aturan.

4) Kurangnya dukungan dalam komunitas

Pengalaman lain saat E menjalankan perutusan di Komunitas Ndora, pertentangan antara keinginan diri dan kepentingan komunitas terjadi dalam kasus berikut ini. Dalam sebuah kegiatan pendampingan pastoral Orang Muda Katolik (OMK), E ingin berbaur dengan orang muda. Pilihan untuk ada bersama orang muda adalah cara terbaik untuk merangkul dan mempersatukan orang-orang muda. Dengan cara ini orang-orang muda merasa dijamah dan diperhatikan. Proses untuk mengenal kehidupan dan kebutuhan orang muda zaman sekarang pun akan jauh lebih efektif melalui pola pendekatan pastoral

ini. Namun justru hal ini tidak didukung oleh pimpinan dan anggota kumnitas yang lain.

E merasa bahwa pola pendekatan pastoral intergratif partisipatif sebagai model ideal pastoral orang muda justru dianggap bertentangan dengan tuntutan hidup membiara. Pilihan untuk ada bersama orang muda dianggap menjadi batu sandungan bagi seorang biarawati sehingga tidak boleh dibiarkan. Bagi E, tidak adanya dukungan dari komunitas justru mengaburkan dan mencederai peran komunitas itu sebagai komunitas pastoral. Dengan kasus ini membenarkan asumsi bahwa kurangnya dukungan komunitas justru menjadi salah satu sebab timbulnya persoalan penghayatan kaul ketaatan.

b . Strategi coping

Strategi coping dibedakan menjadi dua jenis, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Berdasarkan hasil penelitian E melakukan dua strategi coping tersebut.

1). PFC (Problem Focused Coping)

Problem focused coping yaitu satu jenis strategi coping yang berfokus pada sumber tekanan atau masalah. Hasil penelitian menunjukan bahwa E melakukan dua strategi coping yaitu planful problem solving dan confrontative coping.

Planful problem solving adalah bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu dengan tujuan mengubah keadaan, diikuti dengan pendekatan analitis. E berusaha untuk melihat mana yang terpenting untuk dilaksanakan. E menceritakan bahwa dalam melaksanakan kaul ketaatan yang ditekankan ialah kebersamaan dalam hidup berkomunitas. E mengalami bahwa dalam

melaksanakan kaul ketaatan dengan pimpinan, hal yang terpenting bagi E ialah menjalin sebuah komunikasi yang baik. Meskipun demikian, dalam melaksanakan kaul ketaatan dalam kehidupan bersama E berusaha memilih keputusan atau kegiatan yang penting untuk dilakukan bukan berarti menuruti semua yang dikatakan.

Confrontative coping adalah reaksi yang mengubah perasaan dengan mengubah keadaan yang mengambarkan tingkat resiko yang harus diambil.

Berdasarkan hasil data, E berusaha mengatasi perasaan tidak nyaman dengan berusaha mengkomunikasikan dengan pimpinan apa yang menjadi ketidaknyamanan dengan perilaku atau sikap yang dialami. Dalam tuntutan penghayatan kaul ketaatan, E berusaha membangun komunikasi antara sikap dan karakter pemimpin keras dan otoriter sambil berusaha menunjukkan daya guna dari sebuah kegiatan dan model pendekatan pastoral.

2). EFC (Emotional Focused Coping)

Emotion focused Coping adalah coping yang berfokus pada emosi yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung. Ada tujuh strategi coping yakni self control, Seeking social support for emotion reasons, distancing, escape, accepting responsibility, positive reapprasial dan turning to religion. Berdasarkan hasil data, E melakukan enam strategi coping yakni self control, seeking social support for emotion reasons, accepting responsibility dan positive reapprasial dan turning to religion.

Self control adalah usaha untuk mengendalikan atau mengatur perasaan ketika sesorang mengalami situasi tertekan yang terdiri dari kontrol perilaku, kontrol kognitif dan kontrol pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil data, E pernah berpikir untuk menolak tetapi berusaha menghadapi dengan tegar. Selain itu, E juga berusaha menghadapi persoalan dengan tenang. Disisi lain E juga mengalami perasaan dilema saat mengambil keputusaan yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya tetapi breusaha untuk merenung dan memilih mana yang terbaik untuk dilaksanakan.

Seeking social support for emotion reasons, berdasarkan hasil data, E berusaha mencari teman sebaya dan menceritakan masalah sehinggga E merasa bebas dan gembira. Selain itu, E berusaha menghadap masalah yang ia alami kemudian menceritakan pengalaman yang dialami kepada pemimpin sehingga mendapat peneguhan.

Accepting responsibility merupakan suatu upaya untuk mencari dan memperlihatkan sikap dan rasa tanggung jawab diri di hadapan suatu persoalan.

E berusaha menerima persoalan tersebut dengan sikap terbuka dan mencoba untuk memperbaikinya menjadi lebih baik. E berusaha menghadapi persoalan dengan menerima kenyataan yang menimpa dirinya sehingga E merasa bebas dan rileks.

Positive reapprasial yang dikenal dengan memberi penilaian yang positif merupakan suatu usaha untuk mencari makna positif dari setiap permasalahan dengan tetap berfokus pada pengembangan diri. E berusaha berpikir positif tentang semua yang telah menimpa dirinya dengan melihat apa yang ia alami

adalah bagian dari rencana Tuhan sehingga membuat dia merasa senang dan bahagia dalam menjalani kaul ketaatan. E juga berusaha menerima perasaan murung atau perasaan tidak nyaman. E berusaha memaknai persoalan yang dialami sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk dirinya. Selain itu, E belajar dari pengalaman yang telah terjadi atas dirinya sambil menyelaraskan diri pada penghayatan kaul ketaatan sebagai jalan untuk mengejar kesempurnaan diri.

Turning to religion adalah cara menghadapi masalah dengan mencari pertolongan Allah lewat berdoa. E merasakan bahwa dengan berdoa membuatnya merasa kuat dan dapat mengatasi masalah yang dialaminya.

Berdoa yang dilakukan E adalah dengan pergi ke kapela dan berusaha hening dan memasrahkan diri kepada penyelenggaraan Tuhan.

2. Analisis data Informan 2

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa informan B mengalami masalah dalam menghayati kaul ketaatan dan informan juga melakukan strategi coping dalam menghadapi masalah penghayatan kaul ketaatan. Hasil wawancara menunjukan bahwa informan-2 mengalami masalah yang terkait dengan persoalan studi. Informan mengalami dan merasakan bahwa tugas yang diberikan melebihi kemampuannya. Informan juga merasakan bahwa dalam melaksanakan kaul ketaatan tantangan yang paling besar dihadapinya ketika seorang pemimpin bersikap otoriter. Persoalan ini berdampak negatif pada diri B. Untuk menghadapi tantangan tersebut Informan-2 melakukan dua strategi coping yakni PFC dan EFC.

a. Masalah yang dialami dalam kaul ketaatan 1) Tugas studi yang diterima tidak sesuai

Berdasarkan hasil wawancara B mengatakan bahwa terkadang tugas yang diberikan tidak sesuai dengan keinginannya. Hal ini berkaitan dengan studi. Bagi B yang lebih suka dan berminat besar pada pekerjaan-pekerjaan pelayanan di rumah sakit, justru diutus kongregasi dalam tugas perutusan studi

Berdasarkan hasil wawancara B mengatakan bahwa terkadang tugas yang diberikan tidak sesuai dengan keinginannya. Hal ini berkaitan dengan studi. Bagi B yang lebih suka dan berminat besar pada pekerjaan-pekerjaan pelayanan di rumah sakit, justru diutus kongregasi dalam tugas perutusan studi