• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

2. Manfaat praktis

Manfaat bagi Gereja ialah untuk memberikan informasi mengenai kehidupan biarawati dalam menghayati kaul ketaatan dan strategi pemecahan masalah yang dihadapinya.

b. Bagi Kongregasi Misionaris Abdi Roh Kudus (SSpS)

Bagi para biarawati yang mengalami kesulitan dalam kongregasi ini dapat membantunya keluar dari kesulitan. Juga bagi para pemimpin tarekat agar dapat mengetahui strategi yang bisa membantu komunitas dan tarekatnya untuk menghatati kaul ketaatan secara lebih efektif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berbicara tentang tinjauan pustaka berarti berbicara tentang titik acuan dalam pengkajian suatu masalah atau penelitian. Karena itu, pada bab kedua ini peneliti akan memusatkan perhatian dan pembahasan pada konsep-konsep dasar dari teori strategi penanggulangan (coping strategy) yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman. Teori ini dijabarkan di sini karena cocok untuk dipakai dalam memecahkan persoalan yang ditemukan dalam kehidupan manusia. Hal lain yang akan dikemukakan pada bab ini adalah tentang kehidupan membiara dan dinamikanya. Karena itu, untuk mempermudah peneliti membedah dan mengulas penulisan ini, skema berikut akan digunakan: definisi coping dan strategi coping menurut Lazarus, sekilas pandang tentang kehidupan membiara secara khusus Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS), dinamika kehidupan penghayatan kaul ketaatan dalam kehidupan membiara secara khusus dalam Kongregasi Misi Abdi Roh dan kesimpulan.

A. Biarawati Dewasa Awal 1. Definisi Biarawati

Peneliti menguraikan dengan bertolak dari kata biara. Biara dalam bahasa Sansekerta sebagaimana yang dikemukan Heuken (1991) diartikan sebagai

“vihara”. Dalam arti luas dan popular, biara itu dapat diartikan sebagai rumah tempat tingga sebuah komunitas selibat yang mana anggota komunitasnya

menghayati dan menjalankan hidup bakti menurut nasihat-nasihat Injil. Sebuah biara didirikan dengan sah, dihuni oleh anggota komunitas yang dikepalai oleh seorang pemimpin yang diangkat (dan dipilih) menurut tata aturan gerejani yang berlaku. Dalam arti sempit biara adalah klausura (claustrum Latin). Dikatakan demikian karena ia merupakan sebuah komunitas tertutup; tempat kediaman biarawan atau biarawati yang tidak terbuka bagi umum. Selain itu biara dapat disebut juga sebagai pertapaan (latin-monasterium).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan biara sebagai tempat tinggal biarawan-biarawati yang mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan ajaran agama dibawah pimpinan seorang ketua menurut aturan aliran. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa biara adalah komunitas tempat tinggal para biarawan atau biarawati yang mau menyerahkan hidupnya secara sukarela kepada Tuhan dengan menghayati tri kaul kebiaraaan.

Menurut pandangan Hagang (2015) biarawati adalah seorang perempuan yang memilih hidup di biara (tempat tinggal biarawati) secara sukarela. Dikatakan sukarela karena masuk dan memilih jalan hidup demikian tanpa desakan dari pihak lain. Seorang biarawati berdiam di dalam komunitas (biara) dengan tujuan agar ia dapat mengfokuskan diri dan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu tempat ibadah.

Mardani dan Yulisa (dalam Sary & Setyawan, 2017) mengemukakan bahwa biarawati berasal dari bahasa latin yang disebut dengan nonna. Biarawati adalah mereka yang hidup membiara dan mengikrarkan tiga kaul (kemurnian,

kemiskinan dan ketaatan). Syarat utama menjadi seorang barawati adalah dengan mengirarkan tiga kaul tersebut.

Sementara yang dimaksudkan dengan anggota lembaga religius yaitu suatu komunitas persekutuan yang mana anggota-anggota yang berdiam di dalamnya terdiri dari yang sudah mengikrarkan kaul kekal dan atau yang masih menghayati kaul-kaul sementara. Perbedaan dari keduanya adalah bahwa biarawati berkaul kekal yaitu mereka yang sudah diterima secara resmi dan sah oleh pembesarnya atas nama Gereja dan mereka secara bersama-sama berusaha untuk menghayati hidup dalam kasih persaudaraan. Biarawati yang telah mengikrarkan kaul kebiaraan untuk kekal berusaha untuk mengikat diri secara utuh pada kongregasi dan keputusan-keputusannya. Sebaliknya, biarawati yang sedang menghayati kaul-kaul sementara dibimbing dan diarahkan untuk kelak dapat mengambil keputusan secara tegas dan bebas: maju atau meninggalkan tarekat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa biarawati adalah seorang perempuan yang memilih untuk tidak menikah dan menghayati tri kaul suci yakni: kaul kemurnian, kaul kemiskinan dan kaul ketaatan dalam sebuah lembaga religius atau kongregasi.

2. Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2009) tahap perkembangan dewasa awal ialah 20 sampai 40 tahun ditandai dengan intimacy vs isolasition. Dalam hal ini seorang wanita akan membangun relasi yang intim dengan lawan jenis dengan tujuan menikah dan memiliki keturunan.

Hal senada juga dikatakan oleh Sumanto (2013) bahwa tugas perkembangan dewasa awal salah satunya adalah memilih pasangan hidup. Walaupun ada dewasa awal yang tetap melajang karena mereka belum menemukan pasangan yang tepat dan yang lain melajang karena memilih untuk hidup lajang atau tidak menikah (Papalia, Olds & Feldman, 2008).

Selain itu, Hurlock (1980) juga menegaskan bahwa pada usia dewasa awal ini, hal yang paling luas dan umum diakui dan digumuli oleh seseorang adalah pada pencarian dan perolehan pekerjaan. Mendapatkan pekerjaan tetap dan stabil merupakan sebuah tanda bahwa seseorang sudah mulai memasuki dan menginjak masa (usia) dewasa.

Menurut Hurlock (dalam Timah dan Muti‟ah, 2014) mengutarakan bahwa pada masa dewasa awal ini merupakan masa yang penuh dengan ketegangan emosi. Karena masa ini penuh dengan masalah-masalah yang timbul baik dalam diri maupun dari luar diri. Sehingga diharapkan dewasa awal berusaha untuk lebih matang dalam emosi karena hal yang menjadi ciri khas orang dewasa awal salah satunya ialah mulai terbentuknya kematangan emosi. Kematangan dalam emosi dapat membantu individu untuk dapat menjalin relasi dengan baik, dan lebih bertanggung jawab dengan tugas atau pekerjaan yang di embani.

Santrock (2002) mengatakan bahwa usia dewasa awal juga ditandai dengan kematangan dalam membuat dan mengambil keputusan. Seseorang dapat dikatakan matang secara emosional dan umur apabila ia dapat membuat keputusan dan menjatuhkan pilihan yang tepat dan berguna teristimewa

berhubungan dengan karir, nilai-nilai, menikah dan membangun hubungan keluarga (relasi).

3. Biarawati Dewasa Awal

Menurut Hurlock (dalam Timah dan Muti‟ah, 2014) mengungkapkan bahwa masa dewasa awal adalah masa yang bermasalah dan saat-saat penuh dengan ketegangan emosional. Timah dan Muti‟ah (2014) mengatakan bahwa biarawati dewasa awal yang memasuki masa yuniorat akan mengalami hal yang sama dengan wanita pada umumnya ketika memasuki dewasa awal.

Permasalahan yang timbul pada masa dewasa ini merupakan akibat dari penyesuaian diri dengan orang lain, maupun dengan keadaan atau situasi baru.

Lebih lanjut Hurlock (1980) menegaskan bahwa penyesuaian diri terhadap masalah pada masa dewasa awal sangat kesulitan itu, lebih dipengaruhi oleh ketidaksiapan individu dalam menghadapi masalah dan pemecahannya.

Lingkungan dan orang-orang disekitar individu menganggap bahwa orang yang memasuki dewasa awal sudah mampuh memecahkan masalah dan jarang memberikan bantuan.

Biarawati adalah seorang pribadi yang juga mengalami tahap pertumbuhan dan perkembangan diri. Usia dewasa awal merupakan suatu tahap dimana seorang manusia (termasuk biarawati) lebih berpusat pada kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat dan mengambil keputusan. Para biarawati dewasa awal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biarawati yang sudah mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan baik kaul sementara maupun kaul kekal. Artinya bahwa setelah melewati proses formasi yang berlangsung

kurang lebih enam sampai sembilan tahun, mereka mengambil keputusan secara bebas dan bertanggung jawab untuk menyerahkan diri kepada pelayanan misi Allah dan Gereja-Nya dalam dan melalui penghayatan kaul-kaul. Secara umum ada tiga kaul kebiaraan yang diikrarkannya yakni Kaul Kemurnian, Kaul Kemiskinan dan Kaul Ketaatan. Apa itu kaul-kaul kebiaraan? Penjelasan akan arti kaul-kaul akan diuraikan pada bagian berikut.

Berdasarkan usia, para biarawati dewasa awal pada umum berkisar di antara usia 20 sampai 40 tahun. Rentan usia ini juga dikemukakan oleh Erikson bahwa usia dewasa awal ialah 20 sampai 40 tahun (dalam Papalia, 2009). Pada tahap ini, ada bermacam-macam tugas perkembangan yang mesti perlu dijalani. Menurut Hurlock (1980) ada lima tugas perkembangan individu dewasa awal yang perlu dilalui. Kelima tugas tersebut adalah sebagai berikut:

mulai bekerja, memilih pasangan hidup, mulai membina keluarga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial.

Pertama adalah mulai bekerja. Yang dimaksudkan dengan mulai berkerja itu artinya bahwa seseorang yang memasuki masa dewasa awal mulai bekerja sesuai dengan keahlihan yang dimilikinya. Kedua, adalah memilih pasangan. Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa seseorang yang memasuki masa dewasa awal mulai memilih pasangan atau pendamping hidupnya. Ketiga, mulai membina keluarga. Sesorang yang mulai masuk pada masa usia dewasa awal memiliki satu panggilan dasar yakni membina keluarga, mengasuh anak, serta mengelolah rumah tangga. Keempat, adalah mengambil tanggung jawab sebagai warga negara. Sikap tanggung jawab

seorang warga negara terhadap negaranya adalah satu satunya melalui kewajiban membayar pajak. Kelima, adalah mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

Walaupun tugas perkembangan salah satunya menurut Hurlock (1980) bahwa dewasa awal mulai membina keluarga dan memilih pasangan hidup akan tetapi ada dewasa awal yang tetap melajang karena mereka belum menemukan pasangannya yang tetap dan yang lain melajang karena memilih (Papalia, Olds & Feldam, 2009). Pilihan hidup melajang ini dihidupi oleh biarawati dalam agama katolik untuk melayani Tuhan melalui karya kerasulan.

Berdasarkan paparan mengenai perkembangan biarawati dewasa awal peneliti menyimpulkan bahwa biarawati dewasa awal adalah biarwati yang sudah dan sedang menjalani ketiga kaul kebiaraan salah satu diantaranya adalah kaul ketaatan. Usia biarawati berkisar duapuluh hingga empat puluh tahun ditandai dengan kematangan membuat keputusan terhadap pilihan hidup dengan tugas perkembangannya salah satu ialah pilihan hidup untuk tidak menikah.

B. Kehidupan Membiara 1. Definisi hidup membiara

Hidup membiara atau hidup berkaul atau dikenal dengan hidup selibat, menurut Suparno (2016) merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan gereja. Paus Fransiskus dalam Suparno (2016) menyatakan bahwa gereja tanpa kaum birawan-biarawati akan kurang hidup, karena tidak ada hatinya. Paus menilai kaum membiara adalah hati dari gereja. Gereja baru

menjadi lengkap ada para imam, jemaat, dan kaum religius atau kaum membiara.

Secara sederhana inti hidup membiara, hidup berkaul adalah seseorang ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang telah memanggil kita untuk terlibat dalam karya keselamatan Tuhan bagi umat manusia. Penyerahan diri penuh itu secara gerejani formal diwujudkan dalam tiga kaul yakni kaul keperawanan, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan. Kehidupan membiara merupakan satu pilihan hidup. Sebagaimana halnya dengan kehidupan berkeluarga (menikah), kehidupan membiara juga memiliki dinamika suka duka, susah senangnya. Dari seorang biarawati dibutuhkan sebuah komitmen dan keputusan tegas (Suparno, 2016: Jacobs, 1987). Selain itu, ada orang masuk biara karena benar-benar ia merasakan sebuah panggilan.

Adapun orang masuk biara karena tertarik dengan keagamaan, mencari tempat tinggal yang aman, kebebasan ekonomi, tidak ingin menikah dan ingin menjelajahi dunia dengan menjadi seorang misionaris. Akan tetapi semuanya itu diatur dalam sebuah peraturan sesuai dengan spritualitas kongregasi.

Apabila motivasi masuk biara tidak dimurnikan seturut semangat konstitusi kangregasi, maka sebagai akibat lanjut sering kali orag tidak terlalu mengikuti aturan yang ada di biara. Hal ini menjadi tantangan besar yang berakibat pada memunculkan resistensi yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk meninggalkan biara karena tidak menerima semua aturan atau perilakuan yang ada di biara. Sehingga dianjurkan agar seorang pribadi seharusnya dapat mengolah dan mengatasi setiap peristiwa dengan baik. Apabila ia tidak dapat

mengolah dan mengatasi setiap perilakuan yang ada di biara maka bisa berdampak pada panggilan yakni meninggalkan biara (Raftery, 2013).

2. Tahap-tahap hidup membiara

Kongregasi SSpS seperti kebanyakan kongregasi religius misioner lainnya, mempunyai tahapan formasinya. Menurut Konstitusi dan Direktorium SSpS (1984), Kongregasi ini mengikuti tahapan formasi sebagai berikut: Aspiran, Postulat, Novisiat, Yuniorat dan Kaul Kekal.

a. Tahap Aspiran, yang dimaksudkan dengan aspiran yaitu suatu tahap pengenalan dimana para calon didampingi dan diperkenalkan tentang kehidupan membiara dan spiritualitasnya. Tahap ini secara umum berlangsung selama enam bulan hingga satu tahun.

b. Tahap Postulat, postulat biasa disebut (dikenal) juga dengan nama tahap pra novisiat, yaitu suatu masa persiapan untuk masuk novisiat. Pada tahap ini, para calon dibimbing untuk dapat mengenal secara jelas motivisinya apakah mereka sungguh merasa dipanggil oleh Allah untuk menjadi abdi-Nya dan dapat menyesuaikan diri dengan regula kongregasi ini. Melalui latihan rohani, studi dan hidup berkomunitas, mereka dibimbingan oleh para formator dengan tujuan supaya mereka mencapai kematangan manusiawi dan religius sehingga dengan itu dapat menjawab panggilan Tuhan dengan dan secara bebas. Masa Pra novisiat berlangsung antara sembilan bulan sampai dua tahun.

c. Tahap Novisiat, novisiat adalah masa perkenalan untuk mengikuti Kristus dalam jalan nasihat-nasihat injil secara radikal sesuai spiritualitas dan cara

hidup kongregasi. Dalam latihan menghayati hidup religius, para novis dipersiapkan untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah dengan mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan. Para novis dibimbing untuk belajar hidup sesuai dengan nasihat-nasihat Injil dan Konstitusi Serikat dan semakin berkembang pengertian mereka tentang hidup religius. Pada waktu yang sama mereka tumbuh dalam semangat Kongregasi dan mengenal tradisi-tradisinya.

Hal-hal yang membantu dalam formasi para novis adalah doa, meditasi, ekaristi, studi, lectio divina (pendalaman firman Allah dalam Kitab Suci), demikian juga kehidupan harian dan tanggung jawab bersama dalam komunitas.

d. Tahap Yuniorat, yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal.

Selama waktu itu, para biarawati mengambil bagian dalam hidup dan perutusan kongregasi. Pada masa ini mereka harus mencapai tingkat kematangan manusiawi dan religius, yang memampukan biarawati mengambil keputusan untuk penyerahan terakhir pada Kristus dalam kaul kekal. Pemimpin yunior yang memiliki latar belakang sebagai psikolog, konselor atau berlatar belakang psikospiritual hendaknya membimbing para biarawati yunior dan membantu mereka dalam menyelaraskan studi dan karya kerasulan dengan hidup rohani mereka. Hendaklah pemimpin terbuka dari pernyataan dan masalah-masalah biarawati yunior dan membangkitkan dalam diri mereka rasa penghargaan terhadap panggilan serta rasa tanggung jawab terhadap Gereja dan Kongregasi. Masa yuniorat ini berlangsung antara enam sampai sembilan tahun.

e. Kaul Kekal, setelah menjalani masa yuniores, para biarawati mengikrarkan kaul kekal atau sumpah abadi untuk mengikuti Yesus menurut nasihat injil.

Pada tahap ini seorang biarawati menjadi anggota sah tarekat atau kongregasi.

Timah dan Muti‟ah (2014) mengemukakan bahwa tahapan pembinaan biarawati dalam kongregasi meliputi tahap aspiran seorang calon biarawati mulai belajar mengenal tarekat atau kongregasi suatu biara. Setelah masa aspiran seorang calon birawati memilih dan dipilih untuk melanjutkan pembinaan di tahap novisiat selama kurang lebih dua tahun. Pada tahap ini, kongregasi berusaha mengenal calon secara utuh dan menanamkan latihan-latihan spiritualitas dan kemampuan hidup bersama. Setelah melewati tahap novisiat, para novis (sebutan dan sapaan untuk tahap novisiat) melanjutkan ketahap yuniorat dengan mengikrarkan kaul sementara. Pada tahap ini biarawati mulai dilibatkan dalam karya-karya kongregasi. dalam arti mulai ditugaskan untuk bekerja dan menyandang studi sesuai kebutuhan kongregasi. Tahap yunior diakhiri dengan mengikrarkan kaul kekal dimana seorang biarawati menjadi anggota sah dalam kongregasi maupun kepausan.

Berdasarkan pernyataan tahap-tahap hidup membiara di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah kongregasi seorang biarawati mesti melalui pembinaan hidup rohani maupun psikologis mulai dari tahap aspiran, postulat, novisiat, yuniorat dan kaul kekal.

3. Definisi kaul

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa dalam kehidupan membiara, para biarawati menghayati kaul-kaul kebiaraan. Ada tiga kaul yang

diikrarkan. Namun sebelum membahas tentang arti dari tri kaul tersebut, terdahulunya kita harus mengetahui pengertian tentang kaul. Peneliti akan mengemukan secara gamblang tentang apa itu kaul-kaul kebiaraan.

Kaul kebiaraan secara singkat dan umum dipahami sebagai sebuah janji yang diucapkan atau diikrarkan secara teguh oleh seorang anggota religius (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Hal ini disampaikan oleh Darminta (1981) bahwa pengucapan kaul merupakan pengakuan iman secara spesifik dan khas, yaitu mengucapkan kesediaan untuk mengikuti Yesus dalam sebuah kongregasi atau tarekat. Ciri utama mengucapkan kaul ialah penuh kegembiraan, karena menemukan arti dan kepenuhan hidup dalam Kristus. Ciri yang lain pengucapan kaul adalah penuh kebahgiaan karena menemukan kebebasan yang hakiki dalam hidup, yang mampu memperkembangkan cinta pada Tuhan dan sesama (Tillart dalam Darminta, 1981).

Pada umumnya kaul-kaul itu diucapkan setelah seorang calon biarawati atau formandi telah melewati dan menyelesaikan masa formasi novisiat. Itu artinya kaul-kaul hanya diikrarkan oleh formandi yang dianggap layak dan diterima untuk bergabung dalam kehidupan tarekat. Akan tetapi, mengingat bahwa penerimaan secara definitif seorang formandi untuk bergabung dalam tarekat tidak begitu mudah, maka para formandi melewati suatu formasi yang panjang dan ketat. Atas pertimbangan tersebut maka dalam kehidupan membiara dikenal dua bentuk kaul: kaul sementara dan kaul kekal.

Kaul-kaul yang diikrarkan baik untuk yang beranggota sementara atau yang beranggota tetap adalah sama yaitu kaul kemurnian/keperawanan,

kemiskinan dan ketaatan. Hal yang membedakan keduanya adalah waktu.

formandi mengikrarkan kaul sementara dan hal itu berlangsung selama setahun.

Apabila seorang formandi dianggap pantas untuk melanjutkan formasinya maka ia dapat membaharui kembali kaul-kaulnya setiap tahun. Sebaliknya bagi para anggota tarekat tetap, mereka tidak mengikrarkan kaul-kaulnya lagi. Mereka hanya membaharui janji-janji selibatnya.

Apa perbedaan ketiga kaul tersebut. Pertanyaan ini akan dibahas secara detail pada bagian ini, definisi tri kaul suci.

4. Bentuk-bentuk kaul

Bentuk kaul dalam kehidupan membiara terdiri dari tiga yang meliputi:

kaul kemurnian/keperawanan, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan.

Pertama adalah kaul kemurnian/keperawanan. Secara harafiah Leteng (2003) mendefisinikan kaul keperawanan sebagai sebuah status hidup tidak kawin atau suatu pertakaran yang tetap dari perkawinan karena alasan religius. Dalam arti ini, kemurnian atau selibat merupakan “pantang sempurna dan seumur hidup (dari perkawinan) demi Kerajaan surga (Allah). Apa yang dikemukan oleh Leteng terlihat memiliki titik kemiripan dengan apa yang direfleksikan oleh Kleden.

Kleden (2002) menandaskan bahwa kaul kemurnian itu dapat dimengerti sebagai sebuah jalan hidup yang dilewati untuk menuju surga. Kata “menuju surga”

memiliki asentuasi penuh dan bermakna sebab hal itu ingin mengarahkan dan menekankan aspek eskatologis, hidup setelah kematian. Dengan itu, perlu diingat dan dipahami bahwa kaul kemurnian, pertama-tama menunjukan aspek

kekosongan, kesendirian manusia. Untuk itu, kehidupan membiara merupakan sebuah pengorbanan.

Kedua adalah kaul kemiskinan. Berlandaskan pada refleksi yang dikemukakan oleh Kleden (2002), maka kaul kemiskinan yang dihayati oleh seorang yang berkaul dapat dimengerti sebagai sebuah nasihat Injili. Dikatakan sebagai penghayatan nasihat Injili sebab panggilan hidup miskin itu sendiri datang dari Kristus sendiri. Karena itu, tentang hidup miskin bagi seorang berkaul mesti dihayati dalam kenyataan dan dalam semangat, dan mesti dihayati tanpa kenal lelah dalam kesederhanaan dan jauh dari kekayaan duniawi. Hidup miskin berarti harus membatasi diri dalam menggunakan barang duniawi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Ketiga adalah kaul ketaatan. Kaul ketaatan dengan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Kleden dimengerti sebagai keutamaan Injili. Hal ini mengacu kepada sikap penyerahan diri secara radikal tanpa perhitungan kepada Allah yang membebaskan. Bertopang pada gagasan santo Thomas Aquinas (dalam Kleden, 2002) menemukan bahwa kaul ketaatan merupakan ibu dan penuntun bagi kedua kaul lainnya. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan kaul ketaatan lebih menekankan kehendak Allah, dan berjuang mencari kehendak Allah daripada kehendak pribadi atau keinginan sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa ketaatan adalah kaul yang paling penting untuk memengaruhi kaul yang lainnya.

Kemurnian adalah berserah kepada Allah dengan tak terbagikan, mencerminkan cintakasih tiada batasnya yang menyatukan tiga pribadi Ilahi dan

kediaman misteri hidup Tritunggal, bahkan bahan cinta total yang relah menyerahkan diri scara penuh. Kemiskinan adalah menyatakan bahwa Allah itu satu-satunya harta kekayaan mausia sejati. Ketaatan menampilkan keindahan yang membebaskan, ketergantungan sebagai anak, yang bercirikan kesadaran bertanggung jawab yang mendalam, dijiwai kepercayaan timbal balik penuh kasih (Suparno, 2016)

Bertolak dari uraian tentang definisi kaul-kaul di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kaul-kaul dalam kehidupan seorang berkaul memiliki peran sangat penting untuk mengarahkan dirinya kepada pencarian dan pendekatan diri kepada Allah yang memanggilnya. Kaul ketaatan adalah dasar utama yang memengaruhi kaul lainnya. Kaul-kaul kebiaraan bukan semata instrumen manusia belaka tetapi lebih dari pada itu adalah sarana yang menghantar seorang berkaul kepada kesejatian diri dan kekudusan. Dengan itu kaul-kaul kebiaraan bukanlah hal yang menekan kebebasan pribadi seseorang, melainkan merupakan rambu-rambu yang menghantarnya kepada kebebasan dan kemerdekaan sebagai anak-anak Allah.

5. Kesulitan penghayatan kaul ketaatan dalam kehidupan

Hidup manusia tidak terlepas dari kesulitan atau persoalan. Dalam menghayati hidup membiara seorang biarawati tentu tidak terlepas dari persoalan hidup. Persoalan atau kesulitan yang dialami oleh seorang biarawati pada

Hidup manusia tidak terlepas dari kesulitan atau persoalan. Dalam menghayati hidup membiara seorang biarawati tentu tidak terlepas dari persoalan hidup. Persoalan atau kesulitan yang dialami oleh seorang biarawati pada