• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Kehidupan Membiara

4. Bentuk-bentuk kaul

Bentuk kaul dalam kehidupan membiara terdiri dari tiga yang meliputi:

kaul kemurnian/keperawanan, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan.

Pertama adalah kaul kemurnian/keperawanan. Secara harafiah Leteng (2003) mendefisinikan kaul keperawanan sebagai sebuah status hidup tidak kawin atau suatu pertakaran yang tetap dari perkawinan karena alasan religius. Dalam arti ini, kemurnian atau selibat merupakan “pantang sempurna dan seumur hidup (dari perkawinan) demi Kerajaan surga (Allah). Apa yang dikemukan oleh Leteng terlihat memiliki titik kemiripan dengan apa yang direfleksikan oleh Kleden.

Kleden (2002) menandaskan bahwa kaul kemurnian itu dapat dimengerti sebagai sebuah jalan hidup yang dilewati untuk menuju surga. Kata “menuju surga”

memiliki asentuasi penuh dan bermakna sebab hal itu ingin mengarahkan dan menekankan aspek eskatologis, hidup setelah kematian. Dengan itu, perlu diingat dan dipahami bahwa kaul kemurnian, pertama-tama menunjukan aspek

kekosongan, kesendirian manusia. Untuk itu, kehidupan membiara merupakan sebuah pengorbanan.

Kedua adalah kaul kemiskinan. Berlandaskan pada refleksi yang dikemukakan oleh Kleden (2002), maka kaul kemiskinan yang dihayati oleh seorang yang berkaul dapat dimengerti sebagai sebuah nasihat Injili. Dikatakan sebagai penghayatan nasihat Injili sebab panggilan hidup miskin itu sendiri datang dari Kristus sendiri. Karena itu, tentang hidup miskin bagi seorang berkaul mesti dihayati dalam kenyataan dan dalam semangat, dan mesti dihayati tanpa kenal lelah dalam kesederhanaan dan jauh dari kekayaan duniawi. Hidup miskin berarti harus membatasi diri dalam menggunakan barang duniawi untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Ketiga adalah kaul ketaatan. Kaul ketaatan dengan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Kleden dimengerti sebagai keutamaan Injili. Hal ini mengacu kepada sikap penyerahan diri secara radikal tanpa perhitungan kepada Allah yang membebaskan. Bertopang pada gagasan santo Thomas Aquinas (dalam Kleden, 2002) menemukan bahwa kaul ketaatan merupakan ibu dan penuntun bagi kedua kaul lainnya. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan kaul ketaatan lebih menekankan kehendak Allah, dan berjuang mencari kehendak Allah daripada kehendak pribadi atau keinginan sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa ketaatan adalah kaul yang paling penting untuk memengaruhi kaul yang lainnya.

Kemurnian adalah berserah kepada Allah dengan tak terbagikan, mencerminkan cintakasih tiada batasnya yang menyatukan tiga pribadi Ilahi dan

kediaman misteri hidup Tritunggal, bahkan bahan cinta total yang relah menyerahkan diri scara penuh. Kemiskinan adalah menyatakan bahwa Allah itu satu-satunya harta kekayaan mausia sejati. Ketaatan menampilkan keindahan yang membebaskan, ketergantungan sebagai anak, yang bercirikan kesadaran bertanggung jawab yang mendalam, dijiwai kepercayaan timbal balik penuh kasih (Suparno, 2016)

Bertolak dari uraian tentang definisi kaul-kaul di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kaul-kaul dalam kehidupan seorang berkaul memiliki peran sangat penting untuk mengarahkan dirinya kepada pencarian dan pendekatan diri kepada Allah yang memanggilnya. Kaul ketaatan adalah dasar utama yang memengaruhi kaul lainnya. Kaul-kaul kebiaraan bukan semata instrumen manusia belaka tetapi lebih dari pada itu adalah sarana yang menghantar seorang berkaul kepada kesejatian diri dan kekudusan. Dengan itu kaul-kaul kebiaraan bukanlah hal yang menekan kebebasan pribadi seseorang, melainkan merupakan rambu-rambu yang menghantarnya kepada kebebasan dan kemerdekaan sebagai anak-anak Allah.

5. Kesulitan penghayatan kaul ketaatan dalam kehidupan

Hidup manusia tidak terlepas dari kesulitan atau persoalan. Dalam menghayati hidup membiara seorang biarawati tentu tidak terlepas dari persoalan hidup. Persoalan atau kesulitan yang dialami oleh seorang biarawati pada umumnya berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal berasal dari dalam diri indivisu itu sendiri, sedangkan faktor ekternal diantaranya berasal dari lingkungan masyarakat sekitar, komunitas biara,

keluaraga, pimpinan (Rafteri, 2013), dan sesama anggota biara. Secara global faktor yang mempengaruhi kaul ketaaan sangat beragam. Menurut Hadjon (2003) kesulitan-kesulitan dalam menghayati kaul ketaataan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, serta tuntutan situasinya, perkembangan psikologi individu (biarawati), sikap dan penilaian pimpinan, serta sikap dan cara hidup dari sesama anggota biara.

Pertama, perkembangan teknologi: dewasa ini perkembagan teknologi atau perkembangan zaman dan peradabannya sangat berpengaruh terhadap perkembangan hidup seseorang. Perkembangan zaman ini juga memengaruhi sikap hidup seorang biarawati dalam menghayati kaul-kaul kebiaraannya.

Pemahaman dan penghayatan akan makna kaul seorang biarawati dewasa ini juga dipengaruhi oleh cara pandang seorang biarawati terhadap perkembangan zaman.

Konsep ketaatan dalam membiara juga dapat dipahami selaras zaman. Ketaatan tidak lagi menjadi pilihan wajib tetapi bisa saja dimanipulasi oleh pamahaman manusia. Pergeseran makna ketaatan ini telah menjadi persoalan tersendiri.

Penghayatan biarawati tentang ketaatan dalam kaul kebiaraan telah dibenturkan dihadapkan pada dua sisi yakni ketaatan pada kehendak Allah dan ketaatan pada manusia yang telah dirasionalisasikan pada ruang zaman. Ketaatan budak yang dahulu dijunjung tinggi sebagai pilihan tunggal, dewasa ini telah dicela dan diganti dengan ketaatan yang bersifat kolegial, dialogal dan demokratis. Karena itu unsur-unsur seperti keterbukaan, serta saling pengertian menjadi amat penting.

Di sini ketaatan dalam hidup membiara mengalami perubahan konsep seiring perubahan zaman yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.

Kedua, perkembangan psikologi seorang biarawati, perkembangan psikologi yang dimaksudkan adalah perkembangan kepribadian menuju kedewasaan seseorang dalam menghayati hidup membiara terkhusus hidup taat menurut injili. Perkembangan psikologi seorang individu memengaruhi pola pikir atau cara pandang dan sikap hidup seseorang biarawati akan hidup berkaul.

Pengalaman masa lalu seorang biarawati turut berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya. Pengalaman terluka atau dicintai sangat berdampak pada perkembangan kepribadian seorang biarawati. Pengalaman negatif seperti terluka dan ditolak, dapat menciptakan kepribadian yang terpecah, sedangkan pengalam positif seperti dikasihi, dimengerti dan dihargai dapat membentuk kepribadian yang utuh pada seorang individu.

Keterpecahan diri dapat menghalangi seorang biarawati dalam menghayati kaul-kaul kebiaraannya. Pengalaman negatif seperti ditolak dan dikhianati yang tidak direfleksikan atau disembuhkan dapat menjadikan pribadi seorang biarawati yang mudah tersinggung dan pemarah serta sikap-sikap negatif lainnya.

Ketiga, sikap dan penilaian pimpinan (formator), pimpinan adalah formator. Seorang formator berperan penting dalam membentuk para formandi dalam sebuah formasi. Di sini pimpinan biara harus dibekali dengan pengetahuan yang menunjang perkembangan hidup seorang formandi.

Pemimpin yang mengalami persoalan hidup sangat berpengaruh terhadap keputusan dan sikap penilaian terhadap formandi. Seorang pemimpin bisa saja mempunyai sifat dan watak yang merugikan bawahannya. Sikap pimpinan yang

kurang cerdas mengaburkan penghayatan akan kaul ketaatan seorang biarawati.

Sikap feodal, otoriter, menganggap remeh bawahan, egois, pilih kasih dan rigor serta tidak selaras zaman dari seorang formandi sangat berpengaruh terhadap penghayatan hidup seorang formandi akan kaul-kaul kebiaraannya. Sikap pemimpin yang keras dan kaku bisa menghasilkan pribadi yang munafik.

Keempat, Sikap dan cara hidup dari sesama anggota biara: komunitas memiliki pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anggota. Dalam hidup bersama sikap seseorang turut mempengaruhi perkembagan hidup sesamannya.

Ada banyak sikap negatif yang mempengaruhi penghayatan hidup seorang biarawati, yakni:

a.

Orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Dirinya menjadi norma bagi segalanya sehingga ketaatan baginya merupakan rintangan dan hambatan.

b.

Orang yang suka menuntut. Orang yang suka menuntut dari atasannya cenderung enggan untuk taat terhadap keputusan atasan, yang mungkin tidak sesuai dengan keinginannya pribadinya.

c.

Sikap infantil. Orang yang secara fisik sudah dewasa, tetapi dalam hal mental, emosional dan afeksi kelihatannya kekanak-kanakan. Akibatnya dia menjalankan ketaatan hanya supaya dilihat, supaya dipuji atau karena takut kepada atasannya.

d.

Sikap indiferen. Orang yang bersikap acuh tak acuh serta masa bodoh terhadap peraturan-peraturan serta nasihat-nasihat atasan.

Berdasarkan paparan mengenai kesulitan dalam menghayati kaul ketaatan dapat disimpulkan bahwa ada fakror yang mempengaruhi dalam mengahayati

kaul ketaatan yakni pemimpin, sesama anggota komunitas biara dan perkembangan psikologis seorang individu .

C. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping

Kata coping sesungguhnya merupakan sebuah term yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang secara harafiah diartikan sebagai “penanggulangan”

(Reber & Reber, 2010). Menurut Wardani (dalam Hapsari dkk., 2002) coping didefinisikan sebagai reaksi terhadap suatu masalah degan tujuan mengurangi tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Coping adalah konsep untuk memecahkan masalah. Kata coping berasal dari kata cope yang diartikan sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi, meskipun demikian hingga saat ini belum ditemukan istilah yang lebih tepat untuk mewakili kata coping tersebut. Pengertian coping memang bisa disamakan dengan kata penyesuaian. Akan tetapi, kata

“penyesuaian” ini masih tetap memiliki perbedaan besar, sebab ia mengandung pengertian yang lebih luas yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sementara, Wardani (dalam Rustiana, 2003) berpendapat bahwa kata coping lebih dikhususkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana seseorang mengatasi situasi yang menekan dalam hidupnya.

Definisi lain tentang kata coping juga diuraikan oleh Taylor (2009).

Menurutnya, coping memiliki empat tujuan yaitu mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan gambaran diri yang positif, mengurangi tekanan lingkungan dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.

Sebaliknya, menurut Reber dan Reber (2010), coping merupakan sebuah cara yang disadari dan rasional untuk menghadapi dan mengatasi kecemasan hidup.

Sedangkan Chaplin (2001) mendefinisikan coping sebagai tingkah laku dimana seorang individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Baginya, jika seorang individu dapat melakukan perilaku coping dengan baik, maka ia dapat melakukan perilaku penyesuaian sosial dengan baik pula.

Maryam (dalam Yani, 1997) menandaskan bahwa coping merupakan perilaku yang tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan ketegangan psikologis dalam kondisi stres. Sedangkan, Sarafino (2002) mendefinisikan kata coping sebagai usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Gagasan yang dikemukakan oleh Sarafino ini diamini juga oleh Herber dan Runyan (dalam Maryam, 2017). Mereka memahami kata coping sebagai semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif dan positif) yang dapat mengurangi kondisi yang menekan individu agar tidak menimbulkan stres.

Senada dengan itu, Maryam menambahkan bahwa coping merupakan respon perilaku dan pikiran terhadap stres, penggunaan sumber daya yang ada pada diri individu dan sekitarnya yang mana pelaksanaannya dilakukan secara nyata oleh individu dengan tujuan untuk mengurangi dan mengatur konflik-konflik yang timbul dari diri pribadi dan dari luar dirinya sehingga ia dapat mengalami kehidupan yang lebih harmonis. Perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan oleh seorang individu untuk mengatasi berbagai tuntutan

internal dan eksternal, sebagai suatu yang membebani dan mengganggu kelangsungan hidupnya.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa coping merupakan satu reaksi dari seorang individu yang bertujuan untuk mengatasi masalah di dalam dirinya atau di dalam lingkungannya seperti stress atau perasaan frustasi lainnya sehingga individu dapat keluar darinya dan memperoleh penyelesaiannya. Dengan kata lain, coping adalah sebuah sikap yang diambil oleh seseorang untuk mengubah situasi yang dirasa menekan.

2. Macam-macam strategi coping

Strategi coping menurut Lazarus dan Folkman (1984) merupakan satu strategi yang digunakan untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang dialami individu. Ada dua macam bentuk yaitu: Problem Focused Coping (PFC) dan Emotion Focused coping (EFC).

a. Problem Focused Coping (PFC)

Problem Focus Coping (selanjutnya disebut PFC). Ini merupakan satu strategi yang berfokus pada upaya pemecahan masalah dengan cara mengubah situasi. Individu akan cenderung menggunakan perilaku tersebut jika ia menilai kondisi, situasi, dan peristiwa yang dihadapinya masih dapat dikontrol atau dikendalikan. Selain itu, seseorang berkeyakinan bahwa dirinya akan dapat mengubah kondisi, situasi atau peristiwa yang terjadi.

Ada tiga bentuk PFC yakni planful problem solving, confrontative coping dan Carver (1989) menambahkan satu bentuk PFC lainnya yaitu seeking social support for instrumental reasons.

1) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu dengan tujuan untuk mengubah keadaan, diikuti dengan pendekatan analitis.

2) Confrontative coping yakni reaksi yang mengubah perasaan dengan mengubah keadaan yang mengambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Sebagai contoh tentang seseorang yang melakukan confrontative coping ialah bahwa ia akan menyelesaikan masalah dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku meskipun konsekuensinya ialah menerima resiko.

3) Seeking social support for instrumental reasons yaitu mencari dukungan dari pihak luar baik berupa informasi, bantuan nyata ataupun dukungan secara emosional.

b. Emotion Focused Coping (EFC).

Emotion Focus Coping (selanjutnya disebut EFC) adalah coping yang befokus pada emosi. Cara ini lebih bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung. Ada lima aspek yang termasuk dalam EFC, yakni: self control, distancing, escape, accepting responsibility dan positive reappraisal. Sedangkan dua bentuk PFC lainnya yang dikemukan oleh Carver, et al (1989) yakni seeking social support for emotions reasons dan turning to religion.

1) Self control yakni usaha untuk mengendalikan atau mengatur perasaan ketika sesorang mengalami situasi tertekan.

2) Distancing yaitu usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan. Dengan kata lain seseorang berusaha mengambil jarak untuk tidak terpengaruh dan terbelengggu oleh permasalahan.

3) Escape merupakan usaha untuk menghindari diri dari masalah dan sekiranya memiliki persoalan, ia berperilaku (bertindak) seolah-olah tidak memiliki masalah serta tetap berpandangan atau berpikir secara positif.

Contohnya, ketika seseorang mengalami masalah, ia tidak terlalu terbawa oleh perasaannya atau tak memperdulikannya. Ia bertingkah seolah-olah dirinya tidak memiliki masalah.

4) Accepting responsibility merupakan suatu upaya (usaha) untuk mencari dan memperlihatkan sikap dan rasa tanggung jawab diri di hadapan suatu persoalan. Ia berusaha menerima persoalan tersebut dengan sikap terbuka dan mencoba untuk memperbaikinya menjadi lebih baik.

5) Positive reappraisal atau yang dikenal dengan “memberi penilaian yang positif” merupakan suatu usaha untuk mencari makna positif dari setiap permasalahan dengan tetap berfokus pada pengembangan diri. Model ini biasanya lebih bersifat religius, misalnya mengikuti doa bersama di komunitas basis, berpartisipasi dalam koor di gereja atau pelayanan katekese umat. Contohnya, seorang yang mengalami masalah atau kesulitan yang cukup menantang dan bahkan membuatnya tidak berdaya, akan tetapi dalam situasi tersebut, ia tetap mengambil makna positif dari setiap pengalaman atau peristiwa yang manyakitkan dan menekan tersebut.

6) Seeking social support for emotion reasons adalah usaha individu mencari dukungan sosial berupa dukungan moral, simpati, dan pemahaman dari lingkungan sekitar. Dengan kata lain, Carver menambahkan bahwa coping seeking social support for instrumental reasons yaitu salah satu cara untuk mengelola dan mengatasi tekanan yang dialami dengan mencari dukungan berupa nasihat, bantuan dan informasi (Carver et all,1989).

Ditegaskan juga bahwa secara implisit pencarian dukungan sosial seperti hal yang menyadarkan kembali bahwa seseorang adalah bagian dari jalinan sosial yang berkewajiban untuk saling memberikan bantuan.

Penerimaan dan dukungan yang tersedia saat diperlukan membantu individu dapat melalui tekanan dengan lebih efektif, serta akan mengalami kesejahteraan dan kesehatan yang lebih baik (Taylor, Welch, Kim, &

Sherman, 2007).

7) Turning to religion adalah coping yang beralih kepada agama. Coping ini menjelaskan bahwa seorang individu mengatasi masalah atau tekanan dengan meminta pertolongan dan kekekuatan dari Tuhan.

Dari pengertian strategi coping yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1884) di atas, dapat dikatakan bahwa jenis coping yang digunakan oleh setiap orang dan bagaimana dampaknya, sangat tergantung pada jenis stres atau masalah dan kesulitan yang dihadapi (Evan & Kim dalam Maryam, 2017).

Berdasarkan pemaparan ini, peneliti menyimpulkan bahwa strategi coping adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi

masalah yang dialami baik internal maupun eksternal dengan tujuan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan merasa nyaman. Ada dua strategi coping yakni problem focused coping dan emotion focused coping.

Problem focused coping terdiri dari planful problem solving, Confrontative coping, seeking social support for instrumental reasons.

Sedangkan emotion focused coping terdiri dari self control, seeking social support for emotion reasons, distancing, escape, accepting responsibility positive reappraisal dan turning to religion

D. Dinamika Penelitian

Biarawati dewasa awal merupakan biarawati yang sudah memasuki jenjang yuniorat dengan batas usia dua puluh hingga empat puluh tahun.

Hurlock (dalam Timah & Muti‟ah, 2014) mengungkapkan bahwa masa dewasa awal, individu mulai menentukan komitmen untuk yang dijalaninya. Komitmen tersebut dibuat tidak selamanya terpenuhi, maka hal yang dikembangkan adalah menanamkan sebuah motivasi yang kuat untuk tetap mempertahankan komitmen awal serta keberanian menerima situasi jika tidak mampu mewujudkan komitmen.

Selanjutnya Timah dan Muti‟ah (2014) menandaskan bahwa para biarawati mengartikan komitmen sebagai kesetiaan dalam panggilan sebagai perutusan gereja. Konsekuensi yang dijalani tersebut menuntut biarawati agar dengan kebebasan mengikatkan diri dalam sebuah kongregasi atau tarekat yang ditandai dengan mengikrarkan dan menghayati tiga kaul yakni kaul kemurnian,

kaul kemiskinan dan kaul ketaatan. Salah satu yang menjadi penekanan ialah kaul ketaatan.

Menurut Suparno (2016) dalam mengahayati kaul ketaatan ternyata ada beberapa biarawati yang dapat menghayatinya dengan penuh kegembiraan dan merasa bersyukur. Namun ada juga biarawati yang menghayati kaul ketaatan dengan berat hati, merasa tertekan dan tidak bebas.

Sejalan dengan pendapat Suparno mengenai penghayatan kaul ketaatan, Timah dan Muti‟ah (2014) menambahkan bahwa ketiga kaul tersebut merupakan komitmen yang dipilih biarawati. Dalam pilihan tersebut para biawati melatih dan mengubah pola dan semangat hidup agar selaras dengan nilai-nilai kaul yang telah diikrarkan. Akan tetapi kemampuan untuk menyelaraskan hidup dalam kaul-kaul tersebut, bukanlah sesuatu yang mudah. Para biarawati mengalami perasaan-perasaan sakit hati, kecewa, dan merasa tidak berarti. Pergumulan batin sering menimbulkan rasa putus asa dan mandek. Oleh karena itu, para biarawati hendaknya dapat merespon kesulitan dan masalah dengan sebuah coping strategi yang baik demi mengurangi tekanan yang ada di dalam dirinya.

Biarawati yang mengalami kesulitan dalam menghayati kaul ketaatan memerlukan strategi coping untuk mengelola tekanan yang dialami. Strategi coping dirasa sangat penting bagi biarawati yang menghayati kaul ketaatan karena berdasarkan pengetahuan strategi coping memiliki beberapa metode untuk mengatasi menyelesaikan masalah sesuai dengan karakter kasus. Hal ini juga selaras dengan apa yang dikatakan Chaplin ( 2001) yang mengatakan bahwa coping dilakukan individu terhadap lingkungan dengan tujuan menyelesaikan

tugas dan masalah yang dihadapi serta mengatasi situasi yang menekan dalam hidupnya. Hal ini juga dikatakan oleh Taylor (2009). Menurutnya, coping memiliki empat tujuan yaitu mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan gambaran diri yang positif, mengurangi tekanan lingkungan dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain. Berdasarkan pengalaman pastoral konseling strategi coping penting karena menyelesaikan persoalan tanpa menghasilkan kasus baru. Berdasarkan pengalaman, memilih strategi coping lebih menyentuh esensi mengenai ketaatan itu sendiri. Karena kaul ketaatan dapat membawa pada pembaharuan hidup kerohanian. Karena menurut Suparno (2016), ketaatan pada kehendak Allah diwujudkan dalam ketaatan kepada kongregasi yakni aturan biara, konstitusi dan ketaatan kepada pimpinan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan strategi coping yang sesuai dengan kepribadian individu dan masalah yang dihadapi.

Strategi coping adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah yang dialami baik internal maupun eksternal dengan tujuan dapat menyesuaikan dengan lingkungan sehingga merasa nyaman. Ada dua coping strategi yang dikemukan oleh Lazarus & Folkman (1984) yaitu, dan EFC Ada tiga bentuk PFC yakni planful problem solving, confrontative coping dan social support for instrumental reasons. Sedangkan EFC terdapat tujuh bentuk coping yaitu self control, seeking social support for instrumental reasons, escape, distancing, accepting responsibility, positive reappraisal dan turning to religion (Lazaraus & Folkman,1984; Carver et al,.1989).

E. Kerangka Konseptual Penelitian

Biarawati Dewasa Awal

Motivasi Menjadi Biarawati

Karakteristik Dewasa awal -Intimacy

-Aktualisasi diri

Tuntutan Kaul Ketaatan yaitu kepada Tuhan

melalui -Ketaatan pada

aturan -Ketaatan pada

kebijakan pemimpin

STRATEGI COPING PFC (Problem Focused Coping)

a. Planful problem solving b. Convrontative coping c. Seeking social support for

instrumental reasons

EFC (Emotion Focused Coping)

a. Self control

b. Seeking social support for emotion reasons

c. Distancing d. Escape

e. Accepting responsibility f. Positive reappraisal g. Turning to religion

Gambar 1 Skema kerangka konseptual penelitian

F. Petanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran mengenai masalah dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal kongregasi SSpS Flores Timur.

2. Bagaimana strategi mengatasi masalah dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal kongregasi SSpS Flores Timur.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berfokus tentang gambaran mengenai masalah dalam menghayati kaul ketaatan dan bagaimana strategi mengatasi masalah dalam menghayati kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal dalam kongregasi SSpS.

Dengan itu peneliti dapat mengetahui kesulitan dan masalah yang dialami serta coping strategi yang digunakan dalam menghadapai masalah kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif disebut sebagai metode penelitian naturalistik karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) dan hasil penelitian kualitatif

Dengan itu peneliti dapat mengetahui kesulitan dan masalah yang dialami serta coping strategi yang digunakan dalam menghadapai masalah kaul ketaatan pada biarawati dewasa awal. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif disebut sebagai metode penelitian naturalistik karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) dan hasil penelitian kualitatif