• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi coping pada polisi suku Toraja yang mengalami masa pra pensiun terkait rambu Solo` di Toraja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi coping pada polisi suku Toraja yang mengalami masa pra pensiun terkait rambu Solo` di Toraja."

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI COPING PADA POLISI SUKU TORAJA YANG MENGALAMI

MASA PRA PENSIUN TERKAIT RAMBU SOLO’ DI TORAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Disusun oleh:

Delvianty Tanga Parinding NIM: 129114066

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“Sesungguhnya, Allah penolongku; Tuhanlah yang menopangku”

Mazmur 54:4

“Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk

selama-lamanyaa kasih setia-Nya.”

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tulisan ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus

Kedua orangtuaku,

Yacob Parinding & Yohana Tangnga

Saudaraku tercinta,

(6)
(7)

vii

STRATEGI COPING PADA POLISI YANG MENGHADAPI MASA PRA PENSIUN TERKAIT DENGAN ADAT RAMBU SOLO’ DI TORAJA

Delvianty Tanga Parinding

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang dimiliki oleh polisi

suku Toraja yang menghadapi masa pra pensiun terkait rambu solo’ di Toraja.

Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana strategi coping pada polisi suku Toraja yang mengalami masa pra pensiun dalam menghadapi upacara

Rambu Solo’?”. Informan dalam penelitian ini yaitu polisi suku Toraja yang memiliki

jabatan perwira pertama yang berusia di atas 50 tahun atau mendekati masa pensiun di Toraja. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan menggunakan analisis isi terarah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa polisi yang mengalami masa pra pensiun merasa siap karena telah memiliki pekerjaan sampingan

yang akan diteruskan saat pensiun nanti. Bagi ketiga informan, rambu solo’ bukanlah

beban bagi mereka karena telah memiliki pekerjaan sampingan. Gengsi dan status

sosial menjadi motif dibalik pelaksanaan upacara rambu solo’ yang besar. Apabila datang dengan tangan hampa pada upacara rambu solo’, maka memberikan pengaruh bagi seseorang yang memiliki pangkat dan jabatan yaitu munculnya perasaan malu. Dalam menghadapi permasalahannya, para informan menggunakan salah satu strategi coping atau menggabungkan beberapa strategi coping. Pemilihan strategi coping tidak lepas dari adanya sumber coping seperti positif beliefs dan social support.

(8)

viii

POLICE COPING STRATEGY IN FACING PRE-RETIREMENT PERIOD RELATED TO RAMBU SOLO’ TRADITION IN TORAJA

Delvianty Tanga Parinding

ABSTRACT

This research aims to acknowledge the coping strategy used by police to face pre-retirement period related to Torajanese’s polices tradition Rambu Solo’. The question

used in this research will be “How is the coping strategy practiced by Torajanese’s

polices in pre-retirement period in facing Rambu solo’ ceremony? The informants of this research were Torajanese’s polices in aged of over 50 who had their first officer position and approaching retirement period in Toraja. The method applied in this research was quantitative method by using directed content analysis. The researcher employed semi-structured interview to gather the data. This result showed that the polices were ready to face their preretirement period because they have already a side

job until the retirement. For the polices, Rambu Solo’ was not a problem. Prestige

and status social were the motif for Rambu Solo’s tradition. They would feel embarrassed if they did not prepare anything for this ceremony. In facing their problems, the informants applied one of coping strategies or combine several coping strategies. This coping strategy selection depends on some coping sources such as beliefs and social support.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nyalah sehingga peneliti

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kesehatan, waktu, semangat

kerja, dan menjadi tempat keluh kesahku. Terimakasih untuk kasih setiaMu,

Tuhanku Yesus.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., dekan Fakultas Psikologi, Universitas

Sanata Dharma.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., Kaprodi Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. dan Lidwina Tri A. FCJ. MA. selaku dosen

pembimbing akademik.

5. Bapak R. Landung Eko P., M.Psi., Psi. selaku dosen pembimbing. Terima

kasih untuk setiap masukan, dukungan, kritik saran, dan semangatnya. Terima

kasih juga untuk ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si., yang sebelumnya menjadi

dosen pembimbingku.

6. Terima kasih untuk dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu

(11)

xi

7. Bapak dan ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang

telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang berharga.

8. Papa, Mama, dan Anis yang selalu memberikan dukungan untuk terus

semangat mengerjakan skripsi, terima kasih sudah memahami dan selalu ada

buatku. Keluarga besar yang selalu mendukung dan mendoakanku.

9. Sepupu-sepupuku Ningsih, Lia, Cindy, dan Lin, semangat kuliahnya ya. Buat

Adi dan Wendy, semangat kerja skripsinya biar tahun ini bisa wisuda bareng.

10. Sahabat-sahabatku, Oktia Sudianti, Itha Alamako, dan Nila Hayu. Teman

dolan, teman makan, dan kerjaannya selfie muluk wkwkwk. Makasih

sayang-sayangku untuk dukungan dan semangatnya. Semangat buat revisi buat Itha,

semoga bisa ki wisuda bareng. Tetap semangat Tia, semoga tahun ini bisa

sidang dan cepat wisuda. Amiiiiin. Nilaaa, moga dapat kerjaan yaaaak, hehee.

11. Agung dan Patrick, teman dari SMA sampai sekarang yang mau aja bantuin

nyari buku tentang Toraja, makasih banyak nah. Ku doakan moga sukses ko

mi. semangatt agung semoga kejar S2nya. Patrick, semangat kuliah biar cepat

lulus trus jadi Romo deh, hehe.

12. Maria Moa dan Vita Kharisma, teman seperjuangan skripsi hingga saat ini,

terima kasih untuk setiap proses yang kita jalani bersama, terima kasih untuk

semangat dan dukungannya.

13. Teman-teman Dampok Insadha 2014 Ansel, Iwat, Andre, Dida, dan Yopek

(12)

xii

dan Thomas yang mau aja direpotin secara dadakan, hehe. Makasih banyak

yaa.

14. S. Aji, makasih banyak untuk dukungannya yang mau nemenin nyekrip, mau

direpotkan, dan memberikan masukan meski kadang aku kurang paham kamu

bilang apa hahaa. Semangat kuliah ya biar cepat lulusnya.

15. Gue, Rini, Pipi, Edo, Dara, Nyak, Gektri, Gege, dan Sekkar. Terima kasih

untuk dukungan dan bantuannya. Semangat ya buat kalian yang masih dalam

proses.

16. Para informan yang telah percaya dan memberikan infomasi untuk penelitian

ini.

17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah

membantu dan memberikan dukungan selama ini.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, peneliti sangat terbuka untuk menerima dan menghargai setiap kritik dan

saran yang disampaikan untuk membantu menyempurnakan penelitiaan ini. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi banyak orang.

Yogyakarta, Maret 2017

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Masalah Penelitian ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 9

(14)

xiv

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Strategi Coping ... 11

2.1.1. Pengertian Strategi Coping ... 11

2.1.2. Fungsi Coping ... 13

2.1.3. Bentuk-Bentuk Coping ... 14

2.1.4. Faktor-Faktor Coping ... 16

2.2. Rambu Solo’ pada Polisi yang menghadapi masa pra pensiun ... 19

2.2.1. Pengertian Rambu Solo’ ... 19

2.2.2. Pengertian Pra Pensiun ... 23

2.2.3. Karakteristik Pra Pensiun ... 25

2.3. Strategi Coping pada Polisi yang Mengalami Masa Pra Pensiun terkait dengan Rambu Solo’ ... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis Penelitian ... 31

3.2. Informan Penelitian ... 32

3.3. Fokus Penelitian ... 33

3.4. Refleksivitas Peneliti ... 33

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 34

3.6. Metode Analisis Data ... 36

3.7. Keabsahan Data ... 37

3.7.1. Kredibilitas ... 37

(15)

xv

4.1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 38

4.1.1. Persiapan Penelitian dan Perizinan ... 38

4.1.2. Pelaksanaan Penelitian ... 39

4.2. Informan Penelitian ... 40

4.2.1. Data Informan ... 40

4.2.2. Latar Belakang Informan ... 40

4.3. Analisis Data Penelitian ... 44

4.3.1. Informan 1 ... 44

4.3.2. Informan 2 ... 58

4.3.3. Informan 3 ... 72

4.4. Kesimpulan Analisis Ketiga Informan ... 78

4.5. Pembahasan ... 80

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

5.1. Kesimpulan ... 89

5.2. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Panduan Pertanyaan Wawancara ... 35

Tabel 4.1 Waktu dan tempat penelitian... 39

Tabel 4.2 Data Informan ... 40

Tabel 4.3 Latar Belakang Informan 1 ... 40

Tabel 4.4 Latar Belakang Informan 2 ... 42

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Skema strategi coping pada polisi suku Toraja yang mengalami masa pra

pensiun terkait dengan rambu solo’ ... 30

Gambar 4.1: Skema Informan 1 ... 57

Gambar 4.2: Skema Informan 2 ... 71

Gambar 4.3: Skema Informan 3 ... 77

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu budaya di Toraja yang menjadi daya tarik wisata paling populer

di Provinsi Sulawesi Selatan adalah rambu solo’ atau upacara pemakaman.

Upacara ini termasuk salah satu upacara yang penting dalam kehidupan

masyarakat Toraja. Hal itu dapat dimengerti oleh karena dalam pandangan

hidup orang Toraja, kematian merupakan titik permulaan kehidupan baru di

“alam yang lain” (Paseru, 2004).

Menurut Said (2004, dalam Tumirin dan Abdurahim, 2015), upacara

rambu solo’ sudah mulai dilaksanakan sekitar abad ke-9 masehi dan

dilaksanakan secara turun-temurun hingga saat ini. Setiap tahapan pelaksanaan

upacara rambu solo’ merupakan peristiwa yang mengandung dimensi religi dan

sosial, serta ditunjang pula dengan realitas kehidupan di puya (surga), yang

digambarkan sebagai suatu kehidupan yang kekal dan apabila arwah tersebut

telah menjadi dewa akan memberikan berkat bagi kaum keluarganya (Rahleda,

2016). Iskandar (2013) mengatakan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh

seseorang tidak terlepas dari proses belajar yang dialami oleh seseorang dengan

lingkungannya. Upacara rambu solo’ memiliki nilai-nilai tersendiri bagi

(19)

Selain nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat, terdapat juga

norma-norma sosial yang menjadi aturan adat di Toraja. Iskandar (2013) mengatakan

bahwa norma sosial akan digunakan sebagai standar tingkah laku masyarakat

yang kelak dapat berkembang menjadi aturan hukum adat Toraja, khususnya

pada upacara rambu solo’. Nilai dan norma sosial tentang adat rambu solo’ telah

ditanamkan oleh orangtua sejak kecil sehingga orang Toraja memiliki ikatan

atau kelekatan yang kuat terhadap adat budayanya. Ainsworth (dalam

Nurhidayah, 2011) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang

dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat

mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu dan

terbentuk karena adanya hubungan antar individu dalam lingkungan sosialnya.

Ketika kelekatan berlangsung secara terus menerus dan dalam jangka waktu

yang berlangsung lama, maka akan menimbulkan sebuah ikatan afeksional

(Ainsworth,1978 dalam Indrawati dan Fauziah, 2012). Kelekatan antar anak dan

orangtua dalam kebudayan Toraja dapat menumbuhkan nilai dan norma budaya

Toraja hingga mereka beranjak dewasa dan hidup bermasyarakat.

Merujuk pada penjelasan sebelumnya, upacara adat rambu solo’

terselenggara dikarenakan adanya dorongan perasaan berutang budi,

melestarikan budaya dan meningkatkan pendapatan daerah (melalui retribusi

potong hewan), kebiasaan atau ritual, mempererat kekerabatan persaudaraan,

(20)

dengan membayar hutang keluarga pada keluarga lain yang sedang mengadakan

rambu solo’ atau pesta pemakaman (Andilolo, 2012). Adanya ketetapan adat

yang di anggap sangat penting dalam ritual rambu solo’, mewajibkan

masyarakat atau anggota keluarga yang memiliki sanak keluarga yang

meninggal untuk meminjam uang pada keluarga yang lain. Bahkan tidak sedikit

yang harus menjual rumah ataupun menjadi budak pada kalangan bangsawan

Tana Toraja demi memenuhi tuntutan adat tersebut (Baharuddin, 2016).

Ada banyak tingkatan upacara pemakaman yang dilaksanakan di kalangan

masyarakat Toraja dan itu disesuaikan dengan kelasnya, atau status sosial dari

yang meninggal serta jumlah kerbau yang akan dikorbankan. Cyndia (2015)

memaparkan status sosial keluarga yang meninggal dapat terlihat di prosesi

rambu solo’. Status sosial dapat dilihat dari jumlah hewan yang dikorbankan.

Semakin banyak jumlah kerbau yang disembelih, status sosialnya semakin

tinggi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pelaksanaan upacara rambu solo’

dikarenakan beberapa faktor, yaitu faktor fanatisme yang sudah melekat berupa

emosi keagamaan dalam ajaran Aluk Todolo, dorongan dari kelompok

masyarakat yang ingin menampilkan status dan lapisan sosialnya disertai

kemampuan ekonomi, sehingga gengsi sosial timbul dan menjadi ukuran

penilaian oleh masyarakat sekitarnya (Ansaar, 2014).

Ada’ (2014) mengatakan bahwa upacara kematian telah berangsur-angsur

(21)

upacara kematian yang semarak dan mahal akan menaikkan gengsi yang

bersangkutan atau keluarganya, sedangkan kegagalan melaksanakannya akan

membuat malu yang bersangkutan atau keluarganya. Adanya perasaan gengsi

dan malu, mendorong setiap orang untuk bekerja dengan lebih giat agar dapat

mendapat penghasilan sesuai dengan jabatannya.

Tuntutan sosial yang harus dipenuhi oleh masyarakat Toraja memberikan

motivasi untuk bekerja dengan giat mencari penghasilan yang tinggi demi

membiayai upacara adatnya. Menurut Suardirman (2011), bekerja merupakan

bagian fundamental kehidupan bagi hampir semua orang dewasa, baik pria

maupun wanita, yang memberikan kebahagiaan dan kepuasan. Masyarakat

dapat mengembangkan potensi pada bidang pekerjaan yang diminatinya,

dengan memiliki penghasilan yang sesuai dengan usaha kerjanya. Penghasilan

yang diperoleh dari hasil kerja seseorang disesuaikan dengan pangkat jabatan

yang dimilikinya. Untuk mendapatkan jabatan yang tinggi, seseorang perlu

bekerja dengan giat untuk mencapai posisi tersebut. Masyarakat menilai

seseorang yang memiliki jabatan yang tinggi akan mendapatkan pengakuan atau

memiliki status sosial.

Status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya

sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestise,

dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 2006). Status sosial yang

(22)

atau penghasilan yang besar. Salah satu pekerjaan yang dilakukan oleh

masyarakat Toraja yaitu polisi. Seseorang yang berprofesi sebagai polisi dengan

jabatan yang tinggi memiliki status sosial yang tinggi bagi masyarakat Toraja.

Hal ini dikarenakan polisi memiliki pendidikan dan kemampuan ekonomi yang

tinggi sehingga dianggap mampu untuk melaksanakan upacara Rambu solo’.

Pada kenyataannya, pekerjaan yang dilakukan tidak akan berlangsung

selamanya karena ada batasan usia tertentu dalam bekerja yang disebut dengan

masa pensiun. Pensiun diartikan sebagai berhentinya seseorang dari

pekerjaannya yang selama ini ia tekuni dan menjadi sumber hidup bagi

keluarganya, serta tidak lagi bekerja ditempat itu untuk selama-lamanya

(Tarigan, 2009). Pada masa ini, individu bukan hanya kehilangan pekerjaan

tetapi juga kehilangan jabatan, karir, dan penghasilan tetap yang dimilikinya.

Kehilangan jabatan atau kedudukan itu dapat menimbulkan efek yang negatif,

seperti rasa takut, khawatir, cemas, depresi, dan stress. Tak dapat dipungkiri,

faktor stres dapat berdampak buruk pada mental dan fisik seseorang, apalagi

jika hal tersebut berlangsung lama dan tidak segera diatasi dengan baik

(Tarigan, 2009). Makin cemas seseorang dalam meningkatkan kelas sosialnya,

maka simbol status terasa semakin penting. Jahja (2011) memaparkan bahwa

apabila karena mobilitas sosial individu pada usia madya pindah lingkungan

yang baru, maka masyarakat yang berada di lingkungan tersebut akan menerima

(23)

status yang dapat dimilikinya, maka makin tinggi kemungkinan dan kesempatan

untuk memperoleh pengakuan.

Secara psikologis, aturan dan norma adat yang ada di Toraja termasuk

sebagai superego yang dimiliki oleh orang Toraja untuk dilakukan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Bion (1962 dalam Carvert, 2011) bahwa

Where superego was, there ego shall come to be.” Aturan adat tersebut tercipta

karena diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang orang Toraja

sehingga wajib untuk dijaga dan dilestarikan. Selain itu, adanya keterikatan

antara orang Toraja dengan adat budayanya yang telah berakar dan mendarah

daging dalam kehidupan orang Toraja membuat mereka tidak dapat lepas dari

budayanya. Seperti yang diungkapkan oleh Rousseau dan Pascal (1969, dalam

Carvert, 2011) bahwa “conscience is fundamentally grounded in non-rational,

emotional processes of attachment, sympathy, concern and love.”. Keterikatan

(attachment) ini tercipta sebagai wujud rasa hormat kepada leluhurnya sehingga

adat budaya tidak bisa dilepas atau diabaikan. Hal ini membuat superego

menjadi agen ideologi budaya (Barnet, dalam Carvert, 2011) sehingga orang

Toraja harus berusaha untuk memenuhi tuntutan adatnya yaitu bekerja dengan

keras untuk membiayai upacara rambu solo’ yang tidak sedikit.

Sumber pengeluaran terbesar bagi orang Toraja yaitu untuk membiayai

pesta adat rambu solo’. Di samping itu, ada beberapa pengeluaran lain yang

juga perlu dipertimbangkan bagi orang Toraja khususnya seorang polisi.

(24)

rumah atau kendaraan pribadi, kesehatan, kebutuhan rumah tangga, dan

lain-lain. Dengan adanya beban ekonomi dan tuntutan sosial yang harus dihadapi,

polisi perlu memikirkan usaha untuk mempersiapkan masa pensiunnya. Hal ini

disebabkan ketika masa pensiun tiba, polisi tidak mendapatkan gaji yang besar

sesuai dengan jabatannya, akan tetapi mendapatkan dana pensiun yang lebih

sedikit. Bagi polisi yang tidak dapat mengatasi berbagai masalah atau tuntutan

tersebut, maka akan menjadi sumber stres. Besarnya dana yang dikeluarkan

dalam rambu solo’ dapat menyebabkan tekanan bagi polisi yang mengalami

masa pensiun. Hal ini dikarenakan sumber penghasilan yang didapatkan saat

bekerja, sudah tidak ada lagi sehingga diperlukan strategi coping untuk

menghadapi tuntutan sosial di Toraja.

Berbagai masalah dan tuntutan sosial yang dialami individu dapat

diselesaikan dengan menggunakan strategi coping. Coping adalah pemikiran

atau perilaku adaptif bertujuan mengurangi atau meringankan stress yang

bersumber dari kondisi yang berbahaya, mengancam, atau menantang (Papalia,

2009). Ada berbagai cara yang berbeda dalam menghadapi situasi yang ada

dengan melakukan strategi coping. Strategi coping bisa jadi berfokus pada

masalah atau berfokus pada emosi. Pada coping berfokus pada masalah merujuk

kepada upaya untuk menangani masalah dengan mengubah fitur situasi yang

(25)

memperbaiki kondisi emosional internalnya, misalnya, dengan penenangan

emosional atau mencari dukungan sosial.

Ada berbagai penelitian yang membahas tentang rambu solo, seperti

penelitian Ansaar (2014) dalam “Rapasan: Upacara Pemakaman bagi Kasta

Tana’ Bulaan di Tana Toraja” mengungkapkan upacara pemakaman merupakan

ritual yang paling penting dan biayanya tergolong mahal. Sirajuddin &

Andilolo (2013) dalam “Beberapa Motivasi Masyarakat Toraja Memotong

Ternak Kerbau” menuliskan motivasi untuk memotong kerbau tidak lagi

berdasarkan adat Toraja yang sesungguhnya tetapi disesuaikan dengan strata

sosial masyarakat. Hasil penelitian lain juga mengungkapkan dalam kehidupan

masyarakat Toraja, kerbau berkaitan dengan lapisan sosial, status sosial, dan

peran sosial. Nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Toraja juga

mempengaruhi nilai jual kerbau yang ada di Toraja, masyarakat yang memiliki

status dan lapisan sosial tinggi di Toraja akan membeli kerbau dengan nilai

yang lebih tinggi. (Sadidan, Sulaeman, dan Homzah, 2015).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi coping pada

polisi yang bersuku Toraja dalam menghadapi masa pra pensiunnya terkait

dengan rambu solo’. Oleh sebab itu, peneliti memilih pendekatan kualitatif

dengan menggunakan analisis isi terarah. Menurut Supratiknya (2015), analisis

isi terarah cocok diterapkan pada teori yang sudah ada atau hasil penelitian

(26)

konteks baru atau menggunakan informan yang baru. Pendekatan ini dinilai

sesuai digunakan untuk menguji kembali strategi coping pada polisi yang

mengalami masa pra pensiun terkait rambu solo’ karena pada penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Marwing (2011) mengenai strategi coping

dengan kriteria informan yang tidak memiliki pekerjaan tetap di Toraja.

Berdasarkan uraian tersebut menjadi pertimbangan untuk melakukan penelitian

mengenai strategi coping pada polisi suku Toraja yang menghadapi masa

pensiun terkait rambu solo’.

1.2. Masalah Penelitian

Dalam penelitian ini, masalah umum yang ingin diangkat oleh peneliti

adalah “Bagaimana strategi coping pada polisi suku Toraja yang menghadapi

masa pra pensiun terkait rambu solo’ di Toraja?”

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi coping pada polisi

suku Toraja yang menghadapi masa pra pensiun terkait rambu solo’ di Toraja.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoretis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

tambahan teori baru bagi para akdemisi dan peneliti selanjutnya.

(27)

sosial dan psikologi budaya, penelitian ini diharapkan memberikan

manfaat dalam menjelaskan dengan lebih baik mengenai strategi coping

pada polisi suku Toraja yang menghadapi masa pra pensiun terkait

upacara rambu solo’ di Toraja.

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi para polisi dan keluarga polisi suku Toraja yang memasuki

masa pra pensiun, penelitian ini dapat memberi gambaran tentang

pengaruh rambu solo’ terhadap polisi menjelang pensiunnya

sehingga menggunakan strategi coping.

b. Menambah wawasan dan bahan reflektif untuk melihat strategi

coping yang digunakan polisi suku Toraja menghadapi masa pra

pensiun terkait upacara rambu solo’.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu kepolisian

memperhatikan anggotanya khususnya pada polisi yang termasuk

suku Toraja yang menghadapi masa pensiun dengan menggunakan

(28)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Strategi Coping

2.1.1. Pengertian Strategi Coping

Kata coping sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan

sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian

belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk mewakili

istilah ini (Wardani, 2009). Lazarus & Folkman (dalam Smet, 1994)

menggambarkan coping sebagai suatu proses pada individu mencoba

untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (tuntutan yang

berasal dari diri individu maupun dari lingkungan) dengan

sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi yang

menekan. Coping adalah cara berpikir atau perilaku adaptif yang

bertujuan mengurangi atau menghilangkan stres yang timbul dari

kondisi berbahaya, mengancam, atau menantang (Papalia, 2009).

Sedangkan menurut Arumwardhani (2011), coping adalah suatu proses

usaha untuk mempertemukan tuntutan yang berasal dari diri sendiri dan

lingkungan.

Coping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam

(29)

menggunakan perilaku copingnya dengan baik maka ia dapat melakukan

penyesuaian sosial dengan baik pula. Berdasarkan hasil penelitian

didapatkan hasil bahwa, sebagian besar informan mempunyai orientasi

penyelesaian masalah yang berfokus pada cara atau strategi untuk

menyelesaikan masalah atau Problem Focused Coping. Coping

merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan,

mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hapsari,

dkk, 2002 dalam Wardani, 2009). Perilaku coping juga diartikan sebagai

tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan

sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah (Chaplin,

2001 dalam Wardani, 2009). Fleming (1984 dalam Prasetyo, 2016)

mengungkapan bahwa perilaku coping adalah sebagai respon individu

terhadap tekanan yang dirasakan atau merupakan suatu bentuk respon

psikologis yang dilakukan individu untuk mengurangi akibat dari suatu

persoalan yang muncul. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, peneliti

memahami bahwa strategi coping adalah suatu cara yang dilakukan oleh

individu untuk mengatasi masalah atau tuntutan yang timbul dari

berbagai sumber baik dari dalam diri sendiri atau lingkungan sosialnya.

Coping stress yang ditampilkan individu dapat berbeda-beda

tergantung pada masalah yang dihadapi, tetapi apabila coping stress

yang ditampilkan dan digunakannya pada suatu masalah dirasa cocok

(30)

mengulangi jika dihadapkan pada masalah serupa dimasa mendatang

(Effendi,1999; dalam Darmalia, Giyono dan Utaminingsih, 2015).

2.1.2. Fungsi Coping

Secara umum coping itu sendiri mempunyai dua macam fungsi

(Cohen & Lazarus, 1983; Lazarus & Folkman, 1984; Rutter, 1983;

Eiser, 1990, Taylor, 1991; dalam Smet, 1994), yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres.

Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan

alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak

menyenangkan, melalui strategi kogntif. Bila individu tidak

mampu mengubah kondisi yang ‘stressful’, individu akan

cenderung untuk mengatur emosinya.

b. Problem-focused coping

Untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan

mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru.

Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya

yakin akan dapat merubah situasi. Metode atau fungsi masalah ini

lebih sering digunakan oleh para dewasa.

Rutter (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa strategi coping

yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stress dan

(31)

bahwa keberhasilan coping lebih tergantung pada penggabungan strategi

coping yang sesuai dengan ciri masing-masing kejadian yang penuh

stres, daripada mencoba menemukan satu strategi coping yang paling

berhasil. Manfaat dari strategi coping adalah pada intinya agar seseorang

tetap dapat melanjutkan kehidupan selanjutnya walaupun memiliki

masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan emosi,

mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan

lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif dan tetap

melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain (Firdaus,

2004 dalam Wardani, 2009).

2.1.3. Bentuk-Bentuk Coping

Carver dan Scheier (1989) mengembangkan bentuk-bentuk strategi

coping, yaitu:

a. Strategi coping berorientasi pada masalah (problem focus coping)

1. Coping aktif (Active coping), yaitu usaha untuk menghilangkan

atau mengatasi masalah maupun memperbaiki dampak dari

masalah tersebut dengan cara langsung.

2. Perencanaan (Planning), yaitu usaha yang dilakukan individu

dengan berpikir mengenai bagaimana cara mengatasi suatu

masalah yang ada. Planning berisikan strategi suatu tindakan,

dengan pemikiran mengenai tindakan yang akan dilakukan dan

(32)

3. Focus pada suatu aktifitas (Suppression of competing activities),

yaitu usaha individu untuk menyelesaikan masalahnya dengan

cara mengurangi perhatian pada aktivitas lain.

4. Pengendalian diri (Restraint coping), yaitu usaha individu

dengan menahan diri dengan menunggu suatu kesempatan yang

tepat untuk bertindak.

5. Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental (Seeking

social support for instrumental reasons), yaitu usaha individu

untuk mencari dukungan sosial seperti meminta pendapat,

bantuan atau informasi untuk menyelesaikan masalah.

6. Mencari dukungan sosial untuk alasan emosional (Seeking social

support for emotional reasons), yaitu usaha individu untuk

mendapatkan dukungan moral, simpati dan dimengerti oleh

lingkungan sosial.

b. Stategi coping berorientasi pada emosi (emotional focus coping)

1. Focus dan mengekspresikan perasaan (Focusing on and venting

of emotions), yaitu kecenderungan individu untuk fokus pada

tekanan apapun dengan mengekspresikan perasaannya terhadap

masalah atau tekanan yang dialami.

2. Penyimpangan perilaku (Behavioral disengagement), yaitu

kecenderungan kurangnya usaha untuk mengatasi suatu tekanan,

(33)

3. Penyimpangan Mental (Mental disengagement), yaitu upaya

alternatif individu untuk mengalihkan masalah dengan

melakukan aktivitas lain yaitu melamun, tidur, atau

menenggelamkan diri dengan menonton televisi.

4. Reinterpretasi dan perkembangan positif (Positive

reinterpretation and growth), yaitu coping yang bertujuan untuk

mengatasi tekanan emosi daripada menghadapi tekanan itu

sendiri.

5. Penolakan (Denial), yaitu respon individu untuk menolak dan

menyangkal sebauh kenyataan.

6. Penerimaan (Acceptance), yaitu individu yang menerima realitas

suatu situasi yang stressful akan lebih mudah untuk menerima

atau berusaha menangani situasi tersebut.

7. Kembali pada agama (Turning to religion), yaitu usaha individu

menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan.

2.1.4. Faktor-Faktor Coping

Kemampuan seseorang untuk melakukan coping yang efektif

tergantung pada jenis stressor dan coping yang digunakan. Lazarus dan

Folkman (dalam Huffman, Vernoy, & Vernoy, 2000) membagi

(34)

a. Health and energy

Semua stres menyebabkan beberapa jenis perubahan fisiologis.

Oleh karena itu, kesehatan individu secara signifikan berpengaruh

terhadap kemampuan individu untuk mengatasi masalah.

Orang-orang yang lebih kuat dan sehat, semakin baik mereka mengatasi

suatu masalah dan semakin lama mereka tetap pada posisi bertahan

tanpa memasuki tahap kelelahan.

b. Positive beliefs

Citra diri yang positif dan sikap positif dapat menjadi sangat

signifikan mengatasi sumber daya. Menurut Lazarus dan Folkman,

berharap bisa datang dari kepercayaan diri sendiri, yang dapat

memungkinkan kita untuk merancang strategi coping yang dimiliki

oleh diri sendiri; kepercayaan pada orang lain, seperti dokter yang

membuat kita merasakan pengaruh dari hasil yang positif; atau

keyakinan pada pertolongan Tuhan.

c. Problem-solving skills

Ketika orang-orang memiliki internal lokus kontrol, perasaan

yang dimiliki oleh individu secara signifikan telah mengontrol setiap

peristiwa dalam kehidupannya, dalam mengatasi masalah mereka

lebih berhasil daripada orang-orang yang merasa tidak memiliki

kontrol, bahwa mereka tidak mampu menangani peristiwa dalam

(35)

dengan lokus kontrol eksternal merasa bahwa mereka tidak berguna

dan tidak berdaya untuk mengubah keadaan mereka.

d. Social Skills

Seseorang dengan keterampilan sosial seperti mengetahui

perilaku yang sesuai untuk situasi tertentu, mampu memulai

percakapan dan mengekspresikan diri dengan baik memiliki

kecemasan yang lebih rendah daripada mereka yang tidak

memilikinya. Keterampilan yang efektif dapat membantu seseorang

tidak hanya berinteraksi dengan yang lainnya tetapi juga

mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan yang dimiliki,

meminta bantuan ketika sedang membutuhkan, dan mengurangi

permusuhan saat menghadapi situasi yang tegang.

e. Social Support

Dukungan sosial bisa mencegah efek stres akibat perceraian,

kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan,

kehilangan pekerjaan, dan kelebihan beban kerja. Ketika berhadapan

dengan situasi stres, teman-teman dan keluarga dapat membantu

menjaga kesehatan seseorang, mendengarkan dan memeluk,

membuat seseorang merasa penting bagi mereka, mencegah

seseorang melakukan tindakan yang menimbulkan penyesalan, dan

(36)

f. Material Resources

Kita sering mendengar uang bukan segalanya, tetapi saat

mengatasi stress, uang dan hal-hal lain yang bisa dibeli dengan uang

dapat menjadi sumber daya yang nyata. Uang meningkatkan jumlah

pilihan yang tersedia untuk menghilangkan sumber stres atau

mengurangi efek stres.

2.2. Rambu solo’ pada Polisi yang menghadapi masa pra pensiun 2.2.1. Pengertian Rambu solo’

Adat merupakan merupakan norma-norma yang sah dan berfungsi

mengatur ketertiban dan keserasian hidup masyarakat (Tallulembang,

2012). Salah satu adat yang wajib dilakukan oleh masyarakat Toraja

yaitu upacara Rambu solo’. Rambu solo’ atau upacara pemakaman

adalah salah satu rangkaian budaya adat istiadat di Toraja. Masyarakat

Toraja mengadakan upacara pemakaman yang telah diwariskan secara

turun-temurun oleh leluhur. Tangdilintin (2014) mengatakan bahwa ada

beberapa ketentuan yang harus diperhatikan pada upacara rambu solo’

yang dilakukan menurut Aluk Todolo, yaitu upacara rambu solo’

ditentukan oleh kedudukan sosialnya dan kemampuan keluarganya

mengadakan kurban pada upacara tersebut.

Menurut hasil penelitian Tim Peneliti dari Departemen Pendidikan

(37)

mengapa begitu banyak kerbau yang dikorbankan dalam upacara

pemakaman, yaitu:

a. Faktor religi

Menurut Aluk Todolo, roh dari kerbau-kerbau yang

dikorbankan akan menjadi harta kekayaan dari roh orang yang

meninggal di “dunia sana”.

b. Faktor Prestise (Harga Diri)

Hal ini disebabkan karena susunan kasta yang ada dalam

masyarakat Toraja, sehingga kalau yang meninggal orang kelas

tinggi dan jumlah kerbau yang dikorbankan tidak sesuai dengan

statusnya, maka anggota masyarakat akan “menertawakan”

(menghina atau memandang rendah) keluarganya yang masih hidup.

c. Faktor Ekonomi

Faktor ini ikut menentukan, karena jumlah kerbau yang

dikorbankan, menunjukkan bahwa keluarga itu mampu.

Pada penelitian Tumirin & Abdurahim (2015) memaparkan bahwa

perngorbanan biaya yang besar untuk rambu solo’ memiliki makna yang

mendalam bagi masyarakat Tana Toraja karena berdampak jangka

panjang. Walaupun dari perspektif ekonomi pengorbanan biaya tersebut

dapat dipandang sebagai pemborosan namun ternyata tidak dianggap

sebagai beban yang berat, terbukti dengan tetap lestarinya upacara

(38)

Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Marwing

(2011) mengenai “dinamika psikologis dengan cara memahami faktor

motivasional individu dari tana’ bulaan miskin dalam melaksanakan

upacara rambu solo’” mengungkapkan bahwa para informan dari

berbagai tingkatan upacara tidak hanya menghadapi dampak langsung

beban keuangan rambu solo’ melainkan juga harus menghadapi berbagai

dampak jangka panjang atau dampak tidak langsung sebagai implikasi

dari ketidakmampuannya dalam mengatasi dan mengontrol

permasalahan asal beban keuangan rambu solo’ sebagai sumber tekanan.

Menurut Paranoan (1990, dalam Guntara dan Ruja, 2016),

motivasi sosio-kultural memainkan peranan penting dalam memberi

perlakuan pada orang yang meninggal di suku Toraja antara lain:

a. Sebagai wadah pemersatu keluarga, artinya melalui ritus rambu

solo’, relasi kekeluargaan disegarkan kembali. Ritual ini menjadi

ajang reuni para kaum kerabat, bahkan dengan semua handai tolan

atau kenalan biasa. Orang bertamu, duduk bercerita massalu nene’

(menelusuri garis keturunan) sambil ma’ panggan (siri-pinang)

sehingga hubungan kekerabatan antara keluarga besar kembali

erat.

b. Sebagai tempat membagi warisan, artinya suatu kebiasaan yang

dilakukan keluarga si mati dalam ritus rambu solo’ adalah ma’

(39)

mendapatkan harta warisan “orang yang meninggal” lewat

mantunu (mengorbankan kerbau dan babi pada saat upacara

kematian si mati. Yang berhak ikut ma’tallang ialah anak kandung

dari orang yang meninggal, kalau orang yang meninggal tersebut

tidak mempunyai anak, maka saudaranya berkewajiban

menyelenggarakan upacara kematian dan berhak atas harta benda

orang yang meninggal dengan jalan ma’tallang.

c. Sebagai tempat menyatakan martabat, artinya dalam setiap ritus

rambu solo’ martabat dan harga diri orang Toraja dinyatakan lewat

ma’tallang. Anak dan keluarga “orang yang meninggal” akan

berlomba mencari kerbau yang nilainya tinggi dalam konteks

budaya Toraja. Sehingga banyaknya kerbau dan babi serta

keberhasilan dan kemeriahan penyelenggaraan ritus rambu solo’

akan meningkatkan martabat keluarga dan menciptakan nilai

budaya tinggi. Di sinilah letak keunikan orang Toraja dalam

menghadapi upacara kematian karena tidak berhitung ekonomis,

tetapi yang ditonjolkan ialah karapasan (kedamaian).

d. Sebagai tempat bergotong royong, artinya salah satu ciri khas

orang Toraja adalah gotong-royong, hal ini terlihat dalam tradisi

sembangan ongan (bantuan keluarga atau kenalan sebagai

ungkapan belasungkawa) yang ditujukan untuk membantu

(40)

kerbau dan babi tidak boleh ditolak oleh keluarga “orang yang

meninggal”. Pada waktu si pemberi sembangan ongan mengalami

kedukaan, barulah bantuan sembangan ongan-nya dikembalikan

yang disebut umbaya’ indan (membayar utang). Utang sembangan

ongan tidak boleh ditagih, walaupun begitu setiap kelurga yang

berhutang akan menggantinya dan membayarnya kembali sesuai

dengan prinsip saling mempercayai dengan penuh tanggung jawab.

e. Sebagai wadah pengembangan seni, artinya dalam ritus rambu

solo’, kesenian orang Toraja dipertunjukkan. Hal ini terlihat pada

balun (kain kafan) berwarna merah dan kuning diukir dengan

corak matahari yang bahannya bergantung pada status sosial

“orang yang meninggal”. Selama upacara berlangsung secara

berganti-ganti ditampilkan berbagai kesenian hingga lagu duka

yang mengungkapkan keberanian, kebaikan hati atau riwayat

hidup “orang yang meninggal”.

f. Sebagai wadah berdonasi; Sebelum hewan kurban disembelih

sebagian disisihkan untuk sumbangan pembangunan, seperti

pendidikan, kesehatan, jalanan, rumah ibadat, pengairan, dan

fasilitas umum lainnya.

2.2.2. Pengertian Pra Pensiun

Masa pensiun adalah saat dimulainya seseorang karyawan tidak

(41)

pensiun (Paidi, 2013). Sedangkan menurut Schwartz (dalam Jahja, 2011)

menyatakan bahwa pensiun dapat merupakan akhir pola hidup baru.

Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan

nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap

individu (Jahja, 2011). Paidi (2013) menambahkan masa pensiun selalu

dianggap sebagai masa yang tidak menyenangkan karena menurunnya

penghasilan dan hilangnya wewenang yang dimilikinya.

Masa pensiun tidak datang secara tiba-tiba, melainkan melalui

suatu proses (Fardila, Rahmi, Putra, 2014). Untuk itu dibutuhkan

persiapan yang dipaparkan lebih lanjut oleh (Fardila, Rahmi, Putra,

2014) yaitu dengan penerimaan, kesiagaan, dan kesediaan individu

terhadap keseluruhan perubahan yang terjadi dimana dirinya tidak lagi

bekerja dan diwujudkan dalam bentuk tingkah laku. Parkinson (1990)

menyatakan bahwa usia pensiun di kebanyakan negara ditetapkan antara

55 dan 65 tahun. Ini bervariasi menurut negara dan tingkat kemajuan

negara bersangkutan. Namun, sebagian besar dari orang-orang ini

kurang siap menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ‘hari-hari

buruk’.

Pada umumnya, usia madya atau usia setengah baya dipandang

sebagai masa usia di antara 40 sampai 60 tahun. Masa ini pada akhirnya

ditandai oleh adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental. Usia

(42)

manusia, biasanya usia tersebut dibagi dalam dua subbagian, yaitu usia

madya dini yang membentang dari usia 40 hingga 50 tahun dan usia

madya lanjut yang terbentang antara usia 50 sampai 60 tahun (Jahja,

2011).

Dengan demikian, masa pra pensiun merupakan masa transisi yang

dialami individu yang berada pada usia madya yang akan mengalami

masa pensiun.

2.2.3. Karakteristik Pra Pensiun

Usia madya atau setengah baya, khususnya usia madya lanjut

berada pada rentang usia 50 sampai 60 tahun. Ada beberapa

karakteristik pada usia setengah baya, yaitu perubahan fisik, kognitif,

psikis, dari segi ekonomi, karir, dan pekerjaan.

Perubahan fisik di usia paruh baya berlangsung secara bertahap.

Perubahan-perubahan fisik yang terjadi dapat mencakup perubahan yang

terlihat jelas dalam penampilan fisik seperti kerutan dan bercak penuaan,

tinggi badan menurun, berat badan meningkat, kekuatan, persendian,

dan tulang; penglihatan dan pendengaran; sistem kardiovaskuler;

paru-paru; dan tidur (Santrock, 2012). Hal ini juga terjadi pada perkembangan

kognitif pada usia paruh baya. Buruknya kesehatan dan sikap-sikap

negatif dapat berkaitan dengan kemunduran daya ingat.

Secara psikis, stres terjadi ketika kemampuan tubuh untuk

(43)

usia pertengahan dan dihubungkan dengan masalah-masalah yang

beragam. Selain itu, kepribadian dan emosi negatif dapat mempengaruhi

kesehatan. Emosi yang positif cenderung dihubungkan dengan

kesehatan yang baik (Papalia, 2014).

Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang kehidupan kerja

dari usia 20 sampai setidaknya 60 tahun, baik orang dewasa yang

berpendidikan tinggi, maupun yang tidak berpendidikan tinggi (Rhodes,

1983; Tamir, 1982; dalam Santrock, 2002). Kepuasan mungkin

meningkat karena semakin kita tua semakin tinggi gaji yang kita

peroleh, kita berada dalam posisi yang lebih tinggi, dan kita memiliki

lebih banyak jaminan kerja (Santrock, 2002).

Pengalaman perubahan karir di paruh kehidupan digambarkan

sebagai titik perubahan di masa dewasa oleh Levinson (dalam Santrock,

2002). Satu aspek dari periode paruh kehidupan melibatkan penyesuaian

harapan yang ideal pada kemungkinan realistik dipandang dari berapa

waktu yang tersisa di sebuah jabatan. Orang tengah baya mungkin

memfokuskan pada berapa banyak waktu yang tersisa sebelum pensiun

dan kecepatan mereka mencapai tujuan pekerjaan mereka (Pines &

(44)

2.3. Strategi Coping pada Polisi suku Toraja yang Menghadapi Masa Pra Pensiun terkait dengan Rambu solo’

Hasil penelitian di Universitas Michigan yang meneliti para pensiunan

menunjukkan bahwa sebanyak 75 persen pekerja yang membuat persiapan

sebelumnya akan menikmati masa pensiunnya dibanding 25 persen lainnya

yang tidak membuat persiapan (Sutarto & Cokro, 2008 dalam Christian dan

Moningka, 2012). (Fardila, Rahmi, Putra, 2014) menambahkan sebagian besar

pegawai negeri sipil yang akan pensiun memiliki kategori dukungan sosial

keluarga yang positif dan memiliki tingkat kesiapan yang tinggi. Penelitian lain

juga mengungkapkan bahwa pegawai negeri sipil yang akan menjelang pensiun

memiliki penilaian yang positif bahwa setelah pensiun mereka tidak kehilangan

segalanya, mereka tetap memperoleh gaji pensiun, tunjangan kesehatan

walaupun tidak sama besaran seperti ketika masih menjadi pegawai negeri sipil

(Christian dan Moningka, 2012). Penyesuaian diri yang baik pada pensiunan

tidak hanya bergantung pada training pra pensiun tetapi juga dibutuhkan

dukungan sosial keluarga (Humaira dan Rahmatan, 2017).

Masa pensiun tidak dapat dihindari oleh individu karena merupakan masa

akhir dari pekerjaannya. Bagi individu yang telah memiliki persiapan dengan

matang akan lebih menerima dan menyambut masa pensiunnya. Adanya gaji

pensiun dan tunjangan kesehatan diperoleh saat pensiun nanti berlaku bagi

(45)

instansi atau perusahaan tempatnya bekerja. Begitu pula yang dialami oleh

polisi yang sedang menghadapi masa pra pensiun di Toraja.

Seorang polisi yang termasuk suku Toraja perlu membuat rencana untuk

menghadapi tuntutan sosial dalam menghadapi masa pensiun di Toraja. Polisi

juga perlu mempersiapkan mental dan menyadari bahwa dirinya akan

kehilangan jabatan serta sumber penghasilan karena sudah tidak bekerja. Ketika

individu merasa kehilangan jabatannya maka akan muncul gejala-gejala

kejiwaan, seperti emosi yang tidak stabil tidak bisa berpikir rasional, dan tidak

bisa menerima kenyataan dalam hidupnya (Tarigan, 2009). Bagi individu yang

tidak memiliki persiapan apapun menghadapi masa pensiunnya, akan merasa

cemas, stres, dan emosi yang tidak stabil, serta tidak dapat berpartisipasi untuk

menyumbang hewan kurban pada upacara rambu solo’. Hal ini akan

menimbulkan rasa malu dan menurunkan gengsi pada diri mereka sehingga

menimbulkan perasaan bersalah dan tidak berdaya.

Upacara rambu solo’ terkesan sebagai upacara yang terpenting dalam

kehidupan masyarakat Toraja. Hal tersebut dapat dipahami karena dalam

pandangan hidup orang Toraja, kematian merupakan titik permulaan kehidupan

baru di “alam yang lain” (Paseru, 2004). Untuk mengadakan upacara ini,

dibutuhkan biaya dengan jumlah yang besar dan waktu yang lama. Biaya yang

besar akan digunakan untuk membeli hewan kurban seperti kerbau dan babi

(46)

Permasalahan yang terjadi pada rambu solo’ memberikan dampak bagi

polisi untuk mengatasi tuntutan sosial tersebut. Untuk itu, diperlukan usaha

dengan strategi coping. Dengan adanya strategi coping, seorang polisi dapat

membuat rencana untuk mengatasi tuntutan sosial yang akan dialaminya

menjelang masa pensiunnya. Di samping itu, tekanan yang dialami oleh seorang

polisi akan bertambah besar jika tidak adanya strategi untuk mengatasi tuntutan

sosial yang akan dialaminya. Hal ini dikarenakan, bagi polisi yang akan

mengalami pensiun, mereka kehilangan sumber penghasilan dan jabatan seperti

sebelum pensiun. Di sisi lain, tuntutan sosial pun tidak dapat terhindarkan

sehingga mereka perlu membuat rencana atau strategi coping agar dapat

mengatasi tuntutan sosial tersebut. Dengan demikian, melalui penelitian ini,

peneliti ingin memberikan gambaran strategi coping pada polisi yang

(47)

Skema:

Masalah

• Tuntutan Sosial Rambu Solo’ Polisi pada masa

pra pensiun

Problem Focus Coping

Active coping Planning

Suppression of competing activities Restraint coping

Seeking social support for instrumental reasons

Seeking social support for emotional reasons

Emotional Focus Coping

Focusing on and venting of emotions Behavioral

disengagement

Mental disengagement Positive

reinterpretation and growth

Denial Acceptance

(48)

31 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan

metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap

berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2009). Sedangkan

menurut Herdiansyah (2012) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah

yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara

alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam

antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Alasan peneliti menggunakan

pendekatan ini karena belum banyak penelitian mengenai topik ini sehingga

kurang tepat data pada situasi sosial tersebut diperoleh dengan pendekatan

kuantitatif.

Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik, yaitu data yang diperoleh

seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen,

catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam

bentuk dan angka-angka (Gunawan, 2013). Dalam penelitian ini, data yang

dihasilkan merupakan hasil wawancara yang akan di olah secara deskriptif

(49)

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan analisis isi terarah.

Menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supratiknya, 2015), pendekatan

analisis isi terarah bertujuan untuk memvalidasi dengan menguji ulang sebuah

kerangka teoretis atau bahkan sebuah teori. Pendekatan ini cocok diterapkan

manakala sudah ada teori atau hasil-hasil penelitian tertentu tentang suatu

fenomena, kemudian divalidasi atau mengujinya kembali dalam konteks baru

atau menggunakan informan yang baru pula. Peneliti ingin dapat menggali lebih

dalam mengenai informasi tentang strategi coping yang digunakan oleh individu

yang akan menghadapi masa pensiun. Di sisi lain, individu juga dihadapkan

oleh tuntutan sosial yaitu upacara pemakaman (Rambu Solo’) dengan biaya

yang besar.

3.2. Informan Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tiga orang informan. Seluruh

informan berada pada usia 55-60 tahun. Pemilihan Informan berdasarkan

kriteria tertentu dan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Kriteria-kriteria yang

dimaksud yaitu:

a. Individu dewasa akhir atau berada pada usia setengah baya yang mengalami

masa pra pensiun.

b. Individu yang berprofesi sebagai polisi suku Toraja yang bekerja sebagai

(50)

3.3. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada strategi coping yang digunakan oleh polisi

dalam menghadapi masa pra pensiun terhadap tuntutan sosial yang ada di

Toraja yaitu membiayai upacara Rambu Solo’. Strategi coping yang digunakan

yaitu segala usaha yang dilakukan oleh polisi, baik dengan cara berpikir atau

melakukan suatu upaya atau tindakan untuk mengatasi tuntutan yang tidak

dapat terelakkan.

3.4. Refleksivitas Peneliti

Saya adalah seorang dengan suku Toraja. Saya memiliki salah satu

anggota keluarga yang berprofesi sebagai polisi yaitu ayah saya sendiri. Ayah

saya memiliki jabatan sebagai kapolsek di salah satu daerah di Toraja dan akan

segera pensiun. Sebagai orang Toraja, saya melihat dan mengalami sendiri

mengenai adat rambu solo’ yang membutuhkan biaya yang besar karena harus

membeli kerbau dan babi sebagai hewan kurban untuk pesta pemakaman

tersebut. Selain sebagai pelaku rambu solo’, keluarga saya terutama ayah saya

juga berkewajiban untuk membawa babi atau kerbau kepada keluarga lain yang

mengadakan pesta rambu solo’ sebagai bentuk balas budi. Adanya balas budi

dianggap sebagai membayar hutang untuk mengganti hewan kurban yang

dibawakan saat keluarga saya melakukan pesta rambu solo’. Kegiatan rambu

solo’ tidak dilakukan oleh keluarga saya saja tetapi oleh seluruh rumpun

(51)

memberatkan. Hal ini memberikan dampak pada ayah saya yang akan segera

memasuki masa pensiun yang berarti berhenti dari pekerjaannya dan

mendapatkan gaji pensiun yang sedikit serta masih menghadapi tuntutan sosial.

Atas dasar alasan personal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana para polisi

mengahadapi masa pra pensiunnya dengan menggunakan strategi coping terkait

rambu solo’.

Dalam penelitian ini, saya menyadari ada beberapa hal yang berkaitan

dengan latar belakang saya dan turut menjadi bahan pertimbangan selama

melakukan penelitian. Latar belakang saya sebagai orang toraja yang telah

mengalami rambu solo’ dan memahami akan budaya yang saya miliki. Selain

itu, adanya keterikatan emosional dengan salah satu informan membuat peneliti

berhati-hati dalam melakukan analisis data. Peneliti berusaha untuk berhati-hati

dalam melakukan interpretasi agar hasil penelitian yang diperoleh bukan

berdasarkan penilaian secara subjektif terhadap para informan.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

melalui wawancara. Menurut Moleong (2005; dalam Herdiansyah, 2014),

wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas

(52)

Proses wawancara akan di rekam dengan menggunakan digital recorder

agar peneliti tidak lupa dan akan mengarsipkannya dalam bentuk verbatim.

Wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara semi terstruktur dengan

menggunakan panduan pertanyaan umum, sesuai dengan pedoman wawancara

pada umumnya. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur agar peneliti

dapat bebas berimprovisasi dalam mengajukan pertanyaan yang sesuai dalam

mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan situasi dan alur alamiah yang

terjadi asalkan tetap pada topik penelitian (Herdiansyah, 2014).

Walaupun menggunakan wawancara semi terstruktur, peneliti membuat

daftar pertanyaan agar tetap berada pada fokus dan alur dari topik penelitian.

Tabel 3.1

Panduan Pertanyaan Wawancara

Pertanyaan Penelitian Tujuan Pertanyaan

Dimana tempat tinggal Informan? Berapa jumlah anak Informan? Berapa jumlah tanggungan keluarga? Berapa lama pensiun lagi?

Adakah usaha yang dimiliki oleh Informan?

Untuk mengetahui latar belakang Informan

Bagaimana sikap Informan terhadap rambu solo’?

Bagaimana cara Informan mengatasi biaya yang dikeluarkan untuk rambu solo’?

Mengetahui

pandangan Informan tentang rambu solo’

Apa yang akan dilakukan Informan ketika pensiun nanti?

Bagaimana cara Informan mengatasi tuntutan sosial untuk membiayai rambu solo’?

(53)

Bagaimana pengaruh rambu solo’ terhadap Informan?

Adakah usaha yang sedang dilakukan dalam menghadapi masa pensiun?

Bagaimana perasaan Informan ketika memasuki masa pensiun?

Mengetahui perasaan dan persiapan untuk pensiun nanti

3.6. Metode Analisis Data

Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga

diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab

(Gunawan, 2013). Data yang diperoleh dari penelitian ini yaitu hasil transkrip

dari wawancara semi terstruktur dan pertanyaan terbuka.

Analisis data kualitatif yang digunakan sesuai dengan langkah-langkah

berikut (Creswell, 2014):

1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis.

2. Membaca keseluruhan data.

3. Menganalisis lebih detail dengan mengcoding data.

4. Terapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,

kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.

5. Tunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali

dalam narasi atau laporan kualitatif.

(54)

3.7. Keabsahan Data 3.7.1. Kredibilitas

Penelitian ini menggunakan kredibilitas penelitian yaitu validitas

kualitatif. Menurut Gibbs (dalam Creswell, 2014), validitas kualitatif

merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan

menerapkan prosedur-prosedur tertentu, Peneliti menerapkan member

checking. Hal ini diterapkan untuk mengetahui akurasi hasil penelitian

dengan membawa kembali deskripsi-deskripsi atau tema-tema kepada

informan. Peneliti melakukan wawancara tindak lanjut dengan para

informan dan memberikan kesempatan pada mereka untuk berkomentar

tentang hasil penelitian. Peneliti mengajak seorang auditor (external

auditor) dalam hal ini dosen pembimbing untuk mereview keseluruhan

proyek penelitian seperti keakuratan transkrip penelitian, hubungan

rumusan masalah dan data, tingkat analisis data mulai dari data mentah

hingga interpretasi. External auditor akan memberikan penilaian

objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian. Selain itu,

peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam

penelitian. Menurut Creswell (2014), dengan melakukan refleksi diri

terhadap kemungkinan bias penelitian, peneliti mampu membuat narasi

yang terbuka dan jujur. Refleksivitas pada penelitian ini dipengaruhi

oleh latar belakang peneliti seperti kebudayaan, sejarah, dan status sosial

(55)

38 BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

4.1. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 4.1.1. Persiapan Penelitian dan Perizinan

Dalam penelitian ini, informan yang dipilih yaitu polisi suku

Toraja yang akan pensiun. Peneliti memilih informan yang berada di

Toraja untuk memudahkan dalam proses pengambilan data dan sesuai

dengan tujuan dari penelitian ini. Peneliti mencari informan yang sesuai

dengan kriteria penelitian, kemudian menghubungi informan. Setelah

itu, peneliti dan informan menentukan waktu dan tempat untuk

melakukan wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti menjelaskan tujuan dari

wawancara kepada informan dan memberikan informed consent atas

kesediaan informan. Peneliti juga meminta izin kepada informan untuk

merekam proses wawancara dengan menggunakan alat perekam berupa

ponsel untuk merekam proses wawancara. Peneliti menggunakan

panduan wawancara yang telah disusun sebelumnya berdasarkan

(56)

4.1.2. Pelaksanaan Penelitian Tabel 4.1

Waktu dan tempat penelitian

No. Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3

Selain menggunakan wawancara, peneliti juga menggunakan

kuesioner tertutup. Kuesioner tertutup digunakan karena pada saat

wawancara pertama yang dilakukan di lapangan, menghasilkan data yang

kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan, peneliti memiliki waktu yang

(57)

tujuan agar para informan dapat secara langsung mengungkapkan

informasi dengan menulis secara langsung.

4.2. INFORMAN PENELITIAN 4.2.1. Data Informan

Tabel 4.2

No. Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3

1. Nama Inisial YP YB MP

2. Usia 52 tahun 56 tahun 56 tahun

3. Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki

4. Pendidikan terakhir SMA STM SMA

5. Jabatan pekerjaan Kapolsek Kapolsek Kapolsek

6. Sisa masa jabatan 5 tahun 2 tahun 2 tahun

4.2.2. Latar Belakang Informan

Berikut ini adalah gambaran dari latar belakang dari polisi yang akan

pensiun.

a. Informan Yacob P. (YP) Tabel 4.3

Latar Belakang Informan 1 (YP)

Usia 52 tahun

Masa Akhir Jabatan 6 tahun

Respon dalam menghadapi masa pensiun

(58)

Tanggungan keluarga 1 orang anak

Jumlah anak 2 orang

YP (52) termasuk dalam kasta Tana’ Bulaan. Saat

melaksanakan upacara rambu solo’ untuk orangtuanya, YP (52)

memotong 16 kerbau dan disesuaikan dengan kemampuan finansial

yang dimilikinya. YP (52) bekerja sebagai polisi dan memiliki

jabatan sebagai kapolsek di salah satu daerah di Toraja. YP (52)

akan menghadapi masa pensiun 6 tahun kemudian. Selain itu, YP

(52) merasa tidak sabar untuk pensiun karena dirinya dapat bebas

dari masa kerja dan dapat pergi ke tempat yang diinginkan. Saat ini,

YP (52) memiliki tanggungan keluarga 1 orang anak. Dengan

memiliki istri dan anak yang bekerja membuat YP (52) merasa

beban yang dimilikinya tidak terlalu berat.YP (52) mengatakan

bahwa pelaksanaan rambu solo’ tidak dilaksanakan oleh keluarga

inti tetapi oleh segenap rumpun keluarga. Pada kegiatan rambu solo’,

akan ada bantuan dari keluarga, baik keluarga yang ada di Toraja

maupun keluarga yang ada di luar kota. Saat ini, beban pikiran yang

(59)

b. Informan Yulius B. (YB) Tabel 4.4

Latar Belakang Informan 2 (YB)

Usia 56 tahun

Masa Akhir Jabatan 2 tahun

Respon dalam menghadapi masa pensiun

Menanti masa pensiun

Tanggungan keluarga 2 orang anak

Jumlah anak 6 Orang

YB (56) memiliki 6 orang anak dan tanggungan keluarga

sejumlah 2 orang anak. YB (56) termasuk kasta Tana’ Bassi. Selain

bekerja sebagai polisi, YB (56) memiliki pekerjaan sampingan yaitu

bertani. Saat ini, YB (56) sedang menanti masa pensiun dan merasa

tenang karena dirinya sudah tidak memiliki beban pikiran lagi. Bagi

YB (56), adat rambu solo’ tidak wajib lagi dilakukan oleh dirinya

karena sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya melarang

untuk mengikuti adat tersebut. YB (56) akan mengikuti kegiatan

rambu solo’ seperti tetap memberikan sumbangan berupa materi saat

orangtuanya dipestakan, tetapi tidak mengikuti rangkaian adatnya.

Selain itu, informan lebih mengutamakan pendidikan anaknya. YB

(56) lebih memilih untuk membiayai pendidikan anaknya

(60)

bagi informan melainkan pendidikan dan masa depan anaknyalah

yang menjadi beban pikirannya.

c. Informan Mathius P. (MP) Tabel 4.5

Latar Belakang Informan 3 (MP)

Usia 56 tahun

Masa Akhir Jabatan 2 tahun Respon dalam menghadapi

masa pensiun

Menerima masa pensiun

Tanggungan keluarga 2 orang anak

Jumlah anak 4 orang

MP (56) memiliki 4 orang anak dan tanggungan keluarga

yang dimiliki saat ini yaitu 2 orang anak. Selain bekerja sebagai

polisi, MP (56) memiliki pekerjaan sampingan yaitu bertani dan

beternak. MP (56) merasa biasa saja dalam menghadapi masa

pensiunnya karena sejak awal dirinya menyadari akan akhir dari

masa pekerjaannya tersebut yang akan kembali ke masyarakat.

Informan mendukung kegiatan rambu solo’. Baginya, kegiatan

rambu solo’ dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan

Gambar

Tabel 4.2 Data Informan ..................................................................................................
Gambar 4.1: Skema Informan 1  .......................................................................................
Tabel 3.1 Panduan Pertanyaan Wawancara
Tabel 4.1
+4

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi, melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, mengajarkan teknik nonfarmakologi (kompres es), memonitoring TTV, memberikan analgetik sesuai resep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah capaian kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah lebih

Sistem drainase di Kota Banyuwangi sudah cukup tersedia pada ruas jalan utama di kota maupun di unit lingkungan permukiman dan juga didukung oleh beberapa

Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Co-op Co-op menggunakan kartu bingo dapat meningkatkan

Kata rahmah berasal dari bahasa arab yang artinya adalah ampunan, rahmat, rezeki dan karunia. Rahmah terbesar tentu berasal dari Allah SWT yang diberikan pada

Kinerja rumah sakit di kelas III ditinjau dari lima dimensi kualitas pelayanan yaitu dimensi keandalan, dimensi ketanggapan, dimensi jaminan, dimensi empati, dan

Teknik membaca dengan mengenal, menjelaskan dan mempertimbangkan gagasan penulis atau disingkat 4M menurut Eanet dan Manzo 1976 dalam Tierney (1990: 289) merupakan metode

Dari hasil analisis di atas dapat diambil kesimpulan yaitu: (1) Sektor penggerak utama dan pendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Selatan adalah