• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti asuhan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti asuhan."

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN

Wuri Diastari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti asuhan.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gaya kelekatan sedangkan variabel tergantungnya adalah konsep diri. Subjek dalam penelitian ini adalah 82 remaja yang tinggal di panti asuhan St. Yusuf Sindanglaya, Bogor, Jawa Barat. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Gaya Kelekatan (α=0,959) dan Skala Konsep Diri (α=0,965). Skala gaya kelekatan disusun berdasarkan aspek gaya kelekatan menurut Armsden dan Greenberg dalam Barrocas (2008). Skala konsep diri disusun berdasarkan dimensi konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1995). Hasil analisis data menunjukkan bahwa gaya kelekatan aman tidak berhubungan dengan konsep diri (r= 0,215; p= 0,052), gaya kelekatan takut-menghindar berhubungan negatif dan termasuk dalam kategori lemah dengan konsep diri (r= -0,309; p= 0,005), gaya kelekatan terpreokupasi berhubungan negatif dengan konsep diri (r= -0,595; p= 0,000), dan gaya kelekatan menolak berhubungan negatif dan dalam kategori lemah dengan konsep diri (r= -0,217; p= 0,05).

(2)

THE CORELATION BETWEEN ATTACHMENT STYLE AND SELF CONCEPT OF TEENAGERS IN ORPHANAGES

Wuri Diastari

Abstract

The aim of this research was to comprehend the relation between attachment style and self concept on teenagers in orphanages. The independent variable was attachment style and the dependent variabel was self concept. The subjects in this research were 82 teenagers in Sindanglaya orphanages, Bogor, Jawa Barat. Attachment Style Scale was arranged based on attachment style aspects by Arsmden and Greenberg on Barrocas (2008). Self Concept Scale was arranged based on dimensions by Calhoun and Acocella (1995). The result showed that the secure attachment style didn’t have significant correlation with the self concept on teenagers (r= 0,215; p= 0,052), fearfull-avoidant attachment style had a negative correlation and low category with the self concept on teenagers (r= 0,309; p= 0,005), preoccupied attachment style had a negative correlation with the self concept (r= -0,595; p= 0,000), dismissing attachment style had a negative correlation and low category with the self concept (r= -0,217; p= 0,05).

(3)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Wuri Diastari NIM : 109114122

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

Never stop walking, never stop learning, never stop

(7)

v

Karya ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus dan Bunda Maria, janji-Mu seperti fajar di pagi hari.

Ayahanda dan Ibundaku tercinta, kasihmu bagai sang surya

menyinari dunia.

Abang Agus Sukarno dan Abang Joko Suwiryono, superhero

terbaik sepanjang masa.

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN

Wuri Diastari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti asuhan.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gaya kelekatan sedangkan variabel tergantungnya adalah konsep diri. Subjek dalam penelitian ini adalah 82 remaja yang tinggal di panti asuhan St. Yusuf Sindanglaya, Bogor, Jawa Barat. Alat ukur yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Gaya Kelekatan (α=0,959) dan Skala Konsep Diri (α=0,965). Skala gaya kelekatan disusun berdasarkan aspek gaya kelekatan menurut Armsden dan Greenberg dalam Barrocas (2008). Skala konsep diri disusun berdasarkan dimensi konsep diri menurut Calhoun dan Acocella (1995). Hasil analisis data menunjukkan bahwa gaya kelekatan aman tidak berhubungan dengan konsep diri (r= 0,215; p= 0,052), gaya kelekatan takutmenghindar berhubungan negatif dan termasuk dalam kategori lemah dengan konsep diri (r= 0,309; p= 0,005), gaya kelekatan terpreokupasi berhubungan negatif dengan konsep diri (r= -0,595; p= 0,000), dan gaya kelekatan menolak berhubungan negatif dan dalam kategori lemah dengan konsep diri (r= -0,217; p= 0,05).

(10)

viii

THE CORELATION BETWEEN ATTACHMENT STYLE AND SELF CONCEPT OF TEENAGERS IN ORPHANAGES

Wuri Diastari

Abstract

The aim of this research was to comprehend the relation between attachment style and self concept on teenagers in orphanages. The independent variable was attachment style and the dependent variabel was self concept. The subjects in this research were 82 teenagers in Sindanglaya orphanages, Bogor, Jawa Barat. Attachment Style Scale was arranged based on attachment style aspects by Arsmden and Greenberg on Barrocas (2008). Self Concept Scale was arranged based on dimensions by Calhoun and Acocella (1995). The result showed that the secure

attachment style didn‟t have significant correlation with the self concept on teenagers (r= 0,215; p= 0,052), fearfull-avoidant attachment style had a negative correlation and low category with the self concept on teenagers (r= -0,309; p= 0,005), preoccupied attachment style had a negative correlation with the self concept (r= -0,595; p= 0,000), dismissing attachment style had a negative correlation and low category with the self concept (r= -0,217; p= 0,05).

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Esa atas berkat yang berlimpah selama

proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi dengan judul “Hubungan antara Gaya Kelekatan dengan Konsep Diri pada Remaja di Panti Asuhan” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari ada banyak pihak yang telah berkontribusi dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma sekaligus dosen pembimbing akademik yang penuh perhatian membimbing saya selama masa studi. 2. Bapak YB. Cahya Widiyanto, Ph.D. selaku Wakil Dekan Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh cinta membimbing saya menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si. dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang dengan rendah hati berdiskusi dengan saya. 6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

(13)

xi

7. Segenap staff Fakultas Psikologi dan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberi banyak bantuan kepada saya selama proses perkuliahan.

8. Kepala dan koordinator Panti Asuhan Pondok Damai, Vincentius Puteri, dan St. Yusuf Sindanglaya yang telah memberi ijin kepada saya untuk melakukan penelitian ini.

9. Teman-teman di panti asuhan yang bersedia membantu saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Jangan pernah berhenti untuk mencintai kehidupan ini, Tuhan memberkati.

10.Sr. Wina yang sudah membantu saya dalam menganalisis data. Terima kasih untuk bantuannya, Suster. Love you as always 

11.Bapak Nardi Winarno dan Ibu Wiji Lestari selaku orang tua yang sudah menjadi sponsor dan tim sukses hidup saya. I love you both.

12.Abang Agus Sukarno selaku abang paling kece di dunia dan juga bagian dari tim sukses hidup saya yang mengenalkan banyak rasa di dunia ini. 13.Abang Joko Suwiryono selaku abang paling tampan di dunia dan juga

bagian dari tim sukses hidup saya yang mengajarkan saya untuk jujur dan bertanggung jawab atas apa yang telah saya raih.

14.Lilian Juanita, Yasinta Nugraheni, Anak Agung Ayu Ratna Paramita yang sudah menjadi sahabat terbaik di bagian ini.

(14)

xii

16.Staff P2TKP: Pak Priyo, Pak Adi, Pak Toni, Pak Tius, Pak Landung, Mbak Thia, Sr. Dewi, Anin, Anju, Ardi, Bella, Bibib, Christy, Ester, Fiona, Grace, Lito, Lukas, Nats, Pudar, Rika, Yovi, Cia-cia, Dimas, Estu, Jejes, Lence, Pipit, Retha, Shashe, Stanis, Tiara, Bayu, Edo, Chopie, Dian, Ivie, Panca, Patrice, Putri. Terima kasih sudah menjadi keluarga yang selalu menghangatkan. Selamat berjuang guys!

17.Geng skripsi: Bibin, Grace, dan Yovi. Terima kasih untuk semangat yang tidak pernah habis. Selamat menikmati kebahagiaan di luar sana, aku sayang kalian.

18.Lilian Juanita dan Cicilia Verina K. terima kasih sudah menjadi teman bertukar pikiran, pinjaman buku, skripsi, dan bantuannya mengolah data, Tuhan memberkati kalian 

19.Adra Abiyuga Yulius selaku teman, sahabat, dan kekasih. Terima kasih untuk ribuan cinta dan bahagia yang kamu ciptakan setiap harinya. Tuhan memberkati kamu, Abiyugaku 

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Terimakasih.

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PIBLIKASI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

(16)

xiv

1. Pengertian Gaya Kelekatan ... 12

2. Figur Kelekatan ... 13

3. Kelekatan pada masa remaja ... 14

4. Aspek-aspek Kelekatan ... 15

5. Faktor yang mempengaruhi Kelekatan ... 17

6. Jenis-jenis Kelekatan ... 20

B. Konsep Diri... 23

1. Pengertian Konsep Diri ... 23

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri ... 25

3. Dimensi-dimensi Konsep Diri ... 28

4. Jenis-jenis Konsep Diri ... 31

C. Remaja ... 34

1. Pengertian Remaja ... 34

2. Batasan usia Remaja ... 36

3. Masa Perkembangan Remaja ... 38

D. Panti Asuhan ... 39

1. Pengertian Panti Asuhan ... 39

2. Fungsi Panti Asuhan ... 40

3. Tugas Pokok Panti Asuhan ... 40

4. Remaja di Panti Asuhan ... 41

E. Hubungan antara Gaya Kelekatan dengan Konsep Diri pada Remaja di Panti Asuhan ... 42

(17)

xv BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49

C. Definisi Operasional ... 49

1. Gaya Kelekatan ... 49

2. Konsep Diri ... 50

D. Subjek Penelitian ... 51

E. Metode Sampling ... 52

F. Instrumen Penelitian ... 52

G. Uji coba Instrumen Penelitian ... 55

H. Validitas dan Reliabilitas ... 56

1. Validitas ... 56

2. Reliabilitas ... 57

3. Analisis dan seleksi item ... 58

I. Metode Analisis Data ... 58

1. Uji Asumsi ... 58

a. Uji normalitas ... 59

b. Uji linearitas ... 59

(18)

xvi BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan penelitian ... 60

B. Analisis Data Penelitian... 61

C. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian ... 66

1. Hasil Uji Coba Skala Gaya Kelekatan ... 66

2. Hasil Uji Coba Skala Konsep Diri ... 69

D. Deskripsi Hasil Penelitian ... 76

E. Analisis Data Penelitian... 78

F. Pembahasan ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 92

B. Keterbatasan penelitian ... 92

C. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Skala Penelitian ... 99 Reliabitas Alat Ukur

1. Gaya Kelekatan ... 111 2. Konsep Diri ... 120 Analisis Data

(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Blueprint Gaya Kelekatan ... 54

Tabel 2.Blueprint Konsep Diri ... 55

Tabel 3.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

Table 4.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 5.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Alasan Subjek Tinggal di Panti Asuhan ... 63

Tabel 6.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Gambaran Kedekatan Subjek dengan Pengasuh ... 64

Tabel 7.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Teman Dekat ... 64

Tabel 8.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lamanya Subjek Tinggal di Panti Asuhan ... 65

Tabel 9.Skala Gaya Kelekatan ... 67

Tabel 10.Distribusi Skala Gaya Kelekatan setelah Uji Coba ... 68

Tabel 11.Skala Konsep Diri ... 69

Tabel 12.Distribusi Skala Konsep Diri setelah Uji Coba ... 71

Tabel 13.Deskripsi Data Penelitian ... 72

Tabel 14.Uji Mean Empirik dan Hipotetik Variabel Gaya Kelekatan Aman ... 74

Tabel 15.Uji Mean Empirik dan Hipotetik Variabel Gaya Kelekatan Terpreokupasi ... 75

Tabel 16.Uji Mean Empirik dan Hipotetik Variabel Menolak ... 76

Tabel 17.Uji Mean Empirik dan Hipotetik Variabel Konsep Diri ... 77

(21)

xix

Tabel 19.Uji Normalitas ... 79 Tabel 20.Uji Linearitas... 80 Tabel 21.Hasil Uji Hipotesis Variabel Gaya Kelekatan Aman dengan

Konsep Diri ... 81 Tabel 22.Hasil Uji Hipotesis Variabel Gaya Kelekatan takut-menghindar

dengan Konsep Diri... 83 Tabel 23.Hasil Uji Hipotesis Variabel Gaya Kelekatan Terpreokupasi

dengan Konsep Diri... 84 Tabel 24.Hasil Uji Hipotesis Variabel Gaya Kelekatan Menolak dengan

(22)

xx

DAFTAR GAMBAR

(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan seseorang dalam menghadapi tantangan dan tekanan kehidupan dipengaruhi oleh evaluasi tentang dirinya dan akan menjadi apa ia di masa yang akan datang. Kedua hal tersebut ditentukan oleh pengalaman individu dengan lingkungannya. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama seorang anak untuk mengevaluasi diri.

Secara umum definisi dari keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Idealnya keluarga tinggal bersama dalam satu rumah. Badan Pusat Statistik (2013) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang. Kemudian dengan alasan kemiskinan beberapa keluarga memutuskan anaknya untuk tinggal di panti asuhan. Hal tersebut menyebabkan keluarga menjadi tidak ideal lagi karena harus hidup terpisah dari keluarganya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa ada 90% anak-anak ditempatkan di Panti Asuhan dengan alasan kemiskinan. Sedangkan alasan lainnya adalah anak yang bersangkutan sudah menjadi yatim piatu.

(24)

tersebut dilihat dari rasio perbandingan antara pengasuh dan anak yang diasuh tidak seimbang. Selain itu, kualitas pengasuh di panti asuhan tidak sesuai dengan standar.

Merdeka.com pada tanggal 26 februari 2016 menyatakan bahwa ada 30 anak penghuni panti asuhan Samuel (Yayasan Kasih Sayang Bunda) yang diduga mengalami tindak kekerasan dan penganiayaan. Panti asuhan tersebut terletak di Tangerang. Anak-anak panti asuhan tersebut kerap mendapat pukulan. Tindak kekerasan dan penganiayaan tersebut dilakukan oleh C (tersangka) dan Y (tersangka) yang biasanya dipanggil ayah dan bunda. Namun, anak-anak panti asuhan tersebut menganggap bahwa pukulan tersebut adalah bahan bercandaan tetapi ada beberapa anak yang mengalami trauma ketika melihat ayahnya (Samuel) di televisi kemudian mereka menjadi takut dan ada juga anak-anak yang ingin memukul televisi ketika melihat ayahnya (Samuel) di televisi. Hal tersebut membuktikan bahwa ada panti asuhan yang memiliki kualitas pengasuh yang tidak sesuai dengan standar.

(25)

keluarga pengganti. Oleh karena itu, alternatif terakhir adalah pengasuhan berbasis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Pelayanan tersebut berperan sebagai pengganti orang tua. Hal ini berarti bahwa lembaga tersebut bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak anak.

Hak anak yang dimaksud adalah anak mendapat perhatian dalam hal perkembangan secara psikologis maupun fisik. Anak akan mendapatkan perhatian melalui pengasuhnya. Oleh karena itu, idealnya seorang pengasuh mengasuh lima orang anak (Peraturan Menteri Sosial, 2011).

Kasus yang diberitakan oleh Tempo.co pada tanggal 3 maret 2014 menyatakan bahwa ada salah satu panti asuhan yang menyediakan satu orang pengasuh untuk mengasuh 28 orang anak. Dalam panti asuhan tersebut, tugas pengasuh adalah memasak makanan untuk anak-anak panti asuhan. Sedangkan anak-anak panti asuhan yang berusia remaja mendapat tugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, misalnya mencuci piring, mencuci baju, dan mengurus bayi. Hal ini membuktikan bahwa ada panti asuhan yang tidak memenuhi standar kualitas pengasuh.

(26)

menyediakan supervisi dari pekerja sosial atau Dinas Sosial untuk pengasuh yang bekerja di lembaga tersebut. Lembaga juga harus mempertimbangkan gender pengasuh dan anak yang akan diasuhnya serta kebutuhan anak berdasarkan usia dan tahap perkembangannya (Peraturan Menteri Sosial, 2011). Dengan demikian, pengasuh membantu remaja untuk mengembangkan psikologis yang baik salah satunya adalah konsep diri.

Konsep diri sangat penting bagi seseorang karena jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka akan terbentuk penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri. Penghargaan yang tinggi terhadap diri akan membantu seseorang mencapai sebuah keberhasilan. Namun, seseorang yang memiliki konsep diri yang negatif maka akan terbentuk penghargaan yang rendah terhadap diri sendiri. Hal tersebut akan membuat seseorang tidak dapat mencapai sebuah keberhasilan (Susana dkk, 2006).

(27)

Salah satu faktor pembentuk konsep diri pada individu adalah lingkungan keluarga terutama orang tua. Jika orang tua tidak berada disamping remaja maka remaja cenderung lebih agresif, menarik diri, kurang terampil secara sosial dan kognitif dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Namun, ada juga beberapa remaja yang menunjukkan interaksi sosial yang rendah dan perilaku yang mengganggu (Psikologi Perkembangan, 2012). Oleh karena itu, remaja membutuhkan pendampingan dari orang tua agar bisa mengembangkan konsep diri yang positif.

Bagi anak yang tinggal di panti asuhan, mereka tidak hidup dengan orang tua melainkan pengasuh. Oleh karena itu, pengasuh merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan konsep diri karena pengasuh yang menggantikan peran orang tua. Menurut Calhoun dan Acocella (1995) salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah orang tua karena orang tua merupakan kontak sosial pertama dan paling kuat yang dialami oleh seseorang. Copersmith dalam Manik (2007) menyatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak memiliki konsep diri yang negatif.

(28)

Hurlock (dalam Mahayati, 2014) menyatakan bahwa terdapat dampak negatif dari anak-anak yang tinggal di panti asuhan terhadap perkembangan kepribadiannya. Hal tersebut dikarenakan anak-anak yang tinggal di panti asuhan tidak dapat menemukan lingkungan pengganti keluarga yang benar-benar menggantikan fungsi keluarga. Oleh karena itu, anak-anak panti asuhan cenderung inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Sehingga mereka akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain, di samping itu mereka menunjukkan perilaku yang negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendiri, cenderung menunjukkan rasa bermusuhan, dan cenderung egosentrisme.

Kelekatan merupakan salah satu komponen dalam hubungan antara orang tua dan anak. Berlandaskan teori Bowbly, Bartholomew dalam Baron dan Bryne (2005) menyatakan bahwa jenis gaya kelekatan terbagi menjadi empat. Pertama, gaya kelekatan aman (secure attachment style). Kedua, gaya kelekatan takut-menghindar (fearfull-avoidant attachment

style). Ketiga, gaya kelekatan terpreokupasi (preoccupied attachment style) dan yang terakhir adalah gaya kelekatan menolak (dismissing attachment style).

(29)

yang bersahabat, dipercaya, responsif, dan penuh kasih sayang. Sedangkan seseorang yang memiliki kelekatan menghidar akan menghasilkan konsep diri yang negatif. Seseorang dengan kelekatan menghindar memiliki karakteristik sebagai orang yang skeptis, curiga, dan memandang orang sebagai orang yang kurang memiliki pendirian. Selain itu, ia memiliki model mental sosial sebagai orang yang merasa tidak percaya pada kesediaan orang lain, tidak nyaman pada keintiman, dan ada rasa takut untuk ditinggal. Kemudian seseorang yang memiliki kelekatan cemas juga memiliki konsep diri yang negatif. Hal tersebut ditandai dengan karakteristik sosial sebagai orang yang kurang pengertian, kurang percaya diri, merasa kurang berharga, memandang orang lain mempunyai komitmen rendah dalam hubungan interpersonal, kurang asertif, merasa tidak dicintai orang lain, dan kurang bersedia untuk menolong.

Masa remaja berada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena

(30)

(2007) menyatakan bahwa ketika seseorang berhasil menyelesaikan krisis yang dihadapinya maka akan semakin sehat perkembangan psikologisnya.

Tahap kelima merupakan tahap yang paling penting dalam perkembangan menurut Erikson. Tahap ini merupakan puncak dari semua tahapan karena seseorang akan membuat pondasi untuk mengarungi bahtera hidupnya. Pada tahap ini remaja akan dihadapkan pada penemuan diri, tentang siapa diri mereka yang sebenarnya, dan kemana mereka akan melangkah dalam hidup ini. Hal tersebut biasanya disebut dengan identitas diri.

(31)

Bagi anak-anak yang tinggal di panti asuhan peran pengasuh menjadi sangat penting karena pengasuh menggantikan peran orang tua yang akan membantu mengarahkan peran-peran baru kepada remaja. Hal tersebut dimaksudkan agar anak-anak di panti asuhan memiliki konsep diri yang positif. Maka dari itu, anak-anak di panti asuhan juga membutuhkan kelekatan dengan pengasuhnya.

(32)

Penelitian yang akan dilakukan ini juga mengenai gaya kelekatan dan konsep diri. Namun, perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah subjek penelitian. Kriteria subjek penelitian ini adalah remaja yang masih memiliki orang tua namun tinggal di panti asuhan. Adanya figur lekat yang tidak tunggal, yaitu orang tua dan pengasuh panti maka peneliti ingin melihat bagaimana kelekatan yang terjadi antara remaja yang tinggal di panti asuhan dengan pengasuhnya serta danya perbedaan hasil-hasil penelitian tentang konsep diri dengan kelekatan maka hal tersebut yang mendorong peneliti untuk melakukan studi tentang hubungan antara gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti asuhan.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah hubungan antara

gaya kelekatan dengan konsep diri pada remaja di panti asuhan?”

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan dan konsep diri pada remaja di panti asuhan.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

(33)

2. Manfaat Praktis

a. Pengasuh Panti Asuhan

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pengasuh yang mengasuh anak dengan usia remaja tentang pentingnya mengembangkan hubungan gaya kelekatan dengan anak remajanya sehingga remaja memiliki konsep diri yang positif. Selain itu, skala dalam penelitian ini juga dapat membantu pengasuh untuk melakukan penilaian (assessment) bagi anak yang bermasalah.

b. Pengelola Panti Asuhan

Skala dalam penelitian ini juga dapat membantu pengelola untuk mengetahui ketepatan pola asuh yang dilakukan oleh pengasuh.

c. Remaja Panti Asuhan

(34)

12

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Gaya Kelekatan

1. Pengertian Gaya Kelekatan

Manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia membutuhkan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Hal tersebut menyebabkan manusia terus berusaha untuk membuat ikatan dengan orang lain dan kelekatan merupakan salah satu caranya.

Bowlby (dalam Laumi dan Adiyanti, 2012) menyatakan bahwa kelekatan merupakan ikatan afeksi yang akan terus berlanjut antara seorang individu dengan figur penting dalam kehidupannya. Selain itu, Santrock (2002) juga mendefinisikan kelekatan sebagai suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya.Kelekatan adalah suatu hubungan emosional antara satu individu dengan individu lainnya yang memiliki arti khusus, dalam hal ini biasanya ditujukan kepada ibu atau pengasuhnya.Hubungan tersebut dapat bertahan cukup lama, terdapat hubungan timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak (Ainsworth dalam Bayani dan Sarwasih, 2013).

(35)

mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu mungkin saja akan timbul prediksi bahwa individu tersebut akan memiliki ketergantungan dengan orang-orang tertentu tersebut. Namun, kelekatan tidak sama dengan ketergantungan. Ketergantungan merupakan kecenderungan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas dari identitas orang tersebut.Ketergantungan timbul karena rasa takut, khawatir, dan gelisah.Pada kelekatan, anak mencari dan mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu saja.Kelekatan muncul karena anak merasa dipenuhi kebutuhannya baik secara fisik maupun psikis.

Definisi kelekatan dalam penelitian ini adalah suatu hubungan emosional antara satu individu dengan individu lain yang memiliki arti khusus, biasanya ditujukan kepada ibu atau pengasuhnya. Hubungan tersebut dapat bertahan cukup lama, terdapat hubungan timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

2. Figur Kelekatan

Bowlby (dalam Ervika, 2005) menyatakan bahwa ada dua macam figur lekat, yaitu:

(36)

b. Figur lekat pengganti, yaitu individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik.

3. Kelekatan pada Masa Remaja

(37)

Doherty dan Beaton (dalam Laumi, 2012) memandang penting untuk melihat relasi antara ibu dengan anak dan ayah dengan anak secara terpisah karena masing-masing relasi memiliki kualitas yang berbeda sehingga berdampak pada perkembangan anak selanjutnya. Leaper (2000) melakukan penelitian observasi terhadap interaksi antara orang tua dengan anak saat bermain. Dalam penelitiannya, Leaper menyatakan bahwa adanya perbedaan interaksi antara ibu dengan anak dan ayah dengan anak. Hal tersebut membuktikan bahwa setiap orang tua memberikan kontribusi yang berbeda terhadap perkembangan anak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kelekatan masa remaja bukan lagi tentang kedekatan fisik melainkan kedekatan secara emosional.

4. Aspek-aspek Kelekatan

Armsden dan Greenberg dalam Barrocas (2008) menyatakan bahwa kelekatan terdiri dari tiga aspek, yaitu:

a. Kepercayaan

(38)

membangun rasa percaya dalam suatu hubungan dengan belajar bahwa orang lain selalu ada untuknya.

b. Komunikasi

Komunikasi merupakan cara individu untuk berhubungan dengan individu lain. Hal tersebut dapat terjadi diantara ibu atau pengasuh dan anak. Segrin dan Flora dalam Barrocas (2008) menyatakan bahwa komunikasi timbal balik yang terjadi secara harmonis akan membantu ikatan emosional yang kuat antara ibu atau pengasuh dan anak. Individu pada masa remaja akan mencari kedekatan dan kenyamanan dalam bentuk nasihat ketika individu merasa membutuhkannya. Hal tersebut membuat komunikasi menjadi sangat penting antara pengasuh dan anak pada masa remaja.

c. Alienasi

(39)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelekatan terdiri dari tiga aspek, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan alienasi. Kepercayaan adalah perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhannya. Komunikasi merupakan cara individu untuk berhubungan dengan individu lain, biasanya terjadi antara ibu atau pengasuhnya dan anak. Sedangkan alienasi adalah perasaan tertolak dan tidak diharapkan karena adanya pengabaian yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelekatan

Bowlby (dalam Mayasari, 2008) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya kelekatan, yaitu:

a. Kondisi anak

Anak akan membutuhkan adanya kontak fisik ketika anak berada pada keadaan yang tidak menyenangkan, misalnya sakit. Hal tersebut akan membuat perilaku lekat menjadi muncul. Perilaku lekat yang muncul biasanya menangis. Oleh karena itu, anak akan melakukan kontak fisik dengan figur lekatnya.

b. Kondisi lingkungan

(40)

Stimulus yang bentuknya besar, misalnya suara keras atau stimulus yang datang dengan tiba-tiba dan berubah dengan cepat.Sedangkan obyek-obyek asing yang muncul dalam konteks yang tidak diharapkan, misalnya anak berada dalam tempat yang asing bersama dengan orang-orang asing.

c. Tingkah laku dan kedudukan ibu

Tingkah laku yang ibu lakukan akan mempengaruhi kelekatan antara anak dengan ibu, misalnya ibu tidak menolak bila anak mendekat atau duduk di pangkuannya. Hal tersebut akan membuat kelekatan yang aman antara ibu dengan anak. Selain itu, kedudukan ibu yang tidak mengancam, misalnya ibu selalu berada dalam pandangan dan jangkauan anak juga mempengaruhi kelekatan antara ibu dengan anak.

Pikunas (dalam Ervika, 2005) menyatakan bahwa ada dua kondisi yang dapat menimbulkan kelekatan, yaitu:

a. Pengasuh anak

(41)

b. Komposisi keluarga

Anak memiliki kemungkinan untuk memilih salah seorang anggota keluarganya untuk dijadikan figur lekat. Figur lekat yang dipilih biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi kebutuhannya. Ibu biasanya menduduki peringkat pertama figur lekat utama pada anak.

(42)

6. Jenis Gaya Kelekatan

Bowlby dalam Baron dan Bryne (2005) menekankan pada dua sikap dasar dalam kelekatan, yaitu diri (self) dan orang lain. Perilaku interpersonal setiap individu dipengaruhi oleh positif atau negatifnya individu mengevaluasi dirinya. Selain itu, orang lain juga akan menilai perilaku interpersonal individu tersebut positif atau negatif.

Berlandaskan teori Bowlby, Bartholomew (dalam Baron dan Bryne, 2005) mengusulkan bahwa kedua sikap dasar tersebut harus dipertimbangkan secara bersamaan. Oleh karena itu, Bartholomew membagi gaya kelekatan menjadi empat, yaitu gaya kelekatan aman (secure attachment style), gaya kelekatan takut-menghindar

(fearfull-avoidant attachment style), gaya kelekatan terpreokupasi (preoccupied attachment style), dan gaya kelekatan menolak (dismissing attachment style).

a. Gaya kelekatan aman

(43)

mengharapkan hasil yang positif dari konflik (Mikulincer dalam Baron dan Bryne, 2005). Menurut Shaver dan Brennan dalam Baron dan Bryne (2005), individu dengan kelekatan aman mampu membentuk hubungan dengan orang lain dalam jangka waktu yang lama, memiliki komitmen yang tinggi, dan memuaskan dalam hubungannya dengan orang lain. Individu dnegan gaya kelekatan ini memiliki alienasi dalam kategori yang rendah karena individu jarang mengalami penolakan.

b. Gaya kelekatan takut-menghindar

(44)

c. Gaya kelekatan terpreokupasi

Individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi dalam aspek kepercayaan biasanya individu akan cenderung mengkombinasikan antara pandangan yang negatif tentang dirinya (self) dengan harapan yang positif bahwa orang lain akan mencintai dan menerimanya. Individu dengan kelekatan ini cenderung mengalami alienasi. Akibatnya, individu akan mencari kedekatan yang berlebihan dengan orang lain tetapi ia juga mengalami kecemasan dan rasa malu karena mereka merasa tidak pantas menerima cinta dari orang lain (Lopez dkk dalam Baron dan Bryne, 2005). Individu dengan gaya kelekatan ini dalam aspek komunikasi akan cenderung depresi ketika hubungannya dengan orang lain sedang buruk. Hal tersebut dikarenakan kebutuhannya untuk dicintai dan diakui ditambah dengan adanya self-criticism.

d. Gaya kelekatan menolak

(45)

tersebut tidak ramah dan keterampilan sosialnya terbatas (Baron dan Bryne, 2005). Dalam aspek komunikasi individu dengan gaya kelekatan ini akan cenderung menghindari interaksi langsung dan lebih memilih kontak impersonal melalui catatan atau e-mail (Daniels dan Bryne dalam Baron dan Bryne, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bartholomew membagi gaya kelekatan menjadi empat berdasarkan dua sikap dasar yang diungkapkan oleh Bowlby. Empat gaya kelekatan tersebut adalah gaya kelekatan aman (secure attachment

style), gaya kelekatan takut-menghindar (fearfull-avoidant

attachment style), gaya kelekatan terpreokupasi (preoccupied attachment style), dan gaya kelekatan menolak (dismissing attachment style).

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

(46)

diri merupakan hasil belajar individu melalui hubungan individu tersebut dengan orang lain.

Burns dalam Respati dkk (2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah pandangan keseluruhan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan terdiri dari kepercayaan, evaluasi, dan kecenderungan berperilaku.Chaplin (dalam Respati dkk, 2006) juga mendefinisikan konsep diri yang selaras dengan Burns, yaitu evaluasi mengenai diri sendiri.Hal tersebut berarti bahwa individu memberikan penilaian mengenai dirinya sendiri. Sedangkan Brehm & Kassin (1996) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan keyakinan tentang diri sendiri dan atribut-atribut personal yang dimiliki. Atribut-atribut yang dimaksud adalah sifat, karakter, kelemahan, dan kelebihan yang dimiliki.

Konsep diri bersifat tidak kaku. Konsep diri dapat berubah melalui apa yang individu alami, apa yang individu dengar, apa yang individu lihat, apa yang individu rasakan, dan apa yang individu lakukan. Hal tersebut adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perubahan konsep diri.

(47)

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri a. Eksternal

Seorang sosiolog bernama Charles Horton Cooley (dalam

Calhoun dan Acocella, 1995) memperkenalkan pengertian “diri yang tampak seperti cermin”. Menurut Cooley, individu menggunakan orang lain sebagai cermin untuk menunjukkan siapa dirinya. Melalui pandangan orang lain, individu dapat mengetahui gambaran tentang dirinya. Pada akhirnya individu mulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan, dan dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri. Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan “orang lain” yaitu:

1. Orang tua

(48)

(Coopersmith dalam Calhoun dan Acocella, 1995). Pada akhirnya semua perlakuan orang tua kepada anaknya yang akan membentuk konsep diri anak tersebut.

2. Kawan sebaya

Kawan sebaya merupakan faktor penting kedua yang mempengaruhi konsep diri. Selain cinta dari orang tuanya, anak juga membutuhkan penerimaan dari teman-teman di kelompoknya. Jika anak tidak mendapatkan cinta dari orang tuanya dan penerimaan dari teman-temannya maka konsep dirinya akan terganggu. Selain itu, peran anak dalam kelompoknya juga memiliki pengaruh dalam pandangan tentang dirinya. Peran yang dimaksud adalah anak menjadi pemimpin kelompok, pengacau kelompok, badut kelompok, atau menjadi

“pahlawan kesiangan” dalam kelompok. Peran tersebut bersama

dengan penilaian terhadap dirinya akan dibawa anak hingga masa dewasa dalam hubungan sosialnya.

3. Masyarakat

(49)

b. Internal

Coopersmith (dalam Susana dkk, 2006) menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan konsep diri individu, yaitu:

1. Kemampuan

Setiap individu pasti memiliki kemampuan. Ketika individu memiliki peluang untuk melakukan sesuatu maka ia akan berusaha menyelesaikannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap individu mampu melakukan segala sesuatu menurut kemampuannya.

2. Perasaan berarti

Perasaan berarti akan membentuk sikap yang positif sehingga individu dapat menghargai setiap aktivitas sekecil dan sesederhana apapun. Ketika individu tidak memiliki perasaan berarti maka ia akan membentuk sikap yang negatif. Hal tersebut akan menimbulkan perasaan hampa pada diri individu tersebut sehingga ia tidak dapat menghargai semua yang ia dapatkan atau miliki.

3. Kebajikan

(50)

karena itu, individu akan melakukan kebajikan bagi lingkungannya.

4. Kekuatan

Pola perilaku berkarakteristik positif akan memberi kekuatan bagi individu untuk melakukan perbuatan yang baik. Dengan kekuatan diri, individu dapat menghalau upaya yang negatif. Oleh karena itu, individu tidak akan melakukan hal-hal yang buruk, misalnya berbohong.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor dari konsep diri adalah eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari orang tua, kawan sebaya, dan masyarakat. Sedangkan faktor internal terdiri dari kemampuan, perasaan berarti, kebajikan, dan kekuatan. Dalam kehidupannya, seorang individu lebih dulu hidup dengan orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua yang memiliki peranan penting dalam pembentukan konsep diri.

3. Dimensi Konsep Diri

(51)

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan apa yang diketahui individu tentang dirinya. Hal ini mengenai kuantitas dirinya, misalnya usia, jenis kelamin, kebangsaan, dan pekerjaan. Selain itu, pengetahuan tentang kualitas diri, misalnya individu yang egois dan baik hati. Individu dapat memperolah pengetahuan tentang dirinya dengan cara membandingkan diri individu dengan orang lain. Pengetahuan yang dimiliki individu tidak menetap sepanjang hidupnya. Pengetahuannya bisa saja berubah dengan cara mengubah tingkah laku individu tersebut.

b. Harapan

(52)

c. Penilaian

Dimensi yang terakhir adalah penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat terjadi terhadap dirinya dan apa yang terjadi pada dirinya.

Penilaian ini mengukur apakah individu bertentangan dengan “saya dapat menjadi apa” atau dengan kata lain harapan individu bagi dirinya sendiri dan “saya seharusnya menjadi apa” atau dengan

kata lain standar individu bagi dirinya sendiri (Epstein dalam Calhoun dan Acocella, 1995).

Kalimat “saya dapat menjadi apa” menggambarkan keadaan diri kita yang sebenarnya atau biasanya disebut dengan

real self sedangkan kalimat “saya seharusnya menjadi apa”

menggambarkan kemampuan diri individu dengan melihat keadaan diri atau biasanya disebut dengan ideal self. Ketika individu memiliki jarak yang terlalu antara real self dan ideal self maka akan menimbulkan rasa tidak nyaman dalam dirinya (Susana dkk, 2006).

(53)

memperoleh pengetahuan dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Harapan adalah apa yang individu inginkan untuk dirinya di masa yang akan datang. Sedangkan penilaian adalah pengukuran yang dilakukan individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut dirinya dapat terjadi dan apa yang terjadi pada dirinya.

4. Jenis-jenis Konsep Diri

Calhoun dan Acocella (1995) menyatakan bahwa konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

a. Konsep diri positif

(54)

Montana dalam Respati (2006) memberikan ciri-ciri tingkah laku individu yang memiliki konsep diri positif, yaitu: bercita-cita menjadi pemimpin (menginginkan kepemimpinan), mau menerima kritikan yang bersifat membangun, mau mengambil resiko lebih sering, bersifat mandiri terhadap orang lain. Selain itu, individu tersebut juga yakin bahwa keberhasilan dan kegagalan tergantung pada usaha, tindakan, dan kemampuan seseorang. Individu dengan konsep diri positif juga bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya, percaya bahwa ia memiliki kontrol dan pengaruh terhadap peristiwa atau kejadian dalam kehidupannya, menerima tanggung jawab atas tindakannya sendiri, sabar menghadapi kegagalan dan frustasi serta tahu cara menangani kegagalan secara positif.

(55)

b. Konsep diri negatif

Menurut Calhoun dan Acocella (1995) ada dua tipe konsep diri negatif, yaitu:

1. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur. Individu tersebut tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya, atau apa yang dihargai dalam hidupnya.

2. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur, dengan kata lain adalah kaku. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum dalam pikirannya dan hal tersebut merupakan cara hidup yang tepat.

(56)

berbuat apa saja untuk menyenangkan orang lain dan mengabaikan keadaan dirinya sehingga mudah frustasi dan pada akhirnya menyalahkan orang lain atas kekurangannya. Selain itu, individu tersebut akan menghindar dari keadaan-keadaan sulit untuk menghindari kegagalan dan memilih untuk bergantung pada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki konsep diri negatif terdiri dari dua tipe, yaitu individu yang benar-benar tidak tahu siapa dirinya dan individu yang kaku. Individu yang benar-benar tidak tahu siapa dirinya, ia tidak tahu kelebihan dan kelemahan dirinya. Sedangkan individu yang kaku tidak mengizinkan adanya penyimpangan dalam hidupnya, ia harus hidup dengan tepat dan mematuhi aturan yang ada dalam hidupnya.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

(57)

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa ini, remaja mulai mengalami perubahan secara fisik dan psikis. Remaja akan melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa. Selain itu, remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa (Clarke-Stewart dan Friedman dalam Agustiani, 2009).

Csikszentimihalyi dan Larson dalam Sarwono (2013) menyatakan

bahwa remaja adalah “restrukturisasi kesadaran”. Masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari tahap-tahap sebelumnya. Csikszentimihalyi dan Larson menyatakan bahwa puncak perkembangan jiwa ditandai dengan adanya proses perubahan kondisi

entropy ke kondisi negentropy. Entropy adalah keadaan dimana

(58)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa topan dan badai. Hal tersebut disebabkan karena pada masa ini akan penuh gejolak akibat pertentangan dengan nilai-nilai dalam kehidupannya.

2. Batasan Usia Remaja

Indonesia menetapkan usia remaja dengan rentangan antara 11 – 24 tahun dan belum menikah. Hal tersebut dinyatakan dengan empat pertimbangan, yaitu (Sarwono, 2013):

a. Usia 11 tahun adalah usia yang pada umumnya individu memunculkan tanda-tanda seksual sekunder.

b. Pada usia 11 tahun, individu mulai memunculkan tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri menurut Erikson, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual menurut Freud, dan tercapainya puncak perkembangan kognitif menurut Piaget serta tercapainya perkembangan moral menurut Kohlberg.

c. Batas usia maksimal remaja adalah 24 tahun. Hal tersebut dikarenakan usia tersebut merupakan usia yang cukup matang agar individu tidak lagi bergantung dengan orang tuanya.

(59)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa batasan usia remaja di Indonesia adalah 11 – 24 tahun dan individu yang belum menikah. Hal tersebut dikarenakan individu sudah memunculkan tanda-tanda seksual sekunder, individu sudah memunculkan tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, pada usia tersebut merupakan usia yang cukup matang agar individu tidak lagi bergantung dengan orang tuanya, dan alasan yang terakhir adalah individu sudah diperlakukan sebagai orang dewasa ketika memutuskan untuk menikah.

3. Masa Perkembangan Remaja a. Perkembangan fisik

(60)

b. Perkembangan kognitif

Piaget (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa remaja memasuki tahap operasional formal, yaitu berpikir abstrak, idealistic, dan logis. Pada fase ini, remaja mampu menciptakan hipotesis sehingga remaja mulai menggunakan kemampuan logisnya. Namun, Elkind (dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa remaja memiliki ketidakmatangan dalam berpikir. Ketidakmatangan tersebut, yaitu idealis dan mengkritik orang lain, selalu berusaha menunjukkan kemampuan bernalar yang dimiliki, ragu-ragu dalam menentukan sesuatu, kurang menyadari perbedaan dalam mengekspresikan sesuatu yang ideal, menganggap orang lain memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya, dan menganggap dirinya sebagai pribadi yang unik dan istimewa. c. Perkembangan sosioemosional

(61)

Remaja dituntut untuk menjadi individu dewasa yang unik dan mampu memahami peran nilai dalam masyarakat. Identitas diri akan terbentuk dengan cara mengelaborasi kemampuan, kebutuhan, ketertarikan, dan hasrat yang dimiliki sehingga dapat diekspresikan melalui konteks sosial.

D. Panti Asuhan

1. Pengertian Panti Asuhan

Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia dalam Pattimahu (2005), panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar. Selain itu, panti asuhan juga memberikan pelayanan sebagai pengganti atau perwalian anak dengan memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial pada anak yang diasuh. Sandrianny dalam Pattimahu (2005) menyatakan bahwa panti asuhan adalah suatu lembaga untuk mengasuh anak, menjaga, dan memberikan bimbingan kepada anak dengan tujuan agar anak menjadi individu yang berguna serta bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan masyarakat dikemudian hari.

(62)

tersebut dimaksudkan agar anak dapat bertanggung atas dirinya sendiri.

2. Fungsi Panti Asuhan

Dalam pasal 3 dalam Keputusan Menteri Sosial RI. 3.3.8/239 Tahun 1974, yaitu:

a. Panti sosial berfungsi sebagai sarana dan prasarana pembinaan kegiatan sosial berdaya guna, efektif, dan efisien serta bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun masyarakat pada umumnya

b. Panti sosial juga merupakan kegiatan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang memerlukan

Kesimpulan dari uraian di atas adalah panti asuhan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai sarana dan prasarana untuk individu yang membutuhkan.Sarana dan prasarana tersebut dimaksudkan untuk mendukung perkembangan pribadi anak agar mampu hidup terlibat dalam masyarakat.

3. Tugas Pokok Panti Asuhan

Dijelaskan dalam pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri Sosial RI. No HUK 3.3.8/239 Tahun 1974, yaitu:

a. Mempersiapkan individu menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawab dan berdaya guna dalam masyarakat

(63)

c. Menghindari adanya jurang pemisah dalam hubungan pergaulan dengan masyarakat

d. Menciptakan suasana yang baik antara anak dan pengasuhnya sehingga tercipta suasana kekeluargaan

e. Mengusahakan penyaluran dan penempatan individu yang tinggal di panti sosial ke berbagai lapangan kerja sesuai dengan kemampuan dan keahliannya

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa panti asuhan memiliki tugas untuk menjadikan individu sebagai pribadi yang sadar akan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi sosial, menghindari adanya jurang pemisah antara individu yang ditinggal di panti asuhan dan masyarakat, menciptakan suasana yang baik antara anak dan pengasuhnya, dan menempatkan individu ke berbagai lapangan kerja sesuai dengan kemampuannya.

4. Remaja di Panti Asuhan

(64)

bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan masyarakat dikemudian hari.

Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja di panti asuhan adalah individu yang mengalami gejolak dalam kehidupannya dan ia tinggal di suatu lembaga untuk diasuh, dijaga, dan mendapat bimbingan agar dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri, orang lain, dan masyarakat. Selain itu, individu tersebut juga dibimbing agar berguna bagi orang lain. Dalam penelitian ini, remaja yang dimaksudkan adalah remaja yang masih memiliki orang tua namun karena faktor kemiskinan remaja tersebut harus hidup di panti asuhan dan terpisah dengan orang tuanya.

E. Hubungan Antara Gaya Kelekatan dan Konsep Diri pada Remaja di Panti Asuhan

Bowlby (dalam Laumi dan Adiyanti, 2012) menyatakan bahwa kelekatan merupakan ikatan afeksi yang akan terus berlanjut antara seorang individu dengan figur penting dalam kehidupannya. Pengalaman awal yang didapatkan selama masa bayi tersebut akan mempengaruhi respon ataupun perilaku seseorang kedepannya. Hal tersebut yang akan membentuk suatu skema tentang diri dan orang lain. Skema tersebut biasanya disebut dengan model kerja internal (internal working models).

(65)

models) yang positif disebabkan oleh pengasuh yang sensitif dan

responsif. Hal tersebut yang menuntun anak berpikir bahwa orang lain dapat diandalkan. Namun, pengasuh yang tidak sensitif terhadap kebutuhan bayi, kurang perhatian, dan cenderung menggunakan kekerasan akan mengarahkan anak memiliki kelekatan yang tidak aman dan kurang percaya terhadap orang lain (Shaffer dan Kipp dalam Ponty, 2015). Model kerja internal (internal working models) yang positif akan mengarahkan individu memiliki gaya kelekatan yang aman sedangkan model kerja internal (internal working models) yang negatif akan mengarahkan individu memiliki gaya kelekatan selain aman.

Ada beberapa aspek yang dapat membentuk gaya kelekatan, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan alienasi. Aspek kepercayaan merupakan perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhannya. Individu belajar membangun rasa percaya dalam suatu hubungan. Aspek selanjutnya adalah komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi dua arah yang terjadi antara pengasuh dengan anak. Kemudian aspek yang terakhir adalah alienasi. Alienasi terjadi karena adanya pengabaian yang dilakukan oleh pengasuh terhadap anaknya.

(66)

individu menggunakan orang lain sebagai cermin untuk menunjukkan siapa dirinya. Calhoun dan Acocella (1995) menyatakan bahwa konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

(67)

45

(68)
(69)

47

Kepercayaan: individu memandang masa lampau dan sekarang secara positif, individu memiliki komitmen tinggi dengan orang lain, dan individu membentuk hubungan dengan orang lain dalam jangka waktu yang lama.

Komunikasi: individu tidak mudah marah, individu tidak memiliki keinginan untuk bermusuhan, individu mengharapkan hasil yang positif dari konflik.

Alienasi: individu tidak pernah merasa ditolak oleh ibu, individu merasa ibu menerima apa adanya, dan individu merasa ibu selalu ada ketika ia membutuhkannya.

Kepercayaan: individu cenderung meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghindari hubungan akrab.

Komunikasi: memiliki rasa cemburu yang berlebihan dan memiliki hubungan yang buruk dengan ibu.

Alienasi: menggunakan hal-hal negatif untuk mengurangi kecemasan.

Kepercayaan: individu pandangan negatif tentang sendiri, individu menjalin secara berlebihan dengan or memiliki kecemasan untuk di

(70)

48 F. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut hipotesis yang peneliti ajukan adalah :

1. Ada hubungan yang positif antara gaya kelekatan aman dan konsep diri pada remaja di panti asuhan. Jika remaja memiliki gaya kelekatan aman, maka remaja akan mengembangkan konsep diri yang positif. 2. Ada hubungan yang negatif antara gaya kelekatan takut – menghindar

dan konsep diri pada remaja di panti asuhan. Jika remaja memiliki gaya kelekatan takut – menghindar, maka remaja akan mengembangkan konsep diri yang negatif.

3. Ada hubungan yang negatif antara gaya kelekatan terpreokupasi dan konsep diri pada remaja di panti asuhan. Jika remaja memiliki gaya kelekatan terpreokupasi, maka remaja akan mengembangkan konsep diri yang negatif.

(71)

49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional adalah jenis penelitian yang digunakan untuk melihat hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lainnya (Azwar, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara gaya kelekatan dan konsep diri.

B. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas : gaya kelekatan 2. Variabel tergantung : konsep diri

C. Definisi Operasional 1. Gaya Kelekatan

(72)

gaya kelekatan terpreokupasi (preoccupied attachment style), dan gaya kelekatan menolak (dismissing attachment style).

Menurut Armsden dan Greenberg (dalam Barrocas, 2008) kelekatan terdiri dari tiga aspek, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan alienasi atau keterasingan. Kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhnya. Komunikasi merupakan timbal balik yang terjadi secara harmonis. Hal tersebut dapat membantu ikatan emosional yang kuat antara ibu atau pengasuh dan anak. Sedangkan alienasi merupakan pengabaian yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sehingga individu merasa bahwa figur lekat yang diharapkan tidak hadir. Hal tersebut membuat individu merasa tertolak dan tidak diharapkan.

Kelekatan akan diukur melalui skala psikologis yang disusun berdasarkan empat gaya kelekatan menurut Bartholomew dengan menggunakan tiga aspek kelekatan menurut Armsden dan Greenberg (dalam Barrocas, 2008) dan diwakili oleh skor kelekatan. Skor tertinggi pada skala menunjukkan kecenderungan jenis gaya kelekatan yang dimiliki individu.

2. Konsep Diri

(73)

Konsep diri memiliki tiga dimensi (Calhoun dan Acocella, 1995), yaitu: pengetahuan, harapan, dan penilaian.

Konsep diri akan diukur dengan skala psikologis yang disusun berdasarkan dimensi konsep diri dan diwakili oleh skor konsep diri. Semakin tinggi skor skala konsep diri yang diperoleh, maka hal tersebut menunjukkan semakin positif konsep diri yang dimiliki oleh individu. Demikian sebaliknya, semakin rendah skor skala konsep diri yang diperoleh, maka hal tersebut menunjukkan semakin negatif konsep diri yang dimiliki inidvidu.

D. Subjek Penelitian

Kriteria subjek dalam penelitian ini, yaitu:

1. Subjek berusia antara 11 tahun sampai 24 tahun 2. Subjek masih memiliki orang tua

3. Subjek tinggal di panti asuhan karena faktor kemiskinan atau ekonomi rendah

(74)

tua dan pengasuh panti maka konsep diri dan jenis gaya kelekatan yang seperti apa yang akan dikembangkan oleh subjek.

E. Metode Sampling

Metode atau teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

non-probability sampling dengan melakukan purposive sampling. Purposive sampling adalah metode untuk memperoleh informasi dari sasaran-sasaran

sampel tertentu yang disengaja oleh peneliti karena hanya sampel tersebut yang dapat mewakili (Zulganef, 2008). Sampel dalam penelitian ini diambil dari panti asuhan Pondok Damai Jakarta, panti asuhan Vincentius Puteri Jakarta, dan panti asuhan Santo Yusuf Sindanglaya (Bogor).

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket atau skala. Sekaran (dalam Zulganef, 2008) menyatakan bahwa angket atau skala adalah seperangkat pernyataan atau pertanyaan tertulis yang sudah dirumuskan sebelumnya yang umumnya telah diberikan beberapa alternatif jawaban agar partisipasi dapat menulis jawabannya di tempat yang telah tersedia. Dalam penelitian ini terdapat dua skala, yaitu:

1. Skala Gaya Kelekatan

(75)

aman, gaya kelekatan takut-menghindar, gaya kelekatan terpreokupasi, dan gaya kelekatan menolak. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala langsung berbentuk tertutup dengan model penskalaan Likert. Skala tersebut terdiri dari sejumlah item pernyataan yang terbagi menjadi empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Dalam penelitian ini tidak disediakan pilihan jawaban netral karena untuk meminimalisir kecenderungan subjek memilih jawaban netral.

Penilaian untuk setiap pilihan jawaban dibagi menjadi dua, yaitu item-item favorable dan item-item unfavorable. Pada kriteria skor untuk item-item favorable adalah 4 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), 3 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), 2 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Pada kriteria skor untuk unfavorable adalah 1 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), 2 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), 3 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS).

(76)

Tabel 1.Blueprint Skala Gaya Kelekatan Favorable Unfavorable

Kepercayaan 5 5

(77)

Penilaian untuk setiap pilihan jawaban dibagi menjadi dua, yaitu item-item favorable dan item-item unfavorable. Pada kriteria skor untuk item-item favorable adalah 4 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), 3 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), 2 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Pada kriteria skor untuk unfavorable adalah 1 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), 2 untuk pilihan jawaban Sesuai (S), 3 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (TS), dan 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju (STS).

Tabel 2.Blueprint Skala Konsep Diri

Atribut

Proporsi item

Total Favorable Unfavorable

Pengetahuan 25 15 40%

Harapan 15 15 30%

Penialian 15 15 30%

Total 100%

G. Uji Coba Instrumen Penelitian

(78)

Uji coba instrumen penelitian tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda. Ketika uji coba dilakukan di panti asuhan Pondok Damai pada hari Rabu, 13 Mei 2015. Peneliti datang ke panti asuhan kemudian memberikan skala penelitian kepada remaja yang tinggal di panti asuhan tersebut. Setelah itu, semua remaja mengisi skala tersebut. Uji coba dilakukan mulai pukul 18.00 hingga 19.00. Setelah itu peneliti memilih subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian berdasarkan jawaban pilihan subjek pada lembar identitas diri. Sedangkan uji coba yang dilakukan di panti asuhan Vincentius Puteri dilakukan pada hari Jumat, 15 Mei 2015. Peneliti hanya menitipkan skala uji coba kepada pengurus panti kemudian peneliti kembali ke panti asuhan tersebut untuk mengambil skala uji coba pada hari Minggu, 17 Mei 2015. Setelah itu peneliti memilih subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian berdasarkan pilihan jawaban subjek pada lembar identitas diri.

H. Validitas dan Reliabititas Alat Ukur 1. Validitas

(79)

kemampuan alat ukur untuk mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2007).

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi menunjukkan sejauh mana item-item skala mewakili komponen-komponen variabel yang hendak diukur dan sejauh mana item-item skala mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur. Validitas isi ditentukan melalui pendapat professional judgement (Azwar, 2007). Hal tersebut berarti alat ukur yang dibuat oleh peneliti diperiksa oleh seseorang yang lebih ahli untuk memastikan bahwa item-item yang dibuat sudah mencakup seluruh aspek yang ingin diukur. Pada penelitian ini, seseorang yang bertindak sebagai ahli adalah dosen pembimbing.

2. Reliabilitas

(80)

3. Analisis dan seleksi item

Pada penelitian ini dilakukan analisis dan seleksi item dengan menguji kualitas item menggunakan metode statistik dengan bantuan program SPSS for Windows version 16.0. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat korelasi antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat hubungan antara gaya kelekatan dan konsep diri.

Prosedur pengujian konsistensi item-total akan menghasilkan koefisien korelasi item-total atau indeks daya beda item. Semakin tinggi korelasi positif antara skor item dan skor total skala, maka semakin tinggi konsistensi antara item dengan keseluruhan skala atau semakin tinggi daya bedanya (Azwar, 2009). Kriteria pemilihan item berdasarkan korelasi item-total, biasanya menggunakan batasan 0,30. Namun apabila jumlah item yang lolos tidak mencukupi proporsi yang diinginkan, batasan tersebut dapat diturunkan menjadi 0,25 (Azwar, 2009).

I. Metode analisis data a. Uji Asumsi

(81)

b. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi sebaran variabel bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS

for Windows versi 16.0. Dalam penelitian ini gaya kelekatan

merupakan variabel bebas dan konsep diri merupakan variabel tergantung. Data dinyatakan normal apabila signifikan lebih besar dari 5% atau 0,05. Sebaliknya, data dinyatakan tidak normal apabila signifikan lebih kecil dari 5% atau 0,05.

1. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (gaya kelekatan) dan variabel tergantung (konsep diri) berupa garis lurus atau tidak. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS for Windows versi 16.0. Apabila hubungan antara variabel tersebut berupa garis lurus maka hal tersebut menunjukkan bahwa adanya korelasi linier antara kedua variabel tersebut.

2. Uji Hipotesis

(82)

60

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

(83)

B. Analisis Data Penelitian 1. Deskripsi Data Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal di panti asuhan Santo Yusuf Sindanglaya, Bogor. Berikut ini disajikan data demografis subjek.

a. Jenis Kelamin

Total subjek dalam penelitian ini adalah 82 orang yang terdiri dari 35 laki-laki dan 47 perempuan. Berikut ini tabel deskripsi jenis kelamin subjek penelitian:

Tabel 3.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 35 42,7%

Perempuan 47 57,3%

Total 82 100%

b. Usia

(84)

Tabel 4.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia

c. Alasan subjek tinggal di panti asuhan

Dalam penelitian ini, ada 42 subjek tinggal di panti asuhan dengan alasan faktor ekonomi dan keinginan sendiri. Selain itu, ada 25 subjek tinggal di panti asuhan dengan alasan faktor ekonomi dan permintaan orang tua. Kemudian 9 subjek tinggal di panti asuhan dengan alasan faktor ekonomi saja. Sedangkan alasan lainnya adalah faktor ekonomi, permintaan orang tua, keinginan sendiri, dan sering nakal terdapat 4 subjek. Selain itu, 2 subjek dengan alasan faktor ekonomi dan orang tua bercerai. Berikut ini tabel alasan subjek tinggal di panti asuhan:

Usia Frekuensi Persentase

12 tahun 5 6,1%

13 tahun 30 36,6%

14 tahun 19 23,3%

15 tahun 13 15,8%

16 tahun 7 8,5%

17 tahun 3 3,6%

18 tahun 4 4,9%

19 tahun 1 1,2%

(85)

Tabel 5.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Alasan Tinggal di

d. Gambaran kedekatan subjek dengan pengasuh

(86)

Tabel 6.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Gambaran

e. Data subjek berdasarkan teman dekat

Dalam penelitian ini, subjek yang memiliki teman dekat sebanyak 80 orang. Kemudian subjek yang tidak memiliki teman dekat sebanyak 2 orang.

Tabel 7.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Teman Dekat

Teman

f. Lamanya subjek tinggal di panti asuhan

(87)

asuhan selama 4 tahun, 7 tahun, dan 9 tahun juga memiliki persentase yang sama, yaitu 6,1%. Selain itu, subjek yang tinggal di panti asuhan selama 11 bulan sebanyak 7 orang dengan persentase 8,5% serta subjek yang tinggal di panti asuhan selama 3 tahun sebanyak 2 orang dengan persentase 2,4%. Berikut tabel subjek berdasarkan lamanya tinggal di panti asuhan:

Tabel 8.Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lamanya Subjek Tinggal di Panti Asuhan

g. Persentase subjek berdasarkan gaya kelekatan

Gambar

Tabel 22.Hasil Uji Hipotesis Variabel Gaya Kelekatan takut-menghindar
Gambar 2. Scaterplot ..........................................................................................
Gambar 1. SKEMA
Tabel 1.Blueprint Skala Gaya Kelekatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga merupakan salah satu faktor risiko penyalahgunaan NAPZA pada remaja, dimana orang tua yang kurang memiliki kelekatan dengan anak menjadi faktor penyebab remaja berisiko

konsep diri remaja berprestasi yang tinggal di panti asuhan. Serta

tunggal di kota Bandung dominan memiliki konsep diri yang rendah; 3) Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap pola kelekatan orangtua tunggal dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kecenderungan bunuh diri pada remaja panti asuhan. Penelitian ini melibatkan 45 remaja yang

diri antara remaja yang tinggal bersama keluarga dengan remaja yang tmggal di.

Hipotesis pada penelitian ini bahwa ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal bersama orang tua, konsep diri

Hal tersebut dikarenakan remaja panti asuhan tinggal terpisah dari orang tua, yang mengakibatkan remaja lebih banyak menghabiskan waktu yang dimilikinya dengan teman sebaya,

Mussen 2004 mengatakan bahwa penghuni panti asuhan dapat mengembangkan dirinya sepenuhnya di bawah bimbingan dan perhatian dari orang tua maupun pengasuh di panti asuhan, sehingga dapat